bab ii kajian pustakaeprints.umm.ac.id/53838/3/bab ii.pdfproses pembentukan realitas melalui...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam Bab II Kajian Pustaka ini diawali dengan menuliskan hasil kajian
mengenai penelitian terdahulu untuk mengetahui apakah sudah terdapat
penelitian yang sama dengan fokus kajian yang diteliti oleh peneliti. Selanjutnya
diuraikan mengenai kerangka berfikir dalam penelitian ini termasuk menjelaskan
mengenai perspektif teoritik yang digunakan yaitu perspektif teori konstruksi
sosial Bergerian dan teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas. Di bagian
akhir dari bab ini dijelaskan juga mengenai konsep-konsep yang digunakan oleh
peneliti dalam melakukan pembahasan atas hasil temuan penelitian.
A. Penelitian Terdahulu
Peneliti belum menemukan kajian yang secara spesifik membahas
tentang bagaimana konstruksi makna ritual kematian sebagai nilai-nilai
kebajikan sosial dalam perspektif Bergerian dan implikasinya terhadap
inisiatif lokal. Jika pun ada, penelitian tersebut tidak cukup spesifik dalam
membahas proses konstruksi nilai-nilai kebajikan sosial yang berpengaruh
terhadap munculnya inisiatif lokal. Beberapa penelitian yang relatif relevan
dengan penelitian ini adalah: Pertama, penelitian Ahmadriswan, Ernan
Rustiadi, Bambang Juanda dan Setia Hadi tentang Hubungan Kausalitas
antara Modal Sosial dan Kemiskinan di Pedesaan Indonesia yang
dipublikasikan dalam Asian Social Science; Vol. 11, No. 13; 2015. Studi ini
secara empiris mengeksplorasi hubungan antara modal sosial dan kemiskinan
di daerah pedesaan Indonesia. Dengan menganalisis dua jenis data nasional
yang representatif, studi ini menyatakan bahwa modal sosial adalah sebuah
konsep multidimensi yang tidak dapat dengan mudah ditangkap oleh ukuran
tunggal. Dalam penelitian juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan dua
arah kausalitas antara modal sosial dan kemiskinan. Secara lebih spesifik,
penelitian ini mendefinisikan modal sosial sebagai partisipasi dalam kegiatan
sosial. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian merekomendasikan agar
2
program pengentasan kemiskinan pemerintah Indonesia perlu
mempertimbangkan kegiatan sosial yang ada. Hal ini dapat membantu
mengidentifikasi program intervensi yang berbeda untuk kegiatan sosial yang
berbeda.
Dari penelitian tersebut ditarik kesimpulan bahwa partisipasi dalam
kegiatan sosial berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Namun di
dalamnya tidak cukup memadai untuk menjelaskan tentang nilai-nilai
kebajikan sosial apakah yang mendasari m unculnya partisipasi masyarakat
dalam kegiatan sosial. Partisipasi bukanlah perilaku yang terpisah dari sistem
nilai dalam masyarakat. Maka penting untuk dikaji lebih mendalam tentang
nilai kebajikan sosial yang mendasari anggota masyarakat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang berpengaruh terhadap kemiskinan.
Melalui penelitian di Desa Pajeng, peneliti mengkonstruksi bagaimana nilai-
nilai kebajikan sosial itu bisa mengerakkan kolaborasi dan partisipasi
masyarakat yang akhirnya dapat mentransformasikan ke dalam berbagai
inisiatif dan inovasi yang berdampak pada pengentasan kemiskinan di Desa
Pajeng. Identifikasi proses pemaknaan, konstruksi dan pelembagaan
partisipasi ini sejalan dengan pendekatan norma sosial (the social norm
approach) yang menyatakan bahwa norma-norma sosial akan mempengaruhi
bagaimana perilaku kelompok, termasuk di dalamnya perilaku partisipasi
(Berkowitz, 2004).
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh World Bank dan telah
dirumuskan menjadi Policy Research Working Paper, no. 7382, pada tahun
2015. Penelitian itu berjudul Self-Help Groups, Savings and Social Capital
Evidence from a Field Experiment in Cambodia, menemukan fakta-fakta
sebagai berikut, pertama, organisasi berbasis kelompok desa yang dirancang
untuk melakukan penghematan, meningkatkan produksi rumah tangga dan
kohesi sosial di antara orang miskin dapat meningkatkan modal ekonomi dan
sosial; kedua, program menabung melalui kelompok swadaya berdampak
signifikan dalam mengembangkan modal social dan keterlibatan masyarakat
orang miskin; Ketiga, kebingungan terhadap kondisi pemerintahan, karena
3
berbagai kasus korupsi dan koersi, telah mendorong orang miskin untuk
menjadi komunitas mandiri yang lebih sesuai dengan kelompoknya.
Komunitas mandiri ini akhirnya memicu munculnya norma-norma pro sosial
diantara anggota masyarakat miskin seperti: kesediaan untuk berbagi dengan
saling membutuhkan, kepercayaan, kesediaan untuk berkontribusi secara
kolektif, dan berhati-hati dalam mengelola risiko. Risiko (Ban, et. al., 2015).
Perbedaan antara penelitian World Bank (WB) di Kamboja dengan
tema desertasi yang dilakukan di Desa Pajeng ini terletak pada upaya untuk
mengelaborasi keterkaitan antara inisiatif kelompok masyarakat miskin,
lahirnya norma-norma kelompok serta transformasinya. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh WB, inisiatif masyarakat dalam bentuk penghematan,
menabung, dan pembentukan komunitas mandiri disimpulkan sebagai
pendorong lahirnya norma-norma dan kebajikan sosial yang berdampak
positif bagi peningkatan modal sosial dan ekonom i. Sedangkan dalam
penelitian di Pajeng, fokusnya adalah untuk mendalami dan mengelaborasi
bagaimana nilai-nilai kebajikan sosial itu berpengaruh terhadap inisiatif
masyarakat. Fokus dalam kajian ini dilandasi oleh temuan data awal yang
menunjukkan bahwa norma-norma kebajikan sosial merupakan prakondisi
dari terjadinya proses transformasi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Fukuyama bahwa norma-norma kebajikan sosial merupakan indikator kunci
dari modal sosial (Putnam, 1993, Fukuyama 1995).
Ketiga, penelitian tentang Pemodelan dalam Forum Musrenbang Desa
di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran, yang
dilaksanakan oleh Noverman Duadji, dan Novita Tresiana, Universitas
Lampung, yang diterbitkan dalam Jurnal Kajian Politik Dan Masalah
Pembangunan, Vol. 12 No. 02, Tahun 2016. Dengan menggunakan perspektif
tindakan komunikatif Habermas, penelitian ini menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan musyawarah di perdesaan diperlukan Governance sounds
berbasis kearifan masyarakat adat. Untuk itu, input Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa harus berangkat dari persoalan (masalah) dan kebutuhan
masyarakat desa dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman kondisi
4
desa, Konsep Governance sounds memaknai lembaga adat Lampung
merupakan lembaga yang mengakomodir pluralisme dan kemajemukan forum
deliberatif desa. Namun demikian, penelitian ini pun belum cukup memadai
untuk menjelaskan bagaimana proses konsensus antar pihak yang dalam
dirinya sudah memiliki makna dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain
tersebut terjadi.
B. Kerangka Berfikir
Lahirnya Rukun Kematian Desa Pajeng, menggambarkan bagaimana
proses tafsir ulang atas ritual kematian yang diawali dengan keterkejutan,
perjumpaan dengan tradisi baru, munculnya pemahaman baru, inisiasi
kebiasaan dan cara baru, sosialisasi, affirmasi, penolakan, internalisasi dan
eksternalisasi. Proses tersebut telah menciptakan perubahan fundamental
dalam memaknakan ritual kematian. Ritual kematian yang pada awalnya
dimaknai dengan berbagai mitologi yang cenderung irasional, kini sudah
dimaknai lebih rasional. Kematian yang tadinya tidak diperkenankan untuk
direncanakan, sekarang harus direncana, diantisipasi dan bahkan
dipersiapkan. Ritual kematian yang pada awalnya merupakan salah satu
pemicu pelanggengan kemiskinan atau bahkan mendiskriminasi orang
miskin, kini justru melahirkan nilai “kebajikan sosial baru” yang memiliki
manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat luas.
Berdasarkan uraian di atas tergambar bagaimana proses eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi Rukun Kematian Pajeng dalam perspektif Berger
dan Luckmann. Namun dalam konteks rukun kematian Pajeng, pendekatan
konstruksi sosial ini belum memadai. Sebab, dalam proses dialektika antar
para inisiator dan antara inisiator dengan warga masyarakat telah melahirkan
“pertarungan klaim” yang menghadirkan ruang publik dimana perdebatan
publik dapat berlangsung. Dalam ruang publik inilah, formasi opini dan
aspirasi diskursif tentang nilai-nilai kebajikan sosial dari berbagai pihak
saling diperbincangkan dan diperdebatkan. Hadirnya ruang publik dan proses
diskursif inilah yang akan dijelaskan melalui pendekatan tindakan
5
komunikatif Habermas. Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini
menggunakan pradigma integratif.
Paradigma integratif digunakan oleh peneliti untuk mengisi ruang
kosong, meretas keterbatasan dan memperkaya pembahasan hasil dari
penelitian ini. Sehingga, penelitian ini tidak lagi mengulang ketegangan dan
keberat-sebelahan dari masing-masing paradigma. Sebagaimana hal itu
pernah terjadi ketika paradigma fakta sosial yang hanya fokus pada struktur
makro; paradigma definisi sosial yang hanya fokus pada tindakan, interaksi,
dan konstruksi sosial dari realitas mikro. Sedangkan paradigma perilaku
sosial terlalu fokus pada perilaku saja.
Robert K Merton yang mewakili paradigma fakta sosial, melihat
bahwa paradigmanya dan paradigma definisi sosial dapat saling memperkaya,
sebagaimana perbedaan antara telur dengan daging, keduanya jelas berbeda,
namun saling memperkaya. Menurut Ritzer, paradigma integrasi ini
dibutuhkan karena teramat sukarnya untuk memahami fenomena sosial yang
beraneka ragam dan saling pengaruh mempengaruhi. Untuk memahaminya,
dibutuhkan kemampuan menguraikan dan menjelaskan empat tingkat
mendasar analisis sosial dalam satu kesatuan, yakni makro-subjektif seperti
nilai, makro-objektif seperti tata kelola organisasi, mikro-objektif seperti pola
interaksi dan mikro-subjektif seperti konstruksi sosial.
Penerapan paradigma integratif ini dilakukan Peter Ludwig Berger
dan Thomas Luckmann dalam “The Social Construction of Reality: A
Treatise in the Sociology of Knowledge” yang ditulisnya pada tahun 1966.
Mereka berdua melihat bahwa manusia dan masyarakat merupakan produk
yang dialektis. Keduanya bukanlah suatu realitas tunggal yang stagnan dan
absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Dualitas
dimensi realitas ini menunjukkan bahwa manusia merupakan instrumen
dalam menciptakan ‘realitas yang objektif’ (tesis Durkheim) melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana dia memengaruhi realitas objektif tersebut
melalui proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’
(tesis Weber). Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tersebut
6
merupakan bentuk penyatuan paradigma yang ada pada sosiologi. Hal itu
terlihat dari analisia Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang
menyandarkan pada pemikiran seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz.
Sejalan dengan paradigma integratif tersebut, penelitian ini juga telah
menggunakan teori kritis Habermas untuk memahami dunia hidup (lifeworld)
yang mencakup: pertama, dunia objektif sebagai representasi fakta-fakta
independen dari pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensi
umum untuk menentukan kebenaran. Kedua, dunia sosial yang terdiri dari
hubungan-hubungan intersubjektif; serta ketiga, dunia subjektif yang
bersumber dari pengalaman individu. Bagi Habermas, individu yang mampu
memilah tiga aspek dari pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka,
mencapai suatu pemahaman ‘tak terpusat’ (decentered) dari dunia hidup
(Habermas, 1985).
C. Perspektif Teoritik
1. Perspektif Teori Konstruksi Sosial
Secara lebih spesifik, penelitian ini menggunakan perspektif
konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) Berger dan
Luckmann. Yakni, proses sosial berlangsung melalui tindakan dan
interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas
yang dim iliki dan dialami bersama secara subjektif. Pemikiran Berger
mengenai konstruksi sosial ini dituangkan dalam karyanya yang terkenal,
yakni Invitation to Sociology (1963) dan The Social Construction of
Reality (1966) yang ditulis bersama dengan temannya, Thomas
Luckmann. Di dalam karyanya tersebut dijelaskan bahwa realitas
terbentuk secara sosial, oleh karena itu sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses tersebut terjadi.
Menurut Berger dan Luckmann (2012), sosiologi merupakan
usaha sistematis untuk memahami dunia sosial tanpa harus terpengaruh
oleh berbagai harapan dan kecemasan. Untuk menjadi seorang sosiolog,
orang tidak mesti harus menjadi seorang propagandis atau pengamat yang
7
mati rasa, melainkan ia harus berada dalam ketenggangan eksistensial
dengan nilai-nilai seseorang, khususnya nilai-nilai yang dipegang teguh.
Pemikiran Berger mengenai konstruksi realitas secara sosial dipengaruhi
oleh gurunya, yaitu Alfred Schutz. Kuliah-kuliah yang diberikan Schutz
mendorong Berger untuk mengembangkan model teoritis sosiologi
mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk.
Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang
ada, tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif (individu)
dengan dunia objektif. Senada dengan fenomenologis, Berger menyetujui
bahwa dalam dunia sosial terdapat realitas berganda yaitu realitas sehari-
hari dan realitas ilmiah. Realitas sehari-hari merupakan realitas yang
teratur, terpola dan diterima begitu saja tanpa dipermasalahkan. Terdapat
tiga proses dialektis dalam kehidupan manusia dan masyarakat yaitu
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. (Nurdiaman, 2015)
Eksternalisasi merupakan proses ketika individu secara kolektif
perlahan-lahan mengubah pola-pola dunia sosial objektif. Sementara itu,
objektivasi merupakan proses dari pembentukan relitas yang membatasi
realitas sosial objektif. Dalam proses ini manusia belum diasosiasikan
sepenuhnya sebagai pembentuk realitas baru. Internalisasi merupakan
proses pembentukan realitas melalui sosialisasi.
Dalam pandangan Berger, realitas kehidupan sehari-hari memiliki
dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen yang
menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi,
tetapi disisi lain ia juga mempengaruhinya melalui proses internalisasi
yang mencerminkan realitas subjektif.
Masyarakat merupakan realitas objektif yang dapat ditelaah
melalui hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial sebagai produk dari
kegiatan manusia. Keteraturan merupakan hukum dasar yang
mengendalikan dunia sosial objektif. Sosiologi melihat keteraturan
sebagai prasyarat primer dalam kehidupan sosial, serta memandang
masyarakat dalam esensinya sendiri merupakan tertib yang semestinya
8
ada atas serangkaian pengalaman manusia yang berubah-ubah. Dengan
demikian, Berger memandang bahwa masyarakat di satu sisi tidak
menginginkan adanya kekacauan, tetapi disisi la in masyarakat juga
merasa bosan dengan situasi yang vakum.
Sementara itu, masyarakat sebagai realitas subjektif dapat dilihat
dari dua momen proses dialektis pembentukan realitas sosial, yaitu
internalisasi dan eksternalisasi. Melalui proses internalisasi (sosialisasi)
individu dihadapkan pada agen-agen sosialisasi yang memperkenalkannya
pada dunia sosial objektif. Realitas objektif tersebut kemudian
diinternalisasikan berdasarkan penafsiran dari individu yang
bersangkutan, sehingga setiap individu memiliki versi realitas-nya sendiri
yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia objektif.
Teori ini sejalan dengan gagasan Socrates yang menemukan
tentang jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi
dan ide (Bertens, 1999). Gagasan tersebut semakin konkret setelah
Aristoteles mengenalkan istilah-istilah seperti: informasi, relasi, individu,
subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia
adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya,
bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Bertens, 1999). Aristoteles-lah
yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti
“saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles itulah menjadi
dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme ini
(Demartoto, 2013).
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia,
mengungkapkan filsafatnya dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia merupakan tuan dari ciptaan (Tamsin,
2015). Dia menjelaskan bahwa mengetahui berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Ini berarti seseorang baru mengetahui sesuatu apabila
ia mampu menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.
Menurut Vico, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini
9
karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia
membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang
telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997). Realitas sosial merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia
bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang
lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun
sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam
mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002)
Berger melakukan beberapa usaha untuk mengembalikan hakikat
dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka pengembangan
sosiologi. Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan
“pengetahuan” dalam konteks sosial. Teori sosiologi harus mampu
menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-
menerus. Gejala-gejala sosial sehari-hari masyarakat selalu berproses,
yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat. Oleh karena itu, pusat
perhatian masyarakat terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss)
kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspek (kognitif,
psikomotoris, emosional dan intuitif). Dengan kata la in, kenyataan sosial
itu tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial
termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial semacam ini
ditemukan dalam pengalaman intersubjektif. Melalui intersubjektifitas
dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk
secara terus-menerus. Konsep intersubjektifitas tersebut menunjuk pada
dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu
kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi.
Kedua, menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti
pengalaman intersubjektifitas dalam kerangka mengkonstruksi realitas.
Dalam hal ini, memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan
masyarakat pasti terbangun dari dimensi objektif sekaligus dimensi
subjektif sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari
10
masyarakat (yang di dalamnya terdapat hubungan intersubjektifitas) dan
manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri. Oleh karena itu,
dalam observasi gejala-gejala sosial itu perlu diseleksi, dengan
mencurahkan perhatian pada aspek perkembangan, perubahan dan
tindakan sosial. Dengan cara seperti itu, kita dapat memahami tatanan
sosial atau orde sosial yang diciptakan sendiri oleh masyarakat dan yang
dipelihara dalam pergaulan sehari-hari.
Ketiga, memilih logika yang tepat dan sesuai. Peneliti perlu
menentukan logika mana yang perlu diterapkan dalam usaha memahami
kenyataan sosial yang mempunyai ciri khas yang bersifat plural, relatif
dan dinamis. Yang menjadi persoalan bagi Berger adalah logika seperti
apakah yang perlu dikuasai agar interpretasi sosiologi itu relevan dengan
struktur kesadaran umum itu? Sosiologi pengetahuan harus menekuni
segala sesuatu yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat.
(Demartoto, 2013)
Berger dan Luckmann (2012), berpandangan bahwa sosiologi
pengetahuan pada intinya memfokuskan pada struktur dunia akal sehat
(common sense world). Dalam hal ini, kenyataan sosial didekati dari
berbagai pendekatan seperti pendekatan mitologis yang irasional,
pendekatan filosofis yang moralitis, pendekatan praktis yang fungsional
dan semua jenis pengetahuan itu membangun akal sehat. Pengetahuan
masyarakat yang kompleks, selektif dan akseptual menyebabkan sosiologi
pengetahuan perlu menyeleksi bentuk-bentuk pengetahuan yang
mengisyaratkan adanya kenyataan sosial dan sosiologi pengetahuan harus
mampu melihat pengetahuan dalam struktur kesadaran individual, serta
dapat membedakan antara “ pengetahuan” (urusan subjek dan objek) dan
“kesadaran” (urusan subjek dengan dirinya).
Di samping itu, karena sosiologi pengetahuan Berger ini
memusatkan pada dunia akal sehat (common sense), maka perlu memakai
prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian, berpikir secara kontradiksi
dan dialektis (tesis, antitesis, sintesis). Sosiologi diharuskan memiliki
11
kemampuan mensintesiskan gejala-gejala sosial yang kelihatan
kontradiksi dalam suatu sistem interpretasi yang sistematis, ilmiah dan
meyakinkan. Kemampuan berpikir dialektis ini tampak dalam pemikiran
Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial
yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksal. Oleh karena itu,
tidak heran jika kenyataan hidup sehari-hari pun memiliki dimensi-
dimensi objektif dan subjektif (Berger dan Luckmann, 2012).
Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu
dibangun secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus
menganalisis proses tersebut. Artinya, individu-individu dalam
masyarakat itulah yang membangun masyarakat, sehingga pengalaman
individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Waters (1994)
mengatakan bahwa:
[..] “they start from the premise that human beings construct sosial reality in which subjectives process can become objectivied”. Mereka mulai dari pendapat bahwa manusia membangun
kenyataan sosial di mana proses hubungan dapat menjadi tujuan yang
pantas. Pemikiran inilah barangkali yang mendasari lahirnya teori
sosiologi kontemporer “konstruksi sosial”. (Sukidin, 2002).
Salah satu inti dari sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan
adanya dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosiokultural. Proses
dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi
(penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk yang
dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi
(individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Teori konstruksi
sosial Berger dan Luckmann mencoba mengadakan sintesa antara
fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen dan
memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi
asal-muasalnya merupakan hasil c iptaan manusia, buatan interaksi
12
intersubjektif. (Demartoto, 2013)
Masyarakat adalah sebagai kenyataan objektif sekaligus menjadi
kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif, masyarakat sepertinya
berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan
sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu
sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu
adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk
individu. Kenyataan atau realitas sosial itu bersifat ganda dan bukan
tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan objektif. Kenyataan atau realitas
objektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan
kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.
Melalui sentuhan Hegel, yaitu tesis, antitesis dan sintesis, Berger
menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan
objektif itu melalui konsep dialektika. Yang dikenal sebagai
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah
penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia,
objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi
adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial
dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Di dalam kehidupan ini ada aturan-aturan atau hukum-hukum
yang menjadi pedoman bagi berbagai institusi sosial. Aturan itu
sebenarnya adalah produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial,
sehingga meskipun aturan di dalam struktur sosial itu bersifat mengekang,
tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh
individu. Pelanggaran dari aturan itulah yang disebabkan oleh proses
eksternalisasi yang berubah-ubah dari individu atau dengan kata lain ada
ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan aturan yang digunakan
untuk memelihara ketertiban sosial tersebut. Oleh karena itu, problem
perubahan berada di dalam proses eksternalisasi ini. Jadi di dalam
masyarakat yang lebih mengedepankan ketertiban sosial individu
13
berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-
peranan sosial yang sudah dilembagakan, sedangkan bagi masyarakat
yang senang kepada “kekisruhan sosial” akan lebih banyak
ketidaksukaannya untuk menyesuaikan dengan peranan-peranan sosial
yang telah terlembagakan (Demartoto, 2013).
Hal ini yang termasuk masyarakat sebagai kenyataan objektif
adalah legitimasi. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi
yang sudah dilembagakan menjadi masuk akal secara objektif. Misalnya
mitologi, selain memiliki fungsi legitimasi terhadap perilaku dan
tindakan, juga menjadi masuk akal ketika mitologi tersebut dipahami dan
dilakukan. Untuk memelihara universum itu diperlukan organisasi sosial.
Hal ini tidak lain karena sebagai produk historis dari kegiatan manusia,
semua universum yang dibangun secara sosial itu akan mengalami
perubahan karena tindakan manusia, sehingga diperlukan organisasi sosial
untuk memeliharanya. Ketika pemeliharaan itu dibangun dengan kekuatan
penuh, maka yang terjadi adalah status quo.
Masyarakat juga sebagai kenyataan subjektif atau sebagai realitas
internal. Untuk menjadi realitas subjektif, diperlukan suatu sosialisasi
yang berfungsi untuk memelihara dan mentransformasikan kenyataan
subjektif tersebut. Sosialisasi selalu berlangsung di dalam konsep struktur
sosial tertentu, tidak hanya isinya tetapi juga tingkat keberhasilannya. Jadi
analisis terhadap sosial mikro atau sosial psikologis dari fenomen-
fenomen internalisasi harus selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman
sosial-makro tentang aspek-aspek strukturalnya.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan
menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan
sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial
secara terbatas, sebagai cermin dari dunia objektif. Dalam proses
internalisasi, tiap individu berbeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada
yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang lebih menyerap bagian
intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam
14
penyerapan dimensi objektif dan dimensi kenyataan sosial itu. Kenyataan
yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger,
membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang
sedang dipegang dan dipraktikkan.
Dengan demikian (Demartoto, 2013), hubungan antara individu
dengan institusinya adalah sebuah dialektika (intersubjektif) yang
diekspresikan dengan tiga momen: society is human product, society is an
objective reality, human is sosial product. (Masyarakat adalah produk
manusia, masyarakat adalah suatu kenyataan sasaran, manusia adalah
produk sosial). Dialektika ini dimediasikan oleh pengetahuan yang
disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh peranan-
peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional
(Waters, 1994).
2. Perspektif Teori Tindakan Komunikatif
Sejak tahun 70-an, dan sejak pindah dari Universitas Frankfurt ke
Max Planck Institute di kota Starnberg, Habermas memusatkan diri pada
pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-
analysis dalam teori kritis. Di tahun 1980-an, karya besarnya The Theory
of Communicative Action, menandai sebuah usaha yang bukan main
briliannya untuk mendialogkan teori kritisnya yang disebut “teori
tindakan komunikatif” (Hariyadi, 2013).
Esainya pada 1960, dalam essai yang berjudul Labor and
Interaction: Remarks on Hegel’s Jena ‘Philosophy of Mind’, Habermas
sudah meneliti bahwa Hegel yang menjadi bapak seluruh tradisi ilmu-
ilmu sosial kritis ini memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja”
(arbeit), melainkan juga sebagai “komunikasi” (kommuniktion). Karena
praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam
kegiatan menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi
intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Dalam bukunya The Theory of Communicative Action, Habermas
15
menyebut empat macam klaim. Tanpa adanya kesepakatan tentang dunia
alamiah dan objektif, berarti mencapai “klaim kebenaran” (truth). Kalau
ada kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial,
berarti mencapai “klaim ketepatan” (rightness). Kalau ada kesepakatan
tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang, berarti
mencapai “klaim autentisitas atau kejujuran” (sincerety). Akhirnya, kalau
mencapai kesepakatan atas klaim-klaim di atas secara keseluruhan, berarti
mencapai “klaim komprehensibilitas” (comprehensibility). Setiap
komunikasi yang efektif harus mencapai klaim keempat ini, dan mereka
yang mampu melakukannya disebut memiliki “kompetensi komunikatif‟
(Hariyadi, 2013).
Masyarakat komunikatif adalah masyarakat yang melakukan kritik
lewat revolusi dengan tanpa kekerasan, akan tetapi dengan argumentasi.
Habermas lalu membedakan dua macam argumentasi: perbincangan atau
diskursus (discourse) dan kritik. Dilakukan perbincangan jika
mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus. Meskipun
dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga
tak perlu mengandaikan konsensus. Dalam hal ini Habermas
mengedepankan kritik. Bentuk kritik itu dibaginya menjadi dua: kritik
estetis dan kritik terapeutis. Kritik estetis, kalau yang dipersoalkan adalah
norma-norma sosial yang dianggap objektif. Kalau diskursus praktis
mengandaikan objektivitas norma-norma, kritik dalam arti ini adalah
mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah.
Sedang kritik terapeutis adalah kalau itu dimaksudkan untuk
menyingkapkan penipuan-diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.
Tindakan komunikatif adalah tindakan yang menunjuk
komunikasi interpersonal yang diorientasikan pada pemahaman bersama
dimana masing-masing partisipan menjadi dirinya sendiri dan bukan
sebagai objek manipulatif. Di dalam paradigma komunikasi situasi
subjek-objek bisa dihindarkan. Komunikasi mengandaikan dua hal: (a)
manusia berhadapan satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan
16
berdaulat, komunikasi berlainan dengan kerja karena tidak menciptakan
situasi subjek-objek; (b) adanya ruang kebebasan, dalam menangkap
maksud orang dalam suatu kom unikasi sama sekali tidak dapat
dipaksakan.
Habermas mengembangkan teori tindakan komunikasinya dengan
mengemukakan bahwa setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi
dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa
ketakutan akan koersi, intimidasi, dan sebagainya dan dimana tiap
partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat
keputusan-keputusan, self-presentations, klaim normatif, dan menentang
pendapat partisipan lain (Hidir, 2012). Habermas menyatakan bahwa
setiap proses argumentasi harus mengandung proposisi-proposisi: (a)
Setiap subjek dengan kompetensi untuk berbicara dan bertindak
diperbolehkan mengambil bagian dalam suatu diskursus; (b) Setiap orang
diperbolehkan mempertanyakan setiap assertions apa saja; (c) Setiap
orang diperbolehkan untuk mengajukan suatu keputusan apa saja ke
dalam diskursus.
Dalam tindakan komunikasi aktor bertindak sebagai subjek yang
otonom. Karena dituntut kebebasan komunikasi tanpa intimidasi, koersi.
Menempatkan tiap partisipan/pelaku memiliki kesempatan yang sama
untuk bicara, membuat keputusan-keputusan. Dalam memahami dan
memperhatikan apa yang terjadi apabila manusia berkomunikasi,
Habermas menyatakan bahwa interaksi antar manusia yang dapat
dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang
ekspresif (mengandung makna), sedangkan hakekat bahasa adalah
komunikasi, dan komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan
saling bebas, karena tujuan kom unikasi adalah menjalin saling pengertian,
oleh karena itu rasionalitas dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian
(Suseno, 2005). Menurut Habermas, seperti dikutip Suseno (2005),
komunikasi dalam bahasa akan berhasil jika memenuhi empat norma atau
klaim yaitu: (1) Jelas, artinya orang dapat mengungkapkan dengan tepat
17
apa yang dimaksud; (2) Ia harus benar, artinya mengungkapkan apa yang
mau diungkapkan; (3) Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong; dan (4) Ia
harus betul, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.
Guna mencapai saling pengertian dalam komunikasi syarat yang
harus dipenuhi adalah: inevitably, yakni keinginan untuk melakukan
pembicaraan bersama, dan adanya saling ketertarikan dalam melakukan
komunikasi itu, sehingga persetujuan/pengertian itu dapat mencapai hasil
maksimal.
Dalam bukunya yang berjudul The Theory of Communicative
Action; The Critic of Functionalist Reason, Habermas mengemukakan
suatu teori untuk menunjukkan intensi dibalik ungkapan yang
disampaikan oleh seorang pembicara pada saat berkomunikasi dengan
orang lain. Habermas mengklasifikasikan ada empat macam elemen
tindakan komunikatif yang bisa digunakan untuk mengukur makna
ungkapan seorang pembicara. Imperatives-Power (Kekuasaan). Jenis ini
digunakan oleh seorang pembicara untuk menegaskan pernyataannya atau
menunjukkan kekuasaannya dalam memberikan perintah kepada orang
lain. Jenis ini tidak hanya digunakan oleh seorang yang memiliki sifat
otoritatif, namun juga digunakan oleh seorang yang pernyataannya selalu
ingin dituruti oleh pendengarnya, dimana biasanya akan ada sanksi yang
diberikan ketika pernyataan tersebut tidak dituruti oleh orang yang
diperintahkan (Gufron, 2016).
Constatives-Truth (Fakta/Kebenaran). Makna dari jenis ini adalah
untuk menunjukkan suatu fakta yang sedang terjadi, dimana pembicara
memberitahukan kepada pendengar bahwasanya ada sebuah kebenaran
yang tidak bisa disangsikan. Makna dari pernyataan di a tas sudah sangat
jelas sekali, bahwa baik pembicara ataupun pendengar sama-sama
mengetahui jikalau tidak ada kebohongan dibalik fakta yang saat itu
terjadi pada saat mereka sedang berbicara.
Regulatives-Rightness/Justice (Kebenaran/Keadilan). Jenis ini
dengan menghubungkannya kepada interaksi sosial seorang di masyarakat
18
yang mana untuk membangun hubungan interpersonal seseorang dengan
orang lain. Komunikator lebih mengedepankan norma kesopanan dalam
mengutarakan pernyataannya, baik itu yang bersifat meminta bantuan
kepada orang lain atau melakukan suatu aksi dengan tidak melibatkan
orang lain secara langsung.
Expressives-Sincerity (ketulusan). Pada jenis yang terakhir ini,
seorang akan lebih menunjukkan ketulusannya dalam mengungkapkan
pernyataan kepada orang lain. Dari kedua pernyataan tersebut, pembicara
berusaha menampakkan ketulusan yang dia miliki dalam mengutarakan
pernyataannya. Jadi, pendengar kemungkinan besar tidak akan merasa
ragu untuk melakukan suatu aksi yang diungkapkan oleh pembicara
(Gufron, 2016).
D. Kerangka Konseptual
Konsep-konsep yang digunakan mendalami dan memperkaya
pembahasan atas temuan dalam penelitian ini digunakan konsep-konsep
tentang: Kematian Jawa, Kebajikan Sosial, Kebajikan Sosial Jawa,
Konsensus, Ruang Publik, Governance, dan Inovasi.
1. Konsep Kematian Menurut Orang Jawa
Konsep kematian bagi orang Jawa menurut Rangkai W isnumurti,
bukan sebagai keterputusan dari hidup. Orang mati bukan peralihan
keadaan dari keadaan hidup menjadi keadaan mati, sebab konsep hidup
bagi orang Jawa adalah sesuatu yang abadi (urip tan keno ing pati; artinya
‘hidup tanpa pernah mati’), sehingga hendak dikatakan bahwa hakikat
kehidupan itu sendiri adalah kematian. Oleh sebab itu, kematian hanya
dipahami sebagai mati-nya jasad, mati-nya nafsu-nafsu duniawi yang
pada akhirnya, saat orang mengalami kematian dianggap mengalami suatu
pembebasan diri sehingga manusia akan mampu menemukan hakikat
hidup itu sendiri (Rangkai W isnumurti, 2012: 126).
Konsep kematian yang diyakini oleh Orang Jawa di atas, justru
mengarah pada hakikat kehidupan atau hakikat hidup itu sendiri. Hakikat
19
hidup bagi Orang Jawa sebagaimana yang dijelaskan oleh Suwardi
Endraswara adalah sebagai berikut: “Hakikat demikian hanya dapat
dialami ketika manusia telah mengakhiri hidupnya. Setelah mati, manusia
akan semakin tahu bahwa hakikat hidup sebenarnya satu. Hakikat hidup
dan mati bagi orang Jawa tersimpul dalam ‘unen-unen’ mati sajroning
urip, urip sajroning pejah. Artinya bahwa yang hidup tetap hidup, tetapi
yang mati adalah nafsu lahiriahnya.” (Suwardi Endraswara, 2012: 73).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep kematian merujuk
pada suatu peralihan tetapi bukan peralihan keadaan manusia dari hidup
ke mati melainkan peralihan alam kehidupan manusia, dari alam hidup ke
alam gaib.
2. Kebajikan Sosial
Kamus Bahasa Inggris, kata virtue mengandung unsur integritas
(integrity), adil (justice), sederhana (temperance), murni (purity), patut
(decency), pantas (merit), beda (distinction), dan unggul (excellence).
Kebajikan sosial merupakan perkembangan dari tradisi normatif tertua di
dunia filsafat barat, yang berakar pada peradaban kuno Yunani, Plato
(427–347 SM) menekankan pentingnya empat kebajikan khusus, yang
kemudian disebutnya kebajikan utama (cardinal virtues), yakni:
kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), kesederhanaan
(temperance) dan keadilan (justice). Nilai kebajikan lain yang penting
juga meliputi keuletan, kedermawanan, harga diri, kesabaran, dan
keikhlasan. Sebagai tambahan untuk mendapatkan kebiasaan terhadap
karakter yang baik, penganut teori kebajikan menyatakan bahwa kita
harus menghindari diri dari sifat karakter yang buruk, atau watak dan
keangkuhan. Teori kebajikan menekankan pentingnya pendidikan moral,
karena sifat karakter kebajikan harus dikembangkan selagi muda. Dengan
demikian, orang dewasa bertanggung jawab untuk mendidik kebajikan
pada generasi muda (Hasan, 2014).
20
Aristoteles (383 – 322 SM) memberikan kerangka yang lebih jelas
tentang teori kebajikan. Menurutnya, kebajikan adalah kebiasaan baik
yang kita punyai, yang mengatur emosi kita. Misalnya, sebagai respon
terhadap rasa takut alamiah yang kita miliki, kita harus mengembangkan
nilai kebajikan dari keberanian yang membuat kita tetap tangguh ketika
menghadapi bahaya. Dengan melakukan analisis terhadap 11 nilai
kebajikan khusus. Aristoteles menyatakan bahwa kebanyakan nilai
kebajikan berada di tengah-tengah garis sifat karakter yang ekstrim.
Sehubungan dengan keberanian, misalnya, jika kita tidak memiliki
keberanian yang cukup, maka sebagai hasilnya kita mengembangkan
kecenderungan kepengecutan yang merupakan watak buruk. Sebaliknya
jika kita terlalu berani, maka kita mengembangkan kecenderungan
gegabah yang juga merupakan watak buruk. Menurut Aristoteles, tidaklah
mudah untuk menemukan garis tengah yang sempurna di antara sifat
karakter yang ekstrim (Hasan, 2014). Secara faktual, kita membutuhkan
bantuan penalaran dalam melakukannya.
Plato memiliki empat konsep kebaikan utama yang dapat
diterapkan, baik sebagai individu maupun masyarakat (Ayu, 2017).
Keempat kebaikan itu ditentukan oleh tiga daya alami yang dimiliki
manusia, yaitu rasional (rational), emosi (the spirited of emotional), dan
hawa nafsu (appetite). Rasional berpusat di kepala, emosi pusatnya di
dada, sementara hawa nafsu pusatnya di perut. Keempat kebaikan yang
dimaksud ialah: Pertama, mawas diri (temperance, iffah), yaitu menjaga
harkat dirinya dari perbuatan rendah. Sikap ini timbul dari kemampuan
menyeimbangkan unsur rasio dengan unsur hewani (keinginan hawa
nafsu). Meskipun hawa nafsu penting bagi eksistensi manusia, namun ia
harus dipandu oleh rasio agar tidak melampaui wewenangnya dengan
merampas fungsi unsur lainnya. Kedua, keberanian (courage, syaja’ah).
Sikap ini timbul unsur emosi. Sikap berani sangat penting bagi manusia,
karena ia berperan sebagai pembangkit semangat dalam melakukan
aktivitasnya. Seperti halnya nafsu, emosi juga harus dipandu dan
21
dikontrol oleh rasio. Ketiga, kebijaksanaan (wisdom, hikmah). Sikap ini
timbul dari unsur rasio. Rasio harus mampu mengontrol dua unsur
lainnya. Oleh karena itu, rasio bertugas mencari pengetahuan tentang
“Yang Baik”. Tugas ini meliputi pemahaman terhadap manusia dan
hubungannya dengan alam. Jika rasio berhasil menjalankan fungsinya,
manusia mampu memilih keputusan-keputusan yang tepat.
Keempat, keadilan (justice, ‘adl). Sikap ini timbul dari kemampuan
menggabungkan ketiga unsur sekaligus. Keadilan merupakan bentuk
kebaikan sosial yang harus dipedomani oleh setiap anggota masyarakat.
Plato menegaskan, keadilan harus ditegakkan, baik keadilan individual
maupun masyarakat. Menyerahkan tugas kepada pakar sesuai dengan
keahlian dan kewenangannya adalah keadilan. Manusia tidak dikatakan
adil jika masih dikuasai oleh emosi dan nafsu, negara tidak dinamakan
negara adil jika kepemim pinan negara diserahkan kepada mereka yang
bodoh dan tidak terdidik (Ayu, 2017).
Manusia hanya dapat mengaktualkan ketinggian sosialnya dalam
pergaulan sesama anggota masyarakat dengan memberi kontribusi
terbaiknya bagi negara dan kesejahteraan sesamanya. Kepuasan tertinggi
timbul dari kesadaran bahwa pekerjaan hanya dapat dilaksanakan secara
maksimal bila digarap oleh ahlinya. Tiap orang memiliki bakat masing-
masing. Pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh ahlinya akan
membahayakan dirinya dan orang lain. Menurut Plato, kehidupan yang
ideal adalah kehidupan yang mengantarkan manusia menjadi bijak,
berani, mawas diri dan adil. Kebaikan tertinggi dalam kehidupan ini ialah
mengharmonikan antara yang ideal dengan kenyataan, yakni mewujudkan
keadilan, keberanian, kebaikan dan kebijaksanaan melalui petunjuk rasio.
Kebahagiaan tertinggi terletak dalam kehidupan yang mengarah pada
kebaikan tertinggi dan merenungkan ide-ide yang paling tinggi (Ayu,
2017).
Kebajikan sosial (social virtue) merupakan sebuah konsep yang
menegaskan tentang sebuah gerakan moral dalam komunitas sebagai
22
respon dari terjadinya kemerosotan nilai kolektif (Fukuyama, 1999).
Dalam kebajikan sosial dimunculkan nilai-nilai solidaritas, kebersamaan
dan keadilan. Nilai-nilai tersebut menjadi sebuah “penyembuh” atas
terjadinya degradasi maupun kemunduran sosial yang mengancam
keberlanjutan kom unitas.
Terkait kebajikan sosial ini, Fukuyama dalam Trust: Kebajikan
sosial dan Penciptaan Kemakmuran (2002) menjelaskan bahwa dasar
pembentukan kebajikan sosial adalah kepercayaan (trust) yang tumbuh
dalam suatu masyarakat (Fukuyama, 1999). Melalui kepercayaan yang
tumbuh, maka memungkinan setiap warga komunitas dapat mencari dan
mengembangkan nilai-nilai solidaritas, kekompakan dan keadilan sebagai
sebuah cara pandang dalam menyelesaikan persoalan bersama.
Kebajikan-kebajikan sosial adalah prasyarat bagi pengembangan
kebajikan-kebajikan individual seperti etika kerja, karena yang kemudian
bisa di tumbuh-suburkan dengan baik dalam konteks kelompok-kelompok
yang kuat – keluarga, sekolah, tempat kerja – yang dikembangkan dalam
masyarakat-masyarakat dengan tingkat solidaritas sosial yang tinggi.
3. Kebajikan Sosial Jawa
Nilai kebajikan sosial dalam masyarakat Jawa dapat dilacak dari
ulasan Hildred Geertz (1983) dalam buku Keluarga Jawa mengenai
kaidah pergaulan masyarakat Jawa. Ada dua kaidah yang paling
menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama
mengatakan, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap
sedemikian rupa hingga tidak dapat menimbulkan konflik. Kaidah kedua
menuntut, agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Kaidah pertama disebut prinsip kerukunan, kaidah kedua
disebut prinsip hormat.
a. Kaidah Kerukunan
23
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Mulder (Suseno 1984)
menyebut “rukun“ yang berarti berada dalam keadaan selaras”,
“tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu
dalam maksud untuk saling membantu”. Gambaran rukun menurut
Mulder adalah terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan
damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam
suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang
diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam
keluarga, dalam rumah tetangga, di desa, dalam setiap pengelom pokan
tetap.
Menurut Hildred Geertz (1983) rukun merujuk pada tindakan
yang berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat
atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap
keliatan selaras dan baik-baik. Sedangkan W illner (Suseno, 1984)
menyebut rukun mengandung usaha terus menerus oleh semua
individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk
menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan
dan keresahan.. Menurut Suseno (1984), terdapat dua tuntutan untuk
menjaga kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya
bukan penciptaan keadakan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk
tidak menganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada.
Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan sosial
merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya
selama tidak diganggu, seperti juga permukaan laut dengan sendirinya
halus kalau tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang
menentang arus. Prinsip kerukunan terutama bersifat negatif: prinsip
itu menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa
menganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Rukun
berarti berusaha untuk menghindari pecahnya konflik-konflik. Prinsip
kerukunan ini dengan meminjam terminologi Ann. R. Willer, disebut
24
“prinsip pencegahan konflik”.
Kedua, prinsip kerukunan adalah penjagaan keselarasan dalam
pergaulan. Yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial
yang kentara untuk mencegah konflik-konflik yang terbuka. Agar
tuntutan kerukunan bisa dicapai maka diperlukan sikap-sikap batin
agar ketenteraman dalam masyarakat jangan sampai diganggu, jangan
sampai nampak adanya perselisihan dan pertentangan. Hildred Geertz
(1983) menyebut keadaan rukun sebagai harmonoius social
appearances.
Dalam masyarakat Jawa rukun bukan hanya dalam tataran
konsep dan nilai, akan tetapi juga dalam tataran praktis. Oleh karena
itu untuk mencapai kerukunan menurut Jay (Suseno, 1984) individu
bersedia untuk menomorduakan, bahkan, kalau perlu, agar
melepaskan, kepentingan-kepentingan pribadi demi kesepakatan
bersama. Mulder menyampaikan (Suseno, 1984) jika masyarakat Jawa
mengutamakan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan persetujuan
masyarakat, berusaha untuk maju sendiri tanpa memperhatikan
persetujuaan masyarakat, berusaha untuk maju sendiri tanpa
mengikutsertakan kelompok dinilai kurang baik. Individu seharusnya
selalu bertindak bersama dengan kelompok. Apabila telah ada
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan maka diperlunak
dengan teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan ke
dalam tatanan kelompok yang ada sehingga tidak sampai timbul
konflik. Ambisi-ambisi pribadi jangan diperlihatkan. Suseno (1984)
menyatakan bahwa masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-
norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-
emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat
mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka.
Norma-norma itu berlaku dalam semua lingkup hidup masyarakat
kecuali dalam lingkup keluarga inti dimana kekuatan simpati spontan
(tresna) biasanya mencegah terjadinya emosi-emosi agresif atau
25
sekurang-kurangnya dapat membatasinya.
Norma-norma itu dapat dirangkum dalam tuntutan untuk selalu
mawas diri dan menguasai emosi-emosi. Orang terutama harus hati-
hati dalam situasi-situasi di mana kepentingan-kepentingan yang
berlawanan saling berhadapan. Suatu permintaan atau tawaran
misalnya tidak boleh langsung ditolak. Satu keutamaan yang sangat
dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan
hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.
Suatu pembicaran yang beradab sering nampak iseng-iseng saja
sebelum muncul sesuatu yang berarti. Dengan demikian kedua belah
pihak mendapat kesempatan untuk saling menjajaki dan untuk
mempersiapkan diri secara emosional. Apabila akhirnya pembicaraan
sudah sampai pada masalah yang sebenarnya, maka tidak ada bahaya
besar lagi bahwa akan timbul reaksi-reaksi emosional.
Menurut Suseno (1984) suatu sarana ampuh untuk mencegah
timbulnya konflik adalah tata krama Jawa yang mengatur semua
bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan
lingkungan teman-teman akrab. Tata krama itu menyangkut gerak
badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan. Bahasa Jawa
sendiri sangat cocok untuk itu: suatu pembicaraan di antara orang-
orang yang beradab harus dijalankan dalam bentuk krama; namun
bahasa krama tidak menyediakan kemungkinan untuk orang kasar,
untuk pengumpat, untuk memberi perintah secara langsung atau untuk
menampakan emosi. Tata krama dalam masyarakat Jawa didapat dari
proses sosialsiasi. Hildred Geertz (1983) menjelaskan sosialisasi
tentang tata krama masyarakat Jawa. Tata krama dimulai melalui
sosialisasi primer yakni pendidikan tata krama dari keluarga.
Selanjutnya Hildred Geertz menyebut pendidikan adalah
sebagai bentuk penertiban sosial. Dalam penertiban sosial anak Jawa
dapat dibedakan dua tahap. Tahap pertama berlangsung kurang lebih
sampai anak berumur 5 tahun dan ditandai oleh kesatuan yang akrab
26
dengan keluarga, tanpa adanya ketegangan-ketegangan apa-apa.
Selama waktu itu anak terus-menerus menjadi pusat perhatian dan
kasih sayang lingkungannya. Anak selalu ada dalam kontak fisik
dengan ibunya, atau dengan ayahnya, kakaknya, neneknya, dan
seterusnya. Dalam penertiban sosial perlu dilakukan pelatihan pada
anak tentang sikap-sikap kelakuan ulangan halus terus-menerus.
Misalnya supaya anak belajar bahwa menerima atau memberikan
sesuatu harus dengan tangan kanan dan bukan dengan tangan kiri,
maka ibu tidak jemu-jemu mendorong tangan kiri kembali dengan
halus dan menarik tangan kanan.
Tahap kedua, penertiban sosial anak mulai sesudah anak
melewati umur 5 tahun. Pada tahap itu ayah mulai mengubah
peranannya: dari seorang sahabat akrab ia semakin menjadi orang yang
jauh dan asing yang oleh ibu dimasukan kedalam lingkungan luar yang
berbahaya, terhadapnya anak harus merasa takut dan menunjukkan
hormat. Anak semakin diharapkan bisa membawa diri secara beradab.
Anak harus memperlajari segala unsur tata karma yang diharapkan dari
seorang Jawa dewasa. Penertiban anak sekarang tidak lagi melalui
ancaman langsung dengan bahaya-bahaya dari luar, melainkan lebih-
lebih melalui petunjuk-petunjuk mengenai reaksi orang-orang lain.
Dalam tahap ini pun bukanlah ketidaksenangan ibunya sendiri yang
diungkapkan, melainkan apa yang kiranya akan dikatakan orang lain
tentangnya. Anak belajar untuk merasa malu terhadap orang asing,
“untuk takut terhadap rasa tak enak, malu dan bersalah yang semakin
dihubungkannya denga situasi-situasi dimana perasaan-perasaan
terungkap dengan terbuka atau aturan-aturan tatakrama lain dilanggar.
Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa
kesejahteraannya, bahkan eksistensinya, tergantung dari kesatuannya
dengan kelompoknya. Menentang kehendak orang lain secara
langsung atau menunjukkan permusuhan sangat bertentangan dengan
perasaannya. Oleh karena itu, setiap kelakuan yang menyimpang dari
27
prinsip kerukunan akan berhadapan dengan perlawanan psikis yang
kuat. Dalam segala-galanya ia dapat berpegang pada adat-istiadat dan
tata-krama. Secara psikologis keadaan rukun diterjemahkan baginya ke
dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negatif, suatu
keadaan yang aman dan tentram. (Suseno, 1984)
Untuk menjaga kerukunan menurut Suseno (1984) orang Jawa
berusaha memperlakukan orang lain yang perlu dihubungi seperti
anggota keluarga. Tetangga diberlakukan sebagai keluarga.
Memasukkan lingkungan sosial dekat ke dalam lingkaran keluarga inti
dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk sejak semula mencegah
timbulnya ketegangan-ketegangan. Karena dalam keluarga inti
terdapat suasana kerukunan tanpa ada tekanan. Maka kalau orang Jawa
bergaul dengan orang lain, seakan akan mereka itu termasuk keluarga
sendiri, pergaulan itu akan memperlihatkan suasana rukun entah dalam
kenyataan memang demikian atau tidak. Praktik gotong royongpun
mewujudkan kerukunan. Dengan gotong royong yang dimaksud dua
macam pekerjaan: saling membantu, dan melakukan pekerjaan
bersama demi kepentingan seluruh desa. Yang pertama termasuk
membantu tetangga dalam membangun rumah, dalam persiapan pesta,
dan pada kesempatan lain tertentu. Kedua, misal pelebaran jalan,
perbaikan irigasi atau bendungan, pembangunan sekolah, perbaikan
jembatan, pembersihan kuburan dan ronda malam. Menurut
Koentjaraningrat (1974) ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam
melaksanakan gotong royong: pertama, “orang itu harus sadar bahwa
dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya,
maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan
baik dengan sesamanya; kedua orang itu harus selalu bersedia
membantu sesamanya; ketiga, orang itu harus bersifat konform, artinya
harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk
menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya.
Menurut Suseno (1984) usaha untuk menjaga kerukunan
28
mendasari juga kebiasaan musyawarah, yaitu proses pengambilan
keputusan dengan saling berkonsultasi. “Secara ideal musyawarah
adalah prosedur dimana semua suara dan pendapat mereka
didengarkan. Semua suara dan pendapat dianggap sama benar dan
membantu untuk memecahkan masalah. Musyawarah berusaha untuk
mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran, yang bisa juga
diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan dan
pendapat. Kebulatan itu merupakan jaminan kebenaran dan ketepatan
keputusan yang mau diambil. Keputusan yang tepat merupakan fakta
sosial yang mencerminkan keseluruhan para partisipan. Tidak ada
pemungutan suara dalam musyawarah; musyawarah merupakan proses
pertimbangan, pemberian dan penerimaan dan kompromis, dimana
semua pendapat harus dihormati. Setiap orang harus bersedia untuk
merelakan sesuatu.” Keterikatan pada kerukunan menuntut dari pihak-
pihak yang berlawanan untuk melepaskan keinginan-keinginan pribadi
yang paling mungkin akan menimbulkan keresahan sosial terbuka.
b. Prinsip Hormat
Kaidah kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur
pola interaksi dalam masyarakat Jawa ialah prinsip hormat. Menurut
Willner (Suseno, 1984:60), prinsip hormat adalah bahwa setiap orang
dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap
hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
"Apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa,
pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan
terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial
yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa.”
Mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai, dengan
mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat, adalah amat
penting. Menurut Hildred Geertz (1983) prinsip hormat berdasarkan
pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara
29
hierarkis, bahwa keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri
dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk
membawa diri sesuai dengannya.
Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tentang suatu
masyarakat yang teratur baik, dimana setiap orang mengenal tempat
dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh
masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu
hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan
tuntutan-tuntutan tatakrama sosial. Kalau setiap orang menerima
kedudukannya itu maka tatanan sosial akan terjamin. Oleh karena itu
orang jangan mengembangkan ambisi-ambisi, jangan mau bersaing
satu sama lain, melainkan hendaknya semua orang puas dengan
kedudukan yang telah diperolehnya dan berusaha untuk menjalankan
tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya: "Sementara itu dalam
pandangan Mulder (1978) bahwa ambisi, persaingan, kelakuan kurang
sopan, dan keinginan untuk mencapai keuntungan material pribadi dan
kekuasaan merupakan sumber bagi segala perpecahan,
ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan
ditindas."(Suseno, 1984).
Untuk memiliki sikap hormat, setiap orang Jawa menjalani
proses sosialisasi. Sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada
orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga.
Sebagaimana diuraikan oleh Hildred Geertz (1983), pendidikan itu
tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam
situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yang wedi, isin, dan
sungkan. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman
fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu
tindakan. Hildred Geertz menguraikan tahapan sosialisasi sikap hormat
pada anak Jawa. Pertama-tama anak belajar untuk merasa wedi
terhadap orang yang harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap
wedi terhadap orang yang lebih tua dan terhadap orang asing.
30
Bentuk-bentuk pertama kelakuan halus dan sopan dididik pada
anak dengan menyindir pada segala macam bahaya mengerikan dari
pihak-pihak asing dan kekuatan-kekuatan diluar keluarga yang akan
mengancamnya. Tidak lama kemudian mulailah pendidikan untuk
merasa isin. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa
bersalah, dan sebagainya. Belajar untuk merasa malu (ngerti isin)
adalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang.
Sebaliknya penilaian ora ngerti isin, ia tidak tahu malu, merupakan
suatu kritik yang amat tajam. Rasa isin dikembangkan kepada anak
dengan membuat dia malu di hadapan tetangga, tamu dan sebagainya,
apabila ia melakukan sesuatu yang pantas ditegur. Sebagai akibat maka
anak-anak sering kelihatan amat malu-malu kalau ada tamu,
seakanakan mereka dibanjiri oleh suatu perasaan malu total, sehingga
mereka sama sekali tidak bisa disapa, bahkan oleh ibu mereka sendiri.
Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa merasa
isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat
terhadap orang yang pantas dihormati. Perasaan isin dapat muncul
dalam semua situasi sosial. Satu-satunya kekecualian adalah lingkaran
keluarga inti (dimana ayah belum tentu termasuk), di mana terdapat
suasana akrab (tresna) dan orang tidak merasa isin satu terhadap yang
lain. Suasana akrab adalah kebalikan dari hubungan-hubungan
interaksi dimana orang harus menunjukkan sikap hormat dan dengan
sendirinya tertekan oleh perasaan isin. Terhadap perasaan itu ia
berusaha membekali diri dengan dua cara. Di satu pihak dengan
memperluas lingkaran hubungan keakraban. Begitu misalnya
dikatakan bahwa terhadap tetangga orang seharusnya jangan merasa
malu. Namun usaha itu jarang berhasil. Tidak adanya perasaan isin
dengan segala ketegangan dalam keluarga inti kiranya menjadi alasan
mengapa orang Jawa suka untuk mewujudkan semua hubungan sosial
yang betul-betul santai. Di la in pihak adanya tata krama kesopanan
yang ketat membantu untuk mencapai bentuk-bentuk pergaulan yang
31
lebih santai, karena aturan-aturan itu menjamin bahwa kata-kata dan
pembawaan kita cocok dan oleh karena itu kita tidak perlu merasa isin.
Barangkali itulah sebabnya mengapa orang Jawa biasanya tidak
kelihatan terganggu dengan adanya segala macam aturan sopan santun,
melainkan bahkan lebih nampak santai bergaul. Apabila anak sudah
kurang lebih berumur lima tahun maka ia sudah mengerti konteks-
konteks mana yang harus membuat dia merasa isin. Semakin ia
menjadi dewasa dan semakin ia menguasai ta takrama kesopanan,
semakin ia diakui sebagai anggota masyarakat Jawa penuh. Selama
tahun-tahun ini orang Jawa belajar merasa sungkan. Sungkan itu suatu
perasaan yang dekat dengan rasa isin, tetapi berbeda dengan cara
seorang anak merasa malu terhadap orang asing. Sungkan adalah malu
dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isin, perasaan
sungkan bukanlah suatu rasa yang hendaknya dicegah. Hildred Geertz
menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap
atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai “ pengekangan halus
terhadap kepribadian sendiri sendiri demi hormat terhadap pribadi
lain”.
Menurut Hildred Geertz (1983) wedi, isin, dan sungkan
merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai
fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-
tuntutan prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong
untuk selalu mengambil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang
kurang hormat menimbulkan rasa tak enak.
Pembatinan perasaan-perasaan itu adalah tanda kepribadian
yang matang. Mengerti isin, sungkan, dan rukun dan mengerti kapan
dan bagaimana perasaan-perasaan itu cocok berarti bahwa orang telah
mencapai cita-cita lebih umum untuk menjadi orang Jawa: tahu
bagaimana membawa diri, sehat, dan matang, pendek kata, menjadi
Jawa sepenuhnya.
32
c. Keselarasan Sosial Masyarakat Jawa
Kita telah melihat bahwa masyarakat jawa mengatur interaksi-
interaksinya melalui dua prinsip, prinsip kerukunan dan prinsip
hormat. Dua prinsip itu menuntut bahwa dalam segala bentuk interaksi
konlik-konflik terbuka harus dicegah dan bahwa dalam setiap situasi
pangkat dan kedudukan semua pihak yang bersangkutan harus diakui
melalui sikap-sikap hormat yang tepat. Dua prinsip itu berhubungan
erat satu sama lain. Mereka mencukupi untuk mengatur selengkapnya
segala kemungkinan interaksi. Prinsip kerukunan mengatur semua
bentuk pengambilan keputusan antara pihak-pihak yang sama
kedudukannya. Prinsip hormat menentukan hubungan hierarki dan
dengan demikian menetapkan kerangka bagi segala macam interaksi.
Dalam kerangka itu setiap pihak mempunyai tempatnya yang diakui,
dan dengan demikian dapat ditentukan bagaimana suatu keputusan
harus diambil; secara hierarkis atau menurut kerukunan. Keadaan ini
bisa juga diungkapkan begini: prinsip hormat menetapkan kerangka
acuan hierarkis, dan dengan demikian sekaligus menentukan sebagian
besar dari variabel-variabel pengambilan keputusan, yaitu situasi-
situasi yang ditentukan oleh kedudukan yang tidak sama. Dalam
kerangka hierarkis itu prinsip kerukunan, yang mengatakan bahwa
semua yang bersangkutan harus memberikan persetujuan mereka,
mengatur penyelesaian masalah-masalah yang terbuka, artinya yang
tidak bisa ditentukan secara otoriter. Maka dua prinsip itu menetapkan
titik tolak masing-masing pihak dan strategi-strategi untuk bertindak
secara lengkap.
Prinsip rukun dan hormat bagi orang Jawa merupakan syarat
agar interaksi-interaksi berjalan dengan teratur. Setiap pihak
mempunyai tempatnya yang diakui dan mengetahui bagaimana ia
harus bersikap, masing-masing pihak berelasi terhadap pihak lain, dan
keselarasan bersifat sempurna. Oleh karena itu rukun dan hormat
disebut Suseno (1984) sebagai prinsip-prinsip keselarasan.
33
Keunggulan prinsip-prinsip keselarasan pertama-pertama merupakan
suatu kenyataan sosiologis. Suatu prinsip regulatif sosial lain adalah
misalnya hukum positif. Dalam pandangan Jawa prinsip-prinsip
keselarasan memang harus didahulukan terhadap hukum positif.
Mempertahankan hak-haknya menurut hukum positif berhadapan
dengan prinsip-prinsip keselarasan tidak disetujui. Namun dalam
kenyataan masyarakat yang ditentukan oleh prioritas prinsip-prinsip
keselarasan itu sekarang sudah tidak ada lagi.Tetapi dalam pandangan
Suseno (1984) lebih penting adalah implikasi-implikasi etis. Bertitik
tolak bahwa prinsip-prinsip keselarasan menuntut sesuatu dari
individu. Masyarakat jawa menuntut agar usahanya untuk menjamin
kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri jangan sampai
mengganggu keselarasan sosial. Prinsip kerukunan secara prinsip
melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik. Prinsip
hormat pengambilan posisi-posisi yang tidak sesuai dengan sikap-
sikap hormat yang dituntut. Apapun yang diharapkan dan diusahakan
oleh individu, betapapun hak-hak dan kepentingan-kepentingannya,
bagaimana pun ia sendiri menilai suatu keadaan, masyarakat jawa
mengharapkan agar individu hanya bertindak sesuai dengan
pertimbangan-pertimbangannya sendiri sejauh keselarasan tetap dijaga
dan derajat-derajat hierarkis tetap dihormati. Prinsip-prinsip
keselarasan dengan demikian memuat larangan mutlak terhadap usaha
untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seorang
sendiri saja.
Prinsip keselarasan akan memiliki implikasi yang jauh. Prinsip
kerukunan dan hormat menuntut agar orang Jawa selalu menguasai
perasaan-perasaan dan nafsu-nafsu dan agar saya bersedia untuk
menomorduakan kepentingan-kepentingan pribadi terhadap pertahanan
keselarasan masyarakat. Tetapi prinsip-prinsip keselarasan juga
menuntut larangan segala macam tindakan yang tidak sesuai dengan
tuntutannya: konflik – konflik secara prinsipil harus dihindari.
34
Kedudukan khusus prinsip-prinsip keselarasan menurut Suseno (1984)
akan kelihatan apabila dianalisis struktur formalnya. Ciri formal
umum keutamaan-keutamaan moral dasar seperti kebaikan hati,
keadilan, kejujuran, dan kesetiaan ialah bahwa yang dituntut bukan
tindakan-tindakan tertentu, melainkan suatu kehendak atau suatu sikap.
Keutamaan-keutamaan dasar itu bahkan tidak dapat dimengerti
tanpa hubungan dengan dengan maksud batin tertentu. Prinsip
keselarasan bukanlah prinsip moral, melainkan prinsip penata
masyarakat. Yang dituntut bukan suatu sikap batin tertentu, melainkan
bagaimana harus berkelakuan dalam masyarakat. Segi moral dua
prinsip itu ialah bahwa orang Jawa tidak menyutujui secara moral
kalau seseorang, berdasarkan pertimbangannya sendiri, tidak bertindak
menurut dua prinsip itu.
d. Ajining Diri (Martabat)
Martabat atau harga diri bagi orang Jawa selalu dikaitkan
dengan sifat rasa kemanusiaan (kamanungsan), yaitu sikap diri yang
selalu mengutamakan perilaku manusiawi (humanis) dalam
memperlakukan orang lain. Kamanungsan berkaitan dengan sikap diri
dalam berhubungan dengan orang lain (liyan) untuk menciptakan
rukun (harmoni); yaitu bagaimana wong Jawa memposisikan dirinya
terhadap orang lain, dan bagaimana kemampuan posisi diri ini
menjadikan dirinya berharga di mata orang lain (Suhada, 2014).
Jika orang sudah tidak mampu memposisikan dirinya dalam
relasinya dengan orang lain, dan tidak baik di hadapan masyarakat,
maka dia dianggap sebagai orang yang telah kehilangan martabat atau
harga dirinya. Ungkapan yang sering ditunjukkan bagi mereka yang
dianggap tidak mengutamakan rasa kamanungsan menurut etika Jawa
adalah seperti; wus ilang kamanungsane, dudu manungsa (bukan
manusia, lupa diri), wus ilang jawane atau ora njawani (sudah hilang
jawanya), atau wus ora duwe isin (sudah tidak punya rasa malu).
35
Bagi orang Jawa martabat dimaknai sebagai “Ajining Diri”
(harga diri) berkaitan dengan nilai sosial kemasyarakatan agar selalu
tercipta kondisi harmoni (rukun), maka orang Jawa berusaha untuk
selalu dipandang baik di mata orang lain. Di kalangan masyarakat
Jawa hal itu tercermin dalam ungkapan yang cukup popular;
“ajinining diri saka lathi, ajinig sarira saka busana”, bahwa harga
diri (kehormatan) orang di hadapan masyarakat bergantung dari cara
dia bertutur kata, dan harga diri (citra fisik) tergantung kepada cara ia
berpakaian (Suhada, 2014).
Harga diri merupakan penilaian yang dibuat oleh setiap
individu yang mengarah pada dimensi negatif dan positif (Baron, dkk,
dalam Simbolon, 2008; 10). Menurut Santrock (dalam Dismita, 2010;
165), harga diri adalah dimensi penilaian yang menyeluruh dari diri.
Harga diri (Self-Esteem) juga sering disebut dengan Self-W orth atau
Self-Image.
Frey dan Carlock (dalam Simbolon, 2008; 10) mengungkapkan
bahwa harga diri adalah penilaian yang mengacu pada penilaian
positif, negatif, netral dan ambigu yang merupakan bagian dari konsep
diri, tetapi bukan berarti cinta diri sendiri. Individu dengan harga diri
yang tinggi menghormati dirinya sendiri, mempertimbangkan dirinya
berharga, dan melihat dirinya sama dengan orang lain. Sedangkan
harga diri rendah pada umumnya merasakan penolakan, ketidakpuasan
diri dan meremehkan diri sendiri.
Sedangkan Coopersmith (dalam Rahmawati, 2006; 4)
mendefinisikan harga diri sebagai suatu penilaian yang dilakukan oleh
individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan
sikap penerimaan dan penolakan serta menunjukkan seberapa jauh
individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan
berharga. Kesadaran tentang diri dan perasaan terhadap diri sendiri
tersebut akan menimbulkan suatu penilaian terhadap diri sendiri baik
positif maupun negatif.
36
Individu yang memiliki harga diri yang positif akan menerima
dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya, serta tidak cepat
menyalahkan dirinya atas kekurangan dan ketidak sempurnaan dirinya,
ia selalu merasa puas dan bangga dengan hasil karyanya sendiri dan
selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan. Sedangkan
individu yang memiliki harga diri yang negatif merasa dirinya tidak
berguna, tidak berharga dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidak
sempurnaan dirinya, ia cenderung tidak percaya diri dalam melakukan
setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide yang dimilikinya (
Santrock, dalam Desmita, 2010; 165-166).
Harga diri yang rendah seringkali menjadi penghambat bagi
individu untuk memulai bergaul dengan teman sebayanya. Individu
akan menjadi minder atau tidak percaya diri dan sulit membangun
interaksi, serta merasa terasing dan terkucilkan ditengah teman-
temannya sehingga ia cenderung menarik diri.
Timbulnya harga diri yang rendah pada individu ini adalah
sebagai bentuk manifestasi reaksi emosional yang tidak menyenangkan
bagi individu akibat dari cara pandang datau penilaian negatif terhadap
diri sendiri. Padahal, penilaian negatif itu belum tentu benar adanya
sehingga mengakibatkan munculnya rasa rendah diri jika berhadapan
dengan orang lain (Surya, 2006; 4).
Harga diri merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia
yang dapat memberi perasaan bahwa dirinya berhasil, mampu dan
berguna sekalipun ia memiliki kelemahan dan pernah mengalami
kegagalan. Kebutuhan akan harga diri tidak akan pernah berhenti
sehingga mendominasi perilaku individu (Daradjat, 1990; 93)
Terpuaskannya akan rasa harga diri pada individu akan
menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, rasa mampu,
dan perasaan berguna. Sebaliknya, frustrasi atau terhambatnya
pemuasan kebutuhan akan rasa harga diri itu akan menghasilkan sikap
rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rasa tak mampu, dan rasa tak
37
berguna yang menyebabkan individu tersebut mengalami kehampaan,
keraguan, dan keputus-asaan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan
hidupnya, serta memiliki penilaian yang rendah atas dirinya sendiri
dalam kaitannya dengan orang lain (Koswara, 1991; 125)
Berdasarkan beberapa teori dapat disimpulkan bahwa harga diri
adalah penilaian individu yang bersifat positif atau negatif mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri.
Harga diri terdiri dari empat aspek yang dikemukaan oleh Coopersm ith
(dalam Tyas, 2010; 33-35), yaitu:
1. Kekuatan (power). Kekuatan atau power menunjuk pada adanya
kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dan mengontrol
tingkah laku dan mendapat pengakuan atas tingkah laku tersebut
dari orang lain. Kekuatan dinyatakan dengan pengakuan dan
penghormatan yang diterima seorang individu dari orang lain dan
adanya kualitas apa pendapat yang diutarakan oleh seseorang
individu yang nantinya diakui oleh orang lain.
2. Keberartian (significance). Keberartian atau significance
menunjuk pada kepedulian, perhatian, afeksi, dan ekspresi cinta
yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang menunjukkan
adanya penerimaan dan popularitas individu dari lingkungan
sosial. Penerimaan dari lingkungan ditandai dengan adanya
kehangatan, respon yang baik dari lingkungan dan adanya
ketertarikan lingkungan terhadap individu dan lingkungan
menyukai individu sesuai dengan keadaan diri yang sebenarnya.
3. Kebajikan (virtue). Kebajikan atau virtue menunjuk pada adanya
suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika serta
agama dimana individu akan menjauhi tingkah laku yang harus
dihindari dan melakukan tingkah laku yang diizinkan oleh moral,
etika, dan agama. Seseorang yang taat terhadap nilai moral, etika
dan agama dianggap memiliki sikap yang positif dan akhirnya
38
membuat penilaian positif terhadap diri yang artinya seseorang
telah mengembangkan harga diri positif pada diri sendiri.
4. Kemampuan (competence). Kemampuan atau competence
menujuk pada adanya performansi yang tinggi untuk memenuhi
keutuhan mencapai prestasi dimana level dan tugas-tugas tersebut
tergantung pada variasi usia seseorang.
4. Konsensus
Konsensus berasal dari kata consensus yang berarti persetujuan,
kesepakatan, juga dari kata consentio yang berarti merasa bersama, setuju.
Secara istilah konsensus berarti:
A process of decision-making that seeks widespread agreement among group members.. General agreement among the members of a given group or community, each of which exercises some discretion in decision-making and follow-up action. (wiktionary.org)
Dalam perpektif sosiologi, konsensus adalah sebuah frasa untuk
menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara
bersama-sama antarkelompok atau individu setelah adanya perdebatan
dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan
konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam
gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik
praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah
dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik (Ritzer & Goodman,
2011).
Konsensus bisa berawal hanya dari sebuah pendapat atau gagasan
yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada kelompok yang
lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui
sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen
keputusan yang akan dikembangkan.
Teori kosensus harus menelaah
integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat.
39
Emil Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi
masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral
adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial
adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung
dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya
sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama.
Durkheim sangat memberikan perhatian pada moralitas yang ada dalam
masyarakat, yang memungkinkan terjadinya integrasi sosial dalam
masyarakat. Integrasi masyarakat terjadi karena adanya kesepakatan
(konsensus) di antara anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu. Nilai-nilai kemasyarakatan ini lebih lanjut
dinamakan oleh Durkheim dengan kesadaran kolektif (bahasa Prancis:
conscience collective, bahasa Inggris: collective consciousness), yang
dapat diartikan sebagai kesadaran “moral” (“hati nurani”). Durkheim
mendefinisikan kesadaran kolektif, yaitu: Seluruh kepercayaan dan
perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan
membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri: kita
boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum.
Kesadaran kolektif ini bersifat exterior, berada di luar individu
dan bersifat menekan (constraint) terhadap individu-individu sebagai
anggota masyarakat. Konsensus adalah hasil kesadaran kolektif.
Konsensus masyarakat bertujuan mengatur hubungan sosial di antara
anggota masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran kolektif tersebut bisa
berwujud aturan-aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang
baik dan buruk, luhur dan mulia. Kesadaran kolektif sangat diperlukan
bagi kuatnya solidaritas sosial dan integrasi sosial. Agar konsensus tetap
kuat, maka perlu didasarkan atas prinsip-prinsip moral, norma atau agama
yang ada dalam masyarakat. Menurut Durkheim, persepsi individu
tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari
sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan bersama serta nilai-
nilai yang dianut bersama orang-orang lainnya dalam masyarakat. Ia
40
melihat individu dibentuk oleh masyarakat, dan agar persepsi kepentingan
individu tidak benturan dengan persepsi kepentingan masyarakat, maka
dibutuhkan konsensus moral, yang dihasilkan dari kesadaran kolektif.
Solidaritas bisa terjadi jika ada ikatan moralitas yang sama dari
suatu kom unitas yang didasari atas konsensus bersama untuk menaati dan
menjalani bersama, menjadi ikatan sosial bersama untuk membangun
integrasi sosial, sehingga kohesi sosial tetap kuat dalam suatu masyarakat.
Konsensus dalam suatu masyarakat itu didasarkan atas kesadaran kolektif.
Konsensus masyarakat adalah hasil kesadaran kolektif (collective
consciousness).
Solidaritas mekanik merupakan suatu bentuk hubungan sosial di
antara individu atau kelompok yang didasarkan pada kepercayaan
bersama, nilai-nilai moral dan diperkuat oleh perasaan senasib
sepenanggungan atau pengalaman emosional bersama (hubungan
emosional). Ikatan ini lebih kuat dari pada hubungan kontraktual yang
dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu
mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat (derajat) konsensus
terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu.
Demi terpeliharanya keutuhan masyarakat (integrasi sosial), maka
dibutuhkan kom itmen moral untuk setia kepada konsensus dalam
masyarakat. Dua elemen moralitas yang penting yaitu: disiplin dan
keterikatan, saling menyempurnakan dan mendukung satu sama lain
karena keduanya merupakan aspek yang berbeda dalam masyarakat.
Disiplin adalah masyarakat yang dilihat sebagai sesuatu yang menuntun
kita, sementara keterikatan adalah masyarakat yang dilihat sebagai bagian
dari diri kita. Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam
masyarakat terjadi konsensus atau persetujuan sehingga terdapat nilai-
nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Konsensus
adalah persetujuan atau kesepakatan yang bersifat umum tentang nilai-
nilai, aturan, dan norma dalam menentukan sejum lah tujuan dan upaya
mencapai peranan yang harus dilakukan serta imbalan tertentu dalam
41
suatu sistem sosial. Model konsensus atau m odel integrasi yang
menekankan akan unsur norma dan legitimasi memiliki landasan tentang
masyarakat.
Masyarakat pada dasarnya akan selalu bergerak kearah interaksi
yang mempersatukan (integrative). Integrasi merupakan bentuk dasar
interaksi masyarakat. Meskipun integrasi merupakan bentuk dasar
masyarakat, namun tidak berarti dalam masyarakat tidak ada ketegangan-
ketegangan antarwarga. Karena berbagai sebab, ketegangan dan konflik
akan terus terjadi dalam masyarakat. Namun demikian, ketegangan dan
konflik tersebut akan lenyap. Masyarakat akan kembali berada dalam
keseimbangan. Hal ini terjadi karena dalam setiap sistem sosial terdapat
konsensus atau kesepakatan di antara warga masyarakat mengenai nilai-
nilsi dasar yang menjadi pondasi sistem sosial. Konsensus itulah yang
menjadikan warga masyarakat memiliki komitmen untuk mengatasi
perbedaan dan konflik mereka.
Myron Weiner dalam Yahya Muhaimin & Colin Mc Andrews
(1982) membedakan 5 (lima) tipe atau jenis integrasi, yaitu integrasi
bangsa, integrasi wilayah, integrasi nilai, integrasi elit-massa, dan
integrasi tingkah laku (tindakan integratif). (1) Integrasi bangsa, yakni
proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam satu
kesatuan wilayah dan pada pembentukan identitas nasional. Yang mana
membangun rasa kebangsaan dalam suatu wilayah; (2) Integrasi wilayah,
yakni pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit
atau wilayah-wilayah yang lebih kecil yang mungkin beranggotakan suatu
kelompok budaya atau sosial tertentu; (3) Integrasi nilai, yakni adanya
konsensus atau persetujuan terhadap nilai-nilai bersama yang diperlukan
untuk memelihara tertib sosial; (4) Integrasi elit-massa, yakni kemampuan
menghubungkan antara yang memerintah dengan yang diperintah, antara
penguasa dengan rakyat atau antara elit dengan massa.(5) Integrasi
tingkah laku (tindakan integratif), yakni kemampuan orang-orang di
42
dalam masyarakat untuk berorganisasi, bekerja sama demi mencapai
tujuan bersama dan yang bermanfaat.
Nasikun (1984) menyatakan, bahwa suatu kelompok masyarakat
dapat terintegrasi apabila: 1) masyarakat dapat menemukan dan
menyepakati nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan rujukan
bersama, 2) masyarakat terhimpun dalam unit sosial sekaligus memiliki
“cross cutting affiliation” (anggota dari berbagai kesatuan sosial),
sehingga menghasilkan “cross cutting loyalities” (loyalitas ganda) dari
anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial dan 3) masyarakat
berada di atas saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang
terhimpun di dalamnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonom i.
5. Ruang Publik
Sudah sejak awal, Habermas melalui bukunya The Structural
Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into A Category of
Bourgeois Society, mengembangkan gagasan mengenai “ruang publik”
(public sphere). Apa yang khas dari ruang publik adalah ia merupakan
ruang diskursif, yang berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara, di
mana warga berpartisipasi dan bertindak melalui dialog dan debat.
Artinya ruang publik adalah sebuah ruang otonom yang berbeda dari
negara dan pasar. Ia otonom karena tidak hidup dari kekuasaan
administratif mau pun ekonomi kapitalistis, melainkan dari lebenswelt
atau masyarakat sipil. Sesuai istilahnya dalam bahasa Jerman
“Öffentlichkeit”, berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang. Itu
berarti ruang publik politis ini bukanlah sebuah lembaga formal,
melainkan ruang informal yang melaluinya para warga berkomunikasi.
Tetapi ini bukan komunikasi biasa. Ruang publik adalah arena di mana
perdebatan publik terjadi. Habermas mengatakan bahwa ruang publik
politis tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang
dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang
terdiri dari para warga dapat berlangsung.
43
Ruang publik yang sehat harus memenuhi dua persyaratan, yakni
bebas dan kritis. Bebas artinya setiap pihak dapat berbicara di mana pun,
berkumpul, dan berpartisisipasi dalam debat politik. Kritis artinya siap
dan mampu secara adil dan bertanggungjawab menyoroti proses-proses
pengambilan keputusan yang bersifat publik. Dengan kata lain, ruang
publik adalah sebuah konsep normatif yang mengandaikan adanya
komunikasi ideal, di mana para peserta berdiskusi dalam keadaan bebas
dan setara, tanpa diskriminasi, tanpa tekanan mengenai kehidupan
bersama. Konsep normatif ini kemudian menjadi tuntutan legitimitas
hukum. Artinya hukum baru sahih bila sudah melalui pemeriksaan dalam
diskursus publik. Jadi, legitimitas suatu keputusan publik diperoleh lewat
pengujian publik dalam proses diskursus yang menghubungkan suara
rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga
legislatif dalam sistem politik. Titik sambung secara diskursif antara
ruang publik dan sistem politik inilah yang memungkinkan rakyat disebut
berdaulat.
Di dalam ruang publik itu tidak ada satu tradisi pun dapat
mengklaim komitmen etisnya sebagai norma bagi semua pihak. Tetapi
dengan menjadi arena diskursif, ruang publik berfungsi melindungi
pluralisme agama dan budaya, dan terutama ia dapat berguna
memobilisasi komunikasi diantara para warga yang berbeda keyakinan itu
sehingga tercipta saling pengertian dan saling belajar. Bahkan bisa
dikatakan, dengan menjadi locus berlangsungnya komunikasi dan
deliberasi yang bebas dan setara, yang saling menghargai hak masing-
masing, ruang publik dapat mendorong terbentuknya solidaritas sosial.
Dimensi epistemik hasil belajar dan kekuatan solidaritas yang tercipta
diantara para warga dalam ruang publik ini, bila tersambung dengan
sistem politik, maka akan memperkuat legitimitas kekuasaan politik dan
hukum-hukumnya.
Konsep public sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai
Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural
44
Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas
melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan
dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere”, yakni semua
wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk
opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktik sosial,
politik dan budaya yakni praktik pertukaran pandangan yang terbuka dan
diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum.
Penekanannya mengenai pembentukan kepekaan (sense of public),
sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya. Orang-orang yang
terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat
bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula
pejabat atau politikus.
Tujuan dari ranah publik adalah menjadikan manusia mampu
untuk merefleksikan dirinya secara kritis, baik secara politis-ekonomis
maupun budaya. Menurut Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-
Barret (1995), tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan,
bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan
bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal.
Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem
demokrasi. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat,
terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk
menjamin tercapainya keadaan ini. Ruang publik yang dipahami
Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep yang
praktis, tepatnya culturally-embedded social practice. Secara
institusional, menurut Habermas (1985) terdapat kriteria yang
menyamakan ketiga forum diskusi (public sphere) antara lain :
a. Mereka memelihara suatu bentuk hubungan sosial yang jauh dari
persyaratan kesamaan status. Kecenderungan mengganti
penghormatan atas tingkatan dengan kebijakan yang cocok secara
45
merata. Sama-sama memelihara kesetaraan sebagai manusia, terlepas
dari atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi.
b. Kedua diskusi dalam suatu publik mengisyaratkan permasalahan area
yang kemudian tidak pernah dipersoalkan. Domain “perhatian umum”
yang menjadi objek perhatian kritis publik menetapkan suatu
perlindungan diantara otoritas gereja dan negara yang memiliki
monopoli interpretasi tidak hanya dari m imbar tetapi juga dalam
filosofi, literatur dan seni.
c. Ketiga, proses yang sama yang mengubah budaya kedalam komoditi,
public sphere pada dasarnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi
senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih
luas dan obyek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja,
dengan demikian fungsi publik (dalam hal ini sekelompok orang yang
berdiskusi di coffee house dll.) adalah pendidik.
6. Governance
Governance adalah tentang aturan pengambilan keputusan kolektif
dalam pengaturan di mana ada sejumlah aktor atau organisasi dan di mana
tidak ada sistem kontrol resmi yang dapat mendikte hubungan antara
aktor dan organisasi (Stoker, 2009). Governance merupakan seperangkat
aturan, struktur dan prosedur yang memberikan kekuatan stakeholder
untuk mempengaruhi keputusan yang akan mempengaruhi kesejahteraan
mereka (Bovaird dan Loeffler, 2001). Selain itu, Governance juga dapat
disebut dengan kekuasaan negara yang digunakan dalam mengelola
sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan dan masyarakat
(The World Bank). Governance juga merupakan pelaksanaan kewenangan
atau kekuasaan dibidang ekonomi, politik, dan administrative untuk
mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatnya dan merupakan
instrument atau peralatan kebijakan negara untuk mendorong terciptanya
kondisi kesejahteraan integritas dan kohesivitas sosial dalam masyarakat
(UNDP, 1997). Sedangkan Rhodes (1996) menyatakan bahwa
46
Governance menegaskan suatu perubahan dalam makna pemerintahan,
yang menunjukkan suatu proses pemerintahan yang baru, atau suatu
kondisi yang berubah dari penguasaan yang tertata; atau metode baru
dengan mana masyarakat diperintah. Sementara Lefevre (1998)
menyatakan bahwa Governance memaparkan sistem aktor dan bentuk
baru tindakan publik yang didasarkan pada fleksibilitas, kemitraan, dan
partisipasi sukarela.
Dalam pengertian ini, governance dapat dipandang sebagai suatu
sistem hierarki dalam struktur organisasi. Pendapat lain juga menyatakan
bahwa Governance adalah terjadinya mekanisme kerjasama
antar stakeholders dalam memecahkan masalah bersama tanpa ada pihak
yang dirugikan dan peran pemerintah tidak mendominasi (John Pierre dan
B. Guy Peters, 2000). Ada lima proposisi penting untuk mewujudkan; (1)
Governance ialah menunjuk pada seperangkat institusi dan aktor yang
berasal dari dalam maupun diluar birokrasi pemerintah; (2) Governance
mengakui batas dan tanggungjawab yang kabur dalam menangani
masalah sosial ekonomi; (3) Governance mengenal adanya saling
ketergantungan di antara institusi-institusi yang terlibat dalam tindakan
bersama; (4) Governance berkenaan dengan jaringan kerja berbagai aktor
yang mandiri dan otonom ; dan (5) Governance memahami kapasitas
untuk menyelesaikan semua masalah yang tidak sepenuhnya tergantung
kewenangannya, tetapi Governance percaya pemerintah mampu
menggunakan cara-cara dan tehnik-teknik baru untuk mengarahkan dan
membimbing (Stoker, 1998)
7. Inovasi
Inovasi adalah gagasan, tindakan atau teknologi, termasuk barang
yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh
dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide-ide itu betul-betul
baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau
47
ditmukannya pertama kali. Jadi jika suatu ide dianggap baru oleh
seseorang maka ide itu adalah inovasi bagi orang tersebut (Levis, 1996).
Inovasi secara umum dipahami dalam konteks perubahan perilaku.
Inovasi biasanya erat kaitannya dengan lingkungan yang berkarakteristik
dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat beragam, dan
dari banyak perspektif. Menurut Rogers, salah satu penulis buku
terkemuka, menjelaskan inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek
yang dianggap baru oleh individu satu unit adopsi lainnya. Pengertian dari
sumber bahwa inovasi adalah kegiatan yang meliputi seluruh proses
menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik yang sifatnya baru,
lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang tersedia
sebelumnya. Sedangkan dalam dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat
berupa produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang
baru,sistem struktur dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota
organisasi. Dengan merujuk pada pengertian-pengertian diatas, sebuah
inovasi tidak akan bisa berkembang dalam kondisi status quo. Inovasi
mempunyai satu sifat mendasar yaitu sifat kebaruan. Sifat ini merupakan
ciri dasar inovasi dalam menggantikan pengetahuan, cara, objek,
teknologi atau penemuan yang lama, yang sudah tidak efektif dalam
menyelesaikan suatu masalah atau cepat lambatnya penerimaan inovasi
oleh masyarakat luas dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri.
Misalnya penyebarluasan penggunaan kalkulator dan “blue jean”, dalam
waktu kurang dari 1 sampai 5 tahun sudah merata keseluruh Amerika
Serikat, sedangkan penggunaan tali pengaman bagi pengendara mobil
baru tersebar merata setelah memakan waktu beberapa puluh tahun.
Everett M. Rogers (1993) mengemukakan karakteristik inovasi yang
dapat mempengaruhi cepat atau lambatnya penerimaan inovasi, sebagai
berikut:
1. Keuntungan Relatif (Relative Advantage), yaitu sejauh mana inovasi
dianggap menguntungkan bagi penerimanya. Tingkat keuntungan atau
kemanfaatan suatu inovasi dapat diukur berdasarkan nilai ekonominya,
48
atau mungkin dari faktor status sosial (gengsi), kesenangan, kepuasan,
atau karena mempunyai komponen yang sangat penting. Makin
menguntungkan bagi penerima, makin cepat tersebarnya inovasi;
2. Kompatibel (Compatibility) adalah tingkat kesesuaian inovasi dengan
nilai a tau (values), pengalaman lalu, dan kebutuhan dari penerima.
Inovasi yang tidak sesuai dengan nilai a tau norma yang diyakini oleh
penerima tidak akan diterima secepat inovasi yang sesuai dengan
norma yang ada. Misalnya penyebarluasan penggunaan alat KB
dimasyarakat yang keyakinan agamanya melarang penggunaan alat
tersebut, maka tentu saja penyebaran inovasi akan terhambat.
3. Kompleksitas (Complexity) adalah tingkat kesukaran untuk memahami
dan menggunakan inovasi bagi penerima. Suatu inovasi yang mudah
dimengerti dan mudah digunakan oleh penerima akan cepat tersebar,
sedangkan inovasi yang sukar dimengerti a tau sukar digunakan oleh
penerima akan lambat proses penyebaranya. Misalnya masyarakat
pedesaan yang tidak mengetahui tentang teori penyebaran bibit
penyakit melalui kuman, diberitahu oleh penyuluh kesehatan agar
membiasakan memasak air yang akan diminum, karena air yang tidak
dimasak jika diminum dapat menyebabkan sakit perut. Tentu saja
ajakan itu sukar diterima. Makin mudah dimengerti suatu inovasi akan
makin cepat diterima oleh masyarakat.
4. Trialabilitas (Trialability) adalah dapat dicoba atau tidaknya suatu
inovasi oleh penerima. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan cepat
diterima oleh masyarakat dari pada inovasi yang tidak dapat dicoba
terlebih dahulu. Misalnya penyebarluasan bibit unggul padi gogo akan
cepat diterima oleh masyarakat jika masyarakat dapat mencoba dulu
menanam dan dapat melihat hasilnya.
5. Dapat diamati (Observability) adalah m udah tidaknya diamati suatu
hasil inovasi. Suatu inovasi yang hasinya mudah diamati akan makin
cepat diterima oleh masyarakat, dan sebaliknya inovasi yang sukar
diamati hasilnya, akan lama diterima oleh masyarakat. Misalnya
49
penyebarluasan bibit unggul padi, karena petani dapat dengan mudah
melihat hasil padi yang menggunakan bibit unggul tersebut, maka
mudah untuk memutuskan mau menggunakan bibit unggul yang
diperkenalkan. Tetapi mengajak petani yang buta huruf untuk mau
belajar membaca dan menulis tidak dapat segera dibuktikan karena
para petani sukar untuk melihat hasil yang nyata, menguntungkan
setelah orang tidak buta huruf lagi.
Terdapat lima tahapan dalam proses adopsi atau penerimaan,
yakni:
1. Tahap kesadaran atau penghayatan (awareness stage). Pertama kali
mendengar tentang inovasi. Pada tahap ini sasaran sudah maklum atau
menghayati sesuatu hal yang baru yang aneh tidak biasa (kebiasaan
atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung
kekeliruan, cara baru dapat meningkatkan hasil usaha dan
pendapatannya, cara baru dapat mengatasi kesulitan yang sering
dihadapi). Hal ini diketahuinya karena hasil berkomunikasi dengan
penyuluh. Tahapan mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh
seseorang dari mendengar, membaca atau melihat, tetapi pengertian
seseorang tersebut belum mendalam.
2. Tahap Minat atau tertarik (interest stage). Mencari informasi lebih
lanjut. Pada tahap ini sasaran mulai ingin mengetahui lebih banyak
perihal yang baru tersebut. Ia menginginkan keterangan-keterangan
yang lebih terinci lagi. Sasaran mulai bertanya-tanya. Hanya
keberhasilan dan penjelasan petani golongan early adopter-lah yang
dapat menghilangkan kebim bangan petani yang telah menaruh minat.
3. Tahap Penilaian (Evaluation stage). Menimbang manfaat dan
kekurangan penggunaan inovasi. Pada tahap ini sasaran mulai berpikir-
pikir dan menilai keterangan-keterangan perihal yang baru itu. Juga ia
menghubungkan hal baru itu dengan keadaan sendiri (kesanggupan,
resiko, modal, dll.). Pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi
dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu teknis, ekonom is dan sosiologis.
50
Misalkan inovasi yang diperkenalkan adalah jenis padi baru, segi-segi
teknis yang dinilai adalah tingkat produktivitasnya, pemeliharaannya
mudah atau tidak, umurnya lebih pendek daripada lokal atau tidak,
mudah terserang hama dan penyakit atau tidak, dsb. Penilaian
berikutnya dilakukan terhadap segi ekonominya; penilaian segi ini
dilakukan terhadap semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
produksi untuk satuan luas tertentu pada suatu periode kegiatan
berproduksi dan nilai yang diperoleh dari hasil penjualan hasil
produksinya. Selisih antara nilai penjualan dari nilai pengorbanan yang
diperlukan dihitung dalam nilai uang, merupakan keuntungan yang
dapat diperoleh dari usaha tani tersebut. Keuntungan inilah yang akan
diperbandingkan dengan keuntungan yang diperoleh jika seseorang
menanam padi jenis unggul lokal. Pertimbangan dari segi sosial ini
antara lain manfaat penerapan inovasi tersebut bagi masyarakat di
sekitar usaha taninya, apakah penerapan inovasi ini dapat memberikan
lapangan kerja baru bagi keluarganya atau masyarakat disekitarnya.
Jika penilaian telah dilakukan dan kesimpulan yang dapat ditarik
adalah bahwa penerapan inovasi tersebut menguntungkan, maka
seseorang akan melangkah ke tahap berikutnya.
4. Tahap Percobaan (Trial stage). Menguji sendiri inovasi pada skala
kecil. Sasaran sudah mulai mencoba-coba dalam luas dan jumlah yang
sedikit saja. Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak
dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan
percakapan-percakapan), sepak terjang tetangga atau instansi mencoba
hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demonstrasi). Kalau ia
sudah yakin tentang apa yang dianjurkan, maka ia kan menerapkannya
secara lebih luas. Bila gagal dalam percobaan ini, maka petani yang
biasa akan berhenti dan tidak akan percaya lagi. Tapi petani maju yang
ulet akan mengulangi percobaannya lagi, sampai ia mendapat
keyakinannya.
51
5. Tahap Penerimaan (Adoption). Menerapkan inovasi pada skala besar
setelah membandingkannya dengan metoda lama. Sasaran sudah
yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu, maka ia
mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu. Ia juga akan
mengajurkannya kepada tetangga atau teman-temannya. Dalam
praktiknya tahapan ini tidak selalu berurutan. Dapat saja sesuatu tahap
dilampaui, karena tahap tersebut dilaluinya secara mental. Tidak
semua orang mempunyai waktu, kesempatan, ketekunan, kesanggupan
dan keuletan yang sama untuk menjalani, kadang-kadang mengulangi
proses adopsi sampai akhir dan mendapat sukses.
Aspek lain dari sistem sosial yang berpengaruh cukup besar
terhadap proses difusi inovasi adalah aspek peran (roles) dari berbagai
golongan anggotanya. Sedikitnya terdapat dua peran penting yang
perlu mendapatkan perhatian: (1) pembentuk opini (opinion leaders),
dan (2) agen-agen perubahan (change agents). Pembentuk opini
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam suatu sistem sosial,
untuk mempengaruhi orang lain pada sistem sosial yang bersangkutan,
dalam melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Peran ini merupakan salah satu bentuk pemimpin formal, yang
kelangsungannya dapat terjadi karena kemampuan yang bersangkutan
untuk selalu ada dalam tiap bentuk kegiatan, serta kemampuan untuk
selalu menyesuaikan diri dengan perangkat norma dari sistem sosial di
mana ia berada. Untuk kondisi pedesaan di Indonesia, sosok kepala
desa merupakan salah satu ilustrasi pembentuk opini ini. Smith (1984)
menyatakan bahwa ada dua faktor yang mendukung bahwa tanggung
jawab untuk pembangunan perdesaan akan terutama terletak di atas
pundak kepala desa. Pertama, di desa-desa kebanyakan daerah di
Indonesia, kepala desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata.
Dari berbagai studi antropologi ternyata bahwa di Jawa Tengah,
Maluku dan Sulawesi Selatan, misalnya, kepala desa merupakan
semacam 'raja kecil'. Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat
52
sebagai wakil pemerintah di desa. Kepala desa bertanggungjawab
langsung kepada bupati melalui camat yang sering berkunjung atau
berapat untuk mendapat informasi dan instruksi-instruksi dari atas.
Agen perubahan dalam konteks proses adopsi inovasi adalah
seseorang yang berusaha mempengaruhi keputusan adopsi seseorang,
sesuai dengan tujuan dari instansi atau lembaga asal agen perubahan
tersebut. Mengingat kebanyakan agen perubahan berasal dari luar
sistem sosial obyek adopsi, maka agen perubahan memerlukan pihak-
pihak yang dapat lebih menjamin adanya komunikasi dengan anggota
sistem sosial. Untuk itu biasanya agen perubahan mengikutsertakan
pembentuk opini di dalam melaksanakan kegiatan kerjanya. Alternatif
lain adalah bahwa agen perubahan merekrut tenaga pembantu yang
berasal dari dalam sistem sosial target perubahan, sehingga
komunikasi dengan anggota sistem dapat lebih baik dilaksanakan.
Dengan memperhatikan uraian-uraian yang berkaitan dengan
sistem sosial target difusi inovasi, maka dapat dimengerti apabila terdapat
berbagai variasi dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi.
Terdapat 3 (tiga) bentuk pengambilan keputusan dalam hal ini: (1)
keputusan inovasi perorangan (optional inovation-decisions), yang
menunjuk pada kebebasan perorangan untuk memutuskan adopsi atau
penolakan terhadap inovasi, tanpa harus tergantung pada keputusan
inovasi anggota sistem sosialnya yang lain; (2) keputusan inovasi kolektif,
yang menunjuk pada keputusan adopsi ataupun penolakan inovasi
berdasarkan konsensus antar anggota sistem sosial; serta (3) keputusan
inovasi otoriter (Authority innovation- decisions), di mana keputusan
inovasi dilakukan hanya oleh beberapa individu di dalam sistem sosial
yang memiliki kekuasaan, status, maupun kemampuan untuk mengambil
keputusan tersebut.
8. Dialog Generatif
53
David Bohm (2013) dalam On Dialogue mendefinisikan “dialog”
secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “dialogos”, 'dia' yang berarti
melalui (through) sedangkan 'logos' berarti 'makna-kata' (word). Secara
asal bahasa, kata dialog berarti “makna melalui kata”. Secara
paradigmatik, dialog memberi penekanan pada terjadinya proses
kolaborasi dalam aktivitas komunikasi. Dalam paradigma ini,
komunikasi diposisikan sebagai mekanisme saling melengkapi dari
semua pihak yang berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.
Bohm (2013) menyatakan bahwa dialog sering disalahartikan
sebagai dengan diskusi, ceramah, atau debat yang dilakukan untuk tujuan
tertentu. Sebaliknya, dialog harus menjadi “ruang kosong” agar sesuatu
yang baru dapat tercipta. Dialog adalah pembelajaran kolektif yang bisa
meningkatkan rasa harmonis, persahabatan dan memunculkan kreativitas.
Dialog generatif (generative dialogue) adalah istilah yang
diciptakan oleh Otto Scharmer yang mengacu pada penangguhan
prasangka untuk membiarkan pemikiran dan gagasan baru menjadi tercipta
selama proses dialog (Farrell, T., 2014). Dialog generatif terjadi pada saat
komunitas bekerja bersama menghadapi tantangan tertentu terlibat dalam
dialog, mereka akan memiliki visi bersama, menentukan nilai yang akan
memandu tingkah laku dalam budaya komunitas, dan menciptakan m isi
dan tujuan yang jelas. Praktik dialog ini disebut dialog generatif karena
komunitas tersebut memiliki visi dan komitmen untuk masa depan. Dialog
generatif adalah aturan generatif dan diterapkan untuk menghasilkan
kerangka berpikir, makna bersama, dan pandangan dunia kolektif.
“To generatively dialogue, one needs to go deeply into the present moment while sensing all that surrounds one. “In this state, listening originates outside the world of our preconceived notions.” (Scharmer & Kauefer, 2013). “Generative dialogue lets go of past ways of thinking and opens us up to emerging possibilities.” (Scharmer &Senge, 2009).
54
Dalam dialog generatif, orang akan manangguhkan posisi tertentu.
Mereka harus bersedia untuk mendengarkan orang lain untuk memahami
makna dari posisi mereka. Mereka akan mampu menghadapi perselisihan
tanpa konfrontasi dan bersedia untuk mengeksplorasi sudut pandang
bersama.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Memilih Pendekatan Kualitatif
Pendekatan penelitian meliputi dua pilihan yakni kualitatif dan
kuantitatif dengan asumsi pemahaman masing-masing pendekatan dituliskan
secara kontras pada beberapa dimensi (Creswell, 1994).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan alasan:
pertama, yang dikaji adalah makna dari suatu tindakan atau apa yang berada
dibalik tindakan seseorang. Kedua, individu memiliki strategi bertindak yang
tepat bagi dirinya sendiri di dalam menghadapi lingkungan sosial, sehingga
memerlukan pengkajian mendalam. Penelitian kualitatif memberikan peluang
untuk melakukan pengkajian mendalam terhadap suatu fenomena.
Ketiga, penelitian kualitatif memungkinkan untuk digunakan dalam
penelitian tentang keyakinan, kesadaran dan tindakan individu di dalam
masyarakat, karena yang dikaji ialah fenomena yang tidak bersifat eksternal
dan berada di dalam diri masing-masing individu. Keempat, penelitian
kualitatif memungkinkan untuk meneliti fenomena secara holistik. Fenomena
yang dikaji merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan karena tindakan
tidak hanya diakibatkan oleh satu atau dua faktor saja, akan tetapi melibatkan
sekian banyak faktor yang saling terkait satu sama lain.
Kelima, penelitian kualitatif memberikan kesempatan untuk
memahami fenomena berdasarkan emic view atau pandangan aktor setempat.
Dalam hal ini peneliti merupakan orang yang belajar mengenai apa yang
menjadi pandangan dari aktor tersebut, terutama terkait dengan upacara ritual
sebagai tradisi Islam lokal. Keenam, proses tindakan yang di dalamnya
terdapat makna subjektif haruslah dipahami di dalam kerangka “ungkapan”
mereka sendiri, sehingga perlu digunakan kerangka penelitian kualitatif.
56
B. Menentukan Metode Penelitian
Creswell (1994) mengkategorikan empat metode dalam penelitian
ilmu-ilmu sosial dan manusia yang meliputi Ethnographics, Grounded
Theory, Case Study dan Phenomenological studies. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan metode fenomenologi yang menekankan interpretasi
untuk mendapatkan pemahaman struktur eksistensial dari fenomena,
kemudian fenomena tersebut tampil sebagai dirinya sendiri (appears or
presents itself).
Landasan filosofis fenomenologi (Asep Sudarsyah, 2016) memiliki
fokus pada esensi dan keunikan pengalaman hidup dari fenomena tertentu.
Sebagai contoh, pengalaman unik dari seorang kepala sekolah dapat
digambarkan sebagai pengalaman-pengalaman apa adanya yang dilakukan
kepala sekolah dalam setting natural, kemudian ditemukan esensi-esensinya.
Pembahasan ini lebih fokus mengajar implikasi filsafat fenomenologi terhadap
metoda penelitian, yang penulis sebut sebagai metode fenomenologi.
Metode fenomenologi memiliki empat karakteristik, yakni deskriptif,
reduksi, esensi dan intensionalitas. Tom O’Donoghue and Keith Punch Ed.
(2003) mengemukakan : ”… ‘the phenomenological method’, which consists
of four key qualities (i.e. description, reduction, essences and intentionality)
common to all types of phenomenology.” Keempat karakteristik tersebut
dipaparkan sebagai berikut :
a. Deskripsi
Tujuan dari fenomenologi adalah deskripsi fenomena termasuk apapun
yang muncul seperti pikiran, emosi, dan tindakan manusia sebagaimana
adanya. Fenomenologi berarti menggambarkan sesuatu fenomena ke “hal
itu sendiri”. Husserl (dalam Tom O’Donoghue dan Keith Punch, 2003,
p.46) mengemukakan “Phenomenology means describing things as one
experiences them, and this means a turning away from science and
scientific knowledge and returning to the ‘things themselves” .
57
b. Reduksi
Reduksi merupakan suatu proses di mana asumsi dan prasangka tentang
fenomena ditunda melalui bracketing (mengurung pengetahuan dan
kepercayaan yang dimiliki dan diyakini oleh peneliti) untuk memastikan
agar prasangka-prasangka dari peneliti tidak mencemari deskripsi hasil
pengamatan serta memastikan bahwa wujud deskripsi tersebut sebagai the
things themselves.
c. Esensi
Esensi adalah makna inti dari pengalaman individu dalam fenomena
tertentu sebagaimana adanya. Pencarian esensi dalam fenomena
sebagaimana adanya tersebut melibatkan eksplorasi fenomena dengan
menggunakan imajinasi secara bebas, intuisi dan refleksi untuk
menentukan apakah suatu karakteristik tertentu merupakan esensi penting.
d. Itensionalitas
Fenomenologi menggunakan dua konsep noesis dan noema untuk
mengungkapkan intensionalitas. Menurut Husserl, intensionalitas mengacu
sebagai korelasi antara noema dan noesis yang mengarahkan interpretasi
terhadap pengalaman (Sanders, 1982, dalam Tom O’Donoghue and Keith
Punch Ed. 2003, p. 48). Noema adalah pernyataan objektif dari perilaku
atau pengalaman sebagai realitas, sedangkan noesis adalah refleksi
subjektif (kesadaran) dari pernyataan objektif tersebut. Pandangan ini
mensyaratkan bahwa realitas itu apa adanya, kita tidak menpunyai ide apa
pun mengenai realitas (pernyataan objektif). Interrelasi antara kesadaran
dengan realitas inilah yang disebut intensionalitas.
Implikasi fenomenologi terhadap analisis data dijelaskan oleh Willig,
Carla (2008) dalam fenomenologi interpretatif, bahwa analisis dilakukan
dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yakni: fokus terhadap dunia
kehidupan, terbuka pada pengalaman subyek yang sedang dipelajari, deskripsi
secara tepat, menunda pengetahuan awal atau prasangka, dan mencari esensi
58
dalam deskripsi. Fenomenologi interpretatif menjelaskan bahwa hampir tidak
mungkin memperoleh akses langsung terhadap dunia kehidupan partisipan
(orang yang dipelajari) tanpa melakukan eksplorasi terhadap pengalaman
partisipan dalam perspektif partisipan.
Perspektif dari peneliti dinyatakan dalam wujud interpretasi atas
ekspresi-ekspresi pengalaman hidup partisipan akan semakin nyata terlihat
pada proses analisis data, ketika peneliti memberikan label makna atas
ekspresi-ekspresi pengalaman hidup partisipan tersebut. Analisis data
dimungkinkan terjadi dalam perspektif intersubjektif antara peneliti dan
partisipan dengan “menunda” prasangka peneliti terhadap fenonema yang
sedang dipelajari, sehingga fenomena yang diteliti tampil sebagaimana adanya
(appears or presents itself).
Moustakas (1994) mengidentifikasi lima tahapan utama dalam
melakukan analisis data fenomenologis, yakni: pertama, membuat daftar
ekspresi dari jawaban atau respon partisipan dengan bracketing agar ekspresi-
ekspresi tersebut tampil sebagaimana adanya. Setiap ekspresi pengalaman
hidup partisipan tersebut diperlakukan secara sama (horizontalization).
Kedua, melakukan reduksi dan eliminasi terhadap ekspresi-ekspresi
tersebut dengan mengacu pada pertanyaan: apakah ekspresi-eksperisi tersebut
merupakan esensi dari pengalaman partisipan, dan apakah ekspresi-ekspresi
tersebut dapat dikelompokkan untuk diberi label dan tema. Ekspresi-ekspresi
yang tidak jelas, pengulangan, dan tumpang tindih direduksi dan dieliminasi.
Kemudian ekspresi-ekspresi yang bermakna diberi label dan tema.
Ketiga, membuat klaster dan menuliskan tema terhadap ekspresi–
ekspresi yang konsisten dan memiliki kesamaan. Pembuaatan klaster dan
pemberian label terhadap ekspresi-ekspresi tersebut merupakan tema inti
pengalaman hidup partisipan.
Keempat, melakukan validasi dan pelabelan terhadap ekspresi-ekspresi
dan tema dengan cara: (1) apakah ekspresi-ekspresi tesebut secara eksplisit
terdapat di dalam transkip wawancara; (2) apabila ekspresi-ekspresi tersebut
tidak terdapat secara eksplisit, apakah ekspresi tersebut compatible atau
59
“bekerja tanpa konflik” (work together without confict or compatible).
Apabila ekspresi tersebut tidak compatible dengan pengalaman hidup
partisipan maka ekspresi-eskpresi tersebut dibuang.
Kelima, membuat ITD (Individual Textural Description). ITD dibuat
dengan memaparkan ekspresi-ekspresi yang sudah divalidasi sesuai dengan
tema-temanya dan dilengkapi dengan kutipan-kutipan verbatim hasil
wawancara.
C. Penelitian Lapangan
1. Memasuki Lapangan: Penelitian Pendahuluan
Sebagaimana penelitian kualita tif pada umumnya, bahwa posisi
peneliti adalah sebagai orang yang sedang belajar mengenai fenomena
yang dikaji. Meskipun peneliti adalah pejabat publik yang berada di dalam
kognisi atau telah menjadi pengetahuan peneliti. Namun, sesuai dengan
konsep from the native’s point of view, maka peneliti tetap dalam posisi
belajar bersama masyarakat terkait apa dan bagaimana makna ritual
kematian. Salah satu kelebihan melakukan penelitian di lokasi sendiri
adalah peneliti telah memiliki kerangka referensi mengenai fenomena
yang dikaji, misalnya mengenai beberapa praktik ritual kematian dan
Rukun Kematian di desa-desa Bojonegoro, sehingga peneliti lebih mudah
melakukan rekonstruksi terhadap fenomena yang dikaji.
2. Menemukan Data Lapangan
Untuk memahami makna dibalik tindakan, metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif, wawancara mendalam,
dokumentasi dan FGD (Focus Group Discussion).
a. Observasi Partisipatif (Participative Observation)
Teknik ini digunakan peneliti agar dapat melibatkan diri secara
penuh dengan kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Dengan cara ini
peneliti dapat mengetahui proses dari kegiatan yang terjadi secara
mendalam. Di sini peneliti benar-benar ikut mengambil bagian (ikut
berpartisipasi) dalam segala aspek kegiatan yang dilakukan oleh
60
subjek yang diteliti. Dengan kata lain peneliti ikut aktif berpartisipasi
dalam aktivitas warga Desa Pajeng untuk mengidentifikasi pengaruh
gagasan-gagasan bagi kehidupan warga desa Pajeng.
Peneliti melakukan observasi partisipatif ritual kematian ketika
terjadi peristiwa kematian warga Dukuh Bulu Desa Pajeng yang
bernama Ag. dalam peristiwa tersebut, peneliti terlibat secara aktif
berpartisipasi dalam ritual kematian mulai dari nyuceni, mengkafani,
mendoakan, mensholatkan, prosesi pemakaman jenazah Ag dan
slametan.
Peneliti melakukan pengamatan secara rigid, rinci, dan
berkesinambungan untuk dapat menemukan makna, data dan
informasi yang relevan dengan tema penelitian. Melalui proses ini,
peneliti dapat menemukan kejelasan yang mendalam terhadap gejala
atau fenomena yang sangat menarik dan menonjol.
b. Wawancara Mendalam (Depth Interview)
Metode wawancara mendalam digunakan oleh peneliti untuk
menggali persepsi, tanggapan, serta penilaian informan terkait tema
dan permasalahan penelitian. Peneliti secara langsung bertatap muka
dan berinteraksi menuju kedalaman. Teknik ini sangat bermanfaat
untuk melakukan probing atas jawaban dari informan tentang makna,
nilai, motif dan pengalamannya terkait ritual dan rukun kematian.
Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan protocol guide
interview yang disusun berdasarkan perspektif teoritik yang digunakan
dalam penelitian ini.
Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada informan
kunci yang terlibat langsung dalam proses awal pembentukan
kematian yakni Tarwoco, Adi Pranoto, dan Tahir. Hasil dari
wawancara tersebut dikonfirmasikan juga dengan narasumber yang
lain, termasuk juga kepada informan kunci yang secara eksplisit
menolak Rukun Kematian seperti Mbah Radi dan Mbah Paimin,
sehingga peneliti dapat menemukan versi yang utuh mengenai proses
61
pembentukan Rukun Kematian dan dialektikan nilai-nilai kebajikan
sosial Rukun Kematian.
c. Dokumentasi
Peneliti mencari data sekunder dengan cara melakukan studi
kepustakaan dan mengkompilasi berbagai dokumen dan rekaman baik
yang dim iliki informan kunci, maupun mencari dari lembaga terkait,
seperti: Kepala Desa, golongan Islam puritan, para pengurus
kelompok Rukun Kematian, Bakesbangpol Linmas Bojonegoro, dan
lain-lain.
Proses dokumentasi dilakukan untuk memastikan dan
membuktikan tentang adanya suatu peristiwa dan fakta. Dengan foto,
peneliti memperoleh sumber informasi yang dapat menggambarkan
peristiwa yang telah atau sedang terjadi. Dokumentasi tersebut juga
dimanfaatkan peneliti untuk melengkapi laporan yang ada
relevansinya dengan fokus penelitian. Ketersediaan dokumen ini juga
amat bermanfaat untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk
meramalkan jawaban dari fokus penelitian. Dengan metode ini,
peneliti dapat memperoleh data atau informasi dari berbagai sumber
tertulis atau dari dokumentasi yang otentik.
Dokumen-dokumen yang berupa notulen, catatan pembukuan,
foto-foto kegiatan, rekaman, dan video dimanfaatkan oleh peneliti
untuk mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu
proses perubahan sosial yang telah terjadi di Desa Pajeng.
Kelengkapan dokumen ini selanjutnya digunakan oleh peneliti untuk
mengungkap secara deskriptif-kualita tif berbagai implikasi
perubahan-perubahan, pertumbuhan dan perkembangan Desa Pajeng
dalam periode tertentu.
d. Focus Group Discussion
Focus Group Discussion (FGD) merupakan proses
pengambilan data atau informasi suatu masalah tertentu yang sangat
spesifik melalui diskusi kelompok. (Irwanto, 1998). Melalui FGD,
62
peneliti melakukan penggalian dan pendalaman serta triangulasi atas
temuan-temuan didapatkan selama proses pengum pulan data atau
informasi, observasi dan wawancara mendalam.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan FGD sebanyak tiga
kali yang melibatkan 20 orang narasumber. FGD tersebut dilakukan
sebanyak dua kali di Dusun Dodol dan satu kali di Dukuh Bulu.
Melalui FGD ini peneliti mengkonfirmasikan temuan-temuan terkait
dinamika serta implikasi yang berbeda-beda di tiap kelom pok Rukun
Kematian.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pajeng, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Bojonegoro. Lokasi ini diputuskan menjadi lokasi penelitian
karena di desa inilah Rukun Kematian terbentuk dan sampai saat ini telah
berkembang menjadi enam kelompok. Di sisi lain, di desa ini pula masih
berlangsung praktik tradisi dan ritual adat selamatan kematian.
E. Waktu Penelitian
Pengamatan terhadap Desa Pajeng sudah dilakukan oleh peneliti sejak
awal tahun 2008, ketika itu peneliti sedang dalam proses kampanye sebagai
calon bupati Bojonegoro. Bahkan dari proses pengamatan itu pada tahap
berikutnya telah terbit Perbup No. 55 Tahun 2015 tentang Pembentukan Wali
Amanah Desa. Perbup ini diinspirasi oleh adanya praktik penyelenggaraan
pembangunan desa yang merangkul semua pihak. Selain itu peneliti juga
sangat tertarik melihat berbagai inovasi di Desa Pajeng. Dari berbagai inovasi
yang ada, peneliti merasa keberadaan Rukun Kematian menyiratkan hal-hal
yang berbeda dibandingkan dengan keberadaan Rukun Kematian di desa-desa
lain pada wilayah Bojonegoro. Berdasarkan ketertarikan tersebut, peneliti
tergerak untuk menemukan hal yang lebih mendalam terkait keberadaan
Rukun Kematian di Desa Pajeng ini.
63
Jadi, jika dirunut dari awal maka sesungguhnya penelitian ini sudah
berlangsung lebih dari lima tahun. Namun secara formal pelaksanaan
penelitian dilakukan selama tiga tahun sejak proposal disertasi disetujui oleh
promotor, co-promotor dan tim penguji program Doktor Ilmu Sosial dan
Ilmu Poitik Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Sedangkan
penggalian data yang lebih sistematis dilakukan selama satu tahun sejak bulan
Juni 2016 sampai dengan Juli 2017.
F. Informan Kunci
Informan kunci dalam penelitian ini adalah mereka yang
teridentifikasi terlibat dan berperan dalam proses perbincangan,
pembentukan, dan pelembagaan, serta berperan sebagai pengurus Rukun
Kematian I-VI di Desa Pajeng. Teknik penentuan informan kunci tersebut
mengkombinasikan teknik theoretical sampling dan purposive sampling, serta
snowball sampling untuk menentukan informan kunci yang memiliki
kedalaman informasi.
Theoretical Sampling digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan
pengkodean dan analisis data yang perlu untuk mengembangkan teori yang
perlahan-lahan mulai nampak. Theoretical Sampling adalah cara yang
diusulkan oleh Glaser dan Strauss (Maleong, 2007) untuk menambah
kekuatan eksplanatif pada kategori-kategori yang lemah kekuatan
eksplanatifnya. Purposive sampling (sample bertujuan) digunakan oleh
peneliti untuk memilih informan atau narasumber yang dianggap mengetahui
dan memahami permasalahan serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber
data yang memiliki kebenaran dan pengetahuan yang mendalam. Namun
demikian, informan atau narasumber yang dipilih dapat menunjukkan
informan lain yang dipandang lebih tahu. Maka pilihan informan atau
narasumber dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan
peneliti dalam memperoleh data. Untuk memilih informan kunci yang
memiliki kedalaman data dalam memahami realitas yang jamak, peneliti
menggunakan snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik
64
pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit
tersebutbelum mampu memberikan data yang lengkap, maka harus mencari
orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data dan tidak dimaksudkan
untuk membuat generalisasi tetapi untuk kedalaman penelitian dalam konteks
tertentu (Sugiyono,2007).
Berikut adalah daftar Informan kunci dalam penelitian ini:
Tabel 3.1
Daftar Informan Kunci
No Informan Kunci Peran dalam Rukun Kematian Keterangan
1. Tarwoco (55 tahun)
Inisiator dan Pengurus Mantan Kepala Desa Pajeng Periode 1990-2006
2. Adi Pranoto (70 tahun)
Inisiator Perangkat Desa dan Kasun Dodol sejak tahun 1973 - 2016
3. Ahmad Riadi (49 tahun)
Ketua RK I (Dusun Dodol Brendo)
Menjadi pengurus sejak tahun 2012
4. Tahir (68 tahun)
Bendahara RK I (Dusun Dodol Brendo)
Menjadi pengurus sejak tahun 1989
5. Nyaman (54 tahun)
Ketua RK II (Dusun Dodol)
Menjadi pengurus sejak tahun 2010; Ketua RW 05
6. Sarwan (47 tahun)
Bendahara RK III (Dusun Dodol Tegalan)
Menjadi pengurus sejak tahun 2010
7. Pasirin Sekretaris RK IV (Dusun Pajeng)
Menjadi pengurus sejak tahun 2010
8. Sarjono (44 tahun)
Inisiator di Dusun Jiwo dan Ketua RK V (Dusun Jiwo)
Menjadi pengurus sejak tahun 2010
9. Sunarto (35 tahun)
Bendahara RK V (Dusun Jiwo)
Menjadi pengurus sejak tahun 2010
10. M. Nur Amirin (50 tahun)
Sekretaris RK VI (Dusun Bulu)
Menjadi pengurus sejak tahun 2013; Ketua Wali Amanah Desa Pajeng
11. Yusmanto (48 tahun)
Bendahara RK VI (Dusun Bulu)
Menjadi Pengurus sejak 2013
12. Mbah Radi (80 tahun)
Menolak Rukun Kematian
Tokoh masyarakat Dukuh Bulu
13. Mbah Paimin (65 tahun)
Menolak Rukun Kematian
Tokoh masyarakat Dukuh Bulu
65
No Informan Kunci Peran dalam Rukun Kematian Keterangan
14. Deddy Kristiawan Kepala Desa Pajeng Periode 2007 – sekarang
15. Elisabeth Damina (72 tahun)
Anggota RK Istri dari Bernardus Maryono
16. Siti Khoriyah Anggota RK Istri dari Abdul Wakid 17. Romadon Anggota RK Anak dari Abdul
Wakid 18. Parman Anggota RK Modin Desa Pajeng 19. Ikwan
(62 tahun) Sie Perlengkapan RK III (Dusun Dodol Tegalan)
20. Sumidi (55 tahun)
Anggota RK III Warga RT10 Dusun Dodol Tegalan
G. Profil Inform an Kunci
Pemilihan narasum ber dan/atau informan kunci dilakukan oleh
peneliti dengan dengan mempertimbangkan: (1) keterlibatannya daalam
proses awal inisiasi Rukun Kematian; (2) keterlibatannya di dalam
kepengurusan Rukun Kematian; (3) pengetahuannya mengenai proses
pembentukan rukun kematian dan implikasi-im plikasi dari Rukun Kematian,
terutama ini dipilih dari sekian banyak responden yang berhasil diwawancarai
oleh peneliti.
Secara ringkas, profil singkat dari para informan kunci yang terlibat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tarwoco (T) adalah mantan Kepala Desa Pajeng yang menjabat selama
dua periode (16 tahun) mulai tahun 1990 - 2006. Ayahnya merupakan
Kepala Desa Pajeng yang menjabat selama 37 tahun. Sebelum menjadi
Kepala Desa, T menjadi Ketua Karang Taruna Desa Pajeng dan seringkali
membantu ayahnya dalam berbagai urusan desa. Dari pengenalan
beberapa narasumber, T adalah salah satu tokoh Marhaen di Desa Pajeng.
T juga merupakan salah satu inisator dalam pembentukan RK generasi
pertama. Peran T dalam pengembangan RK sangat signifikan, dan ia
66
merupakan orang yang gigih melakukan sosialisasi dan mengajak warga
untuk mendukung pembentukan RK di seluruh Desa Pajeng.
2. Adi Pranoto (AP) berusia 70 tahun, tinggal di Dukuh Dodol Brendo. AP
merupakan mantan Kamituo (Kepala Dusun) Dodol dan telah mengabdi
sebagai perangkat Desa Pajeng selama 43 tahun, yakni sejak zaman
Kepala Desa L sampai dengan Kepala Desa T. AP termasuk salah satu
inisiator pembentuk RK di Dukuh Brendo. Di rumah AP inilah pertama
kali diadakan rapat pembentukan RK.
3. Ahmad Riadi (AR) berusia 45 tahun, lahir pada bulan Oktober 1968 dan
sejak kecil tinggal di Desa Pajeng, tepatnya di Dukuh Brendo. Dalam
keseharian AR adalah seorang petani penggarap di lahan Perhutani, dan
juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Selain itu, AR juga menjabat sebagai Ketua RK Kelompok I di Dukuh
Brendo sejak Mei 2012 hingga sekarang.
4. Tahir (Ta) berusia 68 tahun, beliau seorang pekerja (petani) ladang yang
berlokasi tidak jauh dari rumahnya di Dusun Dodol Brendo. Ta
merupakan salah satu pelaku dalam proses pendirian RK Kelompok I di
Dukuh Brendo. Oleh karena itu Ta banyak mengetahui proses dan
dinamika pembentukan RK. Ta aktif sebagai pengurus RK Kelompok I
selama tiga periode kepengurusan, dan hingga saat ini Ta masih aktif
menjadi pengurus RK dengan peran sebagai bendahara.
5. Nyaman (N) lahir di Dusun Dodol Brendo, Desa Pajeng pada tanggal 1
Oktober 1963. Setelah menikah dengan warga Dukuh Dodol Ledok, N
pindah ke Dukuh Dodol Ledok RW05 pada tahun 1997. N merupakan
Ketua RW05 Dukuh Dodol Ledok. Sejak tahun 2010 hingga saat ini, N
juga berperan sebagai Ketua RK Kelompok II Dodol Ledok. Beliau
menggantikan Ketua RK sebelumnya yang bernama Sy.
6. Sarwan (S) merupakan warga Dusun Dodol Tegalan, lahir pada tanggal 14
Maret 1970. Saat ini, S berperan sebagai bendahara RK Kelompok III
Dusun Tegalan (masa pengurusan yang baru). Pada tahun 2009, pengurus
lama RK Kelompok III menyerahkan catatan buku kematian kepada S
67
tanpa disertai penyerahan uang. RK Kelompok III ini sempat mengalami
masa vakum, dan aktif kembali pada tahun 2010.
7. Pasirin (P), usia 46 tahun, tinggal di Dusun Pajeng. Aktivitas
kesehariannya adalah bertani. Selain itu, P aktif dalam berbagai organisasi
yang ada di Dusun Pajeng seperti Kelompok Tani, Lumbung
Kemakmuran, dan BUMDes. P juga aktif sebagai sekretaris RK
Kelompok IV Dusun Pajeng.
8. Sarjono (Sr) adalah guru ngaji di Dukuh Jiwo yang berasal dari Dusun
Tretes, Desa Kedung Sumber, Kecamatan Temayang. Ia pindah ke Dukuh
Jiwo pada tahun 90-an. Sr dikenal sebagai pengusaha sukses dan memiliki
warung klontong yang cukup besar di Dukuh Jiwo. Sr dikenal juga
sebagai alumni pesantren yang mendirikan Jamaah Tahlil serta
membangun musholla yang dipergunakan sebagai tempat pendidikan
agama bagi anak-anak di Dukuh Jiwo. Selain sebagai Ketua RK
Kelompok V di Dukuh Jiwo, Sr merupakan pimpinan dari Jamaah Tahlil
di Dukuh Jiwo.
9. Sunarto (Su), usia 35 tahun, adalah pemuda kelahiran Kedung Sumber
Temayang dan mulai tinggal di Dukuh Jiwo sejak tahun 2004. Su sehari-
hari bekerja sebagai petani dan peternak sapi. Dalam organisasi
kemasyarakatan, selain aktif menjadi anggota jamaah tahlil, Su juga
menjabat sebagai Ketua Rayon Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT),
salah satu perguruan silat yang ada di Desa Pajeng. Dalam RK, saat ini Su
berperan sebagai bendahara RK Kelompok V di Dukuh Jiwo.
10. Muhammad Nur Amirin (A) lahir di Temayang pada tanggal 9 Oktober
1967, tinggal di Dukuh Bulu sejak tahun 1994. A merupakan tokoh agama
di Dukuh Bulu yang berafiliasi dengan Nadhlatul Ulama. Saat ini A
menjabat sebagai Wali Amanah Desa Pajeng, dan pernah juga menjabat
sebagai anggota BPD Desa Pajeng. A merupakan salah satu inisiator dari
RK Kelompok VI di Dukuh Bulu, dan aktif sebagai sekretaris RK
Kelompok VI.
68
11. Yusminanto (Y), berusia 48 tahun, lahir di Dukuh Bulu, Desa Pajeng. Di
masa mudanya, Y banyak mencari pengalaman di luar Jawa, dan kembali
pulang ke Dukuh Bulu pada tahun 2013. Y adalah takmir masjid di Dukuh
Bulu dan menjadi inisiator terbentuknya RK di Dukuh Bulu. Saat ini Y
menjabat sebagai bendahara RK Kelompok VI Dukuh Bulu.
12. Mbah Radi (R), berusia 78 tahun, berasal dari Pokak (Dukuh Puguh
Rejo), Desa Gondang dan saat ini tinggal di Dukuh Bulu. Meskipun
berusia 78 tahun, badannya masih tegap, pendengaran dan bicaranya
masih sangat jelas, serta ingatannya sangat kuat. R masih bisa mengingat
kejadian-kejadian penting di Desa Pajeng beserta dengan tahun-tahunnya.
R merupakan menantu dari Mbah Dukut (tokoh adat/dukun yang disegani
di Desa Pajeng) dan banyak mengetahui mengenai tradisi kejawen. R
merupakan sesepuh Dukuh Bulu dimana setiap dalam prosesi nyadran
atau sedekah bumi di Dukuh Bulu, R-lah yang menentukan waktu dan
memimpin prosesi tersebut. R merupakan salah satu tokoh yang tidak
sepenuhnya setuju dengan pembentukan RK.
13. Mbah Paimin (Pm), berusia 65 tahun, lahir dan besar di Dukuh Bulu. Pm
sehari-hari bekerja sebagai petani yang lokasi lahannya terletak di area
pesawahan Dukuh Bulu. Semasa muda, Pm bergabung dengan Pemuda
Marhaen, dan dengan sangat bangga menceritakan keikutsertaannya
sebagai Pemuda Marhaen. Pm tergolong masyarakat yang teguh dalam
memegang Ritual kematian dan menolak pendirian RK. Pm mengaku
sebagai pengikut dan muridnya Mbah Dukut (Tokoh Dukun/Kuncen
Kampung) dan tidak heran apabila dia disebut sebagai salah satu
kelompok “primitif” atau “gapulo” oleh beberapa inisiator RK.
14. Deddy Kristiawan (DK), berusia 38 tahun, lahir dan besar di Desa Pajeng.
Saat ini DK menjabat sebagai Kepala Desa Pajeng periode yang kedua.
DK adalah anak dari salah satu inisiator bernama T . DK ikut aktif
mensosialisasikan terbentuknya RK di Dukuh Bulu dan Dukuh Jiwo.
Dalam kepemimpinannya sebagai Kepala Desa, RK di Dukuh Bulu dan
Dukuh Jiwo bisa terbentuk.
69
15. Elisabeth Damina (ED), berusia 72 tahun, merupakan istri dari Bernardus
Maryono. ED dan suaminya pindah ke Desa Pajeng pada tahun 1976. Saat
itu suaminya diangkat menjadi PNS untuk bertugas mengajar di SD dan
SMP di Desa Pajeng. Bernardus Maryono merupakan salah satu tokoh
masyarakat yang juga ikut aktif dalam menggerakkan RK.
16. Siti Khoriyah (SK), berusia 60 tahun, asli warga Dukuh Brendo. SK
merupakan istri dari salah satu inisiator RK bernama AW . SK banyak ikut
terlibat dan mengetahui seluruh perjalanan pembentukan RK di Desa
Pajeng. Setelah AW meninggal pada tahun 2010, SK menyerahkan
seluruh dana kas kematian sebesar Rp15 juta-an kepada pengurus RK
yang baru. Saat ini SK menjadi anggota RK Kelompok I Dodol Brendo.
17. Romadhon (R), berusia 34 tahun, merupakan anak dari salah satu inisator
RK bernama AW . Saat ini R mengelola sekolah SD Islam di Desa Pajeng
melanjutkan kepemimpinan AW . R menjadi anggota RK Kelompok I
Dodol Brendo.
18. Parman (Pr), usia 45 tahun, merupakan warga yang tinggal di Dusun
Pajeng. Pr adalah Modin Desa Pajeng yang menggantikan Sukahar pada
tahun 2013. Dalam setiap kegiatan RK di Desa Pajeng, Pr selalu hadir
memimpin prosesi slametan kematian.
19. Ikwan (I), berusia 55 tahun, adalah seorang petani yang berdomisili di
Dukuh Tegalan. I aktif dalam kelompok HIPPAM di Dukuh Tegalan. Saat
ini I bertanggung jawab sebagai Seksie Perlengkapan RK Kelom pok III
Tegalan. I menyediakan tempat di samping rumahnya sebagai tempat
penyimpanan peralatan kematian yang sewaktu-waktu digunakan ketika
terjadi peristiwa kematian warga.
20. Sumidi (Sm), berusia 55 tahun, sehari-hari bekerja sebagai petani bawang
merah. Dalam organisasi kemasyarakatan, Sm adalah Ketua RT10 di
Tegalan. Dalam RK Kelompok III, Sm ikut berpartisipasi menjadi anggota
RK.
H. Penulisan Laporan
70
Prosedur analisis dan dilakukan baik dalam pengumpulan data
maupun setelah pengumpulan data selesai. Penulisan laporan dilakukan oleh
peneliti dengan tiga prosedur, yakni: reduksi data (data reduction), sajian
data (data display) dan pengambilan kesimpulan (conclusion drawing).
Reduksi data terkait dengan tujuan penelitian, sajian data dengan
menggunakan narasi, sedangkan pengambilan kesimpulan dilakukan setelah
data terkumpul dapat bersifat tentatif yang selalu diverifikasi selama penelian
berlangsung. Dalam proses ini data yang ditemukan lewat observasi terlihat
maupun wawancara mendalam diklasifikasi sesuai dengan pengelompokan
datanya. Misalnya data tentang pemaknaan ritual kematian, dan nilai
kebajikan, seluruh data dari informan maupun subjek penelitian di
klasifikasikan sesuai kategori tertentu. Demikian pula, data tentang makna
ritual kematian juga diklasifikasi ke dalam konsep-konsep serta kategori-
kategori.
Berdasarkan kategorisasi tersebut, selanjutnya peneliti menarasikan
dalam bentuk tulisan maupun pengungkapan verbal. Penarasian tetap menjaga
agar sesuai dengan ungkapan asli dan subjek peneliti, meskipun disana-sini
sangat dimungkinkan masuknya unsur kesan peneliti. Dari narasi tersebut,
langkah berikutnya adalah mengklasifikasikan ke dalam temuan-temuan
penelitian.
Langkah berikutnya, temuan-temuan ini dibaca ulang dengan
kerangka dengan teori atau konsep-konsep yang sudah dipilih dalam
penelitian ini. Koherensi dan pembacaan di hasil temuan ini selanjutnya
dikonstruksi dan disimpulkan berdasarkan permasalahan, tujuan dan manfaat
penelitian.
I. Keabsahan Data
Untuk memastikan temuan dan interpretasi data yang absah
(trustworthiness), peneliti melakukan pengecekan data atau pemeriksaan data
yang didasarkan pada empat kriteria, yang meliputi: kepercayaan
(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability),
71
dan kepastian (confirmability). Kriteria ini digunakan dengan maksud data
dan informasi yang dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran
(valid). Kredibilitas data bertujuan untuk membuktikan apakah yang teramati
oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia
kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan
tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi (Moleong:
2009). Upaya untuk mendapatkan keabsahan data, dapat dilakukan dengan
cara: 1) perpanjangan keikusertaan, 2) ketekunan pengamatan, 3) triangulasi,
4) pengecekan sejawat, 5) kecukupan referensial, 6) kajian kasus negatif, dan
7) pengecekan anggota. Dari ketujuh cara tersebut peneliti menempuh
melalui enam cara yang disesuai dengan tujuan penelitian, keenam cara
tersebut mencakup:
Pertama, ketekunan pengamatan, yaitu upaya peneliti untuk
menemukan ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang relevan dengan tema atau
isu yang sedang diteliti dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut
secara rinci. Hal-hal yang rinci ini selanjutnya dicatat dan diklasifikasikan
dalam bentuk satuan-satuan tematis, kronologi, peta konteks dan aktor,
taksonomi serta kategori-kategori. Kedua, triangulasi, merupakan teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau
perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan sumber atau kriteria yang
lain diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan data. Pada penelitian ini,
peneliti melakukan triangulasi sumber dengan cara membandingkan apa yang
dikatakan oleh subyek dengan yang dikatakan informan dengan maksud agar
data yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu
sumber saja. Proses pengecekan ulang ini dilakukan melalui wawancara
mendalam dan FGD. Ketiga, pengecekan sejawat. Upaya ini dilakukan oleh
peneliti guna menginterpretasikan data, mengkonfirmasi logika dan
mengidentifikasi implikasi dari temuan-temuan penelitian. Pengecekan
sejawat ini dilakukan melalui diskusi dengan sejawat yang memiliki
keragaman keilmuan seperti antropologi, ilmu politik, komunikasi,
kesejahteraan sosial, filsafat, psikologi; serta aparatur, para praktisi dan
72
aktivis dalam bidang pembangunan dan pemberdayaan komunitas perdesaan.
Keempat, pengecekan kecukupan referensi. Cara pengecekan kecukupan
bahan referensi ini dilakukan dengan melakukan pengayaan pustaka baik
secara online maupun offline. Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh
dapat dianalisis melalui perspektif teoritik yang telah ditentukan dalam
penelitian ini. Keempat, pengecekan anggota. Upaya ini dilakukan untuk
mereview data serta mengkonfirmasi ulang beberapa informasi atau
interpretasi peneliti dengan para informan kunci. Dalam proses ini, para
informan kunci dilibatkan kembali untuk membahas temuan, baik melalui
wawancara maupun melalui diskusi kelompok.
J. Refleksi Peneliti
Walaupun masalah penelitian ini sudah lama menjadi perhatian
penulis, namun tidak mudah mendapatkan data yang akurat untuk keperluan
penelitian ini. Salah satunya disebabkan oleh posisi peneliti sebagai Bupati
Bojonegoro. Beberapa informan cenderung melebihkan perannya untuk
mendapatkan apresiasi dari Bupati sementara yang lain bahkan ketakutan
untuk mengungkapkan apa yang diketahui dan diyakininya sebagai kebenaran.
Suatu saat ada salah seorang inisiator membakar dokumen terkait dengan
Rukun Kematian hanya karena pada saat peneliti bertemu dengan tokoh desa,
yang bersangkutan tidak dilibatkan.
Untuk menggali data sedetail mungkin dan menjaga orisinalitasnya,
maka peneliti membentuk dua tim dimana tim pertama melakukan penelitian
bersama-sama dengan peneliti, dan tim kedua melakukan penelitian tidak
bersama-sama dengan peneliti. Dengan cara ini maka terjadi keseimbangan
informasi. Peneliti juga membuka akses komunikasi lewat seluler sehingga
informan sewaktu-waktu dapat menyampaikan hal-hal yang dirasa tidak dapat
disampaikan saat bersamaan.
Trauma pasca konflik G30S/PKI masih belum sepenuhnya hilang
dalam ingatan warga desa ini, acapkali letupannya muncul dalam panggung
73
seni, pengajian, Pilkades, Pilkada dan Pileg. Suasana canggung bahkan takut
mengungkapkan apa yang diketahui dan dirasakan tidak mudah diungkapkan,
apalagi kepada pihak-pihak asing yang belum sepenuhnya mereka percayai.
Untuk inilah diperlukan pengkondisian sebelum melakukan kegiatan
penggalian berbagai informasi.
Wawancara mendalam dengan penuh canda ria baru dapat terlaksana
setelah suasana saling percaya terbangun. Kondisi saling percaya tersebut
terbangun setelah mereka percaya bahwa penelitian ini sangat bermanfaat
untuk menjadi bahan belajar bersama, bagaimana menghadirkan masa depan
kehidupan bersama yang lebih baik.
Proses dan temuan-temuan penelitian tentang “Konstruksi Makna
Ritual Kematian sebagai Nilai-Nilai Kebajikan Sosial dalam Perspektif
Bergerian” ini sangat menarik untuk dicermati, didalami dan direnungkan.
Gemuruh tanya yang terus terngiang dalam benak peneliti adalah: “Apa yang
membuat para inisiator dan warga pajeng ini mampu terus “berintegrasi”
selama pembentukan rukun kematian, sehingga kemudian bisa melahirkan
kebajikan sosial dan kemanfaatan sosial ekonomi?” Padahal, mereka
memiliki sejarah trauma dan konflik politik yang kelam, latar belakang yang
saling berbeda dan memiliki tafsir makna terhadap tradisi kematian yang
berbeda.
Tidak mudah memang menyelami dunia kehidupan dari masyarakat
Desa Pajeng untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. Namun, setelah
menyelami merefleksikan kembali data-data yang peneliti dapatkan, akhirnya
peneliti mulai dapat meraba benang merah yang menjadi simpul pengikat dari
warga Desa Pajeng.
Kontestasi nilai yang ketegangannya tidak begitu nampak di
permukaan, di balik itu terjadi ruang-ruang perdebatan lirih yang tidak verbal.
Proses objektivasi nilai kebajikan sosial ternyata melibatkan percaturan idiom
atau bahasa yang khas di desa Pajeng seperti antem-anteman, nggedabrus,
ngedobos, cangkruk, jagongan, dan rembug. Hal ini jugalah yang membuat
ruang publik bersifat lentur dan tidak mudah goyah saat terjadi diskursus. Apa
74
yang disebut oleh Scharmer sebagai generative dialogue, ternyata dengan
secara konkrit masyarakat Desa Pajeng sudah jauh lebih maju mempraktikkan
hal tersebut di dalam ruang publiknya.
Kesamaan loyalitas sebagai orang Jawa ternyata tidak membuat antem-
anteman menjadi akhir dari segalanya. Mereka masih mau nggedabrus,
cangkruk, jagongan bahkan sampai dengan melakukan rembugan.
Salah satu bentuk antem-anteman yang terjadi dalam pembentukan
Rukun Kematian Desa Pajeng tercermin dari proses dialog :
“…bahkan saya ditentang oleh tokoh-tokoh yang memiliki pendapat la in-lain, sampai-sampai mereka mengatakan: sing tuwek iku patenono ae (bunuh saja kami orang-orang yang sudah tua ini), masalah kematian ora iso guyon (masalah kematian ini tidak bisa dijadikan candaan), itu kenyataan… Tokoh di desa mantan RT mengatakan: iki ngalup apa piye, cah enom cah cilik bentuk ngene ngarahi wong mati (ini ngalup, anak kecil membentuk Rukun Kematian begini seperti mengharapkan orang untuk mati). Hal ini terjadi karena saking banyaknya tokoh yang primitif dan kolot..” “…Ngalup itu orang yang tidak ada apa-apa, orang sehat kok meminta mati…, omongan kok ceblang-ceblung (bicara kok ngawur)”
Antem-anteman di atas ternyata tidak menghalangi mereka untuk
nggedabrus. Masyarakat Pajeng terbiasa untuk saling bertemu nggedabrus di
warung-warung kopi dan di beranda rumah. Bahkan Kepala Desa Pajeng
memiliki tempat khusus yang biasa dijadikan tempat untuk nggedabrus dan
kongkow di belakang rumahnya. Masyarakat biasa melakukan pembicaraan-
pembicaraan baik serius maupun hanya sekedar guyon di tempat tersebut.
Gambar 3.1
Lokasi Tempat Nggedabrus dan Kongkow Kepala Desa dan Warga
75
Nggedabrus ini sekilas seperti pembicaraan yang tidak bermakna,
namun ternyata ini adalah mekanisme dimana mereka saling melempar
tipifikasi dan proses pencairan komunikasi. Dalam proses nggedabrus ini
orang-orang dengan bebas saling melempar ejekan dan guyonan tentang apa
yang tidak disetujuinya. Peneliti pernah mengikuti proses ngdabrus ini,
dimana terjadi saling ejek antara masyarakat pemegang tradisional dengan
tokoh agama berkaitan dengan Rukun Kematian. Namun dialog saling ejek
tersebut masih dalam susana yang penuh dengan canda dan tawa.
Untuk memelihara komunikasi agar terus berlangsung akan berlanjut
pada kongkow atau cangkrukan atau jagongan, dimana orang-per orang bisa
ngobrol, merokok dan ngopi bareng, baik di sela-sela melekan, di warung
kopi, dan di beranda rumah. Pembicaraan dalam kongkow ini biasanya lebih
kepada “curhat” untuk sambung rasa, sambung hati, sambung fikiran, serta
mendialogkan intensi sosialnya. Dari proses inilah akhirnya muncul gagasan
untuk mengumpulkan orang rembugan membicarakan pembentukan Rukun
76
Kematian. Proses kongkow yang mengantarkan kepada rembugan dapat
tergambar dalam dialog narasumber Th mengenai awal-awal pembentukan
Rukun Kematian sebagai berikut :
“…pertama nggih kulo, pak Sy, kale pak AW niku. Niku lak bakda takziah nggene tiang boten gadah, terus kula langsung jagongan enggokne ten gen kulo tiang tigo niku.. piye to pak nek wong sing ga ndue sing mati sing kuburan sik leren golek piye yo iki. Nek umpomo ngene piye, tapi nek ga setuju piye… saiki ojo menyerah sik niat lah bismilah…” (…pertama, saya, Sy, bersama-sama dengan AW. Setelah melakukan takziah kepada orang yang tidak punya, terus saya ‘jagongan’ berdiskusi bertiga dengan orang-orang itu. Saya bilang: bagaimana ini, kalau yang meninggal orang tidak punya, lalu tidak ada orang yang membantu mencarikan kuburannya bagaimana? Kalau setuju dibentuk Rukun Kematian bagaimana, dan kaau tidak setuju bagaimana? Sekarang jangan menyerah untuk membentuk Rukun Kematian, yang penting berniat dulu, bismillah)
Dari kongkow seperti inilah kemudian rembugan dalam forum formal
tidak akan mengalami hambatan kom unikasi untuk mencapai konsensus.
Sekalipun mereka datang dari orientasi sosial yang berbeda, namun lewat
nggedabrus dilanjutkan dengan kongkow/cangkrukan/jagongan, akhirnya
sampailah pada rembugan yang bermakna. Nggedabrus menjadi ajang cairnya
barrier diantara mereka, sementara kongkow/jagongan/cangkrukan membuka
ruang bagi sesama untuk semakin nyambungkan perasaan, pikiran dan intensi
sosial. Dari dua mekanisme inilah maka rembugan dapat berjalan untuk
melahirkan intensi bersama berupa kemanfaatan sosial ekonomi.
Kongkow/jagongan/cangkrukan merupakan pintu masuk untuk dilakukan
rembugan. Dalam rembugan inilah proses dialog generatif terjadi. Rembugan
mensyaratkan adanya keterbukaan niat, hati dan pikiran, dimana komunitas
memiliki niat bersama untuk hidup bersama dan menghadirkan masa depan
yang lebih baik (Good intention and emerging best future spirit). Sehingga
akhirnya terjadi kesepakatan bersama dalam pembentukan Rukun Kematian
dan mewujudkan manfaat yang lebih lanjut dari kemanfaatan sosial ekonomi
dari Rukun Kematian. Dan semuanya dimulai dari proses antem-anteman,
nggedabrus, kongkow , dan rembugan.
77
78
BAB IV
DUNIA KEHIDUPAN DAN RUANG PUBLIK DESA PAJENG
Bab ini mendeskripsikan tentang dunia kehidupan sosio-kultural Desa
Pajeng. Istilah “dunia kehidupan” dalam bab ini untuk menggambarkan konteks
kehidupan Desa Pajeng, baik yang implisit maupun eksplisit. Konteks kehidupan
yang implisit tercermin dari khasanah dan endapan pengetahuan yang membentuk
konteks serta kebenaran-kebenaran yang berlaku dan dihayati masyatakat tanpa analisis-
analisis kritis-reflektif. Sedangkan yang eksplisit terefleksikan dalam horizon-horison nilai,
pilihan tindakan dan kebajikan sosial yang mendasari lahirnya konsensus intersubjektif
terkait pembaharuan ritual kematian menjadi Rukun Kematian. Sedangkan ruang publik
yang dimaksudkan dalam bab ini adalah memuat gambaran praktik tradisi yang
dapat diakses dan melibatkan seluruh warga, tanpa adanya privilege dan
memungkinkan semua warga bebas berdiskusi sehingga melahirkan konsensus
sosial.
A. Sandyakalaning Pajeng: Keyakinan, Tragedi Politik dan Kepemimpinan
Masih terpatri kuat dalam kenangan peneliti bagaimana indahnya
Desa Pajeng ketika pertama kali menginjakan kaki di sana pada tahun 1981.
Saat itu peneliti yang masih remaja berusia 16 tahun, saat mewakili sekolah
dalam kegiatan kemah. Sampai saat ini masih tergambar jelas lukisan
panorama Desa Pajeng dalam ingatan pada saat peneliti melakukan
penjelajahan di Desa Pajeng. Berjalan mengelilingi Desa Pajeng yang
berbukit-bukit menyusuri ja lan setapak hutan-hutan kayu yang rindang dan
sejuk, berlari-lari di galangan sawah yang terhampar di lembah bukit,
menikmati indahnya alunan musik alam yang dinyanyikan oleh burung-
burung, serta merasakan segarnya siraman air di sendang ubalan ketika
berenang dengan penuh canda dan suka cita bersama kawan-kawan
seperkemahan. Kenangan-kenangan masa remaja itu sering muncul dalam
sanubari seakan-akan baru terjadi kemarin dan semakin membuncahkan
kerinduan peneliti terhadap Desa Pajeng.
79
Pada tahun 2007, ketika memulai kampanye dalam kontestasi
pemilihan Bupati di Bojonegoro, akhirnya peneliti berkesempatan kembali
menginjakan kaki kedua kalinya di Desa Pajeng. Waktu itu peneliti diundang
oleh salah seorang warga Desa Pajeng yang berprofesi sebagai blantik
kambing untuk menghadiri hajatan sunatan anaknya. Dalam hajatan tersebut
peneliti didaulat untuk dalam pagelaran seni ketoprak untuk berperan sebagai
bupati. Suasana semakin riuh dengan gelak canda, celotehan-celotehan dan
tawa renyah khas orang-orang desa saat peran sebagai bupati dilakonkan.
Penonton pun terbelah dalam beberapa kelompok, ada yang mencemooh
sambil nyaring berujar: ”…wong koyo ngene kok jadi bupati” (orang seperti
ini kok menjadi Bupati), ada yang bertepuk tangan menyemangati, tapi ada
juga sebagian besar penonton yang mendukung “sosok bupati” yang peneliti
perankan.
Sekilas kisah soal keterbelahan penonton dalam pertunjukan ketoprak
itu terlupakan lama hingga tahun 2008 setelah peneliti menjabat sebagai
Bupati Bojonegoro. Peneliti mengunjungi kembali Desa Pajeng untuk
menghadiri undangan acara pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) Lumbung
Kemakmuran. Dari sana kemudian peneliti mendapatkan cerita soal Lumbung
Kemakmuran dan Rukun Kematian dai Desa Pajeng. Akhirnya peneliti tahu
bahwa Desa Pajeng ternyata telah mampu membangun jembatan sendiri,
mendirikan dua gedung sekolah secara mandiri, dan sesuatu yang membuat
peneliti terkesiap adalah ketika melihat bagaimana ruang-ruang publik
tercipta di Desa Pajeng untuk ber-koeksistensi dalam mendukung
penyelesaian masalah-masalah sosial ekonomi warga, serta menyusun dan
memantapkan pranata, mekanisme, dan mengembangkan lembaga baru.
Perpaduan antara kenangan masa remaja, sketsa keterbelahan
penonton saat melakonkan peran Bupati dalam seni pertunjukan ketoprak
serta kekaguman dan keterpesonaan atas berbagai inovasi Desa Pajeng itulah,
yang kemudian mengusik hasrat peneliti untuk mendalami bagaimana
dinamika kehidupan masyarakat Desa Pajeng.
Cuplikan dan fenomena yang tampak menarik itu, ternyata merupakan
80
buah dari proses panjang tentang bagaimana ketegangan-ketegangan yang
dialami oleh masyarakat Desa Pajeng baik ketika berhadapan dengan
lingkungan alam, penguasa hutan, dan mimpi soal ideologi yang dapat
menyelamatkan mereka. Proses panjang tersebut itu diawali dari terjadinya
dominasi hegemoni politik pasca G30 S PKI, sampai akhirnya lahir nilai-nilai
kebajikan sosial baru di Desa Pajeng.
Sejak awal sampai saat ini, masyarakat Pajeng secara turun temurun
meyakini bahwa babat alas (pembuka hutan) Desa Pajeng adalah Mbah
Surosentono yang pundennya terletak di Dusun Dodol. Namun peneliti tidak
mendapatkan informasi yang cukup untuk menelusuri sejarah kapan
berdirinya Desa Pajeng, dan siapa sebenarnya Mbah Surosentono itu. Hampir
semua narasumber dalam penelitian ini tidak yang mengetahui sejarah dan
sosok Mbah Surosentono.
Oleh karenanya itu, untuk menggali kesejarahan Desa Pejeng, peneliti
memfokuskan perhatian pada sejarah kepemimpinan Desa. Dari aspek
kepemimpinan ini, dapat teridentifikasi nama-nama yang pernah memimpin
Desa Pajeng. Yakni, Midi, Ismangun Kandar, Cokro Tirto, Onggosarmo,
Lasman (1952 – 1955), Jayin (Juki) (1955 – 1965), Lasman (1965-1989),
Tarwoco (1990-2006), dan Dedy Kristiawan (2007 – sekarang). Menariknya,
nama-nama tersebut hampir semuanya merupakan putra asli dari Desa Pajeng
kecuali Midi dan Jayin.
Terdapat hal yang unik terkait dengan kepemimpinan di Desa Pajeng.
Yakni, keyakinan dan kepercayaan tentang pemimpin Pajeng. Masyarakat
Pajeng memiliki kepercayaan bahwa apabila Kepala Desa Pajeng bukan
merupakan orang asli Pajeng, maka sendang ubalan (sumber mata air)
Senganten yang terletak di dekat punden Mbah Surosentono akan surut dan
mengering. Hal ini pernah terjadi semasa Jayin yang berasal dari Nganjuk
menjadi kepala desa. Saat itu, air di sendang ubalan menjadi surut dan
berubah menjadi memerah dan berdebu.
“Pada waktu itu sendang ubalan Senganten surut, berdebu dan airnya memerah seperti darah. Saat itu lurahnya Jayin yang berasal dari Nganjuk. Lalu kepercayaan masyarakat itu kan
81
muncul, tetapi saya sendiri sebetulnya heran, apa hubungannya kepala desa dengan sumber air? namun kenyataannya memang begitu…” (Hasil wawancara dengan AP tanggal 28 Maret 2017)
“Waktu Mbah Jayin jadi Kepala Desa, Sendang Ubalan di Senganten mati sampai kering. Dengar kan? Terus ketika Mbah Jayin berhenti, si Mbah Lasman naik lagi, ternyata sumber airnya keluar lagi. Kalau saya dengar dari orang-orang tua dulu seperti mbah Jan yang sudah meninggal itu bercerita, ketika zaman Mbah Lasman baru direkes, direkes itu dipermasalahkan atau dikasuskan dan diganti Mbah Jayin, sumber air di Sendang Ubalan itu keluarnya seperti darah berwarna merah, lalu kemudian surut. Makanya keyakinannya warga sini itu kalau kepala desa tidak asli orang sini, sumber airnya bakal mati….”(Hasil wawancara dengan W tanggal 22 April 2017) “Di Sendang Ubalan tidak ada airnya pada zaman kepala desanya pak Jayin. Tetapi ketika di ganti lagi oleh Pak Lasman, baru kemudian Sendang Ubalan normal lagi airnya”. (Hasil wawancara dengan Th tanggal 28 Maret 2017) Kepercayaan tentang surutnya sumber mata air Senganten ini, juga
berpengaruh terhadap kontestasi politik di Desa Pajeng pasca G30 S PKI.
Dan sampai saat ini, tongkat estafet kepemimpinan Desa Pajeng masih tetap
mempertimbangkan keyakinan tersebut.
Apabila ditarik mundur, dinamika politik Desa Pajeng dapat dilacak
sampai dengan tahun 1955 ketika Kepala Desa Pajeng dijabat oleh Lasman.
Pada saat itu Lasman sudah menjalani masa jabatannya sebagai kepala desa
selama tiga tahun. Lasman ini merupakan salah satu tokoh sentral yang
memiliki kontribusi sangat besar dalam berbagai periode perjalanan sejarah
Desa Pajeng. Berdasarkan hasil wawancara dengan W, didapatkan gambaran
dari Lasman sebagai berikut:
“Bapaknya Mbah Lasman itu dulunya Kepala Dusun Jiwo bernama Mbah Keling. Orangnya sangat keras. Kalau beliau suka perempuan, padahal beliau itu sudah beristri, malah istrinya sendiri yang disuruh untuk membawa perempuan itu ke rumah…hahaha betul itu…”
“…Mbah Lasman itu orangnya orang kuno, dalam arti kalau eranya Mbah Lasman itu kekuasaan penuh… hanya ngomong saja orang sudah harus percaya dan patuh. Namun di sisi lain,
82
Mbah Lasman juga memiliki rasa sosial dan kepedulian yang tinggi… seinget saya dulu, Mbah Lasman itu orangnya nangisan dan tidak tegaan. Mbah Lasman itu ya seperti Mbah Tar dan saya ini, kalo sudah jadi kepala desa, ya nggak pandang bulu. Namun meskipun begitu, terhadap orang yang bertentangan dan jelas terang-terangan ngomongnya enggak karuan, ya tetap kalau memang dia terjepit ada masalah, tetap akan dibantu karena tidak tega….” (Hasil wawancara dengan W tanggal 22 Maret 2017) Pada tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pemenang
dalam Pemilu di Desa Pajeng. Kemenangan PKI ini berimbas pada terjadinya
pergeseran kekuasaan Kepala Desa Lasman yang secara politik berafiliasi
dengan PNI. Lasman digugat oleh orang-orang PKI dengan motif tuduhan
melakukan korupsi di Koperasi Desa dan pelaku illegal loging. Atas kejadian
tersebut, Lasman dilengserkan dari jabatannya sebagai Kepala Desa Pajeng.
Motif dilengserkannya Lasman disampaikan oleh narasumber W sebagai
berikut :
“Mbah Lasman mulai menjabat menjadi kepala desa pertama kali pada tahun 1952. Mbah Lasman ini kan dari PNI, lah pada tahun 1955 di sini mayoritas orang PKI, akhirnya kan nggak cocok masyarakatnya. Lalu Mbah Lasman diganti Pak Jayin.…Kalau dengar dari orang-orang tua dulu, mbah Lasman itu kan direkes karena beliau PNI bukan PKI… Tahun 55 kan PKI menang, maka digusurlah sebagai kepala desa dengan berbagai macam alasan gitu kan? ya maklumlah namanya perebutan kekuasaan kan begitu. Muncullah nama mbah Jayin yang PKI... Mbah Lasman dilengserkan karena dulu diisukan lawan politiknya korupsi KUD, termasuk zaman ketika pupuk PUSRI baru masuk itu…” (Hasil wawancara dengan W, tanggal 22 Maret 2017) Pasca lengsernya Lasman, kepemimpinan Kepala Desa Pejang beralih
kepada Jayin yang menang telak (tokoh PKI) dalam Pilkades. Kepemimpinan
Jayin ini berlangsung dari mulai tahun 1955 sampai dengan 1965.
Kemenangan PKI di Desa Pajeng tidak terlepas dari kondisi sosial
masyarakat Desa Pajeng waktu itu yang identik dengan kemiskinan, sama
seperti desa-desa lain yang berada di Bojonegoro. Lahan pertanian yang
menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lebih banyak dikuasai oleh
negara, sehingga sebagian besar masyarakat Desa Pajeng hanya menjadi
83
pasanggem atau penggarap lahan hutan. Hal tersebut menjadi keuntungan
bagi PKI yang menumpangi kemiskinan masyarakat menjadi senjata untuk
menggalang dukungan dalam kontestasi politik di waktu itu.
Tahun 1965, saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI
yang juga menandai runtuhnya kekuatan PKI di seluruh Indonesia baik dari
pusat sampai ke desa-desa. Gelombang pembantaian terhadap tokoh-tokoh
PKI dan orang-orang terjadi secara masif di berbagai pelosok, termasuk di
Pajeng dan sekitarnya.
Satu bulan setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi gelom bang
pembantaian terhadap sejumlah benggol (tokoh) PKI di Desa Pajeng. Tokoh
PKI Desa Pajeng yang dibunuh sebanyak 9 orang yakni: Samingun, Sukito,
Munalif, Saji (Carik Desa), Sapardi, Doto, Tangiran, Sadiran, Sunar. Ada
yang kedapatan di rumah, maka dibunuh di rumah, ada yang dibunuh di
tempat persembunyiannya di hutan, dimanapun mereka ditemukan maka di
tempat itulah mereka dibunuh. Gambaran mengenai zaman amuk-amukan itu
diungkapkan oleh narasumber sebagai berikut :
“NU itu kan musuhnya PKI, sementara PNI awalnya berada di tengah-tengah. Namun ketika terjadi peristiwa G30 S, NU dengan PNI menjadi satu kubu… Berkaitan dengan pembunuhan para benggol PKI ini sebenarnya datanya sudah ada dari sananya. Namanya siapa, ranting mana, tinggalnya di mana, jadi tinggal diciduk saja. Kapan saja walaupun itu tengah malam, dimana ada benggol PKI pasti diciduk sama NU, dibunuh sama NU… orang-orang PKI yang dibacok itu adalah orang-orang yang ketahuan dan tertangkap tangan oleh Ansor.. Ansor itu yang paling banyak dari Banjar, Kecamatan Gondang, merekalah yang menyerang setiap pedukuhan Dodol, Jiwo, Bulu, Pajeng. Para benggol PKI diambil dan dicari, dikejar sampai ke hutan, lalu dibunuh dimanapun tempatnya tertangkap tangan. Ketemu di hutan langsung di bunuh di hutan, di tengah jalan, di rumah, pokoknya ya sekenanya, di mana saja. Kalau tertangkap di rumah ya di rumah, tertangkap di hutan ya di hutan… Ada yang dibunuh dan dipotong tubuhnya menjadi dua bagian…” (Hasil wawancara dengan Pm tanggal 24 Maret 2017) Saya waktu itu diminta oleh Mbah Lasman untuk mengurusi jenazah benggol PKI yang dibunuh. Makanya kalau ada orang-orang PKI yang di bunuh saya pasti datang. Kadang mereka
84
dibunuh langsung ditinggalkan begitu saja di tempat dimana mereka dibunuh dan tidak ada yang mengurusi. Jadi waktu itu kan saya yang mengurusi... Saya ingat salah satu korban bernama Carik Saji itu dibunuh di rumah sambil duduk di kursi seperti ini (sambil mencontohkan cara duduk yang bersender di punggung kursi), di bacok sini (menunjuk ke tengkuk), sini di bacok (menunjuk ke perut)…” (Hasil wawancara dengan R tanggal 28 Maret 2017) Dalam peristiwa pembunuhan terhadap tokoh-tokoh PKI tersebut
munculah nama Sofwan Hadi yang menjadi tokoh sentral dari kelompok
Nadhlatul Ulama di Desa Pajeng. Pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan
oleh kelompok Nadhlatul Ulama (Banser dan Ansor) dari daerah Banjar
dilakukan atas seizin Sofwan Hadi yang menjabat sebagai pimpinan
Nadhlatul Ulama di Desa Pajeng. Kepala Desa Jayin beruntung tidak menjadi
korban pembantaian pada masa itu. Selamatnya Jayin dari pembantaian
terebut tidak terlepas dari peran Sofan Hadi yang memberikan perlindungan.
Sofwan Hadi merupakan pendatang yang berasal dari daerah Kanor. Dia
adalah tentara aktif dengan pangkat terakhir Sersan Satu, sekaligus tokoh
Nadhlatul Ulama di Desa Pajeng.
Peran yang besar dari Sofwan Hadi dalam peristiwa ini diceritakan
oleh beberapa narasumber :
“Zaman dulu manusia tidak ada harganya, teman-teman saya dulu banyak yang kena, namanya cuma dicatat dalam buku anggota PKI padahal kebenarannya tidak tahu… Mbah Sofwan Hadi-lah yang menentukan hidup-matinya orang pada saat itu, dulu nyawa seseorang itu tergantung apa kata Mbah Sofwan Hadi... dari Nganjuk sampai Banjar, daerah Senganten sampai Pajeng, Nadhlatul Ulama sama Marhaen itu satu kubu, dan saat itu kelom pok Marhaen pun di bawah komando Sofwan Hadi…” (Hasil wawancara dengan Th tanggal 28 Maret 2017) “… benggol PKI yang yang lain kena, tapi kelihatannya Jayin ada yang melindungi, dia diselamatkan oleh Sofwan itu…”(Hasil wawancara dengan R tanggal 28 Maret 2017)
Situasi yang mencekam tidak hanya berhenti pada pembunuhan
benggol-benggol PKI saja. Anggota-anggota dan simpatisan PKI yang
85
namanya terdapat dalam catatan lalu dikumpulkan dan di-screening di tempat
yang sudah ditentukan. Hal ini diceritakan Pm yang pada saat itu menjadi
laskar Marhaen dan bertugas untuk melakukan penjagaan terhadap orang-
orang yang ditahan dan dikumpulkan di Kantor Kecamatan Bubulan.
“Saya dulu Marhaen, tentaranya PNI, setiap 3 hari saya memenuhi panggilan untuk melaksanakan tugas giliran jaga di Kecamatan Bubulan. dan waktu itu saya tidak diberi bekal…” “…Yang saya jaga itu orang PKI yang sedang di-screening… orang-orang PKI yang selamat dari pembacokan, setelah kondisi agak damai lalu kemudian di-screening, terutama yang tersangkut Gerwani, Pemuda Rakyat. Mereka kemudian dipanggil dan di screening di kecamatan. Waktu itu banyak sekali orang yang tersangkut dengan PKI dan kena screening. Di kantor kecamatan itu sampai penuh hingga ke gudang-gudangnya. Padahal gudangnya saja ada sembilan.. Suatu ketika saya ingat ada perempuan yang menangis ketika di giring, ada juga yang baru menikah 1 minggu ditahan di kantor Bubulan...” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Lalu Pm melanjutkan cerita bagaimana kemudian para tahanan yang
discreening di kecamatan ini kemudian dibantai secara massal :
“… screening di Bubulan ini sangat lama, sekitar 3-5 bulan. Mereka yang di-screening ini kemudian diambil dan dipindah ke Bojonegoro. Saya mengetahui langsung hal ini…tahanan yang katanya mau dipindahkan ke Bojonegoro ini kan pada suka, mereka diambil sama mobil gandengan, dinaikkan ke mobil besar. Namun ternyata, ketika sampai di Watu Celeng di selatan Ngandeg, sebelah utara gunung Jeblong, mereka dibariskan di hutan dan dibunuh…”(Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017). Sampai di sini cerita Pm terhenti. Dia hisap rokoknya dalam-dalam
dan menghembuskan asapnya dengan berat. Matanya kelihatan berkaca-kaca
dan dengan lirih berkata :
“…mereka yang dibunuh itu jumlahnya, walaah… ribuan... dibariskan, lalu ditutup matanya dan di bren (ditembak dengan senjata otomatis) dari belakang. Senjatanya itu yang ada tangkainya, ditaruh di tanah dan bisa berputar… Allah...Allah…, tidak tega begitu banyak orang, habis semua ditembak, lalu dimasukkan ke dalam jurang yang dalamnya setinggi rumah. Satu jurang isinya ribuan mayat dijadikan satu… hanya diuruk saja. Yang biasa nge-bren itu namanya biasa dipanggil
86
Wantingtung, orangnya pendek kekar, saya tidak tahu dari mana dia berasal…” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Pada masa-masa inilah muncul Mbah Lasman yang didaulat sebagai
Kepala Desa untuk menyelamatkan para pemuda di Desa Pajeng, Mbah
Lasman memerintahkan para pemuda untuk daftar aggota PNI. Hal ini
disampaikan oleh narasumber sebagai berikut :
“Sebetulnya saya ini sejak pemilihan dulu itu sudah Marhaen, tapi saya dianggap Pemuda Rakyat. Jadi waktu itu saya kena screening namanya…, Saya sempat bertanya, lo pak saya kok ikut kena? Semuanya kan di kumpulkan ke kelurahan. Waktu itu belum ada balai desa seperti sekarang ini... beruntung waktu itu saya diselamatkan oleh Mbah Lasman… .Mbah Lasman pada saat kejadian G30S itu merupakan orang PNI. Pada waktu itu, pemuda di sini dikumpulkan dan disuruh daftar PNI…” (Hasil wawancara dengan R tanggal 28 Maret 2017)
“Rumah Mbah Lasman waktu terjadi ontran-ontran (kekacauan) 65 menjadi tempatnya orang-orang berlindung. (Hasil wawancara dengan W , tanggal 22 April 2017)
Setelah muncul peristiwa G30S/PKI, kekuasaan di Desa Pajeng pun
berubah. Jabatan Kepala Desa yang dipegang Jayin digantikan kembali oleh
Lasman pada tahun 1965 sampai dengan tahun 1989. Sofwan Hadi sempat
menjadi carik desa pada tahun 1965 selama satu tahun ketika posisi Kepala
Desa masih dipegang caretaker. Setelah itu, yang bersangkutan
mengundurkan diri dan lebih banyak memposisikan diri sebagai mastermind
yang menentukan kebijakan dari Kepala Desa. Selama Sofwan Hadi masih
hidup, hampir setiap kali pemilihan Kepala Desa selalu menunggu fatwanya.
Termasuk di dalamnya adalah penentuan siapa yang didudukkan sebagai
carik. Peran sebagai mastermind dari Sofwan Hadi ini disampaikan oleh Th
sebagai berikut :
“Saya sangat faham semua, karena saya sangat dekat dengan perangkat kekuasaan yang siungnya (taringnya) panjang-panjang itu… salah satu contohnya, saat Mbah Lasman menjadi Kepala Desa, Mbah Sofwan Hadi menitipkan orang bernama Karnadi untuk menjadi carik desa. Dia bilang sama Mbah
87
Lasman pokoknya kalau Karnadi tidak dijadikan carik, saya makan kamu…”(Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Setelah periode tahun 1970, situasi politik di Desa Pajeng relatif
stabil. Hal ini terbukti dengan bertahannya masa jabatan Kepala Desa Lasman
sampai dengan tahun 1989, yang didukung penuh oleh Sofwan Hadi. Pada
masa Orde Baru, Lasman dan Sofwan Hadi memiliki andil dan peran
signifikan dalam menghantarkan kemenangan Golkar di Desa Pajeng.
“Pemenang Pemilu sebelum reformasi di Pajeng ya Golkar. Mbah Sofwan juga Golkar, Pak Syamsudin juga Golkar. Urutan kedua pemenang Pemilu baru PPP, dan yang ketiga kemudian PDI. Si Mbah Lasman itu kan sebenarnya PNI, tapi jadi Golkar juga. Yang paling mempengaruhi orang-orang milih Golkar itu ya Mbah Lasman dan Mbah Sofwan… ”(Hasil wawancara dengan W tanggal 22 April 2017 ) Setelah kepemimpinan Lasman berakhir, jabatan Kepala Desa Pajeng
dilanjutkan oleh Tarwoco putra Mbah Lasman selama dua periode (1990-
2006), dan setelah itu hingga kini, kepemimpinan Desa Pajeng dipegang oleh
Dedy Kristiawan putra Mbah Tarwoco.
B. Tradisi yang Merajut Integrasi
Betapapun pernah terjadi polarisasi, fragmentasi dan trauma politik
yang mendelam, namun semua itu tidak mengoyak dan mencabik-cabik
kehidupan masyarakat Desa Pajeng. Mereka tetap mampu menampakkan
wajah keguyuban dan kegotongroyongan dalam bentuk tradisi nyadran,
Lumbung Kemakmuran dan ritual kematian. Berikut ini adalah gambaran atas
ketiga tradisi tersebut.
1. Tradisi Nyadran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sadran atau
menyadran diartikan sebagai mengunjungi makam atau tempat keramat
pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan
sebagainya) dengan membawa bunga atau sesajian. Nyadran berasal dari
kata Bahasa Arab sodrun yang artinya dada atau hati. Makna nyadran
88
dalam hal ini adalah bahwa masyarakat membersihkan hati mereka
menjelang bulan Ramadhan. Makna lain dari nyadran adalah sadran yang
berasal dari kata sudra sehingga nyadran berarti menyudra atau menjadi
sudra atau berkumpul dengan orang-orang awam. Hal ini mencerminkan
nilai-nilai bahwa pada hakekatnya manusia adalah sama.
Tradisi nyadran sudah berlangsung dari sejak zaman Hindu-Budha
sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit
tahun 1284 sudah terdapat pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu
tradisi craddha. Kesamaan dari tradisi tersebut adalah terletak pada
aktivitas manusia dengan arwah leluhur yang sudah meninggal seperti
sesaji dan ritual sesembahan sebagai penghormatan terhadap leluhur yang
telah meninggal. Tradisi nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa
selamatan.
Sementara Purwadi menjelaskan dalam bukunya “Jejak Para Wali
dan Ziarah Spiritual” bahwa kata nyadran a tau sadranan berasal dari
bahasa sansekerta yang berarti tradisi mengunjungi makam leluhur atau
sanak saudara menjelang datangnya bulan Ramadhan (Purwadi, 2006).
Karena lidah orang Jawa maka kata sadra berubah menjadi kata nyadran
yang memiliki arti ziarah kubur, tradisi nyadran merupakan ritual yang
berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa
selamatan.
Di Desa Pajeng, nyadran atau sedekah bumi sebagaimana
disampaikan oleh narasumber R, merupakan tradisi warga untuk
bersyukur terhadap alam atas hasil panen yang didapatkan, serta untuk
menghormati dan meminta restu dari leluhur agar warga semakin
sejahtera dan bumi semakin subur. Nyadran di Dusun Pajeng selain
dilakukan di makam leluhur, juga dilakukan di sumber-sumber mata air
(sendang). Dalam kepercayaan masyarakat Desa Pajeng, air merupakan
sumber kehidupan (tirta bilayat kamandanu).
Tradisi nyadran di Pajeng berlangsung selama satu hari dan
89
dipim pin tetua dusun. Acara dimulai sejak pagi hari, dimana setiap
keluarga membawa ambeng (baik yang dipersiapkan untuk dimakan
bersama maupun untuk persembahan) ke balai dusun untuk berdoa
bersama sebagai tanda dimulainya tradisi nyadran. Doa bersama tersebut
dipim pin oleh sesepuh dan tokoh agama dalam rangka menyampaikan
rasa syukur kepada Tuhan dan leluhur atas anugerah kehidupan dan
kesejahteraan warga desa. Setelah prosesi berdoa bersama tersebut,
ambeng yang dibawa oleh masing-masing keluarga akan saling
ditukarkan dengan yang lainnya sehingga orang-orang yang berada di
sana dapat saling merasakan makanan yang dibawa dari rumah antara satu
dengan yang lain.
Setelah selesai makan bersama di Balai Dusun, warga lalu
melanjutkan prosesi di makam leluhur dan sumber mata air (sendang)
dengan membawa ambeng yang diperuntukan sebagai sesaji untuk
persembahan. Warga secara bersama-sama bergotong royong untuk
membersihkan lokasi makam dan sumber mata air sebelum prosesi
dimulai. Setelah lokasi dibersihkan dari masing-masing warga meletakkan
sesaji berupa makanan di makam leluhur. Kemudian dilanjutkan dengan
mengumpulkan jadi satu persembahan berupa hasil panen dan ambeng
yang telah dibawa yang kemudian akan dibagikan kembali kepada warga
yang hadir secara merata.
Setelah persembahan terkumpul, warga bersama-sama memasuki
acara inti yaitu berdoa bersama yang dipimpin oleh tokoh desa (sesepuh).
Dalam rangkaian doa disampaikan rasa syukur terhadap Tuhan dan
leluhur yang telah menjaga sumber air bagi keberlangsungan kehidupan
warga. Mereka juga menyampaikan permohonan restu agar dalam
kehidupan dapat terus berlangsung dengan baik dan meminta
perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah doa, ibu-ibu akan membagikan persembahan yang
terkumpul kepada warga yang hadir sebagai wujud kebersamaan dan
saling merasakan atas anugerah yang didapatkan. Setelah prosesi inti
90
dilaksanakan warga di beberapa dusun kecuali di Dusun Jiwo-Bulu
menikmati hiburan bersama. Hiburan yang disediakan di lokasi sumber
air berupa wayang, dan beberapa hiburan lainnya yang ada di balai desa
seperti tayub, ketoprak, dan elekton.
Hal yang menarik dalam tradisi nyadran di Desa Pajeng ini adalah
meskipun masih dalam lingkup satu desa, ternyata warga di masing-
masing dusun memiliki memiliki tempat, waktu dan pantangan yang
berbeda-beda melakukan nyadran. Perbedaan tradisi nyadran di setiap
dusun adalah sebagai berikut:
1. Di Dusun Dodol, nyadran dilakukan di Sendang Ubalan Senganten
dan punden M bah Surosentono pada hari Jumat Pon setelah panen
raya yang dipimpin oleh Kepala Dusun. Di Dusun Dodol, ketika
dilakukan nyadran biasanya diadakan acara hiburan seperti ketoprak,
wayang, tayuban, elekton dan lain sebagainya. Gambar 4.1
Punden Mbah Suro Sentono di Dusun Dodol
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 4.2
Ubalan Senganten
Sumber: Dokumentasi Peneliti
91
2. Di Dusun Pajeng, nyadran dilakukan di Ubalan Pajeng pada hari
Jumat Pahing setelah panen, dipimpin oleh Mbah Tasmo. Seperti di
Dusun Dodol, tradisi nyadran di Dusun Pajeng biasa juga
dimeriahkan dengan berbagai hiburan.
3. Di Dukuh Bulu, nyadran dilakukan di makam Dukuh Bulu dan di
sumber mata air Sendang Berteliko yang dipimpin oleh sesepuh
Dukuh (Mbah Radi). Nyadran ini dilakukan pada hari Rabu Pon
setelah panen padi. Namun di Dukuh Bulu terdapat pantangan tidak
boleh mengadakan hiburan seperti ketoprak, wayang, dan lain-lain
sebagaimana dilakukan di dusun-dusun yang lain. Masyarakat
meyakini bahwa “danyang” (penguasa gaib) di Dukuh Bulu yakni
Kyai Nodrono memiliki gong (alat musik) gaib sendiri, dan akan
marah apabila dalam nyadran melakukan keramaian serta akan
menimbulkan malapetaka yang menimpa masyarakat Dukuh Bulu
apabila masyarakat mengadakan hiburan dalam tradisi nyadran.
Gambar 4.3 Lokasi sendang berteliko
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 4.4
Area makam Dukuh Bulu
92
Sumber: Dokumentasi pribadi
4. Di Dukuh Jiwo, nyadran dilakukan di Sumur Gede, Sendang Selo
Manik, dan Sendang Lanang dengan dipimpin oleh sesepuh Dukuh
(Mbah Pairan). Pantangan yang berlaku di Dukuh Jiwo dalam
melakukan nyadran adalah tidak boleh menanggap ketoprak. Apabila
pantangan tersebut dilanggar, maka akan terjadi “gegeran”
(perkelahian massal) di dukuh yang mengakibatkan korban jiwa.
2. Lumbung Kemakmuran
Lumbung Kemakmuran terbentuk sejak tahun 1998 atas prakarsa
beberapa tokoh masyarakat, yakni: Nyaman, Tjockrorejo, Lasman, dan
Djayin. Gagasan terbentuknya Lumbung kemakmuran ini dilatarbelakangi
oleh keinginan dari warga masyarakat Desa Pajeng untuk menjamin
ketersediaan pangan di desanya dengan sistem simpan pinjam baik berupa
uang maupun hasil bumi (gabah) tanpa memberatkan warga, serta bisa
menghindarkan warga dari jeratan rentenir. Latar belakang terbentuknya
Lumbung Kemakmuran ini disampaikan Tarwoco dalam buku “Jejak-
jejak Praktik Pancasila di Bojonegoro, Persembahan untuk Indonesia”:
“… dan pada akhirnya kami sadar bahwa tidak hanya warga yang mati
yang harus kita urusi, tetapi warga yang hidup juga harus diurus… ”
(Ashfa,dkk, 2016).
Dengan bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro,
dalam hal ini Kantor Ketahanan Pangan Kab. Bojonegoro, maka berdirilah
bangunan yang disebut sebagai “Lumbung Kemakmuran”. Lumbung
93
inilah yang dimanfaatkan untuk menyimpan hasil panen warga
masyarakat. Masyarakat bisa meminjam gabah dan setelah panen
mengembalikan sejum lah yang dipinjam atau berdasarkan kesepakatan
sebelumnya, dalam bentuk gabah.
Kegiatan simpan pinjam ini baru di bukukan secara tertib mulai
tahun 2011. Dari modal awal berupa gabah sebesar 1, 6 ton, pada bulan
Oktober 2016, nilai asset Lumbung Kemakmuran telah mencapai Rp.
114.000.000,-.
94
Gambar 4.5 Bangunan Lum bung Kemakmuran Desa Pajeng
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 4.6
Kegiatan di Lumbung Kemakmuran Desa Pajeng
Sumber: Dokumentasi pribadi
Lumbung Kemakmuran ini diperuntukkan bagi semua warga Desa
Pajeng untuk meringankan beban saat terjadi gagal panen. Serta,
mendukung kegiatan pembangunan sarana dan prasarana Desa Pajeng
seperti pembangunan masjid, jalan-jalan Desa, jembatan, sekolah, dan
sejenisnya. Prinsip dan mekanisme pengelolaan lumbung kemamuran ini
dilakukan secara partisipatif, terbuka dan deliberative. Hal ini terungkap
dari penjelasan narasumber sebagai berikut:
Di lumbung kemakmuran Desa Pajeng, pinjaman minimal adalah sebesar 500.000,- . Simpan pinjam ini dilaksanakan setiap 3 bulan sekali setiap tanggal 15 melalui pertemuan rutin di Balai Dusun dan dihadiri oleh seluruh warga. Jangka waktu pelunasan pinjaman adalah selama 3 bulan, dengan bunga 3% per bulan. Penetapan bunga pinjaman diputuskan berdasarkan kesepakatan seluruh warga Desa. Semua
95
didasarkan atas prinsip saling percaya, terbuka, dan menjunjung tinggi nilai kejujuran demi tercapainya peningkatan kemakmuran warga Desa Pajeng…”(Hasil wawancara dengan T tanggal 22 April 2017 ) Dalam setiap kali pertemuan tiga bulanan, para anggota lumbung kematian harus hadir dan tidak boleh diwakilkan. Undangan disampaikan melalui pengeras suara masjid, sampai semua warga hadir. Pertemuan tidak akan dimulai jika ada warga yang belum hadir, apalagi yang masih memiliki tanggungan pinjaman (Hasil wawancara dengan W , 18 Maret 2017)
3. Ritual Kematian
Selain tradisi nyadran, di Desa Pajeng terdapat ritual kematian
yang dilaksanakan oleh setiap keluarga (ahli waris dan sanak saudara)
yang sedang mengalami kesripahan (kematian) anggota keluarganya.
Dalam ritual kematian ini, mereka wajib menyelenggarakan serangkaian
prosesi ritual kematian yang juga melibatkan warga lain, mulai dari proses
pengurusan jenazah sampai dengan pemakaman, mempersiapkan
uborampe, rangkaian acara ritual kematian hari ketiga (nelung dina), hari
ketujuh (mitung dina), hari ke-empat puluh (patang puluh dina), hari ke
100 (nyatus dina), tahun pertama (mendhak pisan), tahun kedua (mendhak
pindho) dan hari keseribu (nyewu).
Uraian cerita di bawah ini merupakan pengalaman peneliti
mengikuti prosesi kematian yang menggambarkan suasana di Desa Pajeng
ketika terjadi peristiwa kematian warga.
Pada hari Jumat malam, tanggal 23 Maret 2017 sekitar pukul 21.00
WIB, ketika peneliti sedang melakukan wawancara dengan narasumber
tentang ritual kematian di Dukuh Bulu, tiba-tiba terdengar raung sirine
mobil ambulan yang mengoyak keheningan malam. Dalam sekejap saja,
seperti dikomando warga sudah berkerumun di luar untuk menyambut
kedatangan mobil ambulan di Dukuh Bulu tersebut. Dari salah seorang
warga, peneliti mendapat kabar bahwa salah satu warga Dukuh Bulu
96
bernama Ag seorang anak remaja berusia 15 tahun menghembuskan nafas
terakhirnya di rumah sakit karena penyakit lever.
Jenazah Ag pun diusung keluar diiringi oleh isak tangis keluarga
untuk disemayamkan di rumah duka. Hasil musyawarah antara keluarga
dan tokoh masyarakat, disepakati jenazah Ag dikebumikan esok hari pada
pukul 08.00 WIB. Pada malam harinya, sembari menunggu pemakaman,
dilangsungkan pembacaan surat Yasin oleh warga yang melayat dan
melekan di rumah duka.
Keesokan harinya pada pukul 07.30 peneliti datang ke rumah duka
untuk takziah sekaligus melihat langsung prosesi pengurusan jenazah. Saat
itu sudah banyak warga yang melakukan takziah dan mempersiapkan
uborampe untuk prosesi pemakaman. Mulai dari penyiapan tenda dan
perlengkapan nyuceni (memandikan), pembuatan penduso (keranda) dari
bambu, kembar mayang, alu, dan lain sebagainya. Setelah seluruh
perlengkapan dan peralatan untuk nyuceni siap, modin desa memimpin
prosesi nyuceni dibantu dengan takmir masjid dan anggota keluarga laki-
laki sejumlah 5 orang, sementara sekelompok warga yang lain masih
mengerjakan kebutuhan ubo rampe yang belum selesai.
Gambar 4.7 Gotong Royong Warga dalam Pembuatan Penduso
Sumber: Dokumentasi pribadi
Modin desa sebagai pimpinan prosesi nyuceni menyiramkan air
yang sebelumnya ditampung di dalam drum ke tubuh jenazah. Sementara
lima orang lainnya menyangga jenazah dalam posisi duduk di kursi yang
97
sudah disiapkan sambil menggosokan sabun mandi ke seluruh tubuh
jenazah. Aktivitas nyuceni ini dilakukan di halaman rumah duka dibawah
tenda yang sudah disiapkan dan hanya ditutupi dengan kain.
Proses nyuceni jenazah selesai bersamaan dengan siapnya penduso
dan seluruh ubo rampe yang lain. Jenazah yang sudah selesai dimandikan
lalu dibawa ke rumah duka, diletakkan di atas meja panjang yang
sebelumnya diberi alas tikar pandan. Kemudian jenazah dibungkus dengan
kain kafan, lalu dimasukkan ke dalam penduso dan ditutup dengan kain
jarik berwarna hijau. Modin lantas memimpin acara doa bersama para
pelayat, dan dilakukan pembagian ambeng oleh keluarga Ag kepada para
pelayat dan pengurus jenazah.
Selepas pembagian ambeng, jenazah ditandu oleh keluarga laki-
laki dan kerabat menuju ke masjid untuk dishalatkan, didoakan serta
penyampaian kesaksian-kesaksian tentang hidup Ag dari tokoh masyarakat
dan Kepala Sekolah tempat Ag menimba ilmu. Selesai proses di masjid,
jenazah dibawa ke tempat pemakaman dengan iring-iringan pelayat. Di
barisan paling depan, tampak orang yang menaburkan kepyur sambil
membawa ayam hidup di sepanjang jalan menuju ke makam, diikuti orang
yang membawa nisan, dan orang yang menandu jenazah di dalam
penduso. Di belakang jenazah iring-iringan pelayat dan keluarga tampak
membawa kendi, bunga-bunga, gelas, piring dan barang kesayangan Ag
untuk dijadikan sajen.
Lokasi pemakaman Dukuh Bulu terletak di sebelah timur
pedukuhan, atau sekitar 300 meter dari pemukiman. Untuk menuju lokasi
pemakaman tersebut, warga harus melewati jalan setapak melalui
hamparan ladang dan sawah warga Dukuh Bulu. Makam Ag disiapkan di
sebelah timur laut ujung area pemakaman. Area pemakaman sangat
rimbun, banyak pohon yang besar diperkirakan berusia puluhan tahun,
bahkan konon ada yang sudah berusia ratusan tahun. Beberapa orang
menyebut pemakaman itu sebagai tempat yang keramat dan angker. Di
area pemakaman ini terdapat pohon jati yang telah tumbang dengan
98
diameter batang pohon seukuran perut sapi, dan dikeramatkan oleh
masyarakat Dukuh Bulu. Menurut kepercayaan masyarakat Dukuh Bulu,
seperti yang diceritakan Mbah R, kayu yang berasal dari pohon yang
tumbuh di area pemakaman Dukuh Bulu pantang untuk dibawa ke luar
area pemakaman, apapun alasannya. Apabila hal tersebut tetap dilakukan,
maka masyarakat Dukuh Bulu akan mengalami musibah dan petaka.
Setibanya di lokasi pemakaman, jenazah Ag dimasukkan ke liang
lahat, lalu di atasnya di pasang blabak kayu untuk menutupi jenazah.
Kemudian takmir masjid mulai melantunkan adzan pertanda prosesi
penguburan jenazah segera dim ulai. Tikar pandan dan penduso
dimasukkan juga ke dalam liang lahat untuk dikuburkan bersama-sama
dengan jenazah Ag.
Gambar 4.8 Gotong Royong Warga dalam Prosesi Pemakaman
Sumber: Dokumentasi pribadi
Patok atau nisan, sajen, serta barang-barang yang dianggap
kesayangan Ag diletakkan di makam setelah proses penguburan selesai.
Selanjutnya dilakukan upacara doa dipimpin oleh modin. diletakkan di
makam setelah proses penguburan selesai. Selanjutnya dilakukan upacara
doa dipimpin oleh modin. Setelah itu keluarga menaburkan kembang
setaman, dan para pelayat pulang dari makam. Pada malam hari, rangkaian
ritual kematian berlanjut dengan tahlilan di rumah duka dan melekan
99
sampai dengan dinihari yang diikuti oleh para kerabat dan tetangga dekat
rumah.
Dari gambaran ritual kematian di atas, tergambar bagaimana tradisi
ini dapat mengundang keterlibatan seluruh warga. Dengan berbagai luka
dan trauma politik di Pajeng di masa lalu, warga desa Pajeng tetap
melangsungkan tradisi-tradisi tersebut dan melibatkan seluruh warga tanpa
membedakan agama, aliran politik dan keyakinan-keyakinannya. Terkait
dengan hal itu, T mengatakan sebagai berikut:
Melalui nyadran, keikutsertaan dalam lum bung kemakmuran dan rukun kematian,..kami seluruh warga tanpa kecuali akan dapat saling menjaga, rukun dan guyup. (Wawancara, tanggal 18 Maret 2017) Praktik tradisi ini juga telah menjadi sabuk pengikat integrasi antar
warga, serta membuka ruang bagi lahirnya kebajikan sosial dan
kemanfaatan publik. Hal ini tercermin dari ungkapan sebagai berikut:
“Kanthi sedaya wau (tradisi), sedaya warga saged ngempal lan ngusulaken menopo kemawon ingkang sae kanggih kepentingan warga” (dengan tradisi ini, semua warga dapat berkumpul dan memberikan masukan mengenai apa yang baik untuk kepentingan warga. (Hasil Wawancara dengan T , tanggal 17 Maret 2017) “Memang benar apa yang disampaikan Mbah T tersebut. Kegiatan dalam tradisi ini sudah banyak membantu warga ketika mengalami musibah gagal panen, kematian atau kesulitan-kesulitan yang lain” (Hasil wawancara dengan P, pengurus Lumbung Kemakmuran dan Rukun Kematian, tanggal 18 Maret 2017)
Terbukanya ruang publik di Pajeng tersebut juga dapat dirasakan
oleh peneliti saat melakukan proses-proses wawancara dan FGD yang
melibatkan banyak pihak. Adapun dampak langsung partisipasi warga
Pajeng juga dapat terlihat dari inovasi dan prestasinya di tingkat
Kabupaten seperti ketaatan dalam pembayaran PBB dan capaian ODF.
Selain lumbung kemakmuran, salah satu determinan yang mampu
mengubah Pajeng beranjak meninggalkan kemiskinan, serta memiliki
100
kemampuan untuk mengatasi jebakan kemiskinan adalah terbentuknya
Rukun kematian yang sampai saat ini telah melibatkan lebih dari 1.164
KK. Dan, hal ini diawali dari tafsir ulang atas nilai-nilai kebajikan sosial
dan terlembaganya Rukun Kematian dalam konteks kehidupan desa
Pajeng. Ritual kematian bukan hanya dimaknai secara sebagai peristiwa
transendetal yang bersifat personal, namun dimaknakan sebagai ruang
kepedulian dan solidaritas sosial yang berdimensi publik serta memiliki
manfaat sosial dan ekonomi bagi warganya.
Untuk melangsungkan proses tersebut, dibutuhkan waktu 20 tahun
dari sejak terjadinya tragedi kemanusiaan dan konflik politik Tahun 1965.
Lewat celah-celah yang tersedia dalam praktik tradisinya, mereka sanggup
menghadirkan diskursus untuk memaknai ulang ritual kematian. Ruang
diskursus inilah yang telah memantik terciptanya konsensus, berbagai
inovasi serta model self gonernance yang kongruen dengan dunia
kehidupannya. Dari tafsir ulang atas makna ritual kematian inilah, warga
Pajeng melembagakan kebajikan-kebajikan sosial ke dalam rukun
kematian.
101
BAB V
MAKNA RITUAL KEMATIAN
Untuk memahami makna ritual kematian secara, dalam bab V ini akan
diterangkan tentang uborampe dan tatacara yang dipergunakan dalam Ritual
Kematian.Serta, nilai-nilai kebajikan sosial sebagai re-interprertasi terhadap
makna ritual kematian yang melandasi pola pikir dan tindakan para inisiator RK;
A. Uborampe dan Tata Cara Ritual Kematian
Dalam bab sebelumnya sudah diuraikan gambaran hasil observasi dari
tatacara prosesi ritual kematian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Pajeng. Apabila ditelaah lebih lanjut, tata cara ritual kematian yang
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pajeng dilaksanakan seperti umumnya
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Ritual kematian yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sering juga
sebagai selamatan atau slametan kematian. Slametan berasal dari
kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat
dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki. Menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak
ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).
Bendung Layungkuning (2013) dalam buku “Sangkan Paraning
Dumadi“ menulis bahwa :
“Masyarakat Jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati. Mereka (orang yang mati) diangkat lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang masih hidup. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna kematian orang Jawa mengacu pada pengertian kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian dalam kebudayaan Jawa (juga dalam kebudayaan yang lain) hampir selalu disikapi bukan sebagai sesuatu yang selesai. Titik. Kematian selalu meninggalkan ritualisasi yang diselenggarakan oleh yang ditinggal mati. Setelah orang mati, maka ada penguburan disertai doa-doa, sesajian, selamatan, pembagian waris, pelunasan utang, dan seterusnya. Dalam
102
masyarakat Jawa kematian juga melahirkan apa yang disebu ziarah atau tilik kubur. Hal ini semakin menegaskan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya.”( Layungkuning, 2013: 99)
Apa yang terlihat di Desa Pajeng ini sejalan dengan penggambaran
Clifford Geertz (1976) dalam buku The Religion of Java. Dijelaskan dalam
buku itu, ketika terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang
harus dilakukan adalah memanggil modin, selanjutnya menyampaikan berita
kematian tersebut di daerah sekitar bahwa suatu kematian telah terjadi. Kalau
kematian itu terjadi sore atau malam hari, mereka menunggu sampai pagi
berikutnya untuk melaksanakan proses pemakaman. Segera setelah mendengar
berita kematian, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan yang sedang
dilakukan, dan pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian tersebut.
Ketika melayat setiap kaum perempuan membawa sebaki (senampan) beras
untuk diserahkan kepada keluarga duka. Kemudian beras tersebut diambil
sejumput oleh keluarga yang sedang berduka cita untuk disebarkan ke luar
pintu, setelah itu beras hantaran melayat tersebut segera ditanak untuk acara
slametan kematian. Sedangkan kaum laki-laki membawa alat-alat pembuat
nisan, usungan untuk membawa jenazah ke makam, dan lembaran papan
untuk diletakkan di liang lahat.
Tradisi yang berlangsung dalam suatu komunitas, merupakan salah
satu bentuk pengetahuan dalam suatu masyarakat yang diwujudkan melalui
kebiasaan guna memecahkan persoalan tertentu ataupun untuk merayakan hal
tertentu. Pengetahuan ini biasanya memiliki dasar kebenaran, baik secara
mistis maupun rasional (Lévi-Strauss (2005). Tradisi dapat menjadi
representasi dari pengetahuan suatu masyarakat. Di balik tradisi selalu
tersimpan makna dan pandangan terntang dunia (worldview).
Salah satu partisipan FGD menyampaikan bahwa ritual kematian
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh keluarga atau ahli waris. Hal
ini terungkap dari wawancara sebagai berikut:
“Slametan dilakukan pada hari pertama (ngesur tanah) sampai hari ketiga (nelung dina), hari ketujuh (mitung dina), hari
103
keempat puluh (patang puluh dina), hari ke-100 (nyatus dina), tahun pertama (mendhak pisan), tahun kedua (mendhak pindho) dan hari keseribu (nyewu)..” (Wawancara dengan R, 24 Maret 2017)
“di Desa Pajeng, semua warga (tanpa melihat agama dan latar belakangnya) selalu berupaya untuk dapat melakukan slametan ketika ada salah satu anggota yang meninggal dunia. Caranya adalah dengan menyediakan berbagai uborampe sejak hari meninggalnya, telung dino, mitung dino, patang puluh dino, nyatus dino, sampai nyewu….” (FGD, 22 Maret 2017) Untuk mengkonfirmasi pengetahuan warga tentang ritual kematian,
peneliti secara acak mewawancarai para informan kunci terkait proses,
uborampe dan tatacara ritual kematian ini. Berikut adalah petikan hasil
wawancara seputar tatacara dan uborampe dalam ritual kematian di Desa
Pajeng. Terkait ta tacara nduduk kuburan misalnya, R seorang sesepuh desa
menyatakan:
“Sejak dulu, sudah ada yang mengurusi mbubak bumi, mertua saya adalah salah satunya. Tugas mbubak bumi adalah mencarikan lokasi untuk memakamkan jenazah … sekarang saya yang membantu mencarikan lokasi…. Kalau d sini, yang menggali kubur itu tidak dibayar” (Hasil wawancara, 24 Maret 2017).
Menurutnya, di desa ini penentuan lokasi pemakaman bukanlah dari
keluarga atau ahli waris semata, melainkan juga bersama-sama sesepuh desa.
Para penggali makam pun tidak dibayar. Mengenai mbubak bumi ini
disampaikan juga oleh Y sebagai berikut :
“untuk menentukan lokasi makam, ada yang namanya tukang mbubak bumi. Nah beliau itulah yang akan mencarikan tempat bersama-sama keluarga, sambil dilihat silsilah keturunan keluarganya itu di sebelah mana.” (Hasil wawancara, 28 Maret 2017) Menariknya lagi, ritual kematian di desa ini juga ada yang disebut
dengan seren. Yakni, uang yang dibungkus dengan daun dan diberikan oleh
ahli waris atau sanak keluarga dari orang yang meninggal dunia kepada para
pelayat. Besar-kecilnya seren tergantung dari kemampuan ahli waris atau
104
keluarga orang yang meninggal dunia. Semakin berkecukupan keluarga
tersebut, maka semakin besar juga jumlah seren yang dibagikan kepada para
pelayat. Terkait uang seren ini beberapa informan kunci menyatakan:
”Seren, diberikan oleh keluarga yang meninggal untuk orang yang melakukan takziah yang hadir di rumah duka ”(Wawancara dengan T , 18 Maret 2017) “Seren ditentukan dari kemampuan, semakin nduwe (kaya), maka seren yang diberikan akan semakin besar…. Tiyang sepah riyen (orang tua dulu) menganggap seren sebagai sedekahne tiyang ingkang sampun meninggal (sedekahnya orang yang sudah meninggal)….” (FGD, 22 Maret 2017) “Menurut orang tua, seren ini dimaksudkan sebagai amalan terakhir, agar yang meninggal diberikan jalan yang lapang untuk menempuh proses kehidupan di alam baka (Wawancara dengan T , 19 Maret 2017)
Selain seren, dalam ritual kematian di Desa Pajeng juga ada istilah
Wajib. Wajib ini mirip dengan seren, bedanya wajib diberikan oleh pihak
keluarga kepada mereka yang hadir dalam tahlilan. Terkait dengan wajib ini,
beberapa informan kunci menyatakan sebagai berikut:
“kalau ada orang kesusahan, jamaah dipanggil untuk mengaji. Setelahnya mereka diberi imbalan…namanya wajib.” (Wawancara dengan S, 27 Maret 2017)
“dari dulu setiap orang yang hadir dalam tahlil kematian akan mendapatkan Rp5.000,00 per orang dari sanak saudara yang meninggal dunia… istilah Jawa ini namanya wajib. Wajib ini biasanya dibagikan ketika peringatan hari ketiga, ketujuh, keseratus, keseribu, dan seterusnya. Besar kecilnya wajib ini juga sangat tergantung kepada kondisi ekonomi keluarga orang yang meninggal..” (Wawancara dengan AR, 26 Maret 2017)
Selain seren, dalam ritual kematian di Desa Pajeng juga
mengharuskan adanya perlengkapan sebagai prasyarat yang harus dipenuhi.
Perlengkapan inilah yang oleh informan kunci dinamai uborampe. Sebagai
bagian dari kebudayaan Jawa, uborampe merupakan sarana untuk
105
menyampaikan ide-ide atau pandangan hidup masyarakat yang memiliki
kebudayaan tersebut, yakni masyarakat Jawa, sebab dalam kebudayaan
jawa, perilaku orang Jawa yang mencerminkan nilai-nilai dan ide-ide itu
selalu terwujud melalui dua tataran yaitu lugas dan simbolis, sedangkan
uborampe berada pada ta taran simbolis (Tjaroko HP Teguh Pranoto,
2009), sehingga melalui uborampe yang dipergunakan dalam ritual
kematian tersebut dapat diketahui bagaimana masyarakat Jawa
memandang, memahami, dan menghayati hal-hal yang berkaitan dengan
kematian manusia.
Beberapa contoh uborampe yang menjadi prasyarat dalam ritual
kematian adalah:
1) Penduso (keranda jenazah). Penduso adalah tandu untuk mengusung
jenazah sejak dari rumah duka sampai ke liang lahat. Dalam kebiasaan
masyarakat Dukuh Bulu, penduso ini hanya boleh dibuat ketika ada orang
yang meninggal. Penduso dibuat dari bahan bambu yang disumbangkan
oleh te tangga-tetangga di sekitar keluarga yang meninggal dunia.
Pembuatan penduso dilakukan secara gotong royong warga oleh para
Bapak yang berjumlah sekitar 8-10 atau lebih. Kebersamaan dan tujuan
dalam pembuatan penduso ini tercermin dari ungkapan berikut:
“Jiwo dan Bulu mboten damel penduso permanen, amargi kanggih ngetingalke kerukunan. Tujuanipun nggih kanggih kasaenan warga piyambak, kerukunan lan nyepeng keguyuban (Di Jiwo dan Bulu, tidak ada pembuatan keranda jenazah permanen, demi menjaga kerukunan. Tujuannya untuk kebaikan masyarakat sendiri, memelihara kerukunan dan keguyuban)….”(Hasil FGD tanggal 19 Maret 2017)
Gambar 5.1
Penduso
106
2) Mori atau kain kafan, digunakan untuk menutupi tubuh jenazah, dengan
jumlah minimal 3 sampai 7 helai dengan hitungan ganjil sesuai ukuran
tubuh jenazah. Hitungan ganjil tersebut merupakan ajaran dari para orang
tua dahulu. Pemakaian mori menurut R adalah sebagai pakaian bagi
orang yang meninggal untuk melakukan perjalanan di alam gaib, oleh
karena itu warna putih karena melambangkan kesucian orang yang akan
menghadap Tuhannya. Sama dengan penduso, di Dukuh Bulu kain kafan
ini tidak boleh disediakan sebelum ada orang yang meninggal.
3) Patok atau nisan yang terbuat dari kayu untuk memberikan tanda lokasi
dan identitas jenazah setelah dimakamkan. Sama dengan mori dan
penduso, patok ini pun termasuk uborampe yang tidak boleh disediakan
sebelum ada yang meninggal.
4) Kambing atau sapi, sepasang burung dara, sepasang menthok (angsa),
yang disembelih dan dijadikan satu dengan ambeng. Jenis hewan yang
disembelih dalam ritual kematian tidak selalu sama. Tergantung dari
kemampuan masing-masing. Bagi keluarga yang berkecukupan, hewan
yang disembelih biasanya sapi. Namun bagi keluarga yang kurang mampu
cukup menyembelih kambing, burung dara atau menthok. Hewan-hewan
tersebut dipercaya dapat menjadi tunggangan atau kendaraan bagi arwah
orang yang telah meninggal dunia. Salah satu partisipan dalam FGD
menyatakan:
“Uborampe yang harus ada adalah seren, kambing atau sapi, sepasang doro (merpati), sepasang menthok (angsa), tikar pandan rangkap… doro sepasang harus ada karena
107
merupakan kendaraan bagi roh yang meninggal untuk menuju ke alam lain…”(Hasil FGD tanggal 19 Maret 2017)
5) Ambeng adalah makanan yang terdiri dari nasi dan lauk pauk dibungkus
dengan godong (daun) pisang atau daun jati. Dalam tradisi masyarakat
Desa Pajeng, pihak keluarga atau ahli waris yang meninggal dunia tidak
diperkenankan memakan ambeng itu. Dan ketika peneliti bertanya
alasannya, mereka tidak mampu menjelaskan. Mereka hanya mengatakan
“pokoknya tidak boleh”.
Gambar 5.2 Ambeng
Sumber: Dokumentasi pribadi
6) Tikar pandan rangkap, dipergunakan sebagai alas jenazah pada saat
dimasukkan ke dalam penduso. Tikar ini juga harus ikut dimasukkan ke
dalam liang lahat. R menyampaikan bahwa tikar rangkap ini dimasukkan
ke dalam liang lahat agar tikar rangkap ini tidak disimpan di mana saja dan
tidak nampak kotor.
7) Kembar mayang, alu dan lumpang atau doran. Alu dan lumpang
diperuntukkan bagi gadis atau perawan, sedangkan doran diperuntukkan
bagi jejaka yang meninggal dunia. Kembar mayang ini juga digunakan
saat pelaksanaan upacara perkawinan. Kembar mayang terbuat dari bahan
janur kelapa, anak pisang, daun andong dan daun beringin. Alu dan
lumpang dipercaya sebagai pengganti dari pengantin perempuan saat di
alam gaib. Terkait dengan uborampe ini, salah satu informan kunci
menyatakan:
108
“Alu maksudnya pengganti perempuan, karena jejaka yang meninggal belum mempunyai istri... doran sebagai pengganti suami bagi perawan yang meninggal… kembar mayang, alu dan lumpang dipergunakan dalam prosesi pemakaman dengan maksud agar jejaka atau perawan yang meninggal bisa menikah secara gaib dengan alam dan tidak mengganggu kepada perawan dan jejaka yang masih hidup (Wawancara dengan R, 24 Maret 2017)
Gambar 5.3 Pembuatan Kembar Mayang
Sumber: Dokumentasi pribadi
8) Kepyur adalah campuran dari beras yang dibubuhi air perasan kunyit
(beras kuning) dengan berbagai pecahan uang logam senilai Rp200,00,
Rp500,00 dan Rp1.000,00. Kepyur ini ditaburkan di sepanjang perjalanan
mengantar jenazah dari rumah duka ke pemakaman. Berkenaan dengan
kepyur ini R menuturkan :
“… kepyur terdiri dari beras kuning dan uang, maksudnya ditaburkan di sepanjang jalan menuju pemakaman adalah agar perjalanan mengantarkan jenazah sampai ke makam berjalan dengan lancar… setan ojo katek (setan tidak berani) menganggu sampai kuburan….” (Wawancara tanggal 24 Maret 2017)
9) Ayam penguripan yang dibawa sepanjang perjalanan untuk mengantarkan
jenazah sejak dari rumah duka sampai ke lokasi pemakaman. Ayam
109
penguripan ini merupakan simbol dari kehidupan. ini disampaikan oleh R
sebagai berikut:
“Ayam penguripan itu adalah sebagai tanda mensyukui kehidupan, bahwa ketika lahir harus disedekahi begitu pula ketika meninggal…” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Gambar 5.4 Kepyur, Alu, Lumpang, dan Ayam Penguripan
Sumber: Dokumentasi pribadi
10) Blabak adalah kayu papan yang digunakan untuk menutup jenazah di liang
lahat sebelum dilakukan pengurugan tanah makam. Blabak ini harus
berasal dari pohon di sekitar lokasi pemakaman.
11) Kembang setaman, adalah tujuh jenis bunga yang ditaburkan di makam
setelah prosesi pemakaman selesai. Berkaitan dengan kembang ini,
narasumber Pm , R, dan A menyampaikan bahwa kembang setaman
merupakan simbol dari keindahan. Selain itu kembang yang ditaburkan
memiliki makna bahwa manusia harus menaburkan atau menebarkan
perilaku yang baik bagi manusia yang lain agar ketika meninggal namanya
harum seperti kembang
Gambar 5.5 Kembang Setaman
110
Sumber: Dokumentasi pribadi
12) Kendi kecil, yang terbuat dari tanah liat dan diisi air tawar. Setelah jenazah
selesai dimakamkan, air di dalam kendi kecil tersebut disiramkan di atas
pusara bersamaan dengan penaburan bunga. Makna dari dari penyiraman
air di dalam kendi itu menurut Pm adalah untuk memberikan kesegaran
bagi orang yang meninggal.
Gambar 5.6 Kendi
Sumber: Dokumentasi pribadi
111
B. Makna Ritual Kematian
Dalam uborampe dan tatacara ritual kematian seperti yang telah
diuraikan di atas, terdapat khasanah makna ritual kematian yang difahami
masyarakat Desa Pajeng oleh beberapa narasum ber sebagai berikut :
1. Ritual Kematian Sebagai Wujud Kecintaan Dan Penghargaan
Pada dasarnya makna dari ritual kematian merupakan cara untuk
menunjukkan rasa katresnan atau kecintaan dan penghormatan dari ahli
waris atau keluarga untuk orang yang meninggal dunia. Narasumber R dan
Pm menyatakan sebagai berikut:
“slametan kematian itu adalah untuk menghargai orang yang meninggal… menyedekahi orang yang meninggal caranya dengan barokahan (mengadakan kenduri) untuk penghormatan bagi yang meninggal… menyedekahi orang yang meninggal berarti memberikan sangu (bekal) dalam menempuh perjalanan di alam sana.” (Hasil wawancara dengan R, 24 Maret 2017)
“...ketika orang tua meninggal, anak-anak dan kerabat akan mengadakan tahlil sebagai rasa katresnan agar orangtuanya didoakan …” (Hasil wawancara dengan Pm, tanggal 24 Maret 2017)
Dalam kutipan wawancara dengan R dan Pm di atas peneliti
mendapatkan gambaran bahwa seluruh ritual yang dilakukan merupakan
cara untuk mendoakan dan mensedekahi atau memberikan sangu (bekal)
bagi orang yang meninggal agar dapat menjalani kehidupan di “alam”
yang lain menuju Sang Penciptanya dengan tenang dan damai, sebagai
bentuk kecintaan dan penghargaan kepada orang yang meninggal.
Selain dengan bentuk mendoakan dan mensedekahi, kecintaan dan
penghargaan terhadap orang yang sudah meninggal pun ditunjukan dengan
laku kebiasaan para sanak saudara terutama anak-anaknya yang menginap
di rumah orang tuanya dengan tidak menggunakan alas tidur sebagaimana
diceritakan oleh Pm sebagai berikut :
“...ketika orang tua meninggal, maka anak-anaknya hendaknya tetap tinggal di rumah orang tuanya hingga empat puluh malam. Tidurnya pun mesti di lantai sebagai
112
penghormatan bagi orangtua yang meninggal. Tetapi jika anak-anak yang bersangkutan tinggal di luar kota, maka biasanya tujuh malam saja.” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017) Laku tidur di lantai tersebut menurut Pm menunjukan solidaritas
dari sanak saudara kepada orang tua yang meninggal yang sedang terbujur
di dalam makam tanpa alas.
Berkaitan dengan pemaknaan ritual kematian sebagai bentuk
kecintaan dan penghargaan terhadap orang yang meninggal, peneliti
menggali lebih jauh lagi tentang darimana makna ritual kematian ini
mereka dapatkan. Peneliti mendapatkan jawaban bahwa hal tersebut
memang sudah seharusnya dipercaya karena sudah berlangsung dari sejak
zaman dahulu dan merupakan ajaran turun-temurun dari orang tua dan
para leluhur, sebagaimana kutipan Pm mengatakan bahwa:
“tradisi meniko diugemi ngantos sak meniko… kulo kantun nerusaken, sedaya wau kanggih sangu lan ngamal,… kulo nampi piwulang lan pitutur wiwit tasih lare,..wejangan saking Mbah dan tiyang sepuh naliko wonten ing ngriyo. (tradisi ini diyakini sampai dengan sekarang. Saya hanya tinggal meneruskan saja. Semuanya untuk memberikan bekal dan amalan kepada orang yang meninggal… saya mendapatkan ajaran dan nasehat dari orang-orang tua dulu ketika masih hidup)”(Wawancara, tanggal 22 Maret 2017)
“…ngeten niki tiyang sepuh siyen,…kita kantun niru simbah siyen, anak putu saniki namung nerasaken kemawon, lah mulane bapak simbah siyen niku ngoten… (ini dahulu dilaksanakan oleh orang tua dulu… kita hanya meniru orang tua dulu, anak cucu saat ini hanya meneruskan saja, lah pada mulanya kan leluhur dulu begitu…” (Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017).
Senada dengan hal tersebut, AP seorang partisipan FGD
menyatakan bahwa :
“…Itu diugemi sampai sekarang, seandainya saya ahli warisnya damel sangu, terose mekaten, digawe amal. Ngamal dateng sing tasiyah, sangu dateng sing meninggal, saget damel tumbas gas disumet kageme padang. Kita kantun nerusaken, mboten semerap sak pahame ngiring
113
tiyang sepah… sangu iku sanget ngamal, ajaran atau pinulang melalui pitutur dirumah di paringi wejangan kagem putu-putunya kale keluargane…”(tradisi itu dilaksanakan sampai sekarang, seandainya saya ahli warisnya, saya akan membuat bekal, dan memberikan amal. Amal diberikan kepada yang datang bertakziah sebagai bekal untuk orang yang meninggal, untuk menerangi jenazah di alam sana. Kita tinggal meneruskan, tidak mengetahui seperti pemahaman orang tua dulu… sangu itu untuk bekal, hal itu adalah nasihat dari orang tua yang biasanya disampaikan kepada para cucu dan keluargaya). (FGD tanggal 22 Maret 2017)
Kutipan wawancara di a tas menjelaskan bahwa pemaknaan dan
ritual kematian yang dipegang sampai dengan saat ini didapatkan melalui
ujaran lisan orang tua di rumah dan nasehat-nasehat yang diberikan kepada
anak cucu dan keluarganya, serta dipraktikan dalam setiap peristiwa
kematian secara turun temurun. Mereka mengakui bahwa apa yang
dilakukan sebenarnya hanya mengikuti dan meneruskan cara-cara yang
mereka lihat dari orang tua dan para pendahulu mereka.
Berbeda dengan Pm yang meyakini makna kematian dari ajaran
leluhurnya, narasumber bernama Sr menyatakan bahwa ritual kematian
sebagai wujud kecintaan dan penghargaan pun diajarkan dalam agama
Islam yang dianutnya. Sehingga, Ritual Kematian merupakan hal yang
harus dilakukan. Hal itu terungkap dalam pernyataan sebagai berikut:
“…bagi anak-anak dan keluarga, mengadakan tahlilan ini sudah seharusnya, sebagai rasa hormat dan cinta, setengah wajib disesuaikan dengan ajaran Islam… keluarga dan anak-anak dari orang yang meninggal harus mendoakan orang tuanya agar diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya…ada dalilnya ketika orang meninggal, maka semua amalannya terputus kecuali tiga hal, yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak-anak yang mendoakan.” (Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017)
Pemahaman Sr tersebut bersumber dari hadist yang terkenal dari
Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Idzaa maa
tabnul aadama inqatha’a ‘amaluhu illa min salasin: shadaqatin jariyatin
au ilmi yuntafa’u bihi au waladin shalihin yad’uulahu.”. Artinya: “Jika
114
telah mati anak Adam (manusia) maka terputuslah amalnya, kecuali tiga
hal: Shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang
mendoakannya.”(H.R. Muslim).
Pemaknaan ritual kematian sebagai wujud kecintaan dan
penghargaan terhadap keluarga yang meninggal baik atas dasar ajaran
leluhur maupun atas dasar ajaran agama Islam, kedua-duanya bermuara
pada mendoakan orang yang meninggal agar mendapatkan kehidupan
yang lebih baik di alam kematian menuju Tuhanya. Perbedaannya lebih
kepada hal-hal yang bersifat prosedural. Para inisiator yang memiliki la tar
belakang sebagai tokoh agama Islam merasa bahwa ritual kematian itu
merupakan salah satu bentuk dari ibadah yang tatacaranya telah diatur
dalam agama Islam.
2. Ritual Kematian sebagai Wujud Ketaatan terhadap Tuhan
Apa yang disampaikan oleh Sr di atas dalam memaknai ritual
kematian sebagai bentuk kecintaan dan penghormatan terhadap orang yang
sudah meninggal, sebenarnya juga mengandung makna bahwa ritual
kematian merupakan wujud ketaatan terhadap Tuhan YME. Dalam ajaran
agama Islam sebagaimana diyakini oleh Sr, pelaksanaan ritual kematian
merupakan perintah dari Tuhan yang harus dilaksanakan (setengah wajib)
dan oleh karena itu maka tatacara pelaksanaan ritual kematiannya harus
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Berkaitan dengan hal tersebut, narasumber A seorang ustadz dari
Dukuh Bulu juga menegaskan bahwa ritual kematian harus dilakukan
dengan tata cara dan aturan yang benar karena hal tersebut merupakan
ibadah dan diatur dalam dalam ilmu fikih. Terkait dengan hal itu, A
mengatakan:
“kalau kita mencintai orang yang meninggal itu, harus benar ngurusnya, dalam nyuceni (memandikan) itu harus benar, jangan sembarangan kelihatan auratnya. Bagaimana cara mengkafani, bagaimana caranya memandikan itu harus tahu akan dibuat seperti apa… yang terjadi di sini, kalau berdasarkan ilmu fikih sebenarnya ya kurang sesuai. Misal
115
tentang bagaimana cara memandikan jenazah. (Hasil wawancara dengan Sr tanggal 27 Maret 2017).
Selanjutnya A menuturkan bahwa dalam agama Islam terdapat
ilmu fikih yang mengatur tentang bagaimana rukun dan syarat dalam
mengurusi ritual kematian. A menyampaikan bahwa berkaitan dengan
aspek ketaatan atau ibadah dalam masalah ritual kematian, terdapat empat
kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang hidup kepada orang
muslim yang meninggal, yakni: memandikan, mengafani, menyolatkan,
dan menguburkan. Masing-masing dari proses pengurusan tersebut
memiliki syarat dan rukun tersendiri yang harus dipenuhi oleh pengurus
ritual kematian.
A mencontohkan bagaimana prosedur dalam melakukan proses
nyuceni (memandikan) yang diatur dalam agama Islam :
“… begini ya, nuwun sewu. Nopo niku untuk rukun kematian khususnya Dukuh Bulu niku pertimbangannya, yang utama itu pertimbanganya adalah masalah fikih, masalah syar’i. Masalahnya sebelum ada pembentukan rukun kematian itu memandikan mayat itu pake gembreng untuk tempatnya mbako itu lo. … apa namanya tong, itu pun sudah bocor pak, sudah teyeng. Sudah bocor airnya itu tidak sampai dua kolah, padahal untuk memandikan secara sempurna mayat itu airnya harus ada dua kolah… kalau airnya tidak dua kolah, maka tidak sah…”(begini ya, mohon maaf, kenapa itu didirikan Rukun Kematian khususnya Dukuh Bulu itu pertimbangannya yang utama adalah masalah fikih dan syariat. Masalahnya sebelum ada pembentukan Rukun Kematian itu memandikan mayat mengunakan tong tempat tembakau yang sudah bocor dan rusak. Airnya tidak sampai dua kulah, padahal untuk memandikan jenazah secara sempurna, airnya harus mencapai dua kulah. Kalau tidak mencapai dua kulah maka tidak sah. (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa
kulah adalah tempat air yang dibuat dari batu atau bak air. Di daerah Jawa,
kulah adalah kamar mandi, arti lainnya mengacu kepada kolam kecil.
Sementara dalam ritual agama Islam kulah adalah banyaknya air yang
116
menggenang yang dapat digunakan untuk mencuci dan berwudlu. Dua
kulah ialah volume air menurut ukuran 1,25 hasta panjang, lebar, dan
tinggi atau sebanyak 60 cm3 sama dengan 216 Liter.
Dari penjelasan di atas, A menganggap bahwa selama ini proses
nyuceni tidak dapat dikatakan sah. Karena air yang dipergunakan untuk
memandikan jenazah kurang dari ketentuan yang sudah diatur dalam fikih
Islam. A menyampaikan bahwa pentingnya pemenuhan syarat dan rukun
dalam prosedur ritual kematian karena akan berakibat kepada sah atau
tidaknya pelaksanaan ritual kematian. Apabila ternyata dianggap tidak sah,
maka orang-orang yang mengurusi ritual kematian akan dianggap berdosa
kepada Tuhannya.
Bahkan lebih jauh lagi A menyampaikan bahwa tradisi-tradisi yang
selama ini berjalan hanya takhyul dan cenderung musyrik (menyekutukan
Tuhan) sehingga harus dilakukan pembaharuan. Hal ini terungkap dalam
kutipan pernyataan A dalam FGD sebagai berikut :
“…tugon-tuhon iku jare, jare, jare terus…mbah-mbah riyen maringi penjelasan generasi selanjutnya mengikuti terus… (macam-macam kepercayaan itu adalah katanya, katanya dan katanya terus…orang tua dulu memberikan penjelasan dan generasi selanjutnya mengikuti terus)… namun sekarang masyarakat benar-benar sadar kaitannya dengan agama. Kaitannya dengan ajaran agama tentang pelanggaran, takhyul, musyrik, dan sebagainya… “ (Hasil FGD tanggal 22 Maret 2017)
Baik Sr maupun A mendapatkan pengetahuan mengenai ritual
kematian melalui kitab-kitab fikih yang dipelajari di pesantren di luar Desa
Pajeng. Sr dan A kedua-duanya berasal dari Kecamatan Temayang dan
menimba ilmu agama di pesantren yang berada di Temayang. Dengan
pengetahuannya mengenai agama Islam dan latar belakang pendidikan
pesantrennya tersebut, A dan Sr dianggap sebagai tokoh agama yang ada
di Dusunnya dan mereka berdua aktif mengembangkan Jamaah Tahlil
yang berada di Dusun Jiwo-Bulu.
117
3. Ritual Kematian sebagai Ruang Kepedulian Sosial
Selain untuk menghormati, mengekspresikan rasa cinta untuk
mendukung perjalanan menuju kehidupan yang lebih tinggi. Tradisi ritual
kematian juga memiliki tujuan sosial-kemasyarakatan. Seperti yang
dijelaskan dalam buku “Sajen dan Ritual Orang Jawa”, ritual kematian
merupakan salah satu tradisi yang adiluhung dan memiliki nilai besar bagi
terciptanya kebersamaan, gotong royong, guyub rukun, dan saling
menghargai sesama (Wahyana Giri: 2009).
Sejalan dengan hal tersebut, beberapa narasumber mengungkapkan
bahwa :
“…apabila ada orang yang meninggal, maka warga tidak ada yang bekerja di sawah, semua datang untuk membantu ritual kematian. Seperti gali makam, bikin penduso, tidak perlu ada yang memerintah, semua berjalan sendiri-sendiri, jadi yang bekerja semuanya guyub dan rukun semuanya” (Hasil wawancara dengan Pm tanggal 27 Maret 2017) “Sejak jaman dahulu, di sini apabila ada orang yang kesripahan itu warga tahu semua, tidak diperintah pun semua pada membantu gotong royong untuk mengurusi orang yang mati…” (Hasil wawancara dengan R tanggal 28 Maret 2017). “di Dukuh ini Jiwo dan Bulu, apabila ada orang yang meninggal, maka warga akan bergotong royong untuk mengurusi jenazah. Kerukunan warga dalam mengurusi orang yang meninggal di sini itu matoh (sangat bagus)” (Hasil Wawancara dengan Su tanggal 27 Maret 2017)
“…tradisi (ritual kematian) ini te lah membuat antar warga saling bantu-membantu. Orang yang berada dalam kesusahan akan diringankan bebannya. Bagi ahli waris dan sanak saudaranya, melalui tradisi ini bisa menjadi kesempatan untuk memberikan penghormatan bagi orang yang telah meninggal ” (Hasil wawancara dengan Sr tanggal 27 Maret 2017)
Pm dan R memaknai ritual kematian sebagai ruang kepedulian
sosial juga karena mereka memegang teguh ajaran dari orang tua dan
pendahulu-pendahulunya. Sebagai orang yang termasuk generasi tua di
118
Dusun Jiwo-Bulu, mereka berdua dianggap menjadi tokoh yang selalu
berupaya untuk menjaga dan melestarikan tradisi-tradisi yang ada di
Dusun Jiwo-Bulu.
Pm dikenal sebagai salah seorang murid dari Mbah Dukut yang
merupakan tokoh kejawen di masa lalu, sedangkan R adalah menantu dari
Mbah Dukut, sehingga kedua-duanya merasa memiliki tanggung jawab
sebagai penerus untuk melaksanakan dan melestarikan apa-apa yang telah
diajarkan oleh Mbah Dukut.
Pemaknaan ritual kematian sebagai ruang kepedulian sosial dapat
dikonfirmasi juga dengan observasi yang dilakukan oleh peneliti pada saat
peristiwa kematian Ag (salah seorang warga Dukuh Bulu). Peneliti
menyaksikan bagaimana keguyuban warga di Dukuh Bulu dalam
mengurusi kematian Ag. Baik tua maupun muda, laki-laki maupun
perempuan, semuanya membantu sesuai dengan kemampuan dan perannya
masing-masing.
Ruang kepedulian sosial dalam ritual kematian merupakan satu
keniscayaan bagi masyarakat Desa Pajeng dalam statusnya sebagai orang
Jawa yang dikenal merepresentasikan tradisi ketim uran yang selalu guyub,
rukun dan peduli satu sama lain. Begitu juga dalam ajaran agama Islam,
doktrin-doktrin mengenai kewajiban untuk peduli terhadap orang yang
kesusahan dan kemusibahan banyak tersebar baik dalam teks kitab suci
maupun hadits yang menjadi pegangan bagi para inisiator pembaharuan
ritual kematian dari kalangan tokoh-tokoh Islam seperti Sr dan A.
Dalam memaknai ritual kematian sebagai ruang kepedulian sosial,
Sr mengutip hadis nabi yang berbunyi ى من صابا عز م لھ Man azza“) أجره مثل ف
mushaban fa lahu mitslu ajrihi) yang artinya: barangsiapa yang bertakziah
kepada orang yang sedang tertimpa musibah, maka baginya mendapatkan
pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. Sr menyampaikan
bahwa kematian adalah satu satu bentuk kemusibahan, oleh karena itu
maka sudah menjadi sepatutnya sebagai muslim melakukan takziah
119
kepada orang yang meninggal terutama untuk memotivasi dan menghibur
sanak saudara orang yang telah ditinggalkan agar diberikan kesabaran.
4. Pergeseran Makna Ritual Kematian
Pada dasarnya seluruh narasumber yang diwawancarai memiliki
kesamaan dalam memaknakan ritual kematian sebagai bentuk kecintaan
dan penghargaan terhadap orang yang meninggal, makna sebagai bentuk
ketaatan kepada Tuhan YME, serta makna sebagai ruang sosial. Namun,
kesamaan makna tersebut bukan berarti meniadakan tafsir ulang terhadap
praktik ritual kematian yang senyatanya terjadi. Sebagian narasumber
terutama yang memiliki latar belakang sebagai pemegang kebijakan desa,
melihat adanya pergeseran makna dari ritual kematian. Mereka
menganggap bahwa selain bisa menjadi ruang untuk mengekspresikan
solidaritas sosial, namun, pelaksanaan ritual kematian ini juga
berimplikasi pada terjadinya proses pemiskinan. Bahkan, praktik ritual
kematian ini acapkali nenyebabkan terjadinya diskriminasi yang justru
bertolak belakang dengan intensi kepedulian, keguyuban dan
kegotongroyongan. Ritual kematian ini malah membuat mereka yang
susah dan miskin akan semakin terpuruk.
Terjadinya kemerosotan dan pergeseran makna atas praktik tradisi
slamentan kematian di Desa Pajeng ini terungkap dari pernyataan
narasumber T berikut:
“…wong sing duwe keluarga musibah iku kudu ngetokno duwek, siji kanggo ngurus mayit, dua kanggeh slametan, tiga kanggeh ggeh seren.. nek tiyang biyen ora duwe, nek mati susah wes nggak karuan… Nek wonten keluarga miskin melarat meninggal ya seperti itu, wong arep sugih ra sido perkoro iku… (orang yang keluarganya meninggal itu harus memiliki uang. Pertama untuk mengurusi jenazah, kedua untuk biaya slametan, ketiga untuk seren… dulu apabila keluarga yang orangnya meninggal itu adalah keuarga yang tidak punya, maka dia akan kesusahan tidak karuan. Keluarga yang miskin melarat ya akan kesusahan, tetapi kalau orang kaya yang meninggal maka tidak akan jadi masalah). (Hasil wawancara tanggal 18 Maret 2017)
120
Peneliti dapat memahami kegusaran dari T dalam melihat
fenomena ritual kematian sebagai sesuatu yang memiskinkan. T
merupakan mantan Kepala Desa Pajeng selama 16 tahun mempunyai
pengalaman panjang dalam membangun kesejahteraan warganya. Selain
itu, sebagai anak dari Kepala Desa sebelumnya (Mbah Lasman), T sudah
terbiasa dididik orang tuanya untuk ikut bertanggung jawab terhadap
warga di Desa Pajeng. Pola pendidikan dari Mbah Lasman terhadap T ini
diungkapkan oleh narasumber W yang juga merupakan anak dari T
sebagai berikut :
“…kalo ada masalah apapun, seperti ada orang yang mencuri, pasti saya ikut nimbrung. Walaupun saya tidak ikut ngomong tapi kan jadi tahu, oh ngene carane (begini caranya)… Bapak (T) juga seperti itu… T dulu juga menjadi Ketua Karang Taruna…akhirnya kan tampil di tiap pedukuhan. Kalo ada acara Agustusan akan terlibat dalam kegiatan penggalian dana sehingga akhirnya dikenal. T sering diminta juga oleh Mbah Lasman untuk mengurus masalah pemerintahan, kadang mendampingi warga juga T yang disuruh olah Mbah Lasman. Makanya yang sering tampil malah T… ”(Hasil wawancara dengan W pada tanggal 22 April 2017)
Pola pendidikan dari orang tua T, seperti yang disampaikan dalam
kutipan wawancara di atas, tentu saja telah membentuk T menjadi sosok
yang sangat peduli terhadap kondisi kemiskinan.
Informasi mengenai pergeseran makna ritual kematian ini juga
disampaikan oleh salah seorang narasumber dalam FGD sebagai berikut :
“…..keluarga orang yang meninggal diharuskan memiliki uang yang diperuntukkan untuk proses pengurusan jenazah; kenduri slametan; dan ketiga untuk pembagian seren. Hal ini bukanlah masalah bagi mereka yang kecukupan. Namun, bagi orang yang kekurangan, akan menambah kesusahan karena mereka harus menguras seluruh harta bendanya untuk menyelenggarakan rangkaian ritual kematian. Bahkan, mereka yang miskin harus berhutang demi untuk menyelenggarakan ritual kematian. Bagi yang tidak mampu malah terjerat hutang, tego larane ora tego patine. Ketika mboten mlebet wonten buku digunem… untuk mencukupi
121
usaha nipun ngutang atau pinjam...” (Hasil FGD tanggal 22 Maret 2017)
Dari kutipan hasil FGD di atas, dapat dibayangkan bagaimana
upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam menyelenggarakan ritual
kematian. Untuk mengetahui seberapa besar biaya yang dibutuhkan dalam
melakukan rotual kematian, peneliti menggali informasi dan
mengkalkulasi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh ahli waris dan keluarga
untuk menyelenggarakan rangkaian ritual kematian. Secara lebih rinci,
gambaran biaya untuk melaksanakan prosesi ritual kematian itu adalah
sebagai berikut:
Tabel 5.1 Rincian Biaya Penyelenggaraan Ritual Kematian
Ritual Kematian Perkiraan Biaya Keterangan
Biaya Seren Rp500.000,00 s.d.
Rp1.000.000,00
± 50 orang, @Rp10.000,00 – Rp20.000,00
Dana “Wajib” Rp300.000,00 s.d.
Rp500.000,00
± 30 orang, @Rp10.000,00 – Rp20.000,00
Mori Rp45.000,00 s.d.
Rp105.000,00
3 – 7 lembar, @Rp15.000,00 per lembar
Nisan/Patok Rp25.000,00 Kayu Blabak Rp180.000,00
s.d. Rp300.000,00
3 – 5 lembar @ Rp60.000,00
Sabun, minyak, kapas, perlengkapan nyuceni
Rp15.000,00 1 paket
Ayam Rp40.000,00 1 ekor Kambing Rp1.000.000,00.
s.d. Rp2.000.000,00
1 ekor
Sapi Rp8.000.000,00 s.d.
Rp12.000.000,00
1 ekor
Ambeng (50) paket Rp500.000,00 Konsumsi ± 50 orang @Rp10.000,00
122
Ngesur tanah Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Nelung dina Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Mitung dina Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Patang puluh dina Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Nyatus Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Mendhak Pisan Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Mendhak Pindo Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Nyewu Rp350.000,00 Konsumsi ± 50 orang @ Rp7.500,00
Total kebutuhan dana minimal
Rp13.405.000,00
Sumber: Diolah dari Data Penelitian
Biaya tersebut bervariasi tergantung jenis ternak yang disembelih
dan banyaknya makanan yang disediakan untuk para pelayat dan tahlil.
Besaran biaya inilah yang membuat ritual kematian dianggap sangat
memberatkan bagi orang yang tidak mampu. Berkaitan dengan hal ini, AP
menyampaikan bahwa :
“…bancakan itu nggak usah menyembelih yang terlalu. Jadi tidak menyusahkan keluarga orang yang meninggal… AW dulu memberikan pengertian kalau begini hukumnya begini, termasuk itu apa ya misalnya ‘bancakan’ itu kan hukumnya sunnah”(Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017) Selain dianggap memiskinan, praktik ritual kematian ini pun
diperparah dengan perlakuan masyarakat yang diskrimintif kepada orang
yang meninggal. Hal ini terungkap dari hasil wawancara sebagai berikut :
“Ketika sebelum ada Rukun Kematian, orang yang melayat kematian orang miskin bisa dihitung… Kirangan tiyang riyen, mungkin ada perbedaaan status… Ciloko kalau jadi orang miskin, sing layat sedikit, karena serennya pasti sedikit juga” (Hasil FGD, 22 Maret 2017)
123
“Sebelum tahun 1989 orang yang tidak mampu sangat kasihan, tidak ada yang memperhatikan, bahkan yang melayat pun sedikit karena serennya sedikit…. …kalau ada yang meninggal orang miskin, yang datang harus diperintah oleh perangkat. Salah satu contoh adalah ketika ketika melayat ke Mbah Rusm ini, beliau adalah salah seorang yang keluarganya tidak mampu” (Hasil wawancara dengan Th tanggal 27 Maret 2017)
Status sosial-ekonomi orang yang meninggal akan menentukan
tingkat kehadiran masyarakat untuk melayat. Masyarakat enggan datang
melayat jika yang meninggal dunia berasal dari keluarga miskin.
Penyebabnya adalah uang seren yang didapatkan akan kecil dan tidak akan
mendapatkan sajian makanan yang enak. Sebaliknya, jika yang meninggal
dari keluarga kaya, akan lebih banyak anggota masyarakat yang melayat.
Hal ini terjadi karena mereka akan mendapatkan uang lebih besar dan juga
makanan yang lebih enak. Bagi sebagian warga, makna ritual kematian
pada dimensi sosial budaya yang pada awalnya sebagai sarana untuk
membangun solidaritas sosial kepada keluarga orang yang meninggal,
ternyata telah bergeser menjadi kewajiban sosial yang memiskinkan dan
diskriminatif. Sehingga muncul pemaknaan dari sebagian warga bahwa
ritual kematian merupakan tradisi yang memiskinkan dan diskriminatif.
Narasumber T juga juga menyoroti mengenai perlakuan
diskriminatif warga dalam memperlakukan orang yang meninggal.
Menurut penuturan beberapa narasumber, terdapat perbedaan perlakuan
yang sangat jelas dari warga terhadap orang meninggal yang kekurangan.
Narasumber T menyampaikan bahwa:
“…lho kita ini kok jelek, orang m iskin tidak diperhatikan… kita ini kok modelnya tidak rukun, tidak hormat… ketika yang meninggal miskin tidak dihormati, tapi kalau yang meninggal kaya dihormati, berarti ini tidak adil.“ (Hasil wawancara tanggal 19 Maret 2017)
Dalam kesempatan yang lain, peneliti juga mendapatkan informasi
dari narasumber P, bahwa inisiator T pernah menyampaikan sebagai
berikut:
124
“…lah kalau begini gimana rakyatku, kasihan kan orang yang tidak punya itu hanya potong ayam dan orang yang datang melayat hanya beberapa orang saja…, tetapi kalau yang meninggal termasuk orang kaya dan menyembelih sapi, maka orang yang datang melayat pasti banyak…, di situ itu kan ada perbedaan milih orang kaya dengan orang miskin…” (Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017)
Implikasi dari perilaku diskriminatif ini adalah merosotnya inisiatif
warga dalam kepedulian sosial, keguyuban dan kegotongroyongan dalam
membantu prosesi pengurusan kematian bagi keluarga yang miskin.
Bahkan untuk sekedar melayat pun harus diperintah oleh Kepala Dusun.
Hal ini disampaikan oleh narasumber AP:
“…setiap ada fakir miskin yang meninggal, maka orang yang melakukan takziah dan yang mengali kubur itu kurang sekali, sangat minim sekali. Akhirnya saya sebagai pamong yang harus mencari orang… mrintah (memberikan perintah) istilahnya. (Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017) Praktik ritual kematian yang memiskinkan dan perilaku
diskriminatif dari warga ini acap kali terjadi pada masa sebelum tahun
1989 terutama di Dusun Dodol dan Dusun Pajeng. Hal inilah yang
akhirnya menggugah perhatian para inisiator baik dari kalangan pamong
maupun kalangan tokoh-tokoh agama di Desa Pajeng untuk melakukan
pembaharuan ritual kematian.
Berdasarkan hal di atas tersebut, peneliti mengidentifikasi dua dimensi
dalam pemaknaan ritual kematian. Pertama, dimensi personal-transendental.
Dalam dimensi ini, masyarakat Desa Pajeng memaknai ritual kematian
sebagai media untuk memberikan penghormatan dan tanda cinta kepada orang
yang meninggal serta doa untuk lapangnya jalan menuju ke alam kehidupan
yang lebih tinggi, serta ketaatan terhadap Tuhan YME. Uborampe yang ada
dalam ritual kematian tersebut merupakan manifestasi simbolik yang
menggambarkan intensi personal dan transedental. Kedua, dimensi sosial-
resiprokal. Ritual Kematian merupakan ruang untuk mengekspresikan
125
kepedulian sosial bagi warga masyarakat terhadap keluarga yang
ditinggalkannya.
C. Menyingkap Nilai-nilai Kebajikan Sosial
Tafsir ulang atas praktik ritual kematian seperti yang dijelaskan dalam
bab sebelumnya bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Terdapat preferensi nilai
dari para narasumber yang melatarbelakanginya. Bagian ini merupakan
paparan tentang preferensi te lah mendasari para narasumber tersebut, sehingga
muncul tafsir ulang nilai-nilai kebajikan sosial serta pembaharuan ritual
kematian.
1. Kepedulian, Non-diskriminatif dan Keguyuban
Berdasarkan refleksi a tas pergeseran makna ritual kematian
sebagaimana diuraikan di atas, narasum ber menyampaikan terdapat
urgensi untuk merevitalisasi nilai kebajikan sosial yang dapat
memperbaharui dan atau merevitalisasi praktik ritual kematian ke arah
yang lebih baik. Formulasi nilai kebajikan itu terungkap dalam pernyataan
T sebagai berikut:
“…nek bantu liyan sesuk uripe arep digampangke….awake dhewe kabeh ikut mung antri mati…..…nek pengen agamamu kepercayaanmu disenengi wong, yo awakmu ngregani lingkungan utowo agama liyo…”(kalau membantu orang lain, maka besok hidupnya akan dipermudah. Kita semua itu cuma antri untuk meninggal... kalau ingin agama dan kepercayaanmu disenangi dan dihargai orang lain, maka kamu juga harus menghargai lingkungan dan agama orang lain…) (Wawancara tanggal 20 Maret 2017)
Ungkapan di atas mencerminkan bahwa nilai kebajikan yang ingin
dilembagakan dalam pembaharuan ritual kematian adalah kepedulian
dalam membantu orang yang kesusahan serta “ngregani” (saling
menghargai) lingkungan dan agama yang lain. Nilai kebajikan untuk
“ngregani lingkungan utowo agama liyo” inilah yang menjadi gagasan
dari sebagian inisiator untuk membuat ritual kematian menjadi lebih
126
inklusif tanpa menonjolkan identitas keagamaan tertentu. Hal ini juga
tercermin dalam ungkapan partisipan FGD sebagai berikut:
“…Mbah T kan termasuk nasionalis pak, biasanya pembicaraan musrik dari kyai mungkin itu juga punya latar belakang yang kuat. Namun ketika para pendiri termasuk MbahTar menyampaikan bukan dengan bahasa musrik atau tidak musrik, kepedulian sama, maka itu bisa menjadi penawar, termasuk juga tetap menghargai yang disakralkan, dan untuk menetralkan sedikit demi sedikit… kalau pakai agama harusnya Rukun Kematian Islam, tapi di sini justru tidak menggunakan istilah Rukun Kematian Islam…” “Pakai dalil tidak, justru kepedulian harus dibangun melalui Rukun Kematian….pernah ada kejadian keluarga yang tidak setuju, tapi teman-teman pengurus Rukun Kematian tetap melakukan takziah untuk menghormati seperti biasanya, walaupun pihak keluarga menentang. Hal tersebut membuktikan bahwa kita te tap menghormati dari Rukun Kematian sebagai dasar kepedulian”. (FGD tanggal 22 Maret 2017) Bagi para inisiator yang memiliki latar belakang sebagai aparatur,
rasa tanggung jawab untuk mengayomi, melayani dan mensejahterakan
seluruh warga yang dipimpinnya tanpa membedakan status sosial dan
agama merupakan sebuah tuntutan yang harus dimaterilaisasikan dalam
setiap kebijakannya. Selain itu, kepentingan yang sifatnya praktis dalam
pengurusan warga yang meninggal juga menjadi salah dasar bagi para
inisiator dari kalangan aparatur ini untuk merevitalisasi nilai kebajikan
sosial melalui pembaharuan ritual kematian.
Urgensi dari revitalisasi nilai kebajikan sosial berupa kepedulian,
nondiskriminatif dan keguyuban ini tercermin dari ungkapan-ungkapan
narasumber dari kalangan aparat desa yang mengeluhkan tentang
miskinnya inisiatif warga dalam mengurusi kematian. Tidak adanya
pembagian peran dan tanggung jawab warga yang dilembagakan untuk
mengurusi kematian ini berimplikasi langsung pada bertambahnya
“kerepotan” aparat desa untuk mengurusi kematian warganya.
Oleh karena itu, para inisiator yang terutama berasal dari aparat-
aparat desa merasa perlu untuk memperjuangkan nilai kebajikan sosial
127
dalam pembaharuan ritual kematian berupa kepedulian, non-
diskriminatif, dan keguyuban.
2. Tanggung Jawab Kolektif dan Harmoni
Jika tafsir ulang ritual kematian dari sebagian inisiator yang
berlatar belakang sebagai aparat desa dilandasi nilai kebajikan sosial yang
dibingkai oleh spirit keadilan, kesetaraan, non-diskriminasi, dan
kegotongroyongan, sebagian inisiator yang merupakan tokoh agama Islam
berpandangan bahwa ritual kematian ini perlu diperbaharui karena tidak
sejalan dengan tata cara yang diatur dalam agama Islam. A dari Dukuh
Bulu menyampaikan sebagai berikut:
“…kita itu tanggung jawabnya membenarkan tata caranya dalam mengurusi jenazah. Kalau di Islam disebut fardlu kifayah… Nah, dengan pertimbangan itu, seperti yang dicontohkan dalam proses nyuceni, akhirnya kita sepakat untuk memperbaiki cara nyuceni dengan membelikan tong yang dari plastik yang berukuran 130 Liter sebanyak dua buah. Jadi kalau terdapat dua buah tong kan totalnya 260 Liter. Itu sudah lebih dari dua kolah, sehingga usaha kita untuk memperbaiki syarat dari untuk memandikan mayat itu sudah terpenuhi… (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Selain itu, pengurusan kematian dalam Ritual Kematian adalah
fardlu kifayah, artinya kewajiban dalam pengurusan kematian orang Islam
merupakan kewajiban yang sifatnya kolektif. Semua orang akan berdosa
apabila tidak ada seorangpun yang berinisiatif mengurusi kematian sesuai
dengan tuntunan Islam. Dosa kolektif ini akan gugur tatkala ada orang
atau kelompok yang berinisiatif untuk melakukan pengurusan kematian
berdasarkan tata cara yang sesuai dengan tuntunan Islam. Pemahaman
mengenai kewajiban kolektif inilah yang mendorong nilai kebaikan sosial
berupa tanggung jawab untuk mengurusi ritual kematian berdasarkan
nilai-nilai yang lebih Islami.
Namun dalam melakukan perubahan terhadap tradisi yang
dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman tersebut, mereka
menyadari bahwa hal itu harus dilakukan secara pelan-pelan dan tetap
128
menghargai tradisi yang telah berjalan. Hal ini disampaikan oleh
narasumber Y sebagai berikut:
“…Islam masuk di sini kan sepertinya masih banyak budaya-budaya Jawa… sedikit demi sedikit kita merubah tradisi dengan keislaman… dan Alhamdulillah hasilnya kita bangga dan kita ikhlas, dan lama-lama Insya Allah akan berhasil….” (Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Dalam mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman tersebut, sebagian
inisiator ini berpegang pada kaidah “al-muhafadhotu ‘ala qadimi al-
shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (melestarikan nilai-nilai lama
yang masih relevan dan menyesuaikan dengan nilai-nilai baru yang lebih
baik), untuk melakukan kompromi dengan para tokoh pemegang tradisi. A
menyampaikan sebagai berikut :
“…Zaman biyen piye ngomonge, tembung gogon tuhon nek dulu itu tradisinya ngoten niku,( zaman dulu itu orang berbicara bahwa macam-macam kepercayaan tradisinya memang sudah begitu), kita tidak termasuk generasi dulu itu, kita generasi muda, dan kita ini berusaha untuk memperbaiki yang tidak selaras dengan tuntunan agama. Dalilnya al-muhafadhotu ‘ala qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah… lah kita juga belum ngerti tenan (mengerti betul) berusaha untuk lebih baik kan? program pemerintah kan untuk menuju masyarakat Bojonegoro yang sehat, cerdas, produktif dan bahagia. Kalimat cerdas itu yang kita realisasikan di dalam masyarakat dalam meluruskan ajaran tata cara slametan kematian…”(Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
Kutipan wawancara di atas dikuatkan juga dengan tindakan yang
dilakukan oleh inisiator dari Dukuh Jiwo sebagai mana diungkapkan oleh
Su:
“…aku juga ingin supaya keislaman itu ada. Begini lo mas, Islamnya berjalan dan adat istiadatnya juga berjalan. Contohnya, meskipun Sr ini tokoh agama, ketika ada seperti penanaman padi mengikuti adat disini mas, tidak menentang ataupun melarang ini tidak boleh, beliau tidak seperti itu…”(Hasil wawancara tanggal 25 Maret 2017)
129
Kutipan wawancara di atas menggambarkan bagaimana upaya
untuk melakukan penyelarasan ajaran Islam terhadap praktik-praktik yang
sudah menjadi tradisi dilakukan oleh sebagian inisiator yang berasal dari
kalangan tokoh agama Islam dilakukan dengan mempertimbangkan
keharmonisan. Begitupun dalam ritual kematian, nilai kebajikan sosial
berupa harmoni menjadi salah satu pijakan dalam melakukan
pembaharuan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagian inisiator
pembaharuan ritual kematian terutama yang memiliki latar belakang
sebagai tokoh agama Islam memandang perlunya revitalisasi nilai
kebajikan sosial berupa tanggung jawab kolektif dan harmoni dalam
pembaharuan ritual kematian.
3. Penghormatan terhadap Ajaran Leluhur, Kepedulian dan
Kegotongroyongan
Berbeda dengan kedua pihak inisiator di atas, bagi para pemegang
tradisi kejawen, ritual kematian merupakan ajaran turun-temurun yang
telah diwariskan nenek moyang dan leluhurnya. Sinyalemen terjadinya
pergeseran dan ketidaksesuaian ritual kematian yang ditenggarai oleh para
inisiator pembaharuan ritual kematian bukanlah disebabkan karena adanya
ritual, namun karena manusianya sendiri. Perilaku diskrim inatif warga
yang dinyatakan oleh para inisiator tidak terjadi di seluruh wilayah Desa
Pajeng. Perlakuan diskriminatif tersebut dibantah oleh Pm dengan
pernyataan sebagai berikut:
“perbedaan antara Bulu dengan Pajeng adalah apabila ada orang yang meninggal, maka di Bulu orang-orang yang bekerja di sawah akan berhenti untuk membantu keluarga orang yang meninggal. Tetapi kalau di Desa Pajeng atau Dodol, kalau ada yang meninggal, orang bekerja ya tetap bekerja…jadi sebenarnya kalau untuk keguyuban dalam proses kematian, dari dulu sebelum terbentuknya Rukun Kematian ya sudah guyub. Jadi di Dusun ini ndak usah ada Rukun Kematian pun sudah guyub…” (Hasil wawancara tanggal 25 Maret 2017)
130
Dalam perspektif para pemegang tradisi kejawen, tidaklah penting
membuat penafsiran nilai-nilai kebajikan baru tentang bagaimana
seharusnya tradisi kematian dilaksanakan. Selain karena kondisi di Dusun
Jiwo-Bulu yang berbeda dengan dusun lainnya di Desa Pajeng, mereka
menganggap bahwa apa yang sudah dilaksanakan oleh leluhur-leluhur
terdahulu pasti memiliki maksud kebaikan bagi masyarakat di Dusun
Jiwo-Bulu. Dalam pemahaman mereka memang sudah seharusnya para
ahli waris dan keluarga orang yang meninggal berbuat kebaikan untuk
orang-orang yang sudah meninggal.
Selain berbicara mengenai keguyuban dan kegotongroyongan
dalam ritual kematian, mereka juga memandang bahwa sebenarnya
perbedaan tata cara antara Islam dan Jawa tidak lantas membuat tujuannya
berbeda. Pada hakikatnya ritual kematian ini semuanya bermuara pada
tujuan yang sama, yakni untuk menghormati dan mencintai arwah orang
yang sudah meninggal dengan cara berdoa dan melaksanakan ritual-ritual
agar arwah orang yang meninggal bisa hidup tenteram-damai di alam
keabadian menuju Sang Pencipta. Melalui tradisi Jawa ini, masyarakat
akan lebih mudah memahami, daripada dengan cara-cara Islam yang
menggunakan bahasa arab. Berikut pernyataan dari R:
“Menurut Islam,yang hadir itukan malaikat… ajaran leluhur kita kalau Jawa itu sedulur papat limo pancer… tujuannya sama hanya kata-kata yang berbeda. Saya membaca Alfatikah bisa, tapi kan kurang pas karena tidak tahu artinya. Berbeda dengan menggunakan bahasa leluhur yang kita mengerti bisa ada rasa lega, selain itu juga hal itu sama dengan menghormati leluhur kita…” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017) Apa yang disampaikan oleh R mengenai sedulur papat limo
pancer merupakan merupakan ajaran dari Kejawen yang membahas
tentang adanya malaikat pendamping hidup manusia. Dalam buku Sajen &
Ritual Orang Jawa, disebutkan bahwa secara turun temurun orang Jawa
sangat lekat dengan kepercayaan bahwa setiap orang memiliki empat
131
pendamping gaib yang berada di empat penjuru mata angin atau biasa
disebut dengan sedulur papat limo pancer (Wahyana Giri, 2010). Dalam
Serat Kidungan Purwojati, penjelasan mengenai sedulur papat limo
pancer ditulis sebagai berikut:
“Ana kidung ing kadang Marmati, amung tuwuh ing kuwasanira, nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku kang rumeksa ing awak mami, anekakake sedya ing kuwasanipun, Adhi Ari-Ari ingkang memayungi laku kuwasanireki angenakken pangarah, Ponang Getih ing rahina wengi ngrerewangi ulah kang kuwasa andadekaken karsane, Puser kuwasanipun nguyu-uyu sabawa mami, nuruti ing panedha kuwasanireku jangkep kadang ingsun, papat kalimane wus dadi Pancer saw iji tunggal sawujud ingwang. Yeku kadang ingsung kang umijil, saking marga ina sareng samya, sadino awor enggone, sakawan kadang ingsun, ingkang nora umijil saking, marga ina punika, kumpule lan ingsun, dadya makdum sarpin sira,wewayangan in dat samya dadya kanti, saparan datan pisah.” Pada kidung tersebut dijelaskan bahwa “saudara empat” itu adalah
Marmati, Kawah, Ari-ari, dan Darah, yang semuanya berpusat di Pusar
(PISS KTB, 2015). Disebut Marmati, karena berasal dari kata samar dan
mati (samar mati: takut mati), umumnya pada saat hendak melahirkan si
ibu akan merasa khawatir yang sangat, sehingga pikirannya diibaratkan
samar mati, kejadian ini berasal dari daya anasir angin. Rasa khawatir ini
hadir paling dahulu sebelum keluarnya saudara-saudara yang lain. Oleh
karena itu rasa samar mati lalu dianggrap sebagai sadulur tuwa (saudara
tua). Selanjutnya Kakang Kawah, pada saat melahirkan yang keluar
terlebih dahulu adalah Air Kawah (Air Ketuban) dengan demikian Kawah
lantas dianggap juga sebagai saudara tua yang biasa disebut Kakang
Kawah yang berasal dari daya anasir air. Adhi Ari-Ari, setelah bayi lahir
barulah keluar Ari-ari (placenta). Karena Ari-ari keluar setelah bayi lahir,
maka disebut sebagai sedulur enom (saudara muda) dan dinamakan
sebagai Adhi Ari-Ari. yang melambangkan daya dari anasir tanah. Ponang
132
Getih atau Rah, darah yang keluar pada persalinan (darah nifas)
merupakan perwujudan dari daya anasir api. Puser (udel) atau Pancer, tali
pusar bayi yang umumnya gugur (Pupak) ketika bayi sudah berumur tujuh
hari. Tali pusar yang copot dari pusar juga diangggap sebagai saudara
bayi. Pusar ini dianggao sebagai pusatnya saudara empat. Pusar atau
Pancer sering diidentikan dengan jiwa, sukma sejati, atau nurani yang
telah menyatu dengan diri kita. Karena posisi pancer berada ditengah dan
diapit oleh empat saudaranya di empat arah mata angin, maka dari sanalah
muncul istilah ‘Sedulur papat lima pancer’.
Sedulur papat limo pancer ini juga dikenal dengan sedulur keblat
papat, yaitu saudara yang selalu menjaga dan berada di empat penjuru
arah mata angin. Di sebelah timur bernama Retna Dumilah yang
merupakan perlambang kebijaksanaan, di sebelah selatan bernama
Bambang Bunar Buwana sebagai perlambang kesehatan, di sebelah barat
bernama Kencana Remeng sebagai perlambang rejeki, dan sebelah utara
bernama Srikolem sebagai perlambang kebahagiaan.
Setelah agama Islam masuk, kepercayaan sedulur papat limo
pancer ini la lu disesuaikan dengan ajaran Islam dan diisi dengan istilah-
istilah Arab oleh para Wali penyebar ajaran Islam, seperti: Amarah,
manusia yang hanya mengutamakan nafsu amarah saja, tentulah tidak akan
tentram; Supiyah, yaitu nafsu keindahan dimana manusia itu umumnya
senang dengan hal hal yang bersifat keindahan; Aluamah, yakni nafsu
serakah, dimana manusia pada dasarnya mempunyai rasa serakah,
Mutmainah, yakni keutamaan, walaupun nafsu ini merupakan kebajikan,
namun bila melebihi batas, tentu saja tetap tidak baik.
Kepercayaan inilah yang dimaksudkan oleh R bahwa sebetulnya
tradisi Jawa memiliki hakikat yang sama dengan agama Islam. Namun
bagi penganut Kejawen akan merasa lebih nyaman dengan tata cara yang
selama ini dilakukan berdasarkan ajaran turun temurun dari leluhurnya.
Hal ini dikarenakan mereka lebih memahami dan bisa mengerti arti dari
apa yang dilakukan dan diucapkan. Berdasarkan pemahaman tersebut,
133
maka nilai kebajikan sosial yang diperjuangkan oleh para pemegang
tradisi kejawen ini adalah penghormatan terhadap ajaran leluhur,
kepedulian dan kegotongroyongan.
Formulasi dari nilai-nilai kebajikan sosial di atas dapat dilihat
dalam tabel berikut :
Tabel 5.2 Formulasi Nilai-Nilai kebajikan sosial
Informan Kunci
Sumber Pemaknaan
Dimensi Makna Reinterpretasi
Makna
Nilai Kebajikan Sosial yang Ditawarkan
Personal-Transedental
Sosial-Resiprokal
R, Pm Ajaran orang tua dan leluhur tentang tanggung jawab sebagai pamong
Tanda cinta dan penghargaan terhadap orang meninggal
Ruang Kepedulian Sosial
Solidaritas sosial
- Menghormati ajaran leluhur
- Kegotongroyongan
Sr, A Doktrin keagamaan yang didapatkan dari pendidikan pesantren
Wujud Ketaatan terhadap Tuhan YME
Ruang Kepedulian Sosial
Tidak sesuai dengan tata cara dan ajaran Islam
- Kewajiban Kolektif (Fardlu Kifayah)
- Harmoni (“al-muhafadhotu ‘ala qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”)
T, AP Ajaran orang tua dan nenek moyang yang diajarkan turun-temurun
Tanda cinta dan penghargaan terhadap orang meninggal
Ruang Kepedulian Sosial
Memiskinkan Diskriminatif
- Kepedulian, - Non-
diskriminatif - keguyuban
Nilai-nilai kebajikan sosial di atas, selanjutnya menjadi dasar bagi
para inisiator dalam melakukan pembaharuan ritual kematian melalui
pembentukan Rukun Kematian. Ketiga nilai kebijakan sosial ini
berdialektika dalam ruang publik menjadi diskursus yang menentukan
corak kelompok Rukun Kematian.
134
BAB VI RUKUN KEMATIAN:
KEBAJIKAN SOSIAL DAN RUANG PUBLIK
Bab VI ini menguraikan mengenai diskursus kebajikan sosial yang terjadi
dalam pembentukan Rukun Kematian; pro kontra mengenai pembentukan Rukun
Kematian; dialektika konstruksi sosial Rukun Kematian yang meliputi momen
eksternalisasi, momen objektivasi dan momen internalisasi; ruang publik dalam
pembentukan Rukun Kematian; serta pelembagaan dan implikasi Rukun
Kematian.
A. Diskursus Kebajikan Sosial
1. Proses Pembentukan Rukun Kematian
Peneliti berhasil mendapatkan data dan fakta mengenai riwayat
yang runtut dan logis dalam proses pembentukan Rukun Kematian di Desa
Pajeng, meskipun pada awalnya menemukan kesimpangsiuran. Riwayat
ini peneliti dapatkan melalui wawancara mendalam dengan dengan AP, T,
AR, SK , R, Pm, dan W .
Penelusuran riwayat pembentukan Rukun Kematian dimulai ketika
peneliti menangkap adanya kegusaran salah satu informan kunci bernama
AP. Saat itu peneliti sedang melakukan konfirmasi mengenai informasi
riwayat pembentukan Rukun Kematian didapatkan dari T . Sikap yang
ditunjukkan oleh AP tersebut membuat peneliti terusik untuk mencari tahu
riwayat pembentukan Rukun Kematian yang sebenarnya.
Penelusuran diawali dengan mewawancarai AP di rumahnya pada
sore hari tanggal 28 Maret 2017. Dalam wawancara tersebut AP
menyayangkan terjadinya klaim oleh T dan Sy sebagai inisiator dari
Rukun Kematian. Dengan nada yang menyiratkan kekecewaan, AP
menyampaikan bahwa:
“…ketika Pak Bupati datang ke Pajeng, waktu itu AW sebetulnya masih hidup. Tapi karena enggak sempat memanggil AW dan saya, akhirnya diwakili oleh T sama Sy, dan dilaporkan sama pak Bupati bahwa yang membentuk Rukun Kematian itu mereka… malah AW pada saat itu agak nggremeng istilahnya (menggerutu), kenapa enggak mau
135
manggil saya? padahal yang punya ide kan saya dan AW dulu itu…”(Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Selanjutnya AP mengungkapkan kepada peneliti mengenai
inisiator awal dari Rukun Kematian :
“Sebenarnya Rukun Kematian itu saya yang membentuk bersama-sama dengan keponakan saya yang bernama AW , sekarang keponakan saya itu sudah meninggal… “. (Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017) Pernyataan AP ini sejalan dengan jawaban dari Ta ketika peneliti
bertanya mengenai siapa yang memiliki inisiatif pertama kali dalam
membentuk Rukun Kematian :
“…(Rukun Kematian) itu inisiatifnya dari pak Kasun AP sekarang mantan..” (Hasil wawancara 28 Maret 2017)
Kepada peneliti, AP menyampaikan bahwa inisiatif AP dan AW
membentuk Rukun Kematian terjadi setelah peristiwa kematian warga
bernama Rusmini, seorang janda miskin yang tidak mempunyai anak. AP
merasakan bagaimana kurangnya inisiatif dan perhatian warga terhadap
pengurusan jenazah. Rusmini. AP yang waktu itu menjadi kepala dusun,
harus mencari orang untuk mengurus jenazah Rusmini. Bahkan sekedar
untuk melayat pun, ia harus memerintahkan warganya. AP
mengungkapkan:
“Sebelum ada Rukun Kematian, apabila ada orang yang meninggal, maka saya sebagai pamong harus mencari orang, dan memerintah untuk mengurusi jenazah… Awal-awalnya begitu, setiap ada orang yang miskin selalu begitu… Yang terakhir kalinya itu, ada orang yang namanya Rusm ini, janda yang enggak punya sama sekali, orang itu rumahnya sangat miskin, saya harus memberikan perintah dan mencari orang untuk takziah, untuk nyuceni (memandikan) sama menggali kubur… ” (Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Informasi yang didapatkan dari AP tersebut dibenarkan oleh Ta
sebagai berikut:
“Kalau menggali informasi tentang rukun kematian itu, awal gagasan ide rukun kematian muncul setelah meninggalnya Mbah Rusmini yang rumahnya kecil… kejadiannya itu
136
terjadi pada tahun 1989. Saat itu orang yang tidak mampu sangat kasihan, tidak ada yang memperhatikan. Kita dulu kalau ada yang meninggal harus diperintah oleh perangkat. Salah satu contoh ketika ketika melayat ke Mbah Rusmini, beliau orang yang tidak mampu… (Hasil wawancara tanggal 26 Maret 2017)
Selain karena peristiwa kematian Rusmini, inisiatif yang muncul
dari AP untuk membentuk Rukun Kematian juga ditengarai karena
seringnya aparat desa dimarahi oleh Kepala Desa L . Hal ini terungkap dari
wawancara dengan W sebagai berikut :
“Saya inget dulu dibilangi mbah L itu gini,…mosok mbien lek onok wong mati kudu diomongi sek,…eh iku onok wong mati, ndang ngelayato ke Mbah Bayan. Wong onok wong mati kok leren diperintahi (dulu kalau ada orang yang meninggal harus diperintah terlebih dahulu: heh, itu ada orang yang meninggal, ayo kita melayat… ada orang meninggal kok harus diperintah)… jadi seperti pak AP kan juga kasunnya dulu, Kasun Dodol langsung dimarahi. Ada warga yang meninggal kok jek podo gak mentingno (pada tidak merasa hal yang penting), kasarane ndak merhatikan (kasarnya tidak diperhatikan), tidak memperdulikan, mesti diperintah dan disuruh agar mau melayat …”(Hasil wawancara tanggal 22 April 2017) Setelah peristiwa meninggalnya Rusmini tersebut, AP menemui
AW dan berdiskusi mengenai kemungkinan pembentukan Rukun
Kematian. Hal ini diceritakan oleh AP :
“Akhirnya sore-sore saya ketemu sama A, gimana Le, orang tadi yang meninggal itu? Ketidakpedulian orang kepada orang miskin masih sama saja dengan orang yang meninggal dulu-dulu yang miskin-miskin itu, perlu dibentuk rukun kematian atau gimana? Itu kan pengalaman AW itu, asalnya dari Temayang…” (Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017) AW dianggap memiliki pengalaman dalam membentuk Rukun
Kematian, karena sebelum pindah ke Desa Pajeng, AW pernah menjadi
pengurus RK di Temayang dan di Soko. Mengenai pengalaman AW ini
ditegaskan juga oleh istrinya, SK dalam kutipan wawancara sebagai
berikut:
137
“…sebelumnya kita ada di Soko kemudian datang ke sini tahun 1975, asal bapak kan dari Temayang pak… dulunya bapak itu juga sudah melakukan kumpulan kematian di Temayang sana… tapi di sana tidak berjalan, kemudian pindah ke sini dan bisa berjalan” (Hasil wawancara taggal 29 Maret 2017)
Setelah dilakukan diskusi, lalu AP dan AW menemui SH dan L
sebagai Kepala Desa Pajeng untuk meminta dukungan pembentukan
Rukun Kematian. Setelah pertemuan tersebut SH mengintruksikan agar
segera dibentuk Rukun Kematian. Intruksi dari SH ini dikonfirmasi oleh
SK :
“… saat itu SH bilang, bagaimanapun caranya Rukun Kematian harus jadi.. SH itu orang tegas, kalau dia sudah perintah, maka apapun perintahnya harus dilaksanakan…” (Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
Selanjutnya atas intruksi dari SH , dilakukanlah pertemuan untuk
membentuk RK Dusun Dodol (Brendo) di rumah AP. Pertemuan tersebut
terjadi 5 hari setelah kematian Rusmini, dan dihadiri oleh perwakilan dari
5 RT untuk membentuk RK di Dusun Dodol (Brendo). Setiap RT diwakili
oleh 10 orang mewakili lingkungannya. Proses pertemuan tersebut
disampaikan oleh AP sebagai berikut:
Setelah lima hari dari kematian Mbah Rusmini, sebanyak lima RT saya kumpulkan disini, lalu terbentuklah Rukun Kematian itu. Awalnya di sini lima RT untuk satu kelompok Rukun Kematian. Lalu ketika di sini sudah terbentuk, kok tertata baik…, setelah itu lalu sebelah utara sana, Dukuh Dodol saya bentuk lagi, terus Dukuh Tegalan sana secara bertahap…”(Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Ta menyampaikan juga hal yang sama berkaitan dengan peran dari
AW , SH , AP dalam pembentukan Rukun Kematian. Ta menjelaskan
bahwa:
”…terbentuknya Rukun Kematian itu peran dari AP, AW itu tokoh NU itu menantunya mbah SH , termasuk mertua saya tokoh agama. Berdirinya Rukun Kematian berawal dari tokoh agama, pamong, tokoh masyarakat…” (Hasil wawancara tanggal 26 Maret 2017)
138
Setelah terbentuk RK I di Dodol Brendo pertama kali pada tahun
1989, baru kemudian dilakukan inisiasi di dukuh-dukuh yang lain dengan
tokoh-tokoh yang terlibat aktif dalam mensosialisasikan Rukun Kematian
seperti: T , Sy, Zulfatoni, Sukahar dan lain-lain. Secara berturut-turut
terbentuklah RK II Dodol Ledok pada tahun 1989 dan RK III di Dodol
Tegalan pada tahun 1990.
Mekanisme pelembagaan RK dimulai dengan melakukan
penarikan iuran kematian kepada warga dan mengadakan pertemuan-
pertemuan rutin untuk membahas RK. Berkaitan dengan penarikan iuran
warga, AP mengungkapkan bahwa:
“iuran kematian itu Kalau dulu pertama itu urunan setiap KK itu Rp1.000,- pada waktu itu, lalu seterusnya membayar iuran setiap bulan itu Rp100,- … ” (Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Terkait dengan pertemuan-pertemuan dalam membahas
pembentukan Rukun Kematian, AP menjelaskan:
“…pertama, setiap bulan mengumpulkan orang untuk membahas tentang takziah, membahas juga kuburan agar jangan sampai keluarga orang yang meninggal membikin kijing di pemakaman, kan dilarang itu. Termasuk juga membahas kebutuhan-kebutuhan untuk Rukun Kematian, serta membahas bagaimana caranya agar kalau ada orang yang meninggal itu orang bisa cepat berkumpul. Jadi tetangga itu dianjurkan agar setiap ada halo-halo (pengumuman kematian) kan diumumkan lewat speaker, setiap ada pengumuman dimana saja dianjurkan untuk pulang…”(Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017).
Uang yang terkumpul dari iuran kematian inilah yang kemudian
menjadi modal awal bagi pengurus Rukun Kematian untuk menyediakan
segala macam kebutuhan berkaitan dengan pengurusan kematian.
Langkah selanjutnya, pengurus Rukun Kematian mulai mencatatkan juga
sumbangan-sumbangan takziah yang sifatnya individual langsung kepada
orang yang meninggal menjadi sumbangan yang sifatnya kolektif dengan
dikoordinir oleh Rukun Kematian, bahkan dilakukan penarikan kas Rukun
139
Kematian dari prosentase sumbangan yang awalnya bersifat individual
tersebut. Hal ini terungkap dalam FGD:
“… siapa saja orang-orang yang mengubah atau meyakinkan nek saiki mbantu, sok dibantu karo liyan, duwit dicatet biar pertanggungjawabane jelas. (siapa pun yang mau menyumbang uang, maka yang lain ikut membantu mencatatkan, uang dicatat agar pertanggungjawabannya jelas). Tokoh masyarakat, tokoh agama yang mampu menetralkan suasana. Dulu seolah-olah orang mati itu menakutkan anak kecil, orang takziah juga takut. Tokoh masyarakat Bpk. T dan para tokoh agama sedikit-sedikit memberi masukkan, dan Alhamdulillah sambutan masyarakat dab hasilnya seperti itu. Termasuk uang yang ditulis itu tujuannya adalah Rukun Kematian ingin keterbukaan biar tidak ada curiga. Memang ada orang yang bilang, ada ngamal kok ditulis, ngamal kan sukarela, dan tidak etis kalo ditulis. Tapi kami menyampaikan bahwa kalau ada keterbukaan maka tidak akan ada kecurigaan… ” (sumber FGD tanggal 21 Maret 2017).
Dari aktivitas pencatatan sumbangan ini, Rukun Kematian secara
kelembagaan mulai mentransformasikan sumbangan yang awalnya
individu menjadi sumbangan kolektif. Model ini yang kemudian
direplikasi di dusun-dusun lain di Desa Pajeng meskipun mendapatkan
tantangan di wilayah Dusun Jiwo-Bulu.
Proses pembentukan Rukun Kematian I di Dusun Dodol
merupakan hasil dari kolaborasi yang solid dari para inisiator tanpa
resistensi dari tokoh-tokoh pemegang tradisi kejawen. Kolaborasi yang
terjadi pada pembentukan Rukun Kematian Dusun Dodol merupakan
kolaborasi antara tokoh agama, pemerintah dan tokoh masyarakat yang
memiliki dominasi kekuasaaan dan mempunyai hubungan kekerabatan
yang dekat. Oleh karena itu, proses pembentukan Rukun Kematian I tidak
mengalami banyak tantangan. Peran dari para inisiator dalam
pembentukan Rukun Kematian I dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) SH yang memiliki pengaruh besar beserta L selaku Kepala Desa
memberikan legitimasi terhadap aktivitas pembentukan Rukun
140
Kematian. Peran legitimasi ini kemudian dilanjutkan oleh T setelah ia
menjabat sebagai Kepala Desa pada tahun 1990.
2) AW yang mempunyai pengalaman membentuk RK di Temayang
berperan sebagai konseptor kelembagaan Rukun Kematian. Selain itu,
AW dalam perannya sebagai tokoh agama juga aktif melakukan
sosialisasi-sosialisasi melalui pengajian-pengajian di Desa Pajeng.
3) AP dalam kapasitasnya sebagai Kamituo/Kepala Dusun Dodol
berperan penting dalam mengorganisir RT-RT yang ada di wilayah
Dusun Dodol.
4) Sy sebagai salah satu tokoh agama di Desa Pajeng, bersama-sama
dengan AW berperan aktif melakukan sosialisasi mengenai Rukun
Kematian.
5) Du yang merupakan satu orang terpandang secara ekonomi di Desa
Pajeng ikut berkontribusi dalam memberikan dukungan dan melakukan
sosialisasi kepada masyarakat dalam pembentukan Rukun Kematian di
Desa Pajeng.
Selain kuatnya posisi dan peran para inisiator, soliditas para
inisiator ini didukung juga oleh status kekerabatan antara masing-masing
inisiator. Dari penelusuran mengenai hubungan kekerabatan antara para
inisiator, peneliti mendapatkan fakta bahwa hampir semua inisiator awal
RK mempunyai hubungan kekerabatan. Hal ini bisa dilihat dalam gambar
sebagai berikut :
141
142
Gambar 6.1 Konfigurasi Relasi Antar Inisiator RK
Sumber: diolah dari hasil penelitian
143
Berbeda dengan wilayah Dusun Pajeng dan Dusun Jiwo-Bulu,
jangkauan pengaruh para inisiator tersebut tidaklah sekuat seperti di
Dusun Dodol. Selain karena faktor geografis yang relatif berada di
pinggir-pinggir Desa Pajeng, kehidupan beragama masyarakat di Dusun
Pajeng dan Dusun Jiwo-Bulu relatif tidak sekental seperti kehidupan
keberagamaan di Dusun Dodol yang memiliki banyak tokoh agama.
Sehingga sangat wajar apabila pembentukan Rukun Kematian di Dusun
Pajeng dan Dusun Jiwo-Bulu ini terjadi setelah adanya pembentukan dan
perkembangan dari jamaah tahlil yang berada di wilayah tersebut.
Proses pembentukan awal RK kelompok IV di Dusun Pajeng
sebetulnya tidak lama setelah ketiga kelompok tersebut berdiri. Namun
ternyata kepengurusannya tidak langgeng sehingga kemudian baru
terbentuk lagi pada tahun 2001. Mengenai hal ini disampaikan oleh
narasumber P sebagai berikut:
“…dulu sebelum tahun 2001 di Dusun Pajeng sudah sempat dibentuk kelompok Rukun Kematian. Pertama kali dibentuk sudah ada pengurusnya, tetapi ternyata tidak bisa stabil. Masalahnya itu, maaf ya karena solidaritas dan keikhlasan dari pengurus…, Rukun Kematian sudah dibentuk tetapi gagal, artinya tidak langgeng. Kemudian pada tahu 2001 atas permintaan warga, didatangi lagi sama T , AW , dan Sy, kemudian dibentuk lagi kelompok Rukun Kematian dengan kepengurusan yang baru. (Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
P juga menambahkan bahwa proses pembentukan kembali RK IV
di tahun 2001 tidak terlepas dari semakin berkembangnya Jamaah Tahlil
di Dusun Pajeng, seperti dijelaskan dalam kutipan wawancara:
“…dulu itu jamaah tahlil jumlahnya tidak sebesar seperti tahun sekarang ini… masyarakat untuk sadar diri itu harus dengan pelan-pelan kita mengajaknya… baru setelah mereka sadar dan masuk jamaah tahlil, Rukun Kematian bisa dibentuk kembali….“ (Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
Proses yang berbeda terjadi pada proses pendirian RK V di Dukuh
Jiwo dan RK VI di Dukuh Bulu. Di kedua dukuh tersebut pendirian RK
144
terbentuk dalam rentang waktu yang sangat lama berjarak lebih dari 20
tahun. Kuatnya tokoh-tokoh yang memegang tradisi serta kebiasaan
gotong-royong masyarakat dalam pengurusan kematian yang masih
terjaga, menyebabkan masyarakat tidak menganggap penting untuk
membentuk RK di Jiwo-Bulu.
Baru kemudian setelah anggota Jamaah Tahlil berkembang pesat
di Jiwo-Bulu, proses pembentukan Rukun Kematian V di Dusun Jiwo
(tahun 2010) dan RK VI (tahun 2013) dapat dilakukan. Narasumber Sr dari
RK V menyampaikan bahwa:
“…gagasannya itu kan sejak tahun 2009, waktu itu masih di renungkan sama teman-teman, dan akhirnya tahun 2010 baru dibentuk…, prosesnya kan melalui jamaah tahlil. Dulunya kan tidak ada jamaah tahlil… gagasan tentang Rukun Kematian ini berangkatnya dari Jamaah Tahlil… kalau sekarang diklaim atas nama masyarakat ya tidak apa-apa… tapi yang jelas dulu awalnya dari jamaah tahlil, sebab kalau tidak ada jamaah tahlil maka tidak akan ada Rukun Kematian…” (Hasil wawancara tangal 27 Maret 2017)
Sejalan dengan Sr, salah seorang partisipan FGD dari dukuh Bulu
menyampaikan bahwa pembentukan Rukun Kematian VI pun berawal dari
kesepakatan jamaah tahlil. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara
sebagai berikut:
“… awalnya Rukun Kematian itu terbentuk dari kelompok jamaah tahlil. Alasannya kalau langsung tiyang katah biasane leren padu riyen, ongkok-ongkoan… setelah semua anggota jamaah tahlil sampun (sudah) sepakat, maka dibentuklah Rukun Kematian, dan kemudian jamaah mengembangkannya.” (hasil FGD tanggal 22 Maret 2017)
2. Pro-kontra Pembentukan Rukun Kematian
Seperti telah dijelaskan di atas, proses pembentukan Rukun
Kematian terutama di RK I – III relatif tidak memperoleh tantangan yang
besar karena solidnya para inisiator dalam mendukung pendirian Rukun
Kematian, sehingga menimbulkan kesungkanan warga untuk menolak
145
gagasan pembentukan Rukun Kematian. Hal ini disampaikan oleh
narasumber sebagai berikut :
“Rukun Kematian awalnya berdiri pada tahun 1989 dan diawali oleh 3 RT. Masyarakat ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Namun ketiga RT tersebut menerima akibat adanya rasa sungkan dengan T, AW, Du, dan Sy.” (Wawancaara dengan T, 19 Maret 2017)
Resistensi dan penolakan RK justru banyak terjadi di Dusun Jiwo-
Bulu. Narasumber menyampaikan bahwa:
“…kalau di Dusun Dodol ini, pendirian Rukun Kematian dilaksanakan dengan mulus-mulus saja, hal itu karena masyarakat di sini sudah diberi pengertian. Dulu di sebelah sana seperti dukuhan Bulu dan Jiwo, pembentukan Rukun Kematian itu ada yang menentang. Kalau di sini kan disiapkan penduso, nah hal ini kalau di sana (Bulu dan Jiwo) dikatakan orang ‘ngalup’… ”(Hasil wawancara AP, 28 Maret 2017)
Menurut para inisiator, alasan yang paling sering dikemukakan
oleh para pemegang tradisi kejawen dalam pembentukan Rukun Kematian
ini adalah bahwa mekanisme untuk mempersiapkan penduso dan mori
bagi warga merupakan tindakan ngalup. Ta mengungkapkan sebagai
berikut:
“Menurut mereka, kenapa orang hidup kok sudah dibuatkan patok? itukan perbuatan ngalup. Kalau bagi saya tidak perlu diperpanjang dan jangan dibuat susah, kita ini tujuan organisasi bermasyarakat itu untuk meringankan sesama. Dulu di sini juga sama seperti itu tetapi tidak sama dengan yang di sana, di sini tidak berani menentang langsung (mengerutu di belakang) jadi pertentangan itu lebih berasal dari luar dusun Dodol.”(Hasil wawancara tanggal 26 Maret 2017)
Istilah ngalup inilah yang kemudian dinisbatkan oleh para inisiator
kepada orang-orang yang disebut “gapulo” dan “primitif”, yang
dikonotasikan kepada mereka yang menentang berdirinya RK terutama di
Dusun Jiwo-Bulu. Hal ini disampaikan oleh peserta dalam FGD sebagai
berikut:
146
“…bahkan saya ditentang oleh tokoh-tokoh yang memiliki pendapat lain-lain, sampai-sampai mereka mengatakan: sing tuwek iku patenono ae (bunuh saja kami orang-orang yang sudah tua ini), masalah kematian ora iso guyon (masalah kematian ini tidak bisa dijadikan candaan), itu kenyataan… Tokoh di desa mantan RT mengatakan: ik i ngalup apa piye, cah enom cah cilik bentuk ngene ngarahi wong mati (ini ngalup, anak kecil membentuk Rukun Kematian begini seperti mengaharapkan orang untuk mati). Hal ini terjadi karena saking banyaknya tokoh yang primitif dan kolot.. di Bulu banyak tokoh tua primitif yang cara berfikirnya belum luas dan cara menerima kemajuannya itu lambat. Misalnya di kuburan Bulu terdapat pohon jati yang roboh bertahun-tahun, dulu pernah mau dipakai untuk masjid dan hal itu ditentang sampai sekarang…”(Hasil FGD tanggal 22 Maret 2017) Untuk mengkonfirmasi mengenai penolakan pemegang tradisi
kejawen terhadap Rukun Kematian, peneliti melakukan verifikasi kepada
orang-orang yang dianggap primitif atau gapulo oleh para inisiator RK
seperti Pm dan R. Peneliti melakukan wawancara secara bersamaan
terhadap Pm dan R di rumah R. Peneliti bertanya mengenai istilah ngalup
kepada Pm , ia menyampaikan bahwa:
“…Ngalup itu orang yang tidak ada apa-apa, orang sehat kok meminta mati…, omongan kok ceblang-ceblung (bicara kok ngawur)” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Pm yang masih berpegang pada tradisi kejawen menyampaikan
bahwa penyediaan mori dan penduso adalah perbuatan ngalup yang bisa
mengakibatkan kejadian atau musibah di kampung. Pm menyampaikan
pengalamannya melakukan ruwat desa sebagai akibat perbuatan ngalup.
Pada waktu itu muncul kejadian orang yang meninggal sebanyak 7 orang
berturut-turut dalam satu bulan, termasuk anaknya sendiri. Dia meyakini
bahwa kejadian tersebut sebagai akibat dari perbuatan ngalup karena
menyediakan mori dan penduso di Dukuh Bulu:
“…di Bulu kok beli mori, padahal itu sudah saya hindari, itu kan wataknya orang Dodol sana… Saat itu terjadi gegebluk, dalam satu bulan tujuh orang meninggal. Ketika itu anakku, anaknya Parimin, anaknya Sumiran, terus anaknya Suweni,
147
anaknya Dasrip, Marjuki meninggal. Lalu aku sama Mbah Dukut diajak keliling desa mulai jam sembilan malam sampai jam tiga dini hari, terus diajak mengelilingi kayu kuburan yang berada di pojok utara timur. Keliling tersebut dilakukan sambil bertelanjang secara terus-menerus… Aku sama Mbah Dukut itu sampai tiga kali Jumat Legi mengelilingi desa.”(Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Pengalaman Pm ini ternyata dibantah oleh R. R yang dianggap
sebagai sesepuh penganut kejawen di Dukuh Bulu justru malah tidak
setuju dengan pendapat Pm . Sambil bernada agak tinggi R membantah
pembicaraan Pm:
“…itu lo Min (panggilan Pm), seumpama kamu diajak ruwat desa, Mbah Dukut ini kan mertuaku, lah kamu berangkat pasti bilang sama aku. Tidak ada aslinya kaitannya dengan ini... Kamu jangan (mengada-ada) Min, biar mengadakan mori dan penduso pun sebenarnya tidak masalah. Tidak ada kaitannya masalah kematian karena mori dan penduso...” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Berkaitan dengan pengadaan mori dan penduso, terdapat perbedaan
pandangan antara R dengan Pm . Padahal R merupakan menantu dari
Mbah Dukut yang ajarannya sangat ditaati oleh Pm . R malah
mengusulkan agar tersedia penduso untuk memudahkan pengurusan orang
yang mati. Saat ini dikhawatirkan semakin sedikit orang yang bisa
membuat penduso dari bambu dan anak-anak muda sekarang tidak
seterampil orang-orang dulu. Selain itu penyediaan penduso dapat
mengantisipasi cuaca yang buruk pada saat musibah kematian yang
menyulitkan dalam pembuatan penduso.
Gambar 6.2 Tokoh Pemegang Tradisi Kejawen Desa Pajeng
(Kiri: R, Kanan: Pm)
148
Sumber: Dokumentasi pribadi
Namun R memberikan catatatan mengenai penyediaan penduso
secara permanen, bahwa dana untuk penyediaan penduso harus dana yang
dialokasikan atau ditagihkan secara khusus, maksudnya sengaja digalang
untuk pembelian penduso, bukan dana yang disisihkan dari pelayat untuk
orang yang meninggal. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan R
sebagai berikut :
“…Uang jangan dikumpulkan di kelompok, tetapi diberikan langsung kepada orang yang kesusahan saja… saya tidak setuju kalau uang layatan yang dikumpulkan di kelompok dipakai untuk membeli penduso. Kalau mau membeli penduso, ayo urunan lagi saja, jangan mengambil dari uang layatan. Saya siap bayar...” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
R menyampaikan bahwa pada prinsipnya hasil dari sumbangan
orang yang takziah hanya diperuntukkan bagi keluarga yang kesusahan,
dan tidak boleh dipotong untuk kepentingan perkumpulan atau organisasi
Rukun Kematian.
Keberatan dari R terhadap pembentukan Rukun Kematian juga
adalah karena melihat perkembangan Rukun Kematian kelompok lain di
luar Bulu yang dananya sudah terkumpul banyak, tetapi tidak bisa
dimanfaatkan secara maksimal untuk membantu masyarakat yang
mengalami musibah. Apalagi terdapat prosentase pembagian dana takziah
yang terkumpul tidak seluruhnya untuk keluarga orang yang meninggal. R
merasa bahwa uang dari takziah adalah hak dari keluarga orang
149
meninggal, dan sepenuhnya harus diberikan kepada keluarga yang
meninggal tanpa kecuali.
Adapun dalam hal penyediaan kain kafan, R beranggapan bahwa
saat ini membeli kain kafan bukanlah hal yang susah, dan biasanya kain
kafan tersebut disediakan oleh keluarga sebagai penghormatan terhadap
jenazah sehingga RK tidak perlu menyiapkan kain kafan.
B. Jejak-Jejak Dialektika Konstruksi Sosial Rukun Kematian
Dari gambaran proses pembentukan Rukun Kematian dan pro-kontra
pembentukan Rukun Kematian diatas, dapat dijelaskan mengenai dialektika
konstruksi sosial rukun kematian yang melingkupi proses ekternalisasi,
objektivasi dan eksternalisasi sebagai berikut:
1. Ekesternalisasi: Pencurahan Diri dengan Sosio Kultural
Dalam masyarakat Pajeng yang menonjolkan harmoni dan
keguyuban, anggota masyarakat dalam proses eksternalisasinya
mengidentifikasikan dirinya dengan peranan-peranan sosial yang sudah
dilembagakan dalam institusi yang sudah ada. Peranan dibangun polanya
dan dilengkapi dengan nilai, lembaga dan tatacara. Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat menyesuaikan dirinya dengan pola-pola
berdasarkan nilai, lembaga dan media adaptasinya. Proses penyesuaian diri
dalam proses pembentukan Rukun Kematian pun berlangsung dengan cara
yang kurang lebih sama. Masing-masing pihak yang berkepentingan
terhadap upaya pembaharuan dan/atau mempertahankan ritual pun
melakukan pencurahan melalui nilai, desain kelembagaan dan pilihan
media adaptasi yang beragam.
Para inisiator RK terutama mereka yang berlatar belakang sebagai
pamong desa, mengeksternalisasikan nilai-nilai kebajikan sosial keadilan,
kesetaraan, tanpa diskrim inasi, dan kegotongroyongan pada pembentukan
150
Rukun Kematian. Proses eksternalisai nilai-nilai ini dilakukan melalui
momen pertemuan-pertemuan formal di Balai Desa. Sedangkan bingkai
kelembagaan yang ditawarkan adalah Rukun Kematian yang berlaku untuk
semua warga (inklusif).
Adapun bagi para inisiator yang memiliki latar belakang sebagai
tokoh agama Islam, nilai-nilai kebajikan sosial nya didasarkan pada
doktrin, dogma, dan tuntunan agama Islam. Mereka mengeksternalisasikan
nilai-nilai fardlu kifayah (tanggung jawab kolektif) melalui pengajian,
tahlilan, ceramah keagamaan yang dilakukan oleh para inisiator. Dalam
melakukan pembaharuan ritual kematian, para inisiator ini
mengedepankan nilai harmoni dengan berdasar pada kaidah ushul fikih
almuhafadhotu 'ala qodimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, wal
iijadu bil jadiidil aslah (mempertahankan hal yang lama yang baik, dan
mengambil hal baru dari luar yang lebih baik, dan mewujudkan inisiatif
baru yang lebih baik), mereka menyadari bahwa pembaharuan ritual
kematian tidak bisa serta merta melalui cara-cara yang ekstrim dan radikal.
Namun demikian, format kelembagaan yang menjadi tujuan adalah Rukun
Kematian Islam.
Berbeda dengan kedua kalangan tersebut, para pemegang tradisi
kejawen menganggap bahwa ritual kematian merupakan salah satu bentuk
penghormatan terhadap ajaran leluhur yang memiliki nilai kebaikan bagi
masyarakat. Mereka mengeksternalisasikan nilai-nilai kebajikan sosial
melalui nasihat-nasihat dan ujaran lisan mengenai ritual kematian. Bagi
mereka, pelembagaan nilai ritual kematian cukup dijalankan dengan
melalui lembaga pedukuhan, sehingga tidak perlu ada pemotongan dana
lain-lain untuk kas organisasi Rukun Kematian, apalagi dengan
mengambil dana layatan kematian yang merupakan hak bagi keluarga
orang yang meninggal. Mereka juga secara konsisten melakukan praktik-
praktik keguyuban dan kegotongroyongan dalam setiap peristiwa kematian
seperti yang sudah dicontohkan oleh generasi sebelumnya.
151
2. Objektivasi: Interaksi Diri dengan Sosio Kultural
Momen objektivasi yang dilakukan oleh para inisiator dari
kalangan pamong desa adalah dengan melakukan proses pembiasaaan
(habituasi) dalam rupa iuran dana kematian untuk warga. Besarnya dana
kematian ini disepakati dalam pertemuan dengan Kepala Dusun dan para
Ketua RT. Pembiasaan iuran dana kematian dilakukan dengan cara
menunjuk penagih keliling untuk menagih setiap Kepala Keluarga sesuai
jadwal dan besaran yang telah disepakati. Bahasa yang sering disampaikan
dalam berbagai kesempatan adalah ajakan agar warga desa mau
“ngregani, bantu lan peduli liyan” atau menghargai, membantu dan
peduli terhadap sesama.
Dengan adanya iuran dana kematian secara rutin, maka proses
pelembagaan (institusionalisasi) nilai-nilai kepedulian, kegotongroyongan
dan non diskriminasi pun bisa terlaksana. Dengan otoritas sebagai
pamong, mereka mampu dengan cepat memobilisasi para elit masyarakat
termasuk tokoh agama untuk melembagakan RK dan bahkan memperkuat
legitimasi-nya melalui penerbitan SK tentang RK.
Untuk menjaga proses pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial
dalam Rukun Kematian, para inisiator dari kalangan pamong desa juga
menciptakan tipifikasi bagi mereka yang tidak mendukung pembentukan
Rukun Kematian. Salah satunya adalah dengan membuat istilah
“Nggapulo” (seperti kayu yang tidak bisa dimanfaatkan, karena sudah
terlalu keras yang kalau dibiarkan akan lapuk sendiri) bagi warga yang
menolak mengikuti RK. Mereka menyebut warga Dusun Jiwo-Bulu
sebagai contoh kaum Gapulo. Di dusun inilah tinggal para tokoh
pemegang tradisi kejawen yang resisten terhadap RK.
RK ini semakin mendapatkan penguatan ketika terjadi proses
reifikasi yang ditandai dengan keberhasilan menghapuskan tradisi seren
yang selama ini telah dianggap memberatkan masyarakat. Reifikasi
semakin menjadi bagian dari realitas objektif seiring dengan
terumuskannya sistem kompensasi bagi pengelola RK, serta munculnya
152
pengakuan dari pemerintah kabupaten yang memberikan dukungan dana
untuk RK.
Pada inisiator dari kalangan tokoh Islam, proses objektivasi
dilakukan melalui habituasi dalam bentuk pemungutan dana jamaah pada
saat kegiatan keagamaan. Seiring dengan berjalannya proses habituasi,
mereka secara masif juga membentuk Jamaah Tahlil dan takmir masjid di
setiap pedukuhan. Bahasa simbolik almuhafadhotu 'ala qodimis sholih,
wal akhdzu bil jadidil ashlah, wal iijadu bil jadiidil aslah
(mempertahankan hal yang lama yang baik, dan mengambil hal baru dari
luar yang lebih baik, dan mewujudkan inisiatif baru yang lebih baik),
semakin mendapatkan ruang untuk terus disuarakan. Di saat yang
bersamaan, para inisiator dari kalangan tokoh Islam ini menciptakan
tipifikasi melalui sebutan “bid’ah”, “musyrik” dan “primitif” kepada
warga dan kalangan yang menolak melakukan pembaharuan ritual
kematian berdasarkan tuntunan Islam.
Untuk memperkuat legitimasi-nya, mereka menggunakan forum-
forum jama’ah dalam pengambilan keputusan saat ada yang meninggal
dunia, serta memperkuat peran modin sebagai pemegang otoritas dalam
memimpin ritual kematian bagi warga beragama Islam di wilayah Pajeng.
Seiring dengan terbentuknya RK yang diinisiasi oleh oleh para inisiator
dari kalangan pamong desa, para inisiator dari kalangan tokoh-tokoh Islam
ini mendapatkan momentum untuk memperkuat penetrasinya terhadap
ritual kematian dengan membentuk Rukun Kematian Islam. Dengan
terbentuknya Rukun Kematian Islam ini, mereka lalu memformulasikan
reifikasi melalui penggalangan dana wajib untuk kas organisasi Jamaah
Tahlil, dana itu pada awalnya diberikan oleh ahli waris yang meninggal
kepada mereka yang turut serta dalam acara tahlilan. Sekarang semuanya
disetorkan untuk organisasi Jamaah Tahlil.
Di tengah derasnya proses objektivasi yang dilakukan oleh para
inisiator baik dari kalangan pamong desa maupun tokoh agama, proses
objektivasi untuk mempertahankan nilai-nilai kebajikan sosial ritual
153
kematian juga dilakukan para pemegang tradisi kejawen. Upaya mereka
dalam proses objektivasi adalah dengan memperkuat habituasi uang
seren, penyediaan uborampe dan menemukan titik-titik kelemahan dari
RK yang digagas oleh para inisiator RK. Ditengah arus dominasi dan
penetrasi yang dilakukan oleh para inisiator RK, para pemegang tradisi
kejawen ini memilih jalan kompromi dalam bentuk habituasi yang
berpusat pada prinsip: “kabeh coro sing apik iku srono kanggo kabecikan
sakabeh” (semua cara yang baik itu sarana untuk kebaikan semua). Hal itu
diaktualisaikan dalam berbagai kesempatan dialog dengan para inisiator.
Posisi kompromistik inilah yang menyebabkan proses institusionalisasi
dari para pemegang tradisi tidak sekuat dari para inisiator baik kalangan
pamong desa maupun tokoh-tokoh Islam. Peranan sosial sesepuh adat
sebagai bentuk institusionalisasi, kini telah diambil alih oleh pengurus RK
dari para inisiator. Walau proses intitusionalisasi dan legitimasinya sudah
semakin melemah, namun para pemegang tradisi kejawen tetap berupaya
menunjukkan eksistensinya dengan melakukan tipifikasi kepada mereka
yang menginisiasi RK sebagai “manungso ngalup”. Yakni, manusia yang
culas dan ngeggege mongso karena berani mengharap kematian, padahal
semuanya sudah ginaris dening Sang Pangeran Maha Suci kang dadi
sangkan paraning dumadi (tertulis oleh Tuhan yang menjadi tujuan akhir
keberadaan hidup manusia), kepada para pendukung RK. Meskipun,
tipifikasi ini sangat mudah dipatahkan lewat argumentasi-argumentasi
yang dogmatis, praktis dan rasional dari para inisiator. Proses legitimasi
yang dilakukan oleh para pemegang tradisi kejawen dilakukan melalui
penciptaan pantangan dan larangan berbasis adat dan kearifan leluhur.
Salah satu bentuk dari pantangan dan larangan ini adalah penolakan dan
larangan menjual kayu di lokasi makam Dukuh Bulu. Dalam tahapan
reifikasi, mereka tetap mempertahankan praktik tradisi dalam hal
pembuatan penduso (keranda), penyediaan kain mori (kafan), dan
pengadaan patok dan blabak dalam penyelenggaraan ritual kematian di
wilayah Dusun Jiwo-Bulu.
154
3. Internalisasi: Identifikasi Diri dengan Sosio Kultural
Dalam penelitian ini teridentifikasi bagaimana proses internalisasi
bagi setiap kalangan baik itu inisiator maupun para pemegang tradisi
kejawen, berbeda-beda sesuai proses ekternalisasi dan objektivasiya. Bagi
para inisiator dari kalangan aparat desa, proses internalisasi nilai-nilai
kebajikan sosial dilakukan melalui dua cara, pertama, sosialisasi primer
dilakukan lewat pertemuan dengan para inisiator; dan kedua, sosialisasi
sekunder melalui pertemuan desa dan pertemuan rutin pengurus rukun
kematian yang telah terbentuk. Bagi para inisiator dari kalangan tokoh
Islam, mereka melakukan proses sosialisasi primer dengan cara
melibatkan pengurus rukun kematian yang dibentuk oleh aparatur desa
sebagai narasumber. Sosialisasi sekundernya dilaksanakan melalui forum-
forum pengajian-pengajian rutin, ceramah dan pidato dalam setiap
peristiwa kematian. Lain halnya dengan para pemegang tradisi kejawen,
proses internalisasi dilakukan melalui wejangan-wejangan, petuah dan
nasihat dari orang tua pada saat ada event-event budaya, nyadran dan ritual
kematian. Sosialisasi sekunder dilakukan melalui dialog-dialog informal
antara para sesepuh dusun dengan warga dalam pergaulan sehari-hari.
C. Menghadirkan Ruang Publik: Rukun Kematian
Proses pembentukan Rukun Kematian sebagaimana diuraikan di atas,
dapat terjadi terjadi karena adanya “ruang sosial” yang memungkinkan
terjadinya proses diskursif antar pihak. Habermas menyatakan bahwa dalam
tindakan komunikatif, harus ada ruang di mana ruang tersebut bisa dimaknai
dengan ruang publik, yang di dalamnya mampu mengakomodir semua
kepentingan yang ada serta memungkinkan terjadinya proses dialog yang
rasional dua arah.
Proses pembentukan Rukun Kematian ditandai dengan tindakan sosial
para inisiator dalam memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada dalam
lebenswelt warga Desa Pajeng. Baik jalur non formal maupun jalur-jalur
155
kelembagaan desa seperti rapat-rapat formal desa maupun forum-forum
keagamaan.
SH , L, T, dan AP mampu melakukan mobilisasi untuk membangun
ruang publik sampai ke tingkat pedukuhan dan RT. Mobilisasi yang dilakukan
oleh para inisiator tersebut disampaikan oleh para narasumber sebagai berikut:
“Pembentukan Rukun Kematian berawal dari sini kemudian Dodol. Teman seperjuangan dulu AW, AP, dan Sukahar. Kita bekerjasama dengan perangkat desa. Dulunya kita iuran sebesar Rp100,- per KK. Saya sekretaris sekaligus bendahara sampai sekarang ini. Kalau programnya baik kenapa kita tidak mencoba, kita bersama dengan perangkat desa melakukan musyawarah mencoba memulai Rukun kematian Saya apa adanya mari kita berjuang sama-sama…” (Hasil wawancara Th, 24 Maret 2017) “…pertama nggih kulo, pak Sy, kale pak AW niku. Niku lak bakda takziah nggene tiang boten gadah, terus kula langsung jagongan enggokne ten gen kulo tiang tigo niku.. piye to pak nek wong sing ga ndue sing mati sing kuburan sik leren golek piye yo iki. Nek umpomo ngene piye, tapi nek ga setuju piye… saiki ojo menyerah sik niat lah bismilah…” (…pertama, saya, Sy, bersama-sama dengan AW. Setelah melakukan takziah kepada orang yang tidak punya, terus saya jagongan berdiskusi bertiga dengan orang-orang itu. Saya bilang: bagaimana ini, kalau yang meninggal orang tidak punya, lalu tidak ada orang yang membantu mencarikan kuburannya bagaimana? Kalau setuju dibentuk Rukun Kematian bagaimana, dan kaau tidak setuju bagaimana? Sekarang jangan menyerah untuk membentuk Rukun Kematian, yang penting berniat dulu, bismillah)” “… kemudian pas ada pertemuan dibalai desa bisa mengajak pak Du, dan disepakati untuk membuat contoh di tiga RT yakni: 17, 18, 19. Hasil musyawarah di balai desa juga menyepakati untuk dilaksanakan iuran sebesar Rp.100,- /bulan setiap KK… ” (Hasil wawancara T , 19 Maret 2017)
Para inisiator yang berlatar belakang sebagai perangkat desa, pangreh
projo dan pengayom mempergunakan bahasa tutur: “ngregani, bantu lan
peduli liyan”. Seperti dituturkan oleh T sebagai berikut :
“…nek pengen agamamu kepercayaanmu disenengi wong yo awakmu nregani lingkungan utowo agama liyo. Kulo ngoten aken….”(kalau ingin agama dan kepercayaanmu disenangi dan dihargai orang, ya kamu harus menghargai lingkungan dan
156
agama orang lain. Saya sampaikan begitu…) (Hasil wawancara tanggal 19 Maret 2017)
Bahasa ini dikomunikasikan secara konsisten dan dijabarkan ke dalam
berbagai prosedur dan aturan Rukun Kematian, seperti penarikan iuran,
pencatatan keuangan takziah, maupun redistribusi dana kematian. SH dan L
sebagai Kepala Desa Pajeng dan tokoh berpengaruh di Desa Pajeng telah
berhasil mengembangkan kompetensi komunikasi tahap pertama, dengan
memberikan perintah kepada seluruh desa sampai ke tingkat RT untuk
mensosialisasikan RK kepada warga. Kompetensi komunikasi tahap pertama
ini selanjutnya berkembang menjadi kompetensi kom unikasi tahap kedua. Hal
itu dibuktikan oleh T dan AP yang mampu meyakinkan dan merangkul AW,
dan Sy untuk melakukan inisiasi pembentukan Rukun Kematian di Dusun
Dodol seperti dikatakan AP dalam wawancara berikut:
“sosialisasi dilakukan dengan mengumpulkan lagi beberapa RT… saya mengajak tokoh-tokoh sana. Sy kan tokoh di sana. Tokoh agama itu diajak musyawarah, karena disini sudah terbentuk dan kelihatnya baik. Lalu di sana di bentuk lagi bersama AW , Sy, T, Du dan RT-RT semua…”(Hasil wawancara tanggal 28 Maret 2017)
Sementara para inisiator dari kalangan tokoh Islam secara simultan
mengekspresikan nilai-nilai kebajikan sosial Rukun Kematian di dalam acara-
acara pengajian, jamaah tahlil, bahkan tarwih. Mereka sukses menciptakan
kegiatan keagamaan menjadi ruang publik untuk mengkomunikasikan nilai-
nilai kebajikan sosial pembentukan Rukun Kematian. A dalam wawancara
menyampaikan sebagai berikut :
“…begini pak, Rukun Kematian ini disampaikan waktu tahlilan, pengajian, bahkan mungkin taraweh. Kita semua tidak henti-hentinya memberikan pengertian, itu bertahun-tahun pak meniko… ada istigosah, jumat legi keliling, terus malam jumat, malam senin, tahlilan bapak-bapak, lewat ibu-ibu, lewat ketok tular, sampai akhirnya masyarakat sadar…”(Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
157
Strategi komunikasi melalu kegiatan Jamaah Tahlil juga diungkapan
oleh Sr sebagai berikut :
“Dan memang pendekatan kita adalah melalui jamaah tahlil… jamaah disini itu ulama dan umara-nya itu bersatu. Sehingga akhirnya dapat dibentuk Rukun Kematian… Biasanya kalau ada pembentukan perkumpulan baru itu kalau tidak sharing-sharing dulu dengan tokoh-tokoh warga itu akan banyak menimbulkan gejolak. Untuk pembentukan Rukun Kematin di sini, para tokoh agama dan umara membahas terlebih dahulu bagaimana baik dan buruknya pembentukan Rukun Kematian…”(Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017)
Dari kutipan wawancara di atas dapat dijelaskan bagaimana tindakan
strategis-instrumental para inisiator dapat berkolaborasi dengan cepat untuk
dalam melakukan revisi terhadap praktik-praktik tradisi kematian yang
berjalan terutama di Dusun Dodol.
Berbeda dengan inisiator dari kalangan pamong desa yang
mereproduksi bahasa berdasarkan pengalaman empirik dan pertimbangan
rasional yang bersumber dari Alm. Ibu Rusmini, para inisiator tokoh-tokoh
Islam mereproduksi dan mengekspresikan bahasa komunikasinya berdasarkan
ajaran agama Islam: almuhafadhotu 'ala qodimis sholih, wal akhdzu bil jadidil
ashlah, wal iijadu bil jadiidil ashlah (mempertahankan hal yang lama yang
baik, dan mengambil hal baru dari luar yang lebih baik, dan mewujudkan
inisiatif baru yang lebih baik). A menyampaikan sebagai berikut :
“dalam melakukan dakwah di desa itu, kita harus mempelajari dulu sebelum melangkah… kalau nggak begitu, hantem kromo (main hantam) bakalan enggak jadi-jadi pak…Opo sebabe (apa sebabnya)? yang penting itu hubungan saling tentram saling membangun, arah kita tetap kesana pak, itu sesuai dengan ajaran kita, almuhafadhotu 'ala qodimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, wal iijadu bil jadiidil ashlah…”(Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
Dengan kompetensi komunikatif tahap satu, yang ditandai dengan
interaksi melalui simbol-simbol, tutur dan tindakan dalam kerangka kerja
komunikasi tunggal yang bersifat memerintah, ternyata tidak membuahkan
hasil. Justru terdapat resistensi yang semakin mengeras dari para pemegang
158
tradisi kejawen dan pendukungnya. Atas dasar fakta tersebut, inisiator dari
para tokoh Islam ini la lu mengembangkan kom petensi tahap kedua, yakni
dengan cara mendeferensiasikan tutur ke dalam pernyataan-pernyataan,
memperjelas peran sosial dan mengarahkan individu bertindak sebagai pelaku
sekaligus pengamat. Upaya mereka dalam mempraktikkan kompetensi
komunikasi tahap kedua ini dimanifestasikan dalam bentuk penguatan peran
modin sekaligus untuk mendelegitimasi peran sesepuh adat, menggantikan
teks dan narasi doa dalam bahasa Jawa menjadi doa-doa yang sesuai ajaran
Islam, serta mengkonfrontasikan aspek estetika dalam pengurusan jenazah
antara versi Islam dan ritual kematian seperti yang telah dijelaskan di atas
dalam prosesi nyuceni. Aktualisasi kompetensi kedua ini juga melibatkan
unsur-unsur dari aparatur desa. Betapapun demikian, walaupun proses
pendekatan komunikasinya melibatkan peran pemerintah desa, namun tujuan
strategisnya tetap dalam rangka membentuk Rukun Kematian Islam. Sr
menegaskan hal ini dalam wawancara sebagai berikut :
“Memang memproduksi Islam di sini itu berat… Memproduksi lho, bukan keturunan nenek moyang Islam di Jiwo itu, tapi membuat... Tidak ada pengenalan Islam sejak dini. Jadi anak itu mau ngaji terserah, mau sholat terserah, tidakpun terserah, tidak ada dorongan dari orang tua dulunya… makanya salah satu tujuan adanya Rukun Kematian itu untuk itu juga, untuk memproduksi Islam…” (Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017).
Kolaborasi para inisiator tersebut, secara langsung juga berpengaruh
terhadap strategi komunikasi para pemegang tradisi kejawen. Mereka
melakukan tindakan sosial yang lebih berorientasi pada tindakan komunikatif.
Melalui ruang-ruang dialog informal mereka berupaya menciptakan saling
pengertian. Namun dalam ruang informal ini pun, kesetaraan dalam proses
interaksi pun tidak terjadi. Ketidaksetaraan dalam interaksi ini nampak dalam
ungkapan-ungkapan para inisiator pembaharuan ritual kematian terhadap para
pemegang tradisi kejawen. Para inisiator pembaharuan memberikan label
kepada para pemegang tradisi kejawen sebagai orang yang primitif dan kolot
seperti yang disampaikan oleh A sebagai berikut :
159
“bahkan saya ditentang oleh tokoh-tokoh yang memiliki pendapat lain-lain, sampai-sampai mereka mengatakan: sing tuwek iku patenono ae (bunuh saja kami orang-orang yang sudah tua ini), masalah kematian ora iso guyon (masalah kematian ini tidak bisa dijadikan candaan), itu kenyataan…Tokoh di desa mantan RT mengatakan: ik i ngalup apa piye, cah enom cah cilik bentuk ngene ngarahi wong mati (ini ngalup, anak kecil membentuk Rukun Kematian berini seperti mengaharpkan orang untuk mati). Hal ini terjadi karena saking banyaknya tokoh yang primitif dan kolot.. di Bulu banyak tokoh tua primitif yang cara berfikirnya belum luas dan cara menerima kemajuannya itu lambat. Misalnya di kuburan Bulu terdapat pohon jati yang roboh bertahun-tahun, dulu pernah mau dipakai untuk masjid dan hal itu ditentang sampai sekarang…”(Hasil FGD tanggal 22 Maret 2017)
Hal tersebut menjadikan proses eksternalisasi nilai-nilai tradisi
kematian semakin terbatas. Kondisi inilah yang ditengarahi mengakibatkan
para pemegang tradisi kejawen lambat laun larut dan tergerus oleh mereka
yang berkepentingan melakukan pembaharuan ritual kematian. Proses
eksternalisasi yang dilakukan oleh para pemegang tradisi kejawen
menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang dirujuk dari ajaran dan ujaran
leluhur seperti: “kabeh cara sing apik iku srono..[..] kanggo kabecikan
sakabehe”. Hal ini diungkapkan oleh R sebagai berikut:
“Islam yang dilakukan santri kan agak berbeda dengan yang dilakukan adat jawa, orang Jawa sini seumpama keluarga meninggal ada doanya :lantaran sekar gondo sarine roso mbah saget padahang dalane jembar kubure dingapuro dosane mengo suawarganie tetepo imane didaku marang gustine agen kulo kintu syah kagem gusti allah. Tradisi seperti ini masih ada, sebagian islam dan sebagian adat jawa. Tapi apapun itu sebenarnya kabeh cara sing apik, iku srono, kanggo kabecikan sakabehe”(Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017)
Namun bahasa simbolik itu semakin kehilangan daya pengaruhnya
terutama ketika menghadapi argumentasi yang dogmatis dari tokoh Islam.
Dalam kondisi tersebut, satu-satu andalan pemegang tradisi kejawen adalah
tetap bertahan pada kompetensi komunikatif tahap satu. Yakni, tetap
berpegang pada simbol-simbol, tutur dan tindakan dalam kerangka kerja
160
komunikasi tunggal yang bersifat larangan atau perintah. Dan hal ini cukup
berhasil di Dusun Jiwo-Bulu, mereka tetap bisa mempertahankan larangan
terkait pemanfaatan kayu di areal makam Dukuh Bulu serta menolak
penyediaan penduso dan mori.
Upaya mempertahankan tradisi ini disepakati oleh inisiator
pembaharuan sebagaimana diungkapkan oleh A sebagai berikut :
“…masalahne ngeten pak, bab rukun kematian niku, (masalahnya mengenai Rukun Kematian itu begini pak), pembaharuan yang sudah bisa kita terapkan itu yang bisa diterima oleh masyarakat, tapi kalau yang belum siap seperti mori dan penduso ya sementara kita ikuti saja dulu keinginan masyarakat… cuma kadang-kadang kalau ada kelebihan mori di simpan oleh pak Y…”(Hasil wawancara tanggal 29 Maret 2017)
Keberhasilan para pemegang tradisi kejawen dalam mempraktikkan
kompetensi komunikatif tahap satu, selanjutnya ditindaklanjuti dengan
meningkatkan kompetensi komunikatif tahap kedua. Yakni melalui
pembagian peran para pemegang tradisi kejawen ke dalam ekspresi tindakan
gotong royong dalam pembuatan penduso serta pemanfaatan kayu di areal
makam untuk pembuatan blabak dan patok pada saat prosesi pemakaman
seperti yang ditunjukan pada saat peneliti melakukan observasi prosesi
kematian. Tindakan-tindakan tersebut sekaligus menjadi basis kebenaran
pragmatis untuk mengafirmasi bahwa nilai ritual kematian sesungguhnya tetap
bisa menjadi media dan ruang untuk merajut keguyuban dan keterlibatan
warga.
D. Pelembagaan dan Implikasi Rukun Kematian
1. Pelembagaan Rukun Kematian
Dinamika proses pelembagaan RK di masing-masing Dusun,
dalam perkembangannya telah menghasilkan karakteristik dan implikasi
RK yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Di Dusun Dodol yang
relatif tidak mendapatkan pertentangan, RK dapat berjalan sesuai dengan
konsep dan gagasan para inisiator. Di Dusun Pajeng, RK sempat terbentuk
161
dengan cepat dan kemudian vakum lama sampai dengan dilakukan
pembentukan kembali dengan mengadaptasi konsep-konsep RK di Dusun
Dodol. Sementara di Dusun Jiwo-Bulu, terdapat kompromi-kompromi
yang akhirnya disepakati bersama antara para inisiator yang memiliki latar
belakang tokoh Islam dan para pemegang tradisi kejawen mengenai
bagaimana RK dijalankan.
Ketiga jenis karakteristik tersebut terbentuk dari dinamika nilai
kebajikan sosial Rukun Kematian seperti yang telah dibahas di atas.
Dinamika tersebut dapat dilihat dalam skema sebagai berikut:
162
Gambar 6.3 Dinamika yang Membentuk Karakteristik Lembaga Rukun Kematian
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian
163
Karakteristik RK yang pertama adalah RK di Dusun Dodol (RK I,
II, dan III) yang sudah secara penuh mengadopsi gagasan-gagasan dari
para inisiator awal RK di Desa Pajeng serta dapat terbentuk secara cepat.
Ciri utama dari karakteristik RK ini adalah:
(1) Dana takziah dari warga yang melayat dicatat dan 30% disisihkan
menjadi kas Rukun Kematian.
(2) Penyediaan seluruh uborampe dan kebutuhan perlengkapan tradisi
selamatan kematian, termasuk memiliki penduso permanen dan
menyediakan mori.
(3) Penggunaan dana iuran dan kas RK dapat dipergunakan untuk
kepentingan publik di luar kepentingan RK.
Gambar 6.4
Pencatatan Sumbangan Takziah oleh Rukun Kematian
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 6.5
Pemberian Dana Sumbangan Takziah oleh Rukun Kematian
Sumber: Dokumentasi pribadi
164
Karakteristik RK yang kedua adalah RK IV di Dusun Pajeng yang
terbentuk secara gradual. Meskipun banyak meniru dari RK I-III, RK IV
ini melakukan adaptasi terhadap beberapa mekanisme yang dianggap tidak
sesuai untuk lingkungannya seperti memperkecil besar nominal potongan
kas untuk RK serta tidak menggunakan dana RK untuk kepentingan
publik. Ciri utama dari karakteristik RK ini adalah:
(1) Dana takziah dari warga yang melayat dicatat dan 30% disisihkan
menjadi kas Rukun Kematian.
(2) Penyediaan seluruh uborampe dan kebutuhan perlengkapan tradisi
selamatan kematian, termasuk memiliki penduso permanen dan
menyediakan mori
(3) Penggunaan dana iuran dan kas RK masih terbatas pada kepentingan
yang berkaitan dengan Rukun Kematian.
Karakteristik RK ketiga adalah RK V-VI yang berada di Dusun
Jiwo-Bulu. Pembentukan Rukun Kematian ini sangat terlambat
dibandingkan dengan RK di Dusun Dosol dan Dusun Pajeng karena terjadi
proses kom promi dengan beberapa tradisi yang masih diyakini oleh
masyarakat. Kompromi tersebut berkaitan dengan tidak adanya pengadaan
uborampe yang diyakini sebagai perbuatan ngalup, seperti: penduso, mori,
patok, dan blabak. Selain itu terjadi juga kompromi mekanisme pencatatan
dana takziah dan pemotongan kas untuk RK. Karakteristik dari RK ini
dicirikan oleh:
(1) Dana takziah dari warga yang melayat hanya diperuntukan bagi
keluarga orang yang meninggal dan tidak disisihkan menjadi kas
Rukun Kematian.
(2) Menghormati pantangan tradisi untuk tidak menyediakan penduso atau
keranda permanen, mori (kafan), patok (nisan), dan kayu blabak.
(3) Tidak ada iuran kematian anggota.
Perbandingan karakterisik dalam setiap RK di Desa Pajeng bisa
dilihat dalam tabel berikut:
165
Tabel 6.1 Karakteristik Rukun Kematian Desa Pajeng
RK I – III (Dusun Dodol)
RK – IV (Dusun Pajeng)
RK V – VI (Dusun Jiwo –
Bulu) Uang Takziah Pelayat
• Dikumpulkan secara kolektif
• Sumbangan dari tiap orang dicatat sesuai dengan besar kecilnya.
• Dikumpulkan secara kolektif
• Sumbangan dari tiap orang dicatat sesuai dengan besar kecilnya.
• Dikumpulkan secara kolektif
• Tidak dicatat
Uang takziah yang dipotong untuk kas RK
30 % dari total uang layatan (Rata-rata ≥ Rp. 400.000,-)
Rp. 150.000 Tidak ada
Iuran Warga untuk Persiapan Kematian
Ada Ada Tidak Ada
Uborampe Menyediakan semua kebutuhan kebutuhan uborampe, perlengkapan dan peralatan
Menyediakan semua kebutuhan kebutuhan uborampe, perlengkapan dan peralatan
Menyediakan kebutuhan uborampe, perlengkapan dan peralatan kecuali mori, penduso, patok, dan blabak
Distibusi Dana Iuran Kematian
• Publik • Organisasi • Privat
2. Implikasi Rukun Kematian
Karakteristik yang berbeda dari setiap RK seperti yang telah
dijelaskan di atas berimplikasi pada improvisasi yang berbeda di tiap
kelompok RK, terutama yang paling mencolok terlihat pada penggunaan
dana iuran kematian.
166
Pada RK I-III di Dusun Dodol, penggunaan dana Rukun Kematian
tidak hanya terbatas kepada penyediaan ubo rambe yang dibutuhkan oleh
orang yang meninggal. Rukun Kematian juga mulai melengkapi seluruh
peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pengurusan kematian.
Salah satu contoh terjadi di RK II Dodol Ledok sebagaimana
disampaikan oleh N :
“…. pada tahun 2010 dana Rukun Kematian yang terkumpul sebanyak 15 juta. Sebagian dari dana tersebut dipergunakan untuk mengganti penduso yang terbuat dari kayu menjadi menjadi keranda permanen yang terbuat dari pipa besi…”(Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017 Lebih gamblang N menjelaskan bahwa di RK II sudah mampu
merealisasikan pembangunan gudang dan listrik penerangan makam pada
tahun 2014 dengan mempergunakan dana yang terkumpul pada Rukun
Kematian. Pada tahun 2015 RK II mampu melakukan penggantian
keranda pipa besi menjadi stainless steel. RK II membuat patok/nisan
untuk stok Dusun Dodol dan menyediakan juga bagi kelompok lain yang
tidak membuat sendiri dengan mengganti biaya pembuatan sepasang patok
sebesar Rp25.000,00. Pembuatan patok tersebut dilakukan oleh N dan R
(pengurus RK II) dengan mempergunakan modal dari dana kas RK untuk
stok sebanyak 50 pasang.
Selain untuk perlengkapan dan peralatan pengurusan kematian,
improvisasi lain terjadi di RK III Dusun Dodol, yakni penggunaan dana
kas RK untuk kepentingan publik. Bendahara RK III Dodol Tegalan
menyampaikan bahwa akumulasi dana yang dimiliki oleh RK III
dipinjamkan untuk menalangi pembangunan saluran air bagi warga senilai
16 juta rupiah ketika Pemerintah Desa Pajeng membuat program HIPAM
tahun 2005. Hal ini disampaikan oleh narasumber W :
“…uang kas dari Rukun Kematian III di Tegalan pernah dipinjamkan untuk pembuatan instalasi air minum pada tahun 2005-2006. Satu RW di Tegalan itu jumlahnya 20 KK dan kebutuhan untuk HIPAM biayanya sebesar 28 juta. Saat itu sudah ada iuran masuk swadaya sekitar 12 juta. Nah
167
kekurangan senilai 16 juta itulah yang dipinjami dari Rukun Kematian.”(Hasil wawancara tanggal 22 April 2017)
Pada RK IV di Dusun Pajeng meskipun banyak mengadopsi
mekanisme yang dijalankan di Kelompok I-III, namun penggunaan untuk
kepentingan publik di luar kepentingan pengurusan kematian belum
dilakukan. Improvisasi penggunaan dana RK masih terbatas pada
penyediaan perlengkapan dan peralatan serta pemeliharaan makam.
Narasumber W menyampaikan bahwa :
“…sekarang sudah mulai banyak inovasi di Rukun Kematian IV. Salah satu bentuk inovasinya, mereka sudah mulai beli kursi, dan kebutuhan lainnya. Hal ini terjadi belakangan ketika saya mulai jadi kepala desa. Pengurusnya bilang: wes iki duit wes mulai ngumpul, duit dinggo tuku tendo, kursi dan liane… (sekarang uang sudah mulai terkumpul, uang tersebut dipergunakan untuk membeli tenda, kursi dan lain-lain”.(Hasil wawancara tanggal 22 April 2017)
Sementara di RK V-VI Dusun Jiwo-Bulu, praktis tidak ada
penggunaan dana RK baik untuk pembelian perlengkapan dan peralatan
apalagi untuk kepentingan publik. Seluruh dana yang didapatkan dalam
layatan kematian diserahkan kepada keluarga orang yang meninggal.
Adapun untuk melengkapi peralatan dan perlengkapan pengurusan
kematian, pihak pengurus RK melakukan inisiatif khusus dengan jamaah
tahlil untuk menggali dana jamaah. Hal ini diungkapkan Sr dalam
wawancara sebagai berikut:
“…Dulu rencananya mau dilakukan penarikan iuran kematian dan disisihkan untuk kas Rukun Kematian. Tetapi hal tersebut tidak bisa dijalankan…jadi mau tidak mau jamaah tahlil harus memberikan subsidi…bisa dikatakan begitu…“ (Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017) Penggalian dana RK melalui Jamaah Tahlil seperti yang terjadi di
RK V-VI sangat memungkinkan karena proses inisiasi awal pembentukan
Rukun Kematian dibidani oleh para tokoh yang tergabung dalam Jamaah
Tahlil.
168
Gambar 6.6 Ilustrasi Hilangnya Tradisi Seren
Keterangan Ilustrasi : 1. Keluarga orang yang meninggal memberikan uang “seren” kepada
pelayat takziah sebelum adanya Rukun Kematian 2. Keluarga orang yang meninggal menerima sedekah dari para pelayat
takziah setelah adanya Rukun Kematian (RK IV dan RK VI) 3. Rukun kematian mengumpulkan sedekah secara kolektif dari para
pelayat takziah dan memberikannya kepada keluarga orang yang meninggal (RK I – RK IV)
169
Namun secara umum di luar hal-hal yang sifatnya teknis
pengelolaan keuangan organisasi Rukun Kematian, dalam konteks
masyarakat pembentukan Rukun Kematian ini memiliki implikasi pada
pergeseran beberapa ritual kematian di Desa Pajeng terutama dalam hal
pembagian seren, wajib, serta penyederhanaan sajian dalam ritual
kematian. RK ini juga dirasakan oleh beberapa narasumber dapat makin
mempererat kegotongroyongan khususnya di Dusun Dodol dan Dusun
Pajeng.
Dengan adanya Rukun Kematian, tradisi seren hilang secara total
di Desa Pajeng sejak tahun 2013. Hal ini diungkapkan oleh peserta FGD
sebagai berikut:
“…kalau seren saat ini sudah tidak ada. Sebelum 2013 seren masih ada di Bulu, sholat dulu juga di amplopi atau disangoni, termasuk jamaah tahlil yang disangoni. Namun sekarang sangunya lain, dititipkan untuk mushola atau masjid… (Hasil FGD, 22 Maret 2017) Begitu juga dalam hal pemberian dana wajib. Sejak terbentuknya
Rukun Kematian, terjadi perubahan sasaran pemberian dana wajib yang
tadinya diberikan kepada individu diubah menjadi secara kolektif kepada
lembaga. Narasumber Sr menyampaikan bahwa:
“…dana wajib biasanya diberikan kepada orang yang tahlilan dengan menggunakan amplop. Dulunya itu setiap orang diberi amplop seorang demi seorang. Tetapi sekarang setelah terbentuk Rukun Kematian, wajib itu dijadikan satu untuk kas semua… ”(Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017)
AR mengkonfirmasi informasi mengenai perubahan sasaran dari
dana wajib sebagai berikut:
“…dulu pada saat zaman bapak saya menjadi modin, waktu itu baik Bulu, Jiwo, maupun Pajeng belum ada wong (orang) kyainya. Pusat kyainya ada di sini. Kalau ada yang meninggal di Bulu, bapak saya berangkat ke Bulu untuk memimpin prosesi pemakaman dan melaksanakan tahlilan. Nah ketika pulang tahlilan itu suka diberi berkat oleh keluarga orang yang meninggal. Dulu setiap ahli waris yang mendatangkan orang untuk melakukan tahlil akan memberi amplop per
170
orang untuk orang yang mengaji… itu setiap mengundang tim pengajian itu memberi amplop, per orang Rp5.000,00… Namun berangsur-angsur dengan dibentuknya Rukun Kematian ini, mulai ada inisiatif bahwa alangkah baiknya apabila dana layatan dijadikan satu biar lebih manfaat, itupun juga tidak memaksa... Akhirnya sampai sekarang pun ahli waris masih tetap memberi meskipun tidak sebesar yang dulu. Kalau dulu orang 20 dikatakan Rp10.000,00 nah kan sudah segitu… kalau sekarang sudah seikhlasnya dan cukup satu saja diterima bendahara. Bendahara yasinan (jamaah tahlil) bukan bendahara Rukun Kematian…”(Hasil wawancara tanggal 26 Maret 2017)
Selain hilangnya tradisi seren, AR juga mengatakan bahwa setelah
adanya Rukun Kematian, sajian dalam rangkaian acara selamatan pun
disesuaikan dengan kondisi keluarga, tidak berlebihan seperti dulu:
“Ritual, uborampe, ambeng, kalau sekarang dikemas sesuai dengan kondisi sekarang... istilahnya encek pelepah pisang isinya sama pada acara selamatan satu hari, tujuh hari, empat puluh, seratus, pendak satu, pendak dua, seribu hari...sepengetahuan saya budaya seren saat ini tidak ada… mungkin di masa sebelum periode pertama masih ada… Yang terjadi saat ini adalah bagaimana kita bisa membantu meringakan keluarga yang sedang berduka. Dulu orang yang takziah jarang memberi bahkan sebaliknya. Sekarang orang takziah memberi dan terkadang cukup banyak dimasukan ke dalam amplop dan langsung diserahkan kepada keluarga duka… hal tersebut menunjukkan kepedulian kepada orang yang kesusahan…Perubahan yang saya rasakan sekarang, dulu keluarga yang kesusahan merasa terbebani, berbeda dengan sekarang, keluarga sudah tidak perlu repot memikirkan kebutuhan pada hari terjadi kematian…yang pokok itu satu, tiga, tujuh, empat puluh, dan seratus hari… kalau hari-hari biasa kita tidak pakai apa-apa, ada ketemu kue, air minum tidak masalah dan itu tidak pakai seren tadi…” (Hasil wawancara tanggal 26 Maret 2017) Selain dalam hal tradisi, keberadaan RK ini pun dapat
menghilangkan diskriminasi yang kerap terjadi pada keluarga-keluarga
yang anggotanya meninggal. Baik orang kaya maupun orang miskin ketika
mendapat musibah kematian anggota keluarganya saat ini memperoleh
171
perlakuan yang sama oleh Rukun Kematian. N, pengurus RK III
menyampaikan sebagai berikut:
“…perubahan yang terjadi di masyarakat setelah adanya Rukun kematian adalah: pertama, bagi orang miskin dan tidak mampu merasa terbantu dalam proses pemakaman, dua, adanya keguyupan dan kepedulian diantara anggota masyarakat, tidak ada perbedaan dalam memberikan layanan pemakaman kepada warga masyarakat, serta kepedulian dan kerukunan warga masyarakat untuk takziah dan melekan (begadang menunggui jenazah)….” (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017) Pengurusan kematian yang awalnya hanya mengandalkan aparat
desa, saat ini sudah terjadi pembagian peran dan tanggung jawab dari
pengurus Rukun Kematian. Seluruh kegiatan untuk proses pengurusan
kematian berjalan dengan dikoordinir oleh pengurus Rukun Kematian.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus RK di Kelompok I-
IV, secara umum alur pengurusan kematian yang dilakukan oleh pengurus
RK adalah sebagai berikut:
1) Pihak keluarga duka memberi informasi ke ketua RK yang kemudian
diteruskan oleh ketua untuk diinformasikan kepada masyarakat dusun
melalui pengeras suara di masjid.
2) Pengurus RK mempersiapkan kebutuhan proses pemakaman seperti
uborampe, perlengkapan dan persiapan makam.
3) Uborampe yang harus dipersiapkan antara lain: patok, mori, minyak
srimpi, sabun, kapuk, papan dan usuk, serta daun pisang dan debog
(batang) pisang.
4) Perlengkapan dan alat gali makam yang harus dipersiapkan
diantaranya: tenda, payung, wadah air, kain, ganco, lempak, pacul, dan
cikrak.
5) Adapun uborampe yang dipersiapkan pihak keluarga adalah: ayam,
beras kuning dan uang receh (kepyur), kelapa, cangkir, gelas, lepek
dan sendok, serta kendi berisi air.
172
Wajah inklusif dari RK ini pun dapat dipertahankan oleh para
pengurus Rukun Kematian. Prosesi pengurusan kematian tidak hanya
terbatas kepada warga yang beragama Islam saja. Kesaksian dari ED (72
tahun) istrinya Bernardus Maryono yang beragama Katolik menyampaikan
bahwa:
“Seluruh warga Pajeng ikut hadir ketika bapak meninggal. Warga juga bahkan ikut berjaga di malam hari (melekan) karena bapak dikuburkannya setelah 2 hari semenjak kematian beliau. Kita juga melakukan acara ritual kematian baik dengan mengunakan cara gereja maupun dengan cara adat mengundang warga masyarakat. Peringatan kematian secara gereja dan adat dilakukan pada 3, 7, 40, 100, pendak satu, pendak dua, dan 1000 hari, bersama dengan lingkungan masyarakat dan gereja… proses pemakaman dilakukan oleh kelompok rukun kematian mulai dari memandikan sampai pemakaman yang hadir juga orang banyak kayak punya hajat…” (Hasil wawancara tanggal 26 Maret 2017)
Satu hal penting yang juga ditemukan sebagai implikasi dari
pembaharuan ritual kematian adalah terbangunnya harga diri (dignity) dari
warga, serta perasaan merasa tercukupi (self sufficient), tidak rakus dan
kemaruk. Hal ini dibuktikan dengan penolakan bantuan dari Bupati
Bojonegoro yang ingin mengapresiasi inisiatif pembentukan Rukun
Kematian dengan menawarkan uang sejum lah 40 juta. Secara
mengejutkan, melalui kepala desa, warga sepakat menolak dengan
jawaban :
“Nyuwun sewu pak Bupati, daripada jenengan keciwo kulo tampi sing 10 juta, yang 30 juta monggo dikembangaken dateng dusun lain… (Mohon maaf Pak Bupati, agar bapak tidak kecewa, kami menerima yang sepuluh juta saja. Sementara yang tiga puluh juta silahkan diberikan kepada Dusun yang lain…” (Hasil wawancara dengan T tanggal 18 Maret 2017)
Warga saat itu hanya mau menerima uang bantuan dari bupati
hanya sejum lah 10 juta saja, yang akan diperuntukkan bagi empat
kelompok Rukun Kematian yang sudah terbentuk saat itu. Sepuluh juta itu
diperuntukan bagi empat kelompok Rukun Kematian senilai 2,5 juta per
173
Rukun Kematian. Sementara, selebihnya senilai 30 juta, warga
mempersilakan kepada bupati untuk diberikan kepada dusun yang lain
yang lebih membutuhkan. Dari peristiwa ini menjadi data bahwa mereka
adalah orang yang memiliki ajining diri atau harga diri (dignity).
174
BAB VII KONSTRUKSI RUKUN KEMATIAN SEBAGAI RUANG PUBLIK
Berdasarkan Bab IV, bab V dan Bab VI, pada bab ini berisi tinjauan dan
analisis berdasarkan kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian. Tinjauan
dan analisis dalam bab ini mencakup: pertama, pemaknaan Ritual Kematian
sebagai kebajikan sosial; kedua, proses pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial
Rukun Kematian dan implikasinya terhadap inisiatif lokal dalam pembangunan
desa; ketiga, tindakan komunikatif para penggagas Rukun Kematian dengan
warga masyarakat; dan keempat, interpolasi pendekatan konstruksi sosial dan
tindakan komunikatif pelembagaan nilai kebajikan sosial dalam rukun kematian.
A. Makna Ritual Kematian
Perspektif konstruksi sosial menyatakan bahwa emosi dan kognisi
dihubungkan manifestasi makna-makna personal dalam kontek kehidupan dan
momen seseorang. Makna-makna personal itu tidak bisa dilepaskan dari
keseluruhan pengetahuan manusia yang didapat dari sosialisasi maupun
pengalamannya yang telah “mengendap”. Pengendapan menurut Berger dan
Luckmann (2012), merupakan gumpalan ingatan yang menjadi entitas yang
bisa dikenal dan diingat kembali sebagai “cadangan pengetahuan”. Tanpa
terjadinya pengendapan tersebut individu tidak dapat memahami biografinya.
Pemahaman personal transedental tersebut, dalam perspektif teori kontruksi
sosial, merupakan hasil internalisasi melalui proses sosialisasi. Sebagaimana
dalam teori kontruksi sosial, internalisasi diartikan sebagai pemahaman
mengenai sesama, dan pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang
maknawi dari kenyataan sosial (Berger dan Luckmann, 2012).
Dalam internalisasi, sosialisasi juga memainkan peran kunci dalam
menginternalisasi norma-norma institusi untuk berperilaku, dan bersosialisasi
melalui proses yang secara sosial merupakan cara belajar melakukan sesuatu
untuk mengembangkan apa yang mereka miliki. Terdapat dua macam
sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi skunder. Berger dan
175
Luckmann (2012) menguraikan sosialisasi primer sebagai sosialisi awal yang
dialami individu di masa kecil, disaat mana dia diperkenalkan pada dunia
sosial objektif. Sedangkan sosialisasi skunder menurut Berger dan Luckmann
(2012) adalah sejumlah “sub-dunia” kelembagaan, atau yang berlandaskan
lembaga. Sebagaimana penjelasan Berger dan Luckmann, tentang sosialisasi
primer dan sosialisasi sekunder, maka pemahaman para informan kunci dalam
penelitian ini merupakan hasil internalisasi yang melibatkan lembaga sosial
primer dan lembaga sosial skunder.
Pembahasan mengenai makna juga telah dikembangkan oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya
manusia mencari pengetahuan atau kesatuan pengetahuan yang dinamakan
‘Universe of Meaning’ (semesta makna) yang tidak lain merupakan produk
sosial dan sebaliknya membantunya menciptakan masyarakat. Universe of
Meaning tidak hanya meliputi ide-ide falsafati yang tinggi, melainkan juga
pengetahuan sehari-hari yang diterima sebagai benar dan sebagaimana adanya.
Suatu semesta kemaknaan memerlukan legitimasi terus menerus,
membutuhkan penguatan dan pembenaran yang berulang-ulang. Anggota
masyarakat harus berulang diberitahu bahwa semesta kemaknaan mereka
nyata, benar, dan sah. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobjektivasi
secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan
sosial.
Ritual kematian merupakan suatu realitas yang tidak muncul dengan
sendirinya. Dalam teori Konstruksi Sosial yang dikemukakan oleh Berger dan
Luckmann terkandung pemahaman bahwa realitas dibangun secara sosial, di
mana kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk
memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam
fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being) sehingga tidak
tergantung pada kehendak manusia. Sementara pengetahuan adalah kepastian
bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang
spesifik. Suatu kenyataan digambarkan dalam proses sosial melalui tindakan
176
dan interaksinya, dalam hal ini individu menciptakan secara terus menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialaminya bersama secara subjektif.
Dalam penelitian ini terindentifikasi universe of meaning dari ritual
kematian desa Pajeng yang berdimensi personal-transedental dan sosial
resiprokal, serta tafsir ulang atas makna rukun kematian dari tiga golongan
narasumber dalam penelitian ini. Kategori ke dalam tiga golongan ini
didasarkan pada biografi, cadangan pengetahuan dan pandangan narasumber
terhadap praktik ritual kematian.
Tiga golongan itu adalah: Pertama, Golongan Pamong (GP) yang
berlatar belakang sebagai perangkat desa, mantan perangkat desa, kepala
dusun dan guru. Mereka adalah pemegang otoritas karena jabatan formal atau
legitimasi sosial historisnya. Kedua, Golongan Islam Puritan (GIP), yang
terdiri dari guru ngaji, takmir masjid, ustad dan mereka yang dianggap
memiliki otoritas dalam keagamaan. Ketiga, Golongan Kejawen (GK), yaitu
para sesepuh dan yang ditokohkan karena keteguhannya memegang tradisi
lokal yang sudah lama mengakar di Desa Pajeng.
1. Dimensi M akna Personal-Transedental
Dimensi personal transedental dalam penelitian tergambar dari
berbagai ungkapan yang menyatakan bahwa kematian merupakan ruang
ekspresi personal untuk dipersembahkan kepada hal yang lebih tinggi dan
adikodrati. Bagi masyarakat Pajeng, yang “lebih tinggi” ini dapat
bermakna ketaatan kepada “yang di atas” (Tuhan) dan penghormatan
untuk mendukung perjalanan arwah menuju ke tempat yang luhur.
Ketaatan kepada Tuhan dan perjalanan ke tempat yang luhur ini
dinamakan transenden. Suatu istilah yang berasal dari bahasa
Latin transcendere artinya memanjat di/ke atas.
Penelitian ini juga mengidentifikasi adanya dua karakteristik
pemaknaan rukun kematian yang berdimensi personal-transedental.
Karakteristik pertama merepresentasikan filosofi dan spiritualitas orang
177
Jawa. Sedangkan karakteristik kedua merepresentasikan ajaran dan
pandangan Islam tentang kematian.
Di kalangan penganut Kejawen, pemaknaan ritual kematian yang
berdimensi personal transedental ini merupakan manifestasi dari cadangan
pengetahuan yang disosialisasikan sejak dari keluarganya. Sedangkan dari
kalangan Islam puritan, pemaknaan ini diperoleh melalui cadangan
pengetahuan yang didapatkan dari guru ngaji dan pesantren tempat mereka
mendalami agama.
Pada kalangan Kejawen, makna personal-transedental pemaknaan
ritual kematian di desa Pajeng tidak terlepas dari akar spiritualitas orang
Jawa. Dalam perspektif spiritualitas Jawa, kematian bukanlah lawan dari
hidup. Kematian dipandang sebagai akibat adanya kelahiran. Kematian
dimaknakan sebagai “mulih mulo mulanira” (kembali kepada asal mula).
Ciptoprawiro dalam Prabowo (2003: 110), juga menunjukkan bahwa
orang Jawa menyebut Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi (asal dan
tempat kembali semua kejadian). Sedangkan Clifford Geertz dalam The
Religion of Java menyatakan bahwa slametan merupakan bagian dari
agama orang Jawa. Tradisi slametan bertujuan untuk mencari keselamatan
(slamet).
Pemaknaan ritual kematian dalam dimensi personal-transedental
terefleksi dari ungkapan dan pernyataan bahwa ritual kematian
merupakan wahana untuk menjalin hubungan dengan “sesuatu yang lebih
tinggi”. Hal ini sesuai dengan makna transcend yang berasal dari bahasa
Latin transcendere yang artinya memanjat di/ke atas. Melalui ritual
kematian, para sanak saudara dan keluarga memiliki wahan spiritual untuk
mengungkapkan rasa cinta dan hormatnya bagi ruh orang yang telah
beranjak menuju ke sangkan paraning dumadi. Selain, juga untuk
memohon berkah dan keselamatan dari “Sang Among Tuwuh, Kang
Paring Gesang, Hyang Jagad Nata, Sang Hyang Tunggal,” bagi mereka
yang ditinggalkan.
178
Hal ini juga sejalan dengan apa yang digambarkan Magnis Suseno
tentang alam spiritualitas orang Jawa tentang yang konsep adikodrati.
Ritual kematian merupakan manifestasi dari lingkaran yang ekstrovet,
yakni sikap terhadap dunia luar yang alami dengan kesatuan numinus
(pengalaman spiritual) antara alam, masyarakat dan alam adi kodrati.
Pengalaman ini terejawantah dalam berbagai ritus, tanpa refleksi eksplisit
terhadap dimensi batin sendiri.
Pemaknaan dalam dimensi personal-transedental di kalangan
Islam puritan, juga bermuara dari doktrin, dogma, dan tuntunan agama
Islam yang berbunyi: “Idzaa maa tabnul aadama inqatha’a ‘amaluhu
illa min salasin: shadaqatin jariyatin au ilmi yuntafa’u bihi au waladin
shalihin yad’uulahu.”. Artinya: “Jika telah mati anak Adam (manusia)
maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, atau ilmu
yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.”(H.R. Muslim).
Berdasarkan dalil tersebut, kalangan Islam puritan juga
memaknakan ritual kematian sebagai wujud kecintaan dan penghargaan
pun diajarkan dalam agama Islam yang dianutnya. Sehingga, Ritual
Kematian merupakan hal yang harus dilakukan. Hal itu terungkap dalam
pernyataan sebagai berikut:
“…bagi anak-anak dan keluarga, mengadakan tahlilan ini sudah seharusnya, sebagai rasa hormat dan cinta, setengah wajib disesuaikan dengan ajaran Islam… keluarga dan anak-anak dari orang yang meninggal harus mendoakan orang tuanya agar diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya…ada dalilnya ketika orang meninggal, maka semua amalannya terputus kecuali tiga hal, yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak-anak yang mendoakan.” (Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2017).
2. Dimensi M akna Sosial-Resiprokal
Peristiwa kematian bagi masyarakat Pajeng merupakan sebuah
momen untuk menunjukkan kepedulian dan rasa bela sungkawa kepada
pihak keluarga yang ditinggalkan. Peneliti menemukan bahwa sebagai
bentuk bela sungkawa tersebut, masyarakat Pajeng pun terbiasa untuk
179
memberikan sedekah berupa beras maupun uang secara sukarela kepada
keluarga yang ditinggalkan ketika melakukan layatan serta dengan guyub
dan bergotong royong ikut terlibat dalam prosesi pengurusan kematian.
Selain dalam prosesi pengurusan kematian, masyarakat pun terbiasa juga
untuk ikut berpartisipasi dalam acara-acara slametan kematian. Dalam
penelitian ini, dimensi sosial-resiprokal ritual kematian termanifestasi
dalam makna sebaga ruang kepedulian sosial.
Dimensi sosial-resiprokal dalam memaknai ritual kematian
merupakan konsep yang diadaptasi dari Polanyi (1998) tentang pertukaran
timbal balik antar individu atau antar kelompok (Damsar,1997).
Menurutnya, resiprositas merupakan perpindahan barang atau jasa sacara
timbal balik dari kelompok-kelompok yang berhubungan secara simetris.
Polanyi menyatakan: “Reciprocity is enormous facilitated by the
instituional pattern of symmetry, a frequent feature of social organization
among non-literate peoples”.
Tanpa keberadaaan syarat hubungan yang bersifat simetris
tersebut, maka antar kelompok atau individu tersebut cenderung untuk
tidak saling mempertukarkan barang atau jasa yang mereka miliki.
Hubungan simetris ini merupakan “hubungan sosial”, di mana masing-
masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama
ketika proses petukaran berlangsung. Jadi, sebagai model misalnya, ketika
ada warga yang mengalami kesripahan. Dia akan mengabarkan dan
mengundang kepada kepala desa dan seluruh warganya. Pada waktu yang
lain, ketika kepala desa atau warga yang lain akan melakukan hal yang
sama dalam pristiwa serupa. Dalam peristiwa ini, antar warga dan kepala
desa tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda, mereka
sama-sama sebagai warga desa, meskipun di dalamnya ada ragam
perbedaan peran dan status.
Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau
beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya
hubungan personal di antara mereka. Pola hubungan ini terlihat je las di
180
Desa Pajeng dimana anggota-anggotanya berada dalam lebenswelt yang
sama dan masih hidup dalam seluruh praktik ritual kematian hingga
selamatan. Di komunitas ini hubungan sosial yang intensif juga tercermin
dari kepatuhannya dalam melaksanakan rangkaian ritual kematian.
Proses pertukaran resiprositas bukanlah proses yang pendek,
namun terpatri dalam praktik kehidupan sejak generasi sebelumnya. Bisa
dikata, proses tersebut telah berlangsung sepanjang hidupnya di desa
Pajeng. Dan hal ini tetap diteruskan ke generasi anak-cucunya. Para
narasumber laki-laki dalam penelitian ini menyatakan bahwa, sejak kecil
mereka semua pernah mewakili untuk menghadiri kenduri saat saat orang
tuanya berhalangan hadir.
Resiprositas menurut Sahlins (1972) dipilah ke dalam tiga jenis
yakni: Resiprositas umum (generalized Reciprocity), Resiprositas negatif
(negative Reciprocity), dan resiprositas sebanding (balanced reciprocity).
Dalam resiprositas umum (generalized Reciprocity), individu atau
kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok
lain tanpa menentukan batas waktu untuk mengembalikan. Dalam
pertukaran tersebut masing-masing pihak percaya bahwa mereka akan
saling memberi, dan percaya bahwa barang dan jasa yang diberikan akan
dibalas entah kapan. Sehingga bisa dikatakan bahwa resiprositas umum
berlaku di kalangan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan
dekat. Berdasarkan faktor genetis mereka memiliki naluri untuk
meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya.
Dalam resiprositas umum tidak ada hukum-hukum yang
mengontrol seseorang dengan ketat untuk memberi atau mengembalikan.
Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk
menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh
dilanggar. Pelanggaran akan dinilai sebagai suatu perbuatan munafik,
durhaka, dosa, tidak jujur, curang, tidak bermoral dan sebagainya.
Pelanggaran tersebut kemudian bisa mendapat tekanan moral dari
masyarakat atau kelompok yang mungkin berupa umpatan, peringatan
181
lisan, atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di
masyarakat atau kelompoknya. Sangsi hukum tidak berlaku dalam
resiprositas ini, kecuali kalau resiprositas tersebut adalah resiprositas
sebanding yang sangsinya dalam masyarakat tertentu dapat berupa sangsi
hukum dengan memakai hukum adat.
Resiprositas negatif (negative reciprocity) adalah resiprositas yang
dikatakan sudah terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar.
Transformasi ekonom i di bidang sistem pertukaran sebagaimana terjadi di
negara-negara berkembang merupakan proses yang terus berjalan. Proses
ini sementara menggambarkan dua pola besar.
Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran tradisional
yang digantikan oleh bentuk pertukaran modern. Kedua, munculnya
dualisme pertukaran. Berkembangnya uang sebagai alat tukar membuat
barang dan jasa akan kehilangan nilai sim bolik yang luas dan beragam
maknanya, karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar objektif
terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Hal ini disebut negatif,
karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada.
Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang karena kegiatan
masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai-nilai keikhlasan
untuk selalu membantupun berkurang.
Sedangkan Resiprositas Sebanding (balanced reciprocity)
menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang
sebanding. Kecuali itu dalam pertukaran tersebut disertai pula dengan
kapan pertukaran itu berlangsung: kapan memberikan, menerima, dan
mengembalikan. Pertukaran ini dapat dilakukan individu, dua atau lebih
dan dapat dilakukan dua kelompok atau lebih. Dalam pertukaran ini
masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari yang lain,
namun masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai
lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi seperti ini
menunjukkan bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok yang
melakukan transaksi bukan sebagai unit sosial, satu satuan sosial,
182
melainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom. Jadi berbeda dengan
resiprositas umum di mana individu-individu atau kelompok-kelompok
terikat oleh solidaritas yang kuat sehingga mereka merupakan satu unit,
satu satuan sosial yang utuh.
Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan dengan adanya norma-
norma sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan
transaksi. Bila individu melanggar perjanjian resiprositas, ia mungkin
mendapat hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat. Resiprositas
sebanding berada di tengah-tengah antara titik ekstrim dari resiprositas
umum dengan resiprositas negatif. Jika resiprositas sebanding bergerak ke
arah resiprositas umum, maka hubungan sosial yang terjadi mengarah
pada hubungan setiakawanan dan hubungan sosial yang intim (Sahlins,
1974: 194). Sebaliknya jika bergerak ke arah resiprositras negatif, maka
hubungan sosial yang terjadi bersifat tidak setia kawan, masing-masing
pihak saling berusaha untuk mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
praktik ritual kematian Desa Pajeng lebih mencerminkan jenis resiprositas
umum (generalized reciprocity). Pertukaran barang dan jasa tercermin dari
keterlibatan antar warga untuk saling membantu dalam bentuk barang
(perlengkapan, sembako) serta jasa (tenaga untuk menyiapkan uborampe,
memasak). Melalui ritual kematian, mereka memiliki ruang untuk
mengungkapkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial.
Sebagai bagian dari budaya Jawa, praktik ritual kematian desa
Pajeng merupakan salah satu kegiatan sosial yang penting. Praktik ritual
kematian secara otomatis akan menggerakkan para tetangga, kerabat dan
teman datang untuk membantu. Mereka yang bekerja akan berhenti untuk
menyempatkan diri hadir dan membantu warga yang sedang mengalami
kesripahan. Keterlibatan dan kehadirannya akan menjadikan beban sosial,
ekonomis, dan psikologis yang dialami oleh keluarga akan menjadi lebih
ringan. Pada saat yang lain, mereka yang telah menerima bantuan itu, juga
akan mengembalikannya kepada mereka yang pernah membantu. Bantuan
183
yang diberikan dapat berupa tenaga, uang maupun barang-barang
kebutuhan sehari-hari, terutama yang akan digunakan dalam acara
tersebut. Kebiasaan untuk saling membantu di antara warga masyarakat
telah memunculkan proses tukar-menukar dalam bentuk uang, barang, dan
tenaga. Melalui kegiatan tersebut, selain beban dapat diringankan,
hubungan sosial di antara warga komunitas terjalin dengan baik. Oleh
karena itu, tolong-menolong, selain memiliki nilai ekonomis dan sosial, di
dalamnya juga terdapat nilai simbolis sebagai wujud solidaritas sosial
masyarakat pedesaan Jawa (Koentjaraningrat, 1974). Melalui kegiatan
ritual kematian inilah warga Desa Pajeng dapat terus merawat, memelihara
dan menjaga nilai-nilai guyub, rukun, dan selaras. Beberapa tulisan
tentang kebudayaan Jawa mengemukakan bahwa masyarakat pedesaan
Jawa hidup dalam keharmonisan dan penuh dengan kegiatan tolong-
menolong. Koentjaraningrat (1974) menjelaskan bahwa hubungan
resiprositas sangat kuat di pedesaan Jawa. Di daerah pedesaan Jawa, suatu
rumah tangga pertama-tama harus menjaga hubungan yang baik dengan
tetangga sekitarnya, dengan keluarga-keluarga lain sedukuh, dan
kemudian dengan keluarga lain yang tinggal di dukuh-dukuh lain.
Penekanan hubungan baik dengan tetangga yang harus pertama kali
dipupuk menandakan bahwa peran dan fungsi tetangga sangat penting bagi
masyarakat pedesaan. Jalinan hubungan baik itu bahkan harus
mengalahkan hubungan baik dengan kerabat yang berada di tempat yang
lebih jauh. Sebagai wujud hubungan baik, mereka nyatakan dengan
berbagai cara bergotong-royong dan tolong-menolong misalnya
mengundang dan mengirimkan makanan apabila mengadakan selamatan,
membawakan oleh-oleh bila bepergian jauh, dan melakukan sambat
sinambat untuk pekerjaan-pekerjaan di sekitar rumah dan pertanian.
3. Tafsir Ulang M akna Ritual Kematian
Peter Berger dan Luckmann menegaskan bahwa realitas sosial itu
bersifat ganda. Realitas ganda termanifestasi dalam realitas objektif dan
184
realitas subjektif. Masyarakat sebagai realitas objektif dapat dilihat melalui
interaksinya dengan lembaga-lembaga sosial sebagai produk dari kegiatan
manusia. Realitas subjektif adalah realitas yang berada “dalam diri
manusia” yang dikonstruksi berdasarkan pengalaman, pandangan atau pun
cadangan pengetahuannya (Social stock of knowledge). Masyarakat
sebagai realitas subjektif dapat dilihat dari dua momen proses dialektis
pembentukan realitas sosial, yaitu internalisasi dan eksternalisasi. Melalui
proses internalisasi (sosialisasi) individu dihadapkan pada agen-agen
sosialisasi yang memperkenalkannya pada dunia sosial objektif. Realitas
objektif tersebut kemudian diinternalisasikan berdasarkan penafsiran dari
individu yang bersangkutan. Sehingga setiap individu memiliki “versi”
realitas yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia objektif.
Teori Peter Berger dan Luckmann berakar pada paradigma
konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang
diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan
kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk
bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya, dimana
individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia
kognitifnya. Setiap manusia mengkonstruksikan realitas sosial dimana
proses subjektif menjadi terobjektif dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks ritual kematian di desa Pajeng, dimensi personal
transedental dan sosial-resiprokal sebagaimana yang “ternyatakan” dalam
makna objektif, ternyata juga tidak persis sejalan dengan pemaknaan
subjektif dari para narasumber dalam penelitian ini. Hal ini tercermin dari
munculnya tiga penafsiran subjektif terkait praktik ritual kematian di
Desa Pajeng.
Golongan Pamong (GP) memandang ritual kematian merupakan
kegiatan yang “memiskinan” bagi masyarakat desa Pajeng. Hal itu karena
pengeluaran untuk membiayai prosesi ritual kematian justru semakin
membebani keluarga dan ahli waris yang meninggal dunia. Golongan
185
Islam Puritan (GIP) memandang ritual kematian dalam hal tertentu,
sebenarnya sudah tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Sementara,
Golongan Kejawen (GK) berpandangan bahwa ritual kematian adalah
ajaran leluhur tentang bagaimana bakti dan cinta seseorang terhadap orang
yang telah meninggal dunia. Segala bentuk biaya yang tim bul merupakan
konsekuensi dari rasa cinta, hormat dan kesetiaan terhadap orang yang
telah memasuki alam kalanggengan.
Secara ringkas, tafsir subjektif tentang ritual dari ketiganya dapat
digambarkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 7.1 Tafsir Ulang Ritual Kematian
Golongan Latar belakang Tafsir Terhadap Ritual Slametan Pamong Politisi,
perangkat, dan Guru
Kegiatan yang memiskinkan, karena biaya penyelenggaraannya telah membebani keluarga yang ditinggalkannya.
Islam puritan Pimpinan Jamaah Tahlil, Takmir Masjid dan Ustad
Bertentangan dengan keislaman, tidak sesuai dengan tata cara fikih yang berlaku, mendekati kemusyrikan.
Kejawen Tokoh Adat, sesepuh kampung
Tuntunan para leluhur yang harus diugemi demi keselamatan dan kelancaran ruh orang yang meninggal menuju ke sangkan paraning dumadi
Dalam perspektif konstruksi sosial, tafsir ganda ini adalah sebuah
keniscayaan. Sebab, semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk
hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Ragam pemaknaan itu, bisa
terjadi karena latar belakang biografi, cadangan pengetahuan dan refleksi
atas kenyataan di dunia sosialnya.
4. Nilai-Nilai Kebajikan Rukun Kematian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengelaborasi nilai-nilai
kebajikan sosial yang terkandung dalam ritual kematian Desa Pajeng.
Nilai kebajikan sosial adalah refleksi tentang harapan, cita-cita, dan suatu
keharusan sehingga nilai tersebut memiliki sifat ideal (das sollen). Dalam
186
kebajikan sosial terkandung unsur integritas (integrity), adil (justice),
sederhana (temperance), murni (purity), patut (decency), pantas (merit),
beda (distinction), dan unggul (excellence).
Dengan unsur-unsur tersebut akan tercapailah kehidupan yang
ideal yang mengantarkan manusia menjadi bijak, berani, mawas diri dan
adil. Hal ini sejalan dengan pikiran Plato bahwa kebaikan tertinggi dalam
kehidupan ini ia lah mengharmonikan antara yang ideal dengan kenyataan,
yakni mewujudkan keadilan, keberanian, kebaikan dan kebijaksanaan
melalui petunjuk rasio. Kebahagiaan tertinggi terletak dalam kehidupan
yang mengarah pada kebaikan tertinggi dan merenungkan ide-ide yang
paling tinggi seperti nilai-nilai solidaritas, kebersamaan dan keadilan.
Selain untuk mencapai kehidupan yang ideal, kebajikan sosial (social
virtue) juga dapat mengindikasikan munculnya “gerakan moral” untuk
merespon terjadinya kemerosotan nilai kolektif (Fukuyama, 1999).
Dengan nilai kebajikan sosial ini, degradasi dan “deficit makna” dapat
tersembuhkan.
Kondisi tersebut juga terjadi di desa Pajeng pada awal tahun 1990.
Ketika itu, beberapa orang tersentak pilu saat terjadi peristiwa Alrmh. Ibu
Rusmini dipanggil sowan ing ngarsaning Pangeran. Kepiluan itu terjadi
ketika melihat sedikitnya warga yang hadir ber-ta’ziah. Ditambah lagi, Ibu
Rusmini yang semasa hidupnya sarat menanggung beban karena
kemiskinannya, kini harus melimpahkan bebannya kepada keluarga yang
ditinggalkannya. Beban itu berupa “kewajiban sosial” untuk memenuhi
serangkaian ritual kematian, yang tentu saja membutuhkan dana dan
sumberdaya yang tidak sedikit.
Mereka yang tersentak itu, pada akhirnya memiliki keberanian
untuk mempertanyakan dan menafsir ulang ritual kematian yang sudah
mapan dan mengakar di desa Pajeng sejak dari generasi-generasi
sebelumnya. Dalam perbincangan atas kejadian itu, sampailah mereka
pada kesimpulan, “ritual ini adalah aktivitas memiskinkan dan tidak
produktif, yang miskin malah akan semakin miskin”.
187
Berdasarkan fakta itulah, mereka menggagas pembentukan RK.
Dua tujuan dari pembentukan RK ini, pertama, memperbaharui praktik
(redesign) ritual kematian memastikan agar warga yang m iskin tidak
semakin miskin; kedua, memastikan RK memiliki manfaat (utility) bagi
kepentingan bersama. Dari rumusan tujuan RK, secara eksplisit terpancar
spirit kemanfaatan. Suatu spirit yang dilandasi oleh prinsip mengusahakan
manfaat atau akibat baik yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin
orang di dalam tindakan-tindakannya. Serta prinsip keadilan, agar orang
tidak mengorbankan hak orang lain dalam mengejar manfaat yang sebesar-
besarnya itu. Manfaat yang dimaksud, tidak hanya terbatas pada pelaku itu
sendiri, melainkan untuk semua yang bisa dipengaruhi dengan perbuatan
itu, baik langsung maupun tidak langsung.
Prinsip kemanfaatan dan keadilan ini terus disosialisasikan para
penggagas RK sejak mengawali pendirian RK sampai dengan saat ini.
Model kemanfaatan yang ditawarkan oleh para penggas RK tidak sama
dengan model utilitarianisme dalam alirat filsafat moral yang menekankan
pada pemenuhan pilihan (preference satisfaction) yang mengandaikan
adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas. Namun,
utilitarianisme yang dilandasi oleh spirit “Ngregani, bantu lan peduli
liyan”. Spirit liyan ini merupakan kekhasan dari prinsip keselarasan,
kerukunan dan harmoni dalam etika Jawa. Karena spirit liyan inilah, maka
proses pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial RK tidak berjalan secara
instant dan seragam. Bingkai spirit “kemanfaatan sosial a la kebajikan
Jawa” yang dilandasi Ngregani, bantu lan peduli liyan inilah yang dalam
perkembangannya telah memungkinkan lahirnya proses-proses diskursif
dalam ruang publik di Desa Pajeng. Di sinilah relevansi titik singgung
pendekatan Berger dan Habermas dalam konteks RK Desa pajeng.
B. Tindakan Komunikatif Para Penggagas Rukun Kematian
Peter L. Berger memperkenalkan gagasan teoretiknya yang dikenal
dengan teori konstruksi realitas sosial atau teori dialektika. Namun pendekatan
188
konstruksi sosial tidak memadai untuk mengungkap bagaimana proses
penafsiran atas realitas yang di dalamnya melibatkan bahasa, kompetensi
komunikatif dan klaim kesahihan.
Bahasa merupakan elemen penting dalam bangunan teoritik Berger
dan Luckmann saat menyatakan pandangannya tentang masyarakat sebagai
realitas objektif, sekaligus realitas subjektif. Analisanya mengenai masyarakat
sebagai realitas subjektif mempelajari bagaimana realitas itu diproduksi dan
bagaimana menjaga kelangsungan individu. Ia menulis tentang bagaimana
konsepsi manusia yang baru menjadi bagian dari realitas. Konsepsinya
tentang struktur sosial, menunjukkan betapa pentingnya bahasa, sebagai
sistem tanda masyarakat manusia yang paling utama. Dasar-dasar
pengetahuan dalam hidup sehari-hari, adalah objektivasi dari proses-proses
dan makna-makna subjektif dimana dunia akal sehat intersubjektif itu
dibentuk. Kenyataan hidup sehari-hari sudah diobjektifikasi, dibentuk oleh
suatu tatanan objek-objek yang sudah diberi nama sebagai objek-objek yang
ada sejak sebelum kita lahir. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari secara terus menerus memberikan kepada kita berbagai objektifikasi yang
diperlukan dan menetapkan tatanan dimana objektifikasi itu bermakna dalam
kehidupan sehari-hari.
Objektifikasi yang sangat penting adalah pembuatan tanda-tanda oleh
manusia. Sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi
lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau
indeks bagi makna-makna subjektif. Tanda-tanda dikelompokkan dalam
sejumlah sistem. Maka ada tanda dengan tangan, sistem gerak gerik badan,
sistem berbagai perangkat artefak dan sebagainya. Tapi sistem tanda yang
paling penting dalam masyarakat manusia adalah bahasa.
Bahasa memberikan kemungkinan untuk terus menerus mengobjektivasi
pengalaman.
Bahasa juga selain menyingkapkan berbagai pengalaman, juga dapat
menganonimkannya, oleh karena dalam prinsipnya pengalaman yang sudah
ditipifikasi dapat ditiru oleh setiap orang. Bahasa menjembatani wilayah-
189
wilayah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari dan mengintegrasikannya
ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Bahasa mampu tidak hanya untuk
membangun simbol-simbol yang sangat diabstraksikan dari pengalaman
sehari-hari, melainkan juga untuk mengembalikan simbol-simbol itu dan
menghadirkannya sebagai unsur-unsur yang objektif nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan cara ini, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-
unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari. Manusia setiap hari hidup
dalam dunia tanda-tanda dan simbol-simbol.
Bahasa memberikan cara-cara untuk mengobjektifikasi pengalaman-
pengalaman baru, memungkinkan pemasukkannya ke dalam cadangan
pengetahuan yang sudah ada, dan ia menjadi alat yang paling penting untuk
meneruskan endapan-endapan yang sudah diobjektivikasi. Maka, objektifikasi
pengalaman dalam bahasa, atau dalam hal ini merupakan transformasi ke
dalam objek pengetahuan yang tersedia, memungkinkannya dimasukkan ke
dalam suatu himpunan tradisi yang lebih luas. Makna-makna yang
diobjektifikasi dari kegiatan kelembagaan dipahami sebagai pengetahuan, dan
ingat setiap perangkat pengetahuan pada akhirnya ditetapkan secara sosial
sebagai kenyataan.
Hal ini tercermin dari perbedaaan bahasa yang digunakan oleh ketiga
golongan dalam dalam proses pembentukan RK di Desa pajeng. Golongan
Pamong menggunakan symbol bahasa Ngregani, bantu lan peduli liyan.
Golongan Islam Puritan, Almuhafadhotu ‘ala qodimis sholih, wal akhdzu bil
jadidil ashlah, wal iijadu bil jadiidil aslah sedangkan golongan Kejawen
menggunakan Kabeh cara sing apik iku sarana kanggo kebajikan sakabehe.
Dalam perspektif Habermas, Bagi setiap agen yang telah belajar cara
menggunakan bahasa dengan baik, tuntutan akan klaim validitas selalu
tertanam di dalam dalam bawah sadar setiap kali dia berkomunikasi. Agen
semacam itu disebut Habermas telah memiliki apa yang disebut kompetensi
komunikatif. Ada empat klaim validitas yang dim unculkan seorang penutur
dalam mengucapkan suatu kalimat: klaim yang bermakna (meaningful), klaim
190
yang benar (truth), klaim yang tepat (rightness), dan klaim yang jujur atau
tulus (truthfulness).
Dengan bahasa tersebut, masing-masing golongan juga hendak
menyampaikan posisi klaimnya. Pada golongan pamong, dalam bahasa
tersebut terkandung klaim ketepatan (claim of rightness). Nilai-nilai rukun
kematian yang dieksternalisasi GP secara substantif berbicara mengenai
norma dan nilai mengenai kesetaraan, keadilan, non diskriminatif, dan
kegotongroyongan melalui manifestasi lembaga Rukun Kematian yang
inklusif dan berorientasi publik. Pada GIP, klaim yang digunakan adalah
klaim kebenaran (claim of thruth). Hal ini tercermin dari tata cara dan
prosedur dalam melaksanakan tradisi slametan kematian tidak boleh
mengandung unsur bid’ah dan musyrik karena tradisi slametan kematian juga
merupakan bentuk dari ibadah. Sedangkan GK menggunakan klaim ketulusan
(sincerity claim) yang ditandai dengan penegasanya bahwa semua cara itu
baik jika demi kebaikan bersama (Kabeh cara sing apik iku sarana kanggo
kebajikan sakabehe).
Masing-masing klaim tersebut juga merepresentasikan jenis-jenis
hubungan dengan dunia (objektif, intersubjektif, subjektif) dan tiga fungsi
bahasa (kognitif, interaktif, ekspresif). Ketiga klaim validitas ini akan ditelisik
satu per satu menggunakan contoh yang mudah dipahami. Pertama, klaim
yang benar (truth) berkaitan dengan apakah pendengar mengetahui keadaan
dunia eksternal sebagaimana yang diketahui oleh pembicara. Kedua, klaim
yang tepat (rightness) berkaitan dengan pertanyaan apakah pendengar dan
pembicara sama-sama berbagi norma dan konvensi sosial yang sama. Klaim
yang jujur (truhfullness) berkaitan dengan apakah pendengar memahami dan
meyakini ekspresi yang pembicara gunakan.
Habermas mempersyaratkan tepenuhinya empat klaim kesahihan, yang
meliputi: pertama, klaim kebenaran (truth): ketika kita bisa sepakat tentang
dunia alamiah dan subjektif, kedua, klaim ketepatan (rightness): ketika kita
sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial; ketiga, klaim
ketulusan atau kejujuran (sincerety): ketika sepakat tentang kesesuaian antara
191
dunia batiniah dan ekspresi seseorang. Dan keempat, klaim
komperehensibilitas (comprehensibility). Setiap komunikasi yang efektif harus
mencapai keempat klaim tersebut. Dalam penelitian ini, masing-masing
golongan hanya bertumpu pada satu klaim dan tidak berupaya untuk mencapai
kesahihan yang komprehensif.
Dengan menggunakan perspektif tindakan komunikatif, penelitian ini
juga telah mengidentifikasi bagaimana keterkaitan antara intenalisasi
pengalaman, pandangan dan rujukan akan mempengaruhi karakteristik
tindakan, orientasi perilaku dan pilihan media sosialisasinya. Keterkaitan itu
dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 7.2 Keterkaitan Internalisasi dengan Komponen Tindakan Komunikatif
Golongan Pamong
Golongan Islam Puritan
Golongan Kejawen
Latar Belakang tindakan
Pengalaman dan tangung jawab sebagai pengayom
Penegakan nilai-nilai agama
Pengakuan terhadap kearifan lokal
Sifat Tindakan
Tindakan Strategis-instrumental
Tindakan Strategis-instrumental
Tindakan Komunikatif
Orientasi Pelaku
Mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
Mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
Mencari kesepahaman (mutual understanding)
Media yang digunakan
Melalui institusi dan rapat-rapat format
Melalui institusi dan forum agama
Melalui ruang-ruang dialog informal
Kompetensi Komunikatif
Kompetensi tahap kesatu dan kedua
Kompetensi tahap kesatu dan kedua
Kompetensi tahap kesatu dan kedua
Tindakan sosial yang dilakukan pada GP dan GIP dibangun melalui
basis kelembagaan yang mereka miliki baik melalui rapat-rapat formal desa
maupun forum-forum keagamaan. GP mampu melakukan mobilisasi untuk
membangun ruang interaksi warga sampai ke tingkat pedukuhan dan RT,
sementara GIP yang merupakan representasi golongan Islam mampu secara
simultan mengekspresikan gagasan-gagasannya di acara-acara pengajian.
192
Dengan dukungan kedekatan hubungan kekerabatan yang erat antara para
inisiator dari kedua golongan ini, tindakan strategis-instrumental kedua
golongan dapat berkolaborasi dengan cepat untuk dalam melakukan revisi
terhadap praktik-praktik tradisi kematian yang berjalan terutama di Dusun
Dodol.
Bagi golongan Kejawen, tindakan sosial yang dilakukannya lebih
berorientasi pada tindakan komunikatif. Melalui ruang-ruang dialog informal
mereka berupaya menciptakan saling pengertian. Namun dalam ruang
informal ini pun, kesetaraan dalam proses interaksi pun tidak terjadi. Mereka
yang dianggap dan diposisikan sebagai “sesepuh” tetap mendominasi dalam
proses komunikasinya. Hal itu menjadikan proses eksternalisasi nilai-nilai
tradisi slametan semakin terbatas.
Tindakan sosial yang dilakukan oleh ketiga golongan di atas tidak
dapat terlepas dari proses-proses interaksi dari para inisiatornya. Habermas
memandang bahwa bahasa merupakan media relasi intersubjektif.
Menurutnya, bahasa adalah kegiatan praktis yang melibatkan ekspresi
tindakan (speech act), cognitive utterance, serta didasarkan pada aturan
gramatikal. Dalam bahasa, aturan gramatikal membentuk dan
mengembangkan interaksi sosial karena dua subjek hadir bersama, melakukan
tindak tutur, serta menaati aturan gramatikalnya. Atas dasar itu, Habermas
menyebutkan pelaku interaksi adalah mereka yang memiliki communicative
competence. Dalam communicative competence, para subjek memiliki
kemampuan merekonstruksi makna pembicaraan dan ekspresi tindakannya
secara timbal balik. Rekonstruksi ini didasari keinginan sadar untuk
memahami maksud pembicaraan berdasarkan aturan dan norma yang telah
diketahui sebelumnya (Habermas, 2000).
Tedapat tiga tahap perkembangan kompetensi komunikatif, pertama,
tahap interaksi melalui simbol-sim bol, dimana tuturan dan tindakan masih
terkait dalam kerangka kerja sebuah komunikasi tunggal yang bersifat
memerintah; Kedua, tatap tuturan yang didiferensiasikan dengan pernyataan-
pernyataan, yang untuk pertama kalinya antara tindakan dan tuturan
193
dipisahkan. Pada tahap ini dikatakan telah terbentuk sebuah “peran sosial”,
karena setiap individu bertindak sebagai pelaku sekaligus pengamat; Ketiga,
pada tahap perbincangan (diskursus) argumentasi. Komunikasi sudah
menyangkut pencarian klaim-klaim kesahihan tindakan- tuturan (Speech-acts).
Melalui pentahapan tersebut yang diinginkan adalah masyarakat komunikatif
yang terbentuk melalui kesepakatan bersama yang didasarkan atas prinsip
konsensus antar masyarakat secara dialogis (F. Budi Hardiman, 24-36, 2009).
Dalam perspektif tindakan komunikatif, subjek tidak hanya
mengeskplorasi simbol bahasa tapi juga harus berkemampuan untuk
mengungkapkan bahasa dan mempelajari lawan bicara melalui ekspektasi
tindakan illokusioner (Hermaji, Bowo, 2013) sehingga bahasa dipelajari dan
dipahami dalam konteks praktis atau penggunaannya. Dengan kata lain, ketika
subjek ingin mengungkapkan satu hal dalam pikirannya (cognitive
utterances), ia dapat mengungkapkannya melalui bahasa atau melalui ekspresi
tindakan. Jika seseorang tidak memahami bahasa yang dimaksud maka orang
itu masih dapat memahaminya berdasarkan ekspresi tindakan. Dengan
demikian, tindakan komunikasi yang dimediasi oleh bahasa dapat
diberlakukan secara universal.
Dalam konteks ini, Habermas mengadopsi konsep W ittgenstein
tentang ‘permainan bahasa’ (language game) sebagai landasan untuk
memperoleh makna komprehensifnya sebagai sarana komunikasi. Language
game mengandaikan makna bahasa muncul dalam penggunaannya (meaning
in use) karena ada aturan spesifik yang menghubungkan tindakan dengan
pembicaraan. Berdasarkan konsep ini, berbahasa adalah tindakan sosial yang
berhubungan dengan simbol linguistik. Dalam bahasa, tindakan sosial ternyata
menggunakan simbol-simbol itu secara teratur sesuai dengan
konteksnya.(Santoso, 1-15, 2007)
Melalui tindakan komunikatif, subjek mengembangkan sistem
referensi tindakan yaitu ‘tindakan yang patuh aturan’ (rule-following action).
Karena tindakan komunikatif mengambil konteks yang berbeda-beda maka
masing-masing konteks memiliki aturan spesifik baik dalam tindakan maupun
194
pembicaraan (perbedaan berdoa dan bercanda). Pemahaman subjek terhadap
aturan memungkinkan relasi itu terjadi dan subjek dapat terlibat di dalamnya.
Dengan demikian, tindakan kom unikatif adalah language game yang
menempatkan bahasa sebagai akumulasi penggunaan simbol linguistik dan
reaksi terhadap tindakan orang lain di mana masing-masing subjek yang
terlibat berusaha mematuhi aturan komunikasi tersebut. (Liliweri, Alo: 2003)
Golongan Pamong yang berlatar belakang sebagai pengayom
mempergunakan bahasa simbolik yang sering dikomunikasikan kepada
masyarakatnya melalui kalimat “ngregani, bantu lan peduli liyan”. Bahasa
simbolik ini dikomunikasikan dengan para inisiator lain dalam golongan
Pamong tentang bagaimana seharusnya prosedur dan aturan tradisi sosial
kematian dilakukan, baik melalui penarikan iuran, pencatatan keuangan
takziah, maupun redistribusi dana kematian.
GP juga mengembangkan kompetensi komunikasi tahap pertama untuk
memberikan perintah dan mengkonsolidasi aparat-aparat sampai ke tingkat RT
dalam membangun kesepakatan dengan warga. Kompetensi komunikasi tahap
pertama dari golongan Pamong ini berkembang menjadi kompetensi
komunikasi tahap kedua yang dioperasionalisasikan melalui pembentukan
Rukun Kematian di Dusun Dodol.
Keberhasilan pengembangan kompetensi tahap kedua ini dibuktikan
dengan terbentuknya Rukun Kematian di Dusun Dodol, sehingga golongan
Pamong dapat menunjukan kebenaran pragmatis melalui keberhasilan: (1)
pemanfaatan sumber daya privat menjadi sumber daya publik yang dibuktikan
dengan pembangunan instalasi air minum HIPAM di RK III, (2) terhapusnya
kewajiban sosial “seren” yang memiskinkan masyarakat, (3) terciptanya
pembagian peran dan tanggung jawab dalam mengelola tradisi kematian
sehingga tidak hanya bertumpu kepada kepala dusun, serta (4) adanya sistem
kompensasi yang jelas dari hasil pungutan dana iuran kematian.
Berbeda dengan GP yang lebih bersumber pada pengaruh intrinsik
dalam penggalian nilai dan bahasa simbolik yang digunakan dalam tindakan
komunikasinya, GIP mempergunakan bahasa simbolik yang berasal dari
195
ajaran agama yakni “almuhafadhotu ‘ala qodimis sholih, wal akhdzu bil
jadidil ashlah, wal iijadu bil jadiidil aslah” untuk mengekspresikan nilai
kewajiban kolektif (fardlu kifayah) dan harmoni. Untuk mewujudkan nilai-
nilai tersebut para inisiator dari golongan Islam ini berkolaborasi dengan
inisiator dari golongan Pamong untuk mengembangkan kompetensi
komunikatifnya sehingga mampu berkembang menjadi kompetensi
komunikatif tahap kedua dalam pembentukan Rukun Kematian di Dusun
Dodol.
GK lebih banyak menggunakan kompetensi komunikasi tahap
pertama, yakni melalui penyampaian simbol-simbol larangan/pantangan dari
ajaran leluhur dalam pelaksanaan tradisi slametan kematian untuk
mempertahankan argumentasinya. Hal ini cukup berhasil di Dusun Jiwo-Bulu,
dimana mereka mampu mempertahankan larangan untuk penggunaan kayu di
areal makam Bulu diluar kepentingan pemakaman, menolak penyediaan
penduso dan mori. Pengembangan komunikasi tahap kedua dilakukan dengan
pembagian peran golongan Kejawen melalui tindakan gotong royong
pembuatan penduso serta pemanfaatan kayu di areal makam untuk pembuatan
blabak dan patok. Tindakan-tindakan tersebut sekaligus menjadi arena unjuk
kebenaran pagmatis GK tentang nilai tradisi slametan kematian mampu
merawat ruang keterlibatan warga dan inisiatif pemanfaatan sumber daya
lokal.
Berdasarkan kategori kompetensi komunikatifnya, terlihat bahwa
ketiga golongan ini belum mampu mengembangkan kompetensi
komunikatifnya sampai kepada tahap yang ketiga. Hal ini dipengaruhi oleh
perbedaan latar belakang, konteks dan sumber pengaruh para inisiator dalam
memaknai nilai-nilai kebajikan dalam tradisi kematian, sehingga basis klaim
kesahihan yang mereka ajukan tidak cukup komprehensif untuk membangun
konsensus dalam tindakan komunikasi yang dilakukan.
Tindakan komunikatif adalah suatu tindak komunikasi yang
mengarahkan diri pada konsensus. Kom unikasi yang dimaksud pada dasarnya
dimulai dari komunikasi pada kehidupan sehari-hari, namun bukan hanya
196
pada komunikasi naif. Orang dapat mencapai konsensus dalam berkomunikasi
ketika dia mampu memahami maksud dan kepentingan lawan bicara, juga
menyampaikan maksud dan kepentingannya, kemudian menentukan argumen
yang memungkinkan untuk dapat diterima oleh kedua belah pihak. Didalam
komunikasi tersebut masyarakat harus membuat lawan bicaranya memahami
maksudnya dengan berusaha mencapai klaim-klaim kesahihan (validity
claims). Klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa
paksaan sebagai hasil konsensus.
Untuk mencapai konsensus, Habermas mempersyaratkan tepenuhinya
empat klaim kesahihan, yang meliputi: pertama, klaim kebenaran (truth):
ketika kita bisa sepakat tentang dunia alamiah dan subjektif, kedua, klaim
ketepatan (rightness): ketika kita sepakat tentang pelaksanaan norma-norma
dalam dunia sosial; ketiga, klaim ketulusan atau kejujuran (sincerety): ketika
sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. Dan
keempat, klaim komperehensibilitas (comprehensibility. Setiap komunikasi
yang efektif harus mencapai klaim keempat, dan orang-orang yang mampu
berkomunikasi, dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebut Habermas
sebagai orang yang memiliki kompetensi komunikatif.
Habermas juga membedakan argumentasi ke dalam dua macam:
pertama, argumentasi yang disebut sebagai diskursus (discours), dan yang
kedua, argumentasi yang disebut sebagai kritik. Diskursus secara sederhana
dapat diartikan sebagai perbincangan atau pewacanaan terhadap problem
tertentu secara rasional dan reflektif. Diskursus dilakukan guna memenuhi
kemungkinan terjadinya konsensus (kesepahaman).
GP tidak mampu mengembangkan kompetensinya sampai dengan
tahap ketiga dalam mengembangkan Ruku Kematian terutama di Dusun Jiwo-
Bulu karena klaim kesahihan yang diajukannya berupa klaim ketepatan
(rightness) dianggap tidak relevan oleh golongan Kejawen. Gagasan nilai
tentang keguyuban dan kegotongroyongan yang menjadi dasar klaim
keshahihan bagi golongan Pamong ternyata tidak kontekstual dengan kondisi
sosial yang ada di Dusun Jiwo-Bulu dalam anggapan golongan Kejawen.
197
Lebih jauh, golonan Kejawen ini “menggugat” klaim ketepatan yang di
ajukan oleh golongan Pamong melalui kritik tentang mekanisme re-alokasi
dana layatan untuk kepentingan publik. GK menganggap bahwa dana layatan
adalah hak privat keluarga orang yang meninggal dan tidak seharusnya
dilakukan pemotongan apapun alasannya. Kritik terhadap klaim ketepatan GP
ini sekaligus menjadi salah satu argumentasi bagi GK dalam memposisikan
klaim ketulusan dalam mempertahankan tradisi slametan kematian.
Berbeda dengan kedua golongan di atas dalam mengajukan
argumentasi yang menjadi basis klaim kesahihannya, GIP lebih mendasarkan
klaimnya pada klaim kebenaran. Mereka memandang bahwa kebenaran
hanyalah apa yang agama Islam sebut benar. Kebenaran tradisi slametan
kematian menurut golongan Islam haruslah sesuai dengan tuntunan fikih (tata
cara berdasar hukum Islam).
C. Dinamika Konsensus dan Pelembagaan Rukun Kematian
Proses kolaborasi dan konsensus antar golongan selama pembentukan
Rukun Kematian dalam rentang waktu hampir 20 tahun, ditemukan dinamika
yang menarik. Dinamikanya dapat dibedakan dalam tiga model formasi
konsensus: pertama model pendekatan hegemonik yang tergambar pada
Rukun Kematian kelompok I, II dan III. Kedua, model pendekatan
volunteristik yang tergambar pada Rukun Kematian kelompok IV, dan ketiga
model pendekatan pro-eksistensi sebagaimana yang tergambar dalam Rukun
Kematian kelompok V dan VI.
Dalam penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi implikasi dari
model pendekatan komunikasi dari masing-masing golongan. Implikasi
tersebut dikategorikan ke dalam tiga pendekatan, yakni (1) Hegemonik, (2)
Pro-eksistensi dan (3) Volunteristik. Hegemoni bisa dilakukan bukan saja
oleh kelas penguasa, tapi faktanya bisa terjadi pada kelompok-kelompok
sosial untuk memimpin, memperluas serta mempertahankan kekuasaannya.
Sifat voluntaristik berarti bahwa ada rasa suka rela, ikhlas, tulus, dan
senanghati dari individu dalam bertindak untuk mengadaptasikan tindakannya
198
agar sesuai dengan sistem sosial-budaya dimana individu tersebut hidup,
bahwa tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan
mengindahkan nilai, ide, dan norma yang disepakati (Parsons). Sedangkan
dalam pendekatan koeksistensi, setiap individu merupakan subjek yang
bertindak. Dimensi diri (self) individu, terdiri dari diri sebagai objek (yang
ditunjukkan oleh Mead dengan “me”, dan diri sebagai subjek yang
ditunjukkan dengan “I”). Dimensi diri (self) ini tidak lepas dari ruang
kapasitas yang dimiliki manusia atas spontanitas dan kebebasan (Turner,
1986: 315-316). Artinya, manusia selalu berkoeksistensi di antara
kebebasannya sebagai mahluk yang berkesadaran dengan diterminitas sosial
yang melingkupinya. (Turner, Jonathan H., 1986, The Structure of
SociologicalTheory, The Dorsey Press, Chicago.)
Proses pembentukan Rukun Kematian kelompok I-III diinisiasi oleh
GP melalui tokoh-tokohnya AW dan Sy yang memiliki legitimasi untuk
melakukan Islamisasi dalam praktik tradisi slametan kematian di Dusun Dodol
serta memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam membentuk kelembagaan
Rukun Kematian. Di sisi lain, tokoh-tokoh seperti L , SH , T dan AP sebagai
representasi GP yang memiliki kekuatan (power) untuk melakukan
mobilisiasi birokrasi desa sampai dengan tingkat RT, mempunyai kepentingan
yang sama untuk melakukan revisi terhadap praktik-praktik tradisi slametan
kematian. Kolaborasi antara para tokoh ini diperkuat juga oleh hubungan
kekerabatan yang dekat sehingga tercipta soliditas dan dominasi antar kedua
golongan di wilayah Dusun Dodol. Melalui tindakan bahasa regulatif-
konstantif serta moda komunikasi kognitif-interaktif, kolaborasi kedua
golongan ini berimplikasi pada pendekatan hegemonik sehingga proses
pembentukan Rukun Kematian I-III memiliki kecepatan dalam pembentukan,
pelembagaan dan legitimasinya.
Pada Rukun Kematian kelompok IV, proses inisiasi awal dilakukan
oleh GP melalui T dan GIP melalui AW. Namun karena pengaruh GIP di
Dusun Pajeng tidak sekuat di Dusun Dodol, proses pembentukan RK IV
praktis hanya mengandalkan kekuatan dari GP melalui mobilisasi birokrasi di
199
Dusun Pajeng, dan dan sayangnya tidak mendapatkan dukungan dari GK
yang ada di Dusun Pajeng. Oleh karena itu meskipun sempat dibentuk, RK IV
mengalami kevakuman selama 11 tahun.
Setelah melihat contoh praktik tradisi slametan kematian di RK I-III,
golongan Kejawen dan warga tumbuh kesadarannya untuk menciptakan
manfaat-manfaat sosial ekonomi yang dapat ditimbulkan melalui
pembentukan Rukun Kematian. Pada prosesnya, warga sendirilah yang secara
sukarela meminta kepada GP dan GIP yang diwakili oleh T dan AW untuk
melakukan sosialisasi pembentukan RK kepada warga Dusun Pajeng. Dalam
proses pembentukan RK IV ini menggunakan tindakan bahasa regulatif-
avowal dan moda kom unikasi interaktif-ekspresif sehingga berimplikasi pada
pendekatan volunteristik, dimana keterlibatan GP hanya sebagai pemberi
legitimasi.
Dari proses pembentukan keenam RK tersebut di atas dapat
tergambarkan bahwa proses konstruksi sosial Rukun Kematian tidaklah
berada dalam yang otonom sebagaimana dinyatakan oleh Berger melalui
pendekatan konstruksi sosialnya atau Habermas yang selalu mengedepankan
rasionalitas dua arah serta kompetensi komunikatif. Efektifitas dari proses
eksternalisasi dan kualitas proses diskursif ditentukan prasyarat situasi yang
memungkinkan terjadinya cross-cutting of power, cross cutting of affiliation
dan common of social-economic benefit.
Cross cutting of power adalah interseksi atau silang-menyilang antar
kekuatan dalam masyarakat. Dalam proses pembentukan Rukun Kematian
kelompok I-III, terjadi interseksi dari kekuatan Golongan Pamong dan
Golongan Islam Puritan. Koloborasi keduanya sepanjang proses pelembagaan
dan penguatan rukun kematian berlangsung dengan pendekatan hegemonik.
Keduanya menghegemoni warga dengan legitimasi politik dan agama.
Prosesnya berlangsung instan dan otoritatif. Cross cutting of power ini
mempunyai tiga sifat fundamental, yakni (1) adanya fasilitas sharing of
politics power; (2) bersifat akomodatif; dan (3) adanya sifat toleransional
yang berfungsi meredam primordialisme dan politik identitas. Tiga sifat
200
fundamental dari cross cutting of power ini dibuktikan dengan komposisi
pengurus Rukun Kematian kelompok I-III yang merupakan representasi dari
masing-masing golongan (Pamong dan Golongan Islam puritan), akomodatif
terhadap tata-cara yang dikehendaki oleh Golongan Islam Puritan dalam
melakukan islamisasi prosesi slametan kematian, tetapi juga di sisi lain tetap
menjaga agar identitas primordial / keislaman tidak m uncul secara mencolok
dengan memilih tidak menamakan Rukun Kematian sebagai Rukun Kematian
Islam.
Common of social-economic benefit merupakan penghayatan bersama
terhadap kemanfaatan sosial dan ekonom i.. Golongan Kejawen dan warga di
Dusun Pajeng melihat bahwa dengan terbentuknya Rukun Kematian seperti di
RK I-III, dapat mengkoordinir keguyuban warga dalam tradisi slametan
kematian, meringankan beban finansial keluarga yang meninggal melalui
iuran dan sumbangan kematian yang dikum pulkan secara kolektif melalui
pengurus Rukun Kematian, dan lebih jauh lagi dapat membantu pembangunan
HIPPAM. Common of social-economic benefit ini memunculkan pendekatan
volunteristik seperti terjadi pada pembentukan Rukun Kematian Kelompok IV
di Dusun Pajeng.
Cross cutting of affiliation adalah suatu keadaan di mana terjadinya
silang-menyilang di antara anggota masyarakat dalam kelompok sosial.
Adanya perbedaan terhadap pemahaman keagamaan dan tradisi tidak lantas
menafikan status sebagai orang Jawa dan warga desa. Rukun Kematian
kelompok V-VI yang dihasilkan dari pendekatan pro-eksistensi merupakan
contoh yang dapat menggambar terjadinya cross cutting of affiliation.
Interseksi pendekatan konsesnsus dalam proses pelembagaan RK dari ketiga
golongan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 7.1 Karakteristik Tindakan Sosial, Kom petensi Komunikatif dan Jenis Klaim Tiga
Golongan
201
Dari gambar di atas juga dapat terlihat bahwa sebenarnya telah terjadi
konsensus dalam pembentukan Rukun Kematian di masing-masing kelompok
meskipun dalam formasi yang berbeda-beda. Secara ideal Habermas
mempersyaratkan pencapaian konsensus dengan terpenuhinya empat klaim
kesahihan yakni: klaim kebenaran (truth), klaim ketepatan (rightness), klaim
ketulusan atau kejujuran (sincerety), dan klaim komperehensibilitas
(comprehensibility).
Namun pada praktiknya, dalam pembentukan Rukun Kematian di Desa
Pajeng seperti diulas dalam bab sebelumnya menunjukan fakta bahwa: (1)
Keenam RK di Desa Pajeng memiliki orientasi nilai kebajikan sosial yang
berbeda-beda; (2) Kompetensi komunikatif dari ketiga golongan masih berada
pada tahap satu dan dua; (3) Masing-masing golongan masih berada dalam
posisi klaimnya masing-masing, GP menggunakan klaim ketepatan
(rightness), GI menggunakan klaim kebenaran (thruth) sedangkan GK masih
tetap berpegang teguh pada klaim ketulusan/kejujuran (sincerity).
Ketiga fakta tersebut nyatanya tidak lantas membuat Rukun Kematian
tidak terbentuk. Konsensus yang terbangun melalui pembentuan Rukun
Kematian dengan ketiga pendekatan tersebut merupakan pola yang unik dan
tidak semuanya berdasarkan pada keputusan rasional. Dengan model formasi
konsensus Rukun Kematian Desa Pajeng ini menunjukan bahwa rasionalitas
202
komunikatif yang digagas oleh Habermas ternyata tidak cukup memadai
untuk diterapkan dalam konteks masyarakat Pajeng.
D. Interpolasi Konstruksi Sosial dan Tindakan Komunikatif
Interpolasi antara pendekatan konstruksi sosial dan tindakan
komunikatif ditentukan oleh ada tidaknya diskursus dan ruang publik di dalam
momen eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dalam penelitian ini
ditemukan fakta bahwa golongan pamong memiliki peran yang signifikan di
dalam mewarnai diskursus dan penciptaan ruang publik pada pembentukan
Rukun Kematian. Skema interpolasi dapat dilihat dalam gambar berikut :
203
Gambar 7.2 Interpolasi Konstruksi Sosial dan Tindakan Komunikatif Rukun Kematian
204
Peran GP ini diawali dengan proses reinterpretasi atas dunia sosial di
Desa Pajeng. Reinterpretasi ini dilakukan dalam realitas intersubjektif yang
melibatkan unsur-unsur otoritatif, kultural, dan politik. Representasi realitas
intersubjektif yang terbentuk dari ketiga unsur ini, merupakan akselerator dari
kekuatan klaim yang diperbincangkan oleh kelompok-kelompok lain yang
terkait dengan Rukun Kematian. Kekuatan klaim ini tidak dengan serta merta
menjadikan GP mendominasi seluruh perbincangan di ruang publlik.
Kebajikan sosial yang diusung serta kemanfaatan sosial yang disosialisasikan
secara terus menerus melalui proses generative dialogue telah menciptakan
terbangunnya ruang publik yang kondusif bagi terjadinya cross cutting klaim
dalam proses diskursus tentang Rukun Kematian.
Situasi yang kondusif ini merupakan entry point dari terjadinya proses
objektivasi nilai-nilai kebajikan sosial Rukun Kematian. Kondusifitas ini
tampak pada terbentuknya lembaga Rukun Kematian sebagai konsensus dari
semua pihak dan dilegitimasi melalui SK Kepala Desa. Namun demikian,
masih terdapat diskursus dari setiap golongan terutama dalam tatacara,
habituasi, dan bahasa yang digunakan. Pengaruh dari diskursus cross cutting
klaim-klaim setiap golongan ini akan terlihat pengaruhnya pada proses
institusionalisasi pembentukan kelompok-kelompok Rukun Kematian.
Pengaruh tersebut dimanifestasikan dalam ragam karakteristik dan inisiatif
lokal dari masing-masing kelompok Rukun Kematian yang berbeda-beda
antara kelompok Rukun Kematian I sampai dengan Kelompok Rukun
Kematian VI.
Dalam momen internalisasi Rukun Kematian, diskursus terjadi dalam
proses resosialisasi. Karakteristik masing-masing golongan akan terlihat dari
fragmentasi resosialisasi Rukun Kematian yang sudah terbentuk. GP lebih
memilih untuk menciptakan ruang sosial melalui pertemuan-pertemuan formal
(pertemuan desa dan pengurus RK), GIP lebih memilih untuk memanfaatkan
ruang sosial keagamaan yang sudah berjalan (pengajian dan ceramah rutin),
sementara GK melakukan resosialisasi melalui ruang-ruang informal berupa
ujaran, nasehat, dan praktik-praktik tradisi yang berlangsung di Desa Pajeng.
205
Keberhasilan momen internalisasi ini ditandai dengan reifikasi berupa
penghapusan tradisi seren dan rekognisi dari pemerintah Kabupaten melalui
tawaran bantuan dana operasional. Namun yang menarik, penolakan bantuan
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pajeng menunjukkan bahwa proses
dialektika konstruksi sosial rukun kematian ini selain menciptakan
kemanfaatan sosial ekonomi sekaligus juga mampu membangun harga diri
(dignity) dari masyarakat Desa Pajeng.
Diskursus dalam dialektika konstruksi sosial Rukun Kematian ini telah
membangun keragaman dan kekayaaan khasanah nilai-nilai kebijakan sosial
dalam ritual kematian Desa Pajeng. Cross cutting klaim masing-masing
golongan telah membentuk lembaga Rukun Kematian yang memiliki nilai
kebajikan sosial: keadilan, kesetaraan, non diskriminasi, tanggung jawab
kolektif, harmoni, dengan tetap menghormati ajaran dari para leluhur. Nilai-
nilai ini diwujud-nyatakan dengan tipifikasi Rukun Kematian yang ngregani,
mbantu dan peduli liyan. Tipifikasi ini menunjukan bahwa Rukun Kematian
yang terbentuk di Desa Pajeng adalah Rukun Kematian yang saling
menghargai, inklusif, dan memiliki kemanfaatan secara sosial dan ekonomi.
206
BAB VIII
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengelaborasi konstruksi makna
ritual kematian sebagai nilai-nilai kebajikan sosial; (b) mengidentifikasi
proses dan implikasi pelembagaan Rukun Kematian dan implikasinya
terhadap inisiatif-inisiatif lokal dalam pembangunan desa; dan (c)
Mengelaborasi dinamika tindakan komunikatif para penggagas Rukun
Kematian serta ragam pelembagaan Rukun Kematian. Dengan rumusan
permasalah pokok: (a) Bagaimana konstruksi pemaknaan ritual Kematian
sebagai wujud kebajikan sosial? (b) Bagaimana proses konstruksi
pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial Rukun Kematian dan implikasinya
terhadap inisiatif lokal pembangunan desa; (c) Bagaimana tindakan
komunikatif para penggagas Rukun Kematian terhadap warga masyarakat?
Dari permasalahan penelitian tersebut peneliti bermaksud untuk
menemukan spirit dan pendekatan baru yang lebih kontekstual dan inovatif,
namun tetap meletakkan martabat masyarakat sebagai subjek yang mampu
menjadi energi perubahan. Intensi ini dilandasi oleh kenyataan yang
berkembang selama ini, dimana kebijakan pembangunan perdesaan justru
semakin menghancurkan energi sosial dan merapuhkan bangunan martabat
masyarakat perdesaan. Kebijakan-kebijakan yang bersifat top-down justru
menjadi instrumen kolonialisasi ruang-ruang publik yang cepat atau lambat
akan berakibat buruk bagi masa depan pembangunan masyarakat perdesaan di
Indonesia.
Fenomena Desa Pajeng telah menginspirasi dan memberikan harapan
baru bahwa di tengah situasi tersebut masih ada kesempatan untuk melakukan
pembaharuan yang lebih bermakna dan berdimensi masa depan bagi
kehidupan masyarakat desa yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.
207
Beberapa poin penting untuk mewujudkan pembaharuan yang bermakna dan
bermartabat itu terumuskan dalam kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai kebajikan sosial dikonstruksi melalui konfigurasi dan
interpolasi antara makna-makna yang berdimensi personal-
transendental dan sosial-resiprokal, kualitas representasi, intensi
bersama (collective intention) untuk mencapai kemanfaatan sosial dan
ekonomi, dan hadirnya dialog generatif.
Secara empirik, kesimpulan tersebut mengandung makna sebagai
berikut:
Nilai kebajikan sosial adalah hasil perjumpaan, pertautan, dan
pengikatan dari makna yang bersifat personal-transendental seperti
ketaatan terhadap ajaran agama, keyakinan-keyakinan personal, serta
kecintaan dan penghargaan kepada kerabat, dan sosial-resiprokal seperti
keguyuban dan kegotongroyongan, yang dalam term sosiologi disebut
sebagai sentiment of locality. Di dalam penelitian ini proses tersebut
didefinisikan sebagai “hibriditas”, yakni terjadi pelenturan antara
dimensi-dimensi personal transendental dan sosial resiprokal yang
menghasilkan makna-makna baru yang difahami dan disepakati semua
pihak.
Proses hibriditas nilai ini akan semakin kredibel jika ditandai oleh
adanya kualitas keterwakilan, tanpa terjebak pada atribut-atribut dan
kewenangan formal, mayoritas-minoritas, tua-muda, dan sebagainya.
Adanya nilai kebajikan sosial (NKS) dan kualitas representasi (KR) ini
akan semakin produktif dan efektif apabila ditindaklanjuti dengan
menghadirkan visi dan intensi bersama untuk mencapai kemanfaatan
sosial dan ekonomi (KSE).
Interaksi antar faktor penentu tersebut semakin bermakna jika di
dalamnya terjadi dialog generative (DG). Yakni, adanya ruang pergaulan
dan perbincangan yang ditandai dengan kesediaan menangguhkan
prasangka dan membuka diri bagi terciptanya intensi, pemikiran dan
gagasan baru. Dialog generatif dalam penelitian ini ditemukan dalam
208
ruang perjumpaan informal seperti pada saat mereka saling sindir, ngeles,
nggedabrus, jagongan, kongkow , cangkrukan dan sejenisnya (Gambar
8.1) maupun ruang perjumpaan formal seperti rembug RT, rembug dusun,
rembug rukun kemakmuran dan rembug desa.
2. Proses konstruksi pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial ditentukan
oleh jenis klaim kesahihan yang diperbincangkan dalam ruang
publik. Klaim-klaim itu akan mewarnai m odel kelembagaannya.
Derivasi (turunan) model pelembagaan akan berpengaruh terhadap
corak-ragam inisiatif lokal dan bentuk-bentuk inovasinya warga
dalam berkontribusi terhadap pembangunan desa.
Ragam model pelembagaan merefleksikan jenis-jenis klaim yang
digunakan oleh para pihak dalam ruang perbincangan dan pergaulan hidup
sehari-hari. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, klaim ketepatan
(rightness) dibahasakan dengan “ngregani, bantu lan peduli liyan”; klaim
kebenaran (thruth) dibahasakan dengan almuhafadhotu ‘ala qodimis
sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, wal iijadu bil jadiidil aslah, semua
tata caranya harus sesuai dengan Islam” ; dan klaim ketulusan (sincerity)
dibahasakan dengan “kabeh cara sing apik iku sarana kanggo kebajikan
sakabeh”.
Klaim ketepatan yang berkelindan dengan klaim kebenaran telah
menghasilkan model pelembagaan berbasis konsensus multipihak seperti
di kelompok Rukun Kematian I, II, dan III. Klaim ketepatan yang
berkelindan dengan klaim ketulusan telah menghasilkan model
pelembagaan yang volunteristik seperti di kelompok Rukun Kematian IV.
Sedangkan klaim kebenaran yang berkelindan dengan klaim ketulusan
menghasilkan model pelembagaan yang pro-eksistensi seperti di kelompok
Rukun Kematian V dan VI.
Keragaman model kelembagaan itu juga akan memicu lahirnya
keragaman inisiatif dan inovasi lokal. Sebagai contoh, model pelembagaan
Rukun Kematian I- III memicu lahirnya inisiatif tentang penggunaan dana
kas Rukun Kematian untuk kepentingan publik seperti pada pembangunan
209
instalasi air minum dalam program HIPAM; model pelembagaan Rukun
Kematian IV memicu lahirnya inisiatif lokal untuk memenuhi kebutuhan
kontekstual seperti pengadaan sarana dan prasarana ritual kematian; dan
model pelembagaan Rukun Kematian V-VI memicu lahirnya inisiatif lokal
untuk memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal seperti yang terlihat
pada bertahannya tradisi pembuatan penduso.
3. Tindakan komunikatif para penggagas Rukun Kematian terhadap
warga dalam membangun pemahaman bersama (mutual
understanding) tidak semata-m ata dialaskan pada rasionalitas dua
arah dan kompetensi komunikatif. Hal yang secara signifikan
berpengaruh untuk mencapai pemahaman bersama adalah terjadinya
dialog generatif, proses diskursif nilai-nilai kebajikan sosial, serta
adanya intensi bersam a untuk mencapai kemanfaatan sosial ekonom i.
Dalam konteks empirik, terbukti bahwa para penggagas rukun
kematian justru lebih banyak memanfaatkan ruang-ruang perbincangan
informal untuk menginisiasi dan mensosialisasikan pembentukan Rukun
Kematian. Para penggagas juga tidak menegasi hal-hal yang dipandang
tidak rasional oleh mereka yang masih berpegang teguh pada ajaran agama
dan/atau aturan-aturan adat. Perjumpaan antara yang rasional dan irasional
secara dua arah justru menggeliatkan proses-proses diskursif terkait rukun
kematian.
Dari sisi kompetensi komunikatifnya, para penggagas juga lebih
banyak menggunakan komunikasi tahap kedua, yakni dengan cara
mendiferensiasikan tutur ke dalam penyataan-pernyataan, memperjelas
peran sosial dan mengarahkan individu sebagai pelaku sekaligus
pengamat. Manifestasi dari kompetensi tahap kedua ini dapat terlihat dari
tindakan gotong royong dalam pembuatan penduso serta pemanfaatan
kayu di areal makam untuk pembuatan blabak dan patok pada saat prosesi
pemakaman
210
211
Gambar 8.1 Ilustrasi Praktik Komunikasi Dialog Generatif
tentang Rukun Kematian di Desa Pajeng
212
B. Implikasi Teoritik
Mengacu pada tujuan penelitian disertasi ini, yakni untuk
mengelaborasi konstruksi makna ritual kematian sebagai kebajikan sosial,
proses pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial serta mengidentifikasi
tindakan komunikatif para penggagas Rukun Kematian di Desa Pajeng.
Penulis telah memilih teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann dan
tindakan komunikatif Habermas.
Pilihan dan penggunaan kedua teori tersebut, utamanya dimaksudkan
untuk lebih memahami proses pemaknaan ritual sehingga melahirkan
“kebajikan sosial baru” sampai terlembaga menjadi rukun kematian.
Sedangkan teori tindakan kom unikatif, digunapersonal kan untuk
mengidentifikasi bagaimana para penggagas rukun kematian, menghadirkan
ruang publik dan proses diskursif sehingga nilai-nilai “kebajikan sosial baru”
itu terlembaga dan melahirkan inisiatif-inisiatif maupun inovasi di Desa
Pajeng.
Pemikiran Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika
era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring
mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke
perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang
lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain
mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger
mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi ‘perang’
antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan diri dalam
pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari
titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu
pada historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan
Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda
masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subjektif (Weber); dan masyarakat
sebagai kenyataan objektif (Durkheim) yang terus berdialektika (Marx). Lalu,
dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau kritis?
Usaha untuk membahas sosiologi pengetahuan secara teroitis dan
213
sistematis melahirkan karya Berger dan Luckmann yang tertuang dalam
buku The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of
Knowledge (tafsiran sosial atas kenyataan, suatu risalah tentang sosiologi
pengetahuan). Ada beberapa usaha yang dilakukan Berger untuk
mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka
pengembangan sosiologi.
Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan
“pengetahuan” dalam konteks sosial. Teori sosiologi harus mampu
menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-
menerus. Gejala-gejala sosial sehari-hari masyarakat selalu berproses, yang
ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat. Oleh karena itu, pusat
perhatian masyarakat terarah pada bentuk-bentuk penghayatan
(Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspek
(kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif). Dengan kata lain, kenyataan
sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial
termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial semacam ini ditemukan
dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas). Melalui
intersubjektifitas dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu
dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubjektifitas menunjuk pada
dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu
kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi.
Kedua, menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman
intersubjektifitas dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Dalam hal ini,
memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti
terbangun dari dimensi objektif sekaligus dimensi subjektif sebab masyarakat
itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang di dalamnya
terdapat hubungan intersubjektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta
dunianya sendiri. Oleh karena itu, dalam observasi gejala-gejala sosial itu
perlu diseleksi, dengan mencurahkan perhatian pada aspek perkembangan,
perubahan dan tindakan sosial. Dengan cara seperti itu, kita dapat memahami
214
tatanan sosial atau orde sosial yang diciptakan sendiri oleh masyarakat dan
yang dipelihara dalam pergaulan sehari-hari.
Ketiga, memilih logika yang tepat dan sesuai. Peneliti perlu
menentukan logika mana yang perlu diterapkan dalam usaha memahami
kenyataan sosial yang mempunyai ciri khas yang bersifat plural, relatif dan
dinamis. Yang menjadi persoalan bagi Berger adalah logika seperti apakah
yang perlu dikuasai agar interpretasi sosiologi itu relevan dengan struktur
kesadaran umum itu? Sosiologi pengetahuan harus menekuni segala sesuatu
yang dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat.
Berger berpandangan bahwa sosiologi pengetahuan seharusnya
memusatkan perhatian pada struktur dunia akal sehat (common sense world).
Dalam hal ini, kenyataan sosial didekati dari berbagai pendekatan seperti
pendekatan mitologis yang irasional, pendekatan filosofis yang moralitis,
pendekatan praktis yang fungsional dan semua jenis pengetahuan itu
membangun akal sehat. Pengetahuan masyarakat yang kompleks, selektif dan
akseptual menyebabkan sosiologi pengetahuan perlu menyeleksi bentuk-
bentuk pengetahuan yang mengisyaratkan adanya kenyataan sosial dan
sosiologi pengetahuan harus mampu melihat pengetahuan dalam struktur
kesadaran individual, serta dapat membedakan antara “ pengetahuan” (urusan
subjek dan obyek) dan “kesadaran” (urusan subjek dengan dirinya).
Di samping itu, karena sosiologi pengetahuan Berger ini memusatkan
pada dunia akal sehat (common sense), maka perlu memakai prinsip logis dan
non logis. Dalam pengertian, berpikir secara “kontradiksi” dan “dialektis”
(tesis, antitesis, sintesis). Sosiologi diharuskan memiliki kemampuan
mensintesiskan gejala-gejala sosial yang kelihatan kontradiksi dalam suatu
sistem interpretasi yang sistematis, ilmiah dan meyakinkan. Kemampuan
berpikir dialektis ini tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki
Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai
makhluk paradoksal. Oleh karena itu, tidak heran jika kenyataan hidup sehari-
hari pun memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif (Berger dan
Luckmann, 2012).
215
Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun
secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisi proses
terjadinya itu. Dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah
yang membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak terpisahkan
dengan masyarakatnya. Waters (1994) mengatakan bahwa:
“they start from the premise that human beings construct sosial reality in which subjectives process can become objectivied”.
Mereka mulai dari pendapat bahwa manusia membangun kenyataan
sosial di mana proses hubungan dapat menjadi tujuan yang pantas. Pemikiran
inilah barangkali yang mendasari lahirnya teori sosiologi kontemporer
“kostruksi sosial”.
Dalam sosiologi pengetahuan atau konstruksi sosial Berger dan
Luckmann, manusia dipandang sebagai “pencipta kenyataan sosial” yang
objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan objektif
mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang
mencerminkan kenyataan subjektif). Dalam konsep berpikir dialektis (tesis-
antitesis-sintesis), Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia
dan manusia sebagai produk masyarakat. Yang jelas, karya Berger ini
menjelajahi berbagai implikasi dimensi kenyataan objektif dan subjektif dan
proses dialektis objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi.
Selain menjadi perintis sosiologi pengetahuan, Berger secara tegas
mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal
ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger
dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger
terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-
annya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson
menggolongkan Berger sebagai Durkheimian: Usaha Berger dan Luckmann
merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan
usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada
pandangan fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun
Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui
216
jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan
empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 2012).
Dalam teori konstruksi sosial, Berger dan Luckmann mengasumsikan
bahwa realitas dan pengetahuan adalah hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi
itu terbentuk melalui proses institusionalisasi, legitimasi, dan sosialisasi.
Proses institusionalisasi adalah pembentukan pola, aturan, atau peran di antara
kelompok orang. Legitimasi menjadi pengesahan dalam penjelasan-penjelasan
secara logis terhadap proses institusionalisasi. Proses lanjutan adalah institusi
dipertahankan dengan disosialisasikan pada anggota-anggota baru dalam
kelompok sosial.
Berger dan Luckmann mengembangkan suatu teori sosiologi, dimana
masyarakat dipandang sebagai realitas objektif, sekaligus realitas subjektif.
Analisanya mengenai masyarakat sebagai realitas subjektif mempelajari
bagaimana realitas itu diproduksi dan bagaimana menjaga kelangsungan
individu. Ia menulis tentang bagaimana konsepsi manusia yang baru menjadi
bagian dari realitas. Konsepsinya tentang struktur sosial, menunjukkan betapa
pentingnya bahasa, sebagai sistem tanda masyarakat manusia yang paling
utama, konsepsi ini mirip dengan Konsepsi Hegel tentang Geist.
Realitas sosial, pada dasarnya bisa dilihat dalam lingkup tataran makro
dan mikro. Atau dilihat dari lingkup masyarakat, dan lingkup individu
individu. Social Contruction of Reality awalnya melihat pada lingkup realitas
yang sifatnya mikro yaitu bagaimana realitas objektif diketemukan dalam
hubungan individu dengan individu, serta hubungannya dengan lembaga-
lembaga sosial. Lembaga-lembaga sosial, termasuk masyarakat merupakan
produk kegiatan individu manusia. Struktur sosial yang objektif merupakan
suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi, atau
interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada. Jadi
sebenarnya teori ini di satu sisi menyoroti lingkup realitas mikro, tapi di sisi
yang lain juga memberikan pembahasan masyarakat sebagai realitas makro.
Hal itu nampak ketika membahas masyarakat sebagai kenyataan subjektif.
Disitu dipahami tatanan sosial sudah ada, dan individu mempelajarinya
217
melalui sosialisasi dan internalisasi, hingga terbentuknya masyarakat sebagai
realitas subjektif. Artinya masyarakat sudah ada sebelum individu baru lahir,
kemudian individu itu belajar menjadi bagian masyarakat melalui sosialisasi
dan internalisasi. Sehingga menurut mereka masyarakat dan individu itu
saling menghasilkan dalam sebuah proses yang terus menerus, kontinyu. Jadi
dapat disim pulkan disini, Berger dan Luckmann sebenarnya menggabungkan
antara analisis mikro dan makro. Menggabungkan antara kajian psikologis dan
sosial. Mereka ingin menjabatani dua realitas itu dalam teori konstruksi sosial
tentang realitas.
Gagasan konstruksi sosial ini te lah dikoreksi pemikiran
deconstructionism yang dikemukakan oleh Derrida pada tahun 1978. Inti dari
gagasan ini adalah bahwa terdapat proses dekontruksi makna di masyarakat
terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini melahirkan
tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dengan metode penafsiran
(interpretation) atas sebuah realitas sosial. Koreksi dari Derrida menegaskan
kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode
penafsiran. Kemudian interpretasi yang digunakan individu terhadap realitas
sosial bersifat sewenang-wenang. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran
Habermas bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia
(baik empiris-analitis, historis-hermeneutik, maupun kritis) dengan
kepentingan (teknis, praktis, atau yang bersifat emansipatoris), meski tak
dapat disangkal bahwa yang terjadi juga sebaliknya, yakni “pengetahuan”
adalah produk “kepentingan”. Habermas sendiri menjadi acuan dalam
teoritisasi mengenai opini publik, meski tidak memandang bahwa sebuah
penafsiran publik erat kaitannya dengan proses-proses sosial yang dimaknai
oleh kepala individu di dalamnya, dalam bentuk konstruksi tertentu.
Pengritik lain juga menyatakan bahwa Peter L Berger mengabaikan
perspektif epistim ologis dan metodologis dalam usaha mencari produk realitas
common sense. Ia tidak merekomendasikan penggunaan metode tertentu untuk
mengetahui realitas, misalnya apakah dengan menggunakan
ethnomethodology, ethnography, conversation analysis, symbolic
218
interactionism, cognitive anthropology, hermeneutika, dan sebagainya.
Makanya, di dalam memahami masyarakat perlu menggunakan beragam
metode. Artinya, diperlukan pengayaan dari metode lain seperti discourse
analysis, narrative analysis, phenomenology, grounded theory, analytic
induction, sensitizing concepts, semiotics, verstehen, erlebnis, hermeneutics,
post-structuralism, dan ‘- isms’ dan idee lainnya (Gilgun and Abrams, 2002).
Aplikasi perspektif Berger dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
asumsi dan proses dialektik tersebut telah memandu dan memperkaya peneliti
dalam mengelaborasi proses konstruksi di level individu. Namun asumsi dan
proses dialektika tersebut tidak cukup memadai untuk menggambarkan proses
konstruksi di tingkat kelompok. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa
realitas dan pengetahuan di tingkat kelompok tidak selalu dikonstruksi dalam
tahapan proses institusionalisasi, legitimasi dan sosialisasi. Konstruksi di
tingkat kelompok bisa terjadi dengan seketika, jika mereka dihadapkan pada
“realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai“ dalam diri masing-masing
anggota kelompok. Dalam situasi semacam ini, tanpa institusionalisasi dan
legitimasi, para anggota kelom pok akan melangsungkan proses sosialisasi.
Selain karena faktor realitas yang bertentangan dengan nilai-nilai, proses
institusionalisasi dan legitimasi juga tidak diperlukan ketika anggota-anggota
kelompok tersebut memiliki biografi, otoritas dan memiliki kualitas
representasi yang tinggi.
Kurang memadainya pendekatan konstruksi sosial sebagai pisau
analisis dalam memahami konstruksi sosial pada kelompok, merupakan
implikasi dari rujukan Berger terkait makna dalam kehidupan sehari-hari,
yang merujuk konsep Schutz dan Mead tentang ’I’ and ’me’ dan significant
others-nya untuk menjelaskan internalisasi, juga menggunakan gagasan Marx
untuk menggambarkan proses dialektika antara individu adalah produk
masyarakat, masyarakat adalah produk manusia. Terdapat kekacauan unit
analisis antara aktor dan struktur. Di Pajeng menjadi mudah karena kebetulan
akor yang diteliti memiliki pengaruh signifikan dalam struktur sosial, tetapi
219
akan berbeda apabila aktor yang diteliti tidak memiliki pengaruh secara
signifikan.
Terbersit dalam benak peneliti, pandangan Berger tentang klasifikasi
realitas subjektif dan realitas objektif itu bukan sesuatu yang baru dalam
konteks filosofi jawa. Penggunaan perspektif konstruksi sosial berger ini
justru berpotensi mereduksi kekayaan perspektif spiritual (melampaui
pengetahuan) yang mengendap dalam alam spiritualitas para narasumber,
yang dalam hal ini adalah orang-orang Jawa.
Dalam khasanah kejawen setiap manusia itu berada dalam dua dimensi
yang saling berhubungan. Manusia merupakan miniatur dari alam semesta
atau perwujudan kecil dari dunia. Karena dalam diri manusia terdapat apa
yang juga ada di dunia ini. Ada gunung, pohon besar, sungai dan samudra.
Maka dari itu manusia disebut jagad cilik, sedangkan alam semesta disebut
jagad gedhe.
Jagad cilik selalu berhubungan dengan jagad gedhe. Hubungan itu
diwujudkan dalam pernapasan, dimana jagad cilik membutuhkan hawa untuk
menghidupkan nyawa sebab nyawa tanpa hawa akan mati. Apabila terputus
hubungannya maka akan menyebabkan kematian. Prinsip itu termuat dalam
Pupuh Gambuh yang berbunyi :
Jembaring samudragung, tanpa tepi anglangut kadalu, suprandene makasih gung manungsa iki, alas jurang kali gunung, neng raganira wus katon.
Artinya, Luasnya samudra raya, tiada bertepi dan sejauh mata
memandang, tetapi masih besar adanya manusia ini, hutan jurang sungai
gunung, di dalam diri manusia. Untuk memperoleh hidup yang bahagia dunia
akhirat dengan jalan kejawen, maka seseorang harus mampu memahami
jagad gedhe (alam semesta) dan jagad cilik (diri pribadi). Setelah mampu
memahami kedua jagad itu, maka harus mampu pula untuk menyatukannya
agar diperoleh keselarasan hidup. Konsep filosofi ini diwujudkan dalam
220
sangkan paraning dumadi, memayu hayuning bawono, dan manunggaling
kawulo gusti.
Sangkan paraning dumadi adalah konsep tentang pentingnya
memehami kehidupannya dengan mengenal, memahami dan menyadari
sepenuhnya dirinya ; siapa, apa, mengapa, dari mana asal usul, dan kemudian
menentukan sikap bagaimana arah kehidupannya. Semuanya dikaitkan
langsung dengan keberadaan manusia yang berasal atau sebagai ciptaan
Tuhan yang dilahirkan secara turun temurun dari leluhur dan akan berakhir
kembali kepada Tuhan sebagai penciptanya.
Dalam menentukan sikap bagaimana arah hidupnya, landasan berpikir
yang dipakai adalah hasil kontemplasi dalam kesadaran penuh sebagai utusan
Tuhan untuk merawat bumi. Konsepsi ini dikenal sebagai memayu hayuning
bawana. Konsep ini pada masa lalu dipakai oleh masyarakat di berbagai
kerajaan di tanah Jawa untuk menghasilkan masyarakat yang beradab, aman,
tenteram, dan menyatu dengan lingkungan dan ekosistemnya; konsep yang
diterapkan untuk pengelolaan lingkungan dan masyarakat untuk menjamin
keserasian, keselarasan, kesinambungan, serta harmonisasi lingkungan dan
ekosistem.
Dewasa ini konsep ini banyak ditinggalkan oleh penguasa dan
masyarakat. Hal itu terjadi karena pola-pola industri dan kemajuan teknologi
sudah demikian menguasai kehidupan manusia sehingga banyak terjadi
kerusakan pada ekosistem akibat kecerobohan dan keserakahan manusia yang
tidak mempertimbangkan keseimbangan dan kesinambungan alam namun
hanya memikirkan keuntungan semata. Demikian kuatnya pengaruh
industrialisasi ini sehingga memaksa penyesuaian nilai dan norma.
Kapitalisasi industri mendorong nilai nilai keserakahan dengan motto:
“pengorbanan sekecil-kecilnya menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya”.
Motto tersebut mendorong perubahan sikap hidup dari masyarakat yang guyub
dan harmonis menjadi masyarakat individual materialistis.
Sejak itu maka ciri-ciri lokal masyarakat mulai bergeser. Konsep-
konsep kearifan lokal seperti konsep memayu hayuning bawana sudah tidak
221
lekat lagi dalam masyarakat. Sejalan dengan hal itu maka batas-batas interaksi
dan batas pengetahuan penduduk makin melebar. Meskipun kepemimpinan
lokal masih penting, hubungan dengan dunia luar telah menyebabkan
melemahnya keyakinan akan sesuatu yang bersifat magis dan supranatural.
Individu-individu terintegrasi ke dalam suatu dunia dan sistem relasi di luar
tatanan budaya lama masuk dalam budaya baru globalisasi.
Dalam konsep manuggaling kawulo gusti, pemahaman yang kuat atas
Tuhan sebagai penguasa dan pencipta alam semesta berikut ekosistemnya,
menjadikan manusia secara spiritual mempunyai interaksi yang kuat dengan
Sang Pencipta. Dalam konsepsi Kejawen diyakini bahwa Sang Pencipta
keberadaannya sangat dekat, “cedak tanpo senggolan, gumilang tanpo
wayangan” di dalam setiap badan individu manusia, interaksi kuat ini
menciptakan hubungan manuggaling kawulo lan gusti.
Manunggaling kawula kalawan gusti (bersatunya manusia dengan
Sang Pencipta) diwujudkan dalam bentuk melenyapkan egoisme dan ke-aku-
an sehingga akan tercapai dunia yang sesungguhnya. Hal tersebut akan dicapai
melalui empat jalan mistik atau laku batin yang harus dilalui, yakni: pertama,
panekung artinya semedhi secara khusyuk dan tak tergoda oleh apapun;
kedua, dyana artinya tekad kuat lahir batin untuk sampai kepada Tuhan;
ketiga, sumarah/sumeleh artinya tidak mengharap apapun kecuali haknya; dan
keempat, paramita artinya kehidupan lahir batin yang menuju kesempurnaan,
yaitu sikap legowo (baik hati), susilo (sopan), waspodo, tepo seliro (rendah
hati) dan wicaksono (bijaksana).
Kearifan peradaban tersebut didasari oleh konsep kehidupan magis
”kesatuan dan keterpaduan utuh dalam dinamika kehidupan yang setimbang
dan berkesinambungan” antara makro kosmos (jagad gedhe) yaitu alam
semesta dan mikro kosmos (jagad cilik) yaitu manusia itu sendiri. Hubungan
yang kuat ini sangat mempengaruhi individu masyarakat Jawa menjalani
kehidupannya dalam konsep memayu hayuning bawono. Sehingga dapat
dipastikan kehidupan masyarakat Jawa bergerak dalam dinamika
keseimbangan yang harmonis dan berkelanjutan sebagi suatu masyarakat
222
maupun sebagi ekosistem, dengan tujuan mencapai masyarakat yang GEMAH
RIPAH LOH JINAWI.
Pada akhirnya budaya spiritual Jawa Kejawen telah membimbing
masyarakat untuk senantiasa mampu menghidupi diri individu dalam
kelayakan dengan tetap menyatu dalam keseimbangan dan kesinambungan
ekosistem, masyarakat ini sadar betul arti pentingnya kehidupan lingkungan
dan ekosistem untuk kehidupan mereka, sehingga dapat dipastikan interaksi
ini menjamin kelangsungan hidup yang panjang.
Masyarakat suku Jawa merupakan masyarakat yang sangat berpegang
teguh pada konsep dan prinsip keberadaan kesatuan manusia dengan alam
semesta sebagai manifestasi kekuasaan Ilahi. Alam pikiran Jawa yang
berkaitan dengan alam kosmos, beranggapan bahwa kehidupan manusia
berada dalam dua alam, alam mikrokosmos dan makrokosmos, ada pun mikro
dan makrokosmos itu merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling
berhubungan.
Makrokosmos dalam pandangan kejawen merupakan jagad gedhe
yaitu alam semesta yang berupa realitas dari perwujudan kekuasaan Tuhan,
dan mikrokosmos adalah jagad cilik manusia dalam arti sebagai bagian dari
alam semesta. Mengembangkan jagad cilik merupakan suatu syarat agar
perkembangan jagad gedhe dapat berlangsung dengan baik. Ada suatu
hubungan yang sangat erat dalam kesatuan ini, kedua komponen dari alam
semesta tersebut saling berpengaruh satu sama lain. Dalam konteks penelitian
ini, pendekatan konstruksi sosial telah berjasa dalam menyediakan paradigma
kerja untuk memahami makna dan proses pelembagaan Rukun Kematian.
Namun, hal itu tidak cukup memadai untuk menjelaskan “semesta makna”
orang Jawa yang sarat dengan pralambang, yang melampaui apa yang
dinamakan Berger sebagai stock of knowledge.
Teori tindakan komunikasi merupakan buah pemikiran Jurgen
Habermas. Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf Jerman.
Pengalaman pahitnya sewaktu remaja yang ditandai dengan dua peristiwa besar
Perang Dunia II dan hidup di bawah tekanan rezim nasional-sosialis Adolf Hitler,
223
mengantarkannya untuk mengintrodusisasi pentingnya demokrasi dalam
pemikiran politiknya (Santoso, 2003: 219).
Dalam penelitian ini, selain perspekstif konstruksi sosial, juga
digunakan teori tindakan komunikatif. Teori tindakan komunikatif digunakan
untuk mengidentifikasi proses komunikasi yang terjadi antara para inisiator
dengan warga. Teori tindakan komunikatif merupakan hasil pemikiran
Habermas.
Habermas telah mengambil jalan yang berbeda dengan pendahulunya
di Mazhab Frankfurt walaupun karya Horkheimer dan Adorno, melalui
Dialectic of Enlightenment yang mempengaruhi pemikiran Habermas awal
berkenaan dengan masalah rasionalitas dan abad pencerahan
(aufklaurung, enligtenment). Dalam Dialectic, baik Horkheimer dan Adorno
mengikuti penjelasan filosof Marxis dari Hungaria, Georg Lukacs tentang
‘reifikasi’ yaitu menganggap hubungan antar manusia sebagai hubungan
kebendaan. Lukacs menggabungkan antara konsep rasionalisasi Max
Weber dengan fetisisme komoditi Karl Marx untuk menganalisa situasi
kehidupan sosial. Bagi Horkheimer dan Adorno, permasalahan masyarakat
modern dapat dianalisis dalam konteks ini yaitu dominasi rasionalitas
instrumental dalam pola pemikiran masyarakat. Ketika hubungan antar
manusia bersifat kebendaan maka muncul eksploitasi terhadap manusia demi
mencapai tujuan yang diinginkannya. Rasionalitas ini meniadakan proses
tindakan.
Jika pendahulunya memandang kehidupan sosial dari satu arah yakni
rasionalitas tujuan menjadi dasar analisis terhadap fenomena sosial dalam
bentuk penjelasan, Habermas meyakini rasionalitas berjalan dua arah
yakni menganalisis sejauhmana batas rasionalitas dalam kehidupan
sosial serta menempatkannya sebagai energi pembebas kejumudan hidup
manusia. Walaupun tidak berbeda dengan pendahulunya untuk membangun
“teori yang bermaksud praktis”. Habermas secara kreatif menambahkan
analisa dimensi modernitas seperti teknologi, positivisme, komunikasi,
ideologi, konflik sosial, kekuasaan, dan ruang publik. Yang terpenting,
224
Habermas mengaplikasikan temuan-temuan ilmu empiris dalam menyusun
langkah sistematis untuk membebaskan manusia dari kungkungan sistem
kehidupannya.
Untuk menjaga dimensi transformatif-emansipatoris dari teorinya,
Habermas tetap memegang teguh analisa Marxis dengan sejumlah
pembenahan agar tidak bersifat ideologis layaknya pemikir-pemikir Marxis
lainnya. Pembenahan ini penting karena analisa Marx dihadapkan pada
kondisi masyarakat yang jauh lebih maju dan lebih civilized. Struktur
masyarakat telah berubah tidak hanya dipilah oleh basis dan superstruktur;
negara dan masyarakat sama sekali tidak terpisah karena masing-masing dapat
saling menguasai dan mendominasi; dan kapitalisme sudah tidak lagi
menghisap darah kaum proletariat karena masyarakat sudah semakin makmur
dan lembaga kapital sudah melakukan oto-kritik. Dengan demikian, Habermas
berupaya mengaitkan analisa teori dan praxis di mana harus ada pelaku utama
yang menjadi elan vital perubahan sosial kemasyarakatan. Jika Marx
mengalamatkan pelakunya pada klas proletariat dan Horkheimer, Adorno, dan
Marcuse mengidentifikasi pelaku pada para cendikiawan dan mahasiswa,
maka Habermas melihat kedua pelaku itu tidak lagi mumpuni dalam
menggerakkan perubahan sosial. Habermas kemudian beralih pada rasionalitas
(entitas ini juga ditekankan oleh pendahulunya walaupun berbeda pressure-
nya).
Dalam pemahaman Habermas, rasionalitas dimaknai sebagai
kesadaran yang mengandung kepentingan emansipatoris. Rasionalitas tidak
menunjuk pada golongan masyarakat tertentu. Rasionalitas dim iliki oleh
setiap manusia dan akan memihak pada kelompok masyarakat di bawah
kekuasaan dom inatif dan dogmatisme. Dengan demikian, rasionalitas yang
dipahami Habermas bersifat membebaskan manusia dari perbudakan
dogmatisme dan kekuasaan hegemonik yang men-dehumanisasi. Rasionalitas
mendorong manusia untuk melakukan refleksi diri, mendialogkan
kepentingannya secara setara, serta mencari konteks mutual understanding.
225
Konteks rasionalitas ini memperbaiki kelemahan konsep ‘rasionalitas
instrumental’ dari Horkheimer, Adorno, dan Marcuse. Horkheimer dan
Adorno melihat bahwa abad pencerahan telah menghasilkan satu rasionalitas
dengan cara pikir positivistik. Rasionalitas itu disebut ‘rasionalitas
instrumental’ yang menghindari pemikiran metafisik dan mitologis. Cara
menafsirkan realitas, dalam perspektif rasio instrumental, melalui logika
formal dan matematika sehingga hubungan antar entitas bersifat formalistik.
Rasio instrumental mengabaikan isi kandungan rasionalitas sehingga bersifat
netral dan hanya menjadi instrumen. Rasionalitas instrumental tunduk hanya
pada tujuan dan dapat dimanfaatkan oleh siapapun karena netralitasnya.
Karena terpusat pada tujuan, rasionalitas ini tidak memberi dampak positif
bagi manusia. Bahkan cenderung menjadi instrumen manipulatif melalui
pendayagunaan pengetahuan rasionalnya.
Sementara Marcuse melihat bahwa rasionalitas instrumental telah
dimanfaatkan manusia menjadi alat ideologi dan kekuasaan. Cara berpikir
rasional yang hanya menjadikan rasio sebagai instrumen telah menjadi
perangkat ideologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semula menjadi
pencapaian mutakhir peradaban manusia untuk membebaskan hidupnya dari
belenggu ketidakberdayaan melawan alam ternyata menjadi kekuatan baru
yang memperbudak manusia. Terdapat anomali di mana ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semula diciptakan manusia, sekarang memperbudak dan
menguasai manusia.
Habermas melihat bahwa konsepsi rasionalitas instrumental hanya
menjelaskan eksistensi masyarakat tapi tidak mampu mengubah anomali dan
ketimpangannya. Atas dasar itu diperlukan rasionalitas yang praxis dan
emansipatoris di mana rasionalitas tidak hanya berfungsi menjelaskan
fenomena tapi juga mengubahnya menjadi semakin baik. Berdasarkan
argumentasi tersebut, Habermas kemudian menggulirkan konsep ‘rasionalitas
komunikatif’ yang melihat hubungan sesama manusia adalah hubungan setara
yang membutuhkan saling pengertian dan interaksi dinamis. Habermas
226
menyebutkan rasionalitas instrumental dari pendahulunya dengan ‘paradigma
kerja’ sedangkan rasionalitas komunikasi dengan ‘paradigma komunikasi’.
Orientasi teoritik Habermas bertujuan menggagas syarat-syarat yang
memungkinkan sebuah komunikasi bebas distorsi. Pelbagai syarat yang
beralas pada komitmen kesaling-pemahaman dan bukan semata-mata efisiensi
atau efektifitas. Selain itu, Habermas juga menawarkan sebuah alternatif
metodologi bagi ilmu-ilmu sosial. Metodologi yang bukan hanya melukiskan
realitas sosial secara behavioral melainkan menangkap distorsi ideologis di
balik itu dan mengatasinya. Berbekal khazanah sosiologi, filsafat analitik dan
hermeneutik yang cukup kaya, Habermas pun merumuskan sebuah
hermeneutika kritis. Metodologi yang sangat kritis baik terhadap pendekatan
positivis maupun pendekatan hermeneutis itu sendiri. Keduanya dituduh
Habermas sukar melepaskan diri dari belenggu konservatisme. Belenggu yang
menjadi musuh utama semangat Pencerahan Barat yang bertopang pada
rasionalitas manusia.
Dengan paradigma komunikasi, Habermas menempuh jalan konsensus
dengan sasaran terciptanya ’demokrasi radikal’ yaitu hubungan-hubungan
sosial yang terjadi dalam lingkup komunikasi bebas penguasa. Dalam konteks
ini perjuangan kelas dan pandangan klasik, revolusi politis diganti dengan
perbincangan rasional dimana argumen-argumen berperan sebagai unsur
emansipatoris. Dalam arti inilah perjuangan kelas tidak lagi merupakan
praksis revolusioner untuk saling menyingkirkan, melainkan sebuah usaha
menciptakan situasi saling berargumentasi secara dialogal dan komunikatif.
Masyarakat komunikatif dalam pandangan Habermas bukanlah
masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dan kekerasan melainkan
lewat argumentasi. Argumentasi dibedakan menjadi dua macam
yakni diskursus dan kritik. Diskursus dilakukan untuk mencapai konsensus
rasional atas klaim kebenaran (diskursus teoretis), dan untuk
mencapai konsensus atas klaim ketepatan (diskursus praktis), selanjutnya
diskursus untuk mencapai konsensus tentang klaim kompherensibilitas
disebutnya sebagai diskursus eksplikatif. Sedangkan terhadap “kritik”
227
dibedakan dalam dua bentuk yakni kritik estetis (norma-norma sosial yang
objektif) dan kritik terapeutis. Hal ini berkaitan dengan penyingkapan
penipuan dari masing-masing pihak yang berkomunikasi.
Menurut Habermas masyarakat ideal bukanlah seperti yang dicita-
citakan Karl Marx sebagai masyarakat sosialis, Habermas memberikan ciri
normatif masyarakat ideal adalah bentuk masyarakat komunikatif yang bebas
dari dominasi. Masyarakat yang demikian selalu mengedepankan
perbincangan rasional. Karena itulah dalam masyarakat komunikatif
perjuangan kelas dalam pandangan klasik, oleh Habermas diganti dengan
perbincangan rasional. Logika ini berkaitan dengan konsep tentang rasio,
tindakan dan masyarakat, dan bagian-bagian yang penting dari konsep tersebut
adalah lebenswelt, sistem dan diskursus.
Habermas mengembangkan konsep lebenswelt (kearifan local, dunia
kehidupan solidaritas) sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif.
Dalam praksis komunikasi sehari-hari klaim-kalim kesahihan diandaikan
begitu saja, karena klaim-klaim tersebut merupakan bagian dari hal-hal yang
secara kultural kebenarannya tidak dipersoalkan. Dunia kehidupan
(lebenswelt) yang diciptakan dengan model ini akan menciptakan harmoni
sosial yang menghindari konflik, sebab pengetahuan bersama yang terbentuk
bersifat pra-reflektif tidak dipersoalkan dan implisit. Menurut Habermas,
hubungan yang baik antara lebenswelt dan tindakan komunikatif akan
berujung pada pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama
para pelaku tindakan komunikatif.
Dalam pemahamannya, konsep lebenswelt tidak hanya digunakan
sebagai konsep dalam teori kom unikasi, namun juga ditempatkan sebagai
konsep sosiologi yang di pasangkan dengan“System” Penggunaannya dalam
sosiologi berarti bahwa lebenswelt juga berfungsi sebagai konsep dasar teori
sosial. Karena itu, pasangan konsep ini berfungsi menjelaskan dua aspek
integrasi sosial yang disebutnya sebagai “kosep dua tingkat”. Yakni dilihat
dari perspektif para peserta, bahwa masyarakat tampak sebagai “jaringan
kerjasama-kerjasama yang dimungkinkan lewat komunikasi” –
228
memungkinkan integritas dan stabilitas sebuah masyarakat, dihasilkan
bersama oleh para aktor sosial; dan dilihat dari perspektif para pengamat,
masyarakat memperihatkan dirinya sebagai “jaringan fungsional dari rentetan
tindakan” – tindakan ini seolah-olah terjadi secara mekanis – di luar intensi
para aktor. Disinilah masyarakat muncul sebagai sistem.
Sistem sebagai akar dunia-kehidupan (lebenswelt), namun pada
akhirnya ia tetap akan melahirkan strukturnya sendiri, yang meliputi keluarga,
sitem peradilan, negara dan ekonomi. Struktur-struktur ini tum buh semakin
mandiri, ketika bersimbiosis dalam kekuasaan, dan pada akhirnya mereka
semakin memiliki kemampuan untuk mengendalikan dunia-kehidupan.
Hubungannya dengan proses pencapaian konsensus mulai berkurang dan
justru membatasi terjadinya proses tersebut di dalam lebenswelt.
Diskursus adalah bentuk refleksi tindakan komunikatf. Maksudnya
diskursus adalah kelajutan tindakan komunikatif dengan memakai sarana lain,
yakni sarana argumentatif. Jika demikian dapat dikatakan bahwa diskursus
menandai suatu bentuk komunikasi modern di mana orang tidak begitu saja
menerima sesuatu dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang lewat
tradisi, melainkan pertama-tama meguji hal itu dengan pertim bangan rasional.
Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan
seseorang bersifat rasional sejauh alasannya dapat dijelaskan atau diakui
secara intersubjektif. Penjelasan dan pemberian alasan dengan demikian
merupakan ciri dasar dari klaim-klaim kesahihan yang bersifat rasional.
Secara umum kenyataan ini membedakan dua bentuk komunikasi yakni,
‘komunikasi naif’ dan ‘komunikasi reflektif’.
Menurut uraian F. Budi Hardiman (2008), dalam karya-karya yang
lebih lanjut, Habermas tidak lagi berbicara tentang kritik. Dalam karya
Habermas yang berjudul Faktizitat und Geltung (1993) atau “Fakta dan
Kesahian” dikatakan bahwa “keterikatan pada konteks tidak lagi merupakan
ciri krtik, melainkan merupakan ciri diskursus (politis-etis)”. Jadi ada
pergeseran pemikiran Habermas, yang nampaknya terus berusaha
mencocokkan teori-teorinya dengan dinamika real perkembangan masyarakat
229
dan teori-teori sosial, yang tetap konsisten adalah pembedaan yang dilakukan
Habermas antara diskursus teoritis dan diskursus praktis. Sementara dalam
diskrsus teoritis orang mempermasalahkan klaim kebenaran pernyataan-
pernyataan teoritis-empiris, dalam diskursus praktis orang mempersoalkan
klaim ketepatan.
Dalam buku On the Logic of the Social Sciences, Habermas
mengungkapkan teori tindakan yang dibangun oleh Max Weber, Talcott
Parsons, Robert Merton, Emile Durkheim, serta para behavioris (Skinner).
Walaupun demikian, Habermas menyatakan Weber lah yang mampu memberi
arti teori tindakan yang dihubungkan dengan tindakan sosial yang bermakna
subjektif. Habermas sendiri mengungkapkan bahwa sebuah tindakan bersifat
intensional karena diperagakan dalam konteks ‘dunia kehidupan’ (lifeworld),
sebagaimana diusulkan oleh Edmund Husserl dan Alfred Schutz.
Menurut Habermas, tindakan dalam dunia kehidupan mengacu pada
konteks keseharian dari interaksi sosial di mana subjek berpartisipasi untuk
berbagi pengalaman, meneliti argumentasi orang lain, serta melakukan
justifikasi atas tindakannya. Model individual tindakan yang disebut tindakan
individual tidak bermakna karena mengarah pada satu tujuan (goal-directed
action). Sementara tindakan sosial menjadikan relasi personal sebagai model
tindakan yang melibatkan norma dan aturan tertentu sesuai kesepakatan dunia
kehidupan itu.
Sebuah tindakan bermakna sosial ketika tindakan itu memberi ekses
bagi orang lain. Tindakan intensional bermakna sosial karena sebuah tindakan
ditujukan untuk orang lain serta mengharapkan resiprokalitas (timbal balik).
Tindakan sosial ini adalah ‘tindakan strategis’ dan ‘tindakan komunikatif’.
Keduanya sama-sama meaningful karena mempengaruhi orang lain untuk
merespons apa yang telah dilakukan subjek. Perbedaannya kalau ‘tindakan
strategis’ bersifat instrumental karena memperlakukan orang lain untuk
mencapai tujuan, sedangkan tindakan komunikatif berupaya untuk mencari
satu pemahaman (mutual understanding).
230
Konteks di mana tindakan sosial dibentuk dan dikembangkan adalah
‘dunia kehidupan’. Dalam dunia kehidupan, hubungan beberapa subjek
dipertegas kembali di mana masing-masing bebas dari hambatan distorsi
ideologis untuk membentuk interaksi yang dinamis dan setara. Dalam
tindakan sosial, individu memperlihatkan kapasitasnya sebagai pelaku sosial
yang berusaha membentuk dan mengembangkan makna tindakan (norma) dan
aturan kehidupan. Masing-masing subjek melakukan interpretasi atas tindakan
mitranya serta membuat mekanisme koordinasi agar tindakan itu menjadi
dialogis. Dalam bahasa Habermas :
“The human species maintains itself through the socially coordinated activities of its members and that coordination is established through communication … and in certain spheres of life, through communication aimed at reaching agreement …then the reproduction of the species also requires satisfying the conditions of a rationality inherent in communicative action”
Tindakan kom unikatif berbeda dengan tindakan instrumental dalam
tiga hal, yaitu orientasi pelaku, mekanisme koordinasi, dan latar belakang
tindakan. Jika sebuah tindakan diorientasikan untuk mencapai tujuan melalui
koordinasi individual dan efektivitas pilihan sarana akan menjadi tindakan
instrumental dan tindakan strategis. Sedangkan apabila tindakan diarahkan
untuk mencari pemahaman melalui dialog dan kesepakatan kolektif untuk
merumuskan rencana dan kepentingan bersama akan menjadi tindakan
komunikatif.
Relasi intersubjektif dalam tindakan komunikatif dimediasi oleh
bahasa. Bagi Habermas, bahasa adalah kegiatan praktis yang melibatkan
ekspresi tindakan (speech act), cognitive utterance, serta didasarkan pada
aturan gramatikal. Dalam bahasa, aturan gramatikal membentuk dan
mengembangkan interaksi sosial karena dua subjek hadir bersama, melakukan
tindak tutur, serta menaati aturan gramatikalnya. Atas dasar itu, Habermas
menyebutkan pelaku interaksi adalah communicative competence.
Sebagai communicative competence, para subjek berusaha merekonstruksi
makna pembicaraan dan ekspresi tindakannya secara timbal balik.
231
Rekonstruksi ini didasari keinginan sadar untuk memahami maksud
pembicaraan berdasarkan aturan dan norma yang telah diketahui sebelumnya.
Habermas mengartikulasi konsep W ittgenstein tentang ‘permainan
bahasa’ (language game) sebagai landasan bagi bahasa untuk memperoleh
makna komprehensifnya sebagai sarana komunikasi. Language
game mengandaikan makna bahasa muncul dalam penggunaannya (meaning
in use) karena ada aturan spesifik yang menghubungkan tindakan dengan
pembicaraan. Berdasarkan konsep ini, berbahasa adalah tindakan sosial yang
berhubungan dengan simbol linguistik. Dalam bahasa, tindakan sosial ternyata
menggunakan simbol-simbol itu secara teratur sesuai dengan konteksnya.
Dalam tindakan komunikatif ditampilkan kemampuan subjek untuk
berkomunikasi dan mendayagunakan bahasa sehingga berbahasa membentuk
interaksi dan memperkuat kohesi sosial karena subjek menggabungkan speech
act dan cognitive utterances (ungkapan kognitif)-nya. Di samping itu, subjek
juga mengekspresikan pembicaraannya dengan suatu power yang khas, yang
disebutnya sebagai ‘tindakan illokusioner’ (the act of saying something)
melalui bahasa tubuh yang menyertai pembicaraan. Melalui tindakan
komunikatif juga, subjek mengembangkan sistem referensi tindakan yaitu
‘tindakan yang patuh aturan’ (rule-following action).
Karena tindakan komunikatif mengambil konteks yang berbeda-beda,
maka masing-masing konteks memiliki a turan spesifik baik dalam tindakan
maupun pembicaraan (perbedaan berdoa dan bercanda). Pemahaman subjek
terhadap aturan memungkinkan relasi itu terjadi dan subjek dapat terlibat di
dalamnya. Dengan demikian, tindakan komunikatif adalah language
game yang menempatkan bahasa sebagai akumulasi penggunaan simbol
linguistik dan reaksi terhadap tindakan orang lain di mana masing-masing
subjek yang terlibat berusaha mematuhi aturan komunikasi tersebut.
Dikarenakan tindakan komunikatif mengarah pada pencapaian
pemahaman bersama (mutual understanding) di mana subjek membangun
relasi setara yang intersubjektif maka diperlukan rekonstruksi terhadap
pemahaman subjek mengenai cara bertindak, kompetensi, serta maksud dari
232
relasi itu. Jika dihadapkan pada situasi yang berbeda dan tak dikenal
sebelumnya, subjek mampu merekonstruksi pemahaman teoritis tentang
situasi dan kondisi sebuah tindakan. Atas dasar itu, relasi intersubjektif dapat
dilakukan secara universal baik oleh subjek yang berbeda budaya dan bahasa.
Dengan mengikuti terminologi Noam Chomsky tentang linguistic
competence, Habermas mengatakan bahwa subjek telah mempunyai pra-
pemahaman tentang bahasa sehingga mampu melangsungkan komunikasi.
Chomsky sendiri menyebutkan bahwa linguistic competence adalah pra-
pemahaman psikologis di mana manusia secara intuitif telah menginternalisasi
aturan gramatikal secara semantik, fonetik, dan sintaksis. Dengan demikian,
tindakan kom unikasi dilakukan berdasarkan ungkapan bahasa yang dibentuk
oleh saling pengertian di antara dua subjek. Jika satu subjek tidak
memahaminya maka komunikasi akan gagal. Tapi karena
menggunakan communicative competence, kegagalan ini dapat ditanggulangi
dengan memaksa komunikasi lebih lanjut.
Dalam tindakan komunikatif, subjek tidak hanya mengeskplorasi
simbol bahasa tapi juga kemampuan mengungkapkan bahasa dan mempelajari
lawan bicara melalui ekspektasi tindakan illokusioner sehingga bahasa
dipelajari dan dipahami dalam konteks praktis atau penggunaannya. Dengan
kata lain, ketika subjek ingin mengungkapkan satu hal dalam pikirannya
(cognitive utterances), ia dapat mengungkapkannya melalui bahasa atau
melalui ekspresi tindakan. Jika seseorang tidak memahami bahasa yang
dimaksud maka orang itu masih dapat memahaminya berdasarkan ekspresi
tindakan. Dengan demikian, tindakan komunikasi yang dimediasi oleh bahasa
dapat diberlakukan secara universal.
Klaim validitas berguna untuk keabsahan tindakan komunikasi yang
dilangsungkan. Klaim vailiditas diturunkan dari relasi intersubjektif yang
mengandaikan kesetaraan serta patuh aturan (rule-following action). Ketika
sebuah tindakan komunikatif dilangsungkan maka keabsahannya ditentukan
oleh empat klaim, yaitu: kejelasan (understandibility), kebenaran (truth),
ketepatan (rightness), serta kejujuran (sincerity)
233
‘Kejelasan’ bermakna dalam tindakan komunikatif sebagaimana
disampaikan oleh Wahyu (2015) mengandung arti bahwa masing-masing
subjek mampu mengungkapkan pembicaraan dan maksudnya dengan jelas
sehingga arah pembicaraannya dapat dimengerti. ‘Kebenaran’ berarti kemauan
sadar untuk melangsungkan komunikasi atau menyampaikan sesuatu hal.
‘Ketepatan’ adalah pembicaraan diungkapkan dengan aturan gramatikal dan
ekspresi tindakan yang tepat sehingga terjalin komunikasi dua arah yang
setara. Adapun ‘kejujuran’ bermakna ungkapan subjek dalam tindakan
komunikatif merupakan ungkapan yang jujur, tidak didramatisir, atau tidak
artifisial.
Habermas membedakan antara tindakan komunikatif yang telah
dibahas di atas dan diskursus (discourse). Sementara tindakan komunikatif
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, diskursus adalah:
..”bentuk komunikasi yang dipisahkan dari konteks pengalaman dan tindakan, dan mempunyai struktur yang meyakinkan kita: bahwa kumpulan validitas klaim asersi, rekomendasi, atau peringatan adalah objek eksklusif dari diskusi; bahwa partisipan, tema, dan kontribusi tidak dibatasi kecuali yang bertujuan menguji validitas klaim yang dibahas; bahwa tak ada kekuatan kecuali argumen yang dihasilkan dengan lebih baik; dan bahwa semua motif dikesampingkan kecuali motif pencarian kebenaran kooperatif (Habermas, 1975:107-108).” Landasan dalam dunia diskursus, dan yang juga tersembunyi dan
mendasar: dunia tindakan komunikatif, adalah "situasi percakapan ideal" di
mana kekuatan atau kekuasaan tidak menentukan argumen mana yang
menang; sebaliknya. argumen yang lebih baik akan muncul sebagai
pemenang. Bobot bukti dari argumentasi menentukan apa yang dianggap
sahih dan benar. Argumen yang muncul dari diskursus seperti itu (dan yang
disepakati oleh peserta) adalah benar (Hesse, 1995). Jadi, Habermas menerima
teori konsensus tentang kebenaran (bukan salinan atau "realitas" teori
kebenaran [Outhwaite, 1994]). Kebenaran ini adalah bagian dari seluruh
komunikasi, dan pengungkapan penuhnya adalah tujuan dari evolusi
Habermas. Seperti dikatakan McCarthy (1982), "gagasan tentang kebenaran
234
pada hakikatnya menuju pada bentuk interaksi yang bebas dari semua
pengaruh yang mendistorsi. Kehidupan yang baik dan benar yang menjadi
tujuan teori kritis adalah kehidupan yang melekat di dalam gagasan
kebenaran; ia diantisipasi dalam setiap tindakan percakapan".
Beberapa kritik terhadap pendekatan tindakan komunikatif Habermas
dalam “Weakening Habermas: The Undoing of Communicative Rationality”
(Rienstra,B., & Hook,D, 2006) adalah sebagai berikut :
If we feel comfortable accepting that agents are ‘often controlled by emotions and desires that do not fit the model of calculating rationality’, that individual agency is ’bounded by limitations on memory and computational capabilities’ and that the ‘experimental analysis of inference and choice has revealed that … human judgement and decision making is often inconsistent with the maxims of rationality’ then wemight see problems with deliberative outcomes, and universal assumptions of communicative rationality (Quattrone and Tversky, 2000, p. 452).
Artinya: jika kita merasa nyaman dan menerima jika orang-orang yang
terlibat sering dikontrol oleh emosi dan keinginan yang tidak rasional. Secara
invidual mereka terikat dengan keterbatasan memori dan kemampuan
menghitung, yang nantinya akan memberikan penilaian-penilaian dan
pengambilan keputusan dengan batas rasionalitas. Dari sini, kita akan
dihadapkan pada masalah dengan hasil deliberasi dan asumsi tentang
rasionalitas komunikatif yang universal.
Terkait problem pluralitas, McCarthy, menyampaikan kritiknya
sebagai berikut:
Would Habermas deny the possibility of ultimately irreconcilable pluralism in values, and irreconcilable pluralism between the agents who maintain these values? As McCarthy asks, ‘If the variety of worldviews and forms of life entails an irreducible plurality of standards of rationality’ then surely ‘the concept of communicative rationality could not claim universal significance and a theory of society constructed on it would be limited from the start to a particular perspective’(McCarthy, 1984, p. xi).
Artinya, Habermas telah menyangkal terhadap adanya ketidak-
mungkinan dari pluralism nilai yang menyeluruh dan ketidak-mungkinan
pluralism antara para pihak yang menyakini nilai-nilai tersebut….”Jika ragam
235
sudut pandang dan bentuk kehidupan terkait standar pluralitas rasional yang
tak dapat dikurangi, tentu saja konsep dari rasionalitas komunikatif tidak dapat
diklaim secara signifikan dan universal. Jadi konstruksi teori ini akan dibatasi
sejak awal untuk perkspektif yang particular.
Terkait rasionaltias dan rasionalisasi, menyatakan:
Reasons-based accounts however, are not the Reason that Habermas wants, because to take this route creates the problem of rationalization versus rational. Rationality and rationalizations must be treated differently. ‘An explanation of choice based on reasons … is essentially qualitative in nature and typically vague. Furthermore, almost anything can be counted as a “reason,” so that every decision may be rationalized after the fact’ (Shafir,Simonson and Tversky, 2000, p. 619).
Artinya, basis pertimbangan berdasarkan alasan bukanlah yang
dimaksudkan Habermas, untuk menciptakan bahasan dari masalah antara
rasionalisasi versus rasional, karena rasionalitas dan rasionalisasi harus
disikapi dengan cara berbeda. Pilihan pada dasarnya bersifat kualita tif dan
tidak jelas. Hampir semua hal dapat dianggap sebagai "alasan", sehingga
setiap keputusan dapat dirasionalisasi setelah fakta.
Senafas dengan kritik-kritik tersebut, penelitian ini menemukan fakta
bahwa terdapat bangunan konseptual dari teori tindakan komunikatif
Habermas tidak relevan untuk digunakan dalam konteks penelitian ini.
Beberapa diantaranya adalah terkait rasionalitas, etika diskursus dan ruang
publik.
Terkait rasionalitas, penelitian membuktikan bahwa para penggagas
ide dan warga justru mendasarkan pada nilai-nilai kebajikan sosial yang
dibangun dari makna-transenden dan sosial-resiprokal. Pertimbangan nilai-
nilai seperti keguyuban, harmoni, kebersamaan, nguwongke liyan itulah yang
menjadi basis pertimbangan para pihak. Bahkan, pluralisme nilai yang
diyakini dan menjadi basis pertimbangan oleh para pihak justru telah
melahirkan ragam tata kelola yang mampu mewadahi berbagai inisiatif local.
Terkait etika diskursus, Habermas menyatakan bahwa sangat tidak
masuk akal bahwa jika orang ikut serta dalam sebuah diskursus hanya dengan
236
maksud murni untuk mencapai konsensus saja. Karena itu Habermas berbicara
tentang “kepentingan“ (Interesse) dan “kebutuhan“ (Bedürfnis). Kita
berpartisipasi di dalam diskursus dengan kepentingan-kepentingan dan
kebutuhan-kebutuhan kita sendiri dengan harapan bahwa konsensus yang
dicapai dapat memenuhi kepentingan-kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan
tersebut. Bagi Habermas, kepentingan bukanlah sesuatu yang statis atau
terisolasi dari kepentingan-kepentingan lainnya. Kepentingan terbentuk lewat
kontak intersubyektif. Jadi, tidak tertutup kemungkinan bahwa para peserta
diskursus membawa kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Kepentingan-
kepentingan mereka itu dapat bertabrakkan dengan kepentingan kepentingan
orang-orang lain. Justru lewat konfrontasi macam itu menurut Habermas
terbentuklah kepentingan bersama. Beberapa kepentingan dapat
diuniversalisasikan dan beberapa tetap bersifat parsial.
Dalam prinsip etika diskursus. proseduralisme untuk menguji
universalitas kepentingan itu dijelaskan. Di sinilah prinsip pengujian diskursif
dirumuskan secara padat. Menurut asas tersebut, norma yang sahih harus
sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang diuniversalkan. Meskipun pada
faktanya tidak semua orang yang bersangkutan dengan norma tersebut bisa
hadir dalam diskursus praktis, para peserta diskursus yang ada harus berusaha
keras untuk menemukan konsensus yang seluas mungkin atas norma tersebut.
Oleh karena itu Mereka yang tidak hadirpun harus dapat membayangkan
bahwa konsensus yang dicapai itu dapat diterima di dalam diskursus tersebut.
Etika diskursus Habermas yang di dalamnya ada prosedur, consensus,
konfrontasi argumentasi, dan tabrakan kepentingan bukanlah rumus universal
yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks. Fakta dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa khasanah etika diskursus dalam budaya Jawa diikat oleh
nilai-nilai unggah ungguhing basa, kasar alusing rasa dan jugar genturing
tapa, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi
pekerti, wulang wuruk, pitutur, wejangan, wursita, dan wewarah.
Terkait ruang publik, dalam penelitian ini ditemukan istilah
“cangkrukan, jagongan, rembugan”, yaitu dimana para pihak dapat
237
memperjumpakan secara face to face sekaligus menciptakan ke “ruang
perbincangan”. Suatu ruang perbincangan yang bisa menghadirkan kedekatan
personal, tidak ada jarak fisik, sehingga bisa mendekatkan jarak psikologi,
dalam sebuah medan “sambung roso” (sambung rasa, dari hati ke hati).
Kondisi ini, sangat berbeda dengan konsep proses diskursif Habermas yang
mengedepankan hubungan rasional dua arah dan kompetensi komunikasi.
Dalam konteks orang Jawa, kompetensi komunikasi adalah
kemampuan membangun ikatan emosi (empati) yang kuat, adanya “sambung
roso”. Ruang publik dan proses diskursif adalah “arena” untuk perwujudan
“manunggaling kawula gusti”. Proses diskursif dalam konteks masyarakat
Jawa bukanlah memenangkan argumentasi atas pihak lain, namun lebih
dimaknai sebagai proses untuk “nguwongke”, yaitu menempatkan pihak lain
bukan dalam konteks hubungan rasional.
Secara ringkas, kritik teoritik, perspektif peneliti dan alternatif
perbaikan atas kedua pendekatan dapat dilihat pada table berikut:
238
Tabel 8.1 Kritik Teoritik, Perspektif Peneliti dan Alternatif Perbaikan
Perspektif Kritik Terdahulu Kesimpulan Penelitian Perspektif Peneliti
Konstruksi Sosial Berger Berger dan Luckmann mengembangkan suatu teori sosiologi, dimana masyarakat dipandang sebagai realitas objektif, sekaligus realitas subjektif. Analisanya mengenai masyarakat sebagai realitas subjektif mempelajari bagaimana realitas itu diproduksi dan bagaimana menjaga kelangsungan individu. Ia menulis tentang bagaimana konsepsi manusia yang baru menjadi bagian dari realitas. (Subiakto, Henry: 2012)
a) Kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran. Interpretasi yang digunakan individu terhadap realitas sosial bersifat sewenang-wenang.
b) Terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empiris-analitis, historis-hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (teknis, praktis, atau yang bersifat emansipatoris), meski tak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga sebaliknya, yakni “pengetahuan” adalah produk “kepentingan”.
c) Diperlukan pengayaan dari metode lain seperti discourse analysis, narrative analysis, phenomenology, grounded theory, analytic induction, sensitizing concepts, semiotics, verstehen, erlebnis, hermeneutics, post-structuralism, dan ‘-
a) Nilai-nilai kebajikan sosial dikonstruksi melalui konfigurasi dan interpolasi antara makna-makna yang berdimensi personal-transendental dan sosial-resiprokal, kualitas representasi, intensi bersama (collective intention) untuk mencapai kemanfaatan sosial dan ekonomi, dan hadirnya dialog generatif.
b) Proses konstruksi pelembagaan nilai-nilai kebajikan sosial ditentukan oleh jenis klaim kesahihan yang diperbincangkan dalam ruang publik. Klaim-klaim itu akan mewarnai model kelembagaannya. Derivasi (turunan) model pelembagaan akan berpengaruh terhadap
a) Penggunaan perspektif konstruksi sosial berger ini justru berpotensi mereduksi kekayaan perspektif yang berdimensi spiritual (melampaui pengetahuan) yang mengendap dalam alam spiritualitas para narasumber, yang dalam hal ini adalah orang-orang Jawa.
b) Pengetahuan di tingkat kelompok tidak selalu dikonstruksi melalui tahapan institusionalisasi, legitimasi dan sosialisasi.
c) Pendekatan konstruksi tidak memadai untuk menggambarkan proses konstruksi untuk level kelompok.
d) Pendekatan ini tidak memadai untuk menjelaskan “semesta makna” budaya Jawa yang sarat dengan pralambang, yang melampaui apa yang dinamakan Berger sebagai stock of knowledge.
239
Perspektif Kritik Terdahulu Kesimpulan Penelitian Perspektif Peneliti isms’ dan ide lainnya corak-ragam inisiatif
lokal dan bentuk-bentuk inovasinya warga dalam berkontribusi terhadap pembangunan desa.
c) Tindakan komunikatif para penggagas Rukun Kematian terhadap warga dalam membangun pemahaman bersama (mutual understanding) tidak semata-mata dialaskan pada rasionalitas dua arah dan kompetensi komunikatif. Hal yang secara signifikan berpengaruh untuk mencapai pemahaman bersama adalah terjadinya dialog generatif, proses diskursif nilai-nilai kebajikan sosial, serta adanya intensi bersama untuk mencapai kemanfaatan sosial ekonomi.
Tori Tindakan Komunikatif Habermas Dalam paradigma komunikatif, relasi antar manusia bersifat setara, dialogis, berusaha saling memahami, serta diikat oleh norma-norma consensus. Dalam paradigma ini, manusia melakukan tindakan komunikatif sebagai sesama subyek atau bersifat intersubyektif. Dalam paradigma komunikasi, tujuan yang ingin dicapai adalah kesalingpahaman (mutual understanding) antara kedua belah pihak yang melakukan komunikasi. Paradigma
a) Hasil deliberasi dan asumsi tentang rasionalitas komunikatif yang tidak berlaku secara universal;
b) Konsep dari rasionalitas komunikatif tidak dapat diklaim secara signifikan bersifat universal, namun sejak awal akan dibatasi oleh perspektif yang bersifat particular.
c) Konsep Rasionalitas dan rasionalisasi harus disikapi dengan cara berbeda, karena memiliki implikasi yang berbeda. Pilihan pada
a) Pertimbangan nilai-nilai seperti keguyuban, harmoni, kebersamaan, nguwongke liyan itulah yang menjadi basis pertimbangan para pihak. Bahkan, pluralisme nilai yang diyakini dan menjadi basis pertimbangan oleh para pihak justru telah melahirkan ragam tata kelola yang mampu mewadahi berbagai inisiatif local.
b) Etika diskursus Habermas yang di dalamnya ada prosedur, consensus, konfrontasi argumentasi, dan tabrakan kepentingan bukanlah rumus universal yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
240
Perspektif Kritik Terdahulu Kesimpulan Penelitian Perspektif Peneliti komunikasi merupakan karakter asli manusia sebagai mahluk sosial yang melangsungkan interaksi secara dinamis tanpa distorsi unsur-unsur lainnya. Keberhasilan tidak ditentukan oleh pilihan sarana tapi berdasarkan kelangsungan peristiwa komunikasi yang setara. (Wahyu, Bambang: 2015)
dasarnya bersifat kualitatif dan tidak jelas. Hampir semua hal dapat dianggap sebagai "alasan", sehingga setiap keputusan dapat dirasionalisasi setelah fakta
c) Bentuk-bentuk perbincangan informal –kultural merupakan fondasi bagi terbangunnya proses diskursif yang merajut kedekatan personal, tidak ada jarak fisik, sehingga bisa mendekatkan jarak psikologi, dalam sebuah medan “sambung roso” (sambung rasa, dari hati ke hati).
d) Dalam konteks orang Jawa, kompetensi komunikasi adalah kemampuan membangun ikatan emosi (empati) yang kuat yang ditandai dengan adanya “sambung roso”.
e) Proses diskursif dalam konteks masyarakat Jawa bukanlah memenangkan argumentasi atas pihak lain, namun lebih dimaknai sebagai proses untuk “nguwongke”, yaitu menempatkan pihak lain bukan dalam konteks hubungan rasional.
241
Penelitian telah membuka mata peneliti untuk mengenali keterbatasan dari
pendekatan kontruksi sosial dan tindakan komunikatif jika digunakan untuk
memahami masyarakat perdesaan Jawa. Dari penelitian ini tersirat makna bahwa
warga desa bukanlah khalifatullah yang totalitasnya hendak mengejawantahkan
pesan ketuhanan, lewat eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Mereka hidup
dalam ragam nilai, keyakinan dan kepentingan. Dalam pluralitas itu, mereka tetap
mampu memelihara Common Good intention, sehingga terjadilah proses-proses
diskursif dalam ruang tradisi lokal yang kenyal, tanpa meminggirkan pihak yang
di pinggiran. Warga perdesaan Jawa, selalu membayangkan hidup harmonis
antara diri dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan lingkungan dan Tuhan-nya.
Jagad gedhe dan jagad cilik selalu diseimbangkan.
Ruang perbincangan dan perjumpaan informal seperti njagong, gedabrus
dan kongkow te lah menjadi perajut pertautan secara fisik, hati, pikiran dan
perasaan. Itulah yang telah membentuk warga perdesaan tidak hanya berkutat
pada pusaran pepadhon atau “debat yang tiada usai” dengan motif antem-
anteman antara sesama warga desa. Proses perbincangan dan perjumpaan
informal inilah yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai “dialog
generatif”. Kemampuan melakukan dialog generatif inilah yang telah melahirkan
ruang publik yang menjadi wahana perekat “intensi bersama” untuk
menghadirkan dunia kehidupan yang menjadi lebih baik. Dalam ruang public ini,
unsur pemerintah dan para pemegang otoritas primordial berinteraksi melampaui
semangat penghakiman, sehingga proses rembugan atau musyawarah dapat
mufakat dan efektif berlaku buat semua.
C. Refleksi Teoritik
Kematian sudah lama disadari sebagai ketentuan Tuhan, yang bagi
masyarakat Jawa tidak hanya dipahami sebagai akhir dari kehidupan.
Kematian adalah peralihan dari fase satu menuju fase kehidupan yang lebih
tinggi dan luhur. Tetapi, bagaimana cara meninggal dan perlakukan terhadap
mereka yang meninggal tidak sepenuhnya dipahami sebagai ketentuan Tuhan.
Saat kematian mewujud sebagai langkah agung peziarahan mulih mulo
242
mulanira (kembali kepada yang asali), ia memercikkan cahaya transeden
yang memiliki energi untuk merenda rasa sim pati, empati dan solidaritas
sosial
Dalam konteks Desa Pajeng, peristiwa tahun 1965 telah menorehkan
goresan luka yang amat mendalam. Peristiwa ini telah mempertontonkan
bagaimana kematian dipermainkan dan dilecehkan, baik yang
menggunakannya sebagai ancaman ataupun sebagai hukuman. Dalam
peristiwa itu, kematian merupakan ajang pelampiasan amarah tanpa belas
kasih. Drama pajeng tahun 1965 telah menghadirkan “gurita kematian”
dalam dua wajah, yakni kemarahan dan kepedihan. “Gurita kematian” inilah
yang telah mengoyak tali kekerabatan, memperlebar jarak sosial,
menghancurkan harmoni dan semakin menajamkan permusuhan. Dalam
situsi semacam ini, praktik tradisi slametan kematian telah berubah menjadi
‘batu pemberat yang menggelayuti tubuh ringkih dalam pusaran air”.
Akibatnya, mereka yang ringkih dan tak berdaya akan terseret, terkoyak dan
hanyut dalam derasnya pusaran air. Dari waktu ke waktu, batu pemberat ini
terus bergentayangan memakan mangsanya. Yang ringkih semakin tertatih,
merintih dan hanyut tergulung dalam pusaran ketidakberdayaan.
Kuatnya lilitan batu pemberat yang menghanyutkan mereka yang
ringkih, ada sosok-sosok yang mampu menangkap rintihan pilu itu. Mereka
adalah para peretas keadaan. Mereka adalah sosok yang gigih dalam
menafsir ulang tardisi ritual kematian. Mereka terus mencari celah untuk
menghadirkan secercah cahaya masa depan. Mereka memiliki kebesaran jiwa
untuk memaafkan masa lalu. Lebih dari itu, mereka bersama-sama memetik
dan mengunyah semua pelajaran dalam ruang perbincangan tanpa prasangka.
Dari sini lahirlah makna baru yang mencerahkan semua pihak. Ritual
kematian yang telah menjadi “batu pemberat” itu, kini menjadi pemicu
lahirnya kebajikan sosial. Perlahan wajah kepedihan dan kemarahan
diganti dengan wajah kasih sayang, etos memberi, menjadi ruang untuk
melepas trauma dan kebencian. Ritual kematian menjadi wahana bagi
lahirnya perjumpaan tanpa prasangka dan perbincangan untuk menghadirkan
243
masa depan yang lebih menjanjikan bagi semua. Pada titik inilah, lahir apa
yang dinamakan sebagai “dialog generatif”. Antar warga dengan berbagai
gaya dan bahasanya, mengejawantahkan masa depan itu ke dalam niat baik
kolektif (collective good intention) yang memiliki kemanfaatan social dan
ekonomi. Dan akhirnya, kematian itu kini telah menjelma menjadi kekuatan
yang menghidupkan.
Fenomena “Kematian yang Menghidupkan” dalam penelitian ini
dapat teridentifikasi melalui pengintegrasian perpektif konstruksi sosial dan
tindakan komunikati. Kedua perspektif ini sangat berjasa untuk memahami
bagaimana dinamika proses pemaknaan sampai terjadinya pelembagaan
tafsir baru, serta terjadinya proses diskursif di ruang-ruang perbincangan pada
masyarakat perdesaan Jawa.
Namun, pada saat yang sama, peneliti menemukan bahwa kedua
perspektif tersebut tidaklah memadai untuk digunakan untuk memahami
dan mendalami semesta makna dan dunia sosio kultural pada masyarakat
perdesaan Jawa. Keterbatasan dan kelemahan kedua perspektif tersebut dapat
diperbaharui melalui dua alternative. Pertama, merancang kerangka analisis
yang dapat menjelaskan proses konstruksi sosial untuk level kelompok, yang
tidak hanya fokus dari stock of knowledge tapi juga mampu menggali
kekayaan khasanah stock of wisdom yang hidup dalam masyarakat. Kedua,
rekonseptualisasi terhadap unsur-unsur yang ada dalam tindakan komunikatif
agar lebih relevan, kontekstual dan sensitif dengan keragaman sosio kultural
yang berdimensi partikular.
Bertumpu pada dua opsi pembaharuan tersebut, peneliti merancang
Model analisis yang mampu memahami secara lebih utuh dan kontekstual
bagaimana proses pemakmaan, proses diskursif sampai dengan terjadinya
pelembagaan atas tafsir atau ide-ide baru dalam masyarakat perdesaan di
Jawa. Peneliti menamakan model ini sebagai MODEL ANALISIS
KONSTRUKSIONIS-KOMUNIKATIF UNTUK MASYARAKAT
PERDESAAN.
244
Secara skematis, model konstruksionis-komunikatif untuk
masyarakat perdesaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 8.2
Model Analisis Konstruksionis-Komunikatif untuk Masyarakat Perdesaan
245
Enam proposisi yang terkandung dalam Model analisis Konstruksionis
Komunikatif untuk Masyarakat Perdesaan ini mencakup:
246
1. Hibriditas makna yang berdimensi personal-transendental dan sosial
resikprokal merupakan pre-determinan terbentuknya nilai kebajikan
sosial;
2. Proses dialog generatif merupakan entry point untuk mempertautkan
makna yang berdimensi personal-transendental dan sosial-resiprokal;
3. Hibriditas makna dan dialog generatif merupakan pijakan untuk
mengkonstruksi intensi bersama (collective intention) guna mencapai
kemanfaatan sosial dan ekonomi;
4. Perbincangan dan pertautan klaim kesahihan di dalam ruang publik adalah
keniscayaan untuk membangun model kelembagaan yang lebih
kontekstual dan membuka akses inisiatif lokal.
5. Model kelembagaan dan terbukanya akses untuk inisiatif lokal merupakan
lahan yang subur bagi lahirnya inovasi self governance.
6. Rasionalitas dua arah dan kompetensi komunikatif, nilai-nilai kebajikan
sosial, kualitas representasi, dan intensi bersama untuk mencapai
kemanfaatan sosial ekonomi, apabila tanpa kehadiran dialog generatif akan
memicu terjadinya “okupasi-kolonisasi lebenswelt” masyarakat desa.
Dari keenam proposisi tersebut teridentifikasi lima unsur dalam model
analisis, yang meliputi: (1) Ruang Publik (2) Nilai Kebajikan Sosial, (3) Kualitas
Representasi, (4) Kemanfaatan Sosial-Ekonomi, dan (5) Dialog generatif. Kelima
unsur tersebut juga merupakan komponen-komponan utama dari self governance
(tata kelola mandiri) dalam masyarakat perdesaan yang ditemukan dalam
penelitian ini. Secara matematis, interpolasi dari kelima unsur tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:
GSG : Generative Self Governance
GSG= (RP+NKS + KR + KSE) DG
247
RP : Ruang Publik (H) NKS : Nilai-nilai Kebajikan Sosial (B) KR : Kualitas Representasi (H) KSE : Intensi Bersama untuk Kemanfaatan Sosial Ekonomi (HB) DG : Dialog Generatif
Formulasi matematis tersebut menggambarkan bahwa GSG merupakan
hasil dari interpolasi antara kelima unsur dalam model analisis konstruksionis-
komunikatif masyarakat perdesaan. Dalam formula ini dialog generative
merupakan prasyarat utama dalam keseluruhan proses ruang public (RP),
pembentukan nilai kebajikan sosial (NKS), penentuan kualitas representasi
(KR) serta perumusan niat bersama tentang kemanfaatan sosial-ekonomi
(KSE). Dalam dialog generative, secara inheren akan terbentuk model-model
ruang public beserta proses diskursif yang relevan dan kontekstual dengan
dimensi partikular. Terkait dengan perspektif konstruksi sosial, dialog
generatif merupakan “simpul pengikat” untuk mengakselerasi terjadinya
proses pemaknaan dan pelembagaan tafsir atau ide-ide baru yang terjadi dalam
masyarakat. Sedangkan dalam perspektif tindakan komunikatif, tingginya
kompetensi dialog generative warga, memungkinkan terjadinya proses
perubahan tanpa kekerasan. Secara substantif, model matematika ini juga
dapat digunakan untuk melengkapi keterbatasan perspektif konstruksi sosial
yang belum memiliki kerangka metodologi dan perpektif tindakan
komunikatif yang hanya fokus pada rasionalitas dan kompetensi
komunikatif. Untuk selanjutnya, model analisis model matematika ini
dinamakan sebagai GENERATIVE SELF GOVERNANCE.
Model matematika ini dapat digunakan untuk melengkapi keterbatasan
dari perspektif konstruksi sosial yang belum memiliki kerangka metodologi
serta perspektif tindakan komunikatif yang hanya fokus pada rasionalitas dan
kompetensi komunikatif. Pada tataran praktis, formulasi model analisis
tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk memotret indeks tentang generative
self governance masyarakat perdesaan di Jawa. Sehingga akan memberi arah
yang jelas tentang bagaimana mereka mengembangkan dirinya, dan juga
mengidentifikasi jenis intervensi yang relevan.
248
D. Implikasi Praktis
Membangun masyarakat yang mandiri sehingga mampu menemukan
masalah dan solusinya secara berkelanjutan tidak boleh menjebak pikiran
dengan mengasumsikan warga desa sebagai pihak yang lemah, sehingga perlu
dibangun atau didampingi. Telah tersedia lebenswelt atau local genius
berupa ruang publik dalam berbagai tradisi yang hidup, kebajikan sosial
dan kepemimpinan. Namun seiring dengan pluralitas warga baik dari sisi
budaya, agama dan orientasi politik, maka ruang ruang publik tidak lagi
memadai. Konsensus tidak m ungkin ditempuh dengan keterbatasan
kompetensi komunikasi dan klaim kebenaran yang tidak melulu bersifat
rasional. Dari sisi inilah mengapa perspektif konstroksi sosial Bergerian dan
Perpektif ruang publik beserta tindakan komunikasi Habermas tidak lagi
memadai untuk memahami dan dalam kepentingan praktis menjadi panduan
Pengembangan kemampuan warga desa dalam mengelola pembangunan.
Model generatif self governance di muka akan sangat bermanfaat untuk
peningkatan kapasitas warga dan Pemerintah desa dalam membangun
desanya. Model ini dapat memandu Pemerintah desa dan warga dalam
menentukan unsur penguatan kearifan lokal. Para pengambil kebijakan dan
pelaksana program pembangunan pedesaan akan terhindarkan dari
simplifikasi permasalahan pembangunan pedesaan sebagai yang selama ini
berlangsung. Alih alih mendampingi warga desa membangun seperti program
PNPM (develop with) atau membangun untuk warga desa (develop for) dalam
prakteknya bisa malah merampas kearifan lokal. Reduksi ta ta kelola
pembangunan hanya menjadi administrasi pembangunan dapat menyingkirkan
kearifan lokal dari kehidupan publik di pedesaan. Pada gilirannya hanya akan
mengerdilkan kemampuan warga dan Pemerintah desa dalam membangun.
Kecenderungan pengerdilan ini dapat dilihat dari lahirnya berbagai
peraturan, kegamangan para pemangku kepentingan dan respon yang salah
atas permasalahan yang muncul di desa. Terbitnya Undang-undang No.6
Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) sejatinya merupakan
249
salah satu ikhtiar pemerintah untuk membangun kemandirian dan kedaulatan
desa serta mendorong pembangunan desa yang yang bottom up (demokratis).
Namun implementasi dan praktik dari UU No. 6 Tahun 2014 masih belum
bisa menunjukkan arah perubahan seperti apa yang diharapkan.
Salah satu telaah kritis atas UU No. 6 tahun 2014 tentang desa perlu
dimulai juga dari latar belakang pengesahan kebijakan tersebut. Seperti diakui
oleh Yudhoyono di sebuah acara seminar yang diselenggarakan Asosiasi
Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Yogjakartapada Maret
2014, semangat UU No. 6 tahun 2014 adalah upaya meningkatkan
kesejahteraan desa melalui pembangunan ekonomi di desa. Artinya, yang
menjadi landasan utama dalam penyusunan UU No 6 tahun 2014 adalah
“memperkaya” desa dengan dukungan materil dari pemerintah Pusat.
Oleh karena itu, anggaran dana desa seringkali disebut dan dirujuk
sebagai capaian penting bagi desa yang diperoleh melalui keluarnya undang-
undang tersebut. Namun, reduksi persoalan UU No. 6 tahun 2014 pada perihal
dana desa merupakan penyederhanaan berlebih terhadap kompleksitas
kebijakan tersebut yang secara substantif tersandera antara semangat
pembinaan versus pemberdayaan masyarakat desa; serta praktik sentralisasi
versus pemenuhan prinsip self-governing di desa.
Keluarnya UU No. 6 tahun 2014 sarat dengan asumsi “pengalihan
struktur dan lembaga-lembaga demokrasi” dari pemerintahan pusat kepada
pemerintahan di desa. Hal ini merupakan sum ber tantangan dan persoalan
pemenuhan implementasi undang-undang tersebut serta kesesuaian sejumlah
instrumen peraturan teknis di bawahnya (PUSKAPOL UI: 2016). Peraturan
teknis yang dimaksudkan meliputi Peraturan Kementerian Desa (Permendes)
Nomor 1, 2, 3, dan 4 tahun 2015, serta Peraturan Kementerian Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 111 dan 113 tahun 2014 serta Nomor 1 tahun 2016.
Asumsi “pengalihan struktur dan kelembagaan demokrasi” ke desa tersebut
diperumit dengan ambiguitas semangat pembinaan dan pemberdayaan
masyarakat desa yang bergeser sejalan dengan perubahan rejim kebijakan
yang mengatur pemerintahan desa. “Pengalihan struktur dan lembaga-lembaga
250
demokrasi” ini juga membuka ruang untuk terjadinya oligarki di tingkat desa.
BPD yang diperankan sebagai lembaga legislatif Desa yang memiliki
kewenangan strategis untuk membahas dan menyepakati rancangan peraturan
desa bersama-sama dengan kepala desa, menampung serta menyalurkan
aspirasi masyarakat desa, dan mengawasi kinerja kepala desa, dalam banyak
kasus tidak merepresentasikan seluruh kelompok warga yang ada di Desa.
Rekrutmen anggota BPD masih diwarnai oleh hubungan kekerabatan dan
senioritas di Desa.
Selain itu, regulasi teknis yang diciptakan untuk membangunan
demokrasi desa banyak terjebak pada aspek prosedural yang malah berpotensi
mempersempit ruang partisipasi warga. Sebagai contoh adalah aturan teknis
mengenai Musdes dalam Permendes No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata
Tertib dan Pengambilan Keputusan Mustawarah Desa. Regulasi ini sangat
teknis dan detail sehingga dapat berimplikasi pada terbatasnya partisipasi
warga dalam Musyawarah Desa.
Dalam kaitannya dengan implementasi Dana Desa, masih terdapat
kesan keraguan dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Keraguan akan
kemampuan “masyarakat dan pemerintaan desa” dapat dilihat dari sambutan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi :
“...dana desa adalah amanah, jadi harus dikelola untuk menggerakkan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Dengan mengambil langkah tersebut diharapkan dana tersebut bisa membuat desa berkembang dan mensejahterakan masyarakat. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi desa saat ini adalah masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di desa, termasuk aparatur desa yang memegang kekuasaan administrasi pemerintahan dan pengelolaan dana desa.. Capacity building masyarakat desa ini sangat mendesak dan sifatnya prioritas, karena peningkatan kapasitas inilah yang akan menjadikan masyarakat desa lebih berdaya, memiliki pengetahuan, wawasan dan keterampilan atau skill yang lebih baik dalam pelaksanaan pembangunan desa.. Kepala Desa agar melakukan capacity building khususnya untuk meningkatkan kualitas tata kelola keuangan desa sehingga dana desa benar-benar dipergunakan sebagaimana mestinya, sehingga dalam penggunaan dana desa nantinya tidak timbul masalah
251
hukum di kemudian hari.”(News.Okezone.com, Jumat 19/6/2015)
Dalam diskusi dana desa yang digelar redaksi Kompas bekerjasama
dengan Institut For Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, DPD RI,
terdapat kesim pulan bahwa penyaluran dana yang bersumber dari APBN
untuk desa terhambat sejumlah permasalahan. Hal itu terjadi bukan karena
Pemerintah Pusat dan Pemkab belum siap melaksanakan amanat Desa.
Diskusi ini mencatat sejumlah tantangan pemberian dana desa dari sisi
implementasi peraturan Pemerintah (PP no 22/2015) dan implementasi di
lapangan, dalam hal ini masyarakat dan pemerintahan desa. Tantangan itu
antara lain; ketimpangan alokasi dana desa, belum diterbitkannya perda
tentang alokasi dana desa, kegagalan sosialisasi dan pendampingan, belum
fokus pada tujuan desa, kemungkinan maraknya mafia anggaran.
Dari sisi implementasi lapangan; kapasitas sumberdaya manusia
pemerintah desa belum memadai, kesenjangan kemampuan antar desa,
apatisme dan disorientasi pembangunan: pengelolaan desa cenderung
adiministratif, tanpa keadilan dan akuntabilitas pembangunan. Kemudian pola
pikir yang konservatif; birokratisasi berlebihan, APBDesa dikhawatirkan
banyak dihabiskan untuk belanja birokrasi desa, tujuan pemberdayaan
masyarakat berpotensi gagal. Dari sisi kelembagaan belum solid;
ketidakjelasan sistem dan tatakelola keuangan dari level pusat hingga
kabupaten. Juga dengan transparansi dan akuntabilitas; transparansi dan
akuntabilitas dana desa kemasyarakat belum ada mekanisme pelembagaannya.
E. Keterbatasan Penelitian
Peneliti merasa masih terdapat keterbatasan dalam melakukan
penelitian ini. Keterbatasan yang dialami oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
1. Perlunya pendekatan antropologi untuk memastikan serta
mengungkapkan akar kesejarahan dari simbol-simbol dan tradisi-tradisi
etis yang telah melandasi sistem kepercayaan (belief system) masyarakat.
252
Serta, mengejawantah dalam klaim-klaim kebenaran yang akhirnya
mempengaruhi model kelembagaan dan tata kelola di suatu desa.
2. Penelitian ini belum mampu memprediksi prospek keberlanjutan
generative self governance, sehingga perlu penelitian lanjut untuk
membandingkan dan mengidentifikasi generative self governance antar
desa satu dengan yang lain.
F. Saran-saran
Strategi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat perdesaan perlu
dikaji, diidentifikasi dan diperkaya dengan menggunakan model analisis
konstruksionis-komunikatif. Melalui model analisis ini, akan terpetakan
bagaimana karakteristik generative self governance dalam masyarakat
perdesaan. Dan dari hasil pemetaan tersebut, akan ditemukan leverage point
untuk mengakselerasi praktik generative self governance yang sudah hidup
dalam masyarakat perdesaan.
Lebih dari itu semua, penelitian ini juga menemukan bahwa praktik
generative self governance dalam masyarakat perdesaan merupakan modalitas
yang sangat bernilai untuk menghadirkan model pembangunan perdesaan
yang lebih kontekstual, substantif dan bermartabat. Dalam rangka merawat
dan mengembangkan generative self governance tersebut, peneliti
menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah :
(1) Untuk membangun generative self government di pedesaan, yang
dilakukan pertama kali adalah mengarahkan semua unsur desa untuk
fokus pada masalah-masalah yang dihadapi yang akan menjadi sasaran
pembangunan pemerintah desa;
(2) Memandu dengan kepastian bagaimana menyusun anggaran dengan
skema partnership, yang fokus untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi secara optimal;
(3) Mendorong lahirnya kualitas representasi, di mana tidak hanya
mengandalkan politis teknokratis (BPD), tetapi memperluas pelibatan
253
mereka yang selama ini rentan, termajinalkan dan tidak diperhitungkan
(silent majority). Misalnya dengan melibatkan mereka dalam ruang
public informal dan formal seperti wali amanat desa, sehingga dapat
merawat, melahirkan dan mengembangkan praktik dialog generatif di
desa;
(4) Mendorong pemerintah desa untuk menghasilkan kemanfaatan sosial
ekonomi dengan adanya laporan kinerja pemerintah desa yang dapat
diakses oleh seluruh warga.
(5) Memelihara dan menjaga kebajikan sosial di desa dan menciptakan
public trust melalui transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas di
Desa
Kelima hal itulah yang harus didorong oleh pemerintah, dan tentunya
dengan melatih leadership para kades, pemimpin informal dan formal,
untuk mewujudkan generative self government.
2. Bagi para aktivis dan LSM :
Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan, tidak secara
sepihak hanya berlandaskan pada ideologi, asumsi-asumsi serta hanya
fokus pada soal representas. Namun, harus bersedia hadir dalam ruang-
ruang perbincangan kontekstual melalui proses dialog generatif dan bisa
melakukan ko-kreasi dengan komunitas atau masyarakat.
3. Untuk masyarakat perdesaan
Menjaga dan melestarikan praktik-praktik generatif self governance yang
telah hidup dalam dunia sosio-kulturalnya. Dengan kata lain, tidak
menarik diri karena merasa inferior dengan tradisi-tradisi lokal yang
sudah ada, karena apabila tradisi tersebut dikelola dengan tepat, justru
akan menjadi ruang-ruang diskursus yang memungkinan mereka untuk
melipatgandakan modal sosial (social capital)
4. Bagi para akademisi, pakar, dan pengamat pembangunan perdesaan:
Tidak terkungkung pada ideologi dan konsep-konsep keilmuannya, tetapi
dengan rendah hati belajar dan hadir untuk memahami ‘semesta makna”
masyarakat perdesaan, dan saling berkolaborasi untuk mengakselerasi
254
generative self governance bagi terkembangnya model pembangunan
perdesaan yang lebih berjiwa, bermakna dan bermartabat.
255
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin & Beni Ahmad Saebani. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Annas, Julia . (2002). My Station and its Duties: Ideals and the Social Embeddedness of Virtue. Proceedings of the Aristotelian Society, vol 31. 23-48.
Anthony Elliott . (2010). The Routledge Companion to Social Theory.London: Routledge.
Ashfa.,dkk. (2016). Jejak-jejak Praktik Pancasila di Bojonegoro, Persembahan untuk Indonesia. Bojonegoro.
Ayu, Rezza. (2017). Etika Bisnis. Dilihat tanggal 6 Mei 2017, http://ayurezhap.blogspot.co.id/2017/03
Ban, R., Gilligan, M. J., & Rieger, M. (2015). Self-help groups, savings and social capital: evidence from a field experiment in Cambodia.
Barro, & Mccleary. (2003): Religion and Economic Growth across Countries. American Sociological Review, vol 68), 760-781.
Berger Peter, L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Garden City, NY: First Anchor.
Berger Peter, L., & Luckmann. (2012). Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Peterj. Hasan Basri. Jakarta: LP3ES
Berger, Peter, L. (1963). Invitation to Sociology. London: Pelican.
Berkowitz, A. D. (2004). The social norms approach: Theory, research, and annotated bibliography.
Bertens, K. (1999). Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles. Kanisius.
Bohm, D. (2013). On dialogue. Routledge.
Boyd-Barrett, O. (1995). Approaches to “new audience research”. BOYD-BARRET, O.; NEW BOLD, C. Approaches to media, a reader. Londres: Arnold, 498-504.
Bryan Magee. (2005). Memoar Seorang Filosof: Pengembaraan di Belantara
256
Filsafat, Peterj.: Eko Prastyo. Bandung: Mizan.
Bryan S. Turner (Editor). (2006).The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
Bryan S. Turner. (1999).Classical Sociology. London: Sage Publications.
Burhan Bungin (Editor). (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.
Bykvist, K. (2007).The benefits of coming into existence. Philosophical Studies vol 135: 335- 362.
Chhotray, V., & Stoker, G. (2009). Governance: From Theory to Practice. In Governance Theory and Practice. Palgrave Macmillan UK.
Creswell, John W. (1994). Research design: qualitative & quantitative approaches. London: Sage Publication
Damsar. (1997). Sosiologi Ekonomi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Daradjat, Zakiah. (1990). Kesehatan Mental. Jakarta: CV. Haji Masagung
Dario Castiglione, dkk. (Editor). (2008). Handbook of Social Capital.Oxford: Oxford University Press.
Deddy Mulyana. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Demartoto, Argyo. (2013). Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Dilihat tanggal 17 Oktober 2016, http://argyo.staff.uns.ac.id/2013/04/10/teori-konstruksi-sosial-dari-peter-l-berger-dan-thomas-luckman
Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Diekmann, A. (2001). Cooperation: Sociological Aspects, In: N. Smelser and P. Baltes (editors). International encyclopedia of the social and behavioral sciences. Amsterdam: Elsevier
Djam’an Satori & Aan Komariah. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Edi Suharto, Ph.D., dkk. (2010). Pendidikan & Praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia: Melacak Masa Lalu, Merajut Masa Depan. Bandung: STKS
257
Press.
Eryanto. (2002).Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS.
Eva Etzioni-Halevy & Amitai Etzioni (Editor). (1974). Social Change: Sources, Patterns, and Sequences. New York: Basic Books.
Evans. (2004). The Environment Of Childhood Poverty. American Psychology.Vol 59: 77–92.
Farrell, T. (2014). Exploring the Potential of Comic Improvisation as a Means of Understanding Generative Dialogue (Doctoral dissertation, Education).
Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative Forum "Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah. (2005). ""Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik. di Yogyakarta
Francis Fukuyama. (1999). The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. USA: Free Press.
Fukuyama, F. (2002). Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Peterj.: Ruslani. Yogyakarta: Qalam.
Fukuyama, F. (2002). Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran terjemahan dari Trust the Social Virtues and The Creation of Prosperity oleh Francis. (Diterjemahkan oleh Ruslani). Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Geertz, Clifford. (1976). Religion as a Cultural System. In Anthropological Approaches to the Study of Religion. London: Tavistock Publications.
Geertz, C. (1976). The religion of Java. University of Chicago Press.
Geertz, Clifford. (1976). Involusi pertanian, proses perubahan ekologi di Indonesia (Agriculture involution), (Supomo, Trans.). Jakarta: Bhratara K.A.
Geertz, Clifford. (1983). Local Knowledge; Further Essays In Interpretive Anthropology. London: Fontana Press.
Geertz, Hildred. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
Gert Tinggaard Svendsen & Gunnar Lind Haase Svendsen (Editor). (2009).Handbook of Social Capital: The Troika of Sociology, Political Science and Economics. Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc.
258
Gillian Ruch, dkk. (2010). Relationship-Based Practice Social Work: Getting to the Heart of Practice. London: Jessica Kingley Publishers.
Giri, Wahyana MC. (2009). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Glasersfeld, E. von, (2001) The radical constructivist view of science. In: A. Riegler (Ed.). Foundations of Science, vol.6, no. 1–3: 31–43.
Gufron, Rajabul. (2016). Analisa Tindakan Komunikatif. Dilihat 12 Januari 2017, https://rajabulgufron.wordpress.com/2016/11/16/analisa-tindakan-komunikatif/
Gunawan, Daddi H. (2014). Perubahan Sosial di Pedesaan Bali. Jakarta: Marjin Kiri
Habermas, J, (1984). The Theory of Communicative Action (Volume 1) translated by Thomas McCarthy. Boston: Beacon Press.
Habermas, J., & Habermas, J. (1985). The Theory of Communicative Action (Vol.2). Boston: Beacon Press.
Habermas, Jürgen. (2000). On the Pragmatics of Communication. MIT Press.
Hamid Patilima. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Hardiman, F. B. (2009). Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius.
Hardiman, F. Budi (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi (2008). Teori Diskursus dan Demokrasi. Diskursus, 1-25.
Hardiman, F. Budi. (2008). "Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke Dalam Filsafat Politik." Diskursus. Vol 7.
Hardjowirogo, Marbangun.(1983). Manusia Jawa. Jakarta: Yayasan Idayu.
Haris Herdiansyah. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Hariyadi. (2013). Anatomi Teori Jürgen Habermas. Dilihat tanggal 15 Oktober 2016, http://harriadisoz.blogspot.co.id
259
Hartman, H., Spalter-Roth, R., Sills, M. & Yi, M. (2003). Survival at the Bottom: The Income Packages of Low-Income Families with Children. Washington D.C.: Institute for Women's Policy Research.
Hasan, Kawaguci. (2014). Teori Kebajikan (Virtue Theory), dilihat tanggal 17 Oktober 2016, http://kulpulan-materi.blogspot.co.id/2014/09/teori-kebajikan-virtue-theory.htm l
Hentschel & Waters. (2002). Rural poverty in Equador: assessing local realities for the development of anti-poverty programs. World Development, vol (30)1, 33-47.
Hermaji, Bowo. ((2013). "Tindak tutur Penerimaan Dan Penolakan Dalam Bahasa Indonesia." CAKRAWALA Jurnal Pendidikan 7.11
Hidir, Ahmad. (2012). Sekilas Tentang Pemikiran Jurgen Habermas, dilihat 15 Oktober 2016, http://achmadhidir.blogspot.co.id/2012/05/sekilas-tentang-pemikiran-jurgen.html
Howard S. Becker. (1998).Tricks of the Trade: How To Think about Your Research While You’re Doing It. Chicago: The University Chichago Press.
Ian Robertson. (1983).Sosiology.New York: Worth Publisher.
Irwanto. (1998). Focus Group Discussion (FGD), Sebuah Pengantar Praktis, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat. Jakarta: Universitas Katolik Atma Jaya
Iskandar. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aplikasi Untuk Penelitian Pendidikan, Hukum, Ekonomi & Manajemen, Sosial, Humaniora, Politik, Agama& Filsafat. Jakarta: Gunung Persada Press.
Jacob Peniel Ninu. (2012). Perubahan Sosial di Pinggiran Kota Kupang,Disertasi Dipublikasikan.Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
James A. Black & Dean J. Champion. (2001).Metode dan M asalah Penelitian Sosial, Peterj.: E. Koswara dkk.Bandung: Refika Aditama.
James S. Coleman. (2011). Dasar-Dasar Teori Sosial: Foundations of Social Theory, Peterj.: Imam Mutaqien, dkk.Bandung: Nusa Media.
Jan Van Dept, dkk (Editor). (1999). Social Capital and European Democracy. London: Routledge.
Janet M. Ruane. (2013). Dasar-Dasar Metode Penelitian: Paduan Riset Ilmu
260
Sosial, Peterj.: M. Shodiq Mustika. Bandung: Nusa Media.
John Field. (2008). Social Capital.London: Routledge.
John Scott (Editor). (2011). Sosiologi: The Key Concept, Peterj.: Tim Penerjemah Labsos Fisip Unsoed. Jakarta: Rajawali Pers.
Julia Hauberer. (2011).Social Capital Theory: Towards a Methodological Foundation. Germany: Spinger Fachmedien.
Karen Amstrong. (2006). The Great Transformation: The World in the Time of Buddha, Socrates, Confucius and Jeremiah. London: Atlantic Books.
Kathy S. Stolley. (2005).The Basics of Sociology. London: Greenwood Press.
Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, mentalitet, dan pembangunan: bungarampai. Jakarta: Gramedia.
Koswara, E. (1991). Teori-Teori Kepribadian Psikoanalisis, Behaviorisme, Humanistik. Bandung: Eresco.
Layungkuning, Bendung. (2013), Sangkan Paraning Dumadi. Orang Jawa dan Rahasia Kematian. Yogyakarta : Penerbit Narasi
Lefèvre, C. (1998). Metropolitan government and governance in western countries: a critical review. International journal of urban and regional research.Agustus 2005)
Leudar, Ivan. (1991). "Sociogenesis, coordination and mutualism.” Journal for the theory of social behaviour
Lewis, Oscar (1969). "Culture of Poverty". In Moynihan, Daniel P. On Understanding Poverty: Perspectives from the Social Sciences. New York: Basic Books.
Lewis, Oscar. (1983). Kebudayaan Kemiskinan; d Dalam Kemiskinan di Perkotaan . Parsudi Suparlan (Edt), Jakarta: Yayasan Obor.
Lexy J. Moleong. (2007).Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
M. Ismail MH. (2009).Politisasi Birokrasi. Malang: Ash-Shiddiqy Press.
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: sebuah analisa filsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
261
Makinuddin & Tri Hadiyanto Sasongko. (2006).Analisis Sosial: Bersaksi dalam Advokasi Irigasi. Bandung: Yayasan Akatiga.
Marc Hooghe & Dietlind Stolle (Editor). (2003). Generating Social Capital: Civil Society and Institutions in Comparative Perspective.New York: Palgrave Macmillan.
Marleen Huysman & Volker Wulf (Editor). (2004). Social Capital and Information Technology.Massachusetts: The MIT Press.
Martin Albrow. (2003). Sociology: The Basics. London: Routledge.
Maulana, Desta. (2016). Proses Adopsi Dan Inovasi. Makalah. Diunduh pada tanggal 18 Mei 2017, https://zu0needm.blogspot.com/2016/09/makalah-proses-adopsi-dan-inovasi.htm l
Max Weber. (2001).The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme.London: Routledge.
McCarthy, T. (1982). Rationality and Relativism: Habermas’s ‘Overcoming’of Hermeneutics. In Habermas. Macmillan Education UK.
Michael Bloor & Fiona Wood. (2006).Keywords in Qualitative Methodes: A Vocabulary of Research Concepts. London: Sage Publications.
Michael Grenfell (Editor). (2008).Pierre Bourdieu: Key Concepts. Stocksfield: Acumen Publishing Limitid.
Michael Novak. (1969).A Theology for Radical Politics.New York: Herder and Herder.
Michael Rush & Phillip Althoff. (2011).Pengantar Sosiologi Politik, Peterj.: Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. London: Sage Publication.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. (1984). Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Desa Pantai. Jakarta: Rajawali.
Muhaimin, Y. A., & MacAndrews, C. (1982). Masalah-masalah Pembangunan Politik. Gadjah Mada University Press.
Mulyadi, dkk. 1984). Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan
262
Kebudayaan.
Murnane. (2007). Improving the education of children living in poverty. Future child vol 17: 161–182.
Nan Lin, dkk (Editor). (2001).Social Capital: Theory and Research. New York: Aldine de Gruyter.
Nanang Martono. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif K lasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial.Jakarta: Rajawali Pers.
Nasikun. (1984). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.
Nasution, A., Rustiadi, E., Juanda, B., & Hadi, S. (2015). Two-Way Causality between Social Capital and Poverty in Rural Indonesia. Asian Social Science, 11(13), 139.
Nasution. (2003).Metode Reseach.Jakarta: Bumi Aksara.
Natasha Mack, dkk. (2005). Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. North Carolina: USAID.
Neong Muhadjir. (2000).Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Ninu, Jacob Peniel, (2012). Perubahan Sosial di Pinggiran Kota Kupang. Disertasi Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan
Nurdiaman, Trisna.(2015) Peter L. Berger – Konstruksi (Pembentukan Realitas Secara Sosial : Sintesa Strukturalisme dan Interaksionisme), dilihat 17 Oktober 2016, http://esensialisme.blogspot.co.id/2015/04/peter-l-berger-konstruksi-sosial.html
Nuris, Anwar. (2016). "Tindakan Komunikatif: Sekilas tentang Pemikiran Jürgen Habermas." al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi.
Nusa Putra. (2011). Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi.Jakarta: PT. Indeks.
Nyerere, Julius. (2000). Rural Development, diunduh tanggal 15 Juli 2017, http://www.ibe.unesco.org/International/Publications/Thinkers/ThinkersPdf/ nyereree.pdf
O'Donoghue, T., & Punch, K. (Eds.). (2003). Qualitative educational research in action: Doing and reflecting. Routledge.
Okenews. (2016), Dana Desa Untuk Pembangunan & Pemberdayaan
263
Masyarakat, dilihat tanggal 18 Mei 2017, http://news.okezone.com/read/2015/06/19/337/1168394/dana-desa-untuk-pembangunan-.html
Oscar Lewis, (1959) Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty
Partha Dasgupta & Ismail Serageldin (Editor). (2000). Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington, D.C.: The World Bank.
Paul B. Horton & Chester L. Hunt. (1987).Sosiologi, Peterj.: Aminuddin Ram & Tita Sobari. Jakarta: Erlangga.
Penders, C.L.M.. (1984). Bojonegoro 1900-1942: Kisah Kemiskinan Endemik di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.Jakarta: PT. Inti Idayu Press.
Peter Wagner. (2003). A Sociology of Modernity: Liberty and Discipline.London: Routledge.
Pierre, J., & Peters, G. B. (2000). Governance, Politics and The State. New York : St Martin Press.
Piotr Sztompka. (2011).Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta: Prenada.
Pip Jones. (2010).Pengantar Teori-Teori Sosial: dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Peterj.: Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Prabowo, Dhanu Priyo. 2003. Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Yogyakarta: Narasi Press
Pranoto. Tjaroko Hp Teguh AKK (2009). Tata Upacara Adat Jawa. Yogyakarta: Kuntul Press.
Purwadi. (2006). Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual. Jakarta: Buku Kompas.
PUSKAPOL UI. (2016). Grand Design Tata Kelola Desa Yang Partisipatif, Adil Dan Setara, diunduh tanggal 16 Juli 2017, http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/GRAND-DESIGN-TATA-KELOLA
Rhodes, R. A. W. (1996). The new governance: governing without government. Political studies, 44(4), 652-667.
Richard Brislin. (2009). Understanding Culture’s Influence On Behavior.New York: Harcourt Brace College Publishers.
264
Richard T. Schaefer. (2013). Sociology: A Brief Introduction. New York: McGraw-Hill.
Rienstra, B., & Hook, D. (2006). Weakening Habermas: The Undoing of Communicative Rationality. Politikon, 33(3), 313-339.
Ritzer & Goodman, J. (2011).Teori Sosiologi Modern, Peterj: Alimandan. Jakarta: Prenada.
Ritzer, George. (2011).Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.
Ritzer, George & Barry Smart (Editor). (2003). Handbook of Social Theory. London: Sage Publications.
Ritzer, George. (2001).Explorations in Social Theory: From Metatheorizing to Rationalization. London: Sage Publications.
Robert D. Putnam. (1993).Making Democracy Work: Civic Traditions in M odern Italy. Princeton: Princeton University Press.
Robert D. Putnam.(2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.
Robert H. Lauer. (2003). Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Renika Cipta.
Rogers, E. M. (1993). The diffusion of innovations model. Nato Asi Series D Behavioural And Social Sciences, 70, 9-9.
Rogers, Everett M. (1983). Diffusion of Innovation. Third Edition. The Free Press. New York.Ryan, Bryce
Rogers, Everett M., Shoemaker, F1oyd F, Communication of Innovations, The Free Press: A Division of Mc Mil1an Publishing Co., Inc., New York.
Rosenberg, S., & Sedlak, A. (1972). Structural representations of implicit personality theory. Advances in Experimental Social Psychology, vol 6, 235–297
S. Margono. (2003).Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Renika Cipta.
S. Nasution. (2007).Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Sahlins, M. D., (1972) Economics, S. A. Chicago–New York: Aldine-Atherton. Inc.
265
Santoso, Anang. (2007). "Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya." Bahasa dan Seni, Tahun 35, Nomor 1, Februari 2007.
Scharmer, C. O., & Kauefer, K. (2013). Emerging Future: From Ego-System to Eco-System Economies.
Scharmer, C. O., & Senge, P. M. (2009). Theory U: Leading from the future as it emerges.
Scott, James C. (1983). Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3S.
Seligman, Adam. (1997).The Problem of Trust. Princeton: Princeton University Press
Sihombing, Bachtiar. (2011). Etika Jawa, dilihat tanggal 18 Mei 2017, http://bachtiarsihombing.blogspot.com/2011/04/etika-jawa.html
Silber, J. (2006). Economic Studies in Inequality, Social Exclusion and Well-being. Springer.
Simbolon, Sastra Harmy Yunita. (2008). Hubungan Harga Diri Dengan Asertifitas Pada Remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. (Versi Elektronik). Diakses pada tanggal 07 februari 2013, http://repository.usu.ac.idbitstream123456789234747.pdf.
Simon Susen & Bryan S. Turner (Editor). (2011). The Legacy of Pierre Bourdieu: Critical Essays. London: Anthem Press.
Smith, R. M. (1984). 'Modernization'and the Corporate Medieval Village Community in England: Some Sceptical Reflections. Explorations in historical geography, 140-79.
Smith, Theodore M. (1984). Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan ? Dalam Koentjaraningrat. Masalah-masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan. LP3ES. Jakarta.
Soehadha, Moh. (2014). Wedi Isin (Takut Malu); Ajining Diri (Harga Diri) Orang Jawa dalam Perspektif Wong Cilik (Rakyat Jelata), diunduh pada 13 Juni 2017, http://digilib.uin-suka.ac.id/18604/1/MOH%20SOEHADHA%20-%20WEDI%20ISIN% 20% 28TAKUT% 20MALU%29%20AJINING%20DIRI%20%28HARGA%20DIRI%29% 20ORANG%20JAWA%20DALAM%20PERSP
Soeharto, Edi, Et. All, Pendidikan dan Praktik Pekerja Sosial di Indonesia, STKS Press, Bandung,
266
Soerjono Soekanto. (2007) Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sreenivasan, Gopal, (2002), Errors about Errors: Virtue Theory and Trait Attribution. Mind vol 111, 47-68
Sri Hidayati. (2010). Perubahan Modal Sosial sebagai Dampak Jembatan Suramadu: Studi Pada Masyarakat Madura Pekerja Petani Beralih ke Sektor Informal di Kawasan Suramadu, Disertasi Tidak Dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
Sri Minarti. (2011).Manajemen Sekolah: Mengelola Lembaga Pendidikan secara Mandiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Stephen Baron, dkk. (Editor).Social Capital: Critical Perspectives.Oxford: Oxford University Press.
Stephen Kalberg (Editor). (2005). Max Weber: Readings and Commentary on Modernity. Oxford: Blackwell Publishing.
Strauss Anselm & Corbin Juliet.(2009). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Tehnik-Tehnik Teoritisasi Data, Peterj.: Muhammad Shodiq & Imam Mutaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarsyah, A. (2016). Kerangka Analisis Data Fenomenologi (contoh analisis teks sebuah catatan harian). Jurnal Penelitian Pendidikan. Diunduh tangal 18 Mei 2017, http://ejournal.upi.edu/index.php/JER/article/view/3475
Sugiono. (2005).Memahami Penelitian Kualitatif: Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, M. P. P. (2007). Pendekatan Kuantitatif. Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suhaimi. (2016). Dimensi Kebajikan – Jejak Pemikiran Dan Refleksi. Dilihat tanggal 18 Mei 2017, https://uzairsuhaimi.blog/2016/10/22/dimensi-kebajikan.html
Sukidin, B. (2002). Metode Penelitian Kualitatif Perspektif M ikro. Surabaya: Insan Cendekia.
Suparno. (1997).Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.Yogyakarta: Kanisius.
Surya, Hendra. (2006). Kiat Membina Anak Agar Senang Berkawan. Jakarta: Gramedia.
267
Suseno, F.M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia.
Suseno, F.M. (2005). Pijar-pijar filsafat: dari Gatholoco ke filsafat perempuan, dari Adam M üller ke Postmodernisme. Yogyakarta : Kanisius.
Susilo, Edi, dkk. (2010). Kajian Struktur Sosial Masyarakat Nelayan di Ekosistem Pesisir.Wacana Vol. 13, No. 2 April 2010.
Syaukani & Ryaas Rasyid. (2003). Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilly, C. (2007). Poverty and the politics of exclusion. In Moving Out of Poverty Volume 1: Cross-Disciplinary Perspectives on Mobility. Palgrave MacMillian and The World Bank. Washington, DC.
Tyas, Alif Dian Cahyaning. (2010). Hubungan Pola Attachment Dengan Self Esteem Remaja Pada Mahasiswa Psikologi Semester IV Di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Skripsi. Fakutas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahin Malang.
Umiarso & Imam Gojali. (2010).Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan: “Menjual” Mutu Pendidikan dengan Pendekatan Quality Control bagi Pelaku Lembaga Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Uwe Flick, dkk. (Editor). (2004). A Companion to Qualitative Research, Peterj.: Bryan Jenner. London: Sage Publications.
W. Lawrence Neuman. (2007). Basics of Sosial Research: Qualitiative and Quantitative Approaches. New York: Pearson Educations, Inc.
Wahyana Giri MC (2010). Sajen & Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Wahyu, (2015). Dimensi Metodologis Dalam Teori Tindakan Komunikatif. Dilihat tanggal 18 Mei 2017, https://bambangwahyu72.wordpress.com/2015/04/14/dimensi-metodologis-dalam-teori.html
Waters, M. (1994). Modern sociological theory. London : Sage Publication.
Willig, Carla. 2008. Introducing Qualitative Research In Psychology. New York: Open University Press.
Yahya, Afif. (2015). Analisis Sistem Pertukaran (resiprositas) Masyarakat,
268
dilihat tanggal 18 Mei 2017, http://blog.unnes.ac.id/yahya1/2015/11/17/analisis-sistem-pertukaran-resiprosita.html
Yvonna S. Lincoln & Egon G. Guba. (1985).Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: SAGE Publications.
Yvonne Darlington & Dorothy Scott. (2002). Qualitative Research in Practice Stories From the Field. Australia: Allen & Unwin.