bab ii kajian pustaka 2.1 2.1 -...
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif
a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif
Pembelajaran tematik terpadu (integratif)
merupakan suatu pendekatan pembelajaran
yang menggunakan tema untuk mengaitkan
beberapa mata pelajaran sehingga memberikan
pengalaman bermakna bagi siswa (Lampiran
Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014).
Pengertian pembelajaran tematik integratif
dalam permendikbud ini menekankan adanya
tema yang digunakan untuk mengikat mata
pelajaran. Hasil integrasi dari beberapa mata
pelajaran dikemas dalam satu tema sehingga
memberikan pengalaman bermakna bagi siswa.
Pembelajaran tematik integratif pada
hakikatnya merupakan kegiatan pembelajaran
dengan mengaitkan materi dari beberapa mata
pelajaran menggunakan suatu tema (Hajar,
2013: 21). Pengertian tersebut menegaskan
bahwa jika guru ingin mengadakan kegiatan
belajar mengajar, maka guru harus merancang
pebelajaran berdasarkan tema-tema tertentu
dari berbagai mata pelajaran.
14
Definisi senada dikemukakan oleh
Rusman (2012: 254) bahwa pembelajaran
tematik integratif merupakan salah satu model
pembelajaran terpadu yang merupakan suatu
sistem pembelajaran yang memungkinkan
siswa baik secara individual maupun kelompok
aktif menggali dan menemukan konsep serta
prinsip-prinsip keilmuan secara holistik,
bermakna dan autentik. Holistik bermakna
bahwa pembelajaran tematik integratif akan
mampu mengembangkan tiga ranah (kognitif,
afektif dan psikomotorik) siswa secara utuh.
Bermakna berarti bahwa materi pembelajaran
tematik integratif sesuai dengan alam pikir
siswa. Autentik berarti bahwa pembelajaran
tematik integratif yang dikembangkan mampu
memberikan pengalaman nyata dan langsung
kepada siswa.
Berdasarkan pengertian pembelajaran
tematik integratif dari Permendikbud, Hajar,
dan Rusman, penulis merangkum komponen-
komponen utama pembelajaran tematik
integratif yang menjadi dasar dalam penelitian
R&D ini, yaitu, a) pembelajaran tematik
integratif merupakan suatu pendekatan
pembelajaran, b) adanya suatu tema yang
digunakan untuk mengikat berbagai muatan
15
mata pelajaran, c) materi pelajaran disusun
dari beberapa mata pelajaran dalam suatu
tema, d) memungkinkan siswa baik secara
individual maupun kelompok aktif menggali
pengetahuannya sendiri, dan e) pembelajaran
lebih bermakna dan autentik.
Pembelajaran tematik integratif terdiri
dari beberapa komponen yaitu tujuan, bahan
ajar, metode, media dan evaluasi (Ibrahim &
Sukmadinata, 2010: 4). Agar tercipta sistem
pembelajaran yang baik, maka seluruh
komponen tersebut harus berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang utuh. Secara
lebih jelas, interaksi antarkomponen
pembelajaran dapat di gambarkan pada
gambar 2.1 berikut.
Setiap komponen berinteraksi dengan
komponen yang lain sehingga terbentuk sistem
Gambar 2.1 Komponen-Komponen Pembelajaran
16
pembelajaran yang bermakna. Pertama,
komponen tujuan pembelajaran merupakan
sasaran yang akan dicapai dalam
pembelajaran. Umumnya tujuan pembelajaran
dipilah menjadi dua, yaitu tujuan
pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran
khusus. Tujuan pembelajaran umum sifatnya
masih umum, belum menggambarkan perilaku
spesifik yang akan dicapai. Tujuan
pembelajaran khusus sudah lebih spesifik dan
operasional. Dalam pembelajaran tematik
integratif di SD berdasarkan Kurikulum 2013,
tujuan umum mencakup tujuan kurikuler
yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi
inti (KI) dan tujuan pembelajaran umum yang
dituangkan dalam rumusan kompetensi dasar
(KD). Tujuan khusus dirumuskan dalam
bentuk indikator pencapaian kompetensi
dasar. Tujuan umum dan tujuan khusus
dalam pembelajaran tematik integratif di SD
merupakan gabungan dari KD dan indikator
yang diturunkan dari KI tertentu dari berbagai
muatan mata pelajaran yang diintegrasikan
(Permendikbud No. 22 Tahun 2016).
Kedua, komponen bahan ajar tematik
integratif berkaitan dengan materi
pembelajaran sebagai isi pokok bahasan.
17
Organisasi bahan ajar bertumpu pada tema
dan subtema yang dipilih berdasarkan latar
belakang dan kebutuhan pengetahuan siswa.
Materi pembelajaran ranah kognitif terdiri dari
lima komponen, yaitu fakta, konsep, proses,
prosedur, dan prinsip (Clark & Mayer, 2008:
15). Di samping ranah kognitif, terdapat materi
yang berisi nilai-nilai dan keterampilan. Materi
tematik integratif merupakan materi
interdisipliner, karena kajiannya ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu. Dalam kurikulum SD
tahun 2013, materi pembelajaran tematik
integratif diorganisasikan berdasarkan tema
dan sub tema tertentu sebagai pengikat
pembelajaran, serta disesuaikan dengan ranah
KI-nya. KI-1 berisi nilai-nilai dan sikap
spiritual, KI-2 nilai-nilai dan sikap sosial, KI-3
pengetahuan dan KI-4 keterampilan.
Pengembangan materi pada setiap
pembelajaran (kecuali PPKn dan Agama)
dikembangkan bahan ajar mencakup materi
pengetahuan dan keterampilan, sedangkan
untuk ranah nilai-nilai/sikap tidak
dirumuskan dalam bentuk bahan ajar,
melainkan merupakan dampak pengiring
pembelajaran (Permendikbud No. 21 Tahun
2016).
18
Ketiga, komponen strategi pembelajaran.
Terdapat beberapa istilah yang mempunyai
makna berdekatan dengan makna strategi
pembelajaran, yaitu model dan metode. Ketiga
hal tersebut mempunyai hubungan hierarkis
fungsional. Model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur secara sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar, sementara strategi
dan metode pembelajaran merupakan bagian
dari model tersebut (Joyoatmojo, 2011: 102).
Salah satu tugas guru SD dalam merancang
pembelajaran adalah memilih strategi dan
metode pembelajaran yang sesuai model
pembelajaran yang diikuti. Pemilihan strategi
pembelajaran harus disesuaikan dengan
karakteristik siswa, tujuan pembelajaran,
karakteristik materi, dan kondisi guru.
Keempat, komponen media
pembelajaran. Media pembelajaran merupakan
segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai
alat bantu menyampaikan pesan dan informasi
materi pembelajaran dalam rangka mencapai
tujuan. Media pembelajaran yang cocok
digunakan untuk siswa SD adalah media yang
bersifat konkret, sehingga siswa lebih mudah
19
dalam memahami. Pemilihan dan
pengembangan media pembelajaran
semestinya disesuaikan dengan karakteristik
materi dan strategi pebelajaran yang
digunakan (Permendikbud No. 22 Tahun
2016).
Kelima, evaluasi pembelajaran. Evaluasi
pembelajaran merupakan sarana untuk
menilai kualitas pembelajaran dan internalisasi
karakter serta pembentukan kompetensi siswa.
Salah satu hal yang ditekankan dalam
penilaian pembelajaran tematik adalah
penilaian autentik. Hakikat penilaian autentik
adalah menilai peserta didik baik proses
maupun hasil dengan berbagai instrumen
penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan
kompetensi yang ada di Standar Kompetensi
(SK) atau Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) (Kunandar, 2013:35-36). Penilaian
autentik di SD, siswa diminta untuk
menerapkan konsep atau teori dalam keadaan
sebenarnya sesuai dengan kemampuan atau
keterampilan yang dimiliki siswa. Oleh karena
itu, guru harus memperhatikan keseimbangan
antara penilaian kompetensi sikap,
keterampilan dan pengetahuan.
20
Model pembelajaran tematik integratif
mencakup: 1) model terpisah (fragmented),
yaitu model pembelajaran yang paling lemah
integrasinya karena dirancang dari berbagai
disiplin ilmu yang berbeda dan saling terpisah;
2) model keterkaitan/keterhubungan
(connected) model pembelajaran di mana
topik-topik dalam satu disiplin ilmu
berhubungan satu sama lain; 3) model
berbentuk sarang/kumpulan (nested), yaitu
keterampilan-keterampilan sosial, berpikir, dan
kontent (contents skill) dicapai di dalam satu
mata pelajaran (subject area); 4) dalam satu
rangkaian (sequence), yaitu model
pembelajaran terpadu dimana persamaan-
persamaan yang ada diajarkan secara
bersamaan, meskipun termasuk ke dalam
mata pelajaran yang berbeda; 5) berbentuk
jaring laba-laba (webbed) yaitu pengajaran
tematis, menggunakan suatu tema sebagai
dasar pembelajaran dalam berbagai disiplin
mata pelajaran; 6) dalam satu alur (treaded),
yaitu model keterpaduan di mana ketrampilan-
ketrampilan sosial, berpikir, berbagai jenis
kecerdasan, dan keterampilan belajar
direntangkan melalui berbagai disiplin; 7)
terpadu (integratif), yaitu proses pemaduan
21
konsep yang saling tumpang tindih dalam
berbagai disiplin ilmu, dicari keterampilan,
konsep, dan sikap-sikap yang sama; 8)
immersed; yaitu memadukan apa yang
dipelajari dengan cara memandang seluruh
pengajaran melalui perspektif bidang yang
disukai; dan 9) membentuk jejaring
(networked), yaitu proses pemaduan topik yang
dipelajri melalui pemilihan jejaring pakar dan
sumber daya (Robin Fogarty, 2009: 22-116).
Dari ragam model pembelajaran tematik
yang telah dipaparkan, model pembelajaran
tematik yang paling cocok diterapkan dalam
pembelajaran di SD adalah jaring laba-laba
(webbed). Model ini dimulai dari menentukan
tema, kemudian dikembangkan menjadi
subtema dengan memperhatikan keterkaitan
tema dengan mata pelajaran yang terkait.
Melalui subtema tersebut diharapkan aktivitas
siswa dapat berkembang secara mandiri
(Mawardi dan Bambang S. Sulasmono, 2011:
96).
b. Pentingnya Pembelajaran Tematik Integratif
Pembelajaran tematik integratif
merupakan pembelajaran yang
mengintegrasikan materi dari beberapa mata
pelajaran dalam satu tema. Pembelajaran
22
tematik integratif dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Adapun tujuan pembelajaran
tematik integratif adalah: 1) mudah
memusatkan perhatian pada satu tema atau
topik tertentu; 2) mempelajari pengetahuan
dan mengembangkan berbagai kompetensi
muatan pelajaran dalam tema yang sama; 3)
memiliki pemahaman terhadap materi
pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4)
mengembangkan kompetensi berbahasa lebih
baik dengan mengkaitkan berbagai muatan
pelajaran lain dengan pengalaman pribadi
peserta didik; 5) lebih bergairah belajar karena
mereka dapat berkomunikasi dalam situasi
nyata, seperti bercerita, bertanya, menulis
sekaligus mempelajari pelajaran yang lain; 6)
lebih merasakan manfaat dan makna belajar
karena materi yang disajikan dalam konteks
tema yang jelas; 7) guru dapat menghemat
waktu, karena mata pelajaran yang disajikan
secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus
dan diberikan dalam 2 atau 3 pertemuan
bahkan lebih dan atau pengayaan; dan 8) budi
pekerti dan moral peserta didik dapat
ditumbuhkembangkan dengan mengangkat
23
sejumlah nilai budi pekerti sesuai dengan
situasi dan kondisi (Kemendikbud, 2014: 16).
Secara garis besar, berdasar pada
Kemendikbud (2014: 16) pembelajaran tematik
integratif bertujuan untuk menjadikan
pembelajaran lebih berkesan dan bermakna,
sehingga memudahkan peserta didik dalam
mempelajari pengetahuan dan
mengembangkan berbagai kompetensi dari
beberapa muatan pelajaran.
c. Proses Pembelajaran Tematik Integratif
Proses pembelajaran tematik integratif
sepenuhnya diarahkan pada pengembangan
tiga ranah yakni: ranah kognitif, affektif dan
psikomotor. Ketiga ranah tersebut
dikembangkan secara utuh/holistik, artinya
pengembangan ranah yang satu tidak bisa
dipisahkan dengan ranah lainnya. Dengan
demikian proses pembelajaran secara utuh
melahirkan kualitas pribadi yang memiliki
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sikap
diperoleh melalui aktivitas “menerima,
menjalankan, menghargai, menghayati, dan
mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui
aktivitas “mengingat, memahami, menerapkan,
menganalisis, mengevaluasi, mencipta”.
24
Keterampilan diperoleh melalui aktivitas
“mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji, dan mencipta” (Permendikbud nomor
22 tahun 2016).
Pembelajaran tematik integratif
dilakukan dengan pendekatan ilmiah
(scientific). Pendekatan scientific bertujuan
untuk memberikan pemahaman kepada
peserta didik dalam mengenal, memahami
berbagai materi dengan menggunakan
informasi yang berasal dari mana saja, kapan
saja, tidak hanya bergantung pada informasi
searah dari guru. Adapun langkah-langkah
pendekatan scientific meliputi: 1) mengamati,
yaitu peserta didik melakukan observasi
melalui membaca, mendengarkan, menyimak,
melihat untuk menemukan fakta pada objek
yang diamati; 2) menanya, peserta didik
mengajukan pertanyaan tentang informasi
yang tidak dipahami dari apa yang diamati
atau pertanyaan untuk mendapat informasi
tambahan tentang apa yang diamati; 3)
menalar, yaitu proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-fakta empiris yang
diobservasi; 4) mencoba, yaitu peserta didik
melakukan percobaan; 5) mengolah, yaitu
peserta didik mengolah informasi yang
25
diperoleh dari percobaan secara kolaboratif; 6)
menyimpulkan, yaitu peserta didik
menyimpulkan hasil kegiatan mengolah
informasi bersama kelompok; 7) menyajikan
dan mengkomunikasikan, yaitu peserta didik
menyajikan dan mengkomunikasikan hasil
pekerjaan yang telah disusun (Kemendikbud,
2013: 200-209).
2.1.2 Kompetensi Pedagogik Guru SD
a. Definisi Kompetensi Pedagogik Guru SD
Guru merupakan tenaga profesional
yang dituntut memiliki berbagai kompetensi
yang menunjang pelaksanaan tugasnya
sebagai pendidik. Kompetensi guru tersebut
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
tercapainya tujuan pembelajaran. Tanpa
adanya kompetensi yang melekat pada guru,
tujuan pembelajaran tidak akan tercapai.
Dengan adanya kompetensi guru maka
pembelajaran akan direncanakan dengan baik,
dilaksanakan sesuai rancangan dan dievaluasi
untuk perbaikan. Sehingga, akan membantu
siswa memperoleh makna dalam pembelajaran.
Syah (2000: 229) mendefinisikan
kompetensi adalah kemampuan, kecakapan,
keadaan berwenang, atau memenuhi syarat
26
menurut ketentuan hukum. Lebih lanjut, Syah
mengemukakan bahwa kompetensi guru
adalah kemampuan seorang guru dalam
melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara
bertanggung jawab dan layak.
Agak berbeda dengan pendapat Syah,
Danim (2012: 171) mendefinisikan kompetensi
adalah spesifikasi dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dimiliki
seseorang serta penerapannya dalam
pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang
dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia kerja.
Lebih lanjut Danim menjelaskan kompetensi
guru memiliki taksonomi standar meliputi
standar isi, standar proses, dan standar
penampilan. Standar isi meliputi muatan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
ditunjukkan dalam pelatihan; standar proses
mencakup kriteria kinerja dalam aktivitas
transformasi pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang dituntut, termasuk daya dukung
fasilitatif; standar penampilan berkenaan
dengan standar performansi, yaitu bagaimana
guru menampilkan penguasaan pengetahuan,
sikap, dan keterampilannya dalam
menjalankan fungsinya sebagai guru
profesional.
27
Berdasar pada Undang-undang No.14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
kompetensi diartikan sebagai seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh
guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
profesional.
Dari berbagai pandangan mengenai
kompetensi guru, dapat disimpulkan bahwa
kompetensi guru merupakan spesifikasi dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
direfleksikan kedalam kebiasaan berperilaku
dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.
Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (1)
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, kompetensi guru dipilah
menjadi empat, yaitu kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional. Sebagai guru
sekolah dasar, harus memiliki empat
kompetensi tersebut. Kompetensi pedagogik
merupakan kemampuan guru dalam
merencanakan program belajar mengajar,
kemampuan melaksanakan atau mengelola
proses belajar mengajar, dan kemampuan
melakukan penilaian. Kompetensi kepribadian
adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
28
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
menjadi teladan peserta didik. Kompetensi
sosial merupakan kemampuan untuk
menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan
lingkungan sekitar pada waktu membawakan
tugasnya sebagai guru. Kompetensi profesional
adalah kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam.
Kompetensi yang menjadi titik fokus pada
penelitian dan pengembangan ini adalah
kompetensi pedagogik guru.
b. Aspek-Aspek Kompetensi Pedagogik Guru
SD
Berdasarkan Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru sebagaimana
tertuang dalam Lampiran Permendiknas nomor
16 tahun 2007, terdapat 10 aspek kompetensi
pedagogik guru, yaitu: 1) Menguasai
karakteristik peserta didik dari aspek fisik,
moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual, 2) Menguasai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, 3)
Mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan bidang pengembangan yang diampu, 4)
Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang
mendidik, 5) Memanfaatkan teknologi
29
informasi dan komunikasi untuk kepentingan
penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang
mendidik, 6) Memfasilitasi pengembangan
potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki, 7) Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta didik, 8)
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar, 9) Memanfaatkan
hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran, dan 10) Melakukan tindakan
reflektif untuk peningkatan kualitas
pembelajaran.
c. Pentingnya Kompetensi Pedagogik Guru
Secara garis besar, kemampuan yang
harus dikuasai guru terkait dengan
kompetensi pedagogik adalah kemampuan
merancang dan mengembangkan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran
sesuai rancangan, melakukan penilaian
sekaligus melakukan refleksi terhadap proses
dan hasil pembelajaran. Sunardi, Sujadi,
Winarni & Suryanti (2017: 1) menyatakan
bahwa sebagai guru penguasaan kompetensi
pedagogik tersebut merupakan suatu
keharusan oleh karena: (1) Guru memerlukan
30
bekal kompetensi yang memadai karena guru
merupakan ujung tombak pembelajaran, yang
secara langsung berhadapan dengan siswa
dalam rangka agar siswa menjadi manusia
yang cerdas, terampil, dan berkarakter baik;
(2) Guru dituntut untuk memiliki
kemampuan yang diperlukan sebagai pendidik
dan pengajar. Sebagai pengajar guru dituntut
harus menguasai bahan ajar yang diajarkan
dan terampil dalam mengajarkannya; (3)
Dalam proses pembelajaran, penguasaan
model, strategi dan metode pembelajatran
dalam rangka menyampaikan materi
pembelajaran murupakan hal yang mutlak.
Tidak dikuasainya model, strategi dan metode
tersebut akan berdampak pada kegagalan guru
dalam pembelajaran; (4) Pemahaman guru
tentang karakteristik siswa, penguasaan
terhadap teori-teori belajar dan pembelajaran
sangat diperlukan dalam merancang,
melaksanakan dan menilai pembelajaran, agar
dapat mengarahkan siswa berpartisipasi
secara intelektual dalam belajar, sehingga
belajar menjadi bermakna; (5) Guru juga
harus mampu merencanakan pembelajaran,
memilih media pembelajaran yang tepat,
melaksanakan proses dan melakukan
31
penilaian; (6) Guru juga perlu mengerti
bagaimana seharusnya melakukan refleksi
pembelajaran sehingga guru dapat melakukan
perbaikan terhadap proses pembelajaran yang
telah dilakukan.
d. Strategi Mengembangkan Kompetensi
Pedagogik Guru
Buku 4 Pedoman Kegiatan
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(Kemendiknas, 2010: 1) menyatakan bahwa
konsekuensi dari jabatan guru sebagai profesi,
diperlukan suatu sistem pembinaan dan
pengembangan terhadap profesi guru secara
terprogram dan berkelanjutan.
Pengembangan keprofesian berkelanjutan
(PKB) hakikatnya merupakan pengembangan
kompetensi guru seiring dengan
pengembangan karier guru. Salah satu unsur
PKB yang langsung berkaitan dengan
pengembangan kompetensi guru adalah
komponen pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan (diklat)
dan/atau kegiatan kolektif guru. Diklat adalah
kegiatan guru dalam mengikuti pendidikan
atau latihan yang bertujuan untuk
meningkatkan keprofesian guru yang
32
bersangkutan dalam kurun waktu tertentu.
Macam kegiatan dapat berupa kursus,
pelatihan, penataran, maupun berbagai bentuk
diklat yang lain. Kegiatan kolektif guru
adalah kegiatan guru dalam mengikuti
kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti
kegiatan bersama yang dilakukan guru
yang bertujuan untuk meningkatkan
keprofesian guru yang bersangkutan
(Kemendiknas, 2010: 15-17).
Mengacu buku panduan PKB seperti
tersebut di atas, kegiatan perancangan
pelatihan kurikulum 2013 menggunakan
model CEM merupakan salah satu strategi
dalam mengembangkan kompetensi guru,
termasuk kompetensi pedagogik.
e. Indikator Pengukuran Kompetensi
Pedagogik Guru SD
Sebagai tenaga profesional, konsekuensi
sebagai guru profesional adalah memiliki
kompetensi, salah satunya kompetensi
pedagogik. Dari sepuluh aspek kompetensi
pedagogik guru sebagaimana dipaparkan pada
bagian 2.1.2 sub b di atas, terdapat 3 aspek
yang relevan terhadap pelatihan
pengembangan pembelajaran tematik integratif
33
di SD. Aspek-aspek tersebut diantaranya yaitu
1) mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan bidang yang diampu menggunakan
berbagai pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang mendidik secara
kreatif; 2) menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran yang mendidik; dan 3)
menyelenggarakan penilaian sekaligus evaluasi
proses dan hasil belajar (Lampiran
Permendiknas nomor 16 tahun 2007: 18).
Tuntutan kompetensi yang bersifat
umum ini tentu akan disesuaikan dengan
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia,
termasuk menyesuaikan dengan tuntutan
kurikulum 2013 SD tematik integratif versi
2017. Dalam rangka penyesuaian tersebut,
sudah semestinya standar kompetensi
pelatihan pengembangan pembelajaran tematik
integratif mencakup: 1) menguasai secara luas
dan mendalam hakikat pembelajaran tematik
integratif yang mendukung pembelajaran
tematik integratif di SD; 2) mampu
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif sesuai lingkungan sekolah.
34
Standar kompetensi tersebut kemudian
dijabarkan menjadi kompetensi dasar dan
indikator berikut:
1) memahami karakteristik model-model desain
pembelajaran tematik integratif di SD,
mencakup indikator: a) menentukan
karakteristik model-model desain pembelajaran
tematik integratif; b) menentukan kelebihan
dan kelemahan model-model desain
pembelajaran tematik integratif di SD; dan c)
memilih model desain pembelajaran tematik
integratif yang cocok diterapkan di SD.
2) Merancang jaring tema berbasis lingkungan
untuk pembelajaran tematik integratif di SD,
mencakup indikator: menyusun jaring tema
berbasis lingkungan untuk pembelajaran
tematik integratif di SD.
3) Memahami hubungan antara SKL, KI, KD, dan
Silabus, dengan indikator: a) menyebutkan
butir-butir SKL, KI, KD, dan Silabus; dan b)
memerinci butir-butir SKL, KI, KD, dan
Silabus.
4) Menganalisis SKL, KI, KD, dan Silabus serta
membuat indikator, dengan indikator
mentabulasikan SKL, KI, KD dalam Silabus.
35
5) Memahami karakteristik pembelajaran dengan
pendekatan Saintifik, Problem Based Learning,
Project Based Learning, dan Discovery Learning,
dengan indikator: a) menjelaskan pengertian
pembelajaran dengan pendekatan Saintifik,
Problem Based Learning, Project Based
Learning, dan Discovery Learning; b)
membedakan karakteristik pembelajaran
dengan pendekatan Saintifik, Problem Based
Learning, Project Based Learning, dan Discovery
Learning; dan c) memilih model pembelajaran
tematik sesuai dengan materi pembelajaran.
6) Menyusun skenario pembelajaran tematik
integratif, dengan indikator merancang
skenario pembelajaran sesuai model
pembelajaran yang dipilih.
7) Menentukan teknik penilaian sikap,
pengetahuan, dan keterampilan, dengan
indikator: a) menentukan kompetensi dasar
pengetahuan dan keterampilan pada masing-
masing semester; dan b) menentukan teknik
penilaian sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
8) Menyusun instrumen penilaian sikap,
pengetahuan, dan keterampilan dengan
36
indikator menyusun instrumen penilaian
sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
9) Memahami prinsip penyusunan RPP, dengan
indikator menelaah prinsip penyusunan RPP.
10) Merancang RPP berdasarkan kurikulum 2013
dengan indikator menyusun RPP kelas 4 SD
untuk 1 (satu) kali pembelajaran dilengkapi
dengan materi pembelajaran.
2.1.3 Model Pelatihan Critical Event Model (CEM)
a. Model-model Pelatihan
Seorang manajer di suatu organisasi
sekolah terikat pada fungsi menajerialnya
(planning, organizing, actuating, controlling)
termasuk dalam mengelola sumber daya
manusianya. Pengelolaan sumber daya
manusia (guru) yang relevan dalam rangka
menyambut pemberlakuan kurikulum 2013
adalah dalam bentuk pelatihan-pelatihan.
Pelatihan merupakan salah satu fungsi
manajemen yang perlu dilaksanakan secara
terus menerus dalam rangka pembinaan
ketenagaan suatu organisasi. Program
pelatihan tidak hanya penting bagi individu,
tetapi juga lembaga atau organisasi dan
hubungan manusiawi dalam kelompok kerja.
37
Pelatihan merupakan upaya investasi sumber
daya manusia dalam sebuah lembaga.
Pelatihan sebagai proses mengajarkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu
agar pegawai semakin terampil dan mampu
melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik
(Mangkuprawira, 2004: 15). Pelatihan adalah
aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk
memberi para pembelajar pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk
pekerjaan mereka saat ini (Mondy, 2008: 256).
Pelatihan adalah modifikasi perilaku sistematis
melalui pembelajaran, yang terjadi sebagai
hasil dari pendidikan, pengembangan
pembelajaran, dan pengalaman yang
direncanakan (Armstrong, 2009: 67). Pelatihan
merupakan upaya yang direncanakan oleh
suatu lembaga pendidikan untuk
mempermudah pembelajaran tentang
kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan
pekerjaan, yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, sikap dan perilaku (Noe, 2014:
351).
Mengacu pendapat Noe (2014: 351),
pelatihan guru adalah upaya yang
direncanakan untuk meningkatkan
penguasaan kompetensi guru yaitu
38
penguasaan pengetahuan, keterampilan dan
sikap dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.
Tujuan pelatihan bagi karyawan secara
garis besar ada 2 (dua) yaitu untuk menutup
gap antara kecakapan atau kemampuan
karyawan dengan permintaan jabatan; (2)
program-program tersebut diharapkan dapat
meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja
karyawan dalam mencapai sasaran-sasaran
kerja yang telah ditetapkan (Handoko, 2008:
103).
Pelatihan bagi guru bertujuan agar guru:
(1) mampu memperbaiki kinerjanya. Guru yang
memiliki kinerja kurang atau tidak
memuaskan dapat disebabkan kurangnya
pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap
bidang pekerjaannya; (2) dapat
memuthakhirkan keahliannya sejalan dengan
kemajuan teknologi dan dapat menerapkannya
dalam dalam pekerjaan sehari-hari; (3)
membekali guru baru agar kompeten dalam
pekerjaan, karena seringkali guru baru tidak
menguasai keahlian dan kemampuan yang
dibutuhkan dalam menjalankan tugas-
tugasnya; (4) membantu memecahkan masalah
yang dihadapi guru dalam menjalankan
39
tugasnya, sehingga program pelatihan
hendaknya dilandasi pada kebutuhan guru; (5)
mengembangkan karier guru.
Terdapat berbagai model pelatihan yang
dapat digunakan dalam mengembangkan
sumber daya guru SD, tentu saja model-model
tersebut disesuaikan dengan pendekatan,
strategi serta materi latihan. Kamil (2003: 11-
14) merangkum berbagai model pelatihan,
diantaranya adalah model latihan keterampilan
kerja (Skill training for the job) yang
dikembangkan oleh Louis Genci pada tahun
1966; model Training Design and Evaluation
Model yang dirancang oleh Craig tahun 1976;
dan Model Tujuh Langkah (The Seven-step
Model) yang dikemukakan oleh Parker pada
tahun 1976.
Di samping model-model tersebut,
terdapat model pelatihan yang menekankan
pada peristiwa-peristiwa penting yang harus
dirancang oleh desainer pelatihan. Model
tersebut adalah Critical Event Model (CEM) yang
dikembangkan oleh Nadler (2011).
b. Model Pelatihan Critical Event Model (CEM)
The Critical Events model (CEM)
merupakan model pelatihan terbuka yang
40
setiap eventnya selalu dievaluasi. Pada model
ini tidak semua variabel bisa diidentifikasi atau
ditetapkan pada saat dilakukan perancangan
program pelatihannya, namun pada setiap
langkahnya selalu di evaluasi dan sebagai
follow up. Pada dasarnya CEM berguna untuk
program pelatihan yang berkaitan dengan
pekerjaan yang dimiliki individu. Tujuan model
ini adalah menggambarkan apa yang mungkin
terjadi, namun tidak dapat memprediksi
produk akhir yang tepat. Nadler juga
mengungkapkan keberhasilan CEM yang
dibuktikan oleh siswa dan kliennya dengan
menyelaraskan sebagai sebuah model. It is one
with which I have had success that my student
have found useful and that my client have been
able to relate to so offer it as one model (Nadler,
1988: 11).
Model yang dikembangkan Nedler ini
dimulai dari: 1) menentukan kebutuhan
organisasi, 2) menspesifikasikan kinerja
peserta pelatihan, 3) mengidentifikasi
kebutuhan peserta pelatihan, 4) merumuskan
tujuan pelatihan, 5) memilih kurikulum
pelatihan, 6) memilih strategi pelatihan, 7)
mendapatkan sumber belajar, dan 8)
melaksanakan pelatihan, dan selanjutnya
41
kembali lagi ke menentukan kebutuhan.
Perputaran ini bertujuan untuk melihat
keunggulan dan kelemahan dari pelatihan
yang telah dilaksanakan, apakah masih perlu
diadakan perbaikan atau memang sudah
sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh
organisasi. Siklus pelatihan pada CEM dapat
digambarkan seperti pada gambar 2.2.
The Critical Events Model
Gambar 2.2. The Critical Event Model (Nadler & Nadler,
1988: 12; 2011: 15)
Identify the Needs of
the Organization
Specify Job
Performance Conduct
Training
Identify
Learner
Needs
Obtain Instructional
Resources
Select Instructional
Strategies Determine
Objectives
Build
Curriculum
Eva
lua
tio
m a
nd
Fee
db
ack
42
Secara lebih rinci, setiap langkah pada
gambar 2.2 dapat dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, Identify the needs of the organization
yaitu menentukan masalah/kebutuhan
mendasar. Tahap ini merupakan pijakan awal
dari langkah selanjutnya. Teknik pengumpulan
data yang digunakan untuk menjembatani
kesenjangan antara kenyataan dan harapan
adalah front-end analysis. Menurut Firdousi
(2011: 113), sebelum melakukan pelatihan,
diwajibkan untuk mengidentifikasi kebutuhan
pelatihan dalam organisasi agar tercapai
tujuan yang diinginkan.
Identifikasi kebutuhan merupakan
komponen kritis dan sangat penting dalam
keseluruhan proses pelatihan bahwa
menganalisis kebutuhan pelatihan organisasi
merupakan langkah pertama yang harus
dilakukan dalam mendesain program pelatihan
(Dick, Carey & Carey, 2009: 23; Hariandja dan
Hardiwat, 2007: 174). Hasil penelitian Kanada
(2015: 158), bahwa pelatihan In-House Training
secara konsisten dan berkesinambungan dapat
terjamin secara kuantitas, tetapi disisi lain
dibutuhkan pelatihan yang terjamin secara
43
kualitas. Untuk menjamin kualitas pelatihan,
dibutuhkan analisis kebutuhan pelatihan
organisasi, jabatan, dan individu pegawai.
Kedua, Specify Job Performance, yaitu
menspesifikasikan kinerja. Pada tahap ini
diperoleh data tentang spesifikasi kinerja para
peserta pelatihan. Teknik pengumpulan data
dapat menggunakan kuesioner, wawancara,
rapat, observasi, dan lain sebagainya.
Kinerja guru dispesifikasikan dalam
bentuk Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) pelatihan yang
dikembangkan dari Permendiknas nomor 16
tahun 2007. Pemetaan kompetensi ini senada
dengan pandangan Hakim (2009: 243),
kompetensi pedagogik merupakan suatu
performansi (kemampuan) seseorang dalam
bidang ilmu pendidikan. Untuk menjadi guru
yang profesional harus memiliki pengetahuan
dan pemahaman serta kemampuan dan
keterampilan pada bidang profesi
kependidikan. Kompetensi pedagogik atau
akademik ini merujuk kepada kemampuan
guru untuk mengelola proses belajar,
mengajar, termasuk di dalamnya perencanaan
44
dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar dan
pengembangan siswa sebagai individu-
individu.
Menurut Atwi Suparman (2012: 68)
hakikat kompetensi dalam pelatihan berbasis
kompetensi sebenarnya adalah tujuan umum
yang hendak dicapai oleh sebuah pelatihan.
Ketiga, Identify Learner Needs, yaitu
mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan.
Tujuan utama dari event ini adalah
mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan.
Jika pada event sebelumnya berfokus pada
kinerja peserta pelatihan, maka pada event ini
berfokus pada orang yang melakukan kinerja
tersebut. Teknik identifikasi kebutuhan guru
menggunakan front-end analysis. Menurut
Nedler (1988: 19) untuk mengetahui
kebutuhan yang muncul dapat dilihat dari
kesenjangan antara kondisi yang diharapkan
dengan kondisi faktualnya. Sejalan dengan
pandangan tersebut, Mawardi (2014: 34)
menguraikan langkah-langkah untuk
mengidentifikasi defisit kompetensi pedagogik
dan profesional sebagai kebutuhan pelatihan
dengan analisis awal-akhir (front-end analysis).
45
Proses front-end analysis terdiri dari: analisis
kinerja (performance analysis), analisis
kebutuhan (need assessment), dan analisis
pekerjaan (job analysis) untuk program
pelatihan tertentu. Pengumpulan data pada
event ini dapat dilakukan dengan cara rapat,
wawancara, observasi, kuesioner, dan tes.
Keempat, Determine Objectives, yaitu
merumuskan tujuan pelatihan. Pada tahap ini
desainer mengidentifikasi elemen-elemen yang
harus dipertimbangkan dalam merumuskan
tujuan program pelatihan dan pengalaman
yang akan didapat oleh peserta pelatihan.
Soetarno Joyoatmojo (2011: 80-81)
menyatakan bahwa indikator pelatihan
sebenarnya merupakan tujuan
pembelajaran/pelatihan khusus yang
dikembangkan dari tujuan umum pelatihan
(SK dan KD). Tujuan pelatihan khusus
merupakan deskripsi pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang akan dicapai oleh
perserta pelatihan, sekaligus sebagai acuan
dalam memilih materi, strategi dan instrumen
penilaian. Tujuan pelatihan khusus yang
dinyatakan dengan jelas akan menjadi
46
pedoman bagi peserta pelatihan untuk
menguasai kompetensi pelatihan.
Senada dengan Soetarno Joyoatmojo,
perumusan tujuan pelatihan yang didasarkan
pada indikator yang telah dikembangkan dari
SK dan KD pelatihan ini, Mujiman (2011: 70),
menyatakan bahwa tujuan pelatihan mengacu
pada penguasaan terhadap kemampuan yang
ditargetkan untuk dapat dikuasai pada akhir
pelatihan.
Kelima, Build Curriculum, yaitu memilih
kurikulum pelatihan. Event ini merupakan
point utama dalam CEM, karena pada event ini
desainer menentukan apa saja yang harus
dipelajari serta urutan pembelajaran yang
akan didapat oleh peserta pelatihan. Pemilihan
materi pelatihan dapat menggunakan materi
yang telah ada asalkan sesuai dengan tujuan
pelatihan (Joyoatmojo, 2011: 86). Pendapat
senada juga disampaikan oleh Mujiman (2011:
71) bahwa pemilihan materi ini harus
disesuaikan dengan tujuan pelatihan. Lebih
lanjut, Mujiman menjelaskan bahwa dalam
menyusun materi pelatihan, perlu
47
didiskusikan dengan kolega untuk
mendapatkan masukan.
Keenam, Select Instructional Strategies,
yaitu memilih strategi pelatihan. Pada event ini
berisi pemilihan strategi yang berupa aktivitas
instruktur dan peserta pelatihan dalam
melakukan pelatihan. Pemilihan strategi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan materi
pelatihan (Nadler, 2011: 164). Berbeda dengan
pandangan Nadler, Mujiman (2011: 71)
mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran
dalam pelatihan ditentukan oleh tujuan
pembelajaran, karakteristik peserta pelatihan,
ketersediaan alat bantu pembelajaran,
preferensi, kemampuan instruktur, dan
sebagainya.
Ketujuh, Obtain Instructional Resources,
yaitu mendapatkan sumber pembelajaran.
Sumber pembelajaran yang dimaksud dalam
event ini meliputi sumber belajar fisik (ruang
pelatihan, soundsystem, ATK, dll), finansial,
dan sumber daya manusia (Supervisor,
instruktur, pengelola, dan peserta). Hal senada
juga ditegaskan oleh Mujiman (2011: 72)
bahwa sumber belajar pelatihan dapat berupa
48
bahan ajar baik cetak maupun elektronik, alat
bantu belajar, instruktur, dan peserta
pelatihan.
Kedelapan, Conduct Training, yaitu
melaksanakan pelatihan. Tujuan event ini
adalah untuk melakukan program pelatihan
yang telah dirancang sebelumnya. Pada tahap
ini, aktivitas perancang semakin berkurang
dan diambil alih oleh instruktur pelatihan.
Aktivitas perancang beralih menjadi pengawas
proses pelatihan meskipun kompetensi
perancang tidak sama dengan kompetensi
pengawas sesungguhnya. Hal ini tetap
dilakukan karena setidaknya perancang
mengetahui keseluruhan desain pelatihan yang
dirancang. Evaluation and Feedback wajib
dilakukan pada setiap event sebagai output
event yang sedang berlangsung dan input pada
event berikutnya (Nadler & Nadler, 1988: 12;
2011: 15).
Penelitian dan pengembangan ini
memilih model Critical Event Model (CEM),
dengan pertimbangan: 1) CEM memiliki
langkah-langkah prosedural, artinya tahapan
demi tahapan pelaksanaan pelatihan memiliki
keterkaitan logis. Output tahapan sebelumnya
49
menjadi input bagi tahapan berikutnya yang
berkonsekuensi menindak lanjuti tahapan
sebelumnya mengarah pada keefektifan sistem
pelatihan sistemik; 2) CEM memiliki langkah-
langkah fungsional yang saling terkait dan
saling membutuhkan; 3) CEM bersifat inovatif,
sejauh penelusuran hasil penelitian tentang
CEM dijurnal cetak maupun online baru
ditemukan satu hasil penelitian tentang
pelatihan yang menggunakan model CEM; 4)
CEM dilaksanakan sesuai dengan bekal
pengetahuan awal peserta pelatihan, pada
hakikatnya pelatihan CEM cocok untuk
meningkatkan kompetensi sumber daya
manusia yang sudah mempunyai pekerjaan.
Pelatihan CEM mempunyai dampak
terhadap kinerja sumber daya manusia. Hal ini
telah ditegaskan oleh Nadler bahwa
keampuhan pelatihan CEM telah dibuktikan
oleh siswa dan kliennya yang kemudian
diselaraskan sebagai sebuah model. It is one
with which I have had success that my student
have found useful and that my client have been
able to relate to so offer it as one model (Nadler,
1988: 11). Senada dengan pernyataan tersebut,
50
Mulastin (2016) melalui penelitian dan
pengembangan yang dilakukan telah
membuktikan keberhasilan pelatihan CEM
untuk meningkatkan sumber daya manusia.
c. Desain Pelatihan menggunakan CEM
Pelaksanaan suatu program tidak dapat
terlepas dari suatu rancangan atau desain.
Desain dapat diartikan sebagai peta jalan atau
kerangka kerja sebagai pedoman bagi
pelaksana program mencapai tujuan yang
ditetapkan. Tanpa adanya desain, maka
pelaksanaan suatu program tidak dapat
mencapai tujuan. Begitu pula dalam
pelaksanaan program pelatihan bagi guru
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif, harus didesain sedemikian rupa agar
tujuan pelatihan dapat tercapai.
Desain pelatihan merupakan proses
sistematis dalam mencapai tujuan pelatihan
secara efektif dan efisien melalui
pengidentifikasian masalah, pengembangan
strategi dan bahan pelatihan, serta
pengevaluasian terhadap strategi dan bahan
pelatihan untuk menentukan hal-hal yang
51
harus direvisi. Hasil akhir dari desain
pelatihan adalah satu set produk pelatihan
yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
pelatihan. Proses desain pelatihan dimulai dari
mengidentifikasi masalah, mengembangkan
strategi dan bahan pelatihan, diakhiri dengan
mengevaluasi efektifitas dan efisiensi produk
(Suparman, 2012: 99). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa desain pelatihan merupakan
blue print untuk mengembangkan bahan dan
media untuk mencapai tujuan pelatihan.
Mendesain pelatihan adalah kegiatan
merancang penyajian bahan pelatihan dalam
bentuk lesson plan yang dapat digunakan oleh
instruktur. Secara garis besar lesson plan
pelatihan harus memuat topik, masalah pokok,
tujuan, materi, alokasi waktu, metode, media,
dan instrumen evaluasi (Mudjiman, 2011: 73).
2.1.4 Hasil Penelitian Relevan
Penelitian dan pengembangan tentang
desain pelatihan CEM untuk meningkatkan
kompetensi guru mengembangkan
pembelajaran tematik integratif ini didukung
oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya.
Penelitian tersebut berkaitan dengan penelitian
52
pelatihan guru secara umum, penelitian model
CEM secara khusus, dan penelitian tentang
peningkatan kompetensi guru dalam
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif SD.
Pertama, penelitian relevan terkait
pelatihan guru dilakukan oleh Kazu, H. &
Demiralp, D. (2016) tentang Faculty Members’
Views on the Effectiveness of Teacher Training
Programs to Upskill Life-Long Learning
Competence. Pada akhir penelitiannya
diperoleh data bahwa guru kekurangan
kompetensi life-long learning seperti rasa ingin
tahu, melek informasi, terbuka untuk belajar,
semangat meneliti bahkan guru tidak dapat
memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh
bidang keahliannya. Teacher Training Programs
(TTP) yang dilakukan ternyata tidak sesuai
untuk meningkatkan kompetensi life-long
learning dan tidak memadai dalam
pengembangan personal guru pra-jabatan. Hal
ini disebabkan karena guru telah lulus dari
fakultas pendidikan sebelum mendapatkan
kompetensi life-long learning dan juga belum
dapat memenuhi kompetensi yang dibutuhkan
53
oleh bidang keahliannya. Hal ini
mengindikasikan bahwa diperlukan
pengaturan kurikulum yang mendorong
pembelajaran life-long learning. Kazu &
Demiralp menyarankan pada kagiatan
pelatihan selanjutnya diharapkan program
pelatihan dilengkapi dengan proyek yang
berorientasi praktik, memungkinkan
pembelajaran berbasis reflektif dan berbasis
kompetensi. Penelitian dan pengembangan ini
berusaha menjawab temuan Kazu & Demiralp,
dengan menyelenggarakan pelatihan dilengkapi
dengan praktik dan memungkinkan
pembelajaran berbasis kompetensi yang
dibutuhkan.
Selain Kazu, Jalmo dan Rustaman (2010)
juga melakukan penelitian pengembangan
tentang Program Pelatihan Peningkatan
Kompetensi Guru IPA menemukan hasil
berikut: 1) Program Pelatihan Guru dengan
strategi Scaffolding (PPGS) merupakan program
yang efektif dalam meningkatkan kompetensi
peserta; 2) terdapat enam karakteristik PPGS;
3) kelemahan PPGS adalah tidak efisien waktu;
dan 4) keunggulan PPGS adalah student
54
centered dan memotivasi peserta bekerja keras
untuk meningkatkan kompetensinya. Temuan
ini mendukung R&D yang dilakukan oleh
peneliti yaitu melakukan pelatihan untuk
meningkatkan kompetensi guru. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa program
pelatihan mampu meningkatkan kompetensi
guru. Bedanya pada temuan Jalmo dan
Rustaman menggunakan strategi Scaffolding,
sedangkan pada R&D yang dilakukan peneliti
menggunakan desain CEM.
Selanjutnya, Tuginem dan Muhyadi
(2014) meneliti tentang keefektifan pelatihan
penyusunan bahan ajar berbasis Lectora,
menunjukkan hasil bahwa melalui program
pelatihan penyusunan bahan ajar, standar
kompetensi pedagogik guru terpenuhi dalam
kategori sangat efektif (>22,75). Temuan ini
mendukung R&D yang dilakukan oleh peneliti,
bahwa melalui program pelatihan dapat
meningkatkan kompetensi pedagogik guru
secara efektif.
Yoto (2015) melakukan penelitian kajian
literatur pengembangan pendidikan melalui
pendidikan dan pelatihan menemukan bahwa
55
guru perlu melakukan pelatihan secara terus-
menerus agar mengetahui dan memahami
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Melalui pelatihan, guru mampu dan
terampil dalam memainkan peran di hadapan
peserta didik, sehingga mutu pendidikan akan
menjadi baik dan lulusannya mampu bersaing
dalam mencari pekerjaan. Hasil penelitian
literatur yang dilakukan oleh Yoto sangat
mendukung penelitian dan pengembangan
yang dilakukan oleh peneliti, bahwa kegiatan
pelatihan guru penting dilakukan bahkan
secara continew agar mengetahui kebutuhan
yang harus dipenuhi dan bagaimana
meningkatkan kompetensinya. Hasil penelitian
Wangid, Mustadi, dan Astuti (2013)
menunjukkan bahwa Pelatihan Pembelajaran
Tematik Integratif Bagi Guru Sekolah Dasar
dapat membantu upaya pemerintah dalam
memberikan pelatihan terhadap guru-guru
dalam implementasi kurikulum 2013.
Keberhasilan penelitian tersebut dibuktikan
dengan dua indikator: 1) adanya peningkatan
nilai rata-rata pretes dan postes; 2) adanya
56
peningkatan nilai rata-rata RPP yang dibuat
sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan.
Masrukhi, Widodo, Sukestiyarno dan
Raharjo (2015) melakukan R&D tentang
Pengembangan Model Pelatihan PTK Berbasis
Pendampingan memperoleh hasil model dan
perangkat pelatihan PTK yang terdiri dari buku
panduan instruktur dan peserta, model
pelatihan PTK berbasis pendampingan, buku
pedoman pelatihan, dan modul materi
pelatihan. Setelah dilakukan kegiatan
pelatihan, peserta mampu menghasilkan
produk berupa karya ilmiah laporan hasil PTK.
Temuan ini mendukung R&D yang dilakukan
oleh peneliti tentang pengembangan desain
pelatihan CEM. Bedanya dalam penelitian yang
dilakukan oleh Masrukhi, Widodo,
Sukestiyarno dan Raharjo adalah
mengembangkan model pelatihan PTK berbasis
pendampingan dengan menghasilkan beberapa
produk berupa buku panduan instruktur dan
peserta, buku pedoman pelatihan, dan modul
materi pelatihan, sedangkan pada R&D yang
dilakukan peneliti adalah mengembangkan
desain pelatihan menggunakan CEM dengan
produk berupa silabus, RPP, dan materi
pelatihan.
57
Secara garis besar, beberapa hasil
penelitian di atas menunjukkan pentingnya
program pelatihan bagi guru untuk
meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.
Meskipun dari kajian tersebut belum
ditemukan hasil penelitian tentang pelatihan
bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya
dengan menggunakan desain pelatihan CEM
sebagaimana yang dilakukan peneliti pada
R&D ini.
Kedua, penelitian relevan terkait
pelatihan CEM. Penelitian R&D tentang
keefektifan pelatihan penelitian bagi dosen
STIKes Jawa Tengah menggunakan model
integratif CEM dilakukan oleh Mulastin,
Samsudi, Rusdarti (2016). Hasil penelitian
menunjukankan: 1). Hasil analisis pelatihan
yang ada selama ini berkaitan dengan
perencanaan dan pelaksanaan pelatihan
penelitian bagi dosen masih kurang efektif dan
2). Integrated Critical Event Model (ICEM)
terbukti efektif digunakan dalam pelatihan
penelitian bagi Dosen Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan di Jawa Tengah (t-hitung = 10,72>
nilai t-tabel 2,101). Model pelatihan ini
menyisipkan teori ICEM, yaitu sebuah konsep
berkenaan dengan penentuan kebutuhan
58
kelembagaan, spesifikasi tugas yang harus
dijalankan, tujuan, kurikulum, memilih
strategi pembelajaran, hingga mendapatkan
sumber pembelajaran.
Model pelatihan ICEM yang
dikembangkan oleh Mulastin mempunyai
kesamaan dengan model pelatihan CEM
sebagaimana yang dilakukan dalam R&D ini,
hanya saja pada model ICEM peneliti
mengkombinasikannya dengan strategi
mentoring sehingga program pelatihan dapat
terlaksana secara efektif.
Barger (2008) melakukan penelitian
literatur tentang keampuhan model pelatihan
CEM. Barger menyimpulkan bahwa model CEM
merupakan model terbuka, fleksibel dan dapat
melibatkan pihak-pihat terkait dalam
merancang pelatihan melalui proses evaluasi
dan pemberian umpan balik (feedback).
Evaluasi dan umpan balik bukan merupakan
aktivitas tunggal dalam pelatihan, melainkan
merupakan sebuah proses pada setiap tahap.
Fleksibilitas CEM terlihat pada pertanyaan
yang muncul setiap tahapan sebagai bantuan
perancang untuk memutuskan tindakan
selanjutnya.
59
Ketiga, penelitian relevan terkait
peningkatan kompetensi guru dalam
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif SD. Rahayu, Pujianto dan
Purwaningsih (2014) melakukan R&D tentang
Pelatihan Pengembangan Model Pembelajaran
Tematik dan Terintegrasi ‘Webbed’ Bermuatan
Kearifan Lokal bagi Guru-Guru SD untuk
Meningkatkan Kompetensi Guru sebagai
Penunjang Kesiapan Implementasi Kurikulum
2013. Penelitian ini menghasilkan
pengetahuan dan pemahaman guru-guru
terhadap pengembangan perangkat
pembelajaran tematik dan produk berupa
tujuh tema pembelajaran. Temuan ini
mendukung penelitian dan pengembangan
yang dilakukan oleh peneliti, khususnya pada
penggunaan model pembelajaran tematik
integratif ‘Webbed’ untuk mengembangkan
pembelajaran berbasis tema.
Selanjutnya, Yama dan Setiyani (2016)
melakukan penelitian mengenai pengaruh
pelatihan guru, kompetensi guru, dan
pemanfaatan sarana prasarana terhadap
kesiapan guru dalam implementasi kurikulum
2013. Pembuktian secara statistik
60
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pelatihan guru dalam implementasi kurikulum
2013. Artinya pemberian treatmen berupa
pelatihan kepada guru dapat menunjang
kesuksesan implementasi kurikulum 2013.
Temuan ini juga mendukung R&D ini bahwa
kegiatan pelatihan guru dalam rangka
menyukseskan implementasi kurikulum 2013
adalah hal yang penting untuk dilakukan.
Kasmad (2015) melakukan penelitian
tindakan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran tematik terpadu melalui kegiatan
In House Training (IHT) bagi guru kelas 1 SD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui
kegiatan IHT, kreativitas guru dan kualitas
pembelajaran tematik integratif pada kelas 1
menjadi meningkat. Tindakan yang diberikan
pada kegiatan IHT ini adalah workshop tentang
pembelajaran tematik integratif dan
pembahasan instrumen pengamatan
pembelajaran tematik. Keberhasilan penelitian
ini dapat dilihat dari capaian nilai guru pada
pelaksanaan pembelajaran tematik melalui
peer teaching. Pada siklus 1 terdapat 2 guru
yang mendapat nilai C, 3 guru mendapat nilai
61
B, dan 1 guru mendapat nilai A. Pada siklus 2,
sudah tidak ada guru yang memperoleh nilai
C, 1 diantaranya mendapat nilai B, 5 lainnya
mendapatkan nilai A. Artinya, temuan ini
mendukung penelitian R&D yang dilakukan
oleh peneliti, bahwa melalui sebuah treatmen
pelatihan dapat meningkatkan kompetensi
guru dalam melaksanakan pembelajaran
tematik integratif.
Berdasarkan kajian hasil penelitian di
atas tampak bahwa program pelatihan bagi
guru telah sering dilakukan dengan tujuan
meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan
sesuai bidang yang diampu. Dari beberapa
literatur yang dikaji, diperoleh hasil yang relatif
sama yaitu program pelatihan terbukti efektif
dalam memperbaiki dan meningkatkan
kompetensi guru mengembangkan perangkat
dan melaksanakan pembelajaran tematik
integratif. Hasil penelitian Sari (2014: 47)
menunjukan bahwa kompetensi pedagogik
memberikan konstribusi terhadap kinerja
mengajar guru. Lebih lanjut hasil penelitian
Sari menunjukkan bahwa semakin tinggi
kompetensi pedagogik guru maka semakin
62
tinggi pula kinerja mengajar guru dan
sebaliknya semakin rendah kompetensi
pedagogik yang dimiliki guru maka semakin
rendah pula kinerja mengajarnya. Meskipun
terdapat hasil penelitian yang kontradiktif,
bahwa kegiatan pelatihan guru belum mampu
memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh
bidang keahliannya; disarankan untuk
program pelatihan berikutnya dilengkapi
dengan praktik dan memungkinkan
pembelajaran berbasis kompetensi yang
dibutuhkan guru.
Penelitian ini berfokus pada
pengembangan desain pelatihan CEM untuk
meningkatkan kompetensi guru
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif. Hal yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya terletak pada
desain pelatihan. Sepanjang pencarian literatur
mengenai program pelatihan menggunakan
CEM, baru ditemukan satu literatur hasil
penelitian mengenai efektifitas desain pelatihan
CEM. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa desain program pelatihan CEM terbukti
efektif digunakan dalam pelatihan penelitian
63
bagi dosen. Dalam penelitian ini akan
menggunakan desain pelatihan CEM untuk
meningkatkan kompetensi guru SD
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif.
2.1.5 Kerangka Pikir
Hasil studi pendahuluan menunjukkan
bahwa terdapat kesenjangan kompetensi
pedagogik guru SD dalam mengembangkan
pembelajaran tematik integratif. Analisis
lanjutan terhadap permasalahan kompetensi
guru SD ini dilakukan dengan menggunakan
langkah-langkah CEM. Terutama langkah
analisis kebutuhan sekolah, menentukan
spesifikasi pelaksanaan tugas guru, dan
menentukan kebutuhan guru. Hasil analisis ini
menemukan bahwa dalam rangka
meningkatkan mutu sekolah, para guru harus
memiliki kompetensi yang memadai,
khususnya dalam mengembangkan
pembelajaran tematik integratif. Kenyataannya
adalah terdapat kesenjangan atau defisit
kompetensi guru dalam mengembangkan
pembelajaran tematik, maka dilakukan
alternatif pemecahan masalah dengan
pelatihan menggunakan model CEM.
64
Selanjutnya ditentukan tujuan pelatihan,
kurikulum pelatihan, strategi pelatihan,
sumber materi dan kemudian dilaksanakan
pelatihan. Pelatihan yang dirancang secara
sistematis dengan menganalisis kebutuhan
seperti ini akan berdampak pada
meningkatnya kompetensi pedagogik guru SD
dalam mengembangkan pembelajaran tematik
integratif alternatif (tidak cukup hanya
panduan yang dikembangkan oleh
Kemendikbud). Akhirnya pembelajaran tematik
integratif yang dilakukan di SD akan lebih
bermutu. Seiring dengan perubahan, maka
kompetensi pedagogik guru ini harus selalu
dikembangkan terus-menerus. Bisa saja
kompetensi guru tidak lagi mencukupi
kebutuhan sekolah, sehingga perlu dilakukan
pelatihan kembali, demikian proses ini akan
berulang secara siklus.
Secara teoritis, desain pelatihan CEM
mempunyai keterkaitan dan dampak terhadap
peningkatan kompetensi guru dalam
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif. Hal ini dapat terjadi karena desain
pelatihan CEM diawali dengan melakukan
analisis kebutuhan peserta pelatihan, sehingga
hasil pelatihan dapat tepat sasaran mengatasi
65
kebutuhan guru. Agar kerangka pikir ini lebih
jelas, pada gambar 2.3 berikut dipaparkan
bagan yang menggambarkan kerangka pikir
penelitian ini.
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Kondisi faktual: Kompetensi guru SD dalam mengembangkan
pembelajaran tematik integratif masih rendah
Pelatihan
Desain Pelatihan
menggunakan CEM
Kesenjangan/
kebutuhan
Kondisi ideal: Kompetensi guru SD dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif baik
Pembelajaran tematik integratif
alternatif di SD
Kompetensi guru mengembangkan pembelajaran tematik integratif
meningkat