bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 model...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Suprihatiningrum (2013:191) pembelajaran kooperatif atau
cooperative learning mengacu pada metode pembelajaran yang mana siswa
bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Siswa
dapat saling membantu dalam memahami materi, atau berdiskusi membahas suatu
permasalahan atau fenomena yang sedang terjadi. Pembelajaran yang seperti ini
akan membuat kemampuan sosial siswa meningkat, karena untuk mencapai tujuan
belajar siswa bisa bekerja sama dengan teman kelompoknya. Sedangkan Slavin
(2010:4) mengemukakan:
Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode
pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil
untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi
pelajaran. Dalam kelas kooperatif para siswa diharapkan dapat saling
membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi untuk mengasah
pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan
dalam pemahaman masing-masing
Lebih lanjut Slavin mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran yang menekankan pada pembagian siswa kedalam
kelompok-kelompok kecil untuk tujuan tertentu. Kelompok-kelompok kecil yang
terbentuk terdiri dari siswa yang heterogen. Setiap anggota dalam kelompok
heterogen mendapatkan tugas kelompok, dalam menyelesaikan tugas kelompok
tersebut. Setiap anggota harus saling bekerjasama dan membantu untuk
memahami suatu materi maupun bahan pembelajaran. Proses pembelajaran
kooperatif memiliki ciri khusus dalam pembelajarannya yaitu lebih menekankan
pada proses kerjasama dalam kelompok dan bagaimana siswa saling bertukar
informasi.
Menurut Rusman (2010:203) pembelajaran kooperatif adalah strategi
pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam suatu kelompok kecil
untuk saling berinteraksi. Isjoni (2011:14) berpendapat bahwa pembelajaran
9
kooperatif yaitu pembelajaran dengan strategi kelompok dengan anggota
kelompok kecil dengan kemampuan yang berbeda-beda, dimana setiap anggota
bertanggung jawab atas anggota lainnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sedangkan menurut Suprijono (2012:54) pembelajaran kooperatif
adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk
bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Ketiga
pendapat ahli diatas memiliki inti yang hampir sama karena sama-sama
berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang
dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, anggota yang heterogen dan
melibatkan partisipasi siswa. Kelompok dalam pembelajaran kooperatif biasanya
hanya beranggotakan 4-6 orang, anggotanya pun heterogen dalam arti memiliki
kemampuan yang berbeda-beda serta melibatkan partisipasi siswa dalam
pembelajaran yang artinya siswa tidak hanya pasif mendengarkan penjelasan dari
guru.
Menurut Roger dan David Johnson (Lie, 2004:31) tidak semua kerja
kelompok bisa dianggap Cooperative Learning. Untuk mencapai hasil yang
maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan,
selengkapnya dijabarkan sebagai berikut :
a. Saling ketergantungan positif
Faktor keberhasilan dalam suatu kelompok bergantung pada keberhasilan
individu, sehingga terdapat kesinambungan dalam mencapai tujuan
bersama. Guru menyusun dengan jelas kegiatan yang dirancang sehingga
anggota kelompok dapat menyelesaikan tugasnya sendiri untuk mencapai
tujuan bersama. Evaluasi yang dilakukan guru secara menyeluruh
sehingga anggota kelompok dapat memberikan kontribusi pada
kelompok secara merata dan termotivasi untuk meningkatkan usaha
dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian sisw ayang kurang
b. Tanggungjawab perseorangan
Setiap individu memiliki tanggung jawab dalam memberikan usaha yang
terbaik untuk mencapai tujuan bersama. Jika setiap anggota kelompok
mempunyai kemauan untuk memberikan yang terbaik bagi kelompoknya,
10
maka mereka akan bekerja keras untuk mencapai tujuan bersama. Jika
salah satu anggota kelompok tidak melaksanakan tugasnya, maka
kelompok itu tidak akan mencapai tujuan bersama.
c. Interaksi personal
Dalam pembelajaran kooperatif, interaksi pesonal adalah unsur
terpenting. Interaksi sosial membutuhkan komunikasi antar anggota.
Dengan adanya komunikasi antar anggota maka akan timbul sinergi yang
dapat memberikan keuntungan bagi kelompok. Adanya sinergi dalam
kelompok akan membuat tiap anggota kelompok akan dapat saling
menghargai perbedaan, hal itu berdampak bagi tiap anggota untuk
memanfaatkan semaksimal mungkin kelebihan dari masing-masing
anggota kelompok dan saling mengisi kekurangan masing-masing.
Pemikiran masing-masing anggota kelompok akan memperkaya hasil
pemikiran sehingga dapat menyelesaikan masalah.
d. Keahlian kerjasama
Komunikasi sangat penting dalam keahlian kerjasama. Setiap anggota
kelompok saling mengutarakan pendapatnya kemudian menyatukannya
sehingga menjadi suatu hasil. Hal ini juga akan melatih mereka untuk
belajar mendengarkan ketika orang lain berbicara, menghargai pendapat
orang lain, dan belajar menyampaikan pendapat tanpa menyinggung
perasaan orang lain.
e. Evaluasi proses kelompok
Guru menjadwalkan waktu secara khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok untuk mengevaluasi proses kerja
kelompok dan hasil dari kerja kelompok, sehingga bisa bekerja sama
dengan lebih efektif.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif merupakan desain pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok-
kelompok kecil yang heterogen dimana setiap anggota kelompok harus memiliki
kesadaran dan tanggung jawab untuk bekerjasama demi keberhasilan
11
kelompoknya dan untuk membangun pengetahuan bersama-sama melalui interaksi
yang terjadi didalam kelompok.
2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament
Model pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament merupakan
salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh
Slavin. Menurut Slavin (2010:163) Team Game Tournament (TGT) merupakan
turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan
individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota
tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka.
Suprihatiningrum (2013:210) berpendapat bahwa pembelajaran TGT
menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6
orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang
berbeda. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah suatu pembelajaran yang menempatkan
siswa kedalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki kemampuan, jenis
kelamin dan suku atau ras yang berbeda untuk mengikuti turnamen akademik
melawan anggota tim lain yang kemampuan akademiknya setara, menjawab kuis
dan untuk bekerja sama mencapai tujuan tim mereka. Ada beberapa unsur penting
dalam TGT yaitu turnamen, kuis serta siswa yang satu melawan siswa perwakilan
dari kelompok lain yang kemampuan akademiknya setara. Hal ini berarti setiap
anggota kelompok harus bekerjasama untuk memperoleh skor dalam turnamen
dengan menjawab kuis bersama lawan yang seimbang, sehingga siswa yang
kemampuan akademiknya rendah sekalipun memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh skor.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Slavin, 2010:166-167) tercermin kedalam 5 prinsip berikut :
a. Presentasi Kelas
Pelaksanaan prinsip presentasi kelas ini dimulai dengan memperkenalkan
materi pembelajaran yang diberikan secara langsung atau
mendiskusikannya didalam kelas. Guru dalam hal ini berperan sebagai
12
fasilitator. Pembelajaran yang dilakukan mengacu pada apa yang
disampaikan oleh guru agar nantinya dapat membantu siswa dalam
mengikuti game / tournament.
b. Team (Kelompok)
Kelompok haruslah heterogen berdasarkan kemampuan akademiknya
dan jenis kelamin, jika memungkinkan berdasarkan suku, ras atau kelas
sosial. Tujuan utama pembentukan kelompok adalah untuk meyakinkan
siswa bahwa semua anggota kelompok belajar dan semua anggota
mempersiapkan diri untuk mengikuti game dan tournament dengan
sebaik-baiknya. Diharapkan tiap anggota kelompok melakukan yang
terbaik untuk kelompoknya dan berusaha semaksimal mungkin untuk
membantu anggota kelompoknya sehingga dapat meningkatkan
kemampuan akademik dan menumbuhkan pentingnya kerjasama diantara
siswa serta meningkatkan rasa percaya diri.
c. Game (Permainan)
Permainan (game) dibuat dengan isi pertanyaaan-pertanyaan untuk
mengetes pengetahuan siswa yang didapat dari presentasi kelas dan
latihan kelompok. Game dimainkan dengan meja berisi tiga murid yang
diwakili tiga kelompok yang berbeda. Siswa mengambil kartu bernomor
dan berusaha untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan nomor.
Aturannya memperbolehkan pemain untuk menantang jawaban yang
lain.
d. Tournament (Kompetisi)
Biasanya tournamen diselenggarakan akhir minggu, setelah guru
membuat presentasi kelas dan kelompok-kelompok mempraktikan tugas-
tugasnya. Turnamen yang pertama guru mengelompokan siswa dengan
kemampuan serupa yang mewakili tiap timnya. Kompetisi ini juga
memungkinkan bagi siswa dari semua level di penampilan sebelumnya
untuk memaksimalkan nilai kelompok mereka menjadi terbaik.
13
e. Penghargaan Kelompok (Rekognisi Tim)
Setelah mengikuti game dan tournament, setiap kelompok akan
memperoleh poin. Rata-rata poin kelompok yang diperoleh dari game
dan tournament akan digunakaan sebagai penentu penghargaan
kelompok. Jenis penghargaan sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan. Penghargaan kelompok dapat berupa hadiah, sertifikat dan
sebagainya.
TEAM A
TEAM B TEAM C
Penempatan pada Meja Turnamen
Keterangan:
MT 1, MT 2, MT 3, MT 4 : Meja Turnamen
A-1, B-1, C-1 : Siswa berkemampuan akademik tinggi
A-2, B-2, C-2 : Siswa berkemampuan akademik sedang
A-3, B-3, C-3 : Siswa berkemampuan akademik sedang
A-4, B-4, C-4 : Siswa berkemampuan akademik rendah
Sebelum melakukan turnamen terlebih dahulu guru memberikan materi
pembelajaran di kelas, siswa dibentuk dalam kelompok yang terdiri dari 4 – 5
A-1 A-2 A-3 A-4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
B-1 B-2 B-3 B-4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
C-1 C-2 C-3 C-4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
MT
1
MT
2
MT
3
MT
4
14
anggota secara heterogen berdasarkan kemampuan akademik siswa yang
ditempatkan pada meja – meja turnamen. Dalam meja turnamen tersebut sudah
disiapkan alat-alat permainan yang dilengkapi dengan pertanyaan, jawaban, kartu
permainan bernomor dan lembar skor. Turnamen dilakukan memungkinkan siswa
dari semua tingkat kemampuan menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Bagi
kelompok yang menyumbangkan poin terbanyak akan diberikan penghargaan.
Selain prinsip model pembelajaran Kooperatif tipe TGT yang
dikemukakan oleh Slavin diatas, Silberman (2004:181) juga mengemukakan
tahapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan versi yang lebih sederhana
namun lebih terperinci, sebagai berikut :
a. Bagilah siswa menjadi sejumlah tim beranggotakan 2-8 siswa. Pastikan
bahwa tim memiliki jumlah anggota yang sama atau hampir sama.
b. Berikan materi kepada tim untuk dipelajari bersama anggota tim yang
lain.
c. Buatlah beberapa pertanyaan yang menguji pemahaman dan atau
ingatan siswa akan materi pelajaran. Usahakan memudahkan penilaian
sendiri, misalnya pilihan ganda, mengisi titik-titik, benar salah, atau
definisi istilah.
d. Berikan sebagian pertanyaan kepada siswa. Sebutlah ini sebagai “ronde
satu” dari turnamen belajar. Tiap siswa harus menjawab pertanyaan
secara perseorangan.
e. Setelah pertanyaan diajukan sediakan jawabannya dan perintahkan
siswa untuk menghitung jumlah pertanyaan yang mereka jawab benar.
Selanjutnya perintahkan mereka untuk menyatukan skor mereka dengan
tiap anggota tim mereka untuk mendapat skor tim. Umumkan skor tiap
tim.
f. Perintahkan siswa untuk belajar lagi untuk ronde kedua dalam
turnamen. Kemudian ajukan pertanyaan tes lagi sebagai bagian dari
“ronde kedua”. Perintahkan tim untuk sekali lagi menggabungkan skor
mereka dan menambahkannya ke skor mereka di ronde pertama.
15
g. Guru bisa membuat ronde sebanyak yang guru mau, namun pastikan
untuk memberi kesempatan tim untuk menjalani sesi belajar antar
masing-masing ronde.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai tahapan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT diatas dapat disimpulkan tahapan pembelajaran Kooperatif
tipe TGT pada awal, inti dan akhir penelitian adalah sebagai berikut :
1) Guru membagikan materi yang akan dipelajari siswa, dan
membimbing siswa dalam kegiatan tanya jawab tentang materi yang
akan dipelajari siswa.
2) Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok kecil yang
heterogen.
3) Siapkan pertanyaan untuk di diskusikan siswa bersama kelompoknya.
4) Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil
diskusinya bersama kelompok.
5) Guru mengajak siswa untuk melakukan permainan sebagai permulaan
sebelum turnamen.
6) Siapkan turnamen “Ronde Satu” beserta daftar pertanyaannya kedalam
kartu-kartu pertanyaan.
7) Turnamen “Ronde Satu” diikuti oleh seluruh anggota kelompok secara
bergantian melawan anggota kelompok lain yang kemampuan
akademiknya setara.
8) Jika seluruh anggota sudah bertanding maka hitunglah skor yang
diperoleh kelompok dengan cara menjumlahkan poin-poin berdasarkan
jumlah jawaban benar dari pertanyaan yang diajukan.
9) Berikan kesempatan kepada kelompok untuk berdiskusi membahas
kelemahan kelompok mereka dan untuk belajar bersama supaya pada
ronde selanjutnya kelompok mereka mendapat poin yang lebih banyak
10) Siapkan turnamen “Ronde Dua” beserta daftar pertanyaannya kedalam
kartu-kartu pertanyaan.
16
11) Turnamen “Ronde Dua” diikuti oleh seluruh anggota kelompok secara
bergantian melawan anggota kelompok lain yang kemampuan
akademiknya setara.
12) Jika seluruh anggota sudah bertanding maka hitunglah skor yang
diperoleh kelompok dengan cara menjumlahkan poin-poin berdasarkan
jumlah jawaban benar dari pertanyaan yang diajukan ditambah lagi
dengan hasil perolehan poin pada ronde pertama.
13) Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat poin
tertinggi.
Terlihat dalam tahapan pembelajarannya bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TGT ini memiliki desain pembelajaran yang menarik dan
membutuhkan aktifitas siswa. Selain itu dalam pembelajaran TGT juga sangat
mengandalkan kerjasama tim dimana yang pintar membantu yang kurang pintar
untuk memperoleh poin bagi tim mereka. Diharapkan dengan pembelajaran
kooperatif tipe TGT ini dapat lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar dan
keaktifan siswa.
2.1.3 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Team Game Tournament
Model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game Tournament) ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana (Windarti, 2013:24)
yang merupakan kelebihan dan manfaat dari model pembelajaran kooperatif tipe
TGT antara lain:
1. Lebih meningkatkan pencurahan waktu pada tugas
2. Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu
3. Siswa dapat menguasai materi secara mendalam
4. Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa
5. Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain
6. Motivasi belajar lebih tinggi
7. Hasil belajar lebih baik
8. Meningkatkan kebaikan budi kepekaan dan toleransi
17
Namun model pembelajaran kooperatif tipe TGT juga memiliki kelemahan
sebagai berikut :
1. Bagi Guru
a. Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen
dari segi akademis. Kelemahan ini dapat diatasi jika guru bertindak
sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok.
b. Waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga
melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika
guru menguasai kelas secara menyeluruh.
2. Bagi Siswa
a. Masih adanya siswa berkemampuan tinggi yang kurang terbiasa dan sulit
memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi
kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang
mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu
menularkan pengetahuannya kepada siswa yang lain
b. Pada setiap pembagian kelompok biasanya siswa ribut sehingga kelas
tidak dapat dikondisikan.
2.1.4 Pembelajaran Konvensional
Dalam dunia pendidikan terdapat istilah yang tidak asing lagi, yaitu
pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional sering kali disebut
sebagai pembelajaran tradisional. Suyitno dalam Puspitasari (2012:20)
mengemukakan bahwa metode konvensional adalah cara menyampaikan
pembelajaran dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara
berbicara diawal pembelajaran, menerangkan materi dan contoh soal.
Susanto (2013:192) mengungkapkan bahwa model pembelajaran
konvensional biasanya lebih menekankan pada latihan pengerjaan soal atau drill,
prosedural dan banyak menggunakan rumus dan algoritme sehingga siswa dilatih
mengerjakan soal seperti mekanik atau mesin. Lebih lanjut Susanto juga
menyatakan bahwa dalam pembelajaran konvensional siswa cenderung menyimak
penjelasan gurunya dalam memberikan contoh dan menyelesaikan soal-soal di
18
papan tulis, kemudian meminta siswa bekerja sendiri dalam buku teks atau lembar
kerja siswa yang telah disediakan.
Berdasarkan definisi metode konvensional yang disebutkan oleh Suyitno,
dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran pada metode konvensional
bersifat teacher-centered, atau terpusat pada guru. Guru lebih mendominasi dalam
pembelajaran, sehingga guru lebih banyak berbicara, dan siswa sebagai pendengar
/ sebagai penerima informasi. Hanafiah (Puspitasari, 2012:20) menyebutkan
bahwa guru yang menggunakan metode konvensional dalam pembelajaran
menyusun materi pelajaran secara hirearkis dan sistematis, hal ini berakibat guru
yang menerangkan dan siswa hanya menerima.
Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai pembelajaran konvensional
diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pembelajaran konvensional adalah
suatu kegiatan pembelajaran dimana guru lebih aktif dan siswa hanya pasif
menerima penjelasan dari guru lalu dilanjutkan dengan mengerjakan soal latihan.
Kegiatan dalam pembelajaran konvensional siswa tidak diberi keleluasaan untuk
aktif, siswa mendapatkan kesempatan untuk berbicara ketika bertanya tentang
materi yang belum diketahui. Selebihnya siswa akan diberi latihan soal dari guru
jika materi pelajaran telah selesai disampaikan oleh guru.
2.1.5 Hasil Belajar
Menurut Gagne (Suprijono, 2012:2) belajar adalah perubahan disposisi
atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi
tersebut bukan diperoleh secara langsung dari proses pertumbuhan seseorang
secara alamiah. Sedangkan menurut Sudjana (2011:22) yang dimaksud dengan
hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya. Kedua pendapat diatas saling berkaitan, belajar
adalah sebuah proses yang menghasilkan perubahan disposisi atau kemampuan
melalui aktivitas yang dilakukan pada saat menerima pengalaman belajar, dan
hasil dari proses inilah yang disebut dengan hasil belajar.
Sejalan dengan pendapat dari Sudjana, Arikunto (2009) menyatakan
bahwa hasil belajar adalah hasil akhir setelah mengalami proses belajar,
19
perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diamati dan dapat diukur.
Gagne dan Briggs (Suprihatiningrum, 2013:37) juga mengungkapkan
pendapatnya bahwa yang dimaksud hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui
penampilan siswa (Learner’s Performance). Suatu proses belajar akan
memberikan suatu hasil dalam diri peserta didik baik dalam perubahan perilaku
maupun dalam kemampuannya. Perubahan ini dapat diamati melalui penglihatan
dan dapat diukur melalui kegiatan evaluasi hasil belajar. Perubahan perbuatan
yang dapat dikategorikan sebagai hasil dari proses belajar misalnya dari belum
tahu menjadi tahu, dari yang belum mengerti menjadi mampu menjelaskan
sesuatu dengan tepat, dari yang awalnya berperilaku kurang baik menjadi lebih
sopan dan mampu menghargai dan sebagainya.
Menurut Suprijono (2012:5) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,
nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Lebih
lanjut Suprijono (2012:7) mengungkapkan bahwa hasil belajar adalah perubahan
perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan
saja. Perubahan perilaku sebagai hasil dari proses belajar mencakup tiga aspek
yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif mencakup
pengetahuan, pemahaman, menerapkan, menguraikan, mengorganisasikan dan
mengevaluasi atau menilai. Aspek afektif misalnya sikap menerima, memberikan
respon, dan nilai-nilai. Aspek psikomotorik meliputi keterampilan, sikap-sikap
dan perbuatan.
Menurut Sudjana (2011) hasil belajar yang dicapai siswa melalui proses
belajar mengajar yang optimal ditunjukan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi
belajar intrinsik pada diri siswa. Siswa tidak mengeluh dengan
prestasi yang rendah dan ia akan berjuang lebih keras untuk
memperbaikinya atau setidaknya mempertahankan apa yang
telah dicapai.
2) Menambah keyakinan dan kemampuan dirinya, artinya ia tahu
kemampuan dirinya dan percaya bahwa ia mempunyai potensi
yang tidak kalah dari orang lain apabila ia berusaha
sebagaimana mestinya
20
3) Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya, akan tahan
lama diingat, membentuk perilaku, bermanfaat untuk
mempelajari aspek lain, kemauan dan kemampuan untuk belajar
sendiri dan mengembangkan kreativitasnya.
4) Hasil belajar yang diperoleh siswa secara menyeluruh, yakni
mencakup ranah kognitif, pengetahuan atau wawasan, ranah
afektif dan ranah psikomotorik, keterampilanatau perilaku.
5) Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan
mengendalikan diri terutama dalam menilai hasil yang
dicapainya maupun menilai dan mengendalikan proses dan
usaha belajar.
Gagne (Suprijono, 2012:5) mengungkapkan ada lima kategori hasil
belajar. Kategori hasil belajar tersebut yakni informasi verbal, kecakapan
intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom
(Suprijono, 2012:6) mengungkapkan hasil belajar mencakup kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotorik. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dapat
diamati, dapat diukur dan harus dimiliki oleh peserta didik setelah menerima
pengalaman belajar yang mencakup kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik.
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Moh. Uzer umar dan Lilis setyowati (Iriyanti, 2012:23) mengemukakan
faktor–faktor yang menentukan pencapaian hasil belajar sebagai berikut :
1. Faktor internal (yang berasal dari dalam diri)
a) Faktor jasmani yang bersifat bawaan maupun yang
diperoleh, yaitu panca indra yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya seperti mengalami sakit cacat tubuh
atau perkembangan tidak sempurna.
b) Faktor psikologis baik bersifat bawaan maupun diperoleh
yaitu sebagai berikut :
1) Faktor intelektif yang meliputi faktor potensial yaitu
kecerdasan dan bakat serta faktor kecakapan nyata yaitu
prestasi yang dimiliki.
21
2) Faktor intelektif yaitu unsur – unsur kepribadian tertentu
seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi,
emosi, dan penyesuaian diri.
c) Faktor kematangan fisik maupun psikis
2. Faktor eksternal (yang berasal dari luar diri).
a) Faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, masyarakat, dan lingkungan kelompok.
b) Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian.
c) Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah dan fasilitas
belajar.
d) Faktor lingkungan spirirtual dan keagamaan.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi hasil belajar seseorang yaitu ada faktor internal yang
berasal dari dalam diri individu dan faktor eksternal yang berasal dari luar
individu. Faktor Internal antara lain faktor jasmani, faktor psikologis, dan faktor
kematangan fisik maupun psikis. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
hasil belajar siswa antara lain faktor sosial, faktor budaya, faktor lingkungan fisik
dan faktir lingkungan spiritual.
2.1.7 Keaktifan Siswa
Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas
dan kreatifitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.
Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan
proses pembelajaran. Menurut Rosyada (Riadi, 2012) pembelajaran aktif adalah
belajar yang memperbanyak aktivitas siswa dalam mengakses berbagai informasi
dari berbagai sumber, untuk dibahas dalam proses pembelajaran dalam kelas,
sehingga memperoleh berbagai pengalaman yang tidak saja menambah
pengetahuan, tapi juga kemampuan analisis dan sintesis. Siswa harus dilibatkan
dalam proses belajar mengajar sehingga siswa lebih aktif dalam mengikuti
pembelajaran. Siswa diberikan suatu rangsangan untuk memancing semangatnya
sehingga dengan sendirinya siswa akan berusaha mengakses informasi dari
berbagai sumber lalu mendiskusikannya dikelas setelah itu siswa mampu
22
menguraikan pendapatnya dan menarik suatu pemahaman dari kegiatan
belajarnya.
Berbicara mengenai pembelajaran yang aktif tidak akan terlepas dari
pengertian keaktifan itu sendiri. Keaktifan berasal dari kata dasar aktif lalu
memperoleh imbuhan ke-an. Aktif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005:23) berarti giat (bekerja, berusaha) dan keaktifan diartikan sebagai hal atau
keadaan dimana siswa dapat aktif. Pengertian keaktifan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia ini mengindikasikan bahwa siswa dapat dikatakan memiliki
keaktifan apabila dalam pembelajaran siswa giat bekerja dan berusaha, tentu saja
dalam konteks pembelajaran. Pendapat lain mengemukakan bahwa keaktifan
adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir
sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Sardiman, 2011:98). Hal ini
berarti untuk dapat memproses dan mengolah hasil belajarnya secara efektif,
peserta didik dituntut untuk aktif baik dalam kegiatan yang bersifat fisik misalnya
melakukan sesuatu sekaligus dalam kegiatan yang bersifat mental misalnya
memikirkan sesuatu dan menganalisis.
Menurut Rohani (2010:6-7) belajar yang berhasil harus melalui berbagai
macam aktifitas, baik aktifitas fisik maupun psikis. Aktifitas fisik adalah siswa
giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain maupun bekerja, ia
tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang
memiliki aktifitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak–
banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pembelajaran. Aktifitas siswa
yang termasuk kedalam aktifitas psikis misalnya menggunakan logikanya untuk
pemecahan masalah, siswa akan mencari berbagai informasi yang diperlukan
selain itu siswa akan berdiskusi dengan teman kelompoknya atau dengan siswa
lain untuk memperkuat ataupun memperbaiki pendapatnya. Segala pengetahuan
harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan
sendiri, dengan bekerja sendiri dengan fasilitas yang diciptakan sendiri.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa
adalah segala kegiatan siswa yang bersifat fisik maupun non fisik yang diperlukan
23
dalam proses pembelajaran dan berlangsung sebagai satu rangkaian yang tidak
terpisahkan.
2.1.8 Klasifikasi dan Pengukuran Keaktifan Siswa
Menurut Sardiman (2011 : 100–101) keaktifan siswa dalam belajar dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Visual activities
Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen,
demonstrasi, dan mengamati orang lain bekerja.
b) Oral activities
Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu
kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran,
mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
c) Listening activities
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau
diskusi kelompok, mendengarkan musik, pidato.
d) Writing activities
Menulis cerita, menulis laporan, karangan, angket, menyalin.
e) Drawing activities
Menggambar, membuat grafik, diagram, peta.
f) Motor activities
Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan
pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan,
menari dan berkebun.
g) Mental activities
Merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis
faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat
keputusan.
h) Emotional activities
Minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan keaktifan siswa dapat
dikelompokan menjadi aktivitas yang bersifat memperhatikan, mengucapkan,
mendengarkan, menulis, menggambar, melakukan, menanggapi dan aktivitas yang
bersifat emosional. Sedangkan keaktifan siswa itu sendiri nampak dalam
perbuatannya yaitu mau bekerja sama, keterlibatanya dalam tugas, bertanya, mau
mencari informasi, mau berdiskusi, mampu mengevaluasi dirinya dan temannya
serta mau melatih diri dan menerapkan apa yg dipelajarinya.
24
Salah satu penilaian proses pembelajaran adalah melihat sejauh mana
keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Jamal Ma’mur Asmani
(2012:81-83) mengungkapkan bahwa suatu kegiatan pembelajaran dapat
dikatakan merupakan kegiatan belajar aktif apabila guru dan siswa sama-sama
beraktifitas pada saat kegiatan berlangsung. Aktifitas tersebut terbagi kedalam
empat komponen sebagai berikut:
1. Pengalaman
Kegiatan siswa yang tergolong dalam komponen pengalaman antara lain
melakukan pengamatan, melakukan percobaan, membaca, melakukan
wawancara, menghitung, mengukur, membuat sesuatu. Sedangkan kegiatan
guru antara lain membuat kegiatan yang beragam, mengamati siswa bekerja,
sesekali mengajukan pertanyaan yang menantang.
2. Interaksi
Kegiatan siswa yang tergolong dalam komponen interaksi antara lain
berdiskusi, mengajukan pertanyaan, meminta pendapat orang lain, dan
bekerja dalam kelompok. Sedangkan kegiatan guru antara lain mendengarkan
dan sesekali mengajukan pertanyaan yang menantang; mendengarkan, tidak
menertawakan dan memberi kesempatan terlebih dahulu kepada siswa lain
untuk menjawab; berkeliling ke kelompok, sesekali duduk bersama
kelompok, mendengarkan perbincangan kelompok dan sesekali memberikan
komentar pertanyaan yang menantang.
3. Komunikasi
Kegiatan siswa yang tergolong dalam komponen komunikasi antara lain
memperhatikan atau memberi komentar atau pertanyaan yang menantang,
menceritakan, mendengarkan atau memberi komentar atau mempertanyakan,
melaporkan secara lisan atau tertulis, dan mengemukakan pikiran atau
pendapat. Sedangkan kegiatan guru antara lain mendemonstrasikan atau
mempertunjukan, menjelaskan, berbicara, bercerita, tidak menertawakan,
memajang hasil karya, memantau agar pajangan dapat dibaca semua siswa.
25
4. Refleksi
Kegiatan siswa yang tergolong dalam komponen refleksi adalah memikirkan
hasil kerja atau pikiran sendiri. Sedangkan kegiatan guru antara lain
mempertanyakan dan meminta siswa lain untuk memberikan
komentar/pendapat.
Pendapat dari Jamal Ma’mur Asmani diatas dapat dijadikan sebagai acuan
untuk mengukur seberapa besar keaktifan siswa selama mengikuti proses
pembelajaran. Kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
mengenai keaktifan siswa, maka komponen dan kegiatan yang akan digunakan
sebagai indikator penilaian keaktifan siswa dalam penelitian ini disesuaikan
dengan materi pembelajaran yang digunakan sebagai bahan uji coba. Adapun
indikator keaktifan siswa yang dipakai dalam penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
1. Komponen Pengalaman
Pengalaman didapat setelah siswa mengalami, dalam hal mengalami siswa
banyak belajar melalui berbuat dan pengalaman langsung dengan
mengaktifkan banyak indra. Kegiatan siswa yang tergolong dalam komponen
pengalaman dalam penelitian ini antara lain :
a. Melakukan pengamatan
b. Membaca
c. Menghitung
2. Komponen Interaksi
Interaksi antara siswa dengan guru atau siswa dengan siswa lain perlu untuk
selalu dijaga, dengan interaksi pembelajaran menjadi lebih hidup dan
menarik. Kegiatan siswa yang tergolong dalam komponen interaksi dalam
penelitian ini antara lain :
a. Berdiskusi
b. Mengajukan pertanyaan
c. Meminta pendapat orang lain
d. Bekerja dalam kelompok
26
3. Komponen Komunikasi
Jika sebelumnya telah dibahas mengenai komponen interaksi maka tidak
dapat terlepas dari komponen komunikasi karena salah satu cara untuk
berinteraksi adalah dengan berkomunikasi. Kegiatan siswa yang tergolong
dalam komponen komunikasi dalam penelitian ini antara lain :
a. Memperhatikan
b. Memberi komentar
c. Menceritakan
d. Melaporkan secara lisan atau tertulis
e. Mengemukakan pikiran atau pendapat
4. Komponen Refleksi
Refleksi berarti memikirkan kembali apa yang diperbuat/dipikirkan. Melalui
kegiatan refleksi ini siswa dapat menemukan pembaharuan atau pembetulan
dari pandangan dan pikirannya. Kegiatan siswa yang tergolong dalam
komponen refleksi dalam penelitian ini adalah memikirkan kembali hasil
kerja atau pikiran sendiri.
2.1.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keaktifan
Keaktifan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gagne dan Briggs (Yamin,
2007:84) menjelaskan rangkaian kegiatan pembelajaran didalam kelas yang dapat
mempengaruhi keaktifan siswa antara lain :
1. Memberikan motivasi atau menarik perhatian peserta didik, sehingga
mereka berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran;
2. Menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar kepada peserta
didik);
3. Mengingatkan kompetensi belajar kepada peserta didik;
4. Memberikan stimulus (masalah, topik, dan konsep yang akan dipelajari);
5. Memberikan petunjuk kepada peserta didik cara mempelajari;
6. Memunculkan aktifitas, partisipasi peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran;
7. Memberikan umpan balik (feedback);
27
8. Melakukan tagihan-tagihan kepada peserta didik berupa tes sehingga
kemampuan peserta didik selalu terpantau dan terukur;
9. Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran.
Selain pendapat yang dikemukakan oleh Gagne dan Briggs, keaktifan
siswa juga dapat ditingkatkan dan diperbaiki pada saat belajar. Seperti dijelaskan
oleh Moh. Uzer Usman (2010:26-27) cara untuk memperbaiki keterlibatan siswa
diantaranya yaitu abadikan waktu yang lebih banyak untuk kegiatan belajar
mengajar, tingkatkan partisipasi siswa secara efektif dalam kegiatan belajar
mengajar, serta berikanlah pengajaran yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan
mengajar yang akan dicapai. Selain memperbaiki keterliban siswa juga dijelaskan
cara meningkatkan keterlibatan siswa atau keaktifan siswa dalam belajar. Cara
meningkatkan keterlibatan atau keaktifan siswa dalam belajar adalah mengenali
dan membantu anak-anak yang kurang terlibat dan menyelidiki penyebabnya dan
usaha apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keaktifan siswa, sesuaikan
pengajaran dengan kebutuhan-kebutuhan individual siswa. Hal ini sangat penting
untuk meningkatkan usaha dan keinginan siswa untuk berfikir secara aktif dalam
kegiatan belajar.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keaktifan
siswa dalam pembelajaran dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti
tindakan guru dalam menarik atau memberikan motivasi kepada siswa untuk
berperan serta dalam kegiatan pembelajaran dan keaktifan juga dapat
ditingkatkan, salah satu cara meningkatkan keaktifan yaitu dengan mengenali
keadaan siswa yang kurang terlibat dalam proses pembelajaran.
2.1.10 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka
konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi
simbol-simbol itu (Susanto, 2013:183). Konsep dalam matematika misalnya
konsep keliling, sebelum siswa menggunakan simbol-simbol dalam rumus
keliling siswa harus paham terlebih dahulu bahwa yang dimaksud keliling
28
merupakan penjumlahan dari panjang sisi-sisinya. Sedangkan menurut Corey
(Susanto, 2013:186) yang dimaksud dengan pembelajaran adalah suatu proses
dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia
turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau
menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Penjelasan tersebut menegaskan
bahwa pembelajaran melibatkan kegiatan memanipulasi lingkungan seseorang
tujuannya adalah untuk memperlancar proses belajar dari orang tersebut.
Memanipulasi lingkungan dapat dilakukan dengan membuat ruang kelas menjadi
nyaman bagi siswa yang akan belajar, misalnya dengan mengecat ruang kelas
dengan warna-warna yang ceria sehingga menjadikan siswa semangat untuk
belajar
Menurut Gatot (Pangestuti, 2012:25) pembelajaran matematika adalah
proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian
kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang
bahan matematika yang dipelajari. Sementara Susanto (2013:186) berpendapat
bahwa:
“Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang
dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan
kemampuan menkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya
meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika.”
Pembelajaran matematika diberikan diketiga tingkat pendidikan di
Indonesia, yaitu pendidikan dasar (Sekolah Dasar/SD), pendidikan menengah
(Sekolah Menengah Pertama/SMP dan Sekolah Menengah Atas/SMA) yang
artinya pembelajaran matematika perlu diberikan sejak anak mengikuti
pendidikan ditingkat SD. Sejalan dengan pendapat tersebut pemerintah melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dalam Standar Isi
(BSNP, 2006:147) menyebutkan bahwa :
“Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta
didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
29
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu
berubah, tidak pasti, dan kompetitif”
Pemerintah dengan jelas menuangkan harapannya kedalam Standar Isi
bahwa pembelajaran matematika diharapkan dapat diajarkan sejak dini mulai dari
tingkat pendidikan sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir yang logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif.
Berdasarkan hal tersebut seorang guru haruslah memfasilitasi pembelajaran agar
peserta didik dapat memiliki kemampuan berpikir seperti yang diharapkan oleh
pemerintah.
Pembelajaran matematika yang dirancang oleh guru tertuang dalam
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikembangkan sesuai dengan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang ada dalam Standar Isi. Selain
mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, rencana tersebut juga
harus mengacu pada tujuan pembelajaran matematika di SD. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dalam Standar Isi (BSNP, 2006:148)
menyebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
30
Lebih lanjut dalam Standar Isi juga disebutkan bahwa mata pelajaran
Matematika pada satuan pendidikan SD meliputi tiga aspek yaitu Bilangan,
Geometri dan pengukuran dan Pengolahan data. Berdasarkan pernyataan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran matematika bertujuan untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan memahami konsep matematika,
menggunakan penalaran, memecahkan suatu permasalahan matematika,
mengkomunikasikan gagasan serta memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan dalam ruang lingkup Bilangan, Geometri dan
pengukuran dan Pengolahan Data. Ketercapaian tujuan tersebut akan menjadi
indikator keberhasilan pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru.
Apabila tujuan tersebut tidak tercapai atau pun belum tercapai secara maksimal
maka akan menjadi sebuah masalah dalam kegiatan belajar mengajar.
Permasalahan dalam kegiatan belajar mengajar juga dialami di SD Negeri
Cukil 01 seperti yang telah penulis kemukakan di bab I. Penulis melakukan
pengamatan terhadap proses pembelajaran yang berlangsung di kelas IV, ternyata
siswa kurang aktif dan hasil belajar siswa disemester 1 juga kurang memuaskan.
Oleh karena itulah peneliti melakukan penelitian supaya dapat membantu guru
dalam upaya meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa disemester 2.
Kompetensi yang harus dicapai oleh siswa kelas IV disemester 2 telah dijabarkan
oleh pemerintah kedalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dalam Standar Isi
(BSNP, 2006:154) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Matematika kelas IV semester 2 meliputi aspek bilangan dan geometri dan
pengukuran. Aspek bilangan tebagi kedalam 3 Standar Kompetensi, sedangkan
aspek geometri dan pengukuran terbagi kedalam 1 Standar Kompetensi yang
kemudian dijabarkan kembali kedalam Kompetensi Dasar. Secara terperinci
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika kelas IV
semester II dapat dilihat dalam tabel berikut :
31
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika
Kelas IV Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Bilangan
5. Menjumlahkan dan
mengurangkan bilangan
bulat
5.1 Mengurutkan bilangan bulat
5.2 Menjumlahkan bilangan bulat
5.3 Mengurangkan bilangan bulat
5.4 Melakukan operasi hitung campuran
6. Menggunakan pecahan
dalam pemecahan
masalah
6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya
6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan
6.3 Menjumlahkan pecahan
6.4 Mengurangkan pecahan
6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan pecahan
7. Menggunakan lambang
bilangan Romawi
7.1 Mengenal lambang bilangan Romawi
7.2 Menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan
Romawi dan sebaliknya
Geometri dan Pengukuran
8. Memahami sifat bangun
ruang sederhana dan
hubungan antar bangun
datar
8.1 Menentukan sifat-sifat bangun ruang
sederhana
8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus
8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan bangun
datar simetris
8.4 Menentukan hasil pencerminan suatu bangun
datar
Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada pembelajaran matematika
kelas IV semester 2 pada materi bilangan Romawi. Materi bilangan Romawi
terangkum dalam Standar Kompetensi yang ketujuh yaitu menggunakan lambang
bilangan Romawi. Sementara Kompetensi Dasar yang akan diteliti adalah
Kompetensi Dasar 7.2 menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan Romawi dan
sebaliknya. Pemilihan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ini berdasarkan
32
arahan dari guru kelas IV A dan IV B SD Negeri Cukil 01 dengan
mempertimbangkan kesulitan materi dan alokasi waktu yang tersedia.
2.1.11 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dalam Pembelajaran
Matematika di SD
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi menyebutkan bahwa pembelajran matematika di SD mencakup tiga
aspek yaitu bilangan, geometri dan pengukuran dan pengolahan data. Selain itu
dalam standar isi juga menyebutkan 5 tujuan pembelajaran matematika seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya. Semua kompetensi yang diharapkan dapat
dicapai oleh siswa terangkum kedalam Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar. Penelitian ini memusatkan perhatian pada pembelajaran matematika kelas
IV semester 2 pada materi bilangan Romawi. Materi bilangan Romawi terangkum
dalam Standar Kompetensi yang ketujuh yaitu menggunakan lambang bilangan
Romawi. Sementara Kompetensi Dasar yang akan diteliti adalah Kompetensi
Dasar 7.2 menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya.
Pemilihan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ini berdasarkan arahan dari
guru kelas IV A dan IV B SD Negeri Cukil 01 dengan mempertimbangkan
kesulitan materi dan alokasi waktu yang tersedia.
Pelaksanaan pembelajaran diruang-ruang kelas perlu memperhatikan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang sudah terangkum kedalam
Standar Isi. Selain itu pendidik juga perlu memperhatikan Standar Proses, seperti
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 tahun
2007. Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP (BSNP,
2007:8). Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
dan kegiatan penutup.
Berdasarkan Standar Isi dan Standar Proses yang telah ditetapkan oleh
pemerintah maka peneliti membuat rencana pelaksanaan pembelajaran
matematika. Kaitannya dengan penelitian ini maka pembelajaran matematika yang
akan dilakukan adalah pembelajaran matematika untuk kelas IV Semester II
Standar Kompetensi yang ketujuh yaitu menggunakan lambang bilangan Romawi.
33
Sementara Kompetensi Dasar yang akan diteliti adalah Kompetensi Dasar 7.2
menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya. Model
pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT
(Team Game Tournament). Menurut Slavin (2010:163) TGT (Team Game
Tournament) merupakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis dan
sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim
mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti
mereka. Berikut adalah rencana kegiatan pembelajaran matematika menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam penelitian ini.
Pertemuan I
1. Kegiatan Awal (10 menit)
- Guru mengucapkan salam
- Guru menyiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk mengikuti
pembelajaran dengan bernyanyi “Halo Apa Kabar”
- Guru bertanya kepada siswa ”Sekarang kalian kelas berapa?”,
“Bagaimana cara penulisan angka 4 untuk menyatakan kelas kalian?”
- Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Inti (45 menit)
Guru menjelaskan materi bilangan Romawi dan siswa mencatat hal-hal
yang penting. (Eksplorasi)
Guru dan siswa bertanya jawab mengenai materi bilangan Romawi.
(Eksplorasi)
Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok
beranggotakan 4-5 orang siswa. (Eksplorasi)
Guru membagikan lembar diskusi kepada siswa untuk dikerjakan bersama
kelompoknya. (Elaborasi)
Guru memberikan instruksi kepada siswa untuk bekerja sama
mengerjakan soal dan mengajari siswa dalam kelompoknya yang belum
paham cara pengerjaannya. (Elaborasi)
Guru dan siswa bersama-sama membahas hasil diskusi. (Elaborasi)
34
Guru menunjuk perwakilan dari masing-masing kelompok secara acak
untuk menjelaskan hasil diskusinya. (Elaborasi)
Guru menjelaskan cara melakukan permainan kartu menempel.
(Elaborasi)
Siswa mencoba permainan kartu menempel. (Elaborasi)
Guru mengumumkan kelompok yang mendapatkan poin tertinggi dan
memberikan penghargaan. (Elaborasi)
Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa.
(Konfirmasi)
Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman,
memberikan penguatan dan penyimpulan. (Konfirmasi)
3. Kegiatan Penutup (15 menit)
Guru mengumumkan kegiatan pembelajaran selanjutnya.
Guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa.
Guru mengakhiri pelajaran dengan mengucapkan salam penutup.
Pertemuan II
1. Kegiatan Awal (10 menit)
- Guru mengucapkan salam
- Guru menyiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk mengikuti
pembelajaran dengan melakukan gerakan Tepuk Rumah.
- Guru dan siswa bertanya jawab mengenai kegiatan pembelajaran pada
pertemuan sebelumnya.
- Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Inti (45 menit)
Guru mengingatkan kembali materi bilangan Romawi pada pertemuan
sebelumnya. (Eksplorasi)
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya sebelum
turnamen dimulai. (Eksplorasi)
Guru meminta siswa duduk berkelompok bersama anggota kelompoknya
masing-masing. (Eksplorasi)
35
Guru menjelaskan peraturan bertanding di turnamen ronde satu.
(Eksplorasi)
Guru memulai turnamen ronde satu dengan memanggil anggota pertama
dari masing-masing kelompok. (Elaborasi)
Guru meminta siswa perwakilan untuk memilih kartu yang berisi soal
untuk dikerjakan. (Elaborasi)
Siswa perwakilan kelompok yang berhasil menjawab dengan benar akan
menyumbangkan 1 poin utuk kelompoknya. (Elaborasi)
Langkah tersebut diulangi sampai seluruh anggota kelompok
mendapatkan giliran untuk bertanding. (Elaborasi)
Guru memberikan waktu bagi siswa untuk membahas kelemahan
kelompon dan memperbaikinya. (Elaborasi)
Guru menjelaskan peraturan bertanding di turnamen ronde dua.
(Elaborasi)
Guru memulai turnamen ronde dua dengan memanggil anggota pertama
dari masing-masing kelompok. (Elaborasi)
Guru meminta siswa perwakilan untuk memilih kartu yang berisi soal
untuk dikerjakan. (Elaborasi)
Siswa perwakilan kelompok yang berhasil menjawab terlebih dahulu
dengan jawaban yang benar akan menyumbangkan 3 poin untuk
kelompoknya dan apabila salah akan dikurangi 1 poin. (Elaborasi)
Langkah tersebut diulangi sampai seluruh anggota kelompok
mendapatkan giliran untuk bertanding. (Elaborasi)
Guru mengumumkan kelompok yang mendapatkan poin tertinggi dan
memberikan penghargaan. (Elaborasi)
Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa.
(Konfirmasi)
Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman,
memberikan penguatan dan penyimpulan. (Konfirmasi)
3. Kegiatan Penutup (15 menit)
Guru mengumumkan kegiatan pembelajaran selanjutnya.
36
Guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa.
Guru mengakhiri pelajaran dengan mengucapkan salam penutup.
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan
a. Hasil penelitian eksperimen yang dilakukan oleh F. Sunario pada tahun 2012
dengan judul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Cooperative
Learning Tipe Team Game Tournament Terhadap Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas V SD Negeri Kauman Lor 03 Kecamatan Pabelan, Kabupaten
Semarang Semester Genap Tahun 2011/2012”. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tipe Team Game
Tournament mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar
matematika siswa kelas V SD Negeri Kauman Lor 03. Hal tersebut
ditunjukan oleh rata-rata nilai postest siswa kelas eksperimen lebih tinggi
daripada rata-rata nilai postest kelas kontrol, yaitu 87,22 > 67,48. Perbedaan
rata-rata dari rata-rata nilai postest antara kedua kelas tersebut sebesar 12,739,
dimana t hitung 3,678 > t tabel 2,017 dengan tingkat signifikan 0,001 dimana
0,001<0,005, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran Cooperative
Learning tipe Team Game Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil
belajar matematika siswa kelas V SD Negeri Kauman Lor 03.
b. Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Sutikno pada tahun 2011
dengan judul “Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Melalui Pembelajaran
Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Kelas VI SD Negeri 1
Gabusan Semester I Tahun Pelajaran 2011/ 2012” hasil penelitian
menunjukan adanya peningkatan keaktifan dan hasil belajar PKn yang
dibuktikan dengan tercapainya indikator kinerja oleh siswa. Pada indikator
keaktifan dari 6 indikator aktivitas siswa 4 diantaranya berada pada tingkat
keaktifan Baik dan 2 katagori aktivitas berada pada tingkat keaktifan sangat
baik. Hasil belajar siswa juga telah mencapai indikator kinerja, pada akhir
siklus II menunjukan rata-rata hasil belajar meningkat menjadi 85,2 dengan
siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM menjadi 3 siswa (12%) dan
37
siswa yang mendapat nilai diatas KKM menjadi 22 siswa (88%). Dapat
dilihat bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif tipe Team Games
Tournament pada mata pelajaran PKn dapat meningkatkan keaktifan dan hasil
belajar siswa kelas VI SD Negeri 1 Gabusan Semester I tahun pelajaran
2011/2012
c. Hasil penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Pangestuti pada tahun 2012
dengan judul “Pengaruh Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
(Team Game Turnament) Terhadap Hasil Belajar Matematika Berdasarkan
Gender Siswa Kelas IV SD Negeri Krapyak Gugus Mendhut Kabupaten
Wonogiri Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil
penelitian, disimpulkan bahwa ada pengaruh penerapan pembelajaran TGT
terhadap hasil belajar tetapi gender tidak berperan menentukan hasil belajar.
Hal ini dapat dilihat dari hasil posttest nilai rata-rata kelas eksperimen 78,79
dan nilai rata-rata kelas kontrol 69,84. Nilai rata-rata 78,79 > 69,84 dimana
selisih 8,95 yang berarti kelompok eksperimen dengan pembelajaran
kooperatif tipe TGT lebih baik daripada kelompok kontrol yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Pengujian hipotesis pengaruh
penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan hasil
belajar siswa berdasarkan gender berdasarkan tabel between-subject effect
menunjukan nilai sig 0,770 dimana sig 0,770 > 0,05 artinya tidak ada
pengaruh penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap hasil belajar
siswa berdasarkan gender dengan kata lain gender tidak berperan menentukan
hasil belajar.
Penelitian tersebut diatas walaupun berbeda akan tetapi masih
berhubungan dengan penelitian ini yaitu pembelajaran kooperatif tipe TGT
kaitannya dengan hasil belajar dan keaktifan siswa sehingga penelitian diatas
sangat mendukung penelitian ini. Penelitian ini menekankan pada pengaruh
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap hasil belajar dan
keaktifan siswa pada mata pelajaran matematika.
38
2.3 Kerangka Pikir
Pembelajaran matematika yang dilakukan guru masih berkonsentrasi pada
pemaparan dan latihan soal, selain itu pembelajaran yang dilakukan oleh guru
terkesan monoton dan berpusat pada guru sehingga siswa kurang aktif dan hasil
belajarnya pun kurang baik. Hal ini terlihat dari rendahnya hasil belajar siswa dan
kurangnya antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran sehingga siswa kurang
aktif.
Penelitian ini akan mencari tahu apakah ada perbedaan yang cukup
signifikan antara model pembelajaran konvensional dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT dalam hasil belajar dan keaktifan siswa. Kelas kontrol
menggunakan pembelajaran konvensional, pembelajaran disampaikan dengan cara
ceramah, tanya jawab, dan pemberian evaluasi sehingga pembelajaran terpusat
pada guru. Kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Pembelajaran Team Game Tournament yang diharapkan dapat memberikan
pembelajaran dimana siswa menjadi lebih aktif serta dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Pembelajaran kooperatif tipe TGT dilaksanakan dengan langkah-
langkah presentasi kelas oleh guru, pembagian team (Kelompok), Game
(Permainan), Tournament (Kompetisi), lalu pemberian penghargaan kelompok
(Rekognisi Tim).
Penelitian ini akan mencari apakah ada pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament terhadap hasil belajar dan
keaktifan siswa pada mata pelajaran Matematika. Pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap hasil belajar dan keaktifan siswa dapat
diketahui dengan cara membandingkan hasil belajar dan keaktifan siswa selama
mengikuti pembelajaran di kelas kontrol dan di kelas eksperimen.
39
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
2.4 Hipotesis
Apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team
Game Tournament) efektif dalam meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa
pada pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01 Semester II
2013/2014.
1. Rumusan hipotesis mengenai efektivitas penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Game Tournament) dalam meningkatkan hasil
Pembelajaran Matematika
Hasil Belajar dan Keaktifan Siswa rendah
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Pembelajaran
Konvensional
Pembelajaran Kooperatif
Tipe TGT
Langkah-langkah
pembelajaran konvensional :
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Evaluasi
Langkah-langkah
pembelajaran kooperatif Tipe
TGT :
1. Presentasi Kelas
2. Team (Kelompok)
3. Game (Permainan)
4. Tournament (Kompetisi)
5. Penghargaan Kelompok
(Rekognisi Tim)
Perbandingan Hasil Belajar dan Keaktifan Siswa
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Diduga Terdapat Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TGT Terhadap Hasil Belajar Dan Keaktifan Siswa
40
belajar siswa pada pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01
Semester II 2013/2014 adalah sebagai berikut:
: Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game
Tournament) tidak efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada
pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01 Semester II
2013/2014.
: Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game
Tournament) efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada
pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01 Semester II
2013/2014.
2. Rumusan hipotesis mengenai efektivitas penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Game Tournament) dalam meningkatkan
keaktifan siswa pada pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01
Semester II 2013/2014.
: Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game
Tournament) tidak efektif dalam meningkatkan keaktifan siswa pada
pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01 Semester II
2013/2014.
: Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game
Tournament) efektif dalam meningkatkan keaktifan siswa pada
pembelajaran matematika Kelas IV SD Negeri Cukil 01 Semester II
2013/2014.
Dasar pengambilan keputusan hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Apabila sig. (2-tailed) > 0,05, maka diterima dan ditolak.
2. Apabila sig. (2-tailed) < 0,05, maka ditolak dan diterima.