bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1...
TRANSCRIPT
�
!�
�
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Belajar
Menurut Baharudin dan Esa nur Wahyuni (2007: 11) belajar merupakan proses
manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Belajar
dimulai sejak lahir sampai akhir hayat.
Menurut Slameto (2003: 2) Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperolaeh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Syaiful Sagala (2005: 11) belajar merupakan komponen ilmu pendidikan
yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit
maupun implisit (tersembunyi). Suryabrata dan Syaodih Sukmadinata dalam Syaiful
Sagala menegaskan bahwa belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk
mencapai tujuan.
Bruner dalam S. Nasution (2008: 9) menyatakan bahwa dalam proses belajar
dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni:
1. Informasi
Dalam tiap pembelajaran, dieproleh sejumlah informasi, ada yang
menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperluas dan
memperdalamnya, dan ada pula informasi yang bertentangan dengan apa
yang telah seseorang ketahui sebelumnya.
2. Transformasi
Informasi yang telah didapat harus dianalisis, diubah atau
ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat
digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat
diperlukan.
"�
�
�
�
3. Evaluasi
Kemudian informasi tersebut akan dinilai sampai manakah
pengetahuan yang seseorang peroleh dan transformasi itu dapat dimanfaatkan
untuk memahami gejala-gejala lain.
Gagne dalam Kokom Komalasari (2010: 2) mendefinisikan belajar sebagai
suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan
manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni
peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja).
Sunaryo dalam Kokom Komalasari (2010: 2) menyatakan bahwa belajar
merupakan suatu kegiatan di mana seseorang membuat atau menghasilkan suatu
perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan.
Dari kajian-kajian tentang belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah suatu kegiatan yang di dalamnya terdapat proses perubahan tingkah laku
yang relatif mantap karena adanya latihan dan perolehan pengalaman, yang
diarahkan pada tujuan mengubah tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan
berbuat pada individu yang belajar.
2.1.2 Hasil Belajar
Menurut Oemar Hamalik (2001: 155), menyatakan bahwa hasil belajar
tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat
diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan ketrampilan.
Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan
yang lebih baik dibandingkan yang sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi
tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan, dan sebagainya.
Menurut Nana Sudjana (1990: 22) pada dasarnya hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman
belajar.
Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi
dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
#�
�
�
�
1. Ranah Kognitif
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analitis, sintesis, dan penilaian.
2. Ranah Afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang
kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi
dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3. Ranah Psikomotor
Meliputi ketrampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi
neuromuscular.( menghubungkan, mengamati ).
Slameto (2003: 2) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap
perubahan dalam diri sesoeorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Ciri-ciri
perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah: (1) perubahan terjadi secara
sadar; (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; (3) perubahan dalam
belajar bersifat positif dan aktif; (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara;
(5) perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah; dan (6) perubahan mencakup seluruh
aspek tingkah laku.
Menurut Agus Suprijono (2011: 5) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,nilai-
nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan ketrampilan.
Gagne dalam Agus Suprijono (2011: 5) menyatakan bahwa hasil belajar berupa
(1) informasi verbal, (2) ketrampilan intelektual, (strategi Kognitif0, (4) ketrampilan
motorik, dan (5) sikap. Sementara menurut Lindgren dan Agus Suprijono (2011: 7) hasil
pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian dan sikap.
Dari pengertian beberapa hasil belajar oleh para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan pengertian hasil belajar, yaitu sesuatu yang digunakan guru untuk menilai
hasil pelajaran yang telah diberikan kepada siswanya dengan adanya perubahan tingkah
laku pada siswa. Hasil belajar yang baik diindikasikan dengan tingkah laku yang lebih
$�
�
�
�
baik daripada tingkah laku sebelum melakukan kegiatan belajar, bersifat kontinu, dan
tidak hanya bertahan sementara.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Perolehan hasil belajar antar siswa tidak sama karena banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar. Secara garis besar faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni:
a. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan fisiologis dan
psikologis:
1. Keadaan fisiologis meliputi panca indera dan kondisi jasmani yang
melatar belakangi aktivitas belajar seperti gizi yang cukup dan lain-lain.
Menurut Syah (2005: 146) panca indera yang dominan adalah indera
pendengaran dan penglihatan. Daya pendengaran dan penglihatan yang
rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap
item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra).
3. Faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar siswa meliputi: 1)
kecerdasan/bakat, 2) motivasi, 3) perhatian, 4) berpikir, 5) ingatan/lupa,
dan sebagainya. (Mappa, 1994: 36).
b. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa). Yaitu keadaan/kondisi lingkungan di
sekitar siswa. Faktor eksternal meliputi lingkungan sosial dan non sosial.
1. Lingkungan sosial meliputi lingkungan sekolah seperti guru, para staf
administrasi dan teman-teman sekelas dan lingkungan sosial siswa
seperti masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan serta
lingkungan keluarga.
2. Lingkungan non sosial meliputi gedung sekolah dan letaknya, rumah
tempat keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan
waktu belajar siswa.
c. Faktor pendekatan belajar (approcah to learning), yakni jenis upaya belajar
siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk
melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pembelajaran.
%�
�
�
�
Siswa dapat mencapai hasil belajar yang maksimal bila seorang guru tepat
dalam menerapkan metode mengajar. Untuk itu diperlukan suatu metode
pembelajaran yang inovatif dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa yaitu
metode demonstrasi. Seorang guru dalam menyampaikan materi perlu memilih
metode mana yang sesuai dengan keadaan kelas atau siswa sehingga siswa merasa
tertarik untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan. Menurut Slameto (2003: 96)
Dengan variasi metode dapat meningkatkan kegiatan belajar siswa.
Dari penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor internal dan faktor eksternal yang
dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor internal yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri siswa seperti keadaan fisiologis dan psikologis. Sedangkan faktor
eksternal meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Penerapan metode
pembelajaran yang tepat juga mempengaruhi hasil belajar siswa. Sedangkan
faktor pendekatan belajar adalah faktor di dalamnya terdapat startegi
pembelajaran.
2.1.4 Metode Demonstrasi
Metode berasal dari bahasa latin “ methodos ” yang berarti jalan yang harus di
lalui. Menurut Nana Sudjana (2002 : 260) metode adalah cara yang digunakan guru
dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya mengadakan
pelajaran, oleh karena itu perana metode pengajaran sebagai alat untuk menciptakan
proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Sukartiaso dalam Moedjiono dan Dimyati
(1995: 45) metode adalah cara untuk melakukan sesuatu atau cara untuk mencapai suatu
tujuan.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000: 14) metode demonstrasi adalah metode
yang digunakan untuk memperlihatkan suatu proses atau kerja suatu benda yang
berkenaan dengan bahan pelajaran. Sedangkan menurut Muhibbin Syah (2000: 33)
metode demonstrasi adalah metode cara mengajar dengan cara memperagakan barang,
kejadian, aturan atau urutan melakukan kegiatan, baik secara langsung maupun melalui
penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan/materi yang sedang
disajikan.
�&�
�
�
�
Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa metode adalah suatu
cara yang di gunakan untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Dalam kegiatan
pembelajaran, metode sangat diperlukan oleh guru untuk mencapai tujuan yang ingin di
capai. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan memperagakan suatu
kejadian, baik secara langsung ataupun menggunakan alat peraga.
Menurut Devi (2010: 8) metode demonstrasi adalah metode yang
digunakan untuk membelajarkan siswa dengan cara menceritakan dan
memperagakan suatu kegiatan-kegiatan suatu langkah-langkah pengerjaan
sesuatu. Demonstrasi merupakan praktek yang dipergakan kepada siswa.
Berdasarkan tujuannya demonstrasi dapat dibagi menjadi dua:
1) Demonstrasi proses yaitu metode yang mengajak siswa memahami
langkah demi langkah suatu proses.
2) Demonstrasi hasil yaitu metode untuk memperlihatkan/memperagakan
hasil dari sebuah proses.
Setelah mengikuti demonstrasi siswa akan memperoleh pengalaman
belajar langsung dengan melihat, melakukan, dan merasakan sendiri.
Menurut Sumantri dalam Roestiyah (2001: 82) metode demonstrasi adalah
cara penyajian pelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada
peserta didik suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik
dalam bentuk sebenarnya maupun dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh
guru atau sumber belajar lain yang ahli dalam topik bahasan.
Menurut Roestiyah (2001: 83) menyatakan bahwa metode demonstrasi
adalah cara mengajar dimana seorang instruktur atau tim guru menunjukkan,
memperlihatkan suatu proses.
Menurut Devi (2010: 9) metode demonstrasi mempunyai keunggulan dan
kelemahan.
� Keunggulan metode demonstrasi :
1) Tidak banyak memerlukan peralatan laboratorium.
2) Penggunaan bahan praktikum tidak boros.
3) Pengembangan konsep terarah.
���
�
�
�
4) Konsep yang dipelajari akan lebih mudah diingat karena siswa melihat
fakta-fakta secara langsung.
� Kelemahan metode demonstrasi :
1) Kalau siswa sama sekali tidak diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang hal-
hal yang akan terjadi pada kegiatan demonstrasi, maka materi yang
didemonstrasikan hanya akan berupa tontonan.
2) Kalau sajian demonstrasi tidak dapat dilihat oleh semua siswa, materi ajar
tentu saja tidak dapat terserap dengan baik.
3) Siswa tidak terlatih dalam ketrampilan penggunaan alat.
4) Demonstrasi memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang di
samping memerlukan waktu yang cukup panjang, yang mungkin terpaksa
mengambil waktu atau jam lain dalam pembelajaran.
Dari kajian-kajian tentang metode demonstrasi yang telah dijelaskan, maka
dapat disimpulkan bahwa metode demonstrasi merupakan suatu cara dalam
pembelajaran yang memperagakan/mempertunjukkan suatu proses, situasi, atau
benda dalam bentuk nyata atau tiruan untuk mengajak siswa memahami langkah-
langkah suatu proses. Melalui demonstrasi ini siswa akan mampu berpikir kritis
dan kreatif sejak dini. Dengan demikian, di akhir kegiatan siswa diharapkan dapat
menemukan sendiri konsep mengenai materi-materi yang diajarkan berdasarkan
konsep dan cara mereka sendiri, yang mereka temukan melalui demonstrasi yang
telah dilihat dan diperagakan.
2.1.5 Hakikat Pembelajaran IPA
Pada hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap
ilmiah. Menurut Donosepoetro dalam Trianto (2010: 137) IPA dipandang pula sebagi
proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan
ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan
pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan
yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk
penyebaran atau dissiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah
metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang
lazim disebut metode ilmiah (scientific method).
���
�
�
�
Menurut Kardi dan Nur dalam Trianto (2010: 142) hakikat IPA mesti tercermin
dalam tujuan pendidikan dan metode mengajar yang digunakan. Dengan demikian,
pembelajaran IPA pada tingkat pendidikan manapun harus dikembangkan dengan
memahami berbagai pandangan tentang makna IPA, yang dalam konteks pandangan
hidup dipandang sebagai suatu instrumen untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan
sosial manusia.
Menurut Depdiknas (2006: 47) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan
dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-
prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan
dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar,
serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Pembelajaran IPA secara khusus sebagaimana tujuan pendidikan secara umum
sebagaimana termaktub dalam taksonomi Bloom bahwa:
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan (kognitif), yang merupakan tujuan
utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan
dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan secara garis besar tentang fakta yang ada di alam untuk dapat
memahami dan memperdalam lebih lanjtu, dan melihat adanya keterangan serta
keteraturannya. Di samping hal itu, pembelajaran sains diharapkan pula
memberikan ketrampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif),
pemahaman, kebiasaan, dan apresiasi. Menurut Laksmi dalam Trianto (2010:
142) di dalam mencari jawaban terhadap suatu permasalahan karena ciri-ciri
tersebut yang membedakan dengan pembelajaran lainnya.
Dari uraian tersebut, maka hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat
memberikan antara lain sebagai berikut:
1) Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
���
�
�
�
2) Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep,
fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan hubungan
antara sains dan teknologi.
3) Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan
masalah, dan melakukan observasi.
4) Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitive, objektif, jujur terbuka,
benar, dan dapat bekerja sama.
5) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk
menjelaskan berbagai peristiwa alam.
6) Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan
keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam teknologi.
(Depdiknas, 2003: 2).
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa proses belajar mengajar IPA
lebih ditekankan pada pendekatan ketrampilan proses, hingga siswa dapat
menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah
siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses
pendidikan maupun produk pendidikan. Selama ini proses belajar mengajar fisika
hanya menghafalkan fakta, prinsip atau teori saja. Untuk itu perlu dikembangkan
suatu model pembelajaran IPA yang melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-idenya. Menurut
Nur dan Wikandari dan Nur dalam Trianto (2010: 143) guru hanya memberi
tangga yang mebantu siswa untuk mencaapi tingkat pemahaman yang lebih tinggi,
namun harus diupayakan agar siswa dapat menaiki tangga tersebut.
Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran IPA Harsono (1993) diterapkan
dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan
pengalaman-pengalaman nyata dan pemanipulasian ala, bahan, atau media belajar
yang lain seta peranan guru sebagi fasilitator yang mempersiapkan lingkungan
dan memungkinkan siswa dapat meperoleh berbagi pengalaman belajar. Implikasi
teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut: (1) memusatkan
perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.
� �
�
�
�
Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan
anak sehingga samapai pada jawaban tersebut, (2) mengutamakan peran siswa
dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.oleh karena
itu, selain mengajar secara klasik, guru mempersiapkan beranekaragam kegiatan
secara langsung dengan dunia fisik, (3) memaklumi akan adanya perbedaan
individual dalam hal kemajuan perkembangan.
2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
Menurut penelitian yang dilakukan Mulyo, S.Pd, program PJJ FKIP UKSW
dengan judul “Upaya peningkatan hasil belajar IPA menggunakan metode demonstrasi di
SD Negeri Karang Anom 02 Kec. Kandeman Kab. Batang semester I Tahun pelajaran
2010/2011”, hipotesis tindakan dalam penelitian tersebut yang menyatakan bahwa
pembelajaran dengan penggunaan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar
IPA siswa kelas II SD Negeri Karang Anom 02 semester I tahun pelajaran 2010/2011
ternyata didukung oleh kebenaran empirik yang berupa hasil tindakan kelas dalam dua
siklus. Hasil penelitian siklus I dan siklus II dengan penggunaan metode demonstrasi
dalam pembelajaran lebih maksimal, maka hasil belajar siswa dapat meningkat. Terbukti
dalam penelitian di SD Negeri Karang Anom 02 pada kelas II nilai rata-rata hasil belajar
siswa apabila penyampaian materi tanpa menggunakan metode demonstrasi adalah
27,78% dan nilai rata-rata belajar siswa dengan menggunakan metode demonstrasi pada
siklus I adalah 55, 56% tuntas, tidak tuntas 44,44% dengan jumlah nilai 1088, rata-rata
60,44%. Pada siklus II 80% tuntas, tidak tuntas 20% dengan jumlah nilai 1455, rata-rata
80,83.
Penelitian yang dilakukan oleh Darsim, Program PJJ PGSD FKIP UKSW tahun
2010 dengan judul “ Upaya peningkatan hasil belajar IPA tentang sifat-sifat cahaya
dengan metode demonstrasi di SD negeri Kalisalak UPK Kebasun Banyumas”, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembelajaran IPA dengan metode demonstrasi dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dalam materi pokok sifat-sifat cahaya. Hal itu dapat
dilihat dari hasil belajar siswa pada tes pembelajaran siklus I dan
siklus II. Rata-rata nilai siswa saat kondisi awal adalah 55, 76. Saat
siklus I rata-rata nilainya meningkat sebanyak 75, 45 dan saat siklus II
�!�
�
�
�
rata-rata nilai siswa menjadi 85, 45 dan perbandingan ketuntasan
siswa dari siklus I dan siklus II adalah sebanyak 53%.
2. Penggunaan metode demonstrasi dalam pembelajaran IPA sangat
berpengaruh bagi hasil belajar siswa dan nilai siswa sudah memenuhi
KKM yang ditentukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2009), Program PJJ FKIP-PGSD
UKSW dengan judul “ Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
IPA tentang Periskop Melalui Metode Demonstrasi di SD Negeri Ngablak 02 Semester II
Tahun Pelajaran 2008/2009”, menyimpulkan bahwa metode demonstrasi berhasil
meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Ngablak 02. Hasil belajar siswa
pada saat belum dilakukan tindakan adalah 75% siswa memperoleh nilai di bawah KKM
65 dan 25% memperoleh nilai memenuhi KKM. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I,
hasil belajar siswa meningkat menjadi 60% memperoleh nilai memenuhi KKM.
Sedangkan pada siklus perbaikan yaitu siklus II, hasil belajar siswa meningkat lagi
menjadi 90% siswa memperoleh nilai memenuhi KKM 65.
.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode demonstrasi sangat efektif
untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran IPA. Hal itu disebabkan oleh aktifitas
siswa dapat timbul dengan sendirinya, seperti menyampaikan pendapat, menemukan
sendiri materi pembelajaran dengan melakukan percobaan-percobaan, kerjasama,
menghargai pendapat sesama teman dalam berkelompok dan sebagainya.
2.3 Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan sebelumnya diperoleh kerangka
pikir bahwa kondisi awal pembelajaran IPA kelas V SD Negeri Kopeng 01 kec. Getasan
Kab. Semarang Semester II tahun pelajaran 2011/2012 lebih banyak berpusat kepada
guru, guru lebih banyak berceramah. Siswa hanya sebagai pendengar, kondisi seperti ini
mengakibatkan siswa merasa bosan dan
enggan belajar IPA. Akibatnya hasil belajar IPA siswa tidak maksimal. Ini terbukti
dengan nilai pretest IPA siswa yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
mendapatkan nilai di bawah KKM 70. Dengan kondisi awal seperti ini kemudian peneliti
akan melaksanakan suatu tindakan untuk mengatasinya. Peneliti akan menerapkan
metode demonstrasi dlam proses pembelajaran IPA.
�"�
�
�
�
Dari tindakan yang dilaksanakan peneliti, diharapkan mencapai kondisi akhir,
yaitu hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri Kopeng 01 Kec. Getasan Kab. Semarang
semsetr II tahun pelajaran 2011/2012 dapat meningkat. Melalui metode demonstrasi,
diharapkan siswa lebih senang dan tertarik untuk belajar IPA.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka pikir yang
disajikan pada gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
'�������� ���
�������
'�����������
(����
� ����� � �����
� ������)���� ������� �
��� ���������*+,-�
+���.������
/����������������� ��������
����� ��''� �#&�
� � ������ ������
��� ������������� �
����������
��� ���������*+,�
.������*�
/����� �������� ���� �� � ������
����������
.������**�
/����������������� ��� �� ����
� ���������������� ��������� �������������
������������ �������������������� �� ���������
''� ��0�#&-�
�#�
�
�
�
2.4 Hipotesa Tindakan penelitian
Berdasarkan uraian dalam landasan teori dan kerangka pikir di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis dalam penelitian tindakan kelas sebagai berikut: jika pembelajaran
dengan metode demonstrasi diterapkan dalam mata pelajaran IPA, maka dapat
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 01 Kec. Getasan Kab.
Semarang semester II tahun pelajaran 2011/2012.