bab ii kajian pustaka 2.1 lele dumbo -...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lele Dumbo
Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan hasil persilangan dari dua
spesies, yaitu Clarias fuscus dari Taiwan dan Clarias gariepinus dari Afrika
(Agus 2001). Menurut Saanin (1984) dalam Najiyati (1992), klasifikasi dari ikan
lele dumbo adalah sebagai berikut:
Phyllum : ChordataSub phyllum : VertebrataKelas : PiscesSub kelas : TeleosteiOrdo : OstariophysiSub ordo : SiluroideaFamili : ClariidaeGenus : ClariasSpesies : Clarias gariepinus.
Gambar 1. Ikan Lele Dumbo(Sumber: Dokumentasi pribadi 2013)
Lele dumbo menurut Viveen et al. (1987) memiliki ciri-ciri kulit berlendir
dan tidak bersisik, bermulut lebar, disekitar mulut ada delapan/empat pasang
kumis (nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam) dan mempunyai alat
pernapasan tambahan berupa arborescent. Makanan alaminya menurut Suyanto
(1991) antara lain kutu air, cacing, larva dan siput kecil. Ikan ini juga memakan
sisa-sisa benda yang membusuk bahkan kotoran manusia, tetapi kurang
menyenangi tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya ikan lele dumbo mempunyai
keunggulan cepat tumbuh dan besar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Ikan
lele dumbo mengandung protein yang tinggi serta mengandung lemak dan
kolesterol yang rendah, sehingga ikan lele dumbo disukai oleh masyarakat. Maka
daripada itu kualitasnya harus dijaga agar memenuhi kebutuhan konsumsi ikan
lele dumbo di masyarakat.
Suyanto (1991) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas ikan lele dumbo antara lain adalah kondisi perairan dan kontaminan yang
terkandung di dalamnya. Telah banyak kontaminan yang ditemukan, baik yang
berasal dari faktor abiotik maupun biotik. Kontaminan abiotik berasal dari limbah
(rumah tangga ataupun industri) dan juga logam berat. Sedangkan kontaminan
biotik diantaranya terdiri dari jamur, virus, dan bakteri. Kondisi ini dapat
mengancam kelangsungan hidup suatu makhluk hidup apabila tidak memiliki
sistem imun yang tinggi. Apabila sistem imun menurun, maka makhluk hidup
dapat dengan mudah terserang oleh berbagai penyakit karena tidak ada pertahanan
untuk tubuhnya.
2.2 Sistem Imun Ikan
Sistem imun pada ikan terbagi menjadi dua yaitu sistem imun spesifik dan
sistem imun non-spesifik. Terdapat dua sistem imun spesifik, yakni sistem imun
spesifik humoral dan sistem imun spesifik selular. Limfosit B atau sel B berperan
dalam sistem imun spesifik humoral yang apabila dirangsang oleh benda asing
akan berkembang menjadi plasma yang membentuk antibodi dan dilepas sehingga
ditemukan dalam darah. Antibodi ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap
infeksi virus, bakteri (ekstraseluler) dan menetralisir toksinnya (Baratawidjaja
1991). Sedangkan pada sistem imun spesifik selular, limfosit T atau sel T yang
berperan melawan mikroorganisme intraselular, seperti makrofag yang sulit
dijangkau oleh antibodi (Kresno 1996).
Upaya yang dilakukan oleh tubuh ikan dalam mempertahankan diri
terhadap serangan benda asing adalah dengan menghancurkan benda asing
tersebut secara non-spesifik dengan proses fagositosis. Sistem imun non-spesifik
merupakan pertahanan tubuh yang dapat memberikan respon langsung terhadap
antigen, sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal
antigennya sebelum dapat memberikan responnya. Dikatakan non-spesifik karena
tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu yang telah ada dan berfungsi
sejak lahir seperti lendir dan komponen dalam tubuh lainnya, sedangkan
dikatakan spesifik karena memiliki kemampuan untuk mengenal benda asing yang
segera dikenal dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun sehingga bila benda asing
yang sama muncul maka akan dikenal lebih cepat dan segera dihancurkan
(Baratawidjaja 1991).
Benda asing yang sering menyerang ikan lele dumbo dan menimbulkan
penyakit adalah bakteri dengan spesies Pseudomonas fluorescens yang
penginfeksiannya dapat ditanggulangi dengan upaya pencegahan dan pengobatan.
Salah satu upaya pencegahan infeksi bakteri ini adalah dengan cara meningkatkan
respon imun non-spesifik makhluk hidup tersebut dengan menggunakan
imunostimulan (Secombes 1996; Rukyani dkk. 1997; Johnny dkk. 2001; 2002)
dan vitamin C (Johnny dkk. 2005).
Sistem imun dalam aktivitasnya melindungi tubuh memerlukan bahan
imunostimulan yang dapat mempercepat aktivitas imun non-spesifik saat imun
spesifik belum memberikan respon terhadap benda asing yang masuk ke dalam
tubuh. Bahan imunostimulan yang dapat digunakan diantaranya vitamin A dan
vitamin C, oleh karena fungsi kerjanya yang menstimulasi dan menekan
komponen sistem kekebalan baik respon kekebalan spesifik maupun non-spesifik
(Agrawal dan Singh 1999).
Menurut Anderson 1992, aktivitas respon imunitas dapat distimulasi oleh
imunostimulator. Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid yang menyatu
dengan myeloid yang dikenal dengan jaringan limfomyeloid pada ikan. Organ
limfomyeloid pada ikan teleost adalah limpa, timus, dan ginjal depan. Produk
jaringan limfomyeloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler
maupun hormonal (Rijkers 1981; Fange 1982). Leukosit merupakan jenis sel yang
aktif di dalam sistem pertahanan tubuh. Setelah dihasilkan di organ timus dan
ginjal, leukosit kemudian diangkut dalam darah menuju ke seluruh tubuh (Irianto
2005).Leukosit dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu agranulosit dan
granulosit berdasarkan ada-tidaknya granul pada sitoplasma. Agranulosit terdiri
atas limfosit dan monosit. Granulosit terdiri atas neutrofil, eosinofil dan basofil
(Chinabut et al. 1991). Anderson (1992) melaporkan bahwa interleukin,
interferon, dan sitokin berperan sebagai komunikator dan aplikasi dalam
mekanisme pertahanan humoral dan selular ikan. Oleh sebab itu, mekanisme
pertahanan tubuh yang sinergis antara pertahanan humoral dan selular ditandai
dengan adanya interleukin, interferon, dan sitokin (Alifuddin 1999).
Imunostimulan merupakan sekelompok senyawa biologi dan sintetis yang
dapat meningkatkan kekebalan spesifik dan non-spesifik (Zafran dkk. 1998;
Johnny dkk. 2001; 2004; Johnny dan Roza 2002; 2004; Roza dkk. 2002; 2003;
2004; 2005). Imunostimulan dapat didefinisikan sebagai suatu substansi, baik
biologis maupun sintetis, yang dapat menstimulasi, menekan atau mengatur salah
satu dari komponen sistem kekebalan, baik respon kekebalan spesifik/respon
humoral maupun non-spesifik/respon selular (Ellis 1982; Agrawal dan Singh
1999). Imunostimulan yang sering dipakai untuk imunostimulasi adalah LPS
(lipopolisakarida), levamisol, ragi dan glukan serta beberapa vitamin seperti
vitamin A, B dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai imunostimulan
(Sohne 2000 dalam Alifuddin dkk. 2001). Beberapa bahan imunostimulan seperti
ragi, vitamin C, β-glukan, dan kromium-yeast telah terbukti secara positif
berpengaruh terhadap respon non spesifik pada sistem imun beberapa jenis ikan
(Verlhac et al. 1996; Li dan Gatlin 2003; Lin dan Shiau 2005).
Vitamin adalah zat yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sedikit
tetapi penting untuk mempertahankan keadaan tubuh yang normal. Salah satu
vitamin yang sering digunakan dalam pakan ikan yaitu vitamin C, karena Vitamin
C berperan menormalkan fungsi kekebalan, mengurangi stress dan mempercepat
penyembuhan luka pada ikan. Defisiensi vitamin C pada ikan dapat menyebabkan
lordosis atau skoliosis dengan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang
rendah dan mengakibatkan kerusakan filamen insang seperti pada ikan brook trout
(Tucker dan Halver 1984), ikan salmon dan rainbow trout (Halver 1989).
Kebutuhan ikan akan vitamin C disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Nilai Kebutuhan Ikan Akan Vitamin C (ascorbic acid)
No Nama Ikan SpesiesKebutuhan Vitamin C
(mg/Kg pakan)1 Channel catfish Ictalurus punctatus 25 – 50 vhbh
2 Salmon Chinook Oncorhynchus tsawutscha 100 – 250 jhygnj
3 Kakap putih Lates carcarifer 100 – 1100 gyggu
4 Juvenil udang galah Macrobranchium rosenbergii
50 – 100 ygygy
5 Juvenil udang putih Penaeus japonicas 1000 bbbbbygygjjj
Sumber: Tacon (1991)
2.3 Vitamin A (Retinol)
Menurut Linder (1992), fungsi vitamin A terlihat dalam diferensiasi sel
dengan memelihara fungsi sel dan juga menjaga perkembangannya. Defisiensi
vitamin A sudah lama diketahui menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya
penggantian sel kolumnar epitel dengan lapisan tebal, bertanduk di banyak bagian
tubuh. Lapisan epitelium ini termasuk keratinisasi lapisan kornea, paru-paru, kulit,
dan mukosa intestin. Kaitan vitamin A dalam fungsi sistem imun dapat dilihat dari
asosiasi defisiensi vitamin A dengan penyakit infeksi. Pada diferensiasi sel terjadi
petumbuhan dalam bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitkan dengan
petumbuhan perwujudan gen-gen tertentu. Sel-sel yang paling nyata mengalami
diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus, terutama sel-sel goblet, yaitu sel kelenjar
yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Diketahui pula vitamin A
dapat menstimulasi respon imun. Studi pada hewan dan manusia menunjukkan
bahwa kekurangan vitamin A mempengaruhi imunitas humoral. Produksi dan
maturasi limfosit menurun dengan kurangnya vitamin A.
Penelitian lebih lanjut pada manusia, fungsi penting vitamin A selain
untuk kesehatan mata dan jaringan tubuh, juga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka. Selain itu dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan
epitelial, vitamin A mempertahankan kesehatan dan struktur kulit, rambut, dan
gigi. Vitamin A mengandung retinil palmitat dan retinil asetat membuat sel darah
putih serta antibodi pada tubuh lebih agresif melawan dan mencegah infeksi dari
berbagai macam mikroorganisme yang dapat merugikan tubuh, fungsinya sebagai
antioksidan juga membantu merangsang dan memperkuat daya tahan tubuh dalam
meningkatkan aktivitas sel pembunuh alami (natural killer cell), memproduksi
limfosit, fagositis, dan antibodi. (Linder 1992).
2.4 Vitamin C (Asam askorbat)
Ikan tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesis vitamin C
(Masumoto et al. 1991). Selanjutnya Muray et al. (1999) menambahkan bahwa
vitamin merupakan nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah kecil bagi sejumlah
fungsional biokimiawi dan umumnya tidak dapat di sintesis oleh tubuh sehingga
harus di pasok dari makanan, karena pengaruh dari vitamin terhadap ikan
berbeda-beda misalnya dibutuhkan oleh tubuh untuk hidroksilasi proline dan lisin
dalam pembentukan kolagen. Vitamin C bukan merupakan sumber tenaga, tetapi
dibutuhkan oleh ikan sebagai katalisator terjadinya proses metabolisme di dalam
tubuh, untuk pertumbuhan normal, kelangsungan hidup dan reproduksi
(Watanabe 1988). Salah satu vitamin yang digunakan untuk campuran dalam
pakan ialah vitamin C. Ini mengingat tubuh ikan tidak mempunyai kemampuan
mensintesis vitamin, karena vitamin besar pengaruhnya terhadap ikan untuk
hidroksilasi prolin dan lisin dalam pembentukan kolagen.
Penambahan vitamin C dalam pakan selain mempengaruhi pertumbuhan
benih ikan juga dapat meningkatkan ketahanan ikan (Giri dkk. 2003). Menurut
Johnny dkk. (2005), vitamin C dapat meningkatkan respon imun non-spesifik
ikan. Pada ikan kerapu macan dilaporkan pula oleh Mahardika dkk. (2004) bahwa
pemberian vitamin C dalam pakan pelet dapat meningkatkan respon imun
terhadap infeksi Viral Nervous Necrosis/VNN. Vitamin C (asam askorbat)
merupakan salah satu bahan yang sering digunakan dalam pencegahan penyakit
ikan, vitamin C dalam tubuh ikan berperan mengurangi stress dan mempercepat
proses penyembuhan luka. Selain itu, vitamin C mempunyai kemampuan untuk
mempercepat reaksi kelompok hidroksilasi dengan formulasi kolagen yang sangat
penting untuk pemeliharaan keseimbangan alami oleh kulit beserta jaringan
lainnya. Percobaan pada vitamin C memperlihatkan keterlibatannya dalam proses
pelepasan zat kebal oleh sel kebal.
Pada hewan, vitamin C merupakan suatu kebutuhan yang harus ada untuk
produksi interferon dan komponen komplemen. Banyak zat yang penting
dikeluarkan atas bantuan vitamin C dalam pertahanan tubuh dari pencegahan
infeksi patogen (Lagler et al. 1977; Halver 1989; Sandnes 1991). Di Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol telah dilakukan beberapa percobaan
menggunakan vitamin C, terutama untuk pertumbuhan. Johnny dkk. (2002)
melaporkan bahwa vitamin C berpengaruh terhadap hemositologi ikan kerapu
bebek, Cromileptes altivelis.
2.5 Vitamin E (Tokoferol)
Vitamin E terdiri atas dua substansi aktif biologis yaitu tokoferol dan
tokotrienol, dimana yang terpenting adalah α-tokoferol (Gallagher 2004). Struktur
kimia vitamin E terdiri atas rantai samping gugus merupakan nukleus methylated
6-chromanol (3,4-dihydro-2H-1-benzopyran-6-ol), kemudian 3 unit isoprenoid,
dan ikatan ester atau hidroksil bebas pada C-6 dari nukleus chromanol (Combs
1998)(Mustacich, Bruno, Traber 2007).
Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak dalam sel. Berada pada
bagian lemak dalam membran sel, melindungi fosfolipid unsaturated (tak jenuh)
dalam membran dari degradasi oksidatif terhadap oksigen reaktif spesies yang
tinggi dan radikal bebas yang lain. Vitamin E mempunyai kemampuan untuk
mengurangi radikal bebas menjadi metabolit yang tidak berbahaya dengan
memberikan gugus hidrogennya. Vitamin E dikenal sebagai komponen penting
dari sistem pertahanan antioksidan seluler, yang melibatkan enzim-enzim seperti
superoksida dismutase (SODs), glutation peroksidase (GPXs), glutation reduktase
(GR), katalase, tioredoksin reduktase (TR), dan faktor-faktor non enzim (misalnya
glutation, asam urat), yang mana banyak tergantung pada zat gizi esensial
(Gallagher 2004). Vitamin E berperan sebagai antioksidan biologis dengan fungsi
pentingnya memelihara integritas membran semua sel dalam tubuh. Fungsi
antioksidan ini meliputi reduksi radikal bebas, perlindungan terhadap reaksi-
reaksi yang berpotensial merusak seperti Spesies oksigen reaktif/SOR (Combs
1998). Defisiensi vitamin E pada beberapa hewan uji dapat mengakibatkan
peningkatan permeabilitas membran kapiler, peningkatan jumlah dan agregasi
trombosit, pada manusia dapat menimbulkan fragilitas eritrosit, penurunan jumlah
eritrosit, serta anemia. (Combs 1998).
Berbagai tanda defisiensi vitamin E ini merupakan akibat adanya disfungsi
membran disebabkan degradasi oksidatif dari membran fosfolipid
polyunsaturated (peroksidasi lipid) dan/atau terganggunya proses seluler penting
yang lain, sehingga menyebabkan kerusakan sel dan nekrosis (Combs 1998;
Gallagher 2004).
2.6 Pseudomonas fluorescens
Menurut Roberts (1982), bakteri-bakteri yang sering menyerang pada ikan
air tawar adalah bakteri dari genus Aeromonas dan Pseudomonas yang dapat
menyebabkan penyakit yang disebut haemorrhagic septicemia. Spesies
Aeromonas yang patogen pada ikan air tawar adalah Aeromonas hydrophila,
sedangkan dari Pseudomonas adalah Pseudomonas fluorescens.
Pseudomonas memiliki sifat fluorescent, bergerak dan mudah beradaptasi
pada lingkungan yang mendukung. Menurut Bergey’s Manual of Systematic
Bacteriology, genus ini memiliki lebih dari 40 spesies di antaranya P. aeruginosa,
P. fluorescens, P. putida, P. chlororaphis, P. cichorii, P. viridiflava dan P.
syringae (Buckle et al. 1985).
Holt et al. (1994) mengatakan bahwa bakteri ini berbentuk batang lurus
atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0.5-0.1 1μm x 1.5-4.0 μm, tidak membentuk
spora dan bereaksi negatif terhadap pewarnaan Gram, aerob, menggunakan H2
atau karbon sebagai energinya, kebanyakan tidak dapat tumbuh dalam kondisi
asam (pH 4,5), memproduksi pigmen fluorescent, dan berkembang biak di tanah
dan air. Taksonomi Pseudomonas flourescens menurut
http://www.bacterio.cict.fr/classifphyla.html adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Pseudomonadales Family : Pseudomonadaceae Genus : Pseudomonas Spesies : Pseudomonas fluorescens
Gambar 2. Pseudomonas fluorescens(Sumber: http://www.buzzle.com/articles/pseudomonas-fluorescens.html)
Menurut Bradbury (1986) dalam Supriadi (2006), P. flourescens termasuk
kedalam bakteri yang dapat hidup dimana saja (ubiquitous), seringkali ditemukan
pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar), sisa tanaman yang membusuk,
tanah serta air. P. flourescens memiliki kemampuan menghasilkan pigmen
pyoverdin dan atau fenazin pada medium King’s B (medium agar yang paling
cocok dalam pertumbuhan bakteri P. fluorescens) sehingga terlihat berpijar bila
terkena sinar UV.
Penelitian yang dilakukan Omprakasam dan Manohar (1991)
menunjukkan bahwa dengan penyuntikan P. flourescens pada ikan cichlid
sebanyak 0,2 ml (2.8 x 10 cfu) telah memperlihatkan gejala klinis selama kurun
waktu 24-48 jam seperti kerusakan pada sirip dan kulit, ekor yang membusuk,
hingga perut kembung (dropsy) serta pendarahan dan mengalami kematian pada
hari ke-8 hingga hari ke-10, sedangkan dalam penelitian Wiklund dan Bylund
(1990) penggunaan bakteri P. angui1liseptica yang disuntikkan pada ikan
salmonid sebanyak 0,1 ml (0.6 x 10 cfu) mengakibatkan kematian pada hari ke-7
hingga hari ke-9 dengan gejala klinis seprti kerusakan kulit, ekor yang membusuk,
dropsy dan pendarahan.
2.7 Pseudomoniasis
Pseudomoniasis merupakan penyakit infeksi berbahaya pada ikan
khususnya ikan air tawar yang dapat berakibat kematian yang tinggi karena
penyakit ini menular dalam waktu cepat bila kondisi perairan memburuk (Roberts
1982).
Pseudomoniasis dapat disebabkan oleh bakteri Pseudomonas fluorescens
dan Pseudomonas putida. Penularan dan penyebaran penyakit Pseudomoniasis
melalui kontak langsung dengan ikan yang sakit atau dengan lingkungan yang
tercemar (Roberts 1982).
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya serta Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan 2010 gejala
klinis pada ikan lele yang terserang Pseudomonas fluorescens adalah sebagai
berikut:
1. Ikan lemah bergerak lambat. bernafas megap-megap di permukaan air.
2. Warna insang pucat dan warna tubuh berubah gelap.
3. Terdapat bercak-bercak merah pada bagian luar tubuhnya dan kerusakan pada
sirip, insang dan kulit.
4. Mula-mula lendir berlebihan, kemudian timbul perdarahan.
5. Sirip dan ekor rontok (membusuk).
6. Perdarahan, perut ikan menjadi kembung yang dikenal dengan dropsy
(Gambar 3).
(a) Ekor Ikan Lele yang Membusuk (b) Kerusakan Kulit dan Sirip Rontok
Gambar 3. Gejala Klinis Pada Ikan Lele yang Terserang Pseudomonas fluorescens
(Sumber: http://hobiikan.blogspot.com)