bab ii kajian pustaka 2.1. pengobatan tuberkulosis paru · dosis yang direkomendasikan sesuai pada...
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Pengobatan Tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap antituberkulosis (OAT) (Aditama et al.,
2008). Tujuan pengobatan tersebut sesungguhnya tidak berbeda dengan tujuan
pengobatan infeksi umumnya, meskipun untuk mewujudkannya diperlukan
pengelolaan terapi yang sangat berbeda. Perbedaan mendasar dalam pengelolaan
terapi Tuberkulosis di antaranya mencakup: penggunaan antibiotika kombinasi,
penetapan jangka waktu terapi yang relatif panjang, yang dibagi dalam 2 tahapan
terapi sekalipun pada Mikobakteri yang sensitif terhadap OAT. Penggunaan
antituberkulosis diatur dengan standar yang dikomunikasikan secara global dan
dikelola dengan melibatkan berbagai komponen secara institusional lintas negara
(WHO, 2016).
Rekomendasi penanganan penderita Tuberkulosis paru baru dengan
sediaan oral lini pertama sesuai ketentuan WHO, mengikuti tahapan, yaitu: 1)
Tahap inisiasi (intensif), berlangsung dalam periode 2 bulan awal terapi dengan
kombinasi dosis tetap rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol. Terapi
tahap awal ini ditujukan untuk mengoptimumkan aktifitas bakterisid terhadap
Mikobakteri yang aktif membelah secara cepat dan banyak. 2) Tahap
sterilisasi/lanjutan/intermiten, dengan menggunakan kombinasi obat rifampisin,
14
14
isoniazid tiga kali seminggu dalam jangka waktu empat bulan dengan rentang
dosis yang direkomendasikan sesuai pada Tabel 2.1.
Tahapan pengobatan OAT lini pertama, terkait dengan karakter
farmakokinetik farmakodinamik rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid yang
tergantung kadar (concentration dependent killing) dan etambutol yang tergantung
waktu (time dependent killing) (Gumbo et al. 2007). Aktifitas antiMikobakteri
memerlukan kadar OAT yang besarnya ada diatas kadar hambat minimum, yang
harus dipertahankan melalui pemberian obat secara rutin selama tahapan terapi
inisiasi pada 2 bulan awal. Terapi pada tahap lanjutan didasarkan pada post
antibiotic effect, yaitu periode adanya hambatan pertumbuhan bakteri selama
beberapa hari setelah kontak dengan obat antituberkulosis dihentikan. Tahap
pengobatan lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten yang dianggap
sebagai penyebab terjadinya kekambuhan (Gumbo et al. 2007).
Tuberkulosis paru baru merupakan infeksi yang bisa diobati dengan
penggunaan regimen standar OAT lini pertama. OAT tersebut terdiri dari
kombinasi rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol yang saat ini
direkomendasikan sebagai sediaan kombinasi dosis tetap. Pemberian regimen
OAT kombinasi ini dapat mencapai keberhasilan terapi mencapai 95%, bahkan
terhadap Mikobakteri strain Beijing (Mourik et al., 2017). Semua antituberkulosis
tersebut dinyatakan sebagai kombinasi ideal yang merupakan ujung tombak terapi
untuk membasmi infeksi Tuberkulosis. Namun, membasmi Tuberkulosis dengan
capaian target keberhasilan terapi tersebut tidaklah mudah. Keberhasilan
pengobatan Tuberkulosis untuk Indonesia berkisar pada angka 85% dan kondisi
15
15
ini tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tahun 2000-2016 meskipun
telah didukung oleh dengan penerapan program pengawas menelan obat (Directly
observed treatment shortcourse/ DOTS) (Aditama, 2003; WHO, 2017).
Permasalahan dalam mewujudkan keberhasilan terapi Tuberkulosis juga tidak bisa
dilepaskan dengan masalah kepatuhan terapi. OAT memiliki efek samping obat
yang mengganggu kenyamanan penderita selama tahapan terapi yang panjang.
Dukungan program DOTs bermanfaat positif untuk memotivasi penderita agar
menjalani terapi dan mengkomunikasikan permasalahannya sedini mungkin tanpa
menghentikan pengobatan tanpa dikomunikasikan dengan baik dengan petugas
kesehatan.
Perkembangan terapi OAT yang belakangan ini banyak dibahas terkait
dengan pendekatan terapi individual. Individualisasi dikaitkan dengan terjadinya
kadar OAT subterapetik yang banyak dipublikasikan termasuk untuk Indonesia
(Ruslami et al. 2010; Burhan et al. 2013; Nijland et al. 2006). Banyaknya kadar
suboptimal memerlukan tindak lanjut yang lebih saintifik karena dinyatakan
berperan terhadap kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi OAT (Choi et al.
2017). Dinyatakan bahwa munculnya resistensi akibat kadar suboptimal
dinyatakan terkait dengan adanya variabilitas farmakokinetik individu penderita
Tuberkulosis (Dartois, 2011; Wilkins et al., 2011; Egelund and Peloquin, 2012;
Pasipanodya et al., 2012; Turner et al., 2015). Untuk menangani masalah
variabilitas farmakokinetik dalam pengelolaan terapinya dibutuhkan tidak hanya
peningkatan dosis saja tetapi memerlukan pendekatan farmakokinetik yang
selanjutnya diimplementasikan sebagai individualisasi regimen dosis OAT.
16
16
Individualisasi terapi OAT dapat dipertimbangkan agar terapi OAT dapat berjalan
aman dan efektif sebagaimana yang telah dipublikasikan oleh peneliti lain (Wilby
et al., 2014; Sotgiu et al., 2015; Heysell et al., 2015) dan direkomendasikan untuk
pengelolaan Tuberkulosis yang lebih baik (Peloquin, 2002, 2004; McIlleron et al.,
2006; Kayhan and Akgunes, 2011; Van Tongeren et al., 2013; Heysell et al.,
2013, 2015; Wilby, et al., 2014; G. Sotgiu, et al, 2015; Sotgiu et al., 2015;
Chawla et al., 2016; Van Der Burgt et al., 2016; Sturkenboom et al., 2016; Cox et
al., 2018).
Pengelolaan terapi Tuberkulosis yang lebih baik menjadi suatu hal penting
ditengah perkembangan kasus resistensi Tuberkulosis dan upaya eradikasi
Tuberkulosis “End TB” di tahun 2035. Pengelolaan terapi yang tidak tepat dapat
berakibat fatal terhadap pencapaian keberhasilan terapi untuk penuntasan
Tuberkulosis secara individual, lokal, nasional maupun global.
Tabel 2.1
Rentang Dosis Antituberkulosis Rekomendasi WHO Berdasarkan Perhitungan
Berat Badan
Obat Antituberkulosis Cara kerja Dosis (mg/KgBB)
Fase
Inisiasi
Harian
Fase lanjutan
3 kali/minggu
Rifampisin Bakterisidal 10(8-12) 10(8-12)
Isoniazid Bakterisidal 5(4-6) 10(8-12)
Pirazinamid Bakterisidal 25(20-30) 35(30-40)
Ethambutol Bakterisostatik 15(15-20) 30(25-35)
Streptomisin Bakterisidal 15(12-18) 15(12-18)
Dikutip dari:Blomberg et al., 2001
17
17
2.1.1 Upaya menjamin efektivitas pengobatan Tuberkulosis
2.1.1.1 Directly observed treatment shortcourse (DOTs)
Penerapan strategi pengawas minum obat (directly observed treatment short
course/DOTs) telah menjawab kekhawatiran atas peningkatan populasi
Tuberkulosis. Strategi ini telah menjadi solusi untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama bertahun-tahun.
Program DOTs telah berlangsung baik dan beberapa negara dengan resiko tinggi
menunjukkan keberhasilan dalam penanggulangan tuberkulosis termasuk
Indonesia. Namun, program ini tentunya tidak dapat dianggap sebagai program
yang paling ideal pada keadaan peningkatan jumlah kasus resistensi. Bagaimana
pun resistensi dapat terjadi sebagai akibat adanya pasien yang mengalami putus
obat karena efek samping, toksisitas, kesalahan regimen dosis akibat penggunaan
OAT. Kesuksesan penerapan strategi DOTs dalam menekan penularan, mencegah
perkembangan resistensi Mikobakteri terhadap OAT memerlukan dukungan
sumber daya yang memadai dan dukungan program terkait upaya pengelolaan
terapi Tuberkulosis yang lebih baik.
2.1.1.2 Penggunaan kombinasi dosis tetap/ fixed dose combination (KDT/FDC)
WHO telah merekomendasikan penggunaan antituberkulosis dalam bentuk
kombinasi dosis tetap (KDT/ fixed dose combination/FDC) yang berisi 2 dan 4
obat yang terintegrasi dalam strategi DOTS sejak 1999 dan ditegaskan dengan
dimasukkannya dalam daftar obat esensial WHO (2016, 2017b). Penggunaan
OAT per oral dengan formulasi kombinasi dosis tetap/FDC merupakan strategi
18
18
terapi yang ditempuh untuk merespon permasalahan munculnya resistesi OAT
akibat peggunaan monoterapi dengan sediaan tunggal/lepasan. Formula sediaan
FDC mampu mengendalikan kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi
antituberkulosis. Penderita menjadi lebih nyaman karena tidak menggunakan
variasi dan jumlah obat yang terlalu banyak yang seringkali membingungkan.
Penggunaan sediaan FDC juga memudahkan peresepannya oleh dokter, demikian
pula dalam hal logistiknya. Penyediaan sediaan FDC tentunya lebih mudah dan
mengurangi pembiayaan dalam program untuk menekan peluang terjadinya
resistensi (Aditama, 2000; Blomberg et al., 2001; WHO, 2018).
Sediaan kombinasi dosis tetap terdiri dari kombinasi rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan etambutol (RHZE 4FDC) yang direkomendasikan untuk
pengggunaan pada fase inisiasi 2 bulan pertama (56 hari) yang dilanjutkan dengan
kombinasi 2 obat rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan (48 hari berselang) yang
dosisnya diperhitungkan berdasarkan berat badan penderita sesuai Tabel 2.2.
Jaminan kualitas, keamanan dan efektivitas sediaan FDC telah ditetapkan
WHO dengan menentukan standar sediaan FDC secara farmasi yang harus
dipenuhi oleh pengelola program tuberkulosis nasional (WHO, 2018).
2.1.1.3 Pemantauan kadar terapetik/Indivivualisasi
Rentang terapetik obat sebagimana halnya antituberkulosis adalah
perkiraan dari rata-rata kadar plasma obat yang aman dan efektif bagi hampir
sebagian besar penderita (Shargel et al., 2005). Rentang terapetik yang ada
tersebut tidak bisa dianggap sebagai nilai absolut, namun harus disadari sebagai
19
19
nilai yang diperoleh dari penerapan konsep peluang dari beberapa rentang nilai
yang diperoleh dari suatu kajian. Hal ini dapat diterima, misalnya pada rentang
kadar rifampisin target (8-24 µg/ml), beberapa penderita telah menunjukkan
adanya efek obat mual, muntah, atau bahkan gangguan fungsi lever yang tidak
bisa ditoleransi pada kadar di bawah 24 µg/ml dan disisi lain beberapa penderita
bahkan telah menunjukkan respon terapi yang baik pada kadar dibawah 8 µg/ml
setelah pemberian rifampisin kombinasi (Burhan et al. 2013).
Pemantauan kadar terapetik banyak dibahas dalam penanganan masalah
terapi OAT dan dinyatakan sebagai salah satu cara untuk mengamankan dan
menjamin efektifitas terapinya terkait dengan variabilitas farmakokinetik
interindividu (Peloquin, 2002, 2004; McIlleron et al., 2006; Kayhan and Akgunes,
2011; Van Tongeren et al., 2013; Heysell et al., 2013, 2015; Wilby, et al., 2014;
G. Sotgiu, et al, 2015; Sotgiu et al., 2015; Zuur et al., 2016; Chawla et al., 2016;
Van Der Burgt et al., 2016; Sturkenboom et al., 2016; Cox et al., 2018).
Keberhasilan terapi OAT dapat diupayakan dengan pemahaman
farmakokinetiknya secara lebih baik. Penggunaan obatnya harus menjamin
tercapainya rentang kadar terapetik yang harus dipertahankan selama terapi yang
panjang. Pendekatan farmakokinetik membantu dalam merancang regimen dosis
yang lebih rasional (Reynold and Heysell, 2014). Penggunaan dosis awal dapat
dihitung sesuai data berat badan dan dipertimbangkan berdasarkan pada informasi
farmakokinetik menggunakan kadar obat, kondisi patofisiologis klinik, dan
riwayat penggunaan obatnya (Shargel et al., 2005).
20
20
Pemantauan kadar terapetik obat (therapeutic drug monitoring/TDM)
merupakan upaya individualisasi obat menggunakan pemantauan kadar terapetik
dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat secara individu. Penerapan TDM
dalam terapi tuberkulosis dipertimbangkan untuk menjawab tantangan terhadap
lambatnya respon terapi serta munculnya resistensi terhadap pengobatan anti
tuberkulosis. Manfaat TDM secara umum dapat dinyatakan antara lain: pemilihan
obat, merancang regimen dosis, mengevaluasi respon enderita selama penggunaan
obat, menentukan kebutuhan pengukuran kadar obat, menguji kadar obat dalam
cairan biologis, menerapkan evaluasi farmakokinetik terhadap kadar obat,
melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan, memantau kadar obat, bahkan
merekomendasikan sesuatu terkait kepatuhan atau cara pemberian obat (Shargel,
et al., 2005).
Penerapan TDM secara teori dan praktek pada terapi antituberkulosis
sangatlah ideal. TDM memudahkan penentuan dosis yang tepat meyakinkan
tercapainya kadar efektif dalam jangka panjang serta mencegah terjadinya efek
samping yang berat, dan dapat untuk mengevaluasi kepatuhan obat. TDM juga
sesuai untuk penanganan kasus tuberkulosis terkait adanya penggunaan obat
kombinasi, resiko interaksi penggunaan obat, adanya variabilitas farmakokinetik
interindividu yang diperberat dengan adanya penyakit lain dan jangka waktu
terapi yang cukup panjang serta resistensi.
Pengembangan TDM di Indonesia perlu mendapat perhatian mengingat
tingginya kasus tuberkulosis dan tingkat resistensi global terhadap anti
tuberkulosis lini pertama: rifampisin, isoniazid, pirazinamid serta munculnya
21
21
resistensi terhadap antituberkulosis lini ke dua. Penelitian Sotgiu et al., 2015;
Heysell et al., 2015 dan beberapa lainnya dengan tegas merekomendasikan
perlunya upaya TDM secara formal dalam penanganan terapi Tuberkulosis untuk
memperbaiki regimen dosis untuk keamanan dan efektifitas pengobatan
tuberkulosis. Keberhasilan penanganan tuberkulosis menjadi kewajiban setiap
negara, terkait dengan upaya pemberantasan tuberkulosis WHO “End TB
Strategy” di tahun 2035 yang menargetkan penurunan 95% kematian akibat Tb
dan penurunan 90% insiden TB dibandingkan dengan di tahun 2015(WHO,
2017a).
Tabel 2.2
Perhitungan Dosis OAT FDC Untuk Orang Dewasa Berdasarkan Berat Badan
Berat Badan
(Kg)
Tahap Intensif
Tiap Hari selama 56 hari
RZHE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16
minggu RZ(150/150)
30-37 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38-54 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55-70 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 5 tablet 4 FDC 5 tablet 2FDC
Dikutip dari: Aditama, 2003,2008; Blomberg et al., 2001, 2002
2.1.2 Antituberkulosis rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid
Rifampisin (R), isoniazid (H), dan pirazinamid (Z) digunakan sebagai
antituberkulosis lini pertama kombinasi bersama dengan ethambutol. RHZ secara
farmakokinetik farmakodinamik merupakan kelompok antibiotika yang kerjanya
tergantung pada kadar obat (“concentration dependent”) dan aksi kerjanya bersifat
22
22
bakterisidal. Sifat ini yang kemudian banyak dibahas dan mendasari perlunya
peningkatan dosis untuk meningkatkan target capaian kadar obat sehingga dapat
meningkatkan aktifitasnya sebagai antimikobakteri dan akhirnya respon terapinya
sebagai antituberkulosis.
Farmakokinetik rifampisin setelah pemberian oral menunjukkan kadar
plasma puncak mencapai 2-4 jam (Rana 2013). Pada prakteknya pencapaian
respon terapi antituberkulosis ini sebagaimana halnya obat lain sangat dipengaruhi
oleh farmakokinetiknya. Farmakokinetik antituberkulosis, rifampisin dapat
bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor antar lain: ras (Weiner et al. 2010;
Sloan et al. 2017), jenis kelamin, usia, merokok (McIlleron et al. 2006),
penggunaan kombinasi obat (Arbex et al., 2010), kondisi patofisiologis (Rafiq et
al., 2010; George and Saranya, 2018), makanan (Tostmann et al., 2013; Lin et
al., 2014; Saktiawati et al., 2016), adanya penyakit lain (Requena-Mendez et al.
2012, 2014; Nijland et al. 2006; van Oosterhout et al. 2015; Denti et al. 2015;
Fahimi et al. 2013; Medellín-Garibay et al. 2015), malnutrisi (Sturkenboom et al.
2016; Ramachandran et al. 2013; Jeremiah et al. 2014).
Penggunaan sediaan kombinasi RHZE 4FDC ataupun RH2FDC yang
disarankan adalah dalam keadaan lambung kosong, 30 menit sebelum makan pagi,
1 jam sebelum makan dan atau 2 jam sesudah makan, sebelum tidur malam hari
(Aditama et al., 2008). Keamanan dan efektifitas OAT dapat dijamin jika capaian
rentang terapetik target yang direkomendasikan untuk rifampisin mencapai 8-24
µg/ml, isoniazid 3-6 µg/ml, sedangkan pirazinamid 20-60 µg/ml. Perkiraan waktu
puncak umumnya berturut-turut untuk rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid,
23
23
yaitu: 2 jam, 0,5-2 jam, 1-2 jam setelah pemberian obat dengan waktu paruh (t1/2),
yaitu: 3 jam, 1,5 jam pada asetilator cepat dan 4 jam pada kelompok asetilator
lambat, 9 jam ( Peloquin, 2002; Park et al. 2016) .
Rifampisin merupakan derifat hidrazone rifamisin B dengan N-amino-N’
methylpiperazine yang menunjukkan absorpsi peroral dan efek bakterisidal yang
baik (Ingen et al., 2011). Bioavailabilitasnya pada orang dewasa mencapai 90-
95%. Pemberian dosis tunggal 1 tablet RHZE 4FDC terdiri dari rifampisin
250mg/isoniazid 75mg/pirazinamid 400mg/etambutol hidroklorida 275mg pada
subjek normal menghasilkan kadar puncak rata-rata 2,21 (±1,34) µg/ml dengan
luas area dibawah kurva (AUC) 8,90(±4,94)µg jam/ml, dengan nilai tmaks median
1,83(±0,64) jam. Konsumsi obat sediaan rifampisin kombinasi dosis tetap
bersamaan dengan makanan dapat menunda absorpsi rifampisin dan menurunkan
kadar puncak meskipun bioavailabilitasnya tidak menurun (Ramachandran et al.
2013; Jeremiah et al. 2014). Ikatan obat protein plasma rifampisin mencapai 60-
90% dengan nilai volume distribusi mendekati 0,9 liter/kg. Rifampisin
dimetabolisme di hepar melalui mekanisme hidrolisis dan deasetilasi menjadi des-
asetilrifampisin liver (Brennan et al., 2008).
Rifampisin merupakan penginduksi enzim mikrosom hepar yang potensial,
termasuk terhadap dirinya sendiri sehingga terjadi penurunan bioavailabilitasnya
sampai 70% pada pemberian berulang dan peningkatan klirens (Clapp). Pemberian
rifampisin dosis tunggal menunjukkan waktu paruh (t1/2) 3 jam dan menjadi lebih
cepat ketika pemberian berulang 1-2 jam. Rifampisin dan metabolitnya diekskresi
di empedu dan mengalami sirkulasi enterohepatik. Risiko peningkatan kadar
24
24
transaminase dapat terjadi pada minggu awal terapi, tetapi sifatnya reversibel dan
kondisi ini dapat kembali normal sampai 3 bulan terapi. Rifampisin aktif terhadap
Mikobakteri ekstraseluler maupun intraseluler dan bekerja menghambat
transkripsi RNA polymerase pada DNA Mikobakteri. Dosis harian dewasa 18-12
mg/KgBB. Pemberian dosis tunggal dengan dosis 10-15 mg/kg menghasilkan
kadar rifampisin maksimum (Cp) berkisar 14,91 μg/mL, dengan AUC 17,93
μg.jam/ml, dan waktu paruh 2,46 jam (Brennan, et al., 2008). Rifampisin
berdstribusi menuju seluruh tubuh berlangsung baik dan dapat menembus sawar
darah otak yang mengalami inflamasi. Kemampuan ini menyebabkan perubahan
warna cairan tubuh, urin, saliva, sputum, air mata, menjadi oranye kemerahan,
selama mengkonsumsi rifampisin. Rifampisin diekskresi terutama melalui
empedu dan sirkulasi enterohepatik, 30-40% ekskresinya terjadi melalui ginjal.
Efek samping berupa gangguan saluran cerna, mual, muntah, kembung, nyeri
lambung, kemerahan seringkali menjadi keluhan pasien, lainnya adalah anemia
hemolitik, trombositopenia, imunosupresi. Pada penggunaan jangka lama
terutama pada penderita kelainan hati kronis, alkoholisme, dan orang tua dapat
meningkatkan risiko hepatitis (Ingen et al., 2011). Interaksi dapat terjadi pada
berbagai macam obat seperti digoksin, metadon, kontrasepsi oral, klaritromisin,
obat HIV penghambat protease dan mononukleosida reverse traskriptase dan
kinidin. Pemberian pada pasien dengan gangguan ginjal dapat dilakukan seperti
pasien biasa.
Isoniazid merupakan anti tuberkulosis yang terbaik sesudah rifampisin.
Isoniazid merupakan pro-drug yang diaktifasi oeh enzim katalase-peroksidase
25
25
hemoproteion, KatG. Isoniazid menghambat INhA, suatu nicotinamid adenine
dinukleotide (NADH) specific enoyl-acyl (ACP) reductase carrier protein yang
terlibat dalam sintesis asam lemak (Brenan et al, 2008). Isoniazid memiliki
aktifitas bakterisidal terhadap Mikobakteri yang pertumbuhannya aktif dan
menyebabkan penurunan jumlah bakteri sputum dengan cepat pada 2 minggu
awal terapi naumn menurun kemapuannya terhadap bakteri yang inaktif/ persisten
(Zhang, 2003). Isoniazid bersifat hidrofilik, dengan bioavailabilitas per oral
mencapai ≥80% dan tmaks 1,08 (±0,45) jam dengan Cpmaks pada pemberian
dosis tunggal 1,59 (±0,52) µg/ml dan AUC 5,33 (±2,54) µg jam/ml. Isoniazid
memiliki penetrasi yang baik ke intraseluler, memiliki ikatan obat protein yang
sangat rendah (0-10%), dan Vdapp 0,57-0,76 liter/kg. Metabolisme isoniazid
terjadi secara asetilasi oleh enzim N-asetil transferase dalam mukosa intestinum
dan liver, menghasilkan metabolit asetil isoniazid yang selanjutnya dihidrolisis
dan dikeluarkan hampir 95% dalam urin sebagai metabolit inaktif N-
asetilisoniazid dan asam isonikotinat dan 1<10% diekskresi dalam feses.
Perbedaan kadar enzim pemetabolisme berbeda secara genetik dan
mengelompokkan populasi menjadi pemetabolisme cepat dan lambat. Isoniazid
bersifat bakteristatik untuk bakteri yang sedang beristirahat dan bersifat
bakterisidal terhadap bakteri yang sedang aktif bereplikasi baik ekstraseluler
maupun intraseluler. Pemberian isoniazid per oral menunjukkan
bioavailabilitasnya mencapai ≥80% Dosis yang digunakan adalah 300 mg, dengan
kadar Cp 3-5μg/mL. Metabolismenya terjadi di hepar melalui asetilasi dan
hirolisis, dan metabolitnya diekskresikan dalam urin. Secara farmakodinamik
26
26
isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat rantai panjang yang
dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel Mikobakteri (Brennan et al. 2008).
Pirazinamid merupakan pro-drug yang dimetabolisme oleh enzim
pirazinamidase (PZAase/nikotinamidase) menghasilkan zat aktif asam pirazinoat,
suatu zat yang menghambat aktivitas Mikobakteri pada kondisi asam. Pirazinamid
diabsorpsi sempurna dari saluran cerna. Pemberian dosis tunggal dengan dosis
400 mg sediaan RHZE 4 FDC menghasilkan kadar rata-rata Cmaks 18,7 (±3,0)
μg/ml, AUC 145 (±25 μgjam/ml). Nilai median tmaks 1,98 (±0,63)jam.
Pirazinamid terdistribusi baik pada jaringan dan cairan tubuh, dengan ikatan obat
protein relatif rendah (10-20%), Vd 0,57-0,84 L/kg. Pirazinamid dihidrolisis
menjadi metabolit aktif asam pirazinoat oleh enzim mikrosom deaminase liver
dan juga oleh enzim pirazinamidase pada Mikobakteri. Metabolit aktif tersebut
dihidrolisis kembali oleh enzim xanthin oksidase menjadi asam hidroksi
pirazinoat. Eliminasi pirazinamid utuh (3%) dan sebagian besar bentuk metabolit
terjadi melalui ginjal. Waktu paruh t1/2 pirazinamid dapat mencapai 10 jam dan
metabolit asama pirazinoat mendekati 10-20 jam, oleh karena itu perlu
pertimbangan untuk penurunan dosis jika diberikan pada penderita dengan
kegagalan ginjal maupun dengan kegagalan liver (Brennan et al., 2008).
2.2 Pendekatan Farmakokinetik dalam Terapi Klinik
Keberhasilan terapi obat sangat dipengaruhi oleh pilihan obat dan produk obat
serta pada rancangan regimen dosis (Shargel, 2005). Pilihan obat dan produk obat
dipertimbangkan berdasarkan karakteristik penderita, penyakit, dan pengetahuan
27
27
mengenai farmakokinetik obat. Farmakokinetik membantu klinisi dalam
merancang suatu regimen dosis yang tepat sehingga efikasi obat dalam
penanganan penyakit dapat tercapai secara optimal.
Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari karakter kinetika
(absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME)) obat dalam tubuh
dikaitkan dengan respon farmakologi, terapi, atau toksik. Farmakokinetik
mengkuantifikasi dan menginterpretasi kinetika ADME, yang secara biologis
sangat kompleks menggunakan model matematik yang selanjutnya disebut
sebagai model farmakokinetik. Karakter farmakokinetik obat dapat dijelaskan
sebagai suatu fungsi input, distribusi, dan ouput sebagaimana disampaikan pada
Gambar 2.1. Kecukupan kadar obat dalam darah dapat diperhitungkan dengan
menyeimbangkan input dan ouput obat dalam tubuh. Suatu obat yang mengalami
proses metabolisme dan ekskresi (output) yang cepat harus diimbangi dengan
proses absorpsi (input) yang cepat sehingga kadar obat dapat dipertahankan pada
periode waktu tertentu. Kadar obat pada tempat kerja ditentukan oleh kadar obat
pada sirkulasi umum. Efek farmakologis yang dihasilkan obat pada tempat kerja
sangat tergantung pada kadar obat yang tersedia di tempat kerja obat. Efek obat
dapat merupakan efek klinik yang diinginkan, efek toksik, atau efek lain yang
tidak terkait dengan efikasi dan toksisitas obat (Benet, L.Z., 1982). Manfaat obat
akan diperoleh dari keseimbangan antara efek toksik potensial yang terjadi pada
kadar tertentu dengan efikasi obat yang ada. Farmakokinetik berperan
mengkuantifikasi suatu hubungan dosis dan efikasi dengan menggunakan kadar
obat dalam berbagai cairan biologis. Peran farmakokinetik dalam terapi klinik
28
28
menjadi sangat penting dalam memutuskan suatu regimen dosis obat
menggunakan data pemantauan kadar terapetik obat (TDM) disamping
pemantauan klinik penderita individual (Shargel et al., 1985, Reynold et al.,
2012). Individualisasi dosis memungkinkan seorang klinisi untuk
memperhitungkan perubahan kondisi patologis dan fisiologis individu dalam
merancang regimen dosis untuk menghasilkan efikasi obat yang sesuai. Efikasi
obat tertentu hanya dapat tercapai setelah penggunaan dosis yang diprediksi
menggunakan data kadar obat yang diperoleh dari sirkulasi umum dibandingkan
dengan prediksi efikasi obat yang hanya didasarkan pada dosis obat.
Gambar 2.1
Bagan Hubungan Efikasi – Dosis Obat
(Dimodifikasi dari: Benet, L.Z. 1982)
D
I
S
T
R
I
B
U
S
I
I
N
P
U
T
Obat pada
Tempat
Absorpsi
Obat dalam
Sirkulasi Umum
Obat pada Tempat
Kerja
Efek Farmakologis
Efek Klinik
Efikasi Toksisitas
Manfaat
Dosis
O
U
T
P
U
T
Obat dalam
Tempat
Metabolisme
dan Ekskresi
29
29
Modifikasi dosis individual memerlukan kajian farmakokinetik populasi obat
pada sekelompok penderita dimana individu tersebut menjadi bagiannya.
Penerapan farmakokinetik klinik untuk individualisasi terapi obat dimulai dengan
penggunaan data farmakokinetik populasi penderita yang ada. Ketiadaan
informasi disposisi suatu obat mengimplikasikan suatu hal baru terkait
penggunaan obat awal pada seorang penderita. Informasi yang diperoleh
merupakan suatu “percobaan baru” yang hasilnya tidak dapat diprediksi, yang
jika digunakan untuk estimasi dosis dapat mengakibatkan kesalahan interpretasi
kadar dan kesalahan penyesuaian dosis (Peck et al., 1991). Data farmakokinetik
yang akurat untuk individu adalah data yang ditentukan dari populasi dimana
individu menjadi bagiannya.
Konsep matematik dasar yang diterapkan dalam farmakokinetik terkait
dengan istilah variabel dan konstanta. Variabel merupakan suatu nilai yang
mengalami perubahan pada satuan waktu sedangkan suatu konstanta merupakan
satu nilai yang tidak berubah. Suatu istilah konstanta dalam farmakokinetik juga
diberlakukan terhadap parameter farmakokinetik. Namun konstanta dalam
parameter farmakokinetik nilainya dapat berbeda (variabel) di antara individu
bahkan intra individu. Hal ini dapat terjadi pada pengunaan obat jangka panjang,
perubahan kondisi patofisiologis, dan penggunaan obat lain secara bersamaan.
2. 3 Model dan Pemodelan Famakokinetik
Penyederhanaan pemahaman farmakokinetik suatu obat pada populasi
penderita memerlukan alat yang dapat mengintegrasikan data, pengetahuan, dan
30
30
mekanisme sekaligus menjelaskan keputusan penggunaan obat yang rasional. Alat
bantu tersebut salah satunya adalah model (FDA, 1999; Mould and Upton, 2014).
Model merupakan representasi dari suatu ‘sistem’ yang dirancang untuk
memberikan pengetahuan atau pemahaman sistem itu sendiri secara lebih
sederhana. Penyederhanaan model sangat tergantung pada tujuan penggunaannya
dan penilaian model cenderung dilakukan untuk menemukan kecocokan dengan
tujuan pemodelannya bukan untuk menemukan kebenaran model (Mould and
Upton, 2012). Model farmakokinetik memberikan pengetahuan dasar dalam
mendeskripsikan dan memahami hubungan antara kadar obat terhadap waktu
dengan respon obat setelah pemberian suatu dosis atau formulasi obat pada
penderita klinik. Model juga berperan sebagai alat untuk mengkorelasikan
parameter farmakokinetik obat misalnya, klirens (Cl) atau volume distribusi (Vd)
suatu obat.
Pemodelan menjelaskan kadar obat dari waktu ke waktu, menghubungkan
kadar obat terhadap efek obat yang ditimbulkan, memahami dan menjelaskan
pengaruh faktor variasi fungsi fisiologis organ atau parameter klinik terhadap pola
kurva kadar obat vs waktu. Model farmakokinetik obat bersifat spesifik,
tergantung pada proses kinetik absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
obat yang terjadi dalam tubuh.
Model farmakokinetik yang banyak diterapkan adalah menggunakan
pendekatan kompartemen termasuk di antaranya untuk pemantauan kadar
terapetik dan penyesuaian dosis adalah model kompartemen (Peck & Rodman,
1991; Shargel et al., 2005). Istilah kompartemen pada model kompartemen
31
31
merupakan suatu penyederhanaan untuk menyatakan area (kelompok jaringan)
dalam tubuh yang menggambarkan kemiripan karakter kinetika dan distribusi obat
yang homogen/memiliki pada setiap waktu. Model kompartemen menganggap
bahwa tubuh tersusun dari organ dan jaringan yang secara sistematik, serial dari
kompartemen yang berhubungan secara reversibel diantaranya. Model
kompartemen terdiri dari beberapa tipe, yakni: model kompartemen 1, model
kompartemen 2, model kompartemen 3 atau lebih yang digambarkan pada
Gambar 2.2. Pemodelan dengan kompartemen dibedakan oleh cara kompartemen
tersebut dihubungkan.
Model kompartemen dapat menjelaskan kadar obat dalam plasma terhadap
waktu dan mengestimasi parameter farmakokinetik yaitu volume distribusi (Vd),
waktu paruh eliminasi (t1/2), dan tetapan laju tetapan eliminasi obat (Ke) dengan
baik. Pemahaman yang baik mengenai parameter dan pemilihan persamaan
menentukan hasil perhitungan regimen dosis (dosis dan interval) yang
menghasilkan kadar plasma dan durasi kerja obat yang diinginkan setelah
pemberian obat.
Pemilihan model farmakokinetik ditentukan oleh karakteristik distribusi
setelah pemberian obat. Distribusi tersebut mencerminkan waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai keseimbangan distribusi obat dalam tubuh baik dari tempat
absorpsi menuju sirkulasi ke berbagai organ dan jaringan maupun sebaliknya.
Obat yang memiliki distribusi lebih lambat ke jaringan, tanpa memperhatikan rute
pemberian obatnya, memerlukan jumlah kompartemen yang lebih banyak dan
persamaan matematika yang lebih kompleks. Kompartemen satu digunakan untuk
32
32
mengkarakterisasi data kadar plasma terhadap waktu untuk obat lain yang
distribusinya cepat setelah pemberian, dan rute pemberiannya diabaikan. Sistem
dengan perfusi tinggi seperti liver, ginjal, dan darah dapat digabungkan dalam satu
kompartemen sebagai kompartemen 1 (kompartemen sentral), sedangkan sistem
dengan perfusi yang lebih rendah dapat digabungkan bersama dalam
kompartemen lain sebagai kompartemen perifer/jaringan atau kompartemen 2.
Laju transfer obat dari kompartemen 1 ke kompartemen 2 dan sebaliknya dapat
mengalami keseimbangan dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam.
Keterangan: 1: kompartemen 1 (sentral), 2: kompartemen 2 (perifer);Ka: tetapan laju absorpsi, Ke: tetapan
laju eliminasi, K12: tetapan laju distribusi dari kompartemen 1 menuju kompartemen 2, K21: tetapan laju
distribusi dari kompartemen perifer ke kompartemen sentral
Gambar 2.2
Tipe Model Kompartemen (dimodifikasi dari: Shargel et al., 2005)
1
1 Ka Ke
K12
K21
1 2
1 2 Ka K12
Ke
Ke
Model Kompartemen Satu Terbuka, Pemberian Injeksi Intra Vena
Model Kompartemen Satu Terbuka dengan Absorpsi Order Satu
Model Kompartemen Dua Terbuka, Pemberian Injeksi Intra Vena
Model Kompartemen Dua Terbuka dengan Absorpsi Order Satu
pemberian injeksi intra vena
K21
Ke
33
33
2. 3.1 Model kompartemen satu terbuka, pemberian oral dan model kompartemen
dua terbuka, pemberian oral
Pada Gambar 2.3 dijelaskan profil kadar obat terhadap waktu obat dengan
distribusi tubuh yang lambat dilengkapi dengan persamaan yang tepat untuk
mengkarakterisasi kadar obat plasma terhadap waktu setelah pemberian oral.
Suatu model kompartemen satu terbuka setelah pemberian per oral dapat
digambarkan sebagai fungsi kadar obat plasma terhadap waktu sebagaimana
disampaikan pada Gambar 2.3. Pada gambar dinyatakan ada dua fase absorpsi dan
eliminasi, dan setelah absorpsi didominasi oleh proses eliminasi obat.
Gambar 2.3
Profil Kadar Plasma (Cp) vs Waktu Sediaan Obat Oral yang Distribusinya Cepat
dalam Tubuh (Dikutip dari: Jhambekar, S.S. & Breen, P.J., 2009)
Pada kondisi demikian diperlukan persamaan bieksponensial untuk
mengakarakterisasi kadar vs waktu secara akurat, yang dinyatakan sebagai
berikut:
34
34
(1)
(2)
Keterangan: Ka: tetapan laju absorsi order ke satu, Ke: tetapan laju eliminasi
order ke satu, Xa: jumlah obat yang diabsorpsi pada tempat absorpsi pada jam ke
nol, F: Fraksi terabsorpsi, Do: dosis yang diberikan, Vd: volume distribusi, t=
waktu (dikutip dari: Jhambekar & Breen, 2009).
Gambar 2.4
Profil Kadar Plasma (Cp) vs Waktu Sediaan Obat Oral yang Distribusinya Lambat
dalam Tubuh (dikutip dari: Jhambekar & Breen, 2009)
Pada Gambar 2.4 digambarkan profil kadar obat plasma (Cp) yang
mengalami distribusi obat dalam tubuh secara lambat yang dimodelkan sebagai
model kompartemen 2 per oral (ekstravaskuler). Gambar hubungan kadar obat
plasma (Cp) terhadap waktu menyatakan adanya tiga fase, yakni fase absorpsi,
35
35
fase distribusi (fase α), dan fase post-distribusi (fase β). Data kadar terhadap
waktu pada Gambar 2.4 lebih tepat diinterpretasikan dengan kompartemen 2, yang
membutuhkan persamaan 3 eksponensial untuk menyatakan masing-masing fase
yang ada. Model kompartemen dapat diganti jika tidak dapat menjelaskan
hubungan kadar plasma terhadap waktu suatu obat dengan baik. Pemilihan model
sedapat mungkin dilakukan dari model yang paling sederhana, yang dapat
menjelaskan kadar plasma terhadap waktu.
2.3.2 Tetapan laju eliminasi (Ke), volume distribusi (Vd), dan klirens (Cl)
Laju eliminasi pada sebagian obat merupakan suatu proses order ke satu yang
tergantung jumlah/konsentrasi obat yang ada. Tetapan laju eliminasi, K/Ke
merupakan tetapan laju eliminasi order satu dengan satuan waktu-1 (jam-1 / 1/jam).
Pada umumnya obat yang diukur dari dari kompartemen vaskular obat induk atau
obat aktif. Eliminasi obat induk secara total dari kompartemen ditentukan oleh
proses metabolisme dan ekskresi obatnya. Tetapan laju eliminasi menyatakan
penjumlahan dari kedua proses metabolisme dan ekskresi obat.
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter farmakokinetik yang
tergantung pada model farmakokinetik yang dipilih untuk mendeskripsikan
hubungan kadar obat setiap waktu. Nilai Vd bukanlah nilai absolut untuk
menyatakan atau mengestimasi jumlah obat yang berada dalam tubuh atau jumlah
obat yang dieliminasi keluar tubuh pada waktu tertentu setelah pemberian suatu
dosis. Volume distribusi tidak memiliki arti fisiologis sesungguhnya. Vd
digunakan untuk mengkarakterisasi distribusi obat dalam tubuh. Vd juga dapat
dianggap sebagai volume tempat obat terlarut. JIka jumlah obat dibagi dengan
36
36
volume distribusi maka akan didapatkan kadar obat. Sebagian obat memiliki
volume distribusi yang lebih kecil atau sama dengan masa tubuh. Sebaliknya obat
lain memiliki volume distribusi dengan nilai beberapa kali masa tubuh, yang
artinya obat terpusat pada jaringan ekstravaskular, hanya sedikit dalam
intravaskular. Suatu obat yang memiliki ikatan obat protein besar, memiliki Vd
yang rendah karena ada kemungkinan obat akan berada dalam vaskuler dalam
jumlah besar sehingga pada pengukuran kadar obatnya dalam vaskuler menjadi
tinggi. Ikatan obat protein plasma atau dengan jaringan perifer mempengaruhi Vd
secara bermakna. Estimasi volume distribusi dinyatakan sebagai prosentase berat
badan (Vd=%bb). (Shargel et al., 2005). Suatu nilai parameter farmakokinetik
diestimasi menggunakan sampel kadar dari cairan biologis baik dari jaringan
maupun plasma darah dalam jumlah terbatas.
Klirens (Cl) merupakan ukuran efisiensi proses eliminasi obat keluar tubuh.
Klirens obat menyatakan volume cairan plasma yang dibersihkan dari obat per
satuan waktu (L/jam atau ml/menit) (Shargel et al., 2005). Klirens
merepresentasikan volume distribusi dan tetapan laju eliminasi obat (Ke) dan
0,693/t1/2. Perubahan klirens dan volume distribusi dipengaruhi oleh kondisi
fisiologis dan patofisiologis dan bersifat saling tergantung (Benet, 1982)
2.4 Pendekatan Farmakokinetik Klasik dan Populasi
Penentuan farmakokinetik populasi dapat dilakukan dengan pendekatan
klasik/konvensional atau pendekatan populasi. Pendekatan ini dibedakan oleh titik
pandang dalam analisis. Farmakokinetik klasik, yang dikenal sebagai
37
37
farmakokinetik eksperimental, mengkaji suatu obat dari sejumlah kecil populasi
yang diatur dengan protokol, diet, kriteria inklusi/eksklusi yang ketat dengan
menggunakan sampel darah yang diambil secara intensif sebagaimana
pelaksanaan suatu penelitian eksperimental. Pendekatan klasik/konvensional
hanya mungkin dilakukan pada sukarelawan sehat/normal. Pendekatan klasik
fokus pada penilaian respon (farmakokinetik) individu secara intensif, yang
selanjutnya digunakan untuk mendapatkan data farmakokinetik populasi.
Penelitian farmakokinetik klasik dilakukan pada sukarelawan sehat yang memiliki
kondisi klinik berbeda dengan penderita sesungguhnya dan dilakukan dengan
jumlah subjek yang terbatas dengan kriteria yang ketat tentunya memiliki
kelemahan jika diterapkan untuk penderita klinik. Data tersebut tidak bisa
langsung diterapkan pada populasi penderita karena keterbatasan informasi
mengenai variabilitas farmakokinetik terkait adanya perbedaan kondisi patologis
selama terapi (Sheiner and Beal, 1984; Rosenbaum et al., 1995). Demikian juga
penerapan farmakokinetik klasik untuk keadaan klinik tentunya terbentur dengan
pertimbangan etik terkait tindakan invasif dengan beberapa kali pengambilan
sampel. Kajian farmakokinetik dengan pendekatan populasi memungkinkan
pemanfaatan data sampel penderita klinik dalam jumlah terbatas (1-3 sampel)
untuk mempelajari farmakokinetik obat pada penderita klinik yang sesungguhnya.
Analisis farmakokinetik populasi dengan pendekatan populasi tidak
mengkarakterisasi individu selengkap pendekatan klasik, sehingga tidak
memerlukan data yang lengkap untuk setiap individu. Sampel yang sedikit dari
setiap individu digabungkan untuk pemodelan dan untuk mengkarakterisasi suatu
38
38
ukuran pemusatan respon (farmakokinetik) populasi penderita serta variabilitas
respon (farmakokinetik) antar individu bukan pada individunya (Colburn and
Olson, 1988; Rosenbaum et al., 1995; FDA, 1999). Pendekatan populasi,
mengkarakterisasi data individu dari penggabungan/pooled data individu yang
jumlahnya terbatas untuk mengkarakterisasi ukuran pemusatan populasi.
Perbedaan respon farmakokinetik individual dari respon rata-rata populasi
ditunjukkan oleh karakter varian interindividual. Farmakokinetik populasi
mengidentifikasi variabilitas dan hubungan kadar dengan variabilitas kadar obat
antar individu tersebut, dan mengaitkannya dengan respon target yang diharapkan
setelah menerima regimen dosis yang sesuai (Aarons, 1991; FDA, 1999, Jelliffe,
2000, 2012; Mould and Upton, 2014; Charles, 2014). Kontribusi individual pada
varian ditentukan dengan sampel yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang
diperlukan untuk ukuran pemusatan individual. Pendekatan populasi
memungkinkan penerapan farmakokinetik pada penderita klinik yang sedang
menjalani terapi sekali pun dengan memanfaatkan data klinik yang rutin dan
jarang dengan pengambilan serum yang tidak intensif dan tidak tersusun. Data
individu pada pendekatan populasi digunakan untuk menyusun model awal untuk
penentuan parameter farmakokinetik individu lain dari populasinya (Upton and
Mould, 2014).
2.5 Model Farmakokinetik Populasi
Pemodelan farmakokinetik populasi dapat dipandang sebagai suatu cara
dalam memecahkan masalah spesifik pada suatu populasi penderita klinik, dengan
39
39
mengkuantifikasi profil kadar obat dari sekelompok penderita klinik sebagai suatu
kelompok/populasi target penggunaan obat dan menggunakannya untuk
optimalisasi regimen dosis. Regimen dosis awal untuk seorang penderita biasanya
dihitung berdasarkan nilai parameter model farmakokinetik populasi rata-rata
mean. Namun, penggunaan nilai mean untuk mengestimasi kadar obat pada
penderita klinik dapat memberikan prediksi yang akurasinya sangat terbatas
karena adanya variabilitas inter dan intra individu. Nilai parameter farmakokinetik
penderita individu seringkali tidak sama dengan nilai parameter farmakokinetik
populasi rata-rata/ mean. Diperlukan informasi mengenai gambaran distribusi nilai
dan kecenderungan ukuran pemusatan nilai parameter farmakokinetik yang
sesungguhnya. Selanjutnya setelah pemberian dosis awal berdasarkan nilai
populasi yang ditetapkan, perlu dilakukan evaluasi kecukupan dosis pada
penderita tersebut sebagai informasi untuk penyesuaian dosis (Peck et al., 1991;
Shargel et.al., 2005). Kecukupan dosis didasarkan pada data kadar obat
serum/plasma penderita individual setelah pemberian obat. Penerapan
penyesuaian dosis menggunakan data populasi untuk individu memerlukan suatu
data mendasar farmakokinetik populasi yang relevan, yaitu data dari populasi
individu yang bersangkutan dan kerangka (model) untuk mengaitkan penderita
individu ke populasi (Peck et al., 1991; Upton and Mould, 2014).
Model farmakokinetik populasi merupakan satu tipe model yang
mendeskripsikan hubungan kadar obat dan waktu. Tujuan pemodelan
farmakokinetik populasi adalah mengkuantifikasi kecenderungan pemusatan dan
variabilitas interindividu parameter farmakokinetik suatu obat pada sekelompok
40
40
penderita dari populasi tertentu. Pemodelan farmakokinetik populasi suatu obat
pada sekelompok penderita klinik dapat memberi informasi mengenai ‘perilaku
tubuh’, yaitu ADME terhadap obat dan menghubungkan dengan kondisi klinik
penderita, membantu penanganan masalah terapi terutama untuk penderita yang
memiliki perbedaan fungsi patofisiologis ektrem: neonatus, anak-anak, penderita
lanjut usia, penderita bedah, penderita kanker (Rosenbaum et al., 1995), bahkan
pada penderita infeksi. Pemodelan farmakokinetik populasi dimanfaatkan untuk
memprediksi konsentrasi obat dalam cairan biologis/ jaringan, mengestimasi
kebutuhan dosis optimum obat dan mengkorelasikannya dengan kemungkinana
akumulasi dan produk metabolit, efek toksiksitas dan farmakologisnya.
2.5.1 Komponen model farmakokinetik populasi
Pemodelan farmakokinetik populasi memerlukan informasi yang akurat
terkait regimen dosis (besaran dosis, jam waktu pemberian, cara pemberian, lama
pemberian), pengukuran (penetapan waktu sampling kadar, penetapan kadar,
informasi kesalahan pengukuran laboratorik), dan kovariat (informasi demografi
dan patofisiologis terkait) yang disusun sebagai satu kerangka model (Mould &
Upton 2014; Neely et al. 2012; Goutelle et al. 2009; Bustad et al. 2006). Model
farmakokinetik populasi merupakan perwatakan farmakokinetik suatu obat yang
didapat dari populasi penderita dengan kriteria tertentu (Peck et al., 1991; Jelliffe
et al., 1993; Rosenbaum, 1995). Model farmakokinetik populasi mengandung
ukuran pemusatan parameter farmakokinetik populasi dan variabilitasnya serta
kaitan parameter tersebut dengan karakteristik individu (kovariat) seperti fungsi
41
41
ginjal, berat badan, jenis kelamin, usia dan memperhitungkan faktor kesalahan
pengukuran laboratorik yang terjadi saat pengukuran kadar obat cuplikan
plasma/serum (Peck et al., 1991; Jelliffe et al., 1993; Rosenbaum, 1995; Jelliffe
et al., 2000; Mehvar, 2006; Chigutsa et al., 2010; Neely et al., 2012; Tatarinova et
al., 2013). Model populasi terdiri dari beberapa komponen yang memerlukan
pengelolaan data base yang baik (Mould and Upton 2014). Komponen itu antara
lain: model struktural, model stokastik dan model kovariat. Model struktural
merupakan fungsi yang dirumuskan menggunakan persamaan matematis baik
aljabar maupun diferensial untuk mengambarkan hubungan kadar dan waktu
pemaparan obat. Model stokastik menggambarkan variabilitas atau efek acak
dalam pengukuran data kadar dan model kovariat yang pengaruh faktor demografi
atau patologis individu dikaitkan dengan waktu dan respon obat yang diamati.
Model struktural dapat dijelaskan secara detil menggunakan persamaan
aljabar yang paling sederhana untuk menyatakan model kompartemen satu, yang
menggunakan obat dengan pemberian intra vena bolus tunggal pada persamaan
satu. Model tersebut menyatakan hubungan antara variabel bebas waktu (t) dan
variabel tergantung kadar (Cp). Kadar obat dapat berubah sesuai dengan waktu/
fase pengambilan sampel, sedangkan dosis, volume distribusi (Vd) dan klirens
(Cl) adalah tetapan/parameter yang tidak berubah pada waktu yang sama dengan
pengambilan sampel, dinyatakan Mould (2012) sebagai berikut:
(3)
Model struktural lain dapat digunakan pada kondisi biologis yang kompleks
42
42
dengan persamaan differensial. Untuk kondisi yang sama dinyatakan bahwa laju
perubahan variabel tergantung (kadar/Cp) pada setiap waktu tertentu (t)
dituliskan dengan persamaan diferensial:
, Cp0 (4)
Persamaan diferensial (4) memerlukan nilai awal variabel tergantung yaitu Cp0
yang dinyatakan sebagai Dosis/Vd. Jika kadar obat pada waktu tertentu t2 ingin
diketahui maka dapat disampaikan secara numerik setelah kadar jam ke satu
dengan persamaan sebagai berikut:
(5)
Linearitas dan superposisi menjelaskan prinsip liniearitas pada persamaan model
dengan data dikenal sebagai regresi nonlinier dan adanya tumpang tindih dan adisi
kurva data kadar vs waktu dengan data kadar lain yang lain dengan hasil yang
merupakan penjumlahan dua kadar. Prinsip superposisi ini pun dapat berlaku jika
ada jeda waktu pemberian obat dan dimanfaatkan untuk regimen dosis yang
kompleks.
Model Stokastik untuk efek acak pada model populasi mengkarakterisasi
perbedaan diantara subjek satu dengan lain (inter-individu) dan perbedaan di
dalam subjek itu sendiri selama pemberian dosis satu dengan lainnya sehingga
dapat saja regimen dosis bersifat individual. Estimasi variabilitas merupakan hal
penting untuk menjelaskan keamanan dan efikasi obat terutama pada obat yang
memiliki indeks terapi sempit dan variabilitas inter individu nya sangat luas. Pada
43
43
kondisi demikian pemaparan kadar subterapetik dan toksik menjadi sangat tinggi
dan pemodelan adalah upaya tepat untuk menjelaskan hal tersebut.
Data yang diperoleh dari pemantauan kadar obat individu dapat digunakan
untuk pengembangan model farmakokinetik populasi. Model tersebut selanjutnya
dimanfaatkan untuk melakukan penentuan dosis awal pada individu yang
merupakan bagian dari populasi. Hal ini dimungkinkan karena didasarkan pada
estimasi nilai parameter farmakokinetik rata-rata yang diperoleh dari
mengkorelasikan data individu dengan parameter farmakokinetik populasi dan
memungkinkan estimasi target terapi individual (Jelliffe et.al., 1993, Watling and
Kisor, 1993). Model memerlukan pemantauan kadar terapetik dalam proses
adaptive control, untuk mengestimasi dosis obat untuk penyesuaian dosis bahkan
konstruksi ulang regimen penderita individual yang merupakan bagian dari
populasi dengan ketepatan maksimum menggunakan pencocokan maximum a-
posteriori probability (MAP) Bayesian (Sheiner et al., 1979; Jelliffe et al., 1993;
Shargel, 2005). Perubahan regimen dosis secara in-silico sebelum diterapkan pada
penderita sesungguhnya sangat dimungkinkan ketika model populasi tersedia.
Kondisi ini sangat mungkin dilakukan mengingat seringnya keluhan efek obat
yang tidak diinginkan pada penderita sensitif atau pun kemungkinan adanya
perubahan pola sensitivitas obat pada kelompok populasi tertentu. Penerapan
rekomendasi suatu regimen dosis yang baru pada penderita klinik harus
didasarkan pada pertimbangan farmakokinetik selain farmakodinamik.
44
44
2.5.2. Metode Pemodelan Farmakokinetik Populasi dengan Non-parametric
Adaptive Grid (NPAG)
Pemodelan farmakokinetik populasi dapat dilakukan dengan pendekatan
parametrik dan non parametrik. Pendekatan parametrik menetapkan bahwa
distribusi nilai parameter farmakokinetik berasal dari distribusi normal. Berbeda
dengan pendekatan non parametrik yang tidak membatasi estimasi distribusi
parameter farmakokinetik populasi. Pendekatan non parametrik menyatakan
bahwa parameter farmakokinetik populasi diestimasi berdasarkan harga parameter
yang diperoleh dari korelasi data individu dengan parameter farmakokinetik
populasi secara apa adanya.
Beberapa metode pemodelan farmakokinetik populasi yang dikenal antara lain
Standard Two Stage (STS), non-mixed effect model (NON MEM), Iterative Two
Stage (ITS), non-parametric expectation maximization (NPEM), non-parametric
adaptive grid (NPAG), non-parametrik Bayesian (Yamada et al., 2013; Neely et
al., 2012; Tatarinova et al., 2013).
Pemodelan farmakokinetik populasi dengan pemodelan non parametrik,
dengan algoritma non parametric adaptive grid (NPAG) dan non parametrik
Bayesian dikembangkan oleh USC Laboratory of Applied Pharmacokinetics and
Bioinformatics. Metode algoritma NPAG adalah algoritma adaptive grid untuk
menemukan estimasi maximum likelihood non-parametrik distribusi populasi.
NPAG menghitung maximum likelihood estimasi distribusi populasi yang tidak
diketahui sebagai populasi diskrit. Publikasi Tatarinova et al. (2013) menyatakan
keunggulan NPAG dibandingkan metode likelihood lain dan dapat menemukan
45
45
sub-populasi yang tidak diduga dan outlier (Tatarinova et al. 2013; Neely et al.
2012)
Metode NPAG mempunyai 2 fase yaitu pencarian likelihood dan
maksimalkan likelihood yang diintegrasikan dengan metode Newton untuk
mendapatkan distribusi prior populasi untuk perhitungan dosis secara lebih efisien
(Gunawan, 2009). Penerapan metode NPAG didasari pada pemodelan matematis
proses absorpsi obat dalam tubuh manusia. Tubuh manusia dinyatakan sebagai
satu kompartemen tunggal dimana obat bisa masuk dan keluar tubuh secara
seragam dan homogen dan obat terdistribusi secara merata, maka konsentrasi obat
dalam darah yang teramati (Cp) untuk berbagai waktu (t) pengambilan sampel
setelah pemberian obat dengan dosis D, dan volume distribusi Vd, dengan klirens
Cl dan error perhitungan statistik (ε) dapat dinyatakan dengan persamaan:
(6)
Dengan sebaran data berdsitribusi normal, sehingga mempunyai likelihood
dengan persamaan:
(7)
Dimana Yobs (tk) adalah konsentrasi obat hasil pengamatan, Ypred (tk) adalah
konsentrasi hasil pemodelan statistik (persamaan 6), dan σ adalah error.
(8)
46
46
Dengan menstubtitusikan (8) ke dalam (7) maka ditemukanlah likelihood yang
harus dimaksimalkan menggunakan Newton raphson (9). Likelihood hasil
substitusi (10) ini mempunyai variabel Vd, Cl, dan σ, sehingga akan mempunyai 3
turunan Vd, turunan Cl dan turunan σ (Gunawan, 2009).
(9)
Pada (10) akan disajikan rumus lengkap Newton Raphson untuk Vd, Cl, dan σ.
(6-10) dikutip dari: Gunawan, 2009; Yamada et al., 2013)
(10)
47
47
2. 5.3 Pengumpulan data untuk pemodelan farmakokinetik populasi dengan
metode Non-Parametric Adaptive Grid (NPAG) menggunakan Program
Pmetrics®
Pengumpulan data untuk pemodelan farmakokinetik populasi menjadi
penentu keberhasilan kajian farmakokinetik populasi. Ada dua jenis data untuk
pemodelan farmakokinetik populasi yaitu data demografi, yang merupakan data
karakteristik fisiologis individu dan data kinetik, yang merupakan data regimen
dosis dan profil kadar obat vs waktu pada penderita.
Data karakteristik individu yang dikumpulkan dikelompokkan menjadi dua
jenis yaitu pertama, data yang diperoleh pada awal penelitian, merupakan data
yang menjelaskan status patofisiologis penderita saat itu. Data tersebut antara lain:
usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, penggunaan obat secara bersamaan,
sifat dan kegawatan penyakit, kondisi biokimia dan hematologic. Semua data
yang diperoleh selama satu interval dosis digunakan untuk memperhitungkan
perubahan yang terjadi selama terapi yang mencerminkan fungsi ginjal/liver
(Whiting et al., 1986), misalnya serum kreatinin, albumin, SGPT, SGOT.
Data kinetik yang dikumpulkan antara lain: 1) data yang menjelaskan
regimentasi dosis yang dikaitkan dengan pengukuran kadar obat cuplikan serum,
yaitu dosis, rute dan lama pemberian, interval dosis, riwayat penggunaan obat; 2)
data kadar obat cuplikan sejak dosis sebelumnya (Whiting, et al., 1986; Jelliffe et
al., 1991). Penetapan waktu pengambilan sampel darah dapat ditentukan
berdasarkan pertimbangan farmakokinetik obat setelah pemberian dosis
rekomendasi. Waktu pengambilan sampel darah merupakan suatu hal yang
penting dalam analisis data farmakokinetika, karena faktor tersebut
48
48
mempengaruhi: presisi dan bias estimasi parameter populasi, kemampuan
mengidentifikasi model estimasi parameter farmakokinetika obat, kemampuan
mengestimasi parameter farmakokinetika individu. Dua alasan prinsip
farmakokinetik klinik dalam pengambilan sampel darah pada penderita, antara
lain: (1) untuk mengetahui kadar obat dikaitkan dengan rentang terapi, korelasi
klinik terhadap efikasi dan toksisitas (tujuan farmakodinamik); (2) untuk
perhitungan dalam farmakokinetik dalam rangka memperbaiki prediksi kadar
selanjutnya dan modifikasi regimen dosis (tujuan farmakokinetik) (Jelliffe, 1991:
Peck, 1991). Pengambilan sampel darah untuk rifampisin dilakukan dengan
pertimbangan adanya malabsorbsi dan respon terapi lambat.
Sebagai contoh pengambilan sampel dalam terapi rifampisin yang
diasumsikan mengikuti model kompartemen satu dengan pemberian oral harian
sediaan RHZE 4FDC. Kadar obat ditentukan pada saat kadar “puncak” yaitu jam
ke 2 dan dilanjutkan pada jam ke-6 setelah mengkonsumsi tablet, jika ada dugaan
penundaan kadar puncak terkait gangguan absorpsi (Chawla et al., 2016; Sloan et
al., 2017). Kadar puncak rifampisin dipertimbangkan untuk mengevaluasi efikasi
dan toksisitas yang sesuai untuk menjelaskan farmakodinamiknya. Pengambilan
sampel pada kadar puncak saja secara farmakokinetik kurang memuaskan. Waktu
terbaik untuk pengambilan sampel untuk pemantauan kadar terapi secara
farmakokinetik adalah waktu dimana kadar serum tersebut paling sensitif
mengalami perubahan dengan adanya perubahan harga parameter farmakokinetika
(Jelliffe, 1991). Waktu kadar puncak memberikan informasi optimal mengenai
volume distribusi, karena perubahan volume distribusi menyebabkan perubahan
49
49
kadar serum terbesar saat kadar puncak tercapai sedangkan waktu eliminasi dapat
menjelaskan eliminasi obat. Kadar awal sebelum mengkonsumsi obat tidak dapat
memberikan informasi eliminasi obat secara optimal (Van Der Burgt et al. 2016).
2.5.4 Validasi model farmakokinetik populasi
Validasi model farmakokinetik populasi dilakukan untuk
mempertanggungjawabkan ketika model digunakan untuk tujuan prediktif. Suatu
model yang dinyatakan valid jika dapat memberi pernyataan yang jelas dari
permasalahan dan konsisten dengan maksud penggunaan model (Bonate, 2006).
Evaluasi model deskriptif mengenai variabilitas farmakokinetik dan
variabel populasi yang dipelajari memerlukan evaluasi dengan menetapkan
goodness of fit, reliabilitas, dan stabilitas model. Sedangkan untuk evaluasi model
prediktif maka evaluasi dilakukan berdasarkan asumsi yang dibuat berdasarkan
kriteria tujuan/maksud penggunaan model. Ada 2 macam validasi, yaitu validasi
internal dan eksternal. Validasi internal dilakukan dengan cara mencocokkan
model dengan menghilangkan data subjek dari keseluruhan data dan
mencocokkanya dengan data yang masih ada. Pengulangan prediksi dilakukan
dengan memasukkan kembali data yang dihilangkan. Penentuan ukuran
pemusatan dari ke dua model yang dihilangkankan subjeknya dengan model yang
dimasukkan kembali subjeknya dilakukan pada tahap selanjutnya. Validasi model
eksternal digunakan untuk memprediksi variabel kadar obat yang dihasilkan dari
individu lain yang tidak masuk dalam perhitungan model awal .
50
50
2. 6. Metode Adaptive Control Untuk Individualisasi Regimen Dosis
Individualisasi merupakan pendekatan dalam regimentasi dosis yang
memperhitungkan respon terapi dan kondisi klinik penderita secara individu
selama terapi berlangsung. Individualisasi dilakukan dengan didasarkan pada
fakta bahwa respon terapi individu dapat berbeda sama sekali dengan individu lain
dan respon terapi tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi terapi individu itu
sendiri. Perbedaan yang berbeda tersebut tidak dapat diterima secara klinik
apabila menyebabkan berkurangnya efikasi akibat kadar subterapetik atau
toksisitas akibat kadar yang melebihi batas aman maksimal, yang mengancam
kehidupan. Penyakit yang tidak terdiagnosa, pengunaan obat lain secara
bersamaan yang dapat mempengaruhi distribusi dan eliminasi obat, menyebabkan
regimen dosis awal yang didasarkan pada harga rata-rata parameterfarmakokinetik
populasi seringkali menjadi tidak akurat (Peck and Rodman, 1991).
Individualisasi dosis yang sebenarnya diperoleh bila dihitung berdasarkan
farmakokinetik individu itu sendiri (Shargel et al., 2005). Individualisasi dapat
dilakukan melalui proses adaptive control setelah penderita menerima
pengobatan. Estimasi farmakokinetik individu diperoleh dengan menganalisis
respon terapi yang diperoleh dari pemantauan kadar obat pada penderita secara
langsung. Penyesuaian dosis kembali dilakukan menggunakan data
farmakokinetika individu yang didapat dan hasil evaluasi klinik pada penderita.
Peck and Rodman (1991) mendeskripsikan 5 penerapan farmakokinetik pada
proses adaptive control secara skematik seperti pada Gambar 2.5. Proses adaptive
control dimulai dengan pemilihan regimen dosis awal yang didasarkan pada i)
51
51
target terapi yang diketahui dari hubungan kadar obat-respon klinis dan kondisi
klinis penderita dan ii) model farmakokinetik yang menghubungkan karakteristik
penderita dengan parameter farmakokinetik. Revisi regimen dosis merupakan
penyesuaian model farmakokinetik berdasarkan pada kadar obat observasi dan
target terapi sesuai dengan respon penderita.
Gambar 2.5.
Proses adaptive control (dimodifikasi dari: Peck and Rodman, 1991)
Adaptive control dalam individualisasi dosis ditujukan untuk
mengendalikan sistem farmakokinetik yang mungkin berubah selama penderita
menjalani terapi. Dengan menetapkan suatu target terapi nyata bagi individu,
maka setiap individu mendapat pengaturan dosis untuk mencapai respon klinis
yang efektif sesuai kondisinya tanpa mengalami reaksi yang tidak diinginkan atau
dapat menghasilkan kadar plasma yang aman, yang tidak melampaui kadar toksik
Target
Terapi
Model
Farmakokinetik
Respon observasi
Regimen dosis
Kadar
prediksi
Cpred Kadar
Observasi
Cobs
Respon
target
52
52
minimum obat atau tidak berada dibawah kadar kritis minimum, yang
menyebabkan obat tidak aktif. Adaptive control berperan dalam merancang
regimen dosis untuk mendapat target terapi individu yang diinginkan secara tepat
(Jelliffe et al., 1993). Pendekatan adaptive control terutama diperlukan untuk
obat-obat yang memiliki rentang terapi sempit dan variabilitas respon terapi
interindividu luas, seperti: digoksin, teofilin, fenitoin, termasuk antibiotika
aminoglikosida bahkan OAT untuk menghindari fluktuasi kadar akibat variasi
interindividu terhadap proses farmakokinetika (Jelliffe RW, 1989; Shargel et al.,
2005)
2.7 Prosedur Pencocokan Least Squares
Secara konvensional “pencocokan' model farmakokinetik dengan data kadar
dapat dilakukan menggunakan metode least squares dengan ‘pencocokan’ model
farmakokinetik terhadap data sebelumnya yang diperoleh secara eksperimen
maupun data yang diperoleh dari penderita yang sedang menjalani terapi.
Dalam prosedur pencocokan least squares, fungsi obyektif (OBJ) yang
diminimumkan adalah:
OBJ = (11)
Cobsi dan Cpredi menyatakan kadar obat yang diobservasi dan yang
diprediksi oleh model farmakokinetik individu. Simbol σ merupakan simpangan
baku (SD) dari kesalahan random model (SD penetapan kadar tiap pengamatan).
Fungsi obyektif akan menemukan nilai parameter farmakokinetik yang
53
53
menghasilkan kadar prediksi yang paling dekat dengan kadar yang diobservasi.
Untuk menghasilkan estimasi parameter yang akurat dan tepat, diperlukan
sejumlah cuplikan yang terjadwal dengan baik setidaknya satu data kadar serum
untuk tiap parameter yang dicocokkan terhadap data. Sebagai contoh model
kompartemen satu untuk pemberian aminoglikosida atau teofilin i.v. memiliki dua
parameter volume distribusi (Vd) dan laju eliminasi atau klirens (Cl) sehingga
memerlukan dua observasi kadar (Jelliffe, 1986, 1991). Untuk mendapatkan
presisi yang cukup diperlukan observasi tambahan tiga/empat data kadar dikaitkan
dengan adanya kesalahan pengujian, kesalahan pemberian. Untuk keadaan klinis
pengambilan cuplikan dalam jumlah besar sering tidak memungkinkan sehingga
penggunaan data observasi kadar yang sedikit akan mempengaruhi hasil
pencocokan.
Prosedur least squares dapat menghasilkan nilai parameter farmakokinetik
individu secara langsung dan relatif mudah. Prosedur ini dimulai dengan estimasi
awal parameter, yang biasanya diambil dari harga mean populasi, disebut ‘priori’
model. Apabila telah didapat harga parameter yang paling cocok dengan data,
maka prosedur least squares akan membuang semua informasi harga populasi
sebelumnya. Kondisi ini tentunya tidak tepat karena model farmakokinetika yang
lebih kompleks (model kompartemen 2) memungkinkan ditemukannya kombinasi
nilai yang tidak lazim yang dihasilkan dari pencocokan terbaik. Tidak ada jaminan
bahwa “pencocokan” (curve fitting) terbaik telah ditemukan dengan prosedur ini
(Jelliffe, 1991).
54
54
2.8. Prosedur Pencocokan Maximum A-Posteriori Probability (MAP) Bayesian
Teorema Bayes dalam farmakokinetika dikenalkan dalam pemantauan kadar
obat oleh Sheiner dan Beal di tahun 1970-an, untuk menjelaskan hubungan
kuantitatifantara peluang awal/prior probability memiliki parameter
farmakokinetik tertentu setelah hasil pengukuran kadar serum tersedia (Sheiner et
al., 1979). Pencocokan MAP Bayesian pada kondisi klinik berperan untuk
menghasilkan model farmakokinetik obat penderita individu secara spesifik
menggunakan kombinasi harga parameter farmakokinetik populasivariabilitas
inter dan intraindividu serta karakteristik individu itu sendiri, yaitu informasi
regimen dosis, data kadar obar serum, dan deskriptor klinik lainnya (Sheiner
et.al., 1979; Jelliffe, 1986;Jelliffe et.al., 1993).
Regimentasi dosis awal suatu obat yang memiliki rentang terapetik
sempitdihitung berdasarkan pada parameter farmakokinetik populasi rata-rata.
Setelahpemberian dosis awal, kemudian dilakukan penentuan kecukupan kadar
obat serumpenderita. Semakin banyak data kadar yang didapat untuk
menggambarkan profilkinetik obat semakin baik hasil estimasi parameter
farmakokinetik individu. Namundemikian pengambilan data darah dalam jumlah
banyak untuk penderita klinik tidaketis dilakukan sehingga parameter
farmakokinetik individu harus diestimasi darisekelompok data kadar yang
memiliki berbagai sumber kesalahan dan varian berbedayang dapat diminimalkan
untuk menghasilkan suatu estimasi parameter secara efisien melalui pencocokan
MAP Bayesian persamaan 2.12. (Sheiner et al., 1979, Jelliffe, 1986; Jelliffe et al.,
1993; Shargel et al, 2005).
55
55
Pada pencocokan MAP Bayesian, nilai parameter populasi dan standar
deviasi diperhitungkan bersama dengan kadar serum yang diamati dan simpangan
baku pengukuran kadar (SD subyek). Varian kuadrat terkecil yang diukur
menghasilkan harga MAP dari fungsi densitas peluang posterior Bayes tiap
parameter. Simpangan baku (SD) nilai parameter populasi dan tiap kadar serum
terukur memberikan ukuran kredibilitas yang menentukan seberapa jauh
kecocokan data serum terhadap populasi.
Harga parameter posterior dihasilkan dengan meminimalkan fungsi obyektif
Bayes OBJ Bayes:
(12)
dimana Ppop: nilai parameter model farmakokinetika populasi, Pind: nilai parameter
model penderita farmakokinetika individu, Cobs :kadar obat serum penderita
terukur, Cpred kadar obat serum prediksi, σpj : standar deviasi berbagai nilai
parameter populasi, dan σ: standar deviasi berbagai kadar serum.
Persamaan tersebut terdiri dari dua bagian dimana bagian pertama
adalahpersamaan fungsi obyektif pada least square dan bagian kedua adalah
perbedaan harga parameter populasi yang dihasilkan model dengan parameter
individu. Kombinasi bagian pertama dan kedua tesebut dihitung keseluruhan
melalui pencocokan secara berulang, iteratif (prosedur maximum likelihood) untuk
mendapatkan harga parameter farmakokinetik individu optimal, yang ditunjukkan
oleh harga fungsi obyektif Bayesian. Minimisasi fungsi obyektif Bayes
menghasilkan estimasi parameter farmakokinetik yang spesifik bagi penderita,
O
B
J
56
56
yang diperhitungkan dalam kadar obat terukur dan kadar obat prediksi bersama
informasi kesalahan pengukuran dan harga variabilitas parameter farmakokinetik
populasi.
MAP Bayesian mencakup semua metode estimasi parameter farmakokinetik
individu yang lazim digunakan (least square). Berlawanan dengan pencocokan
least square, MAP Bayesian selalu melakukan pencocokan dengan
memperhitungkan rata-rata harga parameter populasi, sehingga data dan informasi
sebelumnya (priori) tidak pernah terbuang. Jika kadar obat terukur tidak ada,
maka harga parameter populasidiasumsikan sebagai harga parameter penderita,
sehingga sesuai teori Bayes: peluang posterior, maximum likelihood estimation
yang merupakan nilai parameter populasirata-rata menjadi berkurang, dan
persamaan yang digunakan hanya bagian kedua. Jikakadar terukur ada, tetapi
tidak ada data prior populasi maka peluang posteriorparameter farmakokinetik
penderita menjadi berkurang karena hanya meminimalkanfungsi obyektif least-
square. Jika kedua data tersedia baik data populasi maupun data kadar, maka
persamaan dapat dinyatakan dengan lengkap, dan estimasi menjadi optimal.
Metode Bayes dapat menggunakan hanya satu data kadar serum meskipun
adabanyak parameter farmakokinetik yang harus dicocokkan. Setelah satu atau
dua kadartersedia proses pencocokan ini menghasilkan suatu harga parameter
individu secaraspesifik. Semakin banyak data maka kontribusi data populasi akan
makin sedikit, karena minimisasi fungsi obyektif Bayes merupakan gabungan dari
apa yangdiketahui mengenai penderita itu sendiri dan apa yang diketahui
mengenai populasisehingga kecil kemungkinan menghasilkan kombinasi nilai
57
57
parameter yang tidak lazim (Sheiner et al, 1979; Jelliffe et al, 1991; Peck and
Rodman, 1991). Pencocokan Bayes untuk individualisasi model farmakokinetik
obat pada penderita dapat memprediksi kadar serum berikutnya dengan lebih baik.
Suatu hasil penelitian mengenai kemampuan prediksi kadar teofilin berikutnya
pada penggunaan dosis berikutnya terhadap metode nomogram, least squares, dan
MAP Bayesian dinyatakan bahwa MAP Bayesian yang memperhitungkan suatu
‘priori’ data populasi, dapat memprediksi kadar teofilin dengan kesalahan yang
paling kecil (Peck and Rodman, 1991). Hal ini menegaskan adanya efek protektif
dari penggunaan ‘prior' data yang merupakan model farmakokinetik populasi
dalam prosedur pencocokan Bayes. Dengan kata lain bahwa untuk estimasi dosis
optimal diperlukan model farmakokinetik populasi dan untuk menghasilkan
model farmakokinetik individu yang akurat diperlukan model farmakokinetik
individu yang diperoleh dengan MAP Bayesian dalam proses adaptive control
(Peck and Rodman, 1991).