bab ii kajian pustaka 2.1 sikap ilmiah 2.1.1 sikaprepository.unwira.ac.id/4911/3/file ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sikap Ilmiah
2.1.1 Sikap
Sikap atau yang dalam bahasa Inggris disebut attitude menurut Purwanto
(2011:141-142) adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang.
Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu
perangsang atau situasi yang dihadapi. Dalam beberapa hal, sikap
merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai
reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang
(Like) atau tidak senang (Dislike), menurut dan melaksanakannya atau
menjauhi/menghindari sesuatu.
Tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap sesuatu
perangsang. Ini disebabkan oleh berbagai faktor yang ada pada individu
masing-masing seperti adanya perbedaan dalam bakat, minat, pengalaman,
pengetahuan, intensitas perasaan, dan juga situasi lingkungan. Bagaimana
sikap kita terhadap berbagai hal didalam hidup kita adalah termasuk
kedalam kepribadian kita. didalam kehidupan manusia, sikap selalu
mengalami perubahan dan perkembangan. Peranan pendidikan dalam
pembentukan sikap pada anak-anak didik adalah sangat penting.
Sikap menurut Gagne yaitu pembelajar telah memperoleh kondisi mental
yang mempengaruhi pilihan untuk bertindak. Kecenderungan untuk
memilih objek yang terdapat pada diri pembelajar, buka kinerja spesifik
16
disebut sikap. Sikap merupakan kemampuan internal yang berperan dalam
pengambilan tindakan, lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan
untuk bertindak (Nizhamiyah, 2016 : 66).
2.1.2 Sikap Ilmiah
Menurut Muslich (dalam Ulfa, 2016 : 66-67) sikap ilmiah
merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan atau
akademisi ketika menghadapi persoalan-persoalan ilmiah. Sikap ilmiah
mengandung dua makna yaitu attitude toward science dan attitude of
science. Sikap yang pertama mengacu pada sikap terhadap sains
sedangkan sikap yang kedua mengacu pada sikap yang melekat setelah
mempelajari sains.
Sikap Ilmiah menurut Fakrudin, dkk. (2010:18-19) merupakan salah
satu bentuk kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu. Sikap ilmiah
peserta didik dalam pembelajaran dapat mempengaruhi hasil belajar
peserta didik. Sikap ilmiah peserta didik pada dasarnya tidak berbeda
dengan keterampilan-keterampilan lain (kognitif, social, proses dan
psikomotor). Sikap ilmiah dalam pembelajaran sangat diperlukan oleh
peserta didik karena dapat memotivasi kegiatan belajarnya. Dalam sikap
ilmiah terdapat gambaran bagaimana peserta didik seharusnya bersikap
dalam belajar, menanggapi suatu permasalahan, melaksanakan suatu tugas
dan mengembangkan diri. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi hasil
dari kegiatan belajar peserta didik ke arah yang positif. Sikap ilmah dapat
dianggap sebagai sesuatu yang kompleks dimana nilai-nilai dan norma-
17
norma yang mengikat pada ahli science (Suryani dan Sudargo, 2015 : 128-
129).
Menurut Maretasari, E.dkk (2012 : 28) mengatakan bahwa salah satu
cara untuk mengembangkan sikap ilmiah adalah dengan memperlakukan
peserta didik seperti ilmuwan muda sewaktu anak mengikuti kegiatan
pembelajaran sains. Keterlibatan peserta didik secara aktif baik fisik
maupun mental dalam kegiatan laboratorium akan membawa pengaruh
pembentukan pola tindakan peserta didik yang selalu didasarkan pada hal-
hal yang bersifat ilmiah. Peserta didik yang aktif umumnya memiliki hasil
belajar yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang
pasif. Sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, jujur, terbuka terhadap pikiran,
tekun dan teliti dalam penelitian berhubungan dengan cara mereka
bertindak dan menyelesaikan masalah, maka hasil belajar yang diperoleh
menjadi maksimal.
2.1.3 Indikator Sikap Ilmiah
Terdapat enam indicator sikap ilmiah yang diadaptasi dari science for all
Americans menurut Carin dan Sund (dalam Suyati dan Sudargo, 2015 :
129) yaitu :
1. Memupuk rasa ingin tahu
Para ahli sains dan peserta didik dikendalikan oleh rasa ingin tahu,
yaitu suatu keingintahuan yang sangat kuat untuk mengetahui dan
memahami alam sekitar.
2. Mengutamakan bukti
18
Ahli sains mengutamakan bukti untuk mendukung kesimpulan dan
klaimnya.
3. Bersikap skeptis
Ahli sains ataupun peserta didik terkadang harus merasa ragu atas
kesimpulan yang dibuatnya, ketika ditemukan bukti-bukti yang baru
sehingga dapat mengubah kesimpulannya.
4. Menerima perbedaan
Ahli sains dan peserta didik harus bisa menerima perbedaan.
Perbedaan sudut pandang harus dihormati sampai menemukan
kecocokan dengan data. Sikap menerima perbedaan merupakan sikap
seseorang yang tidak merasa ia yang paling hebat. Peserta didik
bersedia mengakui orang lain mungkin lebih banyak pengetahuannya,
bahwa mungkin pendapatnya yang salah, sedangkan pendapat orang
lain yang benar. Peserta didik akan menerima gagasan orang lain
setelah diuji. Agar menambah ilmu pengetahuan peserta didik bersedia
belajar dari orang lain, membandingkan pendapatnya dengan orang
lain. Peserta didik mempunyai tenggang rasa atau sikap toleran yang
tinggi, jauh dari sikap angkuh.
5. Dapat bekerjasama
Ahli sains tidak baik mampu bekerjasama dengan orang lain dan tidak
individualis atau mementingkan diri sendiri. Ia meyakini bahwa
dirinya tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
6. Bersikap positif terhadap kegagalan
19
Pada peserta didik, sikap positif yang dimaksudkan merupakan sikap
peserta didik yang selalu berharap baik dan tidak mudah putus asa.
Dirjen Mandikdasmen dalam SK Nomor 12/C/ KEP/TU/2008 tentang
Bentuk dan Tata Cara Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan bahwa aspek afektif
yang dominan pada mata pelajaran IPA meliputi rasa ingin tahu yang
tinggi, sikap jujur, sikap kritis, sikap luwes dan teliti. Aspek tersebut
termasuk dalam komponen sikap yakni sikap ilmiah (Fernandianto, 2013).
Adapula kriteria yang dapat digunakan oleh peneliti untuk meningkatkan
sikap ilmiah yang diadaptasi dari Ferdinanto yakni :
a. Sikap ingin tahu
b. Sikap luwes
c. Sikap jujur
d. Sikap kritis
e. Ketelitian
2.1.4 Macam-macam Sikap Ilmiah
Menurut Muslich (dalam Ulfa, 2016 : 67) sikap ilmiah yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
a. Sikap ingin tahu
Sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan bidang kajiannya.
b. Sikap kritis
20
Sikap kritis ini terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak
mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding
kelebihan kekurangannya, kecocokan-tidaknya, kebenaran-tidaknya,
dan sebagainya.
c. Sikap terbuka
Sikap terbuka ini terlihat pada kebiasaan mau mendengarkan pendapat,
argumentasi, kritik dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya
pendapat, argumentasi, dan keterangan orang lain tersebut tidak
diterima karena tidak sepaham atau tidak sesuai.
d. Sikap objektif
Sikap objektif ini terlihat pada kebiasaan menyatakan apa adanya,
tanpa diikuti perasaan pribadi.
e. Sikap rela menghargai karya orang lain
Sikap menghargai karya orang lain ini terlihat pada kebiasaan
menyebutkan sumber secara jelas sekiranya pernyataan atau pendapat
yang disampaikan memang berasal dari pernyataan atau pendapat
orang lain.
f. Sikap berani mempertahankan kebenaran
Sikap ini menampak pada ketegaran membela fakta dan hasil temuan
lapangan atau pengembangan walaupun bertentangan atau tidak sesuai
dengan teori atau dalil yang ada.
g. Sikap menjangkau ke depan
21
Sikap ini dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang
disusunnya demi pengembangan bidang ilmunya.
2.2 Kemampuan Analisis
2.2.1 Pengertian
Kemampuan menurut Izzati (2017 : 74) adalah kesanggupan; kecakapan;
kekuatan dalam melakukan sesuatu. Menurut Suherman dan Sukjana dalam Izzati
(2017 : 74) menyatakan bahwa kemampuan analisis adalah kemampuan untuk
merinci atau menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil (komponen) serta mampu untuk memahami hubungan antara bagian-bagian
tersebut.
Sedangkan analisis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan
hubungan-hubungan kesimpulan yang benar diantara pernyataan, pertanyaan,
konsep, gambaran atau bentuk lain yang mewakili yang dimaksudkan untuk
mengungkapkan keyakinan, pendapat, pengalaman, alasan, informasi atau opini
(Setiawan, 2017:61). Jadi, kemampuan analisis adalah kemampuan untuk merinci
atau menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil
(komponen ) serta mampu untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian
tersebut.
2.2.2 Pengelompokan Kemampuan Analisis Menurut Anderson dan
Krathwohl
Menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi jadi bagian-
bagian kecil dan menentukan bagaimana hubungan antar-bagian dan antara setiap
bagian dan struktur keseluruhannya. Kategori proses menganalisis ini meliputi
22
proses-proses kognitif membedakan, mengorganisasi, dan mengatribusikan.
Tujuan-tujuan pendidikan yang diklasifikasikan dalam menganalisis mencakup
belajar untuk menentukan potongan-potongan informasi yang relevan atau penting
(membedakan), menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi
tersebut (mengorganisasikan), dan menentukan tujuan dibalik informasi itu
(mengatribusikan). Walaupun belajar menganalisis dapat dianggap sebagai tujuan
itu sendiri, sangat beralasan secara edukatif memandang analisis sebagai
perluasan dari memahami atau sebagai pembuka untuk mengevaluasi atau
mencipta. (Anderson dan Krathwohl, 2010:120).
Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menganalisis materi pelajaran
merupakan tujuan dalam banyak bidang studi. Guru-guru sains, ilmu social,
humaniora dan kesenian kerap kali menjadikan “belajar menganalisis” sebagai
salah satu tujuan pokok mereka. Mereka misalnya ingin mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk :
Membedakan fakta dari opini (atau realitas dari khayalan)
Menghubungkan kesimpulan dengan pernyataanpernyataan pendukung
nya
Membedakan materi yang relevan dari yang tidak relevan
Menghubungkan ide-ide,
Menangkap asumsi-asumsi yang tak dikatakan dalam perkataan,
Membedakan ide-ide pokok dari ide-ide turunanya atau menentukan
tema-tema puisi atau music,
Menemukan bukti pendukung tujuan-tujuan pengarang.
23
Kategori-kategori proses memahami, menganalisis, dan mengevaluasi saling
terkait dan kerap kali digunakan untuk melakukan tugas-tugas kognitif. Akan
tetapi, pada saat yang sama, kita perlu membedakan dan memisahkan kategori-
kategori tersebut. Orang yang memahami materi pelajaran belum tentu dapat
menganalisisnya dengan baik. Demikian pula, orang yang terampil
menganalisisnya belum tentu bisa menganalisisnya.
Dalam buku Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen (Anderson dan Krathwohl, 2010:121) menjelaskan secara rinci
mengenai klasifikasi dalam menganalsis yakni sebagai berikut:
Membedakan
Membedakan berbeda dengan proses-proses kognitif dalam kategori
memahami, karena membedakan melibatkan proses mengorganisasi
secara structural dan terutama menentukan bagaimana bagian-bagian
sesuai dengan struktur keseluruhannya. Secara khusus, membedakan
berbeda dengan membandingkan dalam hal penggunaan konteks yang
lebih luas untuk menentukan mana informasi yang relevan atau
penting dan mana yang tidak. Contoh tujuan pendidikan dan
asesmennya misalnya dalam pelajaran sains, tujuannya ialah
menentukan tahap-tahap pokok dalam sebuah tulisan tentang cara
kerja sesuatu. Sedangkan, format asesmennya yaitu kemampuan untuk
membedakan dapat diases dengan soal-soal jawaban singkat atau
pilihan.
Mengorganisasi
24
Mengorganisasi melibatkan proses mengidentifikasi elemen-elemen
komunikasi atau situasi dan proses mengenali bagaimana elemen-
elemen ini membentuk sebuah struktur yang koheren. Dalam
mengorganisasi, peserta didik membangun hubungan-hubungan yang
sistematis dan koheren antarpotongan informasi. Contoh tujuan dan
asesmennya. Dalam mengorganisasi, ketika peserta didik diberi suatu
deskripsi tentang sebuah situasi atau masalah, mereka dapat
mengidentifikasi hubungan-hubungan yang sistematis dan koheren
diantara elemen-elemen yang relevan. Contoh tujuan dalam pelajaran
sains adalah menganalisis laporan-laporan penelitian berdasarkan
empat poin, yaitu hipotesis, metode, data dan kesimpulan. Tugas
asesmennya meminta peserta didik membuat garis besar tentang
laporan penelitian yang diberikan guru.
Mengatribusikan
Mengatribusikan terjadi ketika peserta didik dapat menentukan sudut
pandang, pendapat, nilai, atau tujuan dibalik komunikasi.
Mengatribusikan melibatkan proses dekonstruksi, yang didalamnya
peserta didik menentukan tujuan pengarang suatu tulisan yang
diberikan oleh guru. Contoh tujuan dan asesmennya. Dalam
mengatribusikan, ketika peserta didik diberi informasi, mereka dapat
menentukan sudut pandang atau tujuan pengarang. Tujuan yang dapat
diterapkan dalam pelajaran sains. Tugas asesmennya meminta peserta
didik menentukan apakah esai tentang aktivitas belajar manusia ditulis
25
oleh psikolog behavioris atau kognitif. Format asesmennya,
mengatribusikan dapat diases dengan memberikan materi tulisan atau
lisan dan kemudian meminta peserta didik membuat atau memilih
deskripsi tentang sudut pandang, pendapat, dan tujuan penulis atau
pembicara.
2.2.3 Konsep Teori Taksonomi Bloom
Kognitif merupakan kemampuan intelektual peserta didik dalam berpikir,
mengetahui dan memecahkan masalah. Menurut Bloom segala upaya yang
menyangkut aktivitas otak termasuk dalam ranah kognitif.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek yakni ingatan (menghafal), memahami, mengaplikasi, menganalisis,
menyintesis dan mengevaluasi. Aspek pertama, kedua dan ketiga termasuk
kognitif tingkat rendah, sedangkan aspek keempat, kelima dan keenam termasuk
kognitif tingkat tinggi. Ranah ini meliputi kemampuan menyatakan kembali
konsep atau prinsip yang telah dipelajari, yang berkenaan dengan kemampuan
berpikir, kompetensi memperoleh pengetahuan, pengenalan, pemahaman,
konseptualisasi, penentuan dan penalaran. Tujuan pembelajaran dalam ranah
kognitif (intelektual) atau yang menurut Bloom merupakan segala aktivitas yang
menyangkut otak dibagi menjadi 6 tingkatan sesuai dengan jenjang terendah
sampai tertinggi yang
dilambangkan dengan C (Cognitive) (Dalam buku yang berjudul Taxonomy of Ed
ucational Objectives. Handbook 1 : Cognitive Domain yang diterbitkan
oleh McKey New York. Benyamin Bloom pada tahun 1956) yaitu:
26
1) C1 (Pengetahuan / Knowledge)
C1 (Pengetahuan/Knowledge), yaitu kemampuan seseorang untuk
mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang
nama, istilah, ide, rumus-rumus, fakta khusus, konvensi,
kecenderungan dan urutan, klasifikasi dan kategori, kriteria serta
metodologi dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan
untuk menggunakannya. Tingkatan atau jenjang ini merupakan
tingkatan terendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan
selanjutnya. Di jenjang ini, peserta didik menjawab pertanyaan
berdasarkan dengan
hafalan saja. Kata kerja operasional yang dapat dipakai dalam jenja
ng ini adalah : mengutip, menyebutkan, menjelaskan, menggambar
kan, membilang, mengidentifikasi, mendaftar, menunjukkan, memb
eri label, memberi indeks, memasangkan, menamai, menandai, me
mbaca, menyadari, menghafal, meniru, mencatat, mengulang, mere
produksi, meninjau, memilih, menyatakan, mempelajari,
mentabulasi, memberi kode, menelusuri, dan menulis.
2) C2 (Pemahaman/Comprehension)
C2 (Pemahaman/Comprehension) yaitu, kemampuan untuk
mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketehui atau
diingat. Maksudnya, memahami ialah mengetahui tentang sesuatu
dan dapat melihatanya dari berbagai segi. Peserta didik dikatakan
memahami sesuatu, apabila ia dapat memberikan penjelasan atau
27
memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Kemampuan-kemampuan
tersebut yaitu :
a. Translasi (kemampuan mengubah simbol dari satu
bentuk ke bentuk lain)
b. Interpretasi (kemampuan menjelaskan materi)
c. Ekstrapolasi (kemampuan memperluas arti).
Kata kerja operasional yang dapat dipakai dalam jenjang ini adalah
: memperkirakan, menjelaskan, mengkategorikan, mencirikan, meri
nci, mengasosiasikan, membandingkan, menghitung, mengkontrask
an, mengubah, mempertahankan, menguraikan, menjalin, membeda
kan, mendiskusikan, menggali, mencontohkan, menerangkan, meng
emukakan, mempolakan, memperluas, menyimpulkan,
meramalkan, merangkum, dan menjabarkan.
3) C3 (Penerapan/Application)
C3 (Penerapan/Application), yaitu kemampuan menerapkan atau me
nggunakan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan
menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan merupakan
tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada
pemahaman. Di jenjang ini, peserta didik dituntut untuk dapat
menerapkan konsep dan prinsip yang ia miliki pada situasi baru
yang belum pernah
diberikan sebelumnya. Kata kerja operasional yang dapat dipakai d
28
alam jenjang ini adalah : menugaskan, mengurutkan, menentukan,
menerapakan, menyesuaikan, mengkalkulasi, memodifikasi, mengk
lasifikasi, menghitung, membangun, membiasakan, mencegah, men
ggunakan, menilai, melatih, menggali, mengemukakan, mengadapt
asi, menyelidiki, mengoperasikan, mempersoalkan, mengkonsepka
n, melaksanakan, meramalkan, memproduksi, memproses, mengait
kan, menyusun, mensimulasikan, memecahkan, melakukan, dan me
ntabulasi.
4) C4 (Analisis / Analisis)
C4 (Analisis / Analisis), yaitu kemampuan untuk merinci atau
menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian
yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagian-
bagian atau faktor-faktor yang satu dengan yang lainnya.
Kemampuan ini dapat berupa :
1. Analisis elemen/unsur (analisis bagian-bagian materi)
2. Analisis hubungan ( identifikasi hubungan)
3. Analisis pengorganisasian prinsip/prinsip-prinsip organisasi (ide
ntifikasi organisasi).
Kata kerja operasional yang dapat dipakai dalam jenjang ini adal
ah :menganalisis, mengaudit, memecahkan, menegaskan, mende
teksi, mendiagnosis, menyeleksi, memerinci, menominasikan, m
endiagramkan, mengkorelasikan, merasionalkan, menguji, menc
erahkan, menjelajah, membagankan, menyimpulkan, menemuka
29
n, menelaah, memaksimalkan, memerintahkan, mengedit, meng
aitkan, memilih, mengukur, melatih, dan mentransfer.
5) C5 (Sintesis / Sintesis)
C5 (Sintesis / Sintesis), yaitu kemampuan berpikir yang merupakan
kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu
proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara
logis sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau
membentuk pola baru. Kata kerja operasional yang dapat dipakai
dalam jenjang ini adalah : mengabstraksi, mengatur, menganimasi,
mengumpulkan, mengkategorikan, mengkode, mengkombinasikan,
menyusun, mengarang, membangun, menanggulangi, menghubung
kan, menciptakan, mengkreasikan,mengoreksi, merancang, merenc
anakan, mendikte, meningkatkan, memperjelas, memfasilitasi, me
mbentuk, merumuskan, menggeneralisasi,menggabungkan, memad
ukan, membatas, mereparasi, menampilkan, menyiapkan,
memproduksi, merangkum, dan merekonstruksi.
6) C6 (Evaluasi / Evaluasi)
C6 (Evaluasi / Evaluasi), yaitu jenjang berpikir paling tinggi
diranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilaian atau evaluasi
merupakan kemampuan untuk membuat pertimbangan terhadap
suatu kondisi misalnya jika seseorang dihadapkan pada beebrapa
pilihan, maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik
sesuai dengan patokan
30
atau criteria yang ada. Kata kerja operasional yang dapat dipakai da
lam jenjang ini adalah membandingkan, menyimpulkan, menilai, m
engarahkan, mengkritik, menimbang, memutuskan,memisahkan, m
emprediksi, memperjelas, menugaskan,menafsirkan, mempertahan
kan,merinci, mengukur, merangkum, membuktikan, memvalidasi,
mengetes, mendukung, memilih, dan memproyeksikan.
2.3 Pendekatan Contextual Teaching and Learning
2.3.1.Pengertian Pendekatan Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching and Learning adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta
didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka (Komara, 2014:66).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami yaitu :
1) Contextual Teaching and Learning menekankan kepada proses
keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi, artinya proses
belajar diorientasikan kepada proses pengalaman secara langsung.
Proses belajar dalam konteks Contextual Teaching and Learning
tidak mengharapkan agar peserta didik tidak hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri
materi pelajaran.
31
2) Contextual Teaching and Learning mendorong agar peserta didik
dapat menemukan hubungan anatara materi yang dipelajari dengan
situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik dituntut untuk
menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan
kehidupan nyata.
3) Contextual Teaching and Learning mendorong agar peserta didik
dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya Contextual
Teaching and Learning bukan hanya mengharapkan peserta didik
dapat memahami materi yang dipelajari, akan tetapi bagaimana
materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. (Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013:47)
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari
makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang dan
itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal dan
bermanfaat. Pemanduan materi pelajaran dengan konteks keseharian
peserta didik di dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan
dasar-dasar pengetahuan yang mendalam dimana peserta didik kaya
akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya.
Dalam kelas kontekstual, tugas adalah membantu peserta didik
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan
strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu
32
yang baru bagi anggota kelas (peserta didik). Sesuatu yang baru datang
dari peserta didik itu sendiri dilihat dari bagaimana peserta didik dapat
mencari dan menemukan sendiri bukan dari guru. Begitulah peran guru
dikelas yang dikelola dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning.
2.3.2. Teori yang Melandasi Pendekatan Kontekstual
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai
bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di
dalam pikiran peserta didik itu. Berdasarkan suatu teori belajar,
diharapkan suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan
perolehan peserta didik sebagai hasil belajar (Trianto, 2008:39).
Adapun beberapa teori yang melandasi pendekatan kontekstual atau
Contextual Teaching and Learning adalah sebagai berikut:
a. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam
teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of
learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa peserta didik
harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi peserta
didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan
pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah,
33
menemukan segala sesuatu untuk didrinya, berusaha dengan susah
payah dengan ide-ide.
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting
dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak sekedar
memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus
membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan member
kesempatan peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-
ide mereka sendiri dan mengajar peserta didik menjadi sadar dan
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
b. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang
memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana
anak secara aktif membangun system makna dan pemahaman
realitas melalui pengalaman-pengalaman interaksi-interaksi
mereka. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh
mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia
dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif. Empat
tingkat perkembangan kognitif tersebut dapat dilihat pada table 1.1
berikut:
Tabel 2.1 Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap Perkiraan usia Kemampuan-kemampuan
utama
34
Sensorimotor Lahir sampai dua
tahun
Terbentuknya konsep
“kepermanenan obyek” dan
kemajuan gradual dari
perilaku refleksif ke perilaku
yang mengarah kepada tujuan
Praoperasional 2 sampai 7 tahun Perkembangan kemampuan
menggunakan symbol-simbol
untuk menyatakan obyek-
obyek dunia. Pemikiran
masih ego sentries dan
sentrasi.
Operasi
kongkret
7 sampai 11 tahun Perbaikan dalam kemampuan
untuk berpikir secara logis.
Kemampuan-kemampuan
baru termasuk penggunaan
operasi-operasi yang dapat
dibalik. Pemikiran tidak lagi
sentrasi tetapi desentasi dan
pemecahan masalah tidak
begitu dibatasi oleh
keegosentrisan.
Operasi
formasi
11 tahun sampai
dewasa
Pemikiran abstrak dan murni
simbolis mungkin dilakukan.
35
Masalah-masalah dapat
dipecahkan melalui
penggunaan eksperimentasi
sistematis.
Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut :
1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan
belaka, akan tetapi selau merupakan gambaran dunia kenyataan
belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan
melalui kegiatan subjek
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan
struktur yang perlu untuk pengetahuan
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.
Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu
berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman
seseorang.
c. Metode Pengajaran John Dewey
Menurut Jhon Dewey metode reflektif didalam memecahkan
masalah yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi
proses berpikir kea rah kesimpulan-kesimpulan yang definitive
melalui lima langkah:
1) Peserta didik mengenali masalah, masalah itu dating dari luar
diri peserta didik itu sendiri
36
2) Selanjutnya peserta didik akan menyelidiki dan menganalisa
kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
3) Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu
atau satu sama lain dan mengumpulkan berbagai kemungkinan
guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia
dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4) Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis
dengan akibatnya masing-masing.
5) Selanjutnya ia mencoba mempraktikan salah satu
kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya
akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu.
Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat,
maka akan dicobanya kemungkinan yang lain sampai
ditemukan pemecahan masalah yang tepat.
Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran
hendaknya dimulai dari pengalaman peserta didik dan berakhir
pada pola struktur mata pelajaran
d. Teori Pemrosesan Informasi
Teori ini menjelaskan pemrosesan , penyimpanan dan pemanggilan
kembali pengetahuan dari otak. Peristiwa-peristiwa mental
diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input
(stimulus) ke output (respon).
37
e. Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna.
Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Faktor yang paling penting yang
mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui peserta didik.
Pernyataan inilah yang menjadi inti dari teori belajar Ausubel
menurut Dahar dalam Trianto (2008 : 55)
f. Teori Penemuan Jerome Bruner
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh
ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar
penemuan (Discovery Learning). Bruner menyarankan agar peserta
didik-peserta didik hendaknya belajar melalui partisipasi secara
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka di
anjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan
eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk
menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
g. Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa peserta didik
membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan
peserta didik sendiri melalui bahasa. Vygotsky berkeyakinan
bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis
38
menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan
stimulus-respon, faktor social sangat penting artinya bagi
perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan
konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
2.3.3. Kelebihan dan Kelemahan Contextual Teaching and Learning
Adapun kelebihan dan kelemahan dari pendekatan Contextual Teaching
and Learning dalam Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013 adalah sebagai berikut :
1) Kelebihan Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning
a. Pelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya, peserta didik
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman
belajar disekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat
penting, sebab materi yang dipelajari peserta didik akan
tertanam erat dalam memori peserta didik sehingga tidak akan
mudah dilupakan.
b. Pembelajaran lebih produktif dan menumbuhkan penguatan
konsep kepada seorang peserta didik, karena metode
pembelajaran Contextual Teaching and Learning mengandung
aliran konstruktivisme, dimana seorang peserta didik dituntut
untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan
filosofis konstruktivisme peserta didik diharapkan belajar
melalui “mengalami” bukan “menghafal”.
39
c. Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat
untuk memperoleh informasi, tetapi akan sebagai tempat untuk
menguji data hasil temuan mereka dilapangan.
d. Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh peserta didik,
bukan hasil pemberian dari guru.
e. Penerapan pembelajaran kontekstual dapat menciptakan suasana
pembelajaran yang bermakna.
2) Kelemahan Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning
a. Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran
kontekstual berlangsung.
b. Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat
menciptakan situasi kelas yang kurang kondusif.
c. Guru lebih intensif dalam membimbing
d. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak
peserta didik agar dengan menyadari dan dengan sadar
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Namun, dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian
dan bimbingan yang ekstra terhadap peserta didik agar tujuan
pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
2.3.4 Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning Di Kelas
40
Contextual Teaching and Learning sebagai suatu pendekatan
pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi
pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
Contextual Teaching and Learning. Komponen tersebut antara lain :
Konstuktivisme, Inquiry, bertanya (questioning), masyarakat belajar
(learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian nyata (authentic assesment) (Komara, 2014:72)
Dalam buku konsep strategi pembelajaran Suhana (2010) menjelaskan
ketujuh asas tersebut sebagai berikut :
1) Konstruktivisme (constructivism)
Contextual Teaching and Learning dibangun dalam landasan
konstruktivisme yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
dibangun peserta didik secara sedikit demi sedikit dan hasilnya
diperluas melalui konteks terbatas.
2) Menemukan (Inquiry)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik merupakan proses
menemukan (Inquiry) terhadap sejumlah pengetahuan dan
keterampilan. Proses Inquiry terdiri atas
a. Pengamatan (Observation)
b. Bertanya (Questioning)
c. Mengajukan dugaan (Hipothesis)
d. Pengumpulan data (Data gathering)
e. Penyimpulan (Conclussion)
41
3) Bertanya (Questioning)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik diawali dengan
proses bertanya. Proses bertanya yang dilakukan peserta didik
sebenarnya merupakan proses berpikir yang dilakukan peserta didik
dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupannya.
4) Masyarakat belajar (Learning Community)
Proses pembelajaran merupakan proses kerjasama antara peserta didik
dengan peserta didik, antara peserta didik dengan gurunya dan antara
peserta didik dengan lingkungannya.
5) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, peserta didik
atau mendatangkan narasumber dari luar yang terpenting dapat
membantu terhadap ketuntasan dalam belajar sehingga peserta didik
dapat mengalami ekselerasi perubahan secara berarti
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi dalam pembelajaran adalah cara berpikir tentang apa yang
baru dipelajarinya atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang
sudah dilakukan atau dipelajarinya dimasa lalu. Refleksi pembelajaran
merupakan respon terhadap aktivitas atau pengetahuan dan
keterampilan yang baru diterima dari proses pembelajaran.
7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)
42
Penilaian merupakan proses pengumpulan data yang dapat mendeskrip
sikan mengenai perkembangan perilaku peserta didik. Adapun
karakteristik dari penilaian autentik sebagai berikut :
a. Penilaian dilakukan selama dan sesudah proses pembelajaran berla
ngsung
b. Aspek yang diukur adalah keterampilan dan performansi, bukan
mengingat fakta apakah peserta didik belajar atau apa yang sudah
diketahui peserta didik
c. Penilaian dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dilakukan dalam
beberapa tahapan dan periodic sesuai dengan tahapan waktu dan
bahasannya, baik dalam bentuk formatif maupun sumatif.
d. Penilaian dilakukan secara integral yaitu menilai berbagai aspek
pengetahuan, sikap, keterampilan peserta didik sebagai suatu
kesatuan utuh
e. Hasil penilaian digunakan sebagai feedback yaitu untuk keperluan
pengayaan standar minimal telah tercapai atau mengulang jika
standar minimal belum tercapai.
2.4 Hasil Belajar
2.4.1.Pengertian Hasil Belajar
Dalam bukunya “Pengantar Pendidikan” Dhiu (2012:96) berbicara
mengenai hasil belajar di sekolah, di dalam proses belajar mengajar
(PBM) dikenal 2 jenis hasil belajar, yakni:
43
1. Hasil belajar yang dinyatakan, yaitu hasil belajar yang
dirumuskan dan diharapkan dicapai peserta didik melalui proses
belajar mengajar. Hasil belajar ini ada dalam perumusan standar
kompetensi dasar, dan indikator hasil belajar. Perumusan hasil
belajar tersebut merupakan komponen yang sangat penting
dalam sistem pembelajaran karena aktivitas yang harus
dilakukan guru-peserta didik, pemilihan sumber belajar,
penentuan bahan ajar, pemilihan metode, pendekatan dan media
pembelajaran serta penyusunan evaluasi harus bertolak dari
hasil belajar yang akan dicapai peserta didik dalam proses
belajar mengajar (PBM).
2. Hasil belajar yang tidak dinyatakan, hasil belajar yang
merupakan efek samping dari proses belajar mengajar (PBM),
yang tidak dirumuskan, tetapi diperoleh peserta didik. Hasil
belajar ini jumlahnya jauh lebih banyak dari hasil belajar yang
dinyatakan. Ia merupakan efek samping dari pertemuan guru-
peserta didik, interaksi antara peserta didik, dan dari berbagai
aktivitas yang dialami peserta didik dalam kelas.
2.4.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Syah (2003: 145), secara global faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar peserta didik dapat kita bedakan menjadi tiga
macam yakni:
a. Faktor Internal
44
Faktor internal berasal dari dalam diri peserta didik sendiri meliputi
dua aspek, yakni: faktor fisiologis dan psikologis.
1) Faktor fisiologis, faktor fisiologis berhubungan dengan
kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang
menandai tingkat kebugaran organ-organ dan sendi-sendinya,
dapat mempengaruhi alitas ranah cipta (kognitif) sehingga
materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.
Kondisi organ-organ khusus peserta didik, seperti tingkat
kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat
mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam menyerap
informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas.
2) Faktor Psikologis, banyak faktor yang termasuk aspek
psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas
perolahan pembelajaran peserta didik. Namun di antara faktor-
faktor rohaniah peserta didik yang dipandang lebih esensial itu
adalah sebagai berikut:
- Kecerdasan/ intelegensi peserta didik
- Sikap peserta didik
- Bakat peserta didik
- Minat peserta didik
- Motivasi, terdapat dua jenis motivasi yaitu motivasi
intrinsik (hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri
peserta didik sendiri yang dapat mendorongnya malakukan
45
tindakan belajar) dan motivasi ekstrinsik (hal dan
keadaan yang berasal dari dalam luar individu peserta didik
yang juga dapat mendorongnya malakukan tindakan
belajar). Menurut Syah (2003 : 153) yang termasuk
dalam motivasi intrinsik peserta didik adalah perasaan
menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi
tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan peserta
didik yang bersangkutan. Sedangkan pujian dan hadiah,
peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orangtua, guru,
dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi
ekstrinsik yang menolong peserta didik untuk belajar.
b. Faktor Eksternal
Menurut Syah (2003: 154) menjelaskan bahwa faktor ekternal
yang mempengaruhi hasil belajar dibagi atas dua yaitu faktor
lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial.
1) Lingkungan sosial, terdiri dari :
- Lingkungan sosial sekolah
- Lingkungan sosial masyarakat
- Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat
mempengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-
sifat orang tua, demografi keluarga, pengelolaan keluarga,
hubungan antara anggota keluarga yang harmonis akan
46
membantu peserta didik melakukan aktifitas belajar yang
baik.
2) Lingkungan nonsosial, faktor-faktor yang termasuk dalam
lingkungan nonsosial adalah gedung sekolah dan letaknya,
rumah tempat tinggal keluarga peserta didik dan letaknya, alat-
alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan.
Faktor-faktor ini pandang turut menentukan tingkat keberhasilan
belajar peserta didik.
c. Faktor Pendekatan Belajar
Di samping faktor-faktor internal dan eksternal peserta didik
sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, faktor pendekatan
belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar
peserta didik tersebut. Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai
segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik dalam
menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi
tertentu. Menurut Lawson (Syah, 2003: 156), strategi dalam hal ini
berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian
rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar
tertentu.
2.5 Hubungan dan Pengaruh Sikap Ilmiah dan Kemampuan Analisis
Terhadap Hasil Belajar
2.5.1 Hubungan dan Pengaruh Sikap Ilmiah Terhadap Hasil Belajar
Peserta didik
47
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki seorang ilmuwan
baik itu seorang ahli atau pun seorang peserta didik dalam hal
memecahkan masalah. Pada sikap ilmiah terdapat gambaran
bagaimana peserta didik seharusnya bersikap dalam proses belajar,
menanggapi permasalahan, melaksanakan tugas, hingga
mengembangkan diri. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi tingkat
penguasaan konsep dalam sebuah kegiatan belajar peserta didik ke
arah yang positif (Wijayanto, Herry : 2017).
Pembelajaran proses sains dalam konteks kurikulum 2013 dilakukan
berdasarkan pada pendekatan ilmiah yang menuntut peserta didik
berpikir secara sistematis dan kritis dalam upaya memecahkan suatu
masalah. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran
yang menekankan adanya proses ilmiah. Pembelajaran IPA
menekankan pada pemberian pengalaman langsung kepada peserta
didik guna mengembangkan kompetensi untuk mempelajari,
menjelajahi, dan memahami gejala-gejala alam sekitar secara ilmiah.
Penerapan kurikulum 2013 pada pembelajaran IPA menuntut peserta
didik untuk mengeksplorasikan kemampuan keterampilan proses.
Keterampilan tersebut yang mendorong peserta didik untuk
menemukan fakta-fakta dari suatu gejala-gejala alam melalui
serangkaian proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan
hasil yang terwujud berupa produk ilmiah.
48
Sikap ilmiah perlu dilatihkan kepada peserta didik dengan pendekatan
Contextual Teaching and Learning. Dimana menurut atau teori
konstruktivisme, pembelajaran yang diterapkan harus berorientasi
pada pembangunan pengetahuan peserta didik secara mandiri. Peserta
didik dilatih untuk menemukan informasi-informasi belajar mandiri.
Semua kegiatan berorientasi pada keaktifan peserta didik dalam IPA,
rasa senang dan pengalaman nyata peserta didik dengan
lingkungannya. Dengan demikian, maka proses belajar mengajar tidak
akan membosankan dan peserta didik sulit memahami serta
mendeskripsikan materi pelajaran apabila informasi pengetahuan
disampaikan secara teoritis tentang fakta-faktanya saja.
Sesuai dengan pengertiannya hasil belajar adalah hasil yang
dicapai oleh peserta didik setelah proses pembelajaran kimia
dalam waktu tertentu yang diukur dengan menggunakan tes
pekriteria interpretasi skoran tertentu. Pekriteria interpretasi skoran
dalam konteks hasil belajar di sekolah merupakan proses pemberian
kriteria interpretasi skor terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai
peserta didik dengan kriteria tertentu (Sudjana, 2011: 3). Hasil dari
proses pekriteria interpretasi skoran dapat digunakan untuk
membuat keputusan tertentu tentang hasil belajar yang dicapai
seorang peserta didik. Namun untuk mengetahui hasil belajar setiap
peserta didik, maka salah satu peran guru adalah menerapkan
pendekatan pembelajaran yang cocok dengan materi yang diajarkan
49
salah satunya adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning.
Dengan pendekatan pembelajaran ini mampu memberikan kesempatan
yang luas kepada setiap peserta didik untuk mencari tahu setiap
informasi dan menemukan sendiri informasi tersebut namun tidak
terlepas dari bimbingan intensif dari guru.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah mempunyai
hubungan yang erat dengan hasil belajar yakni apabila sikap ilmiah
setiap peserta didik semakin tinggi maka hasi belajar yang diperoleh
semakin baik, begitupun sebaliknya apabila sikap ilmiahnya rendah
maka hasil yang diperolehnya kurang baik. Hasil yang diperoleh dapat
diukur melalui kriteria interpretasi skor tes, LKPD, ulangan dan ujian
dari setiap peserta didik.
2.5.2 Hubungan dan Pengaruh Kemampuan Analisis Terhadap Hasil
Belajar Peserta didik
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu
mengembangkan seluruh potensi yang ada pada paserta didik secara
baik. Salah satunya adalah kemampuan peserta didik dalam
menganalisa suatu permasalahan. Kemampuan analisis merupakan
kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan hubungan-hubungan
kesimpulan yang benar diantara pernyataan, pertanyaan, konsep,
gambaran, atau bentuk lain yang mewakili yang dimaksudkan untuk
mengungkapkan keyakinan, pendapat, pengalaman, alasan, informasi
atau opini. Kemampuan analisis sebagai
50
kemampuan untuk melihat kemungkinan kemungkinan untuk menyela
saikan suatu masalah dan merupakan bentuk pemikiran yang kurang
mendapat perhatian dalam pendidikan formal.
Keberhasilan pembelajaran matematika tidak terlepas dari kemampuan
individu yang dimiliki oleh mahapeserta didik, yaitu faktor internal
diantaranya kemampuan analisis mahapeserta didik. Mengingat
pentingnya kemampuan berpikir analisis mahapeserta didik tersebut,
maka di perguruan tinggi perlu disusun suatu setrategi pembelajaran
yang baik yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir analisis
mahapeserta didik.
Facione menyatakan bahwa kemampuan analisis berhubungan kuat
dengan prestasi kognitif mahapeserta didik. Pernyataan tersebut
ditegaskan oleh Wenglinsky yang menyatakan bahwa pembelajaran
yang mengutamakan kemampuan analisis mampu mendukung
tercapainya prestasi belajar.
2.5.3 Hubungan dan Pengaruh Sikap Ilmiah dan Kemampuan Analisis
Terhadap Prestasi Belajar
Seperti yang sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya bahwa adanya
sikap ilmiah setiap peserta didik maka akan menunjang hasil belajar yang
diperolehnya. Sikap ilmiah dan kemampuan analisis saling berhubungan
untuk mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Apabila sikap ilmiah
yang dimiliki setiap peserta didik semakin tinggi maka dampak yang
diperolehnya ialah pada hasil belajar yang baik pula, begitupun
51
sebaliknya. Hasil yang diperolehnya ini bisa memuaskan atau tidak
memuaskan dapat dilihat dari kemampuan analisis dalam wujud kriteria
interpretasi skor yang diperoleh dari kriteria interpretasi skor tugas, kuis,
dan tes hasil belajar (THB).
Dengan demikian, dibutuhkan peran seorang guru yang profesional untuk
membantu menumbuhkan sikap ilmiah dan kemampuan analisis dari
peserta didik dengan cara mengajari peserta didik untuk selalu membuka
pemikiran mereka terhadap hal-hal baru, ataupun hal-hal yang sudah
pernah mereka pelajari, mengajari peserta didik untuk tidak selalu
menerima sesuatu hal sebagai suatu kebenaran yang bersifat final,
mengajari peserta didik untuk selalu dan banyak bertanya, mengajari
peserta didik untuk melihat dan menyadari bahwa belajar merupakan
sesuatu yang menyenangkan, dan membiasakan peserta didik untuk
membaca beragam jenis bacaan untuk mengeksplorasi dunia-dunia baru
bagi mereka sehingga kemampuan evaluasi sangat membantu yakni
memberikan rasa percaya diri untuk bersaing secara sehat, memberikan
informasi tentang hal-hal yang sudah dipahami dan belum dipahami
dengan baik. Oleh karena itu, peserta didik akan lebih giat lagi untuk
mendapatkan hasil belajar yang baik seperti teman-teman yang lain.
2.6 Sistem koloid
1. Sistem Dispersi
52
Cobalah kalian perhatikan zat-zat yang ada disekitar kalian. Tanah, air,
pasir, debu, awan, cat, dan berbagai macam hal-hal lainnya? Ataukah
pernah anda mencampurkan gula, pasir dan susu kedalam segelas air?
Ketiga campuran tersebut akan tersebar merata dalam segelas air atau
dengan kata lain membentuk suatu dispersi yaitu penyebaran merata dua
fase. Kedua fase yang dimaksudkan adalah fase yang terdiri atas fase zat
yang didispersikan dan fase pendispersi. Fase zat yang didispersikan lebih
dikenal sebagai fase terdispersi atau fase dalam, sedangkan fase
pendispersi lebih dikenal sebagai medium pendispersi atau fase luar. Pada
umumnya, fase terdispersi memiliki jumlah molekul yang lebih kecil
dibandingkan dengan fase pendispersi. Terdapat tiga macam campuran,
yaitu larutan sejati atau larutan, suspensi, dan sistem koloid. Termasuk ke
dalam kelompok manakah campuran-campuran tersebut?
1. Larutan
Larutan adalah campuran dari zat padat atau zat cair sebagai fase
terdispersi dengan medium pendispersi air, dimana fase terdispersi larut
dengan sempurna sehingga dihasilkan larutan yang homogen. Artinya
tidak dapat dikenali lagi antara fase terdispersi dan dengan medium
pendispersi. Ukuran partikel zat terlarut di dalam suatu larutan lebih
kecil dari 10-7 cm (˂ 1 nm) sehingga sangat sulit untuk diamati,
walaupun dengan menggunakan mikroskop. Jadi, campuran antara gula
dan air termasuk larutan karena pencampuran kedua zat tersebut
menghasilkan dua fase yang homogen. Ukuran pertikel zat terdispersi
53
dan medium pendispersinya hampir sama, maka sifat zat pendispersi
dalam larutan akan terpengaruh (berubah) dengan adanya zat
terdispersi. Contoh: Larutan gula.
2. Suspensi
Suspensi merupakan campuran heterogen antara fasa terdispersi dan
medium pendispersinya. Pada umumnya fasa terdispersi berupa padatan
dan medium pendispersinya adalah air. Dalam suspensi, antara fasa
terdispersi dengan medium pendispersi dapat dibedakan dengan jelas.
Apabila tidak diaduk terus-menerus maka fasa terdispersi akan
mengendap akibat gaya gravitasi bumi. Oleh karena itu suspensi tidak
stabil. Semakin besar ukuran partikel tersuspensi semakin cepat
pengendapan itu terjadi. Suspensi dapat dipisahkan dengan penyaringan
(filtrasi), karena ukuran partikelnya besar maka zat-zat yang terdispersi
akan tertinggal di kertas saring. Ukuran partikel zat terdispersi di dalam
suspensi ˃10-5 cm (˃ 100 nm) sehingga masih dapat diamati dengan
mudah. Contoh: tanah yang dicampur dengan air.
3. Sistem koloid
Istilah sistem koloid pertama kali dikenalkan oleh Thomas Graham
pada tahun 1861. Partikel sistem koloid memiliki ukuran lebih besar
dari larutan tetapi lebih kecil dari suspensi, yaitu antara 1 nm sampai
100 nm (10-7cm sampai dengan 10-5cm). Jadi, sistem koloid merupakan
campuran yang ukuran partikel terdispersinya berada di antara larutan
dan suspensi. Meskipun ukuran partikel sistem koloid lebih besar
54
daripada larutan, tapi partikel ini tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang dan hanya bisa dilihat menggunakan mikroskop ultra.
Sistem koloid tampak homogen jika dilihat tanpa mikroskop, tetapi
dengan menggunakan mikroskop ultra tampak adanya partikel-partikel
fase terdispersi. Partikel sistem koloid dapat disaring dengan
menggunakan kertas saring yang berpori-pori sangat halus. Berdasarkan
sistem dispersi, suatu sistem koloid tampak seperti suspensi. Akan
tetapi, secara fisik tampak seperti larutan sehingga sering juga disebut
dengan istilah suspensi homogen. Secara kasat mata, bentuk fisik sistem
koloid sama seperti bentuk larutan tetapi bila diamati dengan mikroskop
ultra, campuran ini sebenarnya tidak homogen. Contoh: Sabun, susu,
jelli, mentega, selai, santan, dan mayonase.
Tabel 2.2.
Perbedaan antara Larutan, Sistem koloid dan Suspensi
Aspek Larutan Sistem koloid Suspensi
Bentuk
Campuran
Homogen Tampak
Homogen
Heterogen
Kestabilan Stabil Stabil Tidak Stabil
Pengamatan
Mikroskop
Homogen Heterogen Heterogen
Jumlah Fase Satu Dua Dua
Sistem
Dispersi
Molekular Padatan Halus Padatan Kasar
55
Pemisahan
dengan
Cara
Penyaringan
Tidak dapat
disaring
Tidak dapat
disaring dengan
kertas saring
biasa, kecuali
dengan kertas
saring ultra
Dapat disaring
Ukuran
Partikel
˂ 10-7 cm,
atau ˂ 1 nm
10-7 cm – 10-5 cm,
atau 1 nm – 100
nm
˃ 10-5 cm, atau
˃ 100 nm
2.Sistem Koloid
Jika suatu larutan tersusun dari komponen-komponen zat terlarut dan
pelarut, maka suatu sistem sistem koloid juga tersusun dari dua komponen,
yaitu fase terdispersi (zat terlarut) dan medium pendispersi (pelarut). Baik
fase terdispersi maupun medium pendispersi dapat berwujud padat, cair,
atau gas. Akan tetapi, untuk gas yang terdispersi dalam gas tidak dapat
menghasilkan sistem koloid, sebab semua gas bercampur secara homogen
sehingga akan berupa larutan dengan sesamanya. Berdasarkan wujud fase
terdispersi dan medium pendispersi, maka sistem sistem koloid
dikelompokkan ke dalam tiga tipe utama, yaitu sol, emulsi, dan busa.
a. Sistem koloid Fase Padat-Cair (Sol)
Sistem sistem koloid fase padat-cair disebut sol. Sol terbentuk dari
fase terdispersi berupa zat padat dan fase pendispersi berupa cairan.
56
Sol yang memadat disebut gel. Berikut contoh-contoh sistem
sistem koloid fase padat-cair.
1. Agar-agar
Padatan agar-agar terdispersi di dalam air panas akan
menghasilkan sistem koloid yang disebut sol. Jika konsentrasi
agar-agar rendah, pada keadaan dingin sol ini akan tetap
berwujud cair. Sebaliknya, jika konsentrasi agar-agar tinggi
pada keadaan dingin sol menjadi padat dan kaku. Keadaan
seperti ini disebut gel.
2. Gelatin
Gelatin adalah tepung yang diperoleh dari hasil perebusan kulit
atau kaki binatang, misalnya sapi. Jika gelatin didispersikan di
dalam air, terbentuk suatu sol yang kemudian memadat dan
membentuk gel. Gelatin banyak digunakan untuk pembuatan
cangkang kapsul. Agar-agar, pektin, dan gelatin juga digunakan
untuk pembuatan makanan, seperti jelly atau permen yang
kenyal (gummy candies).
b. Sistem koloid Fase Padat-Padat (Sol Padat)
Sistem koloid fase padat-padat terbentuk dari fase terdispersi dan
fase pendispersi yang sama-sama berwujud zat padat sehingga
dikenal dengan nama sol padat. Lazimnya, istilah sol digunakan
untuk menyatakan sistem koloid yang terbentuk dari fase
terdispersi berupa zat padat di dalam medium pendisersi berupa zat
57
cair sehingga tidak perlu digunakan istilah sol cair. Contoh sistem
koloid fase padat-padat adalah logam campuran (aloi), misalnya
stainless steel yang terbentuk dari campuran logam besi, kromium,
dan nikel. Contoh lainnya adalah kaca berwarna yang dalam hal ini
warna terdispersi di dalam medium zat padat (kaca).
c. Sistem koloid Fase Padat-Gas (Aerosol Padat)
Sistem koloid fase padat-gas terbentuk dari fase terdispersi berupa
padat dan fase pendispersi berupa gas. Anda sering menjumpai
asap dari pembakaran sampah, asap merupakan partikel padat yang
terdispersi di dalam medium pendispersi berupa gas (udara).
Partikel padat di udara disebut partikulat padat. Sistem dispersi zat
padat dalam medium pendispersi gas disebut aerosol padat.
d. Sistem koloid Fase Cair-Gas (Aerosol)
Sistem fase cair-gas terbentuk dari fase terdispersi berupa zat cair
dan fase pendispersi berupa gas, yang disebut aerosol. Contoh
sistem koloid ini adalah kabut dan awan. Partikel-partikel zat cair
yang terdispersi di udara (gas) di sebut partikulat cair. Contoh
aerosol adalah hairspray, obat nyamuk semprot, body spray, cat
semprot.
e. Sistem koloid Fase Cair-Cair (Emulsi)
Sistem koloid fase cair-cair terbentuk dari fase terdispersi berupa
zat cair dalam medium pendispersi yang juga berupa cairan.
58
Campuran yang terbentuk bukan berupa larutan, melainkan bersifat
heterogen. Misalnya, campuran antara minyak dan air.
f. Sistem koloid Fase Cair- Padat (Emulsi Padat)
Sistem koloid fase cair-padat tebentuk dari fase terdispersi berupa
zat cair dan medium pendispersi berupa zat padat sehingga di kenal
dengan nama emulsi padat. Sebenarnya, istilah emulsi hanya
digunakan untuk sistem koloid fase cair-cair. Jadi, emulsi berarti
sistem koloid fase cair-cair (tidak ada istilah emulsi cair). Contoh
emulsi padat, yaitu keju, mentega, dan mutiara.
g. Sistem koloid Fase Gas-Cair (Busa)
Sistem koloid Fase Gas-Cair terbentuk dari fase terdispersi berupa
gas dan medium pendispersi berupa zat cair. Jika anda mengocok
sabun, akan timbul busa. Di dalam busa sabun terdapat rongga
yang terlihat kosong. Busa sabun merupakan fase gas dalam
medium cair. Contoh-contoh zat yang dapat menimbulkan busa
atau buih, yaitu sabun, deterjen, dan protein.
Pada proses pencucian, busa yang ditimbulkan oleh sabun dan
deterjen dapat mempercepat proses penghilangan kotoran. Busa
atau buih pada zat pemadam api berfungsi memperluas jangkauan
dan mengurangi penguapan air. Di dalam suatu proses industri
kimia, misalnya proses fermentasi, kadang-kadang pembentukan
busa tidak diinginkan sehingga dilakukan penambahan zat anti
busa seperti silikon, eter, dan lain-lain.
59
h. Sistem koloid Fase Gas-Padat (Busa Padat)
Sistem koloid Fase Gas-Padat terbentuk dari fase terdispersi berupa
gas dan medium pendispersi berupa zat padat, yang dikenal dengan
istilah busa padat, sedangkan dispersi gas dalam medium cair
disebut busa.
Tabel 2.3
Jenis-jenis Sistem koloid
No Fase
Terdispersi
Medium
Pendispersi
Nama Sistem
koloid
Contoh
1 Padat
Cair Sol Sol emas, agar-agar,
jelly, cat, tinta, air
sungai.
2 Padat Gas Aerosol padat Asap
3 Padat Padat Sol padat Paduan logam, kaca
berwarna
4 Cair Gas Aerosol Kabut dan awan
5 Cair Cair Emulsi Santan, susu, es
cream, lotion,
mayonnaise.
6 Cair Padat Emulsi padat Keju, mentega,
mutiara.
7 Gas Cair Buih, busa Busa sabun
8 Gas Padat Busa padat Karet busa dan batu
60
apung.
3.Sifat-sifat Sistem koloid
Seperti yang telah dijelaskan sbelumnya bahwa secara fisik, sistem koloid
terlihat homogen seperti larutan. Jika anda amati dengan mikroskop, terlihat
adanya perbedaan antara sistem koloid dan larutan karena sistem koloid
sebetulnya bersifat heterogen.
a) Efek Tyndall
Salah satu cara yang termudah untuk mengenali sistem koloid yaitu
dengan menjatuhkan seberkas cahaya kepada objek. Larutan sejati akan
meneruskan cahaya, sedangkan sistem koloid akan menghamburkan
cahaya. Hal ini disebabkan karena partikel sistem koloid yang berupa
molekul atau ion dengan ukuran cukup besar menghamburkan cahaya
yang diterimanya ke segala arah, meskipun partikel sistem koloidnya
tidak tampak.
Gambar 2.2 Efek Tyndal
61
Sifat penghamburan cahaya oleh sistem koloid ditemukan oleh seorang
ahli fisika Inggris, John Tyndall (1820-1893). Oleh karena itu, sifat ini
disebut efek Tyndall . Efek Tyndall merupakan salah satu hal yang
membedakan antara larutan sejati dan sistem koloid.
Efek Tyndall juga dapat menjelaskan mengapa langit pada siang hari
berwarna biru sedangkan pada saat matahari terbenam, langit di ufuk
barat berwarna jingga atau merah. Hal itu disebabkan oleh
penghamburan cahaya matahari oleh partikel sistem koloid di angkasa
dan tidak semua frekuensi dari sinar matahari dihamburkan dengan
intensitas sama. Jika intensitas cahaya yang dihamburkan berbanding
lurus dengan frekuensi, maka pada waktu siang hari ketika matahari
melintas di atas kita frekuensi paling tinggi (warna biru) yang banyak
dihamburkan, sehingga kita melihat langit berwarna biru. Sedangkan
ketika matahari terbenam, hamburan frekuensi rendah (warna merah)
lebih banyak dihamburkan, sehingga kita melihat langit berwarna jingga
atau merah.
Peristiwa efek tyndal yang dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari,
seperti:
1. Sorot lampu proyektor digedung bioskop akan tampak jelas
ketika ada asap rokok sehingga gambar film yang ada dilayar
menjadi tidak jelas.
2. Sorot lampu mobil pada malam hari berdebu, berasap atau
berkabut akan tampak jelas.
62
3. Berkas sinar matahari yang melalui celah daun pepohonan pada
pagi hari yang berkabut akan tampak jelas.
b) Gerak Brown
Gerak Brown adalah gerak yang tidak beraturan, gerak acak atau gerak
siksak partikel sistem koloid. Gerak Brown terjadi karena benturan tidak
teratur partikel sistem koloid dan medium pendispersi. Gerak Brown bisa
berlangsung terus karena gaya yang bekerja pada partikel itu dihasilkan
terus menerus oleh tumbukan partikel dengan molekul medium
pendispersi. Hal ini menyebabkan berkurangnya efek gaya gravitasi bumi
terhadap partikel fasa dispersi. Oleh karena gaya gravitasi tidak dapat
mengatasi seluruh gaya yang timbul pada tumbukan partikel yang
menyebabkan gaya Brown itu, maka partikel sistem koloid tidak dapat
mengendap. Contoh, apabila kita mendiamkan susu untuk beberapa lama,
kita tidak akan mendapati endapan. Gerakan partikel sistem koloid yang
tidak menentu arahnya ini pertama kali ditemukan oleh seorang sarjana
Biologi bernama Robert Brown (1773-1859).
c) Adsorpsi
Partikel sistem koloid mempunyai kemampuan menyerap ion atau
muatan listrik pada permukaannya. Oleh karena itu, partikel sistem
koloid menjadi bermuatan listrik. Penyerapan pada permukaan disebut
adsorpsi, jika penyerapan sampai ke bawah permukaan disebut
absorpsi.Kemampuan menarik ini disebabkan adanya tegangan
permukaan sistem koloid yang cukup tinggi, sehingga apabila ada
63
partikel yang menempel akan canderung dipertahankanpada
permukaannya.
Bila partikel sistem koloid mengadsorpsi ion yang bermuatan positif,
maka sistem koloid tersebut menjadi bermuatan positif, dan sebaliknya.
Muatan sistem koloid merupakan faktor yang menstabilkan sistem
koloid, disamping gerak Brown. Karena partikel-partikel sistem koloid
bermuatan sejenis maka akan saling tolak menolak sehingga terhindar
dari pengelompokan antar sesama partikel sistem koloid itu (jika partikel
sistem koloid itu saling bertumbukan dan kemudian bersatu, maka lama
kelamaan terbentuk partikel yang cukup besar dan akhirnya akan
mengendap).
Gambar 2.3 Adsorbsi
d) Koagolasi
Koagulasi adalah penggumpalan partikel sistem koloid yang terjadi
karena kerusakan stabilitas sistem sistem koloid atau karena
penggabungan partikel sistem koloid yang berbeda muatan sehingga
membentuk partikel yang lebih besar. Koagulasi dapat terjadi karena
pengaruh pemanasan, pendinginan, penambahan elektrolit, pembusukan,
64
pencampuran sistem koloid yang berbeda muatan, atau karena
elektroforesis.
e) Sistem koloid Liofil dan sistem koloid liofob
Sistem koloid sol (zat padat dalam medium pendispersi cair) dapat bersifat
liofil, zat terdispersi dapat menarik atau mengikat medium pendispersi.
Pada sol yang bersifat liofob, zat terdispersi tidak dapat mengikat medium
pendispersinya (air).
Gambar.2.4 Sistem koloid Liofil dan Liofod
f) Sistem koloid Pelindung
Sistem koloid pelindung adalah suatu sistem koloid yang ditambahkan
pada sistem koloid lainnya agar diperoleh sistem koloid yang stabil.
Contoh sistem koloid pelindung adalah gelatin yang merupakan sistem
koloid padatan dalam medium air. Gelatin biasanya digunakan pada
pembuatan es cream untuk mencegah pembentukan kristal es yang kasar
sehingga diperoleh es cream yang lebih lembut.
Gambar 2.5 Koloid Pelindung
65
g) Dialysis
Dialisis adalah suatu cara pemurnian sistem koloid dari ion-ion
pengganggu yang menggunakan selaput semipermeabel. Caranya, sistem
koloid dimasukkan ke dalam kantong semipermeabel, dan diletakkan
dalam air. Selaput semipermeabel ini hanya dapat dilalui oleh ion-ion,
sedang partikel sistem koloid tidak dapat melaluinya. Ion-ion yang keluar
melalui selaput semipermeabel ini kemudian larut dalam air. Dalam
proses dialisis hilangnya ion-ion dari sistem koloid dapat dipercepat
dengan menggunakan air yang mengalir. Misalnya, pembuatan sol
Fe(OH)3 akan terdapat ion-ion H+ dan CI–Ion-ion ini akan mengganggu
kestabilan sol Fe(OH)3 sehingga sol Fe(OH)3 mudah mengalami
koagulasi.
Proses dialysis digunakan untuk memurnikan protein dari partikel-
partikel lain yang ukurannya lebih kecil. Dalam dunia industry, teknis
dialisis, digunakan nuntuk memisahkan tepung tapioca dari ion-ion
sianida yang terkandung dalam sianida. Sementara untuk bidang
kesehatan, prinsip dialysis digunakan pada proses cuci darah bagi
penderita gagal ginjal. Proses ini dikenal dengan blood dialysis.
h) Sistem koloid dalam Pengolahan Air
66
Air sungai merupakan sistem koloid yang terbentuk dari air tanah liat
yang terdispersi dalam air. Pengolahan air sungai menjadi air bersih
dapat dilakukan melalui tahap-tahap penggumpalan pengotor (koagulasi),
dan pembasmian kuman (desinfeksi).
Gambar 2.6 Pengolahan Air
4.Pembuatan Sistem koloid
Pembuatan sistem koloid dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama,
menggabungkan molekul atau ion dari larutan (cara kondensasi). Kedua,
menghaluskan partikel suspensi, kemudian didispersikan ke dalam suatu medium
pendispersi (cara dispersi).
Gambar 2.7 Pembuatan Koloid
1) Cara Kondensasi
1. Cara kimia
a. Reaksi hidrolisis
67
Hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Reaksi ini
umumnya digunakan untuk membuat sistem koloid-sistem
koloid basa dari suatu garam yang dihidrolisis.
Contoh:
Pembuatan sol Fe(OH)3 dari hidrolisis FeCl3. Dengan cara
memanaskan larutan FeCl3 (apabila ke dalam air mendidih
ditambahkan larutan FeCl3 akan terbentuk sol Fe(OH)3.
FeCl3(aq) + 3H2O Fe(OH)3(s) + 3HCl(aq)
b. Reaksi redoks
Untuk membuat sol emas, dapat dilakukan dengan mereduksi
garamnya dengan menggunakan reduktor formaldehida. Reaksi
yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut.
2AuCl3(aq) + 3HCHO(aq) + H2O(l) 2Au(sistem koloid) +
6HCl(aq) + 3HCOOH(aq)
c. Reaksi Substitusi
Gas H2S dialirkan ke dalam larutan asam arsenit yang sangat
encer, terbentuk sol As2S3.
2 H3AsO3(aq) + 3 H2S(aq) --> As2S3(aq) + 6 H2O(l)
2. Cara fisika
a. Penggantian pelarut
Belerang mudah larut dalam alkohol (misal etanol) tetapi
sukar larut dalam air. Jadi, untuk membuat sol belerang dalam
medium pendispersi air, belerang dilarutkan ke dalam etanol
68
sampai jenuh. Setelah itu, larutan belerang dalam etanol
dimasukkan ke dalam air sedikit demi sedikit. Partikel belerang
akan menggumpal menjadi sistem koloid akibat penurunan
kelarutan belerang dalam air. Kemudian etanol dapat
dipisahkan dengan dialisis, maka terbentuklah sol belerang.
b. Pengembunan uap
Sol raksa (Hg) dapt dibuat dengan menguapkan raksa.
Kemudian uap raksa ini diaalirkan melalui air dingin
hingga akhirnya diperoleh sol raksa.
c. Pendinginan
Kelarutan suatu zat sebanding dengan suhu sehingga
pendinginan dapat mengumpulkan menjadi sistem koloid.
2) Cara Dispersi
a. Cara mekanik
Butir-butir kasar diperkecil ukurannya dengan menggiling atau
menggerus sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu, kemudian
diaduk dengan medium pendispersi.
Contoh:
Sol belerang dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersama-sama
suatu zat inert (seperti gula pasir) kemudian mencampur serbuk halus
itu dengan air.
b. Cara busur bredig
69
Cara ini digunakan untuk membuat sol-sol logam. Logam yang akan
disistem koloidkan dijadikan elektrode yang dicelupkan ke dalam
medium dispersi. Kemudian diberi arus listrik yang cukup kuat
sehingga terjadi loncatan bunga api listrik di antara kedua ujungnya.
Mula-mula atom-atom logam akan terlempar ke dalam air, kemudian
atom-atom tersebut mengalami kondensasi sehingga menjadi partikel
sistem koloid. Cara ini merupakan gabungan cara dispersi dan
kondensasi.
c. Cara peptisasi
Dengan cara memecah partikel-partikel besar menjadi partikel sistem
koloid, misalnya suspensi, gumpalan atau endapan dengan bantuan
suatu zat pemeptisasi (pemecah) yang berupa zat elektrolit yang
mengandung ion sejenis..
Contoh:
Agar-agar dipeptisasi oleh air, nitroselulaosa oleh aseton, karet oleh
bensin, dan lainlain.Endapan NiS dipeptisasi oleh H2S dan endapan
Al(OH)3 oleh AlCl3.
d. Cara homogenisasi
Cara homogenisasi adalah suatu cara yang digunakan untuk membuat
suatu zat menjadi homogen dan berukuran partikel sistem koloid. Cara
ini banyak digunakan untuk membuat sistem koloid tipe emulsi,
misalnya susu. Pada pembuatan susu, ukuran partikel lemak pada susu
diperkecil hingga berukuran partikel sistem koloid. Caranya dengan
70
melewatkan zat tersebut melalui lubang berpori bertekanan tinggi.
Apabila partikel lemak dengan ukuran partikel sistem koloid tersebut
sudah terbentuk, zat tersebut kemudian didispersikan kedalam
medium pendispersinya.
2.7 Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dirujuk berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh:
1. Nana Hendracipta, yang berjudul “Menumbuhkan Sikap Ilmiah Peserta
Didik Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran IPA Berbasis Inkuiri”. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pada langkah kegiatan pembelajaran
berbasis inkuiri terbuka kemungkinan untuk menanamkan sikap-sikap
ilmiah sebagai sebuah karakter yang dimiliki ilmuwan sains. Pada
langkah kegiatan merumuskanm masalah dapat ditanamkan satu sikap
ilmiah yaitu sikap ingin menyelidiki (curiositas) yang tinggi, langkah
kegiatan perencanaan penelitian dapat ditanamkan sikap hati-hati, langkah
kegiatan pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data dapat ditanamkan
sikap obyektif/jujur dan sikap hati-hati. Kemudian pada langkah kegiatan
membuat penjelasan berdasarkan data hasil observasi dapat ditanamkan
sikap terbuka, sikap tidak mencampuradukan fakta dengan pendapat, dan
pada kegiatan mengkomunikasiakn temuan dapat dikembangkan sikap
terbuka
2. Merta Dhewa Kususma yang berjudul “Pengaruh Sikap Ilmiah Terhadap
Hasil Belajar dan Kemandirian Belajar Melalui Strategi Scaffolding-
71
Kooperatif Kelas XI IPA SMA Tunas Harapan Tahun Pelajaran
2012/2013”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa :
Peserta didik yang memiliki sikap ilmiah yang positif terhadap
fisika, akan cenderung lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran
di dalam kelas dan peserta didik tersebut cenderung memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi serta sikap kritis terhadap
permasalahan fisika yang diberikan oleh guru. Besarnya
persentase pengaruh sikap ilmiah terhadap hasil belajar yaitu
sebesar 0,46 atau 46% sedangkan nilai koefisien korelasi (R)
adalah sebesar 0,68 yang berarti sikap ilmiah dan hasil belajar
memiliki tingkat hubungan yang kuat.
Sikap ilmiah dan kemandirian belajar peserta didik cenderung
baik, hal ini berarti sikap ilmiah juga mempengaruhi
kemandirian belajar peserta didik. Dengan besar persentase
pengaruh sikap ilmiah terhadap kemandirian belajar yaitu 0,36
atau 36% dan nilai koefisien korelasi (R) yang diperoleh 0,60
yang berarti sikap ilmiah dan kemandirian belajar memiliki
tingkat hubungan yang kuat.
3. Sania Novita, dkk: “Perbandingan Kemampuan Analisis Peserta didik
melalui Penerapan Model Cooperative Learning dengan Guided
Discovery Learning”.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut: Ada perbedaan kemampuan
analisis antar kelas eksperimen pada taraf signifikasi pada 5 %. Uji lebih
72
lanjut terhadap nilai rata-rata kemampuan analisis peserta didik
menggunakan Tukey pada taraf signifikan 5% menyatakan ada perbedaan
kemampuan analisis peserta didik antara penerapan model Cooperative
Learning metode every one is teacher here dengan penerapan Guided
Discovery Learning metode mind maps. Penerapan model cooperative
learning metode everyone is teacher here menghasilkan kemampuan
analisis peserta didik yang lebih tinggi dari pada penerapan guided
discovery learning metode mind maps. Perbedaan rata-rata kemampuan
analisis antara kelas cooperative learning metode everyone is teacher
here dengan kelas guided discovery learning metode mind maps sebesar
9,57.
4. Agus Setiawan : “Pengaruh Kemampuan Analisis terhadap Prestasi
Belajar Matematika ditinjau dari Intelligent Quotion (IQ)
Hasil penelitiannya sebagai berikut : prestasi belajar mahapeserta didik
yang memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik dari pada
mahapeserta didik yang memiliki kemampuan analisis sedang dan rendah.
Sedangkan prestasi belajar matematika mahapeserta didik yang memiliki
kemampuan analisis sedang sama baik dengan mahapeserta didik yang
memiliki kemampuan analisis rendah.
5. Heri Supranoto : “Pengaruh Contextual Teaching and Learning Teknik
Praktek Jual Beli Terhadap Kemampuan Mahapeserta didik Memahami
Akuntasi Program Studi Pendidikan Ekonomi UM Metro. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pendekatan Contextual Teaching and
73
Learning dapat meningkatkan pemahaman akuntansi mahapeserta didik.
Oleh karena itu, sebaiknya pendekatan Contextual Teaching and Learning
dapat digunakan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan
pemahaman peserta didik.
6. Husni Sabil : “Penerapan Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning Pada Materi Ruang Dimensi Tiga menggunakan Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika FKIP UNJA”. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa : penggunaan pendekatan Contextual Teaching and Learning
dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran materi Ruang Dimensi Tiga dan dengan pendekatan
Contextual Teaching and Learning dengan model Pembelajaran
Berdasarkan Masalah dapat meningkatkan Hasil Belajar materi Ruang
Dimensi Tiga. Hasil belajar tersebut mencapai tingkat penguasaan sebesar
77%.
2.8 Kerangka Berpikir
Pendidikan adalah suatu proses upaya yang dilakukan secara sadar dan
sengaja untuk meningkatkan nilai perilaku seseorang atau masyarakat. Sekolah
merupakan salah satu tempat bagi seseorang untuk meningkatkan nilai
perilakunya dan salah satunya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
merupakan lembaga pendidikan yang bertanggungjawab untuk menyiapkan
peserta didik untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi dan
menciptakan lulusan yang kompeten.
74
Di Sekolah Menengah Atas terdapat beberapa jurusan yang disiapkan bagi
peserta didik untuk mempelajarinya sesuai minat atau keinginannya. Salah satu
jurusan yang disiapkan adalah jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan salah
satu mata pelajaran yang akan dipelajari yaitu Kimia.
Mata pelajaran kimia ini merupakan mata pelajaran yang lebih banyak
ditekankan pada pemahaman daripada hafalan. Dalam mempelajari kimia seorang
peserta didik tidak hanya mempelajari beberapa kumpulan pengetahuan yang
berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau pun prinsip-prinsipnya saja namun yang
terpenting proses penemuan. Adapun tujuan dari mempelajari pelajaran kimia ini
pada dasarnya untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan serta
kemampuan intelektual (kemampuan berpikir kritis, rasional, kreatif) dan
psikomotor yang dilandasi sikap ilmiah. Dengan adanya sikap ilmiah dan
kemampuan intelektual maka peserta didik mampu memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari dan juga saat memecahkan masalah yang diberikan oleh
guru.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik
terkhususnya peserta didik kelas XI MIA 4 SMAN 4 Kupang, diantaranya adalah
sikap ilmiah dan kemampuan analisis. Peserta didik dengan sikap ilmiah dan
kemampuan analisis yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam
menyikapi permasalahan yang diberikan. Kurangnya sikap ilmiah pada diri
seorang peserta didik juga dapat dilihat bagaimana peserta didik tersebut
mengikuti pelajaran dalam kelas dimana peserta didik tersebut cenderung tidak
memberikan perhatian atau respon pada pertanyaan yang diberikan oeh guru.
75
Peserta didik yang memiliki sikap ilmiah dan kemampuan analisis yang tinggi
akan menyikapi setiap permasalahan dengan baik dengan berpikir untuk mencari
solusi dari setiap permasalahan tersebut. Jika hal ini dimiliki dan dilakukan secara
terus menerus oleh peserta didik maka hasil belajar peserta didik tersebut akan
baik. Banyaknya peserta didik yang kurang memiliki sikap ilmiah dan
kemampuan analisis terhadap persoalan yang diberikan oleh guru dikarenakan
peserta didik kurang mampu menunjukkan sikap ilmiah baik saat pelajaran
berlangsung maupun pada saat diberikan tugas proyek berkaitan dengan materi
yang akan dipelajari serta mengembangkan kemampuan analisis dimana peserta
didik menemukan suatu permasalahan dalam hal ini soal-soal yang tingkatannya
menganalisis, peserta didik cenderung tidak mengerjakannya, mereka akan
bermalas-malasan dan mengharapkan jawaban dari gurunya tanpa berpikir dahulu.
Untuk itu peran guru sangat penting dalam mengembangkan sikap ilmiah dan
mengaktifkan kemampuan analisis dengan memberikan pengetahuan yang
tujuannya memberikan motivasi serta menarik peserta didik sehingga daya tarik
peserta didik untuk mengikuti pelajaran dalam hal ini untuk meningkatkan sikap
ilmiah dan kemampuan analisis bisa tercapai. Salah satu materi yang akan
dipelajari oleh peserta didik yaitu sistem koloid dimana dalam kehidupan sehari-
hari pun terjadi proses kesetimbangan. Oleh karena itu, guru selaku pendidik
harus bisa memilih dan menggunakan pendekatan yang sesuai agar hasil belajar
dari setiap peserta didik bisa meningkat dan memenuhi standar kriteria ketuntasan
minimal.
76
Salah satu pendekatan yang cocok dan sesuai dengan karakteristik materi
sistem koloid adalah Contextual Teaching and Learning. Pendekatan Contextual
Teaching and Learning ini merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan uraian diatas maka diharapkan pendekatan Contextual
Teaching and Learning yang diterapkan oleh guru dapat efektif dalam
pembelajaran serta ada hubungan dan pengaruh yang signifikan antara Sikap
Ilmiah dan Kemampuan Analisis Terhadap Hasil Belajar Kimia pada Materi
Pokok Sistem koloid Pada Pendekatan Contextual Teaching and Learning Peserta
didik Kelas XI SMAN 4 Kupang Tahun Ajaran 2017/2018.
2.9 Hipotesis
Berdasarkan uraian pada latar belakang, tinjauan pustaka, penelitian yang
relevan dan kerangka berpikir maka hipotesis yang dapat diambil dalam
penelitian ini adalah :
1. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning efektif pada
Materi pokok Sistem koloid Peserta didik kelas XI MIA 4 SMAN 4
Kupang tahun pelajaran 2017/2018 yang dicirikan dengan guru mampu
mengelolah pembelajaran, ketuntasan indikator hasil belajar tercapai,
dan hasil belajar tuntas.
77
2. Sikap ilmiah peserta didik dalam mempelajari materi pokok sistem
koloid kelas XI MIA 4 SMAN 4 Kupang tahun pelajaran 2017/2018
dengan kriteria ≥ 61%.
3. Kemampuan Analisis pada materi pokok sistem koloid pada kelas XI
MIA 4 SMAN 4 Kupang tahun pelajaran 2017/2018 dengan kriteria ≥
75.
4. Hubungan
a. Ada hubungan antara sikap ilmiah peserta didik dengan hasil belajar
kimia melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning pada
materi pokok sistem koloid peserta didik Kelas XI MIA 4 SMAN 4
Kupang tahun pelajaran 2017/2018
b. Ada hubungan antara kemampuan analisis terhadap hasil belajar
kimia melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning pada
materi pokok sistem koloid peserta didik Kelas XI MIA 4 SMAN 4
Kupang tahun pelajaran 2017/2018
c. Ada hubungan antara sikap ilmiah dan kemampuan analisis peserta
didik terhadap hasil belajar kimia melalui Pendekatan Contextual
Teaching and Learning pada materi sistem koloid peserta didik kelas
XI MIA 4 SMAN 4 Kupang tahun pelajaran 2017/2018.
5. Pengaruh
a) Ada pengaruh antara sikap ilmiah terhadap hasil belajar kimia
melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning pada
78
materi pokok sistem koloid pada peserta didik kelas XI MIA 4
SMAN 4 Kupang tahun pelajaran 2017/2018.
b) Ada pengaruh antara kemampuan analisis terhadap hasil belajar
kimia melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning
pada materi pokok sistem koloid peserta didik kelas XI MIA 4
SMAN 4 Kupang tahun pelajaran 2017/2018.
c) Ada pengaruh antara sikap ilmiah dan kemampuan analisis peserta
didik terhadap hasil belajar kimia melalui Pendekatan Contextual
Teaching and Learning pada materi pokok sistem koloid pada
peserta didik kelas XI MIA 4 SMAN 4 Kupang tahun pelajaran
2017/2018.