bab ii kajian pustaka a. penelitian terdahulu tabel 1.3...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilaksanakan tidak lepas dari hasil penelitian yang sudah ada
sebelumnya sebagai pertanda dan kajian dalam menulis penelitian ini.adapun
penelitian yang dijadikan perbandingan yang tidak lepas dari topik penelitian
yaitu tentang keberfungsian sosial penyandang cacat, antara lain:
Tabel 1.3
Data Penelitian terdahulu
Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Andi Majid (2014) Peningkatan
Keberfungsian Sosial
Penyandang
Tunagrahita (Kajian
Terhadap Pelaksanaan
Program Rehabilitasi
Sosial Di Panti Sosial
Bina Grahita (PSBG)
Ciungwanara,
Cibinong Bogor)
Penelitian ini dilakukan pada
20 informan yang sesuai
dengan tujuan penelitian, dari
hasil penelitiannya bahwa
peningkatan keberfungsian
sosial tunagrahita cukup baik
namun belum mencapai
optimal.
Mochamad Shodiq
(2006)
Problema Kehidupan
Penyandang Cacat
Netra Di Malang
Subjek penelitian ini adalah
penyandang cacat netra yang
bekerja di sejumlah pasar di
Kota Malang hasil
penelitiannya bahwa para
pekerja cacat netra adalah
rata-rata mereka masih
kurang untuk dapat
memenuhi kebutuhan pokok
atau kebutuhan lainnya
dengan membuka usaha
sampingan.
Sumber: data diolah (2017)
Secara garis besar kedua peneliti diatas dan penelitian yang akan
dilakukan sama yakni meneliti tentang penyandang tuna netra. Perbedaan
11
terletak pada fokus penelitian masing-masing.Peneliti sebelumnya meneliti
tentang keberfungsian sosial yang berada di lembaga dan yang selanjutnya
fokus pada kehidupan penyandang tuna netra.Penelitian kali ini di fokuskan
keberfungsian sosial penyadandang tuna netra dalam kehidupan
bermasyarakat yaitu bagaimana seseorang untuk dapat berfungsi sosial di
masyarakat dari mulai memenuhi kebutuhan pokoknya, adaptasi,
menjalankan perannya, dan bagaimana seseorang mengatasi masalahnya.
B. Konsep Keberfungsian Sosial
1. Definisi keberfungsian sosial
Kata fungsi berasal dari bahasa latinFunctus yang secara harfiah:
untuk melakukan atau untuk beroperasi. Menurut Tyrer dan Casey (1993)
dalam psikiatri fungsi sosial didefinisikan sebagai, “tingkat dimana suatu
fungsi individu dalam konteks sosial-nya, fungsi tersebut berkisar antara
pelestarian diri dan ketrampilan hidup dasar bagi hubungan dengan orang
lain dalam masyarakat”. Dalam Konferensi Dunia di Montreal Kanada,
Juli tahun 2000, Internasional Federation of Social Workers (IFSW) (Tan
dan Envall,2005) dikutip (Suharto,2010) mendefinisikan pekerjaan sosial
sebagai berikut:
“the social work profession promotes problem solving in human
relationships, social change, empowerment and liberation of people,
and the enhancement of society, utilizing theories of human behavior
and social systems, social work intervenes at the points where people
interact with their environments. Principles of human rights and
social justice are fundamental to social work”
Selanjutnya dikemukakan Charles Zastrow, dalam bukunya Introduction to
social work and social welfare, tenth edition menyebutkan bahwa:
12
“social work is the professional activity of helping individuals,
groups, or communities to enchance or restore their capacity for
social functioning and to their goals”
Keberfungsian sosial menurut Morales dan Sheafor (Fachrudin, 2012)
bahwa:
“social functioning is a helpful concept because it takes into
consideration both the environment. It suggests thay a person brings
to the situation a set of behaviors, needs, and belief that are the result
of his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that
whatever is brough to the situation must be transaction between the
personand the parts of that person’s world that tge quality of life can
be enhanced or damaged”
Konsep keberfungsian sosial tidak lepas dari karakteristik orang dalam
konteks lingkungan sosial dikutip (Fahruddin,2012) Siporin
mengemukakan bahwa:
“social functioning refers to the way indivuals or collectivities
(families, associations, communities, and so on) behave in order to
carry out their life task and meet their needs”
Keberfungsian sosial menunjuk pada cara-cara individu-individu
maupun kolektivitas dalam rangka melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya.Oleh karena itu
keberfungsian seseorang selalu berkaitan dengan peranan-peranan
sosialnya.
Keberfungsian sosial dapat pula diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang
dianggap penting dalam menampilkan beberapa peranan yang diharapkan
atau yang seyogianya ditamplkan oleh setiap orang karena keanggotannya
dalam kelompok-kelompok sosial.
Fokus utama pekerjaan sosial adalah meningkatkan keberfungsian sosial
(social fuctioning) melalui intervensi yang bertujuan atau bermakna.
13
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi pekerjaan sosial.Ia
merupakan pembeda antara pekerjaan sosial dan profesi lainnya.
“social functioning to be a central purpose of social work and
intervention was seen as the enchancement of social functioning”
begitu kata Skidmore, Thackeray, dan Farley (Suharto,2007).
Keberfungsian sosial merupakan resultan dari interaksi individu dengan
berbagai sistem sosial di masyarakat, seperti sistem pendidikan, sistem
keagamaan, sistem keluarga, sistem politik, sistem pelayanan sosial dst.
Suharto dkk mendefinisikan keberfungsian sosial sebagai kemampuan
orang (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) dan sistem sosial
(lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi dan merespon kebutuhan
dasar, menjalankan peranan sosial serta menghadapi goncangan dan
tekanam (shock and stress).
2. Indikator Keberfungsian Sosial
Keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarga, serta dalam
memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.bahwa manusia adalah
subyek dari segala aktivitas kehidupannya. Bahwa manusia memiliki
kemampuan dan potensi yang dapat terus dikembangkan.Bahwa manusia
dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-
sumber yang ada di sekitar dirinya.
Keberfungsian sosial individu dalam situasi ini seringkali
tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan
sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan ekonomi,
tempat tinggal dan bantuan mendesak lainnya.Seharusnya konsep
14
keberfungsian sosial lebih menekankan pada “apa yang dimiliki individu”,
ketimbang “apa yang tidak dimiliki individu”. (Suharto,2002).
Penjelasan diatas dapat disimpulkan dan menjadi fokus peneliti dalam
memberikan klasifikasi keberfungsian sosial yaitu:
(a) Mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, bagaimana cara penyandang
tuna netra dalam memenuhi kebutuhan mulai dari gaji, pekerjaan serta
segala hal-hal yang menganggu dalam memenuhi kebutuhan dirinya.
(b) Mampu menjalin interaksi sosial bagaimana cara untuk bisa
membangun komunikasi kembali setelah menjadi tuna netra, dan segala
sesuatu mengenai mobilitas, kepercayaan diri penyandang tuna netra
dalam beradaptasi di lingkungan
(c) Mampu menjalankan peranan sosialnya, mulai dari keluarga dan
masyarakat untuk mendapat hak-haknya sebagai warga negara dan hak
sosialnya
(d) Mampu mengatasi masalah jika dihadapkan dengan masalah,cara cara
yang dilakukan disaat ketergantungan yang dirasakan penyandang tuna
netra dalam memecahkan masalah.sampai mandiri
C. Penyandang Cacat
Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 pasal 1 tentang penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental
yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk
melakukan secara selayaknya yang terdiri dari:
15
1. Penyandang cacat fisik seperti : tuna netra (hambatan penglihatan), tuna
rungu (hambatan pendengaran dan bicara), tuna daksa (cacat tubuh seperti
mengalami polio dan gangguan gerak)
2. Penyandang cacat mental, seperti : tuna grahita (keterbelakaan mental),
tuna laras (mengalami gangguan emosi dan sosial), autis (mengalami
gangguan interaksi, komunikasi dan perilaku yang berulang-ulang dan
terbatas)
3. Penyandang cacat fisik dan mental, seperti : tuna ganda (mengalami lebih
dari satu hambatan)
D. Definisi penyandang Tuna Netra
Murakama (2005) mengemukakan bahwa “blind person (tuna netra)”
mencakup tunanetra yang tidak mampu melihat sesuatu sama sekali dan tuna
netra yang tidak mampu melihat bentuk-bentuk obyek tetapi pada tingkat
tertentu masih dapat melihat sinar. Istilah “visually impraiment person
(penyandang cacat netra), secara umum istilah tersebut akan dipakai untuk
mendefinisikan ketunanetraan secara legal (seseorang yang telah memperoleh
sertifikat ketunanetraan yang diberikan oleh pemerintah.)diantara tunanetra
ada yang tidak mampu melihat sejak mereka lahir atau tak lama setelahnya
(congenitally blind) dan sebagian lainnya kehilangan penglihatan dalam usia
lanjut (adventitiously blind).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 ketentuan
pokok kesejahteraan sosial pasal 1 menyebutkan bahwa setiap warganegara
berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban
untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosia
16
Dalam kamus besar bahasa Indonesia “tunanetra” diartikan tidak dapat
melihat. Padahal bila mengambil pengertian dari “tuna” adalah berarti kurang
dari asalnya. Dari segi bahasa pengertian tuna netra dapat diartikan ketajaman
mata yang kurang dari normal.(Gunari,2000).
E. Pandangan Medis tentang cacat netra
Dunia medis dikenal dua bentuk penglihatan, yaitu: Reversibel dan
Ireversibel. Reversibel adalah kekeruhan media penglihatan sedangkan
ireversibel adalah kelainan retina dan syaraf optik yang mengambil bentuk
parsial dan total (Hamurwono,1984).
Gangguan penglihatan ireversibel atau yang tidak dapat diperbaiki secara
medis dapat memanfaatkan rehabilitasi berdasarkan cacat penglihatan yang
dinyatakan dengan tajam penglihatan. Dikenal nilai cacat penglihatan sebagai
berikut:
(a) Penglihatan normal
(b) Mata normal
(c) Penglihatan dengan ketajaman 6/6-6/7,5 atau 95-100%
(d) Penglihatan mata normal dan sehat
Penyandang cacat dapat dikatakan low vision nyata jika penyandang cacat
netra tersebut memiliki:
(a) Penglihatan 6/240 atau 5%
(b) Gangguan masalah orientasi dan mobilitas
(c) Perlu tongkat putih untuk berjalan
(d) Umumnya memerlukan saran abaca dengan huruf braille, radio dan
pustaka kaset.
17
Penyandang cacat dapat dikatakan butal total jika penyandang cacat netra
tersebut memiliki ciri:
(a) Tidak mengenal adanya rangsangan sinar
(b) Seluruhnya tergantung pada alat indera selain mata
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebutaan adalah seseorang yang
tidak dapat melihat atau nyata penglihatannya tidak bermanfaat.Sedangkan
low vision adalah tajam penglihatan yang terletak antara 6/12 dengan 6/120
pada mata yang terbaik setelah diberi pengobatan, pembedahan atau koreksi
dengan kaca mata.Efisiensi penglihatan ini adalah 5-60%.
F. Penyebab Tunanetra
Menurut Aqila Smart (2014:36-44) penyebab ketunanetraan dapat di
tinjau dari pre-natal dan post natal, antara lain sebagai berikut:
1. Pre-natal, faktor penyebab tunanetra pada masa pre-natal diantaranya
sebagai berikut: 1) Keturunan,2) Pertumbuhan anak di dalam kandungan.
a. Keturunan
Pernikahan dengan sesama tuna netra dapat menghasilkan anak
dengan kekurangan yang sama, yaitu tunanetra. Selain dari pernikahan
tunanetra, jika salah satu orang tua memiliki riwayat tunanetra, juga
akan mendapatkan anak tunanentra.
Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lainRetinitis
Pigmentosa, yaitu penyakit pada retina yang umumnya merupakan
keturunan. Selain itu, katarak jaga disebabkan oleh faktor keturunan.
b. Pertumbuhan anak di dalam kandungan
18
Faktor penyebab tunanetra pada masa pre-natal sangat erat kaitannya
dengan adanya riwayat dari orang tuanya atau adanya kelainan pada
masa kehamilan. Ketunanetraan anak yang disebabkan pertumbuhan
anak dalam kandungan biasa disebabkan oleh:
(1) Gangguan pada saat ibu hamil
(2) Adanya penyakit menahun, seperti TBC sehingga merusak sel-sel
darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan
(3) Kekurangan vitamin tertentu dapat menyebabkan gangguan
pada mata sehingga kehilangan fungsi penglihatan
2. Post-natal, faktor penyebab tunanetra pada masa post natal adalah sebagai
berikut: 1) Kerusakan pada mata atau syarat mata pada waktu persalinan 2)
Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe bakteri
gonorrhoe menular pada bayi, 3) Mengalami penyakit mata yang
menyebabkan ketunanetraan, 4) Kerusakan mata yang disebabkan
terjadinya kecelakaan. Berikut penjelasannya:
a. Kerusakan pada mata atau syaraf mata pasa waktu persalinanm akibat
benturan alat-alat atau benda keras
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe sehingga
bakteri menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir
mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Glaucoma, yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam
bola mata sehingga tekanan pada bola mata meningkat
d. Diabetic Retinopathy, yaitu gangguan pada retina mata yang
disebabkan oleh penyakit diabetes mellitus. Retina penuh dengan
19
pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan
sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
e. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti
masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya,
kecelakaan dari kendaraan dan lain-lain.
G. Permasalahan Penyandang tuna netra
Penyandang cacat merupakan salah satu permasalahan sosial yang terjadi
di Indonesia. Masalah pada hakekatnya adalah merupakan kebutuhan, karena
masalah mencerminkan adanya kebutuhan dan sebaliknya kebutuhan apabila
tidak dipenuhi akan menimbulkan masalah. Menurut Horton dan Leslie
(Suharto,1997:153) masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan
banyak orang tidak menyenangkan serta menuntut pemecehan melalui aksi
sosial secara kolektif. Batasan di atas menjelaskan penyandang cacat disebut
masalah sosial karena suatu kondisi yang mengarah kepada reaksi yang
mengakibatkan adanya ketidaksamaan sosial, diskriminasi, permasalahan
keluarga, pendistribusian yang salah tentang sumber-sumber bantuan yang
mungkin dapat di jangkau oleh penyandang cacat.
Pembangunan kesejahteraan sosial mencakup seluruh masyarakat
termasuk warga yang menyandang masalah kesejahteraan sosial. Salah
satunya adalah orang-orang yang berstatus penyandang cacat (keputusan
Menteri Sosial 1996:17) Kebijakan pemerintah dalam penanganan
penyandang cacat ini tertuang dalam Undang-Undang no.4 tahun 1997
tentang penyandang cacat dan peraturan pemerintah no 43 tahun 1997
20
tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial (UPKS) bagi penyandang
cacat.
Berdasarkan kedua landasan tersebut, bahwa pemerintah dan masyarakat
mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan demi
kesejahteraan penyandang cacat. untuk itu, pemerintah dalam menjalankan
tugasnya tersebut, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk bersama-sama pemerintah melakukan kegiatan peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat (pasal 23-25 no.4 tahun 1997).
Permasalahan penyandang cacat terutama penyandang tuna netra adalah
satu satu persoalan bangsa. Mereka hidup seperti anggota masyarakat lainnya,
ingin dihargai, ingin dicintai, ingin memiliki dan dimiliki, mereka memiliki
kelebihan dan kekurangan sama seperti manusia lainnya. Mau tidak mau,
suka tidak suka permasalahan penyandang cacat akan tetap ada di tengah
masyarakat kalau tidak ditangani dengan benar. banyak orang dari mereka
sering meremehkan dan menganggap enteng kemampuan tuna netra,
berkaitan dengan ini pada dasarnya, semua manusia memiliki kemampuan
yang sama yang membuatnya berbeda adalah cara mengoptimalkan
kemampuan tersebut.
Kebutuhan diri juga sangat erat kaitannya dengan permasalahan yang
dekat dengan penyandang tuna netra, seperti dalam Teori Maslow (purnama,
febri dan pratomo,eko. 2013) menjabarkan tentang teori hierarki kebutuhan
yaitu:
1. kebutuhan fisiologis yang paling dasar yaitu makanan, minuman, tempat
berteduh, seks, tidur, dan oksigen dalam penelitian ini kebutuhan
21
fisiologis menjadi acuan untuk mengetahui seseorang penyandang tuna
netra mampu berfungsi sosial di dalam masyarakat, situasi yang
berhubungan dengan memenuhi kebutuhan makan dan minumnya atau
tempat tinggalnya.
2. kebutuhan akan rasa aman, segera setelah kebutuhan-kebutuhan fisilogis
terpenuhi secukupnya, kemudian muncul apa yang Maslow tuliskan
bahwa kebutuhan akan rasa aman ini berhubungan dengan neurotik dan
kecemasan, dimana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka individu
akan bersikap seperti layaknya orang yang cemas dan ketakutan.
Penyandang tuna netra sanagt sensitif jika berkaitan dengan cemas dan
ketakutan , cemas akan siapa saja yang tidak suka karena keadaan
dirinya, takut orang lain tidak ingin berteman dengan seorang
penyandang tuna netra, hal ini menjadi salah satu cara untuk mengetahui
sejauh mana seorang penyadang tuna netra mampu untuk mengendalikan
rasa cemas dan takutnya dalam kehidupan bermasyarakat.
3. kebutuhan akan rasa yang dimiliki-memiliki dan akan kasih sayang,
selanjutnya orang akan mendambakan hubungan yang penuh kasih
sayang dengan orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan
rasa memiliki tempat tinggal di tengah kelompoknya dan ia akan
berusaha keras untuk mencapai tujuan yang satu ini. Bagi penyandang
tuna netra kebutuhan ini juga menjadi acuan bahwa seseorang berhak
untuk mendapat rasa aman saat berada di lingkungan sekitarnya tanpa
diskriminasi dan dukungan yang baik dari lingkungan tempat tinggalnya
22
4. kebutuhan akan penghargaan, bahwa seseorang memiliki 2 kategori
kebutuhan akan penghargaan yakni, harga diri dan penghargaan dari
orang lain. perlu bagi penyandang tuna netra untuk percaya diri hal ini
akan menjadi hal baik untuk bisa mendapat penghargaan dari orang lain
bahwa dirinya tidak lagi minder, dan tidak putus asa dengan keadaanya.
5. kebutuhan akan aktualisasi diri, setiap orang harus berkembang sepenuh
kemampuannya, oleh Maslow menyebutkan kebutuhan ini sebagai hasrat
untuk semakin menjadi diri sepenuh kemampuan dirinya. Maslow
menemukan bahwa kebutuhan aktualisasi biasanya muncul sesudah
kebutuhan akan rasa cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara
memadai.
Kehidupan juga tidak lepas dari peran-peran yang ada di dalam
masyarakat, mengenai peran didalam kamus Bahasa Indonesia peran ialah
perangkat tingkah laku yang diharapakan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat.
Teori Peran (Role Theory) Robert Linton (1936) dikutip (Mustafa,2011)
telah mengembangkan teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi actor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang
ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran
merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku
dalam kehidupan sehari-hari.kemudian Sosiolog yang bernama Glen Elder
(1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannnya
yang dinamakan “life-cource” memaknakan bahwa setiap masyarakat
mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku
23
tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.
Pemerintah punya andil bagian dalam mewujudkan situasi yang tanpa
diskriminasi, memenuhi hak-hak warganya tanpa memandang bagaimana
keadaannya, serta memberikan kesempatan kepada semua anggota
masyarakatnya tanpa terkecuali bagi penyandang cacat.
Kata atau istilah yang dilekatkan pada penyandang cacat (baik dalam
bahasa Indonesia atau Inggis) selama ini lebih banyak mengacu kepada
kondisi ketidakmampuan, kelemahan, ketidakberdayaan, kerusakan dan
makna lain yang berkonotasi negatif. Seperti tuna netra, tuna daksa, tuna
grahita. Istilah tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah
menimbukan pengaruh psikologis terhadap penyandang difabel
(Mutasim,2016).
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun (1999) tentang hak asasi
manusia, menjelaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan atau pengucilan yang labgsung maupun tidak langsung
didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, karakteristik tertentu yang berikabat pada pengangguran,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan
aspek lainnya.
Masalah yang dihadapi oleh penyandang tuna netra yaitu:
24
1. Permasalahan kerja para penyandang tuna netra juga merupakan wujud
dari stigma masyarakat. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Marpaung
(2010) bahwa manifestasi stigma pada penyandang difabel oleh
lingkungan dan masyarakat dengan diskriminasi dan pembatasan
integrasinya dalam masyarakat.
2. Masalah psikis menyangkut perasaan harga diri, hal ini memunculkan
perasaan pesimis, malu untuk bergaul, putus asa, merasa dirinya gagal,
rendah diri, tidak memiliki semangat hidup, dan bahkan hilangnya
keberanian untuk melakukan sesuatu.
3. Tidak berhenti pada masalah pribadi, namun juga berkaitan dengan
keluarga yang menjadi bagian penting dalam permasalahan penyandang
cacat, perlakuan salah yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada
anggota keluarga yang mengalami kecacatan, mereka di kurung tidak
boleh keluar rumah, tidak disekolahkan, tidak boleh bergaul dan
lingkungan yang kurang baik bagi penyandang tuna netra. Hal ini
berdampak pada disfungis peranan sosial bagi penyandang tuna netra
Karena kekangan keluarganya.
4. Pemanjaan dari pihak keluarga, karena keluarga tidak bisa berbuat
banyak dengan keadaan penyandang tuna netra akhirnya pemanjaan
itupun muncul, segala sesuatunya dipenuhi, karena hanya itu yang bisa
dilakukan oleh pihak keluarga dan tidak memberikan kesempatan kepada
penyandang tuna netra untuk mandiri.
Cara penyandang tuna netra untuk bisa bertahan agar tidak menjadi obyek
diskiriminasi adalah dengan beradaptasi, salah satu cara untuk beradaptasi
25
adalah dengan rasionalisasi yaitu usaha untuk menghindari dari masalah
psikologis dengan selalu memberikan alasan secara rasional, sehingga
masalah yang dihadapi dapat teratasi. Adaptasi sendiri merupakan suatu
proses perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap
perubahan yang ada di lingkunga dan dapat mempengaruhi perilaku adaptif
(Al-Aziz Alimul Hidayat,2007).
H. Rehabilitasi Sosial
1. Definisi Rehabilitasi Sosial
Penyelenggara kesejahteraan sosial ditujukan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan dan kesejahteraan sosial, termasuk penyandang tuna
netra. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya-upaya nyata dari
pemerintah pusat, pemerintah dan masyarakat agara kesamaan dan
kesetaraan dapat terwujud. Adapun salah satu upaya yang telah dilakukan
oleh pemerintah untuk menagani permasalahan penyandang tuna netra
adalah melalui rehabilitasi sosial.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 11
tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial dimaksudkan
untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar. Hal ini dimaksudkan agar dapat memulihkan kembali rasa
harga diri, percaya diri, kesadaran diri, keluarga maupun masyarakat atau
lingkungan sosialnya, serta memulihkan kembali kemauan dan
kemampuan untuk dapat melaksanakan dan kemampuan untuk dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.Rehabilitasi sosial bisa
26
diartikan sebagai pemulihan kembali keadaan individu yang mengalami
permasalahan sosial kembali seperti semula, sehingga mereka dapat
mandiri, minim tergantung dengan orsang lain, dan kesejahteraan sosial
mereka dapat tercapai.
Dalam peraturan Menteri Sosial (Permensos) Republik Indonesia
tentang standar rehabilitasi sosial penyandang disabilitas oleh lembaga di
bidang kesejahteraan sosial, kegiatan rehabilitasi sosial bagi penyandang
disabilitas dilaksanakan dalam bentuk: (1) bimbingan motivasi dan
diagnosis psikososial; (2) perawatan dan pengasuhan; (3) bimbingan sosial
dan konseling psikosial; (4) bimbingan mental dan spiritual,;(5) bimbingan
fisik; (6) pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; (7)
pelayanan aksesibilitas,;(8) bimbingan resosialisasi; (9) bimbingan lanjut;
dan/atau (10) rujukan.
2. Model Pelayanan Rehabilitasi Sosial
a. Institutional Based Rehabilitation (IBR) yaitu sistem pelayanan
rehabilitasi sosial dalam suatu institusi/ lembaga
b. Extra-institutional Based Rehabilitation, yaitu sistem sistem
pelayanan rehabilitasi sosial di luar kelembagaan (dalam
keluarga/masyarakat) seperti home careataupun day care.
c. Community Based Rehabilitation (CBR) yaitu sistem pelayanan
rehabilitasi sosial yang dilakukan pada tingkatan masyarakat
denganmenggunakan sumber daya dan potensi yang dimilikinya
seperti kegiatan Praktek Belajar Kerja (PBK).(Fathurrachmanda,
Syam., Suryani., Pratiwi, Ratih Nur., 2013)
27
Konsep rehabilitasi berbasis masyarakat atau Community Based
Rehabilitation (CBR) menurut WHO,
“CBR is a strategy general community development for the rehabilitation,
equalization of opportunities and social inclusion of all people with
disability”.
CBR adalah pengembangan masyarakat umum untuk rehabilitasi,
pemerataankesempatan dan inklusi sosial dari semua orang dengan
kecacatan.
Diimplementasikan melalui usaha gabungan dari para penyandang cacat
diri sendiri, keluarga, organisasi dan komunitas dan relevans pemerintah
dan non kesehatan pemerintah, pendidikan, kejuruan, sosial dan layanan
lainnyaagar dapat berjalan dengan baik, program harus mendapat
dukungan dari semua pihak dan segala aspek penunjang dapat terpenuhi
untuk mendukung program rehabilitasi sosial bagi penyandang tuna netra.
Rehabilitasi berbasis masyarakat juga mempromosikan hak-hak
penyandang cacat untuk hidup sebagai warga negara yang sama dalam
masyarakat untuk menikmati kesehatan dan kesejahteraan, untuk
berpartisipasi penuh dalam kegiatan pendidikan, sosial, budaya, agama,
ekonomi dan politik
Peneliti memfokuskan pada rehabilitasi berbasis masyarakat yang
mempromosikan kolaborasi antara tokoh masyarakat, penyandang cacat,
keluarga mereka dan warga yang peduli lainnya untuk memberikan
kesempatan yang sama bagi semua orang penyandang cacat. kegiatan seperti
ini akan memudahkan penyandang cacat tentang apa yang harus
28
dilakukan karena lingkungan dan keluarga sudah siap untuk menjaid tempat
yang nyaman bagi penyandang cacat untuk bisa beraktivitas normal.
UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra sebagai salah satu panti yang
memberikan pelayanan dan Rehabilitasi Sosial secara teratur untuk
membantu individu, kelompok dan masyarakat guna meniadakan atau
meringankan masalah sosial atau rintangan yang dialaminya, sehingga
para penyandang tuna netra mampu menolong dirinya sendiri dan ikut
aktif berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan pelayanan dan
rehabilitasi sosial adalah untuk memulihan kembali kepercayaan diri, harga
diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial baik terhadap dirinya,
keluarga, dan masyarakat lingkungannya.
Program rehabilitasi yang diberikan oleh UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra
berdasarkan kebutuhan dasar penyandang tuna netra untuk meningkatkan
harga diri, kepercayaan diri dan kemampuan diri, mandiri (dalam aktivitas
sehari-hari dan tidak bergantung pada orang lain), melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dan menyesuaikan diri