bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 1. … · tingkat kesiapan atau kematangan para...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1. Kajian Pustaka
1.1. Teori Kepemimpinan Situasional
Teori ini menjelaskan bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi atau
luwes pada pemimpin untuk menyesuaikan diri pada tuntutan situasi, lingkungan
sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan tersebut harus dijadikan tantangan untuk
diatasi, maka pemimpin itu harus menyelesaikan masalah-masalah yang aktual,
sebab permasalahan-permasalahan hidup yang penuh pergolakkan, selalu akan
memunculkan tipe kepemimpinan yang relevan bagi masanya (Sulton, 2013).
Kebutuhan untuk memahami kepemimpinan yang dipertautkan dengan
situasi tertentu merupakan hakikat dari kepemimpinan situasional. Kepemimpinan
situasional adalah didasarkan pada saling berhubungannya di antara hal-hal
berikut ini (Hersey dan Blanchard, 1988 dalam Syunutrihantoyo, 2014); (1)
tingkat bimbingan dan perilaku tugas yang diberikan oleh pimpinan; (2) jumlah
dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang diberikan oleh pimpinan; (3)
tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukan dalam
melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu. Perilaku tugas yang
dimaksud adalah kadar sejauh mana pemimpin menyediakan arahan kepada
bawahannya, misalnya; memberikan ketentuan yang harus dilakukan, kapan
melakukannya, dimana dan bagaimana melakukannya, sedangkan perilaku
hubungan adalah kadar sejauhmana pemimpin melakukan hubungan dua arah
dengan pengikutnya (para karyawan atau anggota, dalam hal ini misalnya, adanya;
1
dukungan yang diberikan pada bawahan untuk menyelesaikan tugas, menciptakan
suasana kompak dan saling membawahi.
Kepemimpinan akan berjalan dengan baik dan benar ketika orang yang
memiliki kepemimpinan memiliki niatan yang baik pula. Niat yang baik adalah
ketika orang memiliki prinsip yang kuat pada kecerdasan spiritualnya. Pemimpin
pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan
segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa
kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan
moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri menolak
ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan (Agustian, 2000).
Teori kepemimpinan situasional ini mampu untuk memengaruhi pimpinan
dalam tim audit kepada bawahannya dalam memberikan ketentuan pengauditan
yang harus dilakukan, kapan melakukannya, dimana dan bagaimana
melakukannya. Dengan begitu auditor akan dapat menyesuaikan diri pada
tuntutan situasi, lingkungan sekitar sehingga dapat menyelesaikan suatu
permasalahan dengan baik yang akan memengaruhi kinerja auditor.
1.2. Teori Sikap dan Perilaku (Theory of Attitude and Behavior)
Teori sikap dan perilaku yang dikembangkan oleh Triandis (1980),
menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh sikap yang terkait dengan
apa yang orang-orang ingin lakukan serta terdiri dari keyakinan tentang
konsekuensi dari melakukan perilaku, aturan-aturan sosial yang terkait dengan apa
yang mereka pikirkan akan mereka, dan kebiasaan yang terkait dengan apa yang
mereka biasa lakukan (Chandra dan Ramantha, 2013).
2
Dengan mengetahui sikap pada diri seseorang maka akan dapat diduga respon
atau perilaku yang akan diambil oleh seseorang terhadap masalah atau keadaan
yang dihadapi. Pembentukan atau perubahan sikap ditentukan oleh dua faktor
pokok, yaitu faktor individu (faktor dalam) dan faktor luar. Faktor individu adalah
faktor yang berhubungan dengan respon individu menanggapi dunia luar secara
selektif. Sedangkan faktor luar adalah faktor yang berhubungan dengan hal-hal
atau keadaan dari luar yang merupakan rangsangan atau stimulus untuk
membentuk atau mengubah sikap (Maryani dan Ludigdo, 2000 dalam Hidayat, 2011).
Teori sikap dan perilaku mampu mempengaruhi auditor untuk mengelola
faktor personalnya sehingga mampu bertindak jujur, tidak memihak pada suatu
kepentingan tertentu, berpikir rasional, bertahan meskipun dalam keadaan
tertekan, berperilaku etis dengan senantiasa mengindahkan norma-norma profesi
dan norma moral yang berlaku yang nantinya akan mempengaruhi auditor dalam
mengambil opini yang sesuai (Chandra dan Ramantha, 2013).
1.3. Auditing
Mulyadi (2002) menyatakan auditing adalah suatu proses sistematik untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-
pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk
menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan
kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai
yang berkepentingan.
Tujuan auditing pada umumnya adalah memberikan suatu pernyataan
pendapat mengenai apakah laporan keuangan klien telah disajikan secara wajar,
3
dalam segala hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Auditor bekerja dengan cara menarik sebuah kesimpulan dari suatu proses
auditing. Berkualitas atau tidaknya hasil pekerjaan auditor akan mempengaruhi
kesimpulan akhir auditor dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi
tepat atau tidaknya keputusan yang akan diambil oleh pihak luar perusahaan
(Hidayat, 2011)
2.1.4 Jenis-jenis Auditor
Auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis menurut Yusup (2010: 17),
yaitu sebagai berikut:
1) Auditor Pemerintah
Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas
keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Di Indonesia auditor
pemerintah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Auditor eksternal pemerintah yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang-undang
Dasar 1945 yang berbunyi “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang
pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
b) Auditor internal pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai Aparat
Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) yang dilaksanakan oleh
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat
Jenderal Departemen/LPND, dan Badan Pengawasan Daerah.
4
2) Auditor Internal
Auditor internal adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh
karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas utama
auditor internal ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat di
mana ia bekerja. Auditor internal berkewajiban memberi informasi kepada
manajemen yang berguna untuk pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan efektifitas perusahaan.
3) Auditor Independen atau Akuntan Publik
Tugas utama auditor independen atau akuntan publik adalah melakukan
fungsi pengaudian atas laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan.
Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan terbuka yaitu
perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal,
perusahaan-perusahaan besar, dan juga pada perusahaan-perusahaan kecil,
serta organisasi-organisasi nirlaba. Praktik sebagai akuntan publik harus
dilakukan melalui suatu KAP yang telah mendapat ijin dari Departemen
Keuangan.
2.1.5 Akuntan Publik
Akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari menteri
keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 443/KMK.01/2011. Berdasarkan PSA No. 02 seksi 110, akuntan publik
mempunyai tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk
memperoleh keyakinan memadai (reasonable assurance) tentang apakah laporan
5
keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan
atau kecurangan. Akuntan publik tidak bertanggung jawab untuk merencanakan
dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi,
baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material
terhadap laporan keuangan. Akuntan publik juga bertanggung jawab untuk
menyatakan pendapat atas laporan keuangan.
Menurut Febrianty (2012), terdapat empat tingkatan atau level jabatan
yang dapat diemban akuntan publik dalam KAP. Masing-masing level memiliki
tugas dan wewenang yang berbeda, yaitu seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Tingkatan Staf dan Tanggung Jawab Pekerjaan Akuntan Publik
Tingkatan Staf Masa kerja Tanggung Jawab Pekerjaan
Junior Auditor atau Staff Assistant
0-2 tahun Mengerjakan sebagian besar pekerjaan audit detail.
Senior atau Incharge Auditor
2-5 tahun Mengkoordinasikan dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan lapangan audit termasuk supervisor dan memeriksa pekerjaan.
Manajer 5-10 tahun Membantu dalam merencanakan dan mengatur audit, memeriksa pekerjaan senior dan mengukur hubungan dengan klien. Manajer juga mungkin bertanggung jawab untuk lebih dari satu kesepakatan pada saat yang sama.
Partner 10 tahun ke atas
Memerika pekerjaan audit keseluruhan dan terlibat dalam keputusan audit yang signifikan. Partner adalah pemilik perusahaan oleh karenanya bertanggung jawab juga atas pelaksanaan audit dan pemberian pelayanan terhadap klien.
6
1.6. Kecerdasan Emosional
Agustian (2003) menyatakan kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri untuk
tetap dapat mengambil keputusan dengan tenang. Bambang (2010) mengatakan
dalam mengendalikan emosi adalah ramuan menuju kecemerlangan. Orang yang
emosinya paling terkendali akan paling disegani dan dihormati begitu pula
sebaliknya. Itulah sebabnya dikatakan oleh para peneliti tentang orang-orang
sukses bahwa 80 persen kesuksesan datangnya dari kemampuan mengendalikan
emosi, dan 20 persen ditentukan oleh kemampuan intelektual serta yang lainnya.
Goleman (2006: 43) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi
diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain. Mayer (2004:10) bahwa kecerdasan emosi
merupakan faktor yang sama pentingnya dengan kombinasi kemampuan teknis
dan analisis untuk menghasilkan kinerja yang optimal.
Rachmi (2010: 61) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosinya.
Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang
tersembunyi dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan
emosional akan menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh
tentang diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk
7
belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari.
Goleman (2006: 75) membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian
yaitu tiga komponen berupa kompetensi emosional (pengenalan diri, pengendalian
diri dan motivasi) dan dua komponen berupa kompetensi sosial (empati dan
keterampilan sosial). Lima komponen kecerdasan emosional tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Pengenalan Diri (Self Awareness)
Pengenalan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan
dalam dirinya dan digunakan untuk membuat keputusan bagi diri sendiri,
memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan memiliki
kepercayaan diri yang kuat. Unsur-unsur kesadaran diri, yaitu kesadaran
emosi, penilaian diri, dan percaya diri.
2) Pengendalian Diri (Self Regulation)
Pengendalian diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga
berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu segera
pulih dari tekanan emosi. Unsur-unsur pengendalian diri, yaitu kendali diri,
sifat dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.
3) Motivasi (Motivation)
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat dapat
membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih
8
baik, serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif. Unsur-
unsur motivasi, yaitu dorongan prestasi, komitmen, inisiatif, dan optimisme.
4) Empati (Emphaty)
Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Mampu memahami perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling
percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu.
Unsur-unsur empati, yaitu memahami orang lain, mengembangkan orang lain,
orientasi pelayanan, memanfaatkan keragaman, dan kesadaran politis.
5) Keterampilan Sosial (Social Skills)
Keterampilan Sosial adalah kemampuan menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, dan bekerjasama dalam tim.
Unsur-unsur keterampilan sosial, yaitu pengaruh, komunikasi, manajemen
konflik, kepemimpinan, membangun hubungan, kolaborasi dan kooperasi,
dan kemampuan tim.
1.7. Kecerdasan Spiritual
Wahab dan Umiarso (2011: 52) menyatakan kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang sudah ada dalam setiap manusia sejak lahir yang membuat
manusia menjalani hidup penuh makna, selalu mendengarkan suara hati
nuraninya, tak pernah merasa sia-sia, semua yang dijalaninya selalu bernilai.
Kecerdasan spiritual merupakan perasaan terhubungkan dengan diri
sendiri, orang lain dan alam semesta secara utuh kecerdasan spritual yang dimiliki
setiap orang tidaklah sama. Hal tersebut tergantung dari masing-masing pribadi
9
orang tersebut dalam memberikan makna pada hidupnya. Kecerdasan spiritual
lebih bersifat luas dan tidak terbatas pada agama saja. Perbedaan yang dimiliki
masing-masing individu akan membuat kinerja yang mereka capai pun berbeda
pula (Idrus, 2002 dalam Choiriah, 2013).
Sinetar (2000) menyatakan kecerdasan spiritual sebagai pikiran yang
mendapat inspirasi, dorongan, efektivitas yang terinspirasi dan penghayatan
ketuhanan yang semua manusia menjadi bagian didalamnya. Kecerdasan spiritual
adalah kemampuan manusia untuk menghayati keterhubungan dirinya dengan
kekuatan tak terbatas (Tuhan), serta menyadari tingkat kebermaknaan hidup dan
sifat-sifat keilahian yang ada di dalam diri manusia (Suadnyana, 2015).
Zohar dan Marshall (2007: 14) menguji kecerdasan spiritual dengan hal-hal
berikut:
1) Kemampuan bersikap fleksibel yaitu mampu menempatkan diri dan dapat
menerima pendapat orang lain secara terbuka.
2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi seperti: kemampuan autocritism dan
mengetahui tujuan dan visi hidup.
3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan seperti:
tidak ada penyesalan, tetap tersenyum dan bersikap tenang dan berdoa.
4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit seperti: bersikap
ikhlas dan pemaaf.
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai seperti: prinsip dan
pegangan hidup dan berpijak pada kebenaran.
10
6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu seperti: tidak
menunda pekerjaan dan berpikir sebelum bertindak.
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal yaitu
berpandangan holistik seperti: kemampuan berfikir logis dan berlaku sesuai
norma sosial.
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya mengapa atau bagaimana jika untuk
mencari jawaban-jawaban yang mendasar seperti: kemampuan berimajinasi
dan keingintahuan yang tinggi.
9) Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri yaitu
memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi, seperti: mau memberi
dan tidak mau menerima.
1.8. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual sering juga disebut inteligensi, yang berarti
kemampuan kognitif yang dimiliki suatu organisme untuk menyesuaikan diri
secara efektif pada lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta
dipengaruhi oleh faktor genetik (Galton, dalam Trihandini, 2005). Eysenck (1981)
menyatakan bahwa seorang pekerja yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi
diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan mereka
yang memiliki tingkat intelegensi lebih rendah.
Trihandini (2005: 17) menyatakan kemampuan kognitif secara global yang
dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara
bermakna sehingga dapat memecahkan masalah. Dwijayanti (2009: 24)
menyebutkan kecerdasan intelektual sebagai suatu kemampuan yang terdiri dari
11
tiga ciri yaitu: (a) Kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan
tindakan; (b) Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan itu telah
dilakukan; (c) Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.
Kecerdasan intelektual merupakan suatu keharusan yang wajib dimiliki oleh
seorang auditor dalam melaksanakan tugas profesional yang dibebankan kepadanya,
karena tugas tersebut merupakan suatu tugas yang menuntut daya analisis tinggi serta
proses berpikir rasional dalam pemecahan masalah yang mungkin ditemui dalam setiap
penugasan yang mereka terima (Choiriah, 2013).
Robins dan Judge (2008: 57) mengatakan kecerdasan intelektual adalah
kemampuan yang di butuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental
berpikir, menalar dan memecahkan masalah. Kecerdasan intelektual menurut
Sternberg (2008: 121) adalah sebagai kemampuan untuk belajar dari pengalaman,
berfikir menggunakan proses-proses metakognitif, dan kemampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kecerdasan intelektual merupakan
kemampuan menganalisis, logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, hal ini
berkaitan dengan keterampilan bicara, kecerdasan akan ruang, kesadaran akan
sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. Kecerdasan intelektual
mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian
pada aneka tugas dan latihan, menyimpan dan mengingat kembali informasi
objektif, terlibat dalam proses berfikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak dan
analitis, serta memecahkan masalah dan menerapkan pengetahuan yang telah ada
sebelumnya (Anastasi, 2007: 220).
Dalam penelitian ini kecerdasan intelektual diukur dengan dimensi dan
indikator sebagai berikut (Azwar, 2008: 8):
12
1) Kemampuan memecahkan masalah, yaitu mampu menunjukkan
pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi, mengambil keputusan tepat,
menyelesaikan masalah secara optimal, menunjukkan fikiran jernih.
2) Intelegensi verbal, yaitu kosa kata baik, membaca dengan penuh
pemahaman, ingin tahu sacara intelektual, menunjukkan keingintahuan.
3) Intelegensi praktis, yaitu tahu situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar
terhadap dunia sekeliling, menunjukkan minat terhadap dunia luar.
1.9. Independensi
Independensi diartikan sebagai sikap mental yang bebas dari pengaruh,
tidak dikendalikan dari pihak lain dan tidak tergantung pada orang lain, yang
berarti ada kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan
adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam merumuskan dan
menyatakan pendapatnya (Ningrum, 2012).
Dalam SPA 220 butir 11 menjelaskan bahwa rekan perikatan harus
memiliki kesimpulan atas kepatuhan terhadap ketentuan independensi yang
berlaku dalam perikatan audit. Dalam melakukan hal tersebut, rekan perikatan
harus:
1) Memperoleh informasi yang relevan dari firm dan, jika relevan, firm
jejaring, untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kondisi dan hubungan
yang menciptakan ancaman terhadap independensi
2) Mengevaluasi informasi tentang pelanggaran yang teridentifikasi, jika
ada, terhadap kebijakan dan prosedur independensi firm untuk menentukan
13
apakah pelanggaran tersebut menciptakan ancaman terhadap independensi
bagi perikatan audit; dan
3) Melakukan tindakan yang tepat untuk menghilangkan ancaman atau
menguranginya ke tingkat yang dapat diterima dengan menerapkan
pencegahan, atau apabila dipandang tepat, menarik diri dari perikatan audit,
ketika penarikan diri tersebut dimungkinkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Rekan perikatan harus melaporkan dengan segera
kepada firm setiap ketidakmampuan dalam menyelesaikan hal tersebut agar
dapat dilakukan tindakan yang tepat.
Independensi adalah auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya pada
manajemen perusahaan dan pemilik perusahaan, tetapi juga pada kreditur dan
pihak lain yang meletakkan kepercayaannya kepada mereka (Kharismatuti, 2012).
Jika seorang auditor tidak independen yaitu tidak jujur, maka opini yang ia
terbitkan tidak akan memberikan tambahan apapun. Auditor secara intelektual
harus jujur, bebas dari kewajiban terhadap klien, baik manajemen maupun pemilik
perusahaan (Arumsari, 2014).
Aspek independensi ada tiga, yaitu (Arumsari, 2014):
1) Independensi sikap mental, yang ditentukan oleh pikiran akuntan publik
untuk bertindak dan bersikap independen.
2) Independensi penampilan, yaitu ditentukan oleh kesan masyarakat
terhadap independensi akuntan publik.
14
3) Independensi dari sudut keahlian, yaitu mempertimbangkan fakta dengan
baik yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan jika ia memiliki
keahlian dari hal tersebut.
Komponen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan instrumen
yang dikembangkan oleh Mautz dan Sharaf (1961) dalam Arifah (2012) yaitu:
1) Independensi dalam program audit
a) Bebas dari intervensi manajerial atas program audit
b) Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit
c) Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang
disyaratkan untuk sebuah proses audit
2) Independensi dalam verifikasi
a) Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva
dan karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan
b) Bebas dari segala manajerial yang berusaha membatasi
aktivitas yang diperiksa atau membatasi perolehan bahan bukti
c) Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat
verifikasi audit
3) Independensi dalam pelaporan
a) Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak dari fakta
yang dilaporkan
b) Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang
signifikan dalam laporan audit
15
c) Menghindari menggunakan kata-kata yang meyesatkan
baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam melakukan fakta, opini
dan rekomendasi
d) Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan
auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit
1.10. Kinerja Auditor
Kinerja atau kualitas hasil kerja adalah hasil kerja individu secara
keseluruhan yang dicapai seseorang dengan menjalankan aktivitasnya pada kurun
waktu tertentu (Widyasari, 2011). Kinerja juga merupakan hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan padanya (Arumsari, 2014).
Trisnaningsih (2007) mengatakan secara etimologis, kinerja berasal dari
kata prestasi kerja (performance). Istilah kinerja sendiri berasal dari kata job
performance yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab
yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005: 67).
Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja
organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Sedangkan
kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok
(Arumsari, 2014). Lebih lanjut dalam penelitiannya, Arumsari (2014) menyatakan
bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk
16
menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang
diberikan oleh organisasi pada periode tertentu.
Dalam hal pengertian kinerja auditor, Arumsari (2014) menjelaskan bahwa
kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan yang telah diselesaikan oleh
auditor dalam kurun waktu tertentu. Dijelaskan dalam penelitian ini kinerja
auditor merupakan auditor yang melaksanakan penugasan auditing secara obyektif
atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk
menentukan apakah laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan semua hal yang material, posisi
keuangan dan hasil usaha perusahaan. Kinerja auditor sebagai evaluasi terhadap
pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan
langsung.
Sulton (2013) menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi atas
kinerja, maka ada beberapa pihak baik itu perorangan ataupun kelompok yang
biasanya melakukan penilaian atas kinerja auditor. Ada lima pihak yang dapat
melakukan penilaian atas kinerja auditor, yaitu:
1) Atasan langsung
Semua evaluasi kinerja pada tingkat bawah dan menengah dari organisasi
dijalankan oleh atasan langsung adutitor yang memberikan pekerjaan dan
paling tahu kinerja auditornya.
2) Rekan sekerja
Penilaian melalui rekan sekerja dilaksanakan dengan pertimbangan. Pertama,
rekan sekerja dekat dengan tindakan. Interaksi sehari-hari memberikan
17
kepada auditor pandangan menyeluruh terhadap kinerja seorang auditor
dalam pekerjaan. Kedua, dengan menggunakan rekan sekerja sebagai
penilaian menghasilkan sejumlah penilaian yang independen.
3) Evaluasi diri
Hal ini cenderung mengurangi kedefensifan para auditor mengenai proses
penilaian dan evaluasi ini merupakan sarana yang unggul untuk merangsang
pembahasan kinerja auditor dan atasan auditor.
4) Bawahan langsung
Penilaian kinerja auditor oleh bawahan langsung dapat memberikan informasi
yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang atasan karena lazimnya
penilai mempunyai kontak yang serng dengan yang dinilai.
5) Pendekatan menyeluruh
Penilaian kinerja auditor dilakukan oleh atasan, pelanggan, rekan sekerja, dan
bawahan. Penilaian ini cocok di dalam organisasi yang memperkenalkan tim.
Variabel penelitian ini diukur dengan menggunakan instrumen yang
dikembangkan oleh Larkin (1990) dalam Arifah (2012) yang telah direplikasi oleh
Tirsnaningsih (2004) yaitu:
1) Kemampuan
Seorang auditor yang memiliki kemampuan dalam mengaudit maka akan
cakap dalam menyelesaikan pekerjaannya.
2) Komitmen Profesi
Auditor dengan komitmen professional yang kuat berdampak pada perilaku
yang lebih mengarah kepada ketaatan aturan, dibandingkan dengan auditor
18
yang komitmen operasionalnya rendah. Komitmen juga dapat berkaitan
dengan loyalitas dengan profesinya.
3) Motivasi
Motivasi yang dimiliki seorang auditor akan mendorong keinginan individu
auditor tersebut untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai
suatu tujuan.
4) Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja auditor dapat diartikan sebagai tingkatan kepuasan individu.
2. Hipotesis Penelitian
2.1. Pengaruh Kecerdasan Emosional pada Kinerja Auditor
Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu.
Dalam perilaku organisasi, pemahaman atas sikap itu penting, karena sikap akan
mempengaruhi kerja. Sikap memberikan dasar emosional bagi hubungan
interpersonal seseorang dan pengabdiannya (Mutia, 2013).
Secara khusus auditor membutuhkan kecerdasan emosional yang tinggi
karena dalam lingkungan kerjanya auditor akan berinteraksi dengan orang banyak
baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Kecerdasan emosional berperan
penting dalam membentuk moral disiplin auditor. Dalam dunia kerja auditor,
berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi seperti persaingan yang
ketat. Tuntutan tugas, suasana kerja yang tidak nyaman dan masalah hubungan
dengan orang lain (Choiriah, 2013).
19
Jika seseorang dapat mengontrol emosinya dengan baik maka akan dapat
menghasilkan kinerja yang baik pula. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
oleh (Mayer, 2004) bahwa kecerdasan emosi merupakan faktor yang sama
pentingnya dengan kombinasi kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan
kinerja yang optimal.
Suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh, Chandra dan Ramantha
(2013) dan Sukmawati, dkk (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
berpengaruh positif terhadap opini auditor. Fabiola (2005) dan Apriyanti 2014)
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja
auditor.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis mengenai hubungan
kecerdasan emosional pada kinerja auditor adalah:
H1: Kecerdasan emosional berpengaruh positif pada kinerja auditor.
2.2. Pengaruh Kecerdasan Spiritual pada Kinerja Auditor
Sikap adalah keadaan dalam diri manusia yang menggerakan untuk
bertindak, menyertai manusia dengan perasaan-perasaan tertentu dalam
menanggapi objek yang terbentuk atas dasar pengalaman-pengalaman. Sikap pada
diri seseorang akan menjadi corak atau warna pada tingkah laku orang tersebut
(Maryani dan Ludigo 2000 dalam Hidayat, 2011). Kepemimpinan akan berjalan
dengan baik dan benar ketika orang yang memiliki kepemimpinan memiliki niatan
yang baik pula. Niat yang baik adalah ketika orang memiliki prinsip yang kuat
pada kecerdasan spiritualnya.
20
Seorang auditor dapat menunjukkan kinerja yang optimal apabila ia sendiri
mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan seluruh potensi dirinya. Hal
tersebut akan dapat muncul apabila seseorang dapat memaknai setiap
pekerjaannya dan dapat menyelaraskan antara emosi, perasaan dan otak.
Kecerdasan spiritual mengajarkan orang untuk mengekspresikan dan memberi
makna pada setiap tindakannya, sehingga bila ingin menampilkan kinerja yang
baik, maka dibutuhkan kecerdasan spiritual (Fabiola, 2005). Apabila auditor
mempunyai kecerdasan spiritual yang tepat, skandal dan manipulasi tindakan
yang dilakukan oleh auditor tidak akan terjadi (Hanafi, 2010).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Trihandini (2005: 72), Choiriah
(2013) dan Fabiola (2005) menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh
positif terhadap kinerja auditor.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis mengenai hubungan
kecerdasan spiritual pada kinerja auditor adalah:
H2: Kecerdasan spiritual berpengaruh positif pada kinerja auditor.
2.3. Pengaruh Kecerdasan Intelektual pada Kinerja Auditor
Seorang auditor diharapkan mampu menghilangkan kecurangan terhadap
laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen sehingga tidak ada yang
dirugikan. Fungsi auditor ialah sebagai pihak yang memberikan kepastian
terhadap integritas angka-angka akuntansi yang dihasilkan oleh teknologi
akuntansi auditee yang kemudian angka-angka tersebut digunakan sebagai dasar
untuk pembuatan kontrak antara prinsipal dan agen (Nariya, 2012).
21
Jika seorang auditor memiliki kecerdasan intelektual yang baik, maka
mereka akan mampu memahami dan menjalankan tugasnya dengan sangat baik,
dan implikasinya kinerja mereka akan baik. Tugas yang dihadapi oleh seorang
auditor merupakan suatu tugas yang menuntut auditor untuk memiliki analisis dan
proses berfikir rasional juga melibatkan kemampuan mental untuk menarik
sebuah kesimpulan (Choiriah, 2013).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Chandra dan Ramantha (2013) dan
Sukmawati, dkk (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual berpengaruh
positif terhadap opini auditor. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Choiriah
(2013) menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual berpengaruh positif terhadap
kinerja auditor.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis mengenai hubungan
kecerdasan intelektual pada kinerja auditor adalah:
H3: Kecerdasan intelektual berpengaruh positif pada kinerja auditor.
2.4. Pengaruh Independensi pada Kinerja Auditor
Dengan memiliki kepemimpinan situasional, akuntan publik tidak
dibenarkan memihak kepentingan siapapun dalam suatu kondisi apapun. Akuntan
publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada prinsipal dan agen, namun
juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan
akuntan publik (Nariya, 2012).
Arumsari (2014) menyatakan bahwa auditor yang mempertahankan
obyektivitas, akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan dan permintaan pihak
tertentu atau kepentingan pribadinya. Auditor yang memegang teguh
22
independensinya, tidak akan terpengaruh oleh berbagai tekanan yang berasal dari
luar diri auditor dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan. Dari
hal tersebut dapat diketahui bahwa independensi dapat mempengaruhi kinerja
seorang auditor dalam mengolah kecerdasan emosionalnya dalam melaksanakan
tugasnya.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sukmawati, dkk (2014), Arifah
(2012), dan Arumsari (2014) memberikan hasil penelitian mengenai pengaruh
independensi pada kinerja auditor, dimana independensi dinyatakan berpengaruh
positif pada kinerja auditor.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis mengenai hubungan
independensi pada kinerja auditor adalah:
H4 : Independensi berpengaruh positif pada kinerja auditor.
23