bab ii kajian pustaka dan perumusan masalah a. tinjauan ...eprints.umm.ac.id/38300/3/bab...
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN MASALAH
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan analisis rasio keuangan sebagai tolok ukur
keberhasilan pemerintah dalam mengelola keuangannya pernah dilakukan oleh
Mentari Yosephen Sijabat, Choirul Saleh, Abdul Wachid (2013) dengan melakukan
analisis kinerja keuangan pada APBD kota Malang tahun anggaran 2008-2012.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan serta kinerja
keuangan daerah kota Malang kemudian diinterpresentasikan dengan
menggunakan analisis data kualitatif. Dari hasil penelitiannya dapat ditarik
kesimpulan bahwa kemampuan keuangan pemerintah daerah kota Malang tahun
2008-2012 dapat dikatakan baik karena setiap tahun dapat mengoptimalkan
kemampuan keuangannya meskipun hasil persentasenya masih berada dalam
kategori kurang mampu. Selain itu kinerjanya dan perolehan SILPA tahun berjalan
selalu meningkat yang dikarenakan adanya efisiensi pada komponen belanja
daerah.
Sandy Candra Saputra, I Wayan Suwendra, Fridayana Yudiatmaja (2016)
melakukan analisis kinerja keuangan pada APBD kabupaten Jembrana tahun
anggaran 2010 – 2014. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil
beberapa simpulan: (1) dilihat dari varian/selisih pendapatan termasuk dalam
kategori baik, (2) dilihat dari rasio derajat desentralisasi termasuk dalam kategori
sangat kurang, (3) dilihat dari rasio kemandirian keuangan daerah termasuk dalam
6
kategori rendah sekali dengan pola hubungan instruktif. Ini berarti peranan
pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah atau
daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah, (4) dilihat dari pertumbuhan
pendapatan dikategorikan pertumbuhannya positif karena pemerintah daerah
mampu mempertahankan bahkan meningkatkan pencapaian dari tahun sebelumnya,
(5) dilihat dari varian/selisih belanja daerah termasuk dalam kategori baik, (6)
dilihat dari keserasian belanja disimpulkan bahwa pemerintah lebih banyak
menggunakan anggaran belanjanya untuk keperluan belanja operasional, (7) dilihat
dari efisiensi belanja pemerintah daerah kabupaten Jembrana dikategorikan
efisiensi dalam menggunakan anggaran belanja daerah.
Kemudian I Dewa Gde Bisma, Hery Susanto (2010) melakukan analisis
kinerja keuangan daerah provinsi NTB tahun anggaran 2003-2007. Hasil penelitian
menunjukkan ketergantungan keuangan daerah sangat tinggi terhadap pemerintah
pusat sehingga tingkat kemandirian sangat kurang, desentralisasi fiskal cukup
mengingat ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat sangat tinggi.
Efektifitas pengelolaan APBD sangat efektif, namun efisiensi pengelolaan APBD
menunjukkan hasil tidak efisien. Tingginya tingkat kemampuan keuangan daerah
provinsi NTB lebih disebabkan karena besaran subsidi atau bantuan keuangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Hal itu tentu sangat
bertolak belakang dengan amanat otonomi daerah yang menunjukkan kemandirian
daerah dan kewenangan luas dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga
pemerintah daerah.
7
Analisis Kinerja Pemerintah Daerah melalui Analisis Keuangan APBD juga
pernah dilakukan Mentari Kurnia Dharmawati dan Ririn Irmadariyani (2016) dalam
Artikel Ilmiah Mahasiswa. Analisis Rasio Keuangan APBD dilakukan dalam
menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi tahun 2012-
2014 dapat disimpulkan bahwa kinerja pendapatan dari pemerintah Kabupaten
Banyuwangi sudah baik, terlihat dengan PAD yang meningkat setiap tahunnya dan
telah diukur dengan Rasio Efektifitas menunjukkan PAD yang telah mencapai
target. Akan tetapi dari berdasarkan Rasio Kemandirian masih rendah dan tingkat
ketergantungan terhadap bantuan pihak eksternal masih tinggi, rasio efektifitas
menunjukkan bahwa raealisasi penerimaan PAD telah melampaui anggaran yang
ditetapkan.
Kesimpulan, dari analisis penelitian terdahulu diatas menunjukkan bahwa
pemerintah daerah belum mampu melaksanakan otonomi daerah dengan baik,
walaupun hasil penelitian yang dilakukan oleh Mentari Yosephen Sijabat, Choirul
Saleh, Abdul Wachid mengenai kinerja keuangan pada APBD kota Malang pada
tahun 2013 serta penelitian lain di Kabupaten Banyuwangi yang dilakukan oleh
Mentari Kurnia Dharmawati dan Ririn Irmadariyani pada tahun 2016 menunjukkan
adanya peningkatan pendapatan setiap tahun pada daerah masing-masing, tetapi
kedua daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia. Dibuktikan dengan penelitian lain yang dilakukan
oleh Sandy Candra Saputra, I Wayan Suwendra, Fridayana Widiatmaja pada tahun
2016 pada Kabupaten Jembrana dan penelitian lain yang dilakukan oleh I Dewa
Gde Bisma, Hery Susanto di Provinsi NTB pelaksanaan Otonomi Daerah masih
8
belum dapat berjalan dengan optimal. Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi
Daerah antara lain disebabkan karena adanya tingkat ketergantungan keuangan
daerah yang masih sangat tinggi terhadap pemerintah pusat dan bantuan pihak
eksternal, sehingga tingkat kemandirian pada masing-masing daerah masih sangat
kurang.
B. Landasan Teori
1. Analisis Laporan Keuangan
Analisis Laporan Keuangan berarti: “menguraikan pos-pos laporan
keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungan yang
bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain baik
antara data kuantitatif maupun non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan
keputusan yang tepat.” (Sofyan Syafri Harahap (2010:9),
Penggunanaan Analisis Rasio Keuangan pada Sektor Publik belum begitu
banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan mengenai nama
dan kaidah pengukurannya (Abdul halim, 2007 : 231). Meskipun demikian, dalam
rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, analisis rasio
keuangan terhadap laporan keuangan Pemerintah Daerah perlu dilaksanakan,
meskipun kaidah akuntansi dalam laporan keuangan Pemerintah Daerah berbeda
dengan laporan keuangan yang dimiliki organisasi privat, yaitu Pemerintah Daerah
memiliki tugas menjalankan kegiatan pembangunan.
9
Pihak yang berkepentingan dengan Analisis Rasio Keuangan pada laporan
keuangan daerah adalah (Widodo, 2001: 261):
1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat)
2. Pemerintah eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya
3. Pemerintah pusat/provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah
4. Masyarakat dan kreditur, sebgai pihak yang akan turut memiliki saham
pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli obligasi.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah:
a. Akuntabilitas, yaitu berperilaku sesuai dengan mandate yang diterima serta
menghasilkan kebijakan yang harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara
vertikal maupun horizontal dengan baik.
b. Value for Money, prinsip ini dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan dan
anggaran daerah dengan ekonomis, efektif, dan efisien.
c. Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity), dalam pengelolaan
keuangan daerah harus dipercayakan kepada pegawai yang memiliki integritas
dan kejujuran yang tinggi, sehingga potensi munculnya praktek korupsi dapat
diminimalkan.
d. Transparansi, yaitu keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-
kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat.
e. Pengendalian, yaitu dalam pengelolaan keuangan daerah perlu dilakukan
monitoring terhadap penerimaan maupun pengeluaran Anggaran Pendapatan
10
dan Belanja Daerah (APBD), sehingga bila terjadi selisih (varians) dapat
dengan segera dicari penyebab timbulnya selisih. (Mardiasmo, 2004).
2. Akuntabilitas Sektor Publik
Pengertian Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi
publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif perlemen,
dan lembaga yudikatif) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering
digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat
dipertanggungjawabkan (responbility), yang dapat dipertanyakan (answerbility),
yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai keterkaitan
dengan harapan dapat menerangkan salah satu aspek dari administrasi
publik/pemerintah. (Djalil, 2014: 63).
Dimensi Akuntabilitas
Dimensi Akuntabilitas terdiri dari 5, yaitu:
a. Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accountability for probity and
legality)
Akuntabilitas hukum terkait dengan dilakukannya kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam organisasi, sedangkan
akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan, korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin
ditegakkannya supremasi hukum, sedangkan akuntabilitas kejujuran
menjamin adanya praktik organisasi sehat.
11
b. Akuntabilitas manajerial
Akuntabilitas manajerial yang dapat juga diartikan sebagai akuntabilitas
kinerja (performance accountability) adalah pertanggungjawaban untuk
melakukan pengelolaan organisasi secara efektif dan efisien.
c. Akuntabilitas program
Akuntabilitas program juga berarti bahwa program-program organisasi
hendaknya merupakan program yang bermutu dan mendukung strategi
dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Lembaga public
harus mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai
pada pelaksanaan program.
d. Akuntabilitas kebijakan
Lembaga-lembaga publik hendaknya dapat mempertanggungjawabkan
kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak
dimasa depan.
e. Akuntabilitas finansial
Akuntabilitas ini merupakan pertanggungjawaban lembaga-lembaga
publik untuk menggunakan dana publik secara ekonomis, efisien dan
efektif, tidak ada pemborosan dan kebocoran dana, serta korupsi. (Rasul,
2002: 11).
Indikator Akuntabilitas
Indikator akuntabilitas digunakan sebagai alat ukur berdasarkan akuntabilitas.
Penetapan alat ukur digunakan untuk membandingkan dan menilai kegiatan-
kegiatan yang sudah dilakukan sesuai dengan rencana, pedoman dan peraturan.
12
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan terdiri dari beberapa
elemen antara lain:
Adanya akses publik terhadap laporan yang telah dibuat,
Penjelasan dan pembenaran terhadap tindakan pemerintah,
Penjelasan harus dilakukan dalam sebuah forum terbuka,
Aktor harus memiliki kewajiban untuk hadir. (Lalolo, 2003: 17).
3. Desentralisasi Fiskal
Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7
dan UU No. 3 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintahan Daerah
Pasal 1 ayat 8, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Ada dua manfaat yang dapat diharapkan dari desentralisasi secara tepritis menurut
Mardiasmo (2002), yaitu:
1. Mendorong partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat di dalam
pembangungan serta mendorong pemerataan hasil pembangunan di seluruh
daerah dengan memanfaatkan sumber daya potensi yang tersedia di masing-
masing daerah.
2. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran
pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah
yang memiliki informasi yang paling lengkap.
Tujuan kebijaksanaan desentralisasi adalah:
1. Mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah
13
2. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pengurangan subsidi dari
pemerintah pusat
3. Mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing
daerah (Suparmoko,2002).
4. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh
pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan,
maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian
melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus.
Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari
apa yang direncanakan, maka kinerjanya jelek. Kinerja keuangan adalah suatu
ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan.
Pengertian kinerja seperti yang dikemukakan oleh Bastian (2001) adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan
misi organisasi terutang dalam perumusan skema strategis suatu organisasi.
Secara umum dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat
dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu, sedangkan menurut Inpres No.7
Tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi.
Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja
di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi
14
keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi kinerja yang akan berlanjut.
Menurut Halim (2001) analisis kinerja keuangan adalah usaha mengidentifikasi
ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.
Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada
beberapa ukuran kinerja, yaitu rasio kemandirian, rasio efektifitas, rasio efisiensi,
rasio pertumbuhan, dan rasio keserasian.
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. (Halim, 2007)
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan
secara luas telah diterapkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah
masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat
mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka
analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan.
(Mardiasmo, 2002).
5. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Laporan keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi
pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan dengan anggaran yang telah
ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu
entitas dan membantu menentukan ketaatannya terhadap perundang-undangan.
15
(Fidelius:2013). PP No.71 Tahun 2010 menjelaskan laporan keuangan pemerintah
terdiri dari :
1. Laporan Realisasi Anggaran
Menyediakan informasi mengenai anggaran dan realisasi pendapatan LRA,
belanja, transfer, surplus/defisit LRA, dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan.
Informasi tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi
keputusan mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas dan
ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran karena menyediakan informasi-
informasi sebagai berikut:
Informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan sumber daya ekonomi
Informasi mengenai realisasi anggaran secara menyeluruh yang berguna dalam
mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal efisiensi dan efektivitas
penggunaan anggaran.
LRA menyediakan informasi yang berguna dalam memprediksi sumber
daya ekonomi yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah pusat dan
daerah dalam periode mendatang dengan cara menyajikan laporan secara
komparatif. Selain itu, LRA juga dapat menyediakan informasi kepada para
pengguna laporan keuangan pemerintah tentang indikasi perolehan dan penggunaan
sumber daya ekonomi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan, sehingga dapat
menilai apakah suatu kegiatan/program telah dilaksanakan secara efisien, efektif,
dan hemat, sesuai dengan anggarannya (APBN/APBD), dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
16
Setiap komponen dalam LRA dijelaskan lebih lanjut dalam Catatan atas
Laporan Keuangan. Penjelasan tersebut memuat hal-hal yang mempengaruhi
pelaksanaan anggaran seperti kebijakan fiskal dan moneter, sebab-sebab terjadinya
perbedaan yang material antara anggaran dan realisasinya, serta daftar-daftar yang
merinci lebih lanjut atas angka-angka yang dianggap perlu untuk dijelaskan. Namun
dari segi struktur, LRA Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota memiliki struktur yang berbeda. Perbedaan ini lebih diakibatkan
karena adanya perbedaan sumber pendapatan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Penyusunan dan penyajian LRA didasarkan pada akuntansi anggaran,
akuntansi pendapatan LRA, akuntansi belanja, akuntansi surplus/defisit, akuntansi
pembiayaan dan akuntansi sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran
(SiLPA/SiKPA), yang mana berdasar pada basis kas.
a. Akuntansi Anggaran
Salah satu perbedaan utama akuntansi pemerintahan dengan akuntansi
perusahaan komersial terletak pada akuntansi anggaran. Dalam pemerintahan,
pencatatan telah dimulai pada saat anggaran (APBN/APBD) disahkan dan
dialokasikan.
Akuntansi anggaran merupakan teknik pertanggungjawaban dan
pengendalian manajemen yang digunakan untuk membantu pengelolaan
pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan. Akuntansi anggaran
diselenggarakan sesuai dengan struktur anggaran yang terdiri dari anggaran
pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
17
Anggaran pendapatan meliputi estimasi pendapatan yang dijabarkan
menjadi alokasi kredit anggaran (allotment). Anggaran pembiayaan terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
b. Akuntansi Pendapatan LRA
Pendapatan negara/ daerah merupakan iuran rakyat yang diamanatkan
kepada pemerintah, sehingga akuntansi pendapatan LRA disusun untuk memenuhi
kebutuhan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan dan untuk keperluan
pengendalian bagi manajemen pemerintah pusat dan daerah.
Pendapatan LRA diakui pada saat uang diterima pada Rekening Kas Umum
Negara/Daerah, yang mana pencatatan pendapatan LRA dilaksanakan berdasarkan
azas bruto, yaitu mencatat jumlah bruto penerimaan, dan tidak mencatat jumlah
netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran), namun ketika biaya atas
pendapatan tersebut bersifat variable dan tidak dapat dianggarkan terlebih dahulu
dikarenakan proses belum selesai, maka dapat mencatat nilai netonya.
Pemerintah mungkin saja melakukan kekeliruan dalam menghitung tagihan
pendapatan yang mengakibatkan kelebihan penerimaan pendapatan, jika hal ini
terjadi maka pemerintah harus mengembalikan pendapatan tersebut. Pengembalian
yang sifatnya sistematik (normal) dan berulang (recurring) terjadi atas penerimaan
pendapatan LRA pada periode penerimaan (tahun anggaran berjalan) maupun pada
periode sebelumnya (tahun anggaran sebelumnya) dibukukan sebagai pengurang
pendapatan LRA. Namun, untuk koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak
berulang (non-recurring) atas penerimaan pendapatan LRA yang terjadi pada
periode penerimaan pendapatan LRA dibukukan sebagai pengurang pendapatan
18
LRA pada periode yang sama. Sedangkan untuk koreksi dan pengembalian yang
sifatnnya tidak berulang (non recurring) atas penerimaan pendapatan LRA yang
terjadi pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang Saldo Anggaran
Lebih pada periode ditemukannya koreksi dan pengembalian tersebut.
c. Akuntansi Belanja
Akuntansi belanja disusun selain untuk memenuhi kebutuhan
pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan, juga dapat dikembangkan untuk
keperluan pengendalian bagi manajemen untuk mengukur afektivitas dan efisiensi
belanja tersebut. Pengeluaran untuk belanja dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
secara langsung dikeluarkan oleh Bendahara Umum Negara/Daerah (BUN/BUD),
atau melalui bendahara pengeluaran maka pengakuan belanja dilakukan pada saat
pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang mempunyai
fungsi perbendaharaan.
Jika terjadi kekeliruan dalam pengeluaran belanja maka koreksi atas
pengeluaran belanja (penerimaan kembali belanja) yang terjadi pada periode
pengeluaran belanja dibukukan sebagi pengurang belanja pada periode yang sama.
Apabila diterima pada periode berikutnya, koreksi atas pengeluaran belanja
dibukukan dalam pendapatan LRA dalam pos pendapatan lain-lain LRA.
d. Akuntansi Surplus/Defisit LRA
Selisih antara pendapatan LRA dan belanja selama satu periode pelaporan
dicatat dalam pos Surplus/Defisit LRA. Surplus LRA terjadi jika jumlah
pendapatan LRA selama suatu periode lebih besar daripada jumlah belanja pada
periode tersebut, begitupula sebaliknnya, defisit LRA terjadi jika jumlah
19
pendapatan LRA lebih kecil dari jumlah belanja selama satu periode pelaporan
tersebut.
e. Akuntansi Pembiayaan
Pembiayaan (financing) adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik
penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali,
yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup
defisit dana tau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara
lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman
kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah di BUMN/BUMD.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat uang diterima pada Rekening Kas
Umum Negara/Daerah, dan dicatat berdasarkan azas bruto. Sedangkan pengeluaran
pembiyaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah.
f. Akuntansi Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA)
SiLPA/SiKPA adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan
pengeluaran selama satu periode pelaporan atau selisih lebih/kurang antara realisasi
pendapatan LRA dan penerimaan. Nilai SiLPA/SiKPA pada akhir periode
pelaporan inilah yang nantinya dipindahkan ke Laporan Perubahan Saldo Anggaran
Lebih. Apabila dalam LRA terdapat transaksi mata uang asing maka harus
dicatat/dibukukan dalam mata uang rupiah atau dikpnversi terlebih dahulu ke
rupiah.
2. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LP-SAL)
Menyajikan pos-pos berikut, yaitu saldo anggaran lebih awal (saldo tahun
sebelumnya), penggunaan saldo anggaran lebih, sisa lebih/kurang pembiayaan
20
anggaran (SiLPA/SiKPA) tahun berjalan, koreksi kesalahan pembukuan tahun
sebelumnya, lain-lain dan saldo anggaran lebih akhir untuk periode berjalan. Pos-
pos tersebut disajikan secara komparatif dengan periode sebelumnya.
LP-SAL dimaksudkan untuk memberikan ringkasan atas pemanfaatn saldo
anggaran dan pembiayaan pemerintah, sehingga sutau entitas pelaporan harus
menyajikan rincian lebih lanjut dari unsur-unsur yang tersapat dalam LP-SAL
dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Struktur LP-SAL baik pada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki
perbedaan.
3. Laporan Operasional
Menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasioanl keuangan
entitas pelaporan yang tercerminkan dalam pendapatan LO, beban dan
surplus/defisit operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya
disandingkan dengan periode sebelumnya.
Pengguna laporan membutuhkan Laporan Operasional dalam mengevaluasi
pendapatan LO dan beban untuk menjalankan suatu unit atau seluruh entitas
pemerintahan. Berkaitan dengan kebutuhan pengguna tersebut, Laporan
Operasional menyediakan informasi sebagai berikut:
Mengenai besarnya beban yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk
menjalankan pelayanan
Mengenai operasi keuangan secara menyeluruh yang berguna dalam
mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal efisiensi, efektivitas, dan
kehematan perolehan dan penggunaan sumber daya ekonomi
21
Yang berguna dalam memprediksi pandapatan LO yang akan diterima untuk
mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah dalam periode mendatang
dengan cara menyajikan laporan secara komparatif
Mengenai penurunan ekuitas (bila defisit operasional), dan peningkatan ekuitas
(bila surplus operasional)
Laporan Operasional disusun untuk melengkapi pelapiran dari siklus
akuntansi berbasis akrual (full accrual accounting cycle) sehingga penyusunan
Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca mempunyai
keterkaitan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hubungannya dengan laporan operasioanl, kegiatan operasioanl
suatu entitas pelaporan dapat dianalisis menurut klasifikasi ekonomi atau klasifikasi
fungsi/program untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Laporan operasional
yang dianalisis menurut suatu klasifikasi ekonomi, beban-beban dikelompokkan
menurut klasifikasi ekonomi (sebagai contoh beban penyusutan/amortisasi, beban
alat tulis kantor, beban transportasi, dan beban gaji dan tunjangan pagawai), dan
tidak direalokasikan pada berbagai fungsi dalam suatu entitas pelaporan. Metode
ini sederhana untuk diaplikasikan dalam kebanyakan entitas kecil karena tidak
memerlukan alokasi beban operasioanl pada berbagai fungsi. Namun program atau
operasioanl yang dianalisis menurut klasifikasi fungsi, beban-beban
dikelompokkan menurut program atau yang dimaksudkannya. Penyajian laporan
ini memberikan informasi yang lebih relevan bagi pemakai dibandingkan dengan
laporan menurut klasifikasi ekonomi, waktu dalam hal ini pengalokasian beban ke
setiap fungsi adakalanya bersifat arbitrer dan atas dasar pertimbangan tertentu.
22
Dalam memilih penggunaan kedua metode klasifikasi beban tersebut
tergantung pada faktor historis dan peraturan perundang-undangan, serta hakikat
organisasi. Kedua metode ini dapat memberikan indikasi beban yang mungkin
berbeda dengan output entitas pelapiran bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung. Karena penerapan dengan output entitas pelaporan bersangkutan, baik
langsung maupun tidak langsung. Karena penerapan masing-masing metode pada
entitas yang berbeda mempunyai kelebihan tersendiri, maka SAP memperbolehkan
entitas pelaporan memilih salah satu metode yang dipandang dapat menyajikan
unsur operasi secara layak pada entitas tersebut.
Entitas pelaporan yang mengelompokkan beban menurut klasifikasi fungsi
juga harus mengungkapkan tambahan informasi beban menurut klasifikasi
ekonomi, antara lain meliputi beban penyusutan/amortisasi beban gaji dan
tunjangan pegawai, dan beban bunga pinjaman.
Sama halnya dengan LRA, struktur Laporan Operasional Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerinah Kabupaten/Kota memiliki perbedaan.
Perbedaan struktur tersebut juga diakibatkan karena perbedaan sumber pendapatan
pada pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Namun, yang membedakan antara LRA dengan LO diantaranya adalah sebagai
berikut:
Pengelompokkan pada LRA terdiri dari pendapatan, belanja, transfer dan
pembiayaan, sedangkan pengelompokkan pada LO terdiri dari pendapatan dan
beban dari kegiatan operasional, surplus/defisit dari kegiatan non operasional
dan pos-pos luar biasa.
23
LRA menyajikan pendapatan dan belanja yang berbasis kas, sedangkan LO
menyajikan pendapatan dan beban yang berbasis akrual.
Akibat dari perbedaan basis akuntansi yang digunakan, pada LRA pembelian
aset dikategorikan sebagai belanja modal atau pengurang pendapatan,
sedangkan pada LO pembelian aset tetap tidak diakui sebagai pengurang
pendapatan.
4. Laporan Perubahan Ekuitas
Menyajikan sekurang kurangnya pos-pos ekuitas awal atau ekuitas tahun
sebelumnya, surplus/defisit LO pada periode bersangkutan dan koreksi-koreksi
yang langsung menambah/mengurangi ekuitas, yang antara lain berasal dari
dampak kumulatif yang disebabkan oleh perubahan kebijakan akuntansi dan
koreksi kesalahan mendasar, misalnya:
Koreksi kesalahan mendasar dari persediaan yang terjadi pada periode-periode
sebelumnya
Perubahan nilai aset tetap karena revaluasi aset tetap
Disamping itu, suatu entitas pelaporan juga perlu menyajikan rincian lebih
lanjut dari unsur-unsur yang terdapat dalam Laporan Perubahan Ekuitas yang
dijelaskan pada Catatan atas Laporan Keuangan.
Struktur Laporan Perubahan Ekuitas baik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki perbedaan.
5. Neraca
Menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset,
kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Dalam neraca, setiap entitas
24
mengklasifikasikan asetnya dalam aset lancar dan non lancar serta
mengklasifikasikan kewajibannya menjadi kewajiban jangka pendek dan jangka
panjang.
Apabila suatu entitas memiliki aset/barang yang akan digunakan dalam
menjalankan kegiatan pemerintahan, dengan adanya klasifikasi terpisah antara aset
lancar dan non lancar dalam neraca maka akan memberikan informasi mengenai
aset/barang yang akan digunakan dalam periode akuntansi berikutnya (aset lancar)
dan yang akan digunakan untuk keperluan jangka panjang (aset non lancar).
Konsekuensi dari penggunaan sistem berbasis akrual pada setiap neraca
menyebabkan setiap entitas pelaporan harus menggunakan setiap pos aset dan
kewajiban yang mencakup jumlah-jumlah yang diharapkan akan diterima atau
dibayar dalam waktu 12 bulan setelah tanggal pelaporan dan jumlah-jumlah yang
diharapkan akan diterima atau dibayar dalam waktu lebih dari 12 bulan.
Informasi tentang tanggal jatuh tempo aset dan kewajiban keuangan
bermanfaat untuk menilai likuiditas dan solvabilitas suatu entitas pelaporan.
Sedangkan informasi tentang tanggal penyelesaian aset non keuangan dan
kewajiban seperti persediaan dan cadangan juga bermanfaat untuk mengetahui
apakah aset diklasifikasikan sebagai aset lancar dan non lancar dan kewajiban
diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek dan jangka panjang.
Neraca setidaknya menyajikan pos-pos berikut: (1) kas dan setara kas; (2)
investasi jangka pendek; (3) piutang pajak dan bukan pajak; (4) persediaan; (5)
investasi jangka panjang; (6) aset tetap; (7) kewajiban jangka pendek; (8) kewajiban
jangka panjang; dan (9) ekuitas.
25
Pos-pos tersebut disajikan secara komparatif dengan periode sebelumnya.
Selain pos-pos tersebut, entitas dapat menyajikan pos-pos lain dalam neraca,
sepanjang penyajian tersebut untuk menyajikan secara wajar posisi keuangan suatu
entitas dan tidak bertentangan dengan SAP.
Pertimbangan disajikannya pos-pos tambahan secara terpisah dalam neraca
didasarkan pada faktor-faktor berikut ini:
Sifat, likuiditas, dan materialitas aset;
Fungsi pos-pos tersebut dalam entitas pelaporan;
Jumlah, sifat, dan jangka waktu kewajiban.
Strukur Neraca Pemerintah Pusat memiliki beberapa perbedaan
dibandingkan dengan struktur Neraca Pemerintah Daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota). Perbedaan tersebut diakibatkan karena kepemilikan
aset negara berbeda dengan kepemilikan aset di daerah. Aset negara lebih kompleks
dibandingkan dengan aset daerah. Salah satu contohnya adalah kas. Kas di
pemerintah pusat termasuk kas yang ada di Bank Indonesia.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa neraca menggambarkan
penyusunan dan penyajian aset dan kewajiban. Dalam neraca kadang-kadang
memiliki dasar pengukuran yang berbeda, tergantung dari sifat dan fungsinya
masing-masing. Sebagai contoh, sekelompok aset tetap tertentu dapat dicatat atas
dasar biaya perolehan, sedangkan kelompok lainnya dapat dicatat atas dasar nilai
wajar yang diestimasikan. Secara garis tentang jenis-jenis aset, kewajiban dan
ekuitas serta pengakuan dan pengukurannya pada neraca dapat diuraikan sebagai
berikut:
26
Aset, merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,
termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa
bagi masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya
non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum
dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Dalam neraca aset terbagi atas 2, yaitu:
a. Aset lancar :
- Diharapkan segera untuk direalisasikan, dipakai, atau dimiliki dalam waktu 12
bulan sejak tanggal pelaporan, atau
- Berupa kas dan setara kas
Aset lancar meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang,
dan persediaan. Pos-pos investasi jangka pendek antara lain deposito berjangka 3
sampai 12 bulan dan surat berharga yang mudah diperjual belikan. Pos-pos piutang
antara lain piutang pajak, retribusi, denda, penjualan angsuran, tuntutan ganti rugi,
dan piutang lainnya yang diharapkan diterima atau perlengkapan yang dibeli dan
disimpan untuk digunakan, misalnya barang pakai habis seperti alat tulis kantor,
barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai
seperti komponen bekas.
b. Aset non lancar
27
Merupakan aset pemerintah yang penggunaannya diharapkan melebihi satu periode
pelaporan (1 tahun), terdiri dari aset yang bersifat jangka panjang dan aset tak
berwujud, serta aset yang digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk
kegiatan pemerintah maupun yang digunakan oleh masyarakat umum. Untuk
mempermudah pemahaman atas pos-pos aset non lancar yang disajikan di neraca,
aset non lancar diklasifikasikan menjadi investasi jangka panjang, aset tetap, dana
cadangan, dan aset lainnya.
Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki
selama lebih dari 12 bulan, yang berupa investasi non permanen dan investasi
permanen. Investasi non permanen adalah investasi jangka panjang yang
dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan, seperti: investasi dalam
Surat Utang Negara (SUN) dan penanaman modal dalam proyek pembangunan
yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga. Sedangkan investasi permanen adalah
investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara berkelanjutan,
seperti: Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMN/BUMD, badan internasional
dan badan hukum lainnya bukan milik negara.
Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari
12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh
masyarakat umum. Aset tetap terdiri dari: a) Tanah; b) Peralatan dan mesin; c)
Gedung dan bangunan; d) Jalan, irigasi, dan jaringan; e) Aset tetap lainnya; dan f)
Konstruksi dalam pengerjaan.
28
Dana cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan
yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun
anggaran. Dana cadangan dirinci menurut tujuan pembentukannya.
Aset non lancar lainnya diklasifikasikan sebagai aset lainnya, termasuk
dalam aset lainnya adalah aset tak berwujud, tagihan penjualan angsuran yang jatuh
tempo lebih dari 12 bulan, aset kerjasama dengan pihak ketiga (kemitraan), dan kas
yang dibatasi penggunaannya.
Pengakuan aset dilakukan apabila ada potensi manfaat ekonomi di masa
depan yang akan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang
dapat diukur dengan andal, atau dapat diakui juga pada saat diterima atau
kepemilikannya dan/atau kepenguasaannya berpindah ke tangan pemerintahan
sedangkan untuk pengukuran atau pencatatan suatu aset tergantung dari jenis
asetnya, diantaranya adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Kas dicatat sebesar nilai nominal;
2. Investasi jangka pendek di catat sebesar nilai perolehan;
3. Piutang dicatat sebesar nilai nominal;
4. Persediaan dicatat sebesar:
- Biaya perolehan apabila dengan pembelian;
- Biaya standar apabila diperoleh dengan memproduksi sendiri;
- Nilai wajar apabila diperoleh dengan cara lainnya seperti donasi/rampasan.
5. Investasi jangka panjang dicatat sebesar biaya perolehan termasuk biaya
tambahan lainnya yang terjadi untuk memperoleh kepemilikan yang sah atas
investasi tersebut;
29
6. Aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan, apabila penilaian aset tetap dengan
menggunakan biaya perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap
didasarkan pada nilai wajar pada saat perolehan.
Biaya perolehan aset tetap yang dibangun dengan cara swakelola
(membangun sendiri) meliputi biaya langsung untuk tenaga kerja, bahan baku, dan
biaya tidak langsung termasuk biaya perencanaan dan pengawasan, perlengkapan,
tenaga listrik, sewa peralatan, dan semua biaya lainnya yang terjadi berkenaan
dengan pembangunan aset tetap dapat disusutkan sesuai dengan sifat dan
karakteristik aset tersebut. Sedangkan untuk aset moneter dalam mata uang asing
dijabarkan dan dinyatakan dalam mata uang rupiah. Penjabaran mata uang asing
menggunakan kurs tengah bank sentral pada tanggal neraca.
Kewajiban pemerintah, merupakan utang yang timbul dari peristiwa masa lalu
yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi
pemerintah. Kewajiban terbagi 2 jenis yaitu:
a. Kewajiban Jangka Pendek
Suatu kewajiban diklasifikan sebagai kewajiban jangka pendek jika
diharapkan dibayar dalam waktu 12 bulan setelah tanggal pelaporan. Kewajiban
jangka pendek dapat dikategorikan dengan cara yang sama seperti aset lancar.
Beberapa kewajiban jangka pendek, seperti utang transfer pemerintah atau utang
kepada pegawai merupakan suatu bagian yang akan menyerap aset lancar dalam
tahun pelaporan berikutnya.
30
Kewajiban jangka pendek lainnya bunga pinjaman, utang jangka pendek
dari pihak ketiga, utang perhitungan pihak ketiga, dan bagian lancar utang jangka
panjang.
b. Kewajiban Jangka Panjang, merupakan kewajiban yang diharapkan dibayar
dalam waktu diatas 12 bulan. Suatu entitas pelaporan tetap mengklasifikasi
kewajiban jangka panjangnya, meskipun kewajiban tersebut jatuh tempo dan
untuk diselesaikan dalam waktu 12 bulan setelah tanggal pelaporan jika:
- Jangka waktu aslinya adalah untuk lebih dari 12 bulan;
- Kewajiban tersebut bermaksut di danai kembali (refinancing) sebagai
kewajiban jangka panjang oleh pemberi pinjaman dan didukung dengan adanya
suatu perjanjian atau penjadualan kembali terhadap pembayaran, yang
diselesaikan sebelum laporan keuangan disetujui.
Pengakuan kewajiban dilakukan pada saat dana pinjaman diterima atau pada
saat kewajiban timbul dengan nilai penyelesaian yang dapat diukur dengan andal.
Kewajiban dicatat sebesar nilai nominal dalam rupiah, sementara kewajiban dalam
mata uang asing dijabarkan dan dinyatakan dalam mata uang rupiah dengan kurs
tengah bank sentral pada bagian neraca.
Ekuitas, merupakan kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara
aset dan kewajiban pemerintah pada tanggal laporan. Saldo ekuitas di Neraca
berasal dari saldo akhir ekuitas pada Laporan Perubahan Ekuitas.
Berkaitan dengan jenis-jenis aset, kewajiban dan ekuitas diatas, suatu entitas
dapat menentukan subklasifikasi pos-pos yang disajikan dalam neraca.
31
Pengklasifikasian dilakukan dengan cara yang sesuai dengan operasi entitas yang
bersangkutan.
6. Laporan Arus Kas
Pemerintah pusat dan daerah yang menyusun dan menyajikan laporan
keuangan dengan basis akuntasi akrual wajib menyusun laporan arus kas untuk
setiap periode penyajian laporan keuangan sebagai salah satu komponen laporan
keuangan pokok. Entitas pelaporan tang wajib menyusun dan menyajikan laporan
arus kas adalah unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum atau
unit yang ditetapkan sebagai bendaharawan umum negara/daerah dan/atau kuasa
bendaharawan umum negara/daerah.
Tujuan pelaporan arus kas adalah memberikan informasi mengenai sumber,
penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama suatu periode akuntansi serta
saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. Kas adalah uang baik yang
dipegang secara tunai oleh bendahara maupun yang disimpan pada bank dalam
bentuk tabungan/giro. Sedangkan setara kas pemerintah ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan kas jangka pendek atau untuk tujuan lainnya. Untuk memenuhi
persyaratan setara kas, investasi jangka pendek harus segera dapat diubah menjadi
kas dalam jumlah yang dapat diketahui tanpa ada risiko perubahan nilai yang
signifikan. Oleh karena itu, suatu investasi disebut setara kas kalau investasi
dimaksud mempunyai masa jatuh tempo 3 bulan atau kurang dari tanggal
perolehannya.
Informasi arus kas berguna sebagai indikator jumlah arus kas di masa yang
akan datang, serta berguna untuk menilai kecermatan atas taksiran arus kas yang
32
telah dibuat sebelumnya. Laporan arus kas juga menjadi pertanggungjawaban arus
kas masuk dan arus kas keluar selama periode pelaporan. Apabila dikaitkan dengan
laporan keuangan lainnya, laporan arus kas memberikan informasi yang bermanfaat
bagi para pengguna laporan dalam menngevaluasi perubahan kekayaan
bersih/ekuitas suatu entitas pelaporan dan struktur keuangan pemerintah (termasuk
likuiditas dan solvabilitas).
Laporan arus kas adalah bagian dari laporan finansial yang menyajikan
informasi penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang
diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris.
Satu transaksi tertentu dapat mempengaruhi arus kas dari beberapa aktivitas,
misalnya transaksi pelunasan utang yang terdiri dari pelunasan pokok utang dan
bunga utang. Pembayaran pokok utang akan diklasifikasikan ke dalam aktivitas
pendanaan sedangkan pembayaran bunga utang pada umumnya akan
diklasifikasikan ke dalam aktivitas operasi kecuali bunga yang dikapitalisasi akan
diklasifikasikan ke dalam aktivitas investasi.
7. Catatan Atas Laporan Keuangan
Agar informasi dalam laporan keuangan pemerintah dapat dipahami dan
digunakan oleh pengguna dalam melakukan evaluasi dan menilai
pertangungjawaban keuangan negara diperlukan Catatan atas Laporan Keuangan
(CaLK). CaLK memberikan informasi kualitatif dan mengungkapkan kebijakan
serta menjelaskan kinerja pemerintah dalam tahapan pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, dalam CaLK memberikan penjelasan atas segala informasi yang ada
dalam laporan keuangan lainnya dengan bahasa yang lebih mudah dicerna oleh
33
lebih banyak pengguna laporan keuangan pemerintah, sehingga masyarakat dapat
lebih berpastisipasi dalam menyikapi kondisi keuangan negara yang dilaporkan
secara lebih pragmatis.
Secara umum, struktur CaLK mengungkapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Informasi umum tentang entitas pelaporan dan entitas akuntansi;
2. Informasi tentang kebijakan fiskal/keuangan dan ekonomi makro;
3. Ikhtisar pencapaian target keuangan selama tahun pelaporan berikut kendala
dan hambatan yang dihadapi dalam pencapaian target;
4. Informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan-kebijakan
akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadian-
kejadian penting lainnya;
5. Rincian dan penjelasan masing-masing pos yang disajikan pada laporan
keuangan lainnya, seperti pos-pos pada Laporan Realisasi Anggaran, Laporan
Saldo Anggaran Lebih, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas dan
Neraca.
6. Informasi yang diharuskan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan
yang belum disajikan dalam laporan keuangan lainnya;
7. Informasi lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar, yang tidak
disajikan dalam lembar muka laporan keuangan.
CaLK harus disajikan secara sistematis, setiap pos dalam Laporan Realisasi
Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan
Operrasional, Laporan Arus Kas, dan Laporan Perubahan Ekuitas harus mempunyai
referensi silang dengan informasi terkait dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
34
CaLK meliputi penjelasan atau daftar terinci dan analisis nilai suatu pos
yang disajikan dalam Lapiran Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo
Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, dan Laporan
Perubahan Ekuitas. Termasuk pula dalam CaLK adalah penyajian informasi yang
diharuskan dan dianjurkan oleh Standar Akuntansi Pemerintahan serta
pengungkapan-pengungkapan lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar
atas laporan keuangan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen
lainnya.
Secara umum, susunan CaLK sebagaimana dalam Standar Akuntansi Pemerintahan
disajikan sebagai berikut:
1. Infomasi umum tentang entitas pelaporan dan entitas akuntansi;
2. Kebijakan fiskal/keuangan dan ekonomi makro;
Ikhtisar pencapaian target keuangan berikut hambatan dan kendalanya;
Kebijakan akuntansi yang penting;
Entitas pelaporan;
Basis akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan;
Kesesuaian kebijakan-kebijakan akuntansi yang diterapkan dengan ketentuan-
ketentuan Penyataan Standar Akuntansi Pemerintahan oleh suatu entitas
pelaporan;
Setiap kebijakan akuntansi tertentu yang diperlukan untuk memahami laporan
keuangan.
3. Penjelasan pos-pos Laporan Keuangan
Rincian dan penjelasan masing-masing pos Laporan Keuangan;
35
Pengungkapan informasi yang diharuskan oleh Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan yang belum disajikan dalam lembar muka Laporan Keuangan.
4. Informasi tambahan lainnya yang diperlukan.
6. Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam ketentuan umum pada PP Nomor 58 Tahun 2005, Pengelolaan
Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, pengawasan
daerah. Pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini mengandung beberapa
kepengurusan dimana kepengurusan umum atau yang sering disebut pengurusan
administrasi dan kepengurusan khusus atau juga sering disebut pengurusan
bendaharawan. Dalam pengelolaan anggaran/keuangan daerah harus mengikuti
prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui
bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah (Permendagri No.13 Tahun 2006). Dengan demikian APBD merupakan
alat/wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan
melalui berbagai kegiatan dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya
benar-benar akan dirasakan oleh masyarakat.
36
8. Arti Penting dan Fungsi Anggaran Daerah
Tahapan penganggaran dalam organisasi sektor publik (khususnya
Pemerintah Daerah) merupakan tahapan yang mempunyai arti dan peran penting
dalam siklus perencanaan dan pengendalian. Arti penting anggaran Pemerintah
Daerah (Anggaran Daerah) diantaranya adalah sebagai berikut ini (Mardiasmo,
2004):
1. Anggaran merupakan alat bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan dan
menjamin kesinambungan pembangunan, serta meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang
tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas.
Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya
(scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 tahun 2006 Pasal 15 menjelaskan bahwa
APBD memiliki enam fungsi, yaitu:
1. Fungsi otoritas, bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2. Fungsi perencanaan, bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi pengawasan, bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
37
4. Fungsi alokasi, bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja/menguarangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonmian.
5. Fungsi distribusi, bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
6. Fungsi stabilitasi, bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian
daerah.
Sumber pendapatan/penerimaan daerah terdiri atas:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-
sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang
Republik Indonesia No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah pasal 4 menyatakan bahwa
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan hasil
perusahaan milik daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) yang sah.
Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut mengacu pada UU No.34 tahun
2000 tentang perubahan UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Undang-undang ini sangat membatasi kreativitas daerah
dalam menggali sumber penerimaan aslinya karena hanya menetapkan 6 jenis
pajak yang boleh dipungut oleh kabupaten dan kota. Undang-undang tersebut
38
sudah tidak relevan lagi, karena salah satu syarat terselenggaranya
desentralisasi fiskal adalah kewenangan pemerintah daerah yang cukup longgar
dalam memungut pajak lokal (Landiyanto, 2005).
Rincian PAD adalah sebagai berikut:
a. Pajak Daerah
Berdasarkan PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pengertian pajak
daerah adalah iuran wajib uang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Jenis pajak daerah dibagi menjadi dua yaitu:
1. Pajak provinsi, terdiri atas pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,
bea dibalik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan
bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah dan air permukaan.
2. Pajak kabupaten/kota, terdiri atas pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian
golongan C, pajak parkir.
b. Retribusi Daerah
Berdasarkan PP No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, pengertian
retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
39
Retribusi daerah dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan
oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi
Pelayanan Kebersihan/Persampahan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu
Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan
Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi
Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.
2. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa uyang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya
dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial meliputi:
a. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum
dimanfaatkan secara optimal.
b. Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum memadai disediakan oleh
pihak swasta.
Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah retribusi pemakaian kekayaan daerah,
retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, retribusi tempat pelelangan, retribusi
terminal, retribusi tempat khusus parker, retribusi tempat
penginapan/pesanggrahan/vila, retribusi penyedotan kakus, retribusi rumah potong
hewan, retribusi pelayanan pelabuhan kapal, retribusi tempat rekreasi dan olahraga,
40
retribusi penyeberangan di atas air, retribusi pengolahan limbah cair, retribusi
penjualan produksi usaha daerah.
c. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah
daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, pengunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
d. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah retribusi izin mendirikan
bangunan, retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, retribusi izin
gangguan, retribusi izin trayek.
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan berasal dari deviden dan
penjualan saham milik daerah. Hasil perusahaan milik daerah diperoleh dari
pembagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti PDAM, Bank
Pembangunan Daerah dan PD BPR.
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah, terdiri atas hasil penjualan
kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga,
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi,
potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau jasa oleh
daerah.
2. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
41
Jenis-jenis dana perimbangan terdiri dari:
a. Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
bersumber dari pajak dan sumber daya alam yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil bersumber dari pajak, terdiri atas
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 21.
Sedangkan bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam (SDA), terdiri atas
SDA kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi.
b. Dana Alokasi Umum (DAU), bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah
ditentukan atas besar kecilnya celah fiskla (fiscal gap) suatu daerah, yang
merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah
(fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi
kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya,
daerah yang potensi fisklanya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan
memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut
menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
c. Dana Alokasi Khusus (DAK), untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan
khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
42
prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk
mendorong percepatan pembangunan daerah.
3. Pinjaman Daerah, merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola
secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah
sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu,
pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi
pinjaman daerah yang diatur dalam undang-undang.
Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman
yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui pemerintah
dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar
terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal
dan moneter oleh pemertintah. Di lain pihak, pinjaman daerah tidak hanya
dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan penerimaan.
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah (hibah dan dana darurat), dalam lain-lain
pendapatan selain hibah, pemerintah pusat dapat memberikan dana darurat
kepada daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak
dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Di samping itu, pemerintah juga dapat
memberikan dana darurat pada daerah yang mengalami krisis solvabilitas, yaitu
daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk menghindari
menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, pemerintah dapat
43
memberikan dana darurat kepada daerah tersebut setelah dikonsultasikan
terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Analisis Rasio Keuangan pada APBD
Halim (2007) menjelaskan hasil analisis rasio keuangan pada APBD dapat
digunakan untuk:
a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan
otonomi daerah.
b. Mengukur efisiensi dan efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah,
c. Mengukur sejauh mana aktivitas Pemerintah Daerah dalam membelanjakan
pendapatan daerahnya.
d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan
pendapatan daerah.
e. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran
yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Halim (2002) menyatakan beberapa Rasio Keuangan untuk mengukur
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber
dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan
daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi)
semakin rendah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi
44
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen utama PAD.
Rasio Kemandirian
=Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman x 100%
Tabel 1. Pola hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan
Keuangan
Rasio Kemandirian (%) Pola hubungan
Rendah sekali 0-25 Instruktif
Rendah 25-50 Konsultatif
Sedang 50-75 Partisipatif
Tinggi 75-100 Delegatif
Sumber: Halim (2004 : 189)
Berpatokan pada Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
“Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah”, empat
pola yang diperkenalkan tentang hubungan situasional yang dapat digunakan dalam
pelaksanaan otonomi daerah yang berkaitan dengan tingkat kemandirian daerah
yaitu :
1. Pola hubungan instruktif, yaitu peran Pemerintah Pusat lebih dominan dari pada
kemandirian Pemerintah Daerah.
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai
berkurang, karena daerah telah dianggap mampu melaksanakan otonomi
daerah.
45
3. Pola hubungan partisipatif, yaitu peran Pemerintah Pusat semakin berkurang
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati
mampu melaksanakan otonomi daerah.
4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada
karena daerah telah benar-benar mandiri dalam melaksanakan otonomi daerah.
(Halim, 2004)
b. Rasio Efektifitas dan Efisiensi
Rasio Efektifitas
Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan
dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Rasio Efektifitas = Realisasi Penerimaan PAD
Target PAD x 100%
Tabel 2. Kriteria Penilaian Efektifitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria
>100 % Sangat Efektif
100 % Efektif
90 % - 99 % Cukup Efektif
75 % - 89 % Kurang Efektif
<75 % Tidak Efektif
Sumber: Mahmudi (2010 : 143)
46
Rasio Efisiensi
Rasio ini menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang
diterima. Semakin kecil rasio efisiensi, maka semakin baik kinerja pemerintah
daerah.
Rasio Efisiensi = Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD
Realisasi Penerimaan PAD x 100%
Tabel 3. Kriteria Penilaian Efisiensi Pengelolaan Keuangan Daerah
Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria
<10 % Sangat Efisien
10 % - 20 % Efisien
21 % - 30 % Cukup Efisien
31 % - 40 % Kurang Efisien
> 40 % Tidak Efisien
Sumber: Mahmudi (2010 : 143)
c. Rasio Keserasian
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah/pemerintah kota
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan
secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja
rutin berarti presentase belanja investasi/pembangunan yang digunakan
menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.
Rasio Keserasian = Total Belanja Rutin
Total APBD x 100%
47
d. Rasio Pertumbuhan
Rasio ini mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah/pemerintah kota dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya dengan
diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen penerimaan (PAD dan
total pendapatan) dan pengeluaran (belanja pembangunan).
Rasio Pertumbuhan Pendapatan = Realisasi Penerimaan Pendapatan Xn−Xn−1
Realisasi Penerimaan Pendapatan Xn−1 x 100%
Rasio Pertumbuhan Belanja Modal = Realisasi Belanja Modal Xn−Xn−1
Realisasi Belanja Modal Xn−1 x 100%
Keterangan:
Xn = tahun yang dihitung
𝑋𝑛−1 = tahun sebelumnya
10. Analisis Trend (Trend Analysis)
Munawir (2007) menjelaskan “Trend atau tendensi posisi dan kemajuan
keuangan perusahaan yang dinyatakan dalam prosentase adalah suatu metode atau
teknik analisa untuk mengetahui tendensi dari pada keadaan keuangannya, apakah
menunjukkan tendensi tetap, naik atau bahkan turun”.
Dengan menggunakan teknik analisis tersebut akan diketahui perubahan
mana yang cukup penting untuk dianalisa lebih lanjut. Teknik analisa tersebut
hanya praktis bila digunakan untuk menganalisa dua atau tiga (periode) laporan
keuangan, karena bila laporan keuangan yang diperbandingkan lebih dari tiga tahun
akan ditemui kesulitan.
48
Cara yang terbaik untuk menganalisa laporan keuangan yang lebih dari tiga
tahun tersebut adalah dengan menggunakan angka index, dan semua data laporan
keuangan yang dianalisa dihubungkan dengan angka index tersebut yang
dinyatakan dalam presentase. Dengan menganalisa laporan keuangan untuk jangka
waktu lebih dari tiga tahun akan diketahui kecenderungan atau arah atau trend dari
posisi keuangan ataupun hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan yang
bersangkutan, apakah menunjukkan arah yang tetap, meningkat atau bahkan
menurun.
Teknik analisis ini biasanya digunakan untuk menganalisis laporan
keuangan yang meliputi minimal 3 periode atau lebih. Analisis ini dimaksudkan
untuk mengetahui perkembangan perusahaan melalui tentang perjalanan waktu
yang sudah lalu dan memprediksi situasi masa itu ke masa yang akan datang.
Perhitungan Trend
Hasil perhitungan trend dapat ditunjukkan dalam bentuk presentase atau indeks.
Munawir (2007) menyatakan ada beberapa langkah untuk melakukan analisis trend,
sebagai berikut:
1. Menentukan tahun dasar, biasanya data atau laporan keuangan dari tahun yang
paling awal dalam deretan laporan keuangan yang dianalisa tersebut dianggap
sebagai tahun dasar (base year).
2. Tiap-tiap pos yang terdapat dalam laporan keuangan yang dipilih sebagai tahun
dasar diberikan angka indeks 100.
49
3. Menghitung angka indeks tahun-tahun lainnya dengan menggunakan angka pos
laporan keuangan tahun dasar sebagai penyebut.
Rumus Analisa Trend
Jumlah tahun X – Jumlah tahun X-1
Keterangan : Fluktuasi = Jumlah PAD Tahun yang di hitung – Jumlah PAD
Tahun sebelumnya
Fluktuasi (Rp)X
Jumlah tahun X−1 x 100%
Keterangan :
% Fluktuasi = 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑃𝐴𝐷 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎
Jumlah PAD Tahun sebelumnya x 100%
Jumlah tahun X
Jumlah tahun X−1x 100%
Keterangan : Pertumbuhan = Jumlah PAD Tahun yang di hitung
Jumlah PAD Tahun sebelumnya x 100%