bab ii hasil penelitian dan analisis -...
TRANSCRIPT
14
Bab II
Hasil Penelitian dan Analisis
Pada Bab II ini akan dipaparkan beberapa-beberapa penjelasan terkait
dengan penelitian “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan
Hukum Tetap ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No.
08/Pdt.G/2003/PN.Pml)”. yang meliputi : Tinjuan Pustaka , hasil penelitian dan
analisis hasil penelitian.
A. Tinjuan Pustaka
A.1. Tentang Eksekusi
Dalam hal tentang eksekusi akan dibahas mengenai pengertian, dasar
hukum eksekusi, syarat-syarat dalam hukum eksekusi, dan tata cara pelaksanaan
eksekusi.
A1.1 Pengertian Eksekusi
Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa)
putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Untuk kesamaan
penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”.8
Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis
menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata
ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk
selanjutnya dalam tulisan ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian
“pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata.9
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten
uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau
8 M. Luqmanul Hakim Bastary, Judul perdata Jurnal “Eksekusi Putusan Perkara Perdata”, Serang,
2010 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia
15
menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan
putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah
dalam perkara.10
Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan
pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang
dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak
untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang
memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari
pengadilan untuk melaksanakannya.11
Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk
merealisasikan kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi
prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan
panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara
paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim
tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan
pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu
sendiri.12
A.1.2 Dasar Hukum Eksekusi
Sebagai dari realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam
perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan 13
:
Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR (tentang tata
cara eksekusi secara umum);
Pasal 225 HIR (tentang putusan yang menghukum tergugat
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);
10
Harahap, Yahya, M, S.H. “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata “, PT.Gramedia, Jakarta, 1988, hal 1. 11
Abdul Manan, Judul Makalah“ Eksekusi & Lelang Dalam Hukum Acara Perdata”, Jakarta, 2011, hal 1. 12
Luqmanul Hakim Bastary, Op.Cit., hal 1 13
M. Luqmanul Hakim Bastary, “Eksekusi Putusan Perkara Perdata” Serang, 2010, hal. 2.
16
Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR yang mengatur
tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan
secara efektif.
Pasal 180 HIR, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA
Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Putusan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
pelaksanaan serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan
provisi);
Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);
Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan
A.1.3. Syarat-syarat dalam Eksekusi
Adapun isi dalam menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada
melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau
menjalankannya secara sukarela.14
Adapun diantara syarat-syarat adalah sebagai berikut
a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Pada dasar prinsipnya dalam pelaksanaan putusan secara paksa merupakan
tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum,
guna untuk menjalankan suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
Dengan kata lain, selama dalam putusan hakim belum memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan
dalam pelaksanaan putusan secara paksa baru berfungsi sebagai tindakan hukum
yang sah dan memaksa, terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi
putusan secara sukarela
14
Subekti, “ Hukum Acara Perdata”, BPHN, Jakarta, 1977, hal. 128.
17
Ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang
memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan tersebut yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu:
1) Pelaksanaan putusan lebih dahulu
2) Pelaksanaan putusan provisi
3) Akta perdamaian
4) Eksekusi Terhadap Grosse Akta
5) Eksekusi atas Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak
yang kalah tidak bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Jika
pihak yang kalah tidak menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan
menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut eksekusi.
Dengan demikian, salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi, yaitu
menjalankan eksekusi secara paksa marupakan tindakan yang timbul apabila
pihak yang kalah tidak menjalankan putusan secara sukarela. Jika pihak yang
kalah bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela, maka tindakan
eksekusi tidak diperlukan.
c..Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir.
Prinsip lain yang mengatakan harus terpenuhi atau lengkap adalah putusan
tersebut memuat amar kondemnatoir (condemnatoir). Hanya suatu dalam putusan
yang bersifat kondemnatoir yang bisa dieksekusi, karena sebuah putusan yang
dalam amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar
atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi.
d. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, jika ada suatu Putusan Pengadilan Negeri,
maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam menjaga tegaknya kepastian
hukum dan undang-undang telah menentukan kewenangan menjalankan putusan
18
terhadap suatu putusan pengadilan dengan berpedoman pada kewenangan
tersebut.
A.1.4.Macam-Macam Eksekusi
Pada dasarnya ada (2) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak
dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu
melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini
disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi
seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang”15
Demikian juga dalam praktek Peradilan Agama dikenal 2 (dua) macam
eksekusi, yaitu: (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200
ayat (11) HIR, berisi yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran,
pembagian, dan melakukan sesuatu; (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang
melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200
HIR/Pasal.16
a.Eksekusi Riil
Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam
perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang,
mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan
tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung
(dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses
pelelangan.
2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada
pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR).
Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk
kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan
15
Harahap, Yahya, M, S.H. “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata “, PT.Gramedia, Jakarta, 1988 hal 20 16
Abdul Manan, Judul Makalah“ Eksekusi & Lelang Dalam Hukum Acara Perdata”, Jakarta, 2011hal 316
19
seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih
dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang
Perbedaan eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang :17
b.Eksekusi Riil
-Eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasar putusan pengadilan :
Yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau
Yang bersifat dijalankan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorraad)
atau
yang berbentuk provisi atau yang berbentuk akta perdamaian
disidang pengadilan.
b.Eksekusi dalam Pembayaran Sejumlah Uang
- Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan
pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh
undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan
hukum yang tetap :
grosse akta pengakuan hutang;
Sertifikat Hak Tanggungan dan
Jaminan fidusia.
A.1.5.Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi
Tata cara eksekusi riil menurut salah satu para ahli yaitu Prof. Dr. H.
ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum Hakim Agung, Mahkamah Agung RI
dengan judul makalahnya Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata
adalah sebagai berikut atau dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara
yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri dapat ditempuh tahapan-tahapan
sebagai berikut :18
17
http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/ruang-lingkup-eksekusi-bidang-perdata.html 18
Makalah ini disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol tanggal 18-22September 2011 2005 hal. 6-7
20
a. Permohonan pihak yang menang.
Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara
paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar putusan.
Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan merupakan
suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan
tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 196
HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan
secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada
Ketua Pengadilan yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya
dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi
putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat
dilaksanakan.
b. Penaksiran biaya eksekusi.
Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan eksekusi dari pihak
yang berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir
biaya eksekusi tersebut yang diperlukan dalam proses pelaksanaan eksekusi yang
dilaksanakannya.
Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-
saksi dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya
eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera
atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan
eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.
c. Melaksanakan peringatan (Aan maning)
Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi
putusan secara sukarela. Aan maning dilakukan dengan melakukan panggilan
terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan
dalam surat panggilan tersebut.
21
Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara : (1) melakukan sidang
insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah, (2)
memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan putusan Hakim dalam
waktu delapan hari, (3) membuat berita acara Aan maning dengan mencatat
semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti othentik,
bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi
perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.
Apabila dari pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan maning, dan
ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu
dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aan
maning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah
dipanggil secara resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur
haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak
ada tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan dapat langsung
mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada Panitera/Jurusita.
d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi
Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan maning)
sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan putusan, dan tidak
mau menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua
Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan ketentuan : (1) perintah
eksekusi itu berupa penetapan, (2) perintah ditujukan kepada Panitera atau
Jurusita yang namanya harus disebut dengan jelas, (3) harus menyebut dengan
jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak
dieksekusi, (4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh
di belakang meja, (5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan
amar putusan.
Para praktisi hukum berbeda pendapat tentang kapan surat perintah eksekusi
dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan, apakah surat perintah eksekusi tersebut
dikeluarkan terhitung sejak panggilan tidak dipenuhi oleh pihak yang kalah, atau
setelah pihak yang menghendaki eksekusi mengajukan permohonan kembali
setelah pihak yang kalah tidak mau mengindahkan peringatan sesuai dengan
22
waktu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pendapat yang terakhir ini banyak
dipergunakan oleh Pengadilan Negeri setempat dalam melaksanakan eksekusi riil
dengan pertimbangan bahwa pendapat yang terakhir itu lebih logis daripada
pendapat yang pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting untuk
kelengkapan administrasi eksekusi, di samping itu ada permohonan pelaksanaan
eksekusi diperlukan untuk adanya kepastian pelaksanaan eksekusi itu sendiri,
sebab tidak sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan setelah
diadakan peringatan bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,
sehingga tidak perlu dilaksanakan eksekusi lagi.19
1. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah
1.1 Pengertian Hak Atas Tanah
Hak atas tanah dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA tertulis bahwa “(1) Atas
dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasalmemberi wewenang
untuk mempergunakan tanah-tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu
pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam
batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.”
Dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA, dengan jelas tertulis macam-macam hak
atas tanah yang dapat dimiliki baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain. Hak atas tersebut adalah :
a. Hak milik (Pasal 20 UUPA)
Pengertian hak milik dalam Undang – Undang Pokok Agraria seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 20 yang disebutkan dalam ayat 1 Hak Milik
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah.
b. Hak guna usaha (pasal 28 UUPA)
Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA yang di maksud dengan Hak Guna
Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang di kuasai oleh Negara,
19
Ibid hal. 7
23
dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusaan
pertanian, perikanan, atau perternakan.
c. Hak guna bangunan (pasal 35 UUPA)
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan
miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat
diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA ). Hak guna bangunan diatur
dalam Pasal 35-40 UUPA jo. Pasal 19-38 PP Nomor 40 tahun 1996.
d. Hak Pakai (pasal 41 UUPA)
hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dengan jangka waktu
yang tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).
1.2 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah
Pengertian perlindungan hukum terutama bagi rakyat dengan “tindak
pemerintah” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi
rakyat) sehingga dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu:
perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.20
Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu
dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azazi manusia diarahkan
kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan
pemerintah.
Sejalan dengan itu, A.J.Milne dalam tulisannya yang berjudul “ The Idea
of Human Rights” mengatakan : “A regimewhich protects human rights is good,
one which fails to protect them or worse still does not acknowledge their existence
is bad”. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip perlindungan
hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep
dan deklarasi tentang hak-hak azazi manusia. Dalam hal ini diuraikan tentang
beberapa aspek yang menyangkut konsep dan deklarasi tentang hak-hak azazi
20
Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987 hal 1 - 2.
24
manusia, yaitu:istilah, perkembangan konsep tentang hak-hak azazi manusia,
deklarasi tentang hak-hak azazi manusia, hak-hak azazi manusia dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Pancasila dan hak-hak azazi manusia dan perumusan suatu
daftar hak-hak azazi manusia di Indonesia.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata
lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi. Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan,
penjagaan, asilun dan bunker.
Teori perlindungan yang dikemukakan oleh salah satu ahli yaitu Philipus
M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu
perlindungan hukum represif dan preventif. Perlindungan hukum represif yaitu
perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap
pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan
jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Kaitannya dengan perlindungan
hukum represif bertujuan untuk memberikan keadilan dalam proses persidangan
apabila terjadi sengketa hak atas tanah.21
Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan
dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu
menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada
hakekatnya mentaati imperative. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan
ditegakkan oleh pengembang kekuasaan Negara dimanapun dan kapanpun,
ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau
untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik.
Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip Negara
hukum, yaitu:
1. Perlindungan Hukum yang Preventif
Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum yang represif, sarana
perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan,
21
Ibid hal 11
25
namun akhir-akhir ini disadari pentingnya sarana perlindungan hukum yang
preventif terutama dikaitkan dengan azaz “freies ermessen” (discretionaire
bevoegdheid). Di Belanda terhadap “beschikking” belum banyak diatur mengenai
sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang sifatnya preventif, tetapi terhadap
bentuk “besluit” yang lain misalnya “ontwerp-bestemmings plannen”, “ontwerp
streek plannen” (dalam wet op de Ruimtelijk Ordening) sudah diatur sarana
preventif berupa keberatan (inspraak). Dengan sarana itu, misalnya sebelum
pemerintah menetapkan bestemmingplannen, rakyat dapat mengajukan keberatan,
atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.22
Perlindungan
hukum yang preventif perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definite.
Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini
misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat
dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusantersebut.
Dapatkan dikatakan perlindungan ini memberikan atau mengajukan
keberatan untuk memperoleh suatu bentuk perlindungan hukum yang ada
sehingga dapat mengetahui dirinya mendapatkan perlindungan sebagai pemilik
hak atas tanah yang ada.
2. Perlindungan Hukum yang Represif
Secara garis, sistem hukum di dunia modern terdiri atas dua sistem induk,
yaitu “civil law system” (modern Roman) dan “common law system”. Sistem
hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana
perlindungan hukum bagi rakyat yang dalam hal ini sarana perlindungan hukum
represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.23
Sehingga pada dalam perlindungan hukum bagi rakyat yang represif.
Perlindungan hukum yang sifatnya preventif didahulukan dalam urutan uraiannya
22
Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 3 23
Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 2-3
26
karena pada hakekatnya dari segi urutan pikir (logika) yang preventif mendahului
yang represif24
Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip Negara
Hukum. Jika dikaitkan dengan hak atas tanah sangat erat pada dasarnya adalah
pengakuan hak asasi manusia yang dalam hal ini dirampas oleh suatu individu
yang ingin mennguasai hak secara menyeluruh.
Jadi kalau dilihat dari dua perlindungan hukum diatas jika dikaitkan
dengan pemegang hak atas tanah dapat dilihat bahwa menurut Undang-Undang
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan memberikan pengaturan mengenai
kepemilikan hak atas tanah, agar tercipta keadilan melalui pemberian
perlindungan hukum terhadap orang yang berhak atas tanah. Pasal 23, 32 dan 38
UUPA ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud
agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19
ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu intruksi, yang bersifat “rechts-
kadaster” artinya yang bertujuan mnjamin kepastian hukum Menurut Soedikno
Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :25
1. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga
tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA)
2. Wewenang Khusus
24
Ibid hal. 3 25
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999
27
Wewenang yang bersifat Khusus yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan
macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik
adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,
wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah mengunakan tanah
hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang
bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah hanya
menggunakan tanah untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian,
perikanan, perternakan, atau perkebunan..
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51
PRP 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak
maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam
dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal
6 UU No 51 PRP 1960.
Pasal 6
1.Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3,4 dan 5, maka
dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah);
a.barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah,
dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebuaan dan hutan
dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat 1;
b.barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam
menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
c.barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan
atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau sub b
dari ayat 1 pasal ini;
d.barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan
perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini.
28
Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UU nomor 39
Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM):
Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM
Pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak
ulayat;
Pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik;
Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan
jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas
hak miliknya;
Pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah untuk
kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus
berdasarkan UU; menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh si apapun.”.
B. Hasil Penelitian
Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan
yang terdiri dari Kasus Posisi No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml meliputi : para pihak,
duduk perkara, pertimbangan hakim dan putusan hakim.
B.1 Kasus Posisi
Pada kasus posisi akan disajikan mengenai kasus yang akan dibahas.
Untuk itu kita perlu tau siapa saja yang terlibat dalam kasus posisi ini antara lain:
a. Para Pihak yang berperkara dalam hal ini Penggugat dan Tergugat
b. Duduk Perkaranya guna untuk mengetahui permasalahan yang ada
c. Selanjutnya mengenai putusan hakim Pengadilan mulai dari
Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi
d. Bagaimana proses pelaksanaan eksekusi dilakukan atau dijalankan
B.1.a Pihak-Pihak yang Berperkara
Dalam hal ini identitas pihak-pihak yang berperkara antara penggugat dan
terguggat adalah sebagai berikut
29
Dalam kasus perdata ini sebagai Penggugat adalah Gereja Pantekosta di
Indonesia (GPdI) di Pemalang, diwakili kuasanya Pdt Hengky Tohea yang
bertempat tinggal atau beralamat di jalan Dr. Cipto Mangunkusumo No. 35
Pemalang. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang tertanggal pada 7 April 2003
No.0.021/SMD.VII/IV/2003 dari Pdt G.A.Pandjaitan S.Th, Sekretaris Majelis
Daerah VII Gpdi Jawa Tengah, selanjutnya disebut penggugat.
Dalam kasus perdata ini sebagai Tergugat adalah (1) Ronny Rempen
pekerjaan pendeta, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan Pelutan,
Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat I, (2) Eny Ester
pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan
Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat II.
B.1.b Duduk Perkaranya
Dalam hal ini akan disajikan beberapa mengenai duduk perkara dalam
kasus No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah sebagai berikut:
- Bahwa dahulu kurang lebih Tahun 1963 di Desa Pekunden, Pelutan,
Pemalang telah didirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia
diatas tanah seluas kurang lebih 190 M2 yang kemudian dikenal
setempat dengan nama Jalan Teratai No. 12 Pemalang
- Bahwa pada waktu itu yang menjabat pendeta Gereja Pantekosta di
Indonesia dimaksud adalah Pendeta Mohamad Sangid Zacheus
- Bahwa kemudian Gereja Pantekosta di Indonesia tersebut mendapat
bantuan dari seorang donatur bernama Uung Bintoro ( Pemilik Toko
Basa Putra ) bermaksud memperluas lokasi gereja dimaksud dengan
membelikan tanah sebanyak 2 (dua) yang berdekatan dengan gereja
tersebut.
- Bahwa dalam transaksi jual beli ini dari pihak Gereja Pantekosta di
Indonesia dikuasakan kepada pendeta Mohamad Sangid Zacheus,
sedangkan uang yang untuk membayar kedua bidang tanah tersebut di
atas adalah dari Uung Bintoro (pemilik took Basa Putra Pemalang)
untuk diwakafkan pada Gereja Pantekosta dimaksud
30
- Bahwa jumlah tanah-tanah Aset Gereja Pantekosta di Indonesia
seluruhnya adalah: 190 M2 + 205 M2 + 165 M2 = 560 M2,
selanjutnya disertifikatkan dengan sertifikat Hak Milik No. 1885 atas
nama MOHAMAD SANGID ZACHEUS dengan alasan gereja tidak
dapat memilik tanah dimaksud
- Bahwa mengingat pada tanggal 22 Maret 1990 Pendeta Mohamad
Sangid Zacheus beserta istrinya Linawati Zacheus menyerahkan
sebidang tanah beserta bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia
Pemalang, yang dikenal setempat dengan nama jalan Teratai No.12
Pemalang (termasuk Rumah Dinas Pastorinya) yang tercatat dalam
sertifikat Hak Milik No. 1886 atas nama Muhamd Sangid Zacheus
diserahkan kepada Gereja Pantekosta di Indonesia Pemalang. Sebagai
akta perjanjian penyerahan hak No. 51 tertanggal 22 Maret 1990 yang
dibuat oleh notaris Liliek Soedarsono Wirono, S.H
- Bahwa Mohamad Sangid Zacheus dan istrinya bernama Linawati
Zacheus kini keduanya telah meninggal dunia
- Bahwa Tergugat I Ronny Rempen menempati gereja tersebut dan
rumah dinas tanpa ijin atau sepengetahuan Majelis Daerah VII Jawa
Tengah Gereja Pantekosta di Indonesia
- Bahwa Tergugat Ronny Rempen adalah bukan pendeta Gereja
Pantekosta di Indonesia Pemalang tetapi saat itu menjabat pendeta
GPdI Petarukan Kabupaten Pemalang, yang seharusnya para tergugat
beserta keluarganya menempati rumah pastori pada GPdI Petarukan
- Bahwa atas sikap dan perbuatan para tergugat yang menempati,
menguasai dan memakai 2 (dua) bangunan rumah pastori gereja
Pantekosta di Indonesia di Jalan Teratai No. 12 Pemalang adalah
perbuatn melwan hukum.
- Bahwa oleh karena Para Tergugat tetap bersikap keras kepala untuk
menempati, menguasai dan memakai tanah-tanah asset gereja berikut
bangunan rumah pastori tersebut diatas maka satu-satunya jalan
penyelesaian harus melalui proses hukum yaitu mengajukan gugatan
Perdata pada Pengadilan Negeri Pemalang yang berwenang
31
B.1.c Putusan Hakim Pengadilan Negeri Pemalang
Dalam Eksepsi menolak eksepsi Para Tergugat tersebut. Dalam pokok
perkara : mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menghukum Para
Tergugat atau siapapun juga yang menerima hak dari padanya untuk segera
menggosongkan dan menyerahkannya kepada Penggugat dalam keadaan bebas
yaitu 2 (dua) bidang tanah berikut bangunan rumah Pastori Gedung Gereja
Pantekosta di Indonesia dalam keadaan sempurna, dan menolak gugatan
Penggugat selebihnya. Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat
Rekonpensi untuk seluruhnya. Dalam Konpensi dan Rekonpensi menghukum para
Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini, yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 138.000,-
B.1.d Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus peradilan perdata
pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Semarang terdiri dari 3 (tiga) orang,
yaitu H. Sudibyo K Hardjono, SH, sebagai Hakim Ketua Majelis, Ny Vitalien M,
SH, dan H. Soekarno Moelyo, S.H., sebagai Hakim Anggota. Majelis Hakim ini
melalui rapat permusyawaratan majelis hakim telah mengambil keputusan untuk
kasus ini yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 30
Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg. Secara ringkas Putusan Pengadilan
Tinggi Semarang tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Mengabulkan gugatan Pengugat sebagaian
2) Menyatakan para Tergugat menempati menguasai dan memakai tanah dan
bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan bangunan Gereja
Pantekosta dengan ukuran 10m x 5m yang terletak dan dikenal dengan Jalan
Teratai No.12, Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang
adalah tanpa alas hak dan bertentangan dengan hukum
3) Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya
Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk
seluruhnya dan dalam Konpensi dan Rekopensi menghukum para Tergugat dalam
Konpensi/ para Penggugat dalam Rekonpensi secara tanggung renteng untuk
32
membayar ongkos perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat
pertama sebesar Rp. 138.000,- dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 350.000,-
Berkaitan uraian diatas maka pada hari Selasa tanggal 19 April 2005,
Bambang Sugijantoro SH Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri Pemalang dengan surat penetapannya tertanggal, 8 April
2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, dalam perkara perdata Nomor:
08/Pdt.G/2003/PN.Pml
B.1.e Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang
No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml
Pada bagian ini diuraikan mengenai proses pelaksanaan Putusan
Pengadilan Negeri Pemalang No 08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Dalam uraian ini akan
dipaparkan tentang pihak yang hadir dalam eksekusi, kendala yang ada dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut.
Sebelum eksekusi dilakukan atas dasar Putusan Pengadilan Negeri
Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang sah dan mepunyai kekuatan
hukum tetap karena itu Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri Pemalang mengeluarkan surat penetapannya tertanggal 8 April
2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dalam putusan perkara perdata
Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Kemudian kepada mereka dalam hal ini para
pihak yang kalah Panitera memberitahukan tentang maksud dan kedatangan
panitera sambil memperlihatkan dan membacakan Surat Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri Pemalang yaitu untuk melaksanakan putusan Pengadilan
Negeri Pemalang Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut diatas secara
paksa dengan melakukan pengosongan dan menyerahkan obyek sengketa yaitu
tanah dan bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan Gereja
Pantekosta yang dikuasai.
Keduanya dalam ini saksi (Suma’un SH dan Bagiyo) dan pegawai
Pengadilan Negeri Pemalang dengan dibantu oleh petugas-petugas Polsek
Pemalang, Koramil Pemalang, Kepala Wilayah Kecamatan Pemalang dan Kepala
Kelurahan Pemalang. Telah datang ke lokasi tanah obyek sengketa di kelurahan
33
Pelutan Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang guna melaksanakan Putusan
Pengadilan Negeri Pemalang tertanggal 2 Oktober 2003 Nomor:
08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.putusan Pengadilan Tinggi Semarang tertanggal 30
Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg yang telah berkekuatan hukum tetap
Karena para pihak yang berperkara tidak mengajukan upaya hukum kasasi dalam
tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.
Selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan pada tanggal 19 April 200526
. Eksekusi itu dihadiri atau disaksikan oleh yang pertama Pdt Hengky Tohea
sebagai Penggugat, yang kedua dua orang saksi yang telah dewasa, cakap dan
dapat dipercaya masing-masing bernama: (1) Suma’un, S.H, (2) Bagiyo keduanya
Pegawai Pengadilan Negeri Pemalang, dan yang ketiga Panitera Pengadilan
Negeri Pemalang Bambang Sugijantoro S.H serta dibantu oleh petugas dari
Polsek Pemalang. Juga dihadiri oleh pihak yang kalah yaitu Ronny Rempen dan
Eny Ester
Saat eksekusi dijalankan timbul perlawanan dari pihak yang kalah (Ronny
Rempen dan Eny Ester) serta dihadang para jemaat yang pada waktu memblokade
jalannya eksekusi.27
Dikarenakan jemaat merasa keberatan dengan apa yang
dilakukan oleh para pihak yang ada atau ikut menyaksikan eksekusi tersebut. Para
jemaat justru mempertahankan keberadaan Ronny sebagai pendeta di gereja GPdI,
sebab mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun.
Pihak Rony menyatakan bahwa eksekusi yang dilaksanakan adalah adalah
tidak sah. Dia beranggapan bahwa gereja tersebut adalah miliknya, dalam hal ini
adalah Eny Ester, karena Eny Ester mendapatkan warisan dari orang tuanya.
Sebagai termohon eksekuasi, Eny Ester telah dipanggil secara patut oleh Jurusita
Pengadilan Negeri Pemalang agar supaya datang di Kantor Pengadilan Negeri
Pemalang dalam jangka waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak tegoran
(Aanmaning) diberikan, agar supaya dengan sukarela ini melaksanakan putusan
Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml, yakni
26
Wawancara dengan Panitera Pengadilan Negeri Pemalang, 10 Desember 2016 27
Wawancara dengan Pendeta Hengky Tohea, 10 Desember 2016
34
mengosongkan bangunan serta menyerahkan bangunan gereja yang menjadi
sengketa kepada pihak gereja yang dinyatakan dalam putusan tersebut sebagai
pihak yang berhak atas tanah bangunan yang bersangkutan.
Atas tegoran (Aanmaning) yang dilayangkan oleh Pengadilan Negeri
Pemalang, dalamkenyatannya pihak Rony tidak melaksanakan dengan sukarela
dan tetap membangkang tidak bersedia melakukan pengosongan dan
menyerahkan tanah dan bangunan yang menjadi obyek sengketa kepada pihak
gereja yang telah ditetapkan sebagai pihak berhak.
Oleh karena kondisi pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa jika
dilakukan pemaksaan untuk pengambil alihan tanah dan bangunan gereja tersebut,
maka para jemaat gereja tidak lagi lagi mempunyai tempat untuk melakukan
ibadah. Oleh karena itu demi kepentingan para jemaat gereja, maka eksekusi tidak
dilaksanakan. Bahkan sampai saat ini dengan pertimbangan untuk kepentingan
jemaat pihak gereja sebagai pihak yang berhak tidak lagi mempersoalkan tentang
penguasaan tanah dan bangunan gereja. Bahkan secara tegas Pendeta Hengky
Tohea menyatakan bahwa “ Perlu digaris bawahi bahwa mengalah bukan berarti
pihak yang menang mengikhlaskan begitu saja pemilikan tanah dan bangunan
gereja untuk Rony, akan tetapi demi kepetingan jemaat yang ibadah ditempat
tersebut. Jika dilihat lagi seharusnya pihak yang menang dapat menempati tempat
tersebut juga untuk melakukan ibadah yang sama”. 28
C. ANALISIS
Pada sub-bab ini dilakukan analisis sesuai dengan permasalahan hukum
yang menjadi fokus pembahasan terhadap Kasus Peradilan Perdata yang diperiksa
dan diadili, baik pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pemalang dan tingkat
banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Analisis dititik beratkan pada tinjauan
kesesuaian antara proses dan mekanisme pelaksanaan eksekusi yang terjadi
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum merupakan rangkaian
proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang abstrak yang menjadi sebuah tujuan
28
Ibid
35
hukum yang konkrit.29
Kemudian, sesuai dengan rumusan masalah yang
dikemukakan dalam Bab sebelumnya, maka analisis dan pembahasan yang
dilakukan terhadap (dua) pokok permasalahan, yaitu uraian kendala-kendala
dalam pelaksanaan putusan eksekusi, serta upaya yang hukum yang dapat
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah.
C.1. Pelaksanaan Putusan Eksekusi Perkara Dengan Nomor :
08/Pdt.G.2003/PN.Pml
Jika dilihat dari sisi yuridis, putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor :
08/Pdt.G/2003/PN.Pml sudah sah dan memenuhi syarat untuk dilaksanakan.
Adapun syarat tersebut adalah :
1. Putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
Putusan PN Pemalang No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml, : “menyatakan bahwa
sebidang tanah yang terletak di Jalan Teratai No.12 Kelurahan Pelutan,
Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, sertifikat Hak Milik No.
1887 atas nama Mohamad Sangid Zacheus adalah sah milik Gereja
Pantekosta di Indonesia di Pemalang” telah memenuhi syarat untuk
dieksekusi, Karena pada faktanya pihak Ronny tidak melakukan upaya
hukum banding. Sebenarnya hukum telah memberikan peluang bagi
Ronny untuk melakukan perlawanan jika ia tidak menerima putusan PN
Pemalang yakni dengan melakukan banding. Akan tetapi kesempatan ini
tidak digunakan oleh Ronny.
Perlawanan mengandung makna menentang sesuatu sampai hasil akhir
yang pasti dalam bentuk menang ataupun kalah. Seolah-olah putusan atau
penetapan yang dikeluarkan pengadilan tidak disetujui akan tetapi tidak
menginginkan suatu penyelesaian yang pasti. Perlawanan (verzet)
merupakan upaya perlawanan langsung datang dari pihak yang kalah
dalam sidang pengadilan karena merasa dirugikan atas keputusan hakim
yang telah dijatuhi oleh hakim.
Tujuan dari perlawanan terhadap eksekusi adalah sebagai berikut :
29
Satjipto Rahardjo, “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis”, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 1
36
a. Untuk menunda.
Penundaan eksekusi disebut bersifat dan merupakan tindakan hukum yang
“sangat eksepsional”, karena tindakan penundaan eksekusi
“menyingkirkan” ketentuan umum hukum eksekusi. Menurut syarat dalam
eksekusi umum yang berlaku:
Pada setiap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;
eksekusi atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya; dan
yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian.
b. Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang
hendak dieksekusi tidak mengikat.
Alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar untuk
menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan. Dengan kata lain selama
dalam Putusan Hakim belum memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan tidak
mengikat.
2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Ronny tidak menjalankan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang
No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml secara sukarela, oleh karena itu maka pihak
gereja meminta penetapan untuk pelaksanaan eksekusi Putusan
PN.No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Atas permohonan penetapan tersebut
maka pada tanggal 8 April 2005 dikeluarkannya Penetapan Eksekusi
Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml oleh Ketua Pengadilan Negeri
Pemalang. Atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Pemalang, maka
Panitera Pengadilan Negeri Pemalang membuat Berita Acara Eksekusi
No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml
3. Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah
Putusan yang bersifat Condemnatoir
37
Putusan Condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu
putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Mengenai bukti bahwa Putusan PN Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml
bersifat condemnatoir adalah berdasar pada isi putusan tersebut yakni
;” menghukum Para Tergugat atau siapapun juga yang mnerima hak dari
padanya untuk segera mengosongkan tanah beserta bangunan tersebut
dalam keadaan baik dan tanpa beban apapun, untuk kemudian diserahkan
kepada Penggugat apabila perlu dengan bantuan alat Negara/POLRI hal
ini serupa dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
118/Pdt/2004/PT.Smg”.
Dari putusan tersebut nampak bahwa ada penghukuman yang dijatuhkan
kepada Ronny untuk mengosongkan tanah dan bangunan yang menjadi
obyek sengketa dan menyerahkan kepada penggungat ( pihak gereja ).
4. Eksekusi dibawah perintah dan dibawah pimpinan Pengadilan Negeri
Bukti bahwa eksekusi itu dibawah Perintah Pimpinan Pengadilan Negeri
Pemalang dengan melihat pada Penetapan No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml
yang isinya :
a. memerintahkan kepada Panitera Negeri Pemalang atau jika ia
berhalangan dapat diganti oleh wakilnya yang sah dengan dibantu oleh
2(dua) orang saksi yang telah dewasa cakap dan dapat dipercaya untuk
melaksanakan bunyi Putusan Pengadilan Negeri Pemalang tanggal 2
Oktober 2003 Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan
Tinggi Semarang tanggal 30 Agustus 2004
Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap secara paksa dan bilamana perlu dengan bantuan alat kekuasaan
negara,
b. memerintahkan pula agar pekerjaan ini segera dilaksanakan.
Perlu ditambahkan bahwa eksekusi tersebut sudah terpenuhi dengan
adanya tata cara pelaksanaan eksekusi sebagai berikut:
38
a. permohonan pihak yang menang
pihak yang menang (Gereja diwakilkan oleh Pdt. Hengky Tohea)
dalam hal ini sudah mengajukan permohonan pengajuan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemalang.
b. Penaksiran biaya eksekusi
Biaya eksekusi seterusnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam
Pengadilan.
c. Melaksanakan peringatan
Pengadilan sudah memberikan peringatan terhadap pihak yang kalah
untuk melaksanakan eksekusi. Dasar Penetapan Pengadilan Negeri
Pemalang No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi pihak Ronny tidak
mau memperdulikan peringatan tersebut.
d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi
Atas dasar Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:
08/Pdt.G/2003/PN.Pml dan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor:
118/Pdt/2004/PT.Smg maka dikeluarkannya surat Penetapan
Pengadilan Negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan Berita Acara
Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/PN.Pml
Secara dari sisi yuridis yang ada putusan Pengadilan Negeri Pemalang
No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal
30 Agustus 2004 Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, putusan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, seharusnya pihak yang kalah (Ronny)
menghormati putusan tersebut dan melaksanakan secara suka rela. Akan
tetapi ternyata tidak sebagaimana mestinya yang diharapkan, oleh karena itu
melalui surat Penentapan Ketua Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:
02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dilaksanakan eksekusi dibawah perintah Ketua
Pengadilan Negeri Pemalang. Walaupun demikian eksekusi tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan karena adanyan kendala baik
internal maupun ekternal. Dimaksud dengan kendala internal adalah ialah
39
kendala yang berasal dari pihak dalam perkara, sedangkan dimaksud dengan
kendala eksternal adalah kendala yang berasal dari luar pihak yang
berperkara.
Dibawah ini diuraikan kendala tersebut sebagai berikut:
1. Kendala Internal
Dalam pelaksanaan pada Penetapan Pengadilan Negeri Pemalang
No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml atas putusan eksekusi perkara perdata No:
08/Pdt.G/2003/PN.Pml, tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya
karena ada perlawanan dari Ronny. Adapun alasan Ronny mengadakan
perlawanan atas pelaksanaan eksekusi adalah bahwa ia masih berpendapat
tanah dan bangunan gereja tersebut adalah warisan dari mertuanya. Oleh
karena itu ia merasa sah menenpati rumah yang menjadi obyek sengketa.
Tindakan Rony menurut penulis adalah tidak benar, mengingat bahwa
putusan tentang obyek sengketa telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dengan ditolaknya upaya hukum banding yang dilakukan oleh Rony dengan
putusan Pegadilan Tinggi Semarang pada tanggal 30 Agustus 2004
Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg. Dengan ditolaknya banding oleh Pengadilan
Tinggi maka secara yuridis bahwa tanah obyek sengketa adalah milik
gereja. Terlebih lagi dengan adanya surat yaitu berupa Penetapan Nomor:
02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml. dan dengan adanya juga Berita Acara Eksekusi
Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml.
Dari sisi yuridis tindakan Ronny dengan tidak meninggalkan rumah
obyek sengketa adalah bertentangan dengan UU No. 51 PRP Tahun 1960
Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau
Kuasanya. Artinya bahwa jika Ronny tetap menempati atau tinggal di rumah
obyek sengketa, maka secara hukum ia menempati rumah tanpa ijin pihak
yang berhak, oleh karena itu dapat juga dikenai dengan sanksi hukum
sebagaimana diancamkan dalam UU No. 51 PRP Tahun 1960 yaitu Tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya
Perlawanan atas pelaksanaan eksekusi ini jelaslah tidak mendasar,
mestinya Ronny bisa menggunakan upaya yang disediakan oleh hukum
40
untuk melakukan perlawanan sebelum putusan inkracht, yaitu melalui upaya
banding, kasasi sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht).
Disamping itu menurut penulis menjadi kendala internal juga yakni
dari gereja sendiri adalah memperbolehkan penggunaan gereja untuk ibadah
bagi jemaat Rony dengan alasan perikemanusiaan. Dimaksudkan disini
adalah bahwa akhirnya gereja tidak mempermaslahkan tidak diserahkannya
rumah obyek sengketa dengan alsan perikemanusiaan, yakni dengan
memeprtimbangkan umat gereja tersebut, karena jika gereja berkeras untuk
melaksanakan putusan tersebut, maka umat tidak akan mempunyai tempat
untuk melaksanakan ibadahnya. Gereja sadar bahwa dengan Pengadilan
Negeri Pemalang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah
memutuskan bahwa gereja pemilik yang sah dari rumah obyek sengketa.
Disini bukan berarti tanah dan bangunan gereja menjadi milik Ronny,
Ronny dapat menguasai tempat tersebut dikarenakan gereja sekali lagi
mempertimbangkan alasan kemanusiaan tersebut.
2. Kendala External.
Dimaksud dengan kendala external adalah kendala dalam pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan yang berasal dari luar, yakni dari pihak diluar
pihak yang berperkara.
Dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No:
08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang ditetapkan eksekusinya berdasarkan
Penetapan Ketua Pengadilan negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan
Berita Acara Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, sempat terjadi
perlawanan dari luar pihak yang berperkara. Perlawanan sempat terjadi
dimana saat proses eksekusi pihak yang kalah melakukan perlawanan
dengan membuat barisan untuk menghadang pelaksanaan eksekusi.
Terjadi penghadangan oleh umat gereja sebagai pendukung tergugat Rony.
Penghadangan oleh umat pendukung Rony dimaksudkan agar supaya tidak
dilakukan eksekusi terhadap obyek sengketa, karena dikhawatirkan jika itu
terjadi, maka mereka tidak dapat melakukan ibadah dan penghadangan itu
merupakan tindakan pembelaan terhadap pendetanya. Oleh sebab itu pihak
41
yang merasa menang kecewa dengan sikap yang dilakukan oleh para pihak
yang kalah sehingga memunculkan suatu argument bahwa gereja tersebut
tidak boleh untuk dieksekusi.
Tindakan umat yang melakukan penghadangan terhadap para pejabat
yang akan melakukan eksekusi adalah tidak benar secara hukum.
Apabila dalam pelaksanaan eksekusi mendapat perlawanan dari pihak-
pihak tertentu, maka seharusnya pihak yang mewakili Pengadilan Negeri
terkait dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana dengan berdasar
pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:30
Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
selengkapnya berbunyi demikian:
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yag sah, atau
orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas
permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya, diancam
karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang selengkapnya berbunyi demikian:
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan
yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat yang tugasnya atau yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana, demikian pula
barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang
yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda
paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Jika ada yang menghalangi atau menunda eksekusi maka sesuai
dengan Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang berlaku Tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya dalam
Pasal dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, maka dapat dipidana dengan
30
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt573bf3aac86cc/langkah-hukum-jika-eksekusi-
dihalang-halangi-pihak-lawan
42
hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)
Demikian juga menurut Kitab Hukum Perdata juga bisa dikenakan
Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : ” Tiap perbuatan melawan hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dimana saat eksekusi tersebut Ronny dan umatnya melakukan perbuatan
melawan hukum berupa perlawanan untuk menghalangi eksekusi putusan
Pengadilan Negeri yang telah mememenuhi syarat untuk dieksekusi. Dari
sisi yuridis dengan menghalangi eksekusi atau menunda eksekusi dapat
mengakibatkan pihak yang menang merasa dirugikan dikarena tidak dapat
menempati kemudian tempat tersebut tidak terawat dengan baik sehingga
menimbulkan kerugian yang diderita.
C.2 Tindakan Hukum Yang Dapat Diambil Gereja Agar Menempati Hak Tanah
Sengketa .
Berkaitan dengan analisis sebagaimana tersebut diatas, nampak bahwa
secara yuridis berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No No:
08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah pihak yang berhak atas tanah sengketa. Selanjutnya
atas putusan tersebut telah dilaksanakan eksekusi berdasarkan Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri Pemalang No 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi tidak dapat
terlaksana karena beberapa kendala yang ada. Dengan demikian maka secara
hukum pihak gereja seharusnya dapat menguasai dan memanfaatkan tanah yang
bersangkutan karena secara yuridis telah terbukti sebagai pemilik. Pihak gereja
sebagai pemegang hak, secara hukum akan medapat perlindungan hukum.
Perlindungan hukum dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada Alinea ke empat Pemukaan UUU 1945 yang menyebutkan bahwa
“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Secara
teoritik, aline ke empat pembukaan UUD 1945 telah menentukan suatu teori
perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia termasuk perlindungan
hukum terhadap pemegang hak atas tanah.
43
Upaya Pemerintah untuk memberikan suatu jaminan akan adanya kepastian
hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang ialah dengan dilakukannya suatu
pendaftaran hak atas tanah sebagaimana rumusan Pasal 19 UUPA, yang
mengamatkan bahwa demi kepastian hukum akan pemilikan hak atas tanah, maka
setiap pemegang hak atas tanah wajib melakukan pendaftaran tanah. Amanat ini
kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya PP No 10 Tahun 1960 tentang
Pendaftaran Tanah yang telah dicabut dengan adanya PP No 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Salah satu peraturan pelaksaana dari UUPA berkaitan dengan perlindungan
terhadap pemegang hak atas tanah adalah dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No. 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin
Yang Berhak Atau Kuasanya dinyatakan bahwa :
- Apa yang diatur dalam Pasal 6 menyatakan bahwa : dengan tidak
mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 3, 4 dan 5, maka dapat
dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah:
- a. barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya
yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah
perkebuaan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan
menurut pasal 5 ayat 1;
- b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di
dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
- c. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan
dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud
dalam pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;
- d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk
melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1
pasal ini;
- 2. Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan
oleh Menteri Agraria dan Penguasa Daerah sebagai yang
dimaksud dalam pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana
dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau
44
denda sebanyak-banyakrrya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)
terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhnya.
- 3. Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.
Jelas dari penjelasan diatas merupakan beberapa contoh dari sanksi
pidana yang diberikan oleh Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang
mencantumkan dengan tegas masalah pidana bagi orang yang membantu
untuk menguasai tanah tersebut tanpa adanya ijin dari pihak-pihak yang
berkaitan.
Jika mengkaitkan dalam sebuah Hak Azazi Manusia yang ada dalam
mengenai perlindungan hukum dapatkan dikatakan bahwa HAM juga
mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan. Secara filosofi,
yuridis dan sosiologis perlindungan hak-hak atas tanah mengacu kepada
konsepsi hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Bab
XA dinyatakan bahwa :
- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan hak milik (Pasal 23).
- Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal
32).
- Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 43)
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan
bahwa :
- Setiap orang berhak atas pengeluaran, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).
- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan hal miliknya (Pasal 29 ayat 1).
45
- Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-
wenang dan secara melawan hukum (Pasal 36 ayat 2)
Jika dilihat pasal demi pasal yang berkaitan dengan Hak Asasi
Manusia yang berhubungan dengan perlindungan yang diberikan pemegang
hak atas tanah dapat dikatakan bahwa pengaturan sudah tegas ada dalam
beberapa pasal yang dicantumkan diatas yakni Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 36
ayat (2) dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bagian
dari perlindungan hukum dalam Hak Asasi Manusia.
Demikian juga lebih lanjut terhadap pihak berhak mendapatkan
perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam HIR ( Het Herzine
Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848, yang
berkaitan dengan eksekusi putusan yakni :31
Pasal 195 HIR
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh
keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan
alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak
lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah
selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang
dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.
Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada
menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan
putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat
dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum
untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan
karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat
dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.
Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan
dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang
kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela, sehingga pihak yang
31
https://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-eksekusi-sukarela-dan.html
46
menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan
eksekusi putusan tersebut
Pasal 196 HIR:
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi
keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan
permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua
pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat
menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang
dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di
dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan
hari.
Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga tidak
dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita barang-
barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah
uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua
biaya untuk menjalankan keputusan itu.
Pasal 197 HIR
Jika sesudah lewat tempo yang telah ditentukan belum juga
dipenuhi putusan itu atau jika pihak yang dikalahkan itu walaupun
telah dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap maka ketua
atau pegawai yang dikuasakan itu karena jabatannya memberi perintah
dengan surat supaya disita sejumlah barang kepunyaan pihak yang
dikalahkan
Pasal 225 HIR
Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak
melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak
yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan
perantaraan ketuanya, entah dengan syarat, entah dengan lisan, supaya