bab ii kajian pustaka a. kajian teori · 2020. 1. 2. · bab ii kajian pustaka a. kajian teori 1....

68
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Implementasi Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap sempurna. Nurdin Usman mengatakan bahwa implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan. 1 Guntur Setiawan berpendapat, implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif. 2 Pengertian di atas menunjukkan bahwa implementasi selalu bermuara pada mekanisme suatu sistem. Perencanaan suatu kegiatan yang dapat diterapkan dalam suatu sistem tentu membutuhkan dukungan dari beberapa pihak yang terkait. 2. Nilai Max scheler mengatakan bahwa kita hidup dalam alam nilai dan realisasi atas nilai-nilai adalah inti dari tindakan moral. Bagi scheler, nilai memiliki makna “material”, yaitu memiliki 1 Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Jakarta:Grasindo, 2002), hal.70 2 Guntur Setiawan, Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hal.39

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 11

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Kajian Teori

    1. Pengertian Implementasi

    Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari

    sebuah rencana yang disusun secara matang dan terperinci.

    Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah

    dianggap sempurna. Nurdin Usman mengatakan bahwa

    implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau

    adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar

    aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk

    mencapai tujuan kegiatan.1Guntur Setiawan berpendapat,

    implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling

    menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk

    mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi

    yang efektif.2

    Pengertian di atas menunjukkan bahwa implementasi

    selalu bermuara pada mekanisme suatu sistem. Perencanaan

    suatu kegiatan yang dapat diterapkan dalam suatu sistem tentu

    membutuhkan dukungan dari beberapa pihak yang terkait.

    2. Nilai

    Max scheler mengatakan bahwa kita hidup dalam alam

    nilai dan realisasi atas nilai-nilai adalah inti dari tindakan moral.

    Bagi scheler, nilai memiliki makna “material”, yaitu memiliki

    1Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum,

    (Jakarta:Grasindo, 2002), hal.70 2Guntur Setiawan, Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan, (Jakarta:

    Balai Pustaka, 2004), hal.39

  • 12

    “isi” atau “berisi.”3 Konsep Scheler ini menunjukkan

    kedudukan nilai sebagai sesuatu yang melekat pada diri

    manusia. Seseorang mungkin saja tidak menyadari bahkan tidak

    mengetahui tentang nilai yang ada pada dirinya. Sebaliknya

    seseorang bisa menganggap atau mengakui dirinya memiliki

    nilai, padahal belum tentu nilai itu benar-benar ada pada

    dirinya. Suatu nilai akan tampak dari tindakan yang disadari

    maupun tidak disadari oleh subjek pembawanya. Nilai pada diri

    seseorang biasanya dapat diakui oleh orang lain karena adanya

    perilaku atau sikap, misalnya siswa yang selalu datang ke

    sekolah tepat waktu. Siswa tersebut sebenarnya memiliki nilai

    disiplin dimata guru dan teman-temannya meskipun siswa itu

    tidak menyadarinya.

    3. Teori Pendidikan Karakter

    Pengertian pendidikan menurut Kamus Bahasa Indonesia

    berasal dari kata “didik” yang artinya memelihara dan memberi

    latihan. Pendidikan menurut UU Nomor 20 Tahun 1989 adalah

    usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

    bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di

    masa datang. Pengertian pendidikan lain, menurut Ki Hajar

    Dewantara yaitu tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak,

    adapun maksud pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan

    kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia

    dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan

    dan kebahagiaan setinggi-tingginya.4

    3Sigit Setyawan, Guruku Panutanku, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal.25

    4Ardi Al-Maqassary, Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli, Jurnal

    Penelitian, 2013

  • 13

    Pendidikan ialah proses internalisasi kultur ke dalam

    individu dan masyarakat sehingga menjadi beradab. Pendidikan

    bukan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, namun sebagai

    sarana proses pengkulturan dan penyaluran nilai (enkulturisasi

    dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang

    menyentuh dimensi dasar kemanusiaan.5

    Istilah Karakter berasal dari bahasa Yunani Charassein

    yang berarti mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti

    mengukir batu permata atau besi yang keras.6 Karakter dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tabiat; sifat-sifat

    kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang

    dengan orang lain.7 Walter Nicgorski dalam The Moral Crisis

    mengatakan bahwa karakter pribadi yang kuat harus

    mewujudkan diri dalam pelayanan terhadap organisasi dan

    masyarakat serta dalam menunjang kehidupan publik. Krisis

    moral di zaman kita sama artinya dengan semakin banyak orang

    yang tidak memiliki penguasaan diri yang membebaskan, yang

    memungkinkan mereka berkomitmen dan melayani dengan

    independensi dan integritas yang seharusnya dimiliki oleh orang

    yang merdeka.8 Komponen-komponen karakter yang baik

    meliputi; pengetahuan moral, perasaan moral, dan aksi moral.9

    5Mansur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis

    Multidimensional. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 69 6Sri Judiani, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Melalui

    Penguatan Pelaksanaan Kurikulum, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.16,

    2010. 7Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

    2008), hal.639 8Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Anak

    Menjadi Pintar dan Baik, (Bandung: Nusa Media, 2013), hal.70 9Ibid, hal.74

  • 14

    Thomas Lickona mengatakan bahwa pendidikan karakter

    ialah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami,

    peduli akan dan bertindak atas dasar nilai-nilai etis. Lickona

    menegaskan bahwa tatkala kita berfikir tentang bentuk karakter

    yang ingin ditunjukkan anak-anak, teramat jelas bahwa kita

    menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar., peduli

    apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakini benar.10

    Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona

    mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan

    (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good),

    dan melakukan kebaikan (doing the good). Kemendiknas

    mendefinisikan pendidikan karakter adalah pendidikan yang

    menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur

    kepada anak didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur

    itu, menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya, baik

    di dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat dan warga

    negara.11

    Beberapa pendapat yang diungkapkan para ahli tentang

    pendidikan karakter di atas menunjukkan, bahwa dunia

    pendidikan sangat erat dengan pemeliharaan moral bahkan

    menjadi keharusan untuk mengelola moral anak sejak dini

    melalui pendidikan karakter. Karakter tumbuh dalam diri

    individu seiring perkembangan psikologisnya, tetapi selain

    faktor internal tersebut, karakter yang terbentuk pada setiap

    individu tidak terlepas dari faktor eksternal seperti lingkungan

    10

    M. Mahbubi, Pendidikan Karakter: Implementasi Aswaja sebagai Nilai

    Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2012), hal. 41 11

    Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, ( Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2013), hal.15

  • 15

    dimana ia tumbuh dan berkembang. Anak didikakan

    menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka tinggal

    melalui aktivitas dan interaksi sosial sehari-hari baik yang

    terjadi dalam keluarga maupun lingkungan sekitar tempat

    mereka tinggal. Hal tersebut memiliki pengaruh besar terhadap

    kondisi moral, sehingga peran orang tua menjadi yang utama

    dalam membimbing dan mengawasi anak-anak mereka dalam

    berlaku sehari-hari.

    Tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan

    nalar destingtif agar anak didik dapat mencerna bahwa

    kebajikan berbeda secara diametral dengan kejahatan.

    Pendidikan karakter membentuk kesadaran bahwa ada

    serangkaian faktor dan sederet variabel penyebab timbulnya

    kebajikan dan kejahatan.12

    Bentuk dari segala perilaku

    kebajikan maupun kejahatan tidak muncul begitu saja,

    melainkan adanya sebab yang menjadi faktor atau pendorong

    individu untuk melakukan hal-hal tersebut. Menumbuhkan

    karakter baik pada anak tidaklah mudah, hal ini membutuhkan

    proses yang lama. Kesadaran bersikap dan berperilaku baik

    akan muncul dari proses panjang melalui kebiasaan anak sedari

    kecil. Hal yang paling memungkinkan terciptanya kebiasan-

    kebiasaan baik adalah pola asuh yang dirancang oleh orang tua.

    Orang tua adalah elemen penting dalam proses pembentukan

    karakter. Elemen tersebut sebagai peran fundamental yang

    harus dibangun dengan kuat dalam diri anak, sehingga anak

    tidak akan mudah terpengaruh hal-hal negatif ketika mereka

    nanti tumbuh besar.

    12

    Ibid, hal.134

  • 16

    Sekolah seolah menjadi satu-satunya tempat belajar. Guru

    yang berada di depan ruang kelas mendominasi peserta didik.

    Siswa-siswa yang tak merdeka dengan proses pendidikan yang

    otoriter dan tidak menjamin kebebasan semacam itu, bakal

    terbentuk hanya sebagai sekrup mekanisme.13

    Sekolah sebagai

    sarana untuk berproses dan berkembang menuntut para pendidik

    untuk mampu mengembangkan kompentensi pedagogik,

    dimana kompetensi ini menentukan arah pembelajaran yang

    akan diterapkan mencakup pemahaman guru terhadap

    kemampuan siswa secara kognitif, serta merencanakan strategi

    pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa.

    Siswa dengan bermacam karakter merupakan tugas penting bagi

    guru dalam melakukan transfer pengetahuan, menyelami

    kondisi mereka baik kelebihan dan kekurangannya, sehingga

    guru mengetahui kemampuan yang sepantasya harus

    dikembangkan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal

    diharapkan mampu membentuk individu berkarakter melalui

    kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam suatu sistem.

    Beberapa uraian di atas menunjukkan, bahwa karakter

    merupakan tabiat atau watak seseorang yang mampu

    membedakan individu dengan individu lain. Karakter bisa

    dikatakan tabiat yang selain dipengaruhi oleh faktor psikis, ia

    juga terbentuk dari pola asuh dan lingkungan hidup sejak

    individu itu dilahirkan.

    13

    Zuriah Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti, (Jakarta: PT Bumi

    Aksara, 2015), hal.121

  • 17

    4. Keteladanan dan Budaya dalam Pendidikan Karakter

    Selama ini banyak orang menyebut bahwa, pendidik

    karakter yang paling sukses adalah Nabi Muhammad SAW.

    Beliau diutus oleh Allah dimuka bumi untuk menyempurnakan

    akhlak yang mulia. Dalam menunaikan tugasnya membangun

    akhlak yang mulia itu, nabi mengawalinya dari diri sendiri.

    Maka tatkala bangsa ini akan mengembangka pendidikan

    karakter atau akhlak yang mulia, maka yang perlu disentuh

    terlebih dahulu adalah para guru atau pendidiknya. Orang-orang

    yang mengikuti Nabi Muhammad bukan saja karena telah

    mendengarkan kata-katanya, melainkan apa yang diucapkan

    juga diwujudkan dan disempurnakan dengan perbuatannya.

    Oleh karena itu, dalam pendidikan karakter, yang justru

    diperlukan, jika mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi,

    adalah terlebih dahulu, membangun karakter para guru-gurunya

    itu sendiri. Para murid selanjutnya akan meniru dengan

    sendirinya.14

    Terdapat sebuah cerita, ketika Uqbah bin Abi

    Sufyan hendak menyerahkan anaknya kepada seorang pendidik

    (guru) ia berkata : “Sebelum engkau memperbaiki anakku,

    maka pertama kali kamu harus memperbaiki dirimu sendiri.

    Sebab matanya masih sangat terikat dengan matamu. Jadi

    ukuran baik menurut dia adalah apa yang baik dalam

    pandanganmu. Demikian juga sebaliknya. Konsep keteladanan

    ini sudah diberikan dengan cara Allah mengutus Nabi Saw.

    14

    Imam Suprayogo, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Malang: UIN

    MALIKI PRESS, 2013), hal.38-40.

  • 18

    untukmenjadi panutan yang baik bagi umat Islam sepanjang

    sejarah dan bagi semua manusia disetiap masa dan tempat.15

    Dalam penanaman karakter peserta didik di sekolah,

    keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien.

    Karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani

    (meniru) guru atau pendidiknya.16

    Keteladanan memang menjadi

    salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan

    karakter. Tumpuan pendidikan karakter ini ada di pundak para

    guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak

    sekedar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran di

    dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang

    guru, dalam kehidupannya yang nyata di luar kelas. Karakter

    guru menentukan (meskipun tidak selalu) warna kepribadian

    anak didik.17

    Budaya sekolah memiliki cakupan yang luas, antara lain

    mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosio-kultural,

    aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakulikuler,

    proses pengambilang keputusan, kebijakan, maupun interaksi

    sosial antar komponen. Budaya sekolah adalah suasana tempat

    peserta didik berinteraksi dengan sesamanya. Interaksi terjalin

    antara pendidik dengan pendidik, pendidik dengan tenaga

    kependidikan, antara tenaga kependidikan dengan pendidik dan

    peserta didik dan antar anggota kelompok masyarakat dengan

    warga sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan

    karakter melalui budaya sekolah mencakup semua kegiatan-

    15

    Abdul Majid dan Diyan Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif

    Islam,… hal. 119-120. 16

    Heri Gunawan, Pendidikan Karakter : Konsep dan Implementasi,… hal.91. 17

    Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di

    Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007), hal.214-215.

  • 19

    kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga

    administrasi, dan office boy ketika berkomunikasi dengan

    peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.

    Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras,

    disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa

    kebangsaan, tanggung jawab, dan rasa memiliki merupakan

    nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.18

    Guru adalah tulang punggung dalam menumbuh

    kembangkan karakter individu. Seperti kutipan Ilmuwan Albert

    Einsten yang mengatakan, “Penghinaan dan penindasan mental

    oleh guru-guru yang tak mau peduli dan mementingkan diri

    sendiri akan membawa kehancuran bagi benak kaum muda yang

    tak mungkin bisa diperbaiki dan sering menimbulkan pengaruh

    yang merugikan dalam kehidupannya nanti.”19

    Mengapa guru

    harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan dengan ukuran-

    ukuran tertentu? Kepribadian ini harus melekat kuat dalam diri

    guru karena guru diharapkan akan menjadi kaum yang

    mengarahkan kepribadian orang, bahkan lingkungan.

    5. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Karakter

    Menurut Kosim Reward artinya ganjaran, hadiah,

    penghargaan atau imbalan. Reward sebagai alat pendidikan

    diberikan ketika seorang anak melakukan sesuatu yang baik,

    atau telah berhasil mencapai sebuah tahap perkembangan

    tertentu, atau tercapainya sebuah target. Dalam konsep

    pendidikan reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan

    18

    Novan Ardy Wiyani, Membumikan Pendidikan Karakter di SD,

    (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal.99-100. 19

    Alice Calaprice, Einsten Juga Manusia: Kumpulan Pendapat Einsten

    tentang Segala Hal, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.144

  • 20

    motivasi para pserta didik. Metode ini bisa mengasosiasikan

    perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia,

    senang dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu

    perbuatan yang baik secara berulang ulang selain

    motivasi.Menurut Hurlock (1978: 90) pemberian penghargaan

    mempunyai fungsi dan peranan penting dalam mengembangkan

    perilaku anak sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat,

    diantaranya:Penghargaan mempunyai nilai mendidik,

    Penghargaan berfungsi sebagai moivasi, Penghargaan berfungsi

    memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial.20

    Penghargaan merupakan bentuk apresiasi terhadap pelaku

    kebaikan, siapapun itu. Bentuk penghargaan sendiri sangat

    variatif, bisa dalam bentuk materi atau non materi, prinsipnya

    adalah untuk membangkitkan semangat anak yang telah berhasil

    melakukan kebaikan. Karena secara naluri siapapun yang telah

    melakukan kebaikan selalu ingin diberikan penghargaan, dan ini

    adalah bagian dari psikologi manusia sebagai makhluk. Maka

    dari itu Allah melalui Al-Qur’an juga memberikan apresiasi

    kepada manusia atas kebaikan yang telah mereka lakukan.21

    ايََسٍُ ﴿ ٨﴾ ٍةَشّسًّ ٌْيَْعَوْلِوْثقَالََرزَّ ايََسٍُ ﴿ ٧﴾َوَه ٍةَخْيسًّ ٌْيَْعَوْلِوْثقَالََرزَّ فََو

    Artinya: “Barang siapa yang melakukan kebaikan seberat

    dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasannya), dan barang

    siapa yang melakukan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya

    dia akan melihat balasannya.” (Q.S. Al-Zalzalah: 7- 8).

    20

    Mila Subartaningsih, dkk, Implementasi Pemberian Reward dan

    Punishment dalam Membangun Karakter,Vol.4, No.1, Maret 2018, hal.64 21

    Wahyu Setiawan, Reward dan Punishment Perspektif Islam, Vol.4, No.2,

    Januari 2018, hal.187.

  • 21

    Punishment menurut bahasa berasal dari bahasa inggris

    yaitu dari kata

    Punishment yang berarti law (hukuman) atau siksaan.

    Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat yang

    dikemukakan oleh para ahli pendidikan tentang Punishment

    (hukuman).Menurut Purwantomaksud dari hukuman

    (Punishment) ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan

    dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sejajarnya)

    sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan,

    adapun menurut Menurut Djiwandono maksud dari hukuman

    adalah mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak baik dan

    mengingatkan siswa untuk tidak melakukan apa yang tidak

    boleh. Punishment adalah penderitaan yang diberikan atau

    ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik setelah siswa

    melakukan pelanggarana atau kesalahan. Hamruni (2008;

    120).22

    Manusia telah lama mengenal dua istilah ini, hadiah dan

    hukuman. Kedua hal ini merupakan bentuk apresiasi sekaligus

    sanksi bagi manusia sebagai bentuk ujian dalam kehidupan, dan

    kedua hal ini sudah dikenal sejak masa Nabi Adam.Secara

    prinsip hadiah sebagai bentuk motivasi dan hukuman menjadi

    sebuah sanksi pengingat atas kesalahan yang dilakukan oleh

    manusia.23

    22

    Mila Sabartiningsih, Implementasi Pemberian Reward dan Punishment

    dalam Membangun Karakter, … hal.65 23

    Wahyu Setiawan, Reward dan Punishment Perspektif Pendidikan Islam,…

    hal.193.

  • 22

    6. Religius

    a. Pengertian Religius

    Religi adalah patuh pada ajaran agama, saleh.24

    Sedangkan

    religius yaitu bersifat religi, bersifat keagamaan, yang

    bersangkut paut dengan religi.25

    Soren Kierkegaard mengatakan,

    To exist, we must believe, and believe something dreadfully

    hard to believe. You cannot come to exist by just believing

    something plausible.26

    Menurutnya, kita harus percaya pada

    sesuatu yang sulit dipercaya, karena kita tidak bisa eksis dalam

    kehidupan ini apabila hanya mempercayai sesuatu yang masuk

    akal. hubungan manusia dengan Tuhan, serta keberadaan

    sesuatu yang metafisik memang terkadang membuat manusia

    tidak percaya karna tidak bisa ditangkap sesuai nalarnya. Tetapi

    sebagai muslim yang memiliki iman atas kekuasaan Sang

    Pencipta, akan mampu menangkis keraguan bahwa yang tidak

    terlihat dan tidak masuk akal menurut manusia adalah benar-

    benar ada. Karena Tuhan menciptakan manusia bukan untuk

    mengetahui segala sesuatu yang memang bukan ranahnya untuk

    menalarnya bahkan mengetahuinya. Iman yang sudah terpaut di

    hati masing-masing manusia, lalu dikemas dalam bentuk

    religiusitas.Religi atau agama merupakan suatu arahan dalam

    meluruskan hal-hal atau perilaku manusia yang menyimpang.

    Keberadaan agama sangat diutamakan sebagai landasan

    kehidupan.

    24

    J.S. Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar

    Harapan, 1994), hal.1511 25

    Kamus Bahasa Indonesia Online, diakses melalui

    http://kamusbahasaindonesiaorg/religius, pada 30 Juli 2018, pukul 13.43 WIB 26

    Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, (London: Routledge,

    2001), hal.3

    http://kamusbahasaindonesiaorg/religius

  • 23

    Masyarakat Indonesia disamping mengenal istilah agama,

    juga mengenal istilah religi (dari bahasa Eropa/Inggris) dan al-

    Dien (dari bahasa Arab). Terdapat perbedaan pendapat yang

    dikemukakan oleh para ahli :

    Pendapat pertama menyatakan bahwa arti istilah agama,

    religi dan al-Dien berbeda-beda satu dengan yang lain. Menurut

    Sidi Ghazalba, bahwa istilah al-Dien lebih luas pengertiannya

    dari pada istilah agama dan religi. Agama dan religi hanya

    berisi hubungan manusia dan Tuhan saja, sedangkan al-Dien

    berisi hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia

    dengan manusia. sedangkan menurut KH. Zainal Arifin Abbas,

    bahwa dalam Al-Qur’an kata al-Dien (memakai awalan al)

    hanya ditujukan kepada Islam saja, dan selainnya tidak

    demikian. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat

    19, dimana Allah hanya mengakui Islam sebagai Agama yang

    sah, yaitu ayat :

    ْسََلم ِ اْْلِ ٌَْد َّللاَّ يي ِع إًَِّالدِّ

    Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi

    Allah adalah Islam. (QS. Ali Imron, ayat 19)

    Pendapat kedua menyatakan bahwa arti istilah agama,

    religi dan al-Dien adalah sama, berbeda dari segi bahasanya

    saja. Agama (bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta),

    religi (bahasa Eropa/Inggris), dan al-Dien (bahasa Arab).

    Pendapat ini didukung oleh H. Endang Saifudin Ashari dan

    Faisal Ismail, dan sekaligus membantah pendapat pertama

    sebagaimana tersebut di atas 27

    27

    Tadjab dkk, Dimensi-dimensi Studi Isla m, (Surabaya: Karya Abditama,

    1994), hal. 34-35

  • 24

    b. Karakter Religius

    Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan Yang

    Maha Esa (Religius) berkaitan dengan nilai-nilai pikiran,

    perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu

    berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran

    agamanya.28

    Secara konseptual, aspek ritual yang ada dalam

    rukum Islam yang lima, tidak sekadar berhenti pada ritualnya

    saja, melainkan mengajarkan nilai-nilai karakter religius.29

    Tuntutan yang jelas dari Al-Qur’an tentang aktivitas

    pendidikan Islam telah digambarkan Allah dengan memberikan

    contoh keberhasilan dengan mengabadikan nama Luqman,

    sebagaimana firman Allah :

    ْسَك لَظُْلٌن َعِظينٌ ِ ۖ إِىَّ الشِّ َُُو يَِعظَُُ يَا بٌَُيَّ َِل تُْشِسْك بِاَّللَّ َِ َو َوإِْذ قَاَل لُْقَواُى ِِلْبٌِ

    Artinya: Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada

    anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai

    anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah.

    Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) ialah benar-benar

    kezaliman yang besar. (QS. Al-Luqman;13)30

    Secara spesifik, pendidikan karakter yang berbasis nilai

    religius mengacu pada nilai-nilai dasar yang terdapat dalam

    agama (Islam). Nilai-nilai karakter yang menjadi prinsip dasar

    pendidikan karakter banyak kita temukan dari beberapa sumber.

    Di antaranya adalah nilai-nilai yang bersumber dari keteladanan

    28

    Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi,

    (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 33 29

    Fahri Hidayat, Pengembangan Karakter Religius dalam Islam Berbasis

    pada Misi Kenabian, Jurnal Inovasi Pendidikan IAIN PURWOKERTO, hal. 88 30

    Al-Qur‟an, QS. Al-Luqman, ayat 13

  • 25

    Rasulullah SAW yang terejewantahkan dalam sikap dan

    perilaku sehari-hari beliau, yakni shiddîq (jujur), amânah

    (dipercaya), tablîgh (menyampaikan dengan transparan), dan

    fathânah (cerdas ).31

    Di samping itu sumber lainnya dapat juga

    ditemukan dalam teks- teks agama, baik Al-Qur’an, hadits,

    maupun kata-kata hikmah para ulama. Dalam teks-teks agama

    tersebut banyak ditemukan anjuran untuk bersikap/berperilaku

    terpuji (akhlak al-karîmah), seperti ramah, adil, bijaksana,

    sabar, syukur, sopan, peduli, tanggap, tanggung jawab, mandiri,

    cinta kebersihan, cinta kedamaian, dan lain sebagainya

    sebagaimana yang melekat pada diri Rasulullah.32

    Anak didik, dalam dunia pendidikan memang sengaja

    dibangun karakternya agar mempunyai nilai-nilai kebaikan

    sekaligus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik

    itu kepada Tuhan Yang Maha Esa, dirinya sendiri, sesama

    manusia, lingkungan sekitar, bangsa, negara maupun hubungan

    internasional sebagai sesama penduduk dunia.33

    Terdapat tiga nilai utama dalam Islam, yaitu akhlak, adab

    dan keteladanan. Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung

    jawab selain syari’ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan

    term adab merujuk pada sikap yang dihubungkan dengan

    tingkah laku yang baik. Keteladanan merujuk pada kualitas

    karakter yang ditampilkan oleh muslim yang baik yang

    31

    M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), hal. 61-63

    32Al-Qur‟an,QS. Al-Ahzab, ayat 21

    33Siswanto, Pendidikan Karakter Berbasis nilai-nilai Religius, Jurnal

    Pendidikan Islam, Vol.8, 2013, hal.99

  • 26

    mengikuti keteladanan Nabi Muhammad SAW. Ketiga nilai

    inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam.34

    Nabi adalah orang yang paling banyak merendah diri dan

    selamanya mengagungkan Allah. Beliau memohon kepada

    Allah supaya Allah menghiasi dirinya dengan etika-etika yang

    paling baik dan akhlak-akhlak yang mulia.35

    Hal-hal

    demikianlah yang mendorong alasan mengapa Nabi

    Muhammad SAW menjadi insan yang sempurna oleh Allah

    SWT, serta menjadi suri tauladan untuk umat di seluruh penjuru

    dunia dari masa ke masa. Keteladanan Nabi Muhammad SAW

    mencerminkan akhlak yang religius dan sesuai dengan ajaran

    Islam selalu menjadi contoh dan panutan terutama dalam

    regenerasi umat muslim.

    c. Indikator Pendidikan Karakter Religius

    Menurut Zayadi, sumber nilai yang berlaku dalam

    kehidupan manusia digolongkan menjadi dua macam yaitu:36

    a. Nilai Ilahiyat

    Nilai Ilahiyat adalah nilai yang berhubungan dengan

    ketuhanan atau hablun minallah, dimana inti dari ketuhanan

    adalah keagamaan.Kegiatan menanamkan nilai keagamaan

    menjadi inti kegiatan pendidikan. Nilai-nilai yang paling

    mendasar adalah:

    1) Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan pada

    Allah.

    35Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya „ Ulumuddin, Cet.III (Bandung, Sinar

    Baru Algensindo, 2014), hal.235 36

    Abdul Majid dan Diyan Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,

    (Bandung: PT Remaja Rosydakarya), hal.93

  • 27

    2) Islam, sebagai kelanjutan iman, maka sikap pasrah

    kepada-Nya, dengan meyakini bahwa apapun yang

    datang dari Tuhan mengandung hikmah kebaikan dan

    sikap pasrah pada Tuhan.

    3) Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa

    Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita

    dimanapun kita berada.

    4) Taqwa, yaitu sikap menjalankan perintah dan menjauhi

    larangan Allah.

    5) Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan

    perbuatan tanpa pamrih, semata-mata hanya demi

    memperoleh ridho dari Allah.

    6) Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar pada Allah,

    dengan penuh harapan kepada Allah.

    7) Syukur, yaitu sikap penuh rasa terimakasih dan

    penghargaan atas ni’mat dan karunia yang telah

    diberikan Allah.

    8) Sabar, yaitu sikap batin yang tumbuh karena kesadaran

    akan asal dan tujuan hidup yaitu Allah.

    b. Nilai Insaniyah

    Nilai insaniyah adalah nilai yang berhubungan dengan

    sesame manusia atau hablun minannasyang berisi budi

    pekerti seperti berikut:37

    1) Silaturrahmi, yaitu pertalian rasa cinta kasih antara

    sesame manusia.

    2) Al Ukhuwah, yaitu semangat persaudaraan.

    37

    Ibid, hal.95

  • 28

    3) Al Musawah, yaitu pandangan bahwa harkat dan

    martabat semua manusia adalah sama.

    4) Al Adalah, yaitu wawasan yang seimbang.

    5) Husnu Dzan, yaitu berbaik sangka kepada sesame

    manusia

    6) Tawadhu, yaitu sikap rendah hati

    7) Al Wafa, yaitu tepat janji

    8) Insyirah, yaitu sikap lapang dada

    9) Amanah, yaitu dapat dipercaya

    10) Iffah atau ta’affuf, yaitu sikap penuh harga diri, tetapi

    tidak sombong dan tetap rendah hati

    11) Qawamiyah, yaitu sikap kaum beriman yang memiliki

    kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia

    12) Al Munfiqun, yaitu sikap kaum beriman yang memiliki

    kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia.

    B. Kajian Penelitian yang Relevan

    Setelah penulis melakukan telaah kepustakaan yang telah

    dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu terkait dengan

    pendidikan karakter, ada beberapa karya tulis yang relevan dengan

    tema yang peneliti angkat, yaitu :

    1. Penelitian yang dilakukan oleh Fajriati Dwi Lestari dalam

    skripsi yang berjudul Implementasi Nilai-nilai Karakter

    dalam Pembelajaran Tematik Kelas IV B di MIN Tempel

    Ngaglik Sleman.38

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

    38

    Fajriati Dwi Lestari, Implementasi Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran

    Tematik Kelas IV B di MIN Tempel Ngaglik, Sleman,skripsi Jurusan Pendidikan

    Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan

    Kalijaga, 2015.

  • 29

    mengetahui implementasi nilai-nilai karakter, mengetahui nilai-

    nilai karakter yang diterapkan dalam pembelajaran tematik, dan

    untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat

    implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran tematik

    kelas IV B di MIN Tempel, Sleman.Skripsi ini menyimpulkan

    impementasi nilai-nilai karakter dalam pembelajaran tematik

    kelas IV B yang meliputi dua bagian, yang pertama

    yaitusebagai perencanaan pembelajaran tematik terdiri atas

    silabus dan RPP yang dibuat oleh guru sendiri. Kedua, dapat

    dilihat dari pengintegrasian setiap kegiatan pembelajaran,

    metode pembelajaran serta penilaian yang digunakan oleh guru.

    Kemudian nilai-nilai karakter yang sering muncul dalam

    pembelajaran tematik diantaranya religius, jujur, toleransi,

    disiplin, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, peduli

    lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, teliti dan percaya

    diri. Beberapa faktor pendukung implementasi nilai-nilai

    pendidikan karakter disana adalah madrasah melalui kegiatan

    atau program dan fasilitas, guru melalui keteladanan, strategi

    pembelajaran, media dan sumber belajar yang digunakan.

    Sedangkan faktor yang menghambat adalah lingkungan, peserta

    didik dan waktu. Adapun persamaan dan perbedaan skripsi

    peneliti dengan skripsi Fajriati Dwi Lestari ini. Persamaannya

    terletak pada objek penelitian yaitu implementasi nilai-nilai

    pendidikan karakter. Perbedaannya adalah peneliti mengkaji

    pendidikan karakter religius, sedangkan penelitian yang

    dilakukan oleh saudari Fajriati Dwi Lestari mengkaji

    pendidikan karakter dalam pembelajaran tematik.

  • 30

    2. Penelitian yang dilakukan oleh Syaiful Huda, dalam skripsi

    yang berjudul Implementasi Pendidikan Karakter bagi

    Peserta Didik di SDIT Bina Anak Islam Krapyak

    Panggungharjo Sewon Bantul.39

    Tujuan dari penelitian skripsi

    ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi

    pendidikan karakter, serta apa saja faktor pendukung dan

    penghambat dalam proses pendidikan karakter di sana. Skripsi

    ini menyimpulkan implementasi pendidikan karakter pada siswa

    di SDIT Bina Anak Islam Krapyak, antara lain 1) Implementasi

    pendidikan karakter di SDIT Bina Anak Islam Krapyak

    berdasar pada visi sekolah yaitu “Menyemai Generasi Qur’ani

    yang mampu mengedepankan Akhlaqul Karimah dengan

    dibekali Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang mumpuni.”

    Yang kemudian dikembankan ke dalam program-program

    khusus yang mendukung terbentuknya karakter peserta didik

    baik di dalam maupun di luar kelas, selain itu kegiatan-kegiatan

    khusus di luar jam sekolah dan hari-hari istimewa juga

    diprogramkan demi terbentuknya karakter siswa dengan metode

    pendidikan yang bervariasi. 2) Program-program pembinaan

    karakter sangat didukung oleh berbagai pihak di antaranya dari

    pihak sekolah, wali siswa,dan guru yang memiliki semangat

    tinggi, mampu menyesuaikan kebutuhan siswa, serta menjalin

    kedekatan dengan siswa. Adapun faktor penghambat di

    antaranya yaitu perpindahan sekolah dari gedung lama ke

    gedung baru, beberapa siswa yang sering membuat ribut di

    kelas, pengaruh kebiasaan buruk siswa terhadap siswa yang

    39

    Syaiful Huda, Implementasi Pendidikan Karakter bagi Peserta Didik di

    SDIT Bina Anak Islam Krapyak,Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas

    Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2012.

  • 31

    lain, dan guru yang tidak bisa mengawasi sikap siswa sepanjang

    hari, oleh karena itu peran orang tua di rumah sangat

    dibutuhkan.

    3. Penelitian yang dilakukan oleh Nailatul Fikriyah yang berjudul

    Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Karakter di Madrasah

    Ibtidaiyah Wahid Hasyim Yogyakarta (Boarding

    School).40

    Tujuan skripsi tersebut antara lain adalah untuk

    mengetahui penerapan model penanaman nilai-nilai pendidikan

    karakter di Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim Yogyakarta

    (boarding school), mengetahui nilai-nilai karakter apa saja yang

    dikembangkan Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim Yogyakarta

    (boarding school), dan mengetahui faktor pendukung dan faktor

    penghambat dalam penanaman nilai-nilai pendidikan karakter di

    Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim Yogyakarta (boarding

    school). Kesimpulan dari skripsi ini adalah 1) Model

    penanaman nilai-nilai pendidikan karakter di Madrasah

    Ibtidaiyah Wahid Hasyim yang boarding school diterapkan

    dengan lima model yaitu metode keteladanan, pembiasaan,

    kisah, pembinaan, dan ganjaran dan hukuman; 2) Nilai-nilai

    pendidikan karakter yang dikembangkan di Madrasah

    Ibtidaiyah Wahid Hasyim adalah keimanan, kejujuran,

    bertanggung jawab, kedisiplinan, percaya diri, mandiri, hidup

    sehat, cinta ilmu, santun, toleransi, dan demokrasi. Nilai-nilai

    karakter tersebut terintegrasi kedalam kegiatan peserta didik

    yang dilakukan setiap hari.; 3) Faktor pendukung dalam

    penanaman nilai-nilai pendidikan karakter di boarding school

    40

    Nailatul Fikriyah, Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Karakter di Madrasah

    Ibtidaiyah Wahid Hasyim (Boarding School), Skripsi Jurusan Pendidikan Madrasah

    Ibtidaiyah Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • 32

    adalah dukungan positif dari orang tua, hubungan yang baik

    antara guru, pembina dan orang tua, kegiatan peserta didik yang

    termanajemen dengan baik, perbandingan pembina dan peserta

    didik yang ideal. Meskipun begitu, dalam penanaman nilai-nilai

    pendidikan karakter di Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim

    yang boarding school terdapat kendala yang harus diselesaikan.

    Setelah mengkaji tiga penelitian skripsi di atas, terdapat

    persamaan dan perbedaan konsep yang penulis lakukan dengan

    penelitian-penelitian tersebut.Terdapat persamaan dari segi jenis

    penelitian yaitu penelitian kualitatif. Terdapat pula perbedaan

    konsep, yangpertama yaitu penelitian skripsi yang dilakukan

    oleh Fajriati Dwi Lestari yang menjelaskan bagaimana nilai-

    nilai karakter itu dapat diterapkan kepada peserta didik melalui

    pembelajaran tematik. Penelitian skripsi yang kedua yaitu

    dilakukan oleh Syaiful Huda, menjelaskan penerapan nilai-nilai

    karakter bagi peserta didik secara umum melalui

    program/kegiatan sekolah. Sedangkan penelitian yang penulis

    lakukan adalah mengkaji nilai-nilai karakter religius, kemudian

    bagaimana nilai-nilai karakter tersebut dapat

    diterapkan(implementasi) pada peserta didik.Adapun persamaan

    dan perbedaan dari skripsi peneliti dengan penelitian skipsi

    yang dilakukan oleh Syaiful Huda. Persamaannya yaitu terletak

    pada objek penelitian yang sama-sama meneliti tentang

    implementasi nilai-nilai pendidikan karakter. Sedangkan

    perbedaannya yaitu penelitian yang dilakukan oleh saudara

    Syaiful Huda lebih bersifat umum karenam mengkaji nilai-nilai

    pendidikan karakter, sedangkan peneliti mengkaji pendidikan

    karakter dengan spesifikasi pada nilai pendidikan karakter

  • 33

    religius. Penelitian skripsi yang ketiga, dilakukan oleh Nailatul

    Fikriyah. Adapun perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang

    dilakukan peneliti yaitu mengkaji tentang model penanaman

    nilai-nilai pendidikan karakter di Madrasah Ibtidaiyah Wahid

    Hasyim Yogyakarta, sedangkan peneliti mengkaji proses

    pelaksanaan implementasi nilai pendidikan karakter religius di

    Madrasah Ibtidaiyah Darul Qur’an Wonosari. Persamaannya

    yaitu kajian penelitian tentang pendidikan karakter.

  • 34

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field

    research) dan termasuk dalam pendekatan kualitatif yang

    bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah suatu proses

    penelitian yang dilakukan secara wajar dan natural sesuai

    dengan kondisi obyektif di lapangan tanpa adanya manipulasi,

    serta jenis data yang dikumpulkan terutama data kualitatif.1

    Peneliti menggali masalah menggunakan cara berinteraksi

    dengan para partisipan yaitu subjek pemilik realitas yang akan

    diteliti.2

    B. Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilakukan di MI Darul Qur’an yang beralamat

    di Jalan Nusantara 17, Dusun Ledoksari, Desa Kepek,

    Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, D.I.

    Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada semester gasal

    tahun ajaran 2018/2019.

    C. Subjek dan Objek Penelitian

    Objek penelitian bukan semata-mata didasarkan pada

    situasi sosial yang terdiri dari tempat, pelaku, dan aktivitas,

    namun juga bisa berupa peristiwa alam, tumbuh-tumbuhan,

    binatang, kendaraan dan sejenisnya. Sampel dalam penelitian

    ini bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau

    1Zainal Arifin, Metode Penelitian dan Paradigma Baru, (Bandung: PT

    Remaja Rosydakarya, 2012), hal.140 2Nusa Putra, Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan, (Jakarta: Rajawali

    Pers, 2013), hal.14

  • 35

    partisipan, informan, teman, guru dalam penelitian yang

    merupakan obyek untuk dipelajari atau digunakan sebagai

    sumber data.3Objek dalam penelitian ini adalah implementasi

    nilai-nilai pendidikan karakter religius.

    Adapun subjek dalam penelitian ini sebagai sumber

    informasi adalah sebagai berikut :

    1. Bapak Anwarudin, S.Pd.I selaku Kepala Madrasah

    merupakan informan utama dalam penelitian ini, karena

    sebagai penanggungjawab kegiatan dan informan data yang

    akurat mengenai gambaran umum madrasah. Bapak

    Anwarudin juga berperan dalam proses bimbingan tahfidz

    Al-Qur’an.

    2. Wali Kelas VI

    Kelas VI dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas VI A

    (putra) yang di pegang oleh Ibu Emi, S.Pd. dan kelas VI B

    (putri) yang dipegang oleh Ibu Sri Wahyuningsih, S.Pd.

    Wali kelas sebagai informan memberikan data terkait

    pembelajaran di kelas dan monitoring guru terhadap siswa.

    Peneliti melakukan wawancara terkait program-program

    madrasah sebagai pelaksanaan proses implementasi nilai

    pendidikan karakter religius.

    3. Guru

    Peneliti melakukan wawancara dengan dua guruyaitu

    Ibu Dwi Fitriani, S.Pd.I dan Ibu Asti Dwi Astuti selaku guru

    tahfidz dan mata pelajaran untuk mendapatkan informasi

    3Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

    Kualitatif dan R&D, Cet.IV, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 2

  • 36

    terkait implementasi nilai karakter religius dalam

    pembelajaran.

    4. Siswa

    Peneliti mengambil data darisampel lima orang siswa

    dari kelas kelas VI. Di kelas VI (putra) adalah Zuhad dan

    Akba. Sedangkan di kelas VI (B) adalah Haiba, Salsabila,

    dan Atiya.

    D. Teknik Pengumpulan Data

    Peneliti menjadi instrumen utama untuk terjun ke lapangan

    dan berusaha mengumpulkan informasi melalui pengamatan

    dan wawancara.4 Berikut ini penjelasan mengenai teknik

    pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti:

    1) Observasi

    Nasution (1998) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar

    semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja

    berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang

    diperoleh melalui observasi.5 Dalam hal ini peneliti melakukan

    observasi di MI Darul Qur’an Wonosari tentang pendidikan

    karakter religius yang diterapkan di sana. Peneliti melakukan

    observasi dengan pastisipatif, yaitu peneliti ikut terlibat

    langsung dalam situasi sosial dan melibatkan diri bersama-sama

    dengan sumber informasi penelitian. Peneliti mengamati seluruh

    aktivitas di lingkungkan madrasah baik di kelas dan di luar

    kelas mulai dari KBM berlangsung hingga kegiatan mengaji

    usai KBM.

    4Andi Prastowo, Metode Penelitian dalam Perspektif Rancangan Penelitian,

    Cet. III, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hal.209 5Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi, Cet.IV (Bandung: Alfabeta,

    2013), hal.309

  • 37

    2) Wawancara

    Estenberg (2002) mengemukakan bahwa

    interview/wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang

    untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga

    dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Jadi

    dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal

    yang lebih mendalam tentang partisipan dalam

    menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana

    hal ini tidak bisa ditemukan dalam observasi.6Peneliti

    melakukan wawancara dengan beberapa pihak di madrasah,

    seperti kepala madrasah, guru kelas, dan siswa.

    3) Dokumentasi

    Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

    Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya

    monumental seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap

    dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam

    penelitian kualitatif.7Dokumen berbentuk teks tertulis maupun

    foto.

    E. Teknik Analisis Data

    Analisis data adalah pencarian atau pelacakan pola-pola.

    Analisis data kualitatif adalah pengujian sistematik dari sesuatu

    untuk menetapkan bagian-bagiannya. Hubungan antarkajian dan

    hubungannya terhadap keseluruhannya. (Spradley.1980).

    Artinya, semua analisis data kualitatif akan mencakup

    penelusuran data, melalui catatan-catatan (pengamatan

    6Ibid, hal.316

    7Ibid, hal.326

  • 38

    lapangan) untuk menemukan pola-pola budaya yang dikaji oleh

    peneliti. (Mantja, 2007).

    Miles dan Huberman (1992) mengemukakan tiga tahapan

    yang harus dikerjakan dalam menganalisis data penelitian

    kualitatif, yaitu (1) reduksi data; (2) paparan data/display data;

    dan (3) penarikan kesimpulan dan verivikasi.8

    Lebih jauh Miles dan Huberman mengemukakan tentang

    kegiatan tersebut di atas sebagai berikut.

    a. Reduksi Data

    Reduksi data menunjuk pada proses pemilihan, pemfokusan,

    penyederhanaan, pemisahan dan pentransformasian data

    “mentah” yang terlihat dalam catatan tertulis lapangan. Oleh

    karena itu reduksi data berlangsung selama kegiatan penelitian

    dilaksanakan. Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang

    mempertajam, memfokuskan, membuang, dan

    mengorganisasikan data dalam satu cara, dimana kesimpulan

    akhir dapat digambarkan dan diverivikasikan.

    b. Data Display

    Data dalam konteks ini adalah kumpulan informasi yang

    telah tersusun yang membolehkan penarikan kesimpulan dan

    pengambilan tindakan. Data display dalam kehidupan sehari-

    hari atau dalam interaksi sosial masyarakat terasing, maupun

    lingkungan belajar di sekolah atau data display surat kabar

    sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Namun dengan

    melihat tayangan atau display dari suatu fenomena akan

    8Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, Cet. IV

    (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), hal.210

  • 39

    membantu seseorang memahami apa yang terjadi atau

    mengerjakan sesuatu.

    c. Kesimpulan/Verifikasi

    Kesimpulan yang dibuat bukan sekali jadi. Kesimpulan

    menuntut verivikasi oleh orang lain yang ahli dalam bidang

    yang diteliti., atau juga mengecek dengan data lain, namun

    perlu diingat bahwa seandainya menambah data, berarti perlu

    dilakukan lagi reduksi data, display data dan penarikan

    kesimpulan seanjutnya.9

    F. Uji Keabsahan Data

    Salah satu kelemahan dalam penelitian kualitatif yang sering

    dipertanyakan oleh kelompok peneliti beraliran kuantitatif

    adalah mengenai validitas hasil penelitian kualitatif. Bagaimana

    hasil penelitian kualitatif dapat memperoleh validitas yang

    tinggi, sebagaimana hasil penelitian kuantitatif yang dapat

    diukur dengan angka? Barangkali jawaban untuk itu sukar

    diperoleh; sekalipun demikian penelitian kualitatif tetap saja

    dapat memperoleh validitas jika dilakukan dengan benar, hati-

    hati dan dengan menggunakan prosedur yang sistematis.10

    Dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi data sebagai

    berikut:

    a. Triangulasi Sumber

    Triangulasi sumber digunakan untuk menguji

    kredibilitas data yang dilakukan dengan memperoleh

    informasi dari beberapa sumber. Misanya untuk menguji

    9A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian

    Gabungan, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2014), hal. 407-409 10

    Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,

    (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2006), hal.245

  • 40

    kredibilitas data tentang gaya kepempinan seseorang, maka

    pengumpulan sekaligus pengujian data yang telah diperoleh

    dilakukan ke bawahan yang dipimpin, ke atasan yang

    menugasi, dank ke rekan kerja yang merupakan kelompok

    kerjasama. Data dari ketiga sumber tersebut tidak bisa

    dirata-ratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi

    dideskripsikan, dikategorikan, mana pandangan yang sama,

    yang berbeda, dan mana pandangan yang spesifik dari

    ketiga sumber data tersebut. Kesimpulan berasal dari data

    yang diperoleh peneliti setelah meminta kesepakatan

    (member check) dari tiga sumber data tersebut.11

    b. Triangulasi Teknik

    Triangulasi teknik digunakan untuk menguji kredibilitas

    data yang dilakukan dengan mengecek data kepada sumber

    yang sama dengan teknik yang berbeda. Contohnya, data

    diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,

    dokumentasi atau kuisioner. Jika ketiga teknik pengujian

    kredibilitas data mengasilkan data yang berbeda-beda, maka

    peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data

    yang bersangkutan atau yang lain, sehingga data dapat

    dipastikan dengan benar. Atau memang begitulah adanya,

    semuanya benar berdasarkan sudut pandang yang berbeda-

    beda.12

    11

    Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan …, hal.274. 12

    Ibid, hal.274

  • 41

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Berdasarkan hasil penelitian selama kurang lebih satu bulan tentang

    implementasi nilai pendidikan karakter religius di Madrasah Ibtidaiyah

    Darul Qur’an Wonosari, diperoleh hasil sebagai berikut :

    A. Nilai-nilai Karakter Religius yang Terdapat di MI Darul

    Qur’an

    Madrasah Ibtidaiyah Darul Qur’an merupakan salah satu

    lembaga formal yang berdiri pada tahun 2013 di bawah naungan

    Yayasan Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad. Sebagai

    madrasah berbasis pesantren, MI Darul Qur’an tentu menerapkan

    pola pendidikan yang sarat dengan penanaman nilai-nilai

    keislaman sebagai fondasi dalam pembentukan dan pengembangan

    akhlak. Visi MI Darul Qur’an sendiri adalah mencetak siswa yang

    berkepribadian, berkualitas, berkapasitas global dan berwawasan

    lingkungan. Empat poin dalam visi tersebut dimaksudkan untuk

    mencetak siswa menjadi pribadi yang unggul tidak hanya secara

    intelektual, tetapi juga secara emosional dan spiritual dengan

    memiliki karakter yang sesuai dengan syariat Islam, berwawasan

    luas, serta memiliki kemampuan sosial dalam menyesuaikan dan

    peka terhadap lingkungan.1 Seperti hasil wawancara dengan Bapak

    Anwarudin yang menyatakan :

    “Di antara tujuan didirikannya MI Darul Qur’an seperti yang

    dikatakan oleh Abi Drs. KH. Kharis Masduqi, M. S.I adalah

    1Hasil wawancara dengan Bapak Anwarudin selaku Kepala Madrasah

    Ibtidaiyah Darul Qur’an Wonosari pada hari Rabu, 23 Agustus 2018 pukul 10.00

    WIB

  • 42

    untuk mengembalikan identitas madrasah tempo dulu yang

    sekarang ini mulai hilang. Dahulu madrasah sangat kental

    dengan pembelajaran agama Islam seperti kajian kitab-kitab

    kuning, Nahwu dan Shorof, serta pengembangan Tahfidzul

    Qur’an. Selain alasan tersebut, permintaan masyarakat dan

    orang tua/wali siswa Raudhatul Athfal Darul Qur’an juga

    menjadi alasan dan dorongan kuat berdirinya madrasah ini.

    Dikarenakan target dari RA Darul Qur’an untuk meluluskan

    siswa yang sudah mampu menghafal juz 30, serta semangat

    tinggi para siswa dan wali untuk melanjutkan hafalan Qur’an.”

    Dari pernyataan Bapak Anwarudin tersebut menunjukkan

    tingginya kepercayaan masyarakat untuk dapat menjadikan MI

    Darul Qur’an sebagai lembaga formal yang berwawasan pesantren

    dan mampu mencetak generasi Qur’ani.

    Perkembangan MI Darul Qur’an semakin menunjukkan

    eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari semakin tingginya jumlah siswa

    dari tahun ke tahun. Selain itu deretan prestasi akademik dan non

    akademik yang diraih oleh siswa dari tingkat kabupaten sampai tingkat

    nasional. Program yang ditawarkan juga mampu menarik minat

    masyarakat, dengan adanya program unggulan yaitu program tahfidz

    yang menargetkan siswa mampu menghafal 3 juz setiap tahunnya.2

    Dengan adanya program tersebut, akan meningkatkan kualitas siswa

    didik yang tidak hanya unggul dalam intelektual tetapi juga menjadi

    pribadi yang berkarakter religius.

    Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan

    manusia. aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang

    2Dokumen Profil Madrasah Ibtidaiyah Darul Qur’an

  • 43

    melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan

    aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya

    yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata,

    tetapi juga aktvitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.3

    Madrasah Ibtidaiyah Darul Qur’an melaksanakan penanaman nilai

    karakter religius dengan berbagaiaktivitas kegiatan.Baik dari aktivitas

    rutin madrasah yang bersifat wajib, maupun dalam aktivitas

    sederhanadi luar pembelajaran seperti teguran, nasihat, dan teladan

    guru kepada siswa.

    Berikut adalah nilai-nilai religius yang terdapat di MI Darul

    Qur’an Wonosari:

    1. Nilai Ilahiyat

    a. Iman

    Nilai iman tertanam pada diri siswa yang tercermin

    melalui sikap percaya kepada Allah sebagai Tuhan alam

    semesta ini. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran siswa

    yang sebagian besar sudah mampu menjalankan ibadah

    sholat lima waktu sebagai kewajiban umat muslim.

    Berdasarkan wawancara peneliti dengan salah satu guru

    kelas yang memaparkan bahwa terdapat kartu kendali bagi

    setiap siswa yang bertujuan untuk memantau aktivitas siswa

    di rumah dengan ditanda tangani wali siswa dan disetorkan

    pada guru kelas seminggu sekali.4

    3Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam

    atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hal. 76 4Wawancara dengan Ibu Dwi Fitriani selaku pembimbing tahfidz dan mata

    pelajaran, pada hari Senin 4 September 2018, pukul 09.30

  • 44

    b. Taqwa

    Nilai taqwa ditunjukkan dengan sikap tunduk pada

    perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Ketaqwaan

    akan cenderung membawa hati siswa takut berbohong atau

    berlaku buruk karena merasa tidak lepas dari pengawasan

    Allah, serta mendorong siswa untuk bersikap jujur. Hal ini

    sesuai dengan pemaparan Ibu Sri Wahyuningsih:

    “Misalnya ada bapak atau ibu guru yang meninggalkan

    barang entah berupa makanan, minuman atau pulpen di atas

    meja kelas, anak-anak tidak pernah berani mengambilnya.

    Bahkan terkadang mereka akanmengantarkannya ke ruang

    guru. Inilah sikap jujur yang sudah nampak pada siswa.”

    c. Syukur

    Nilai syukur sudah nampak pada diri siswa seperti

    berdoa setiap hendak melakukan berbagai kegiatandi

    antaranya yaitu berdoa ketika apel pagi, sebelum mengaji

    Al-Qur’an, sebelum memulai pembelajaran, sebelum makan

    dan minum, dan sebagainya. Rasa syukur juga tumbuh dari

    sentuhan rohani seperti Sholat Dhuha seperti yang dikatakan

    Bapak kepala madrasah berikut:5

    “Kegiatan sholat Dhuha ini sangat penting.Karena dalam

    kurun waktu lima sampai enam tahun atau sejak siswa mulai

    kelas satu sampai duduk dibangku kelas enam, dirasa cukup

    untuk membentuk pribadi mereka dengan pembiasaan sholat

    Dhuha.”

    5Wawancara dengan Bapak Anwarudin selaku kepala madrasah, pada hari

    Rabu 23 Agustus 2018, pukul 10.00 WIB

  • 45

    Demikianlah sebagai umat islam, tentu kita harus

    menyadari bahwa dalam setiap ibadah yang dilakukan

    bukan sekedar ritual yang tanpa makna. Setiap ibadah selalu

    mengandung berbagai faedah dan keutamaan yang

    senantiasa mengiring manusia yang menjalankannya dengan

    ikhlas dan istiqomah.

    d. Sabar

    Nilai sabar dapat tercermin ketika para siswa sedang

    melakukan budaya mengantri untuk mengambil catering

    atau makan siang.Selain itu pada kegiatan mengaji tahfidz

    juga ditanamkan nilai kesabaran seperti mengantri giliran

    untuk mengaji setoran.6

    2. Nilai Insaniyah

    a. Silaturahmi

    Nilai silaturahmi terdapat di Madrasah Ibtidaiyah Darul

    Qur’an. Melalui wawancara peneliti dengan Ibu Sri

    Wahyuningsih, S.Pd. selaku guru kelas VI A yang

    menjelaskan:7

    “Hubungan madrasah dengan wali siswa terjalin akrab,

    karena sebisa mungkin segala masalah yang terjadi pada

    siswa kita selesaikan bersama.Setiap kelas juga mengadakan

    agenda simaan Al-Qur’an ahad pahing sebulan sekali di

    rumah wali siswa secara bergiliran.”

    Kegiatan simaan ahad pahing merupakan agenda rutin

    setiap bulan yang diikuti oleh guru, siswa, dan wali siswa.

    6Wawancara dengan Ibu Dwi Fitriani selaku pembimbing tahfidz, pada hari

    Senin 4 September 2018, pukul 09.30 WIB 7Wawancara dengan Ibu Sri Wahyuningsih selaku wali kelas VI B, pada hari

    Senin 21 Agustus 2018, pukul 09.30 WIB

  • 46

    kegiatan ini bertempat di rumah salah satu siswa dalam satu

    kelas tersebut secara bergiliran. Tujuan kegiatan ini adalah

    untuk melatih keberanian mental siswa dan mempererat tali

    silaturahmi antara madrasah dengan wali siswa, serta antar

    wali siswa yang satu dengan yang lain.

    b. Al Musawah

    Nilai Al Musawah tercermin pada siswa, dimana sikap

    saling menghargai, tidak membeda-bedakan, dan memiliki

    pandangan bahwa semua manusia sama dimata Allah. Hal ini

    dapat dilihat dari satu contoh yaitu latar belakang keluarga

    siswa yang bermacam-macam, mulai dari profesi orang tua

    mereka sebagai petani, pedangang, guru bahkan

    pejabat.Namun prinsip persaudaraan yang sangat melekat,

    para siswa tetap berteman tanpa memandang perbedaan latar

    belakang keluarga atau tempat asal.8

    c. Al Ukhuwah

    Nilai Ukhuwah tercermin dalam kegiatan seperti simaan

    Al-Qur’an.Kegiatan ini menanamkan berbagai nilai-nilai

    karakter religius salah satunya adalah semangat ukhuwah

    atau persaudaraan.Dengan bekerjasama menyimak salah satu

    teman yang sedang melafalkan hafalan Qur’an, serta

    membantu membenarkan jika terdapat bacaan/makhroj yang

    salah.9

    Berdasarkan wawancara peneliti dengan Ibu Sri

    Wahyuningsih selaku guru kelas VI A yang menjelaskan

    8Wawancara dengan Bapak Anwarudin selaku kepala madrasah, pada hari

    Rabu 23 Agustus 2018, pukul 10.00 WIB 9Hasil observasi langsung peneliti di MI Darul Qur’an Wonosari, pada hari jum’at 7

    September 2018, pukul 14.00 WIB

  • 47

    bahwa siswa sudah dibiasakan untuk saling menjaga

    persaudaraan dengan tidak saling mengejek, tidak

    memanggil nama teman dengan istilah-istilah buruk, tidak

    saling mengumpat, dan saling menghargai antar teman.10

    d. Al Tawadlu

    Nilai tawadhu sudah nampak dari sikap-sikap yang

    ditunjukkan oleh siswa MI Darul Qur’an. Melalui program

    tahfidz, siswa diajarkan untuk membiasakan menjaga adab

    mengaji Al-Qur’an seperti memulai kegiatan dalam kegiatan

    suci, formasi duduk dengan sikap sopan, tidak duduk

    membelakangi guru, dan tidak berani berdiri jika guru masih

    dalam posisi duduk. Selain kegiatan mengaji tahfidz,

    kegiatan apel pagi juga menanamkan sikap tawadhu siswa

    kepada guru, seperti bermusofahah ketika hendak masuk ke

    ruang kelas, sehingga siswa juga terbiasa bermusofahah

    ketika bertemu dengan guru.11

    e. Qawamiyah

    Nilai qawamiyah merupakan nilai karakter yang

    menunjukkan sikap tidak boros. Hal ini sesuai dengan upaya

    madrasah menerapkan adanya catering/makan siang, yang

    bertujuan supaya siswa ketika istirahat tidak perlu jajan

    diluar lingkungan madrasah, sehingga mereka tidak boros.12

    10Wawancara dengan Ibu Sri Wahyuningsih selaku wali kelas VI B, pada

    hari Senin 21 Agustus 2018, pukul 09.30 WIB 11

    Wawancara dengan Ibu Emi Wahyuningsih selaku wali kelas VI A pada hari Rabu

    23 Agustus 2018, pukul 12.00 WIB 12

    Wawancara dengan Ibu Sri Wahyuningsih selaku wali kelas VI B, pada

    hari Senin 21 Agustus 2018, pukul 09.30 WIB

  • 48

    B. Proses Implementasi Nilai Pendidikan Karakter Religius

    1. Program Tahfidz dan Tahsin Al-Qur’an

    Tahfidz dan tahsin Al-Qur’an merupakan program unggulan

    di MI Darul Qur’an.Tujuan dari kurikulum tahfidz dan

    tahsinAl-Qur’an adalah dalam rangka untuk mencetak bibit-

    bibit unggul yang Qur’ani.Kelompok tahfidz Al-Qur’an materi

    hafalannya dimulai dari juz 30 kemudian berlanjut pada juz 1

    sampai juz 17.Biasanya siswa kelompok tahfidz adalah siswa

    kelas dua ke atas atau yang sudah mampu membaca Al-Qur’an

    dengan lancar dan benar.Metode yang diterapkan dalam

    mengaji tahfidz ini adalah dengan metode klasikal seperti yang

    diterapkan pada pondok-pondok pesantren tahfidz pada

    umumnya.Sedangkan untuk kelompok tahsin Al-Qur’an adalah

    bagi siswa yang belum lancar membaca Al-Qur’an dan

    dimaksudkan agar siswa mampu membaca Al-Qur’an secara

    benar sesuai tajwid.Dalam kegiatan tahsin ini madrasah

    menerapkan metode talaqqi (siswa belajar Al-Qur’an dengan

    memperhatikan gerak bibir guru untuk mendapatkan

    pengucapan makhraj yang benar, untuk kemudian ditirukan oleh

    siswa).Materi menghafal untuk kelompok tahsin adalah juz 30

    dan surat-surat pilihan seperti Surat Yasin, Al-Mulk, dan

    Alkahfi.Biasanya siswa yang mengikuti kelompok tahsin adalah

    siswa baru atau siswa di atas kelas satu yang belum lancar

    membaca Al-Qur’an. Maka Madrasah Ibtidaiyah Darul Qur’an

    menargetkan kompetensi hafalannya sebagai berikut :13

    13

    Data Profil Madrasah Ibtidaiyah Darul Qur’an

  • 49

    Kurikulum Tahfidz dan Tahsin Al-Qur’an di MI Darul

    Qur’an :

    NO KELAS KITAB

    TARGET

    CAPAIAN

    TAHFIDZ TAHSIN

    1 I Al-Qur’an Juz 30 –

    Juz 2

    Juz 30 Juz 5

    2 II Al-Qur’an Juz 3 – Juz

    5

    Juz 6 – Juz

    11

    3 III Al-Qur’an Juz 6 – Juz

    8

    Juz 12 – Juz

    17

    4 IV Al-Qur’an Juz 9 – Juz

    11

    Juz 18 – Juz

    23

    5 V Al-Qur’an Juz 12 –

    Juz 14

    Juz 24 – Juz

    29

    6 VI Al-Qur’an Juz 15 – Juz

    17

    -

    Implementasi pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Darul

    Qur’an menerapkan kurikulum berupa pengkhususan program

    tahfidz Al-Qur’an dan tahsin Al-Qur’an sebagai program

    unggulannya. Kedua program tersebut bertujuan untuk

    menghasilkan bibit-bibit unggul yang Qur’ani untuk menjadi

    penghafal Al-Qur’an tanpa mengesampingkan juga kurikulum

    dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan

    Kementerian Agama (Kemenag), sehingga madrasah berharap

  • 50

    dapat mewujudkan generasi muda yang memiliki tiga aspek

    kecerdasan (IQ, EQ, dan SQ) yang tangguh.14

    Proses dalam pelaksanaan pembelajaran tahfidz dan tahsin

    Al-Qur’an tidak sekedar menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an lalu

    disetorkan. Tetapi dalam proses menjalankan kegiatan ini juga

    disertai dengan pembiasaan-pembiasaan yang baik,

    sepertimelatih untuk membiasakan bersikap santun dan

    menghormati guru. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ibu

    Dwi Fitriani selaku guru pembimbing tahfidz berikut :15

    “Sebelum mulai mengaji, para siswa harus selalu dalam

    keadaan suci atau sudah berwudhu, membaca surah al-fatihah,

    dan berdoa. Kemudian kita juga mengajarkan mereka untuk

    mengatur cara duduk dan formasi duduk yang baik, supaya

    mereka mengetahui dan terbiasa dengan adab mengaji Al-

    Qur’an.Hal ini menjadikan siswa menjadi terbiasa pula untuk

    membaca doa, mengondisikan diri mereka, mengatur cara

    duduk yang baik sebelum kegiatan pembelajaran apapun.”

    Senada dengan pernyataan tersebut, siswa juga cenderung

    merasa tawadhu’ kepada guru. Hal ini dapat dilihat ketika

    proses mengaji sedang berlangsung, siswa yang usai

    menyetorkan hafalan tidak akan kembali ke tempat semula

    dengan berjalan membelakangi guru, tetapi mereka akan

    berjalan mundur dengan posisi yang menyerupai jongkok.

    Karena siswa tidak akan berani berjalan dengan berdiri apabila

    14

    Majalah Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad, Edisi 2. Februari

    2016, hal.10 15

    Wawancara dengan Ibu Dwi Fitriani selaku pembimbing tahfidz dan mata

    pelajaran, pada hari Senin 4 September 2018, pukul 09.30 WIB

  • 51

    gurunya masih dalam posisi duduk. Kemudian ketika bertemu

    dengan guru siapapun dan dimanapun, mereka menunjukkan

    sikap hormat dengan menyapa dan menundukkan kepala.

    Meskipun belum semuanya, tetapi sebagian besar dari para

    siswa sudah memahami bagaimana adab dengan seorang guru.

    Tidak hanya berkenaan dengan pengembangan adab, dalam

    proses pembelajaran tahfidz para siswa juga akan terbiasa

    dengan nderes Al-Qur’an setiap harinya. Bahkan ketika berada

    di rumah, saat sehabis maghrib kegiatan mereka banyak yang

    seragam yaitu tadarus Al-Qur’an baik membuat setoran hafalan

    maupun muroja’ah atau mengulang hafalan. Pada awalnya

    memang sulit untuk mengajarkan pada mereka hal-hal semacam

    itu, tetapi seiring berjalannya waktu, dengan keistiqomahan

    Bapak/Ibu guru maupun pembimbing yang memberikan arahan,

    teladan, dan peringatan, maka hal demikian itu sudah menjadi

    kebiasaan. Sehingga khususnya untuk siswa-siswa kelas atas

    sudah mudah untuk dikondisikan.

    Di samping pernyataan dari guru tahfidz, peneliti juga sempat

    menanyakan hal yang sama terkait pembiasaan adab siswa kepada

    guru. Dua siswa kelas VI A sebagai informan yaitu bernama Akbar

    dan Zuhad, yang mengatakan bahwa ketika ada seorang guru

    sedang mengajar dan semisalada siswa hendak izin ke toilet, siswa

    pasti berjalan keluar dengan tidak membelakangi guru. Dia juga

    menambahkan, ketika ada guru yang berjalan dan siswa kebetulan

    berada di belakangnya, siswa tidak berani mendahului gurunya

    berjalan, kecuali jika guru tersebut sedang berhenti untuk berbicara

  • 52

    dengan guru yang lain lalu siswa tersebut dipersilakan untuk

    berjalan terlebih dahulu.16

    Hal serupa juga dikatakan oleh tiga siswa kelas VI B yang

    bernama Salsabila, Haiba, dan Atiya ketika peneliti melakukan

    wawancara dengan mereka. Pada kesempatan tersebut, peneliti

    mengajak mereka untuk mengobrol secara santai dengan

    mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang

    peneliti ajukan adalah terkait adab siswa dengan guru ketika

    pembelajaran tahfidz.Kelas VI B tidak menggunakan bangku/meja,

    sehingga guru dan siswa selalu duduk di lantai dalam melaksanakan

    pembelajaran. Hal ini tidak menjadi soal, karena mereka justru

    merasa lebih santai dan nyaman. Menurut ketiganya, sejak awal

    para siswa sudah diajarkan oleh guru bagaimana cara duduk yang

    baik dan bersikap sopan ketika berhadapan dengan guru ketika

    mengaji Al-Qur’an. Sikap-sikap yang diajarkan oleh guru ini sudah

    menjadi kebiasaan. Tidak hanya dalam kegiatan mengaji tahfidz,

    hal ini bahkan dapat mereka terapkan dalam kegiatan pembelajaran

    lain baik pembelajaran di kelas maupun dalam kondisi-kondisi

    tertentu di luar pembelajaran. Salah satu dari mereka mengatakan

    bahwa jika guru dalam posisi duduk, siswa tidak berani untuk

    berdiri. Jika di antara siswa ada yang ingin izin keluar misalnya ke

    toilet, siswa akan berjalan keluar dengan tidak membelakangi guru

    dan berjalan menyerupai jongkok atau membungkuk. Kemudian

    ketika para siswa melihat gurunya membawa buku-buku dan

    peralatan mengajar, mereka akan bergegas untuk membantu

    16

    Wawancara dengan Akbar dan Zuhad selaku siswa kelas VI A, pada hari

    Sabtu 2 September 2018, pukul 13.15 WIB

  • 53

    membawakannya.17

    Demikian merupakan contoh-contoh sederhana

    dimana para siswa cukup memahami dan menerapkan sikap hormat

    kepada guru. Tidak hanya di waktu mengaji tahfidz atau

    pembelajaran di kelas, tetapi juga dimana pun mereka bertatap

    muka dengan gurunya.

    Hasil wawancara dengan Ibu Dwi Fitriani dan siswa kelas VI A

    dan VI B tersebut sesuai dengan data yang peneliti peroeh dari

    observasi, bahwa melalui pembelajaran tahfidzseorang guru

    ketikamengajarkan Al-Qur’an adalah sekaligus dalam rangka

    menanamkan nilai-nilai karakter religius seperti :18

    a) Menumbuhkan rasa cinta Al-Qur’an; Dengan konsistensi

    guru mengajarkan Al-Qur’an, para siswa dituntut untuk

    menghafal ayat demi ayat dan mengulang hafalan Al-

    Qur’an. Sehingga siswa menjadi terbiasa dengan tadarus Al-

    Qur’an setiap harinya. Hal ini menumbuhkan rasa cintanya

    terhadap Al-Qur’an dengan kegemaran untuk bertadarus.

    b) Membiasakan membaca do’a; Dengan melafalkan do’a

    sebelum mengaji setiap harinya, maka para siswa juga

    terbiasa membaca do’a dalam sebelum kegiatan

    pembelajaran umum dan les.

    c) Menumbuhkan rasa tawadhu’; Dapat dilihat ketika siswa

    hendak mengaji pada gurunya atau usai mengaji, siswa tidak

    akan berjalan dengan berdiri dan membelakangi guru,

    melainkan berjalan mundur dengan posisi seperti

    17

    Wawancara dengan Haiba, Salsabila dan Atiya selaku siswa kelas VI B,

    pada hari Sabtu 2 September 2018 pukul 12.00 WIB 18

    Observasi peneliti langsung di lapangan, pada 2 September 2018, pukul

    08.00 WIB

  • 54

    jongkok/membungkuk. Hal ini menampakkan sikap hormat

    dan rasa tawadhu’ siswa kepada gurunya.

    2. Sholat Dhuha

    Sholat Dhuha berjamaah merupakan salah satu program

    kegiatan madrasah yang wajib diikuti oleh seluruh siswa.

    Tujuan diadakannya kegiatan sholat Dhuha adalah guna

    membiasakan siswa supaya istiqomah dalam beribadah, tidak

    hanya ibadah wajib tetapi juga sunnahnya. Selain itu

    pelaksanaan sholat Dhuha diharapkan juga mampu membentuk

    pribadi siswa menjadi pribadi yang taat dan iman yang kuat.

    Seperti yang dikatakan oleh Ibu Dwi Fitriani selaku guru tahfidz

    dan mata pelajaran:19

    “Program kegiatan sholat Dhuha dilaksanakan setiap

    hari pada sekitar pukul 09.00 WIB. Guru pembimbing

    tahfidz sekaligus mengawal para siswa untuk melaksanakan

    sholat Dhuha di kelas masing-masing selepas pembelajaran

    tahfidz. Untuk siswa kelas awal atau siswa baru, bacaan-

    bacaan sholat dilafalkan secara bersama-sama supaya

    mudah dihafalkan. Hal ini sudah bisa dilihat dari siswa-

    siswa kelas atas, karena mereka sudah terbiasa dengan

    bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan sholat Dhuha, maka

    akan mudah dalam mengawal mereka dalam menjalankan

    sholat dhuha. Di samping guru mengajarkan bagaimana tata

    cara sholat Dhuha, mulai dari bacaan, gerakan, dan do’a

    sehabis sholat, guru juga memberikan pengertian kepada

    siswa tentang apa itu sholat Dhuha, manfaat, serta

    19

    Wawancara dengan Ibu Dwi Fitriani selaku guru tahfidz dan guru mata

    pelajaran, pada hari Senin 4 September 2018, pukul 09.30 WIB.

  • 55

    keutamaannya. Dari penjelasan-penjelasan inilah siswa akan

    mampu memahami tujuan mereka menjalankan sholat

    Dhuha dan agar mereka bisa istiqomah menjalankannya.”

    Berdasarkan pemaparan Ibu Dwi Fitriani tersebut

    menunjukkan bahwa program sholat Dhuha ini sudah berjalan

    setiap harinya. Meskipun masih terdapat kesulitan dalam

    membiasakan kepada para siswa yang masih duduk di kelas

    awal / kelas bawah, namun dengan ketekunan bapak dan ibu

    guru untuk selalu mengawal para siswa, lambat laun mereka

    akan terbiasa. Dapat dilihat dari siswa yang sudah memasuki

    kelas tiga ke atas, mereka cenderung lebih mudah melaksakan

    sholat dhuha tanpa harus dipaksa oleh gurunya. Pada masing-

    masing kelas guru biasanya juga membuatkan jadwal harian

    untuk menjadi imam sholat jamaah (Sholat Dhuha, Dzuhur, dan

    Ashar). Hal ini merupakan upaya agar para siswa bisa berlatih

    dan bisa lebih mandiri untuk mengerjakan sholat berjamaah.

    Namun terkadang dalam satu kelas ada pula guru yang menjadi

    imam dan para siswa menjadi makmum. Tergantung kebijakan

    dari masing-masing guru pembimbing.20

    Secara filosofis, ibadah dalam islam bukan semata-mata

    menyembah Allah dan amalan sholat adalah sebagai cara

    manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pelaksanaan

    sholat Dhuha merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan

    rasa syukur kepada Allah SWT. Hal ini mengingat manusia

    kebanyakan lupa menghadap (bermuwajahah) atau

    20

    Hasil Observasi peneliti langsung di lapangan, pada hari Selasa 5

    September 2018, pukul 09.00 WIB

  • 56

    berkonsultasi terlebih dahulu dengan Allah pada pagi hari

    sebelum memulai aktivitas. Mengerjakan sholat Dhuha masuk

    dalam kategori orang yang mensyukuri segala nikmat. Maka

    apabila selalu melakukannya, Allah akan melimpahkan segala

    karunia kepada hamba-Nya yang senantiasa mengerjakannya.

    Lebih dari itu ternyata sholat Dhuha merupakan salah satu

    alternatif ibadah yang dapat meningkatkan kecerdasan.

    Utamanya kecerdasan fisikal, emosional, spiritual, dan

    intelektual.21

    Sebagai umat islam, tentu kita harus menyadari bahwa

    dalam setiap ibadah yang dilakukan bukan sekedar ritual yang

    tanpa makna. Setiap ibadah selalu mengandung berbagai faedah

    dan keutamaan yang senantiasa mengiring manusia yang

    menjalankannya dengan ikhlas dan istiqomah.Dalam hal ini

    Bapak Anwarudin selaku kepala madrasah menjelaskan :22

    “Kegiatan sholat Dhuha ini sangat penting. Karena

    dalam kurun waktu lima sampai enam tahun atau sejak

    siswa mulai kelas satu sampai duduk dibangku kelas enam,

    dirasa cukup untuk membentuk pribadi mereka dengan

    pembiasaan sholat Dhuha.”

    Berdasarkan observasi peneliti kondisi siswa di Madrasah

    Ibtidaiyah Darul Qur’an khususnya kelas VI cukup

    memperlihatkan dampak dari program kegiatan sholat dhuha

    seperti yang dipaparkan oleh Bapak Kepala madrasah pada hasil

    21

    Nuryadi Wahyono, Hubungan Sholat Dhuha dengan Kecerdasan

    Emosional, Tadarus: Jurnal Pendidikan Islam, Vol.6, No.2, 2017 22

    Wawancara dengan Bapak Anwarudin selaku kepala madrasah, pada hari

    Rabu 23 Agustus 2018, pukul 10.00 WIB

  • 57

    wawancara. Meskipun belum meliputi keseluruhan siswa,

    namun rata-rata siwa kelas VI sudah menunjukkan nilai

    karakter yang ditanamkan madrasah melalui sholat Dhuha.

    Sebagai contoh, ketika guru tahfidz sedang berhalangan untuk

    mendampingi siswa di kelas VI B (putri), peneliti ditugaskan

    untuk menggantikan beliau untuk mendampingi mereka pada

    waktu sholat dhuha. Usai kegiatan pembelajaran tahfidz

    tersebut, para siswa tidak menunggu perintah untuk

    melaksanakan sholat Dhuha. Para siswa secara bergiliran keluar

    dari kelas untuk mengambil air wudhu. Kemudian mereka

    bersiap dengan mengenakan mukena dan mengatur shaf

    (barisan). Setelah semuannya berada di kelas salah satu siswa

    yang pada hari itu terjadwal menjadi imam segera

    mengkoordinir teman-temannya untuk merapatkan barisan dan

    mulai melaksanakan sholat Dhuha. Dari contoh semacam ini

    dapat dilihat karakter siswa yang mudah untuk dikendalikan.

    Guru tidak perlu memerintah dengan nada paksaan, tetapi para

    siswa sendiri sudah memiliki kesadaran akan hal itu. Meskipun

    memang masih ada satu dua siswa yang harus diajak dan dirayu

    terlebih dahulu oleh teman sekelasnya.23

    Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan

    beberapa narasumber, Sholat Dhuha mampu menanamkan nilai-

    nilai religius seperti meningkatkan keimanan dan ketaqwaan,

    serta memiliki rasa syukur atas ni’mat Allah.

    23

    Hasil Observasi langsung di kelas VI B, pada hari Selasa 5 Oktober 2018,

    pukul 09.15 WIB

  • 58

    3. Apel Pagi

    Apel pagi merupakan salah satu kegiatan madrasah yang

    dilaksanakan setiap hari pada pukul 06.45 sampai dengan pukul

    07.20 sebelum para siswa melaksanakan pembelajaran. Di

    antara tujuan diadakannya apel pagi ini adalah untuk menjaga

    kedisiplinan siswa supaya tidak terlambat datang ke madrasah,

    memberikan semangat kepada siswa sebelum pembelajaran

    dengan membaca asmaul husna, doa, dan bernyanyi bersama,

    serta membiasakan siswa untuk bersalaman (musofahah)

    dengan guru.24

    Berdasarkan observasi peneliti berikut ini diperoleh

    informasi mengenai pelaksanaan apel pagi.Setibanya di

    madrasah, para siswa terlebih dahulu meletakkan

    tas/perlengkapan belajar di kelas, kemudian para siswa

    didampingi oleh guru dan karyawan menuju halamanmadrasah.

    Sebelum apel dimulai para siswa terlebih dahulumengatur

    barisan, masing-masing kelas membentuk dua berbanjar. Guru

    kelas mengawasi siswa dengan menempatkan diri di barisan

    belakang.Kemudian kegiatan ini diawali dengan melafalkan

    asmaul husna dan doa secara serentak dengan suara lantang dan

    ritme yang tidak terlalu cepat. Sebagian besar siswa MI Darul

    Qur’an sudah hafal bacaan asmaul husna dan doa-doa. Kecuali

    bagi siswa baru yang masih terbata-bata menirukan bacaan dan

    beberapa diantaranya ada yang masih mendengarkan. Kemudian

    kepala madrasah memandu para siswa untuk bernyanyi dan

    bertepuk dengan penuh semangat. Setelah itu kegiatan apel di

    24

    Wawancara dengan Bapak Anwarudin selaku kepala madrasah, pada hari

    Rabu 23 Agustus 2018, pukul 10.00 WIB

  • 59

    akhiri dengan bersalaman (musofahah) antara guru dengan

    siswa. Para siswa menuju ruang kelas dengan bersalaman

    terlebih dahulu dengan bapak ibu guru (siswa putra bersalaman

    dengan guru putra dan siswa putri bersalaman dengan guru

    putri). Dengan demikian para siswa dapat memasuki ruang

    kelas dengan rapi dan terkondisikan.25

    Program apel pagi bukan hanya sekedar kegiatan

    mengumpulkan siswa untuk berbaris rapi kemudian melafalkan

    asmaul husna, doa, dan bernyanyi bersama. Lebih dari itu,

    kegiatan ini dimaksudkan dalam rangka menanamkan nilai-nilai

    karakter yang dapat membentuk kepribadian siswa ketika sudah

    tumbuh dewasa. Berdasarkan observasi peneliti yang sudah

    dipaparkan, terdapat nilai karakter religius yang dapat

    ditanamkan melalui kegiatan apel pagi, antara lain :

    1) Memiliki rasa tawadhu’, hal ini ditanamkan melalui

    musofahah siswa dengan seluruh guru.

    2) Mengajarkan siswa tata cara musofahah yang baik dan

    santun.

    3) Selalu mengingat Allah, dengan pembiasaan membaca

    asmaul husna dan doa-doa, siswa akan tergerak untuk lebih

    mengingat keagungan Allah SWT.

    4) Mengajarkan untuk taat, dengan adanya apel pagi pada pukul

    06.45 WIB siswa akan berangkat ke madrasah lebih awal

    supaya tidak terlambat mengikuti kegiatan belajar.

    4. Pembelajaran

    25

    Hasil observasi langung di halaman madrasah, pada hari Sabtu 26 Agustus

    2018, pukul 07.00 WIB

  • 60

    Kegiatan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Darul

    Qur’an meliputi pembelajaran tahfidz dan pembelajaran umum.

    Dalam hal ini peneliti memfokuskan pembahasan pada

    pembelajaran mata pelajaran umum, karena mengenai program

    pembelajaran tahfidz sudah peneliti bahas pada poin

    sebelumnya.

    Memasuki pembahasan ini peneliti mendapatkan data dari

    informan yang berperan langsung dalam proses pelaksanaan

    pembelajaran di kelas yaitu Ibu Sri Wahyuningsih, S.Pd.I selaku

    wali kelas VI B. Menurut beliau kegiatan pembelajaran bukan

    sekedar penyampaian materi mata pelajaran oleh guru kepada

    siswa untuk kemudian bisa diterima dan dipahami sebagai

    pengetahuan baru. Lebih dari itu, pembelajaran hendaknya

    mencakup ranah yang bukan hanya terfokus pada penekanan

    aspek kognitif, tetapi juga penekanan dalam aspek afektif dan

    psikomotor. Hal ini dalam rangka menumbuh kembangkan

    pribadi siswa agar menjadi pribadi yang berkualitas. Seperti

    pemaparan beliau dalam wawancara berikut :26

    “Seperti ketika pergantian jam pelajaran atau sebelum

    saya masuk kelas untuk mengajar, sangat jarang saya melihat

    siswa yang berlalu lalang di luar kelas. Hal ini menunjukkan

    bahwa meskipun tidak guru di kelas, para siswa tetap tidak

    berani keluar dari kelas kecuali karena alasan-alasan tertentu

    seperti ke toilet. Kemudian ketika saya memasuki kelas, para

    siswa langsung bergegas bersiap-siap dan mengatur formasi

    duduk mereka untuk melaksanakan pembelajaran. Begitu

    26

    Wawancara dengan Ibu Sri Wahyuningsih, pada hari Senin 21 Agustus

    2018, pukul 10.00 WIB

  • 61

    berada di dalam kelas biasanya saya tidak langsung membuka

    jalannya pembelajaran, tetapi bagaimana supaya keadaan

    kelas terasa benar-benar kondusif dan rileks terlebih dulu.

    Terkadang sebelum pelajaran dimulai saya membiasakan

    bertanya-tanya atau mengobrol santai dengan siswa. Mungkin

    menanyakan kabar, hal apa saja yang sedang mereka suka

    lakukan di rumah, buku apa yang sedang di baca (mengingat

    sebagian siswa kelas VI B memiliki kegemaran membaca),

    apa saja materi yang belum dipahami ketika pertemuan

    sebelumnya, dan lain sebagainya. Kemudian ketika saya

    mengabsen siswa saya selalu menyertakan bacaan Surah Al-

    Fatihah untuk mereka pada setiap nama yang sudah saya

    sebutkan.”

    Berdasarkn keterangan Ibu Sri Wahyuningsih di atas,

    sejauh ini bisa dikatakan banyak kemudahan yang dirasakan

    beliau semenjak menjadi guru kelas di kelas VI B, misalnya

    para siswa yang mudah dikondisikan. Hal ini bisa dilihat dari

    beberapa perilaku yang sudah mereka biasakan. Kemudian

    meskipun bacaan alfatihah untuk setiap anak secara lirih,

    tetapi siswa lambat laun akan dapat memahami bahwa hal ini

    merupakan bentuk kasih sayang seorang guru yang senantiasa

    selalu mengiringi doa untuk mereka Selain itu siswa akan

    merasa dihargai oleh gurunya. Begitu pula pada waktu

    pembelajaran selesai, siswa sudah terbiasa untuk bersalaman

    dengan guru yang hendak keluar dari kelas. Kemudian para

    siswa secara berebut ingin membantu membawakan buku-

    buku atau barang yang dibawa guru pada waktu itu.

  • 62

    Penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa sikap

    dan perilaku yang sudah ditunjukkan siswa merupakan hal-hal

    sederhana tetapi sangat penting diajarkan kepada siswa

    tingkat dasar. Sebab sikap dan perilaku yang telah tampak dari

    mereka saat ini merupakan bagian darihasilupaya bapak ibu

    guru dalam menanamkan nilai-nilai akhlak melalui

    keteladanan semenjak siswa duduk di bangku kelas satu.

    Perilaku siswa yang mencerminkan akhlak terpuji tersebut

    menunjukkan perkembangan akal dan kepekaan hati siswa.

    Pada waktu yang sama Ibu Sri Wahyuningsih juga

    menambahkan pemaparan beliau tentang reward dan

    punishment dalam pembelajaran.27

    “Jika ada siswa berprestasi atau yang sudah

    memperlihatkan karakter baik di madrasah, kita selalu

    mengapresiasimya dengan pujian dan kata-kata yang

    memotivasi siswa. Sejauh ini penghargaan (reward) yang

    kita berikan tidak berupa materi, tetapi pujian dan ucapan

    yang dapat memberikan motivasi lebih tinggi lagi.

    Kemudian kaitannya dengan punishment itu juga pasti ada

    untuk siswa yang melanggar aturan dan susah

    dikendalikan. Madrasah menerapkan hukuman

    (punishment) yang sifatnya mendidik dan tidak

    memberatkan fisik siswa, seperti menambah hafalan ayat

    lebih banyak, menulis beberapa ayat Al-Qur’an,

    mengambil sampah berserakan, dan lain sebagainya.”

    27

    Wawancara dengan Ibu Sri Wahyuningsih, pada hari Senin 21 Agustus

    2018, pukul 10.00 WIB

  • 63

    Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa reward

    diterapkan pada siswa yang sudah mampu menunjukkan

    pencapaian terhadap suatu prestasi dan sikap/perilaku yang

    mulia. Sejauh ini guru mengapresiasi mereka dengan pujian.

    Sedangkan punishment diterapkan pada siswa yang melanggar

    peraturan madrasah dan siswa yang sulit