bab ii gereja dan politik dalam perspektif teoritik a ... ii.pdfb. bentuk-bentuk keterlibatan gereja...

30
Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A. Hubungan Gereja dan Negara. J. Philip Wogaman, membedakan paling tidak empat tipe hubungan negara dan agama. Keempat tipe tersebut adalah: 1. Teokrasi: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau lembaga keagamaan tertentu mengendalikan kehidupan bernegera lewat berbagai kebijakan kenegaraan dan undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut. Wogaman memberikan contoh terhadap teokrasi ini antara lain dalam kehidupan bangsa Ibrani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan Puritanisme jaman kolonialisme Amerika, periode awal Mormonisme di Utah, dalam batas-batas tertentu terjadi sekarang di Iran, Katolik abad pertengahan, juga jaman modern sebelum Vatican II dan Zionis Israel. 1 Paham teokrasi ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan istilah Negara - Gereja. Yang dimaksud dengan Negara - Gereja adalah satu bentuk kehidupan bersama dalam sebuah Negara (state nation), dimana undang-undang yang berlaku dalam Negara itu disusun berdasarkan keyakinan religius dari agama tertentu. Dalam Negara Gereja satu agama menentukan segala hal yang berlaku dalam Negara. Para pemimpin 1 Wogaman, J. Philip, Christian Perspectives On politics, Louisville: Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 250

Upload: others

Post on 23-Dec-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

Bab II

GEREJA DAN POLITIK

DALAM PERSPEKTIF TEORITIK

A. Hubungan Gereja dan Negara.

J. Philip Wogaman, membedakan paling tidak empat tipe hubungan negara dan agama.

Keempat tipe tersebut adalah:

1. Teokrasi: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau

lembaga keagamaan tertentu mengendalikan kehidupan bernegera lewat berbagai

kebijakan kenegaraan dan undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut.

Wogaman memberikan contoh terhadap teokrasi ini antara lain dalam kehidupan

bangsa Ibrani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan Puritanisme jaman kolonialisme

Amerika, periode awal Mormonisme di Utah, dalam batas-batas tertentu terjadi

sekarang di Iran, Katolik abad pertengahan, juga jaman modern sebelum Vatican II dan

Zionis Israel.1

Paham teokrasi ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan istilah Negara -

Gereja. Yang dimaksud dengan Negara - Gereja adalah satu bentuk kehidupan bersama

dalam sebuah Negara (state nation), dimana undang-undang yang berlaku dalam

Negara itu disusun berdasarkan keyakinan religius dari agama tertentu. Dalam Negara

Gereja satu agama menentukan segala hal yang berlaku dalam Negara. Para pemimpin

1 Wogaman, J. Philip, Christian Perspectives On politics, Louisville: Westminster John Knox Press, 2000,

hlm. 250

Page 2: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

agama diangkat menjadi kepala Negara. Israel, Iran, dan juga Vatikan masuk dalam

kategori ini.2

1. Erastianisme: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya para pemimpin

politik telah mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan negara. Tipe ini merupakan

kebalikan dari tipe pertama. Disebut Erastinsime mengikuti pandangan Thomas

Erastus, teolog protestan Swiss Jerman abad XVI. Bentuk kehidupan Negara seperti

ini menurut Wogaman terdapat terutama di Jepang dengan Shintoismenya. Hal serupa

juga dapat dilihat ketika Stalin pada awal PD I merangkul Gereja Orthodox Russia.

Yang paling nyata bentuk ini dapat dilihat dalam kehidupan Gereja Anglikan di

Inggris.3

Bentuk erastianisme memiliki kemiripan dengan bentuk Gereja-Negara. Yang

dimaksud dengan Gereja-Negara adalah kehidupan bersama dalam suatu Negara

(state nation) dimana pemerintah memberi jaminan keamanan atau perlindungan

istimewa bagi gereja atau agama tertentu. Negara menjalankan pengawasan yang

ketat dan memiliki wibawa yang besar dalam kehidupan sosial termasuk kehidupan

beragama, Negara mengatur semua hal termasuk agama mana yang harus dianut oleh

wargannya. Dalam Gereja-Negara bisa juga ditemukan agama lain, tetapi eksistensi

agam itu dan hak-hak pemeluk agama ini sangat tidak menentu. Masih beruntung jika

agama mereka tidak dipedulikan. Yang paling celaka ialah jika agama itu dan

2 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Umat Allah di Tapal Batas: Percakapan Tentang Gereja Jilid II: Masa Kini Gereja,

dicetak oleh Alfa Design Kemiri II – Salatiga, 2011, hlm. 295. 3 Ibid, hlm. 250-251

Page 3: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

pemeluknya dianiya dan ditindas oleh penguasa. Ini yang terjadi dengan keadaan

agama Kristen pada periode awal berdirinya.4

3. Pemisahan Gereja-Negara Yang Rusuh: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di

dalamnya terjadi pemisahan yang sangat keras antara gereja dan negara. Dalam kasus-

kasus tertentu, kehidupan keagamaan bahkan tidak diakui, atau tidak diperbolehkan.

Wogaman memberi contoh kasus antiklerikalisme abad XIX di Perancis. Di negara-negara

Marxists, bahkan lebih ekstrim lagi, seperti yang terjadi di Albania sebelum berahirnya

Perang Dingin antara Barat dan Uni Soviet. Dalam konstitusinya, Albania tidak mengakui

keberadaan agama, dan mempropagandakan ateisme.5

4. Pemisahan Gereja-Negara Yang Ramah: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di

dalamnya ada pemisahan yang tegas secara legal antara kehidupan beragama dan

kehidupan bernegara. Amerika Serikat oleh Wogaman disebut sebagai contoh yang sangat

jelas akan tipe ini. Tipe ini telah dijamin dalam konstitusi Amerika Serikat juga dengan

maksud untuk menjaga integritas dan independensi lembaga-lembaga keagamaan itu

sendiri.6

Hak independensi ini ada pada setiap individu dan masyarakat sebagai bagian dari

hak-hak asasinya. Hak ini bukan pemberian Negara, walaupun Negara seharusnya

menjamin hak-hak individu dan masyarakat untuk bersikap untuk bersikap sesuai dengan

hati nurani dan keyakinannya, selama itu tidak menimbulkan anarki. Dalam arti Negara

harus menjamin kebebasan beragama. Tetapi dijamin atau tidak oleh Negara, gereja wjib

4 Nuban Timo, hlm. 294

5 Ibid, hlm. 251

6 Wogaman, ibid, hlm. 251

Page 4: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

untuk mewujudkan kebebasannya itu, dan jika perlu bersedia menderita demi suara hati

nurani dan keyakinannya7

Menurut Wogaman, pada tipe ini gereja dimungkinkan untuk melaksanakan fungsinya

dengan baik karena tidak adanya tekanan dari Negara. Oleh karena itu gereja harus ikut

berupaya menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam suatu masyarakat. Gereja juga

harus berupaya mencegah segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan Negara, dengan ikut

berupaya menciptakan Negara hukum, serta menolak segala bentuk kekuasaan Negara yang

otoriter dan totaliter. Kekuasaan Negara harus tunduk kepada hukum, dan hukum harus

menjamin dan mengatur pemisahan yang jelas antara kewenangan otonomi yang ada pada

individu, masyarakat dan Negara.8

Sementara itu, Donald Jay Losher secara umum membagi pandangan mengenai

hubungan antara Gereja dan Negara dibagi menjadi tiga kategori yaitu pemisahan ketat,

asimilasi dan interaksi. Pemisahan ketat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Negara, karena

kaum kristen memilih sendiri untuk tidak berperan di bidang politik atau sosial. Asimilasi

juga tidak mampu karena kaum beragama telah dikuasai oleh pemerintah dan ideologinya,

sehingga hanya mampu menerima segala kebijakan secara pasif. Baik asimilasi maupun

pemisahan ketat tidak mampu memegang peranan aktif dalam perubahan sosial dan politik.

Sikap interaksilah yang mampu bertahan lama dalam periode kontemporer, karena

transformasi dan pembebasan memegang peranan jauh lebih aktif dan positif, meskipun juga

7 Ibid, hlm. 252

8 Ibid.

Page 5: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

dengan resiko yang lebih besar namun memegang peranan paling aktif, kritikal dan positif

terhadap Negara dan masyarakat. 9

Sementara itu, Zakaria J. Ngelow membagi hubungan Gereja dan Negara ke dalam 4

(empat) model. Ia mengatakan bahwa sejarah gereja memperlihatkan dinamika kehadiran

gereja di dalam dunia, yang nyata dalam berhadapan dengan Negara sebagai tatanan politik

masyarakat. Relasi gereja dan Negara beragam antara lain diidentifikasi dalam bentuk:

1. Supremasi Negara terhadap Gereja

Menurut Ngelow, relasi supremasi Negara terhadap gereja mengakibatkan distorsi

terhadap Injil, ketika suatu masyarakat Kristen dipaksakan oleh Negara dan Injil

direduksi menjadi tatanan sosial, maupun ketika suatu tatanan politik diligitimasi atas

nama Injil. Supremasi Negara terhadap gereja sebagaimana berlangsung pada

kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) berakobat pada satu pihak gereja

memperoleh hak-hak khusus dan perlindungan Negara, tetapi sekaligus kehilangan

kekuatannya dalam menyuarakan kebenaran injil terhadap penguasa. Negara tidak

sampai mencampuri urusan ajaran gereja, tetapi berhak dalam urusan

kelembagaannya. Pola hubungan ini tetap berkembang dalam gereja Ortodoks dan

dalam gereja-gereja Luteran, serta gereja-gereja Kalvinis pada abad-abad lalu,

termasuk pada zaman kolonial di Indonesia.10

9 Sairin, Weinata, Hubungan Gereja dan Negara, dan Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Hlm. 105

10 Demikianlah Zakaria J. Ngelow ketika menguraikan Kemitraan Profetis Gereja dan Negara, dalam Agama dan

Negara perspektif Islam, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Protestan. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2002, hlm.110.

Page 6: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

2. Supremasi Gereja terhadap Negara

Pola hubungan gereja di atas Negara, dikembangkan oleh Gereja Roma Katolik pada

abad-abad pertengahan dengan bertolak dari pemahaman tentang dua tingkat relaitas,

yakni yang adikodrati dan yang kodrati, dimana yang kodrati tunduk kepada dan

disempurnakan oleh yang kodrati. Negara berfungsi pada yang kodrati, sedangkan

gereja pada yang kodrati. Keunggulan gereja diperkuat dengan ajaran dua pedang,

yakni kekuasaan gereja atas yang rohani dan atas yang duniawi. Maka kepala gereja

(Sri Paus) adalah raja di atas para raja: Negara-negara tunduk pada gereja Roma

Katolik. Pada prakteknya hal yang sama berlaku dalam kalangan Protestan pada

zaman Reformasi demi menyukseskan pembaruan gereja (misalnya teokrasi Calvin di

Jenewa). Pola hubungan ini nampaknya menguntungkan gereja secara duniawi, tetapi

selain melangkahi hak-hak asasi kebebasan beragama dalam masyarakat, terutama

pula menyamakan suatu pemerintahan Kristen dengan Kerajaan Allah.11

3. Pemisahan Total

Pola pemisahan total muncul pada masa kemudian, ketika pandangan-pandangan

sekuler mengenai Negara makin berkembang dan kekuasaan gereja makin memudar,

hubungan Gereja dan Negara ditiadakan. Negara mempunyai dasar, tujuan dan pola-

pola hubungannya sendiri, sedangkan gereja lain lagi. Pemisahan total ini, baik dalam

pandangan sekuler liberal, maupun dalam pandangan aliran-aliran Kristen radikal

mengabaikan pandangan sosial Kristen, dimana makna Injil atau tanda-tanda

Kerajaan Allah seharusnya dinyatakan di dalam kehidupan masyarakat, melalui

kehidupan pribadi dan terutama pula melalui kelembagaan gereja.12

11

Ibid, 111. 12

Ibid

Page 7: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

4. Kemitraan Yang Profetis

Hubungan kemitraan gereja dan Negara yang sehat diperkembangkan oleh para

reformator berdasarkan pengalaman-pengalaman jemaat mula-mula. Dalam hubungan

kemitraan ini diakui adanya fungsi bersama Negara dan gereja terhadap manusia dan

masyarakat, dan ada usaha untuk dapat bekerjasama secara dinamis dalam berbagai

bentuk bertolak dari bidang masing-masing. Fungsi ini terkait dengan kenyataan

bahwa hakekat manusia dan masyarakatnya cenderung binasa oleh kuasa doasa yang

terwujud dalam ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, permusuhan, dsb. Tetapi

kemitraan dengan gereja bersifat kritis-profetis karena pada satu pihak Negara adalah

hamba Allah (Rm 13), tetapi pada pihak lain dapat menjadi Si Binatang (Why 13).13

B. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik

1. Mempengaruhi etos

Pada level yang paling umum, gereja melakukan advokasi politik dengan

mempengaruhi semangat jaman untuk memenuhi tindakan politik. Kebijakan dan

program pubik ditujukan ke arah realisasi nilai-nilai kultural, dan segala sesuatu yang

mendukung atau menentang nilai kultural yang sudah ada yang setidaknya memiliki

relevansi politis. Lincon dianggap sebagai orang yang menyatakan bahwa gereja

harus menentukan batasan dimana politik harus berfungsi. Ini mungkin terlalu

melebih-lebihkan pengaruh gereja. Tetapi tentunya gereja merupakan salah satu

pengaruh yang ikut menentukan batasan itu. Ketika gereja-gereja Amerika akhirnya

menyerukan kesetaraan umat manusia di hadapan tuhan. Mereka menciptakan

ketegangan di antara umat Kristen melalui partisipasi mereka pada masyarakat yang

13

Ibid, 112

Page 8: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

rasial. Akhirnya sejumlah besar umat Kristen – mungkin mayoritas – percaya bahwa

segmentasi rasial bertentangan dengan nilai-nilai dan kepercayaan mereka yang

mendalam. Jika mereka berkulit hitam, mereka didorong untuk berjuang lebih keras

di arena politik untuk menuntut persamaan hak. Jika mereka berwarna kulit putih,

mereka cenderung mengalah terhadap tuntutan itu – dan pada banyak kasus mereka

turut serta dalam perjuangan kaum kulit hitam. Bahkan tanpa tindakan gereja yang

spesifik, maka pernyataan nilai-nilai tertentu memiliki efek politis yang sangat besar .

yang terakhir, konflik serupa timbul di Afrika Selatan dimana Gereja Reformasi

Belanda, kaum religius tradisional, memiliki efek politis yang sangat besar. Para

pemerhati sejarah mungkin bingung apa yang menyebabkan pernyataan teologis pada

era sebelumnya membuat orang begitu bersemangat.

Masalahnya adalah konteks pernyataan mungkin telah merepresentasikan nilai-

nilai dan kepercayaan yang berkontradiksi dengan hukum, institusi, dan kepentingan

politik yang ada. Deklarasi Barmen tahun 1934 yang berisi pengakuan gereja pada

awal kebangkitan Nazi di Jerman, tidak dianggap sebagai dokumen yang radikal.

Dokumen ini tidak menyatakan apa pun tentang Hitler, juga tidak memberi komentar

tentang hokum atau rancangan undang-undang tertentu. Dokumen ini tidak

mendukung kandidat manapun atau partai oposisi. Tapi dokumen ini menyatakan

bahwa yesus kristus merupakan satu-satunya firman Allah, yang harus didengar,

dipercayai, dan dipatuhi- dan bahwa dalam konteksnya, menentang pemujaan dan

pretense totalitarian era Nazi. Pada masa itu, dukungan terhadap nilai dan

Page 9: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

kewewangan di luar Negara Jerman memiliki implikasi perjuangan melawan ideologi

Hitler, tapi tentunya membantu memberi landasan bagi iklim politik.14

Dengan demikian perasaan gereja yang terdorongun untuk melakukan tindakan

yang lebih spesifik dalam politik, tanggungjawab mereka untuk mengarahkan etos,

nilai-nilai kultural dan semangat jaman sangatlah jelas.

2. Mendidik Warga Gereja Tentang Isu-Isu Tertentu

Salah satu masalah dalam membatasi kesaksian politik pada level pertama adalah

seringkali arti kercayaan dan nilai-nilai yang sesungguhnya tidakjelas penerapannya

dalam keadaan kongkrit. Terkadang orang dimungkinkan memiliki nilai-nilai yang

bertentangan jika nilai-nilai tersebut sangat tidak jelas. Dalam memahami dalil bahwa

semua orang itu sama, akan sangat membantu jika gereja menyatakan semua orang

sama tanpa memperlihatkan ras, gender atau kondisi ekonominya. Dan mungkin akan

semakin membantu menunjukkan lebih lanjut hal yang kongkrit, apa implikasi

kepercayaan dan nilai-nilai semacam itu hidup yang terorganisir. 15

Pada level ini, gereja memiliki tanggung jawab untuk menghubungkan

kepercayaan yang umum terhadap masalah politik tertentu. Kebanyakan gereja

modern pernah memiliki sejumlah teknik edukasional yang dapat membantu mereka

melakukan tugas tersebut, yang terkadang didukung oleh analisis teknis yang impresif

atas isu-isu itu sendiri. Pada awal tahun 1980-an, uskup katolik di Amerika

mengembangkan sejumlah dokumen melalui studi yang impresif atas isu-ssu seperti

perang nuklir dan kehidupan ekonomi. Meskipun dokumen ini dirancang untuk

14

Wogaman, J. Fhilip, Ibid, hlm. 264-267 15

Ibid, 266

Page 10: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

mempengaruhi public secara luas, publiknya yang langsung adalah gereja itu sendiri.

Dokumen serupa tentang isu politik telah dikembangkan oleh gereja lain, meski

jarang skali memiki tingkat kedalam yang sama. Anggapan dibalik program semacam

itu adalah bahwa anggota gereja, jika memperoleh informasi yang memadai, akan

bertidak secara tepat sebagai warga Negara dan pemimpin politik. Kampanye itu

sebenarnya sangat efektif. Kampanye pendidikan Protestan yang menyebar luas di

Amerika sepanjang tahun-tahun terakhir Perang Dunia II membantu menyiapkan

iklim penerimaan politik atas perserikatan Bangsa-bangsa. Program studi atas

hubungan antar ras membantu bangkitnya wanita dan kaum muda metodis sebagai

sumber perubahan hubungan antar ras di Amerika. Dengan kekuasaan di tangan

masyarakat umum dalam demokrasi politik, upaya pemberian informasi melalui

aspek faktual dan teologis atas masalah-masalah public bisa jadi sangat penting dalam

jangka panjang.16

Apakah ada keberatan teologis atas hal ini? Mungkin memang terdapat keberatan

bahwa gereja bisa jadi keliru dalam menganalisis isu tertentu. Tetapi mereka tidak

mungkin keliru dalam segala hal, termasuk pernyataan mendasar tentang iman,

pemahaman atas Injil, gambaran tentang sejarah gereja, atas implikasi hokum atas

liturgi. Gereja merupakn institusi manusia yang bisa keliru, didiami dan dipimpin

oleh orang berdosa yang memiliki pengetahuan yang terbatas. Ini merupakn bahtera

Tuhan yang membumi. Jika gereja harus membatasi dirinya dalam mengambil

16

Ibid

Page 11: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

tindakan dan hanya menyatakan hal-hal yang dapat dipastikannya, apa yang bisa

dilakukan dan dikatakannya?.17

Namun, keberatan merupakan peraingatan yang baik, bahwa dalam analisis dan

pendidikan masalah politik gereja harus menginformasikan dirinya sendiri

sekompeten mungkin. Memang semakin controversial sebuah isu, gereja harus

semakin siap.

3. Lobi Gereja

Pada level ini, gereja dapat melakukan sesuatu yang langsung untuk

mempengaruhi keputusan publik. Lobi sendiri berfungsi pada beberapa level. Istilah

ini menimbulkan kesan disewanya seorang pelobi yang berpengaruh di ruang kongres

atas parlemen, yang berusaha mempengaruhi suara mereka pada masalah-masalah

penting. Beberapa advokasi gereja memang mengarah, termasuk kesaksian dihadapan

komite legislative dan upaya tersamar untuk mempengaruhi kebijakan oleh agen

eksekutif dan keputusan yudisial oleh pengadilan. Meski tidak secara langsung, tapi

teknik yang lebih efektif adalah advokasi legislatif untuk memberi tanda kepada

konstituen agar menjalin komunikasi dengan legislator atas proposal tertentu. Itu

dapat menciptakan kesan, terkadang ilusi, bahwa posisi yang disarankan didukung

oleh publik secara luas.18

Dalam proses penggabungan secara langsung dengan pergulatan kekuasaan atas

isu-isu, selalu terdapat resiko bahwa mereka yang memimpin usaha tersebut mungkin

lebih berorientasi pada kekuasaan atau bahkan terkorupsi olehnya. Juga ada

17

Ibid 18

Ibid

Page 12: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

kemungkinan bahwa orang mungkinterjebak dengan kebijakan atau legislasi tertentu

sehingga gambaran yang lebih besar menjadi hilang atau bahwa keuntungan jangka

pendek dikorbankan demi kepentingan jangka panjang. Proses legislatif melibatkan

kompromi, terlihat mendukung aspek buruk sebuah proposal seperti halnya aspek

yang baik. Politisi diharapakan melakukan hal itu dan dihormati jika mereka

melakukannya dengan baik, tetapi gereja diharapkan menjaga pesan mereka sejelas

dan sejujur mungkin.

Selain itu, beberapa macam lobi (termasuk surat massal) mendorong munculnya

ancaman politis. Misalnya:pesan kepada legislator adalah, jika kalian tidak

mendukung kami pada piagam ini, kami akan menentang kalian pada pemilu

berikutnya. Di Amerika, gerakan pelarangan pada awal abad ke-20 seringkali

berakhir pada seruan terbuka kepada penguasa, seperti gerakan hak hidup pada akhir

abad ke-20. Kedua gerakan ini berhasil mengenyahkan legislator yang tidak

kooperatif dari kantornaya. Tapi secara teologis ini dapat menjadi masalah.19

Keberatan yang ada mengandung arti bahwa lobi gereja harus dilakukan dengan

kompetisi teknis dan kedewasaan. Orang yang belum sepenuhnya memiliki iman dan

integritasnya diragukan tidak mungkin dipercaya gereja untuk memegang

tanggungjawab itu. Lobi memang memerlukan kompromi dan melibatkan kekuasaan,

yang seringakali berkembang hingga melampaui isu itu sendiri. Mereka yang

melakukannya harus mampu melihat gambaran yang lebih luas dan menyampaikan

secara akurat dimana kompromi berada.

Masalahnya adalah masyarakat yang demokratis yang sangat memerlukan

partisipasi terinformasi oleh kelompok yang memiliki pandangan yang lebih luas,

19

Ibid, hlm. 267

Page 13: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

yang tidak berkepentingan terhadap kebijakan umum dibandingkan kepentingan

terorganisir yang kuat yang menghasilkan koridor bagi parlemen atau kongres. Gereja

mungkin, atau sering keliru dalam masalah kebijakan publik. Tapi jika pandangan

mereka secara serius didasarkan pada perspektif teologis dan terinformasi oleh

penilain teknis yang berkompeten, mereka memiliki kontrisbusi yang sangat

dibutuhkan. Sebagai badan, gereja memiliki bobot lebih dibandingkan umat Kristen

secara individual. Sebagai gereja mereka memiliki objektivitas yang lebih besar

dibandingkan kebanyakan lobi terorganisir. 20

4. Mendukung Kandidat Tertentu

Gereja pada umumnya jarang melakukan hal ini dalam demokrasi Barat. Tidak aada

alasan khusus, baik secara teologis maupun yuridis, mengapa mereka tidak

melakukannya keadaan memang menjamin. Di Amerika, gereja etnis local kadang

memberi dukungan secara langsung kepada kandidat yang catatannya paling baik

dalam hak-hak sipil. Secara historis, gereja etnis merupakan salah satu bentuk

institusi sosial yang dikontrol secara langsung oleh anggota etnis minoritas, dan tidak

mengejutkan bahwa mereka harus memainkan peran seperti itu.

Sebuah argument dapat dibuat bahwa gereja lain seharusnya juga mendukung

kandidat dengan catatan yang positif dalam hal hak-hak sipil dan masalah keadilan

soaila lainnya. Di sisi lain, kelompok-kelompok seperti kolalisi Kristen dan focus

pada keluarga sangat erat dalam mendukung atau menentang kandidat tertentu dan

mendorong gereja agar ikut memberi dukungan atau menentangnya.

Masalahnya adalah bahwa kompleksitas baru turut memasuki persamaan politik

saat ambisi yang bertentangan dan karir kandidat ikut dipertimbangkan. Dan atas

20

Ibid, 267-268

Page 14: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

kesulitan memisakan kompleksitas isu politik yang demikian, adalah jauh lebih buruk

menilai karakter asli calon pemimpin public. Tanpa menguasai level keterlibatan

politik tersebut secara menyeluruh, tekanan yang ada akan semakin membebani.21

5. Menjadi Partai Politik

Keberadaan partai demokratik Kristen di sejumlah Negara eropa dan amerika latin

membuktikan bahwa level keterlibatan politik ini memiliki sejarah tersendiri-meski

partai ini dibentuk akibat dorongan umat Kristen dan bukan oleh gereja. Sekali lagi,

jika keadaan tampaknya terjamin, tidak terdapat alasan mengapa hal ini tidak dapat

dilakukan. Tetapi, akan tetap dilematis bagi gereja untuk menjadi sebuah kekuatan

politik, yang berusaha mendapatkan kekuasaan bagi dirinya sendiri, menempatkan

orang-orangnya dikantor-kantor, dan mengumpulkan penghargaan, bahkan meski

tujuan pandangan ini mungkin perlu dipuji. Partai politik tidak bisa tidak, harus

mengambil posisi berdasarkan perolehan suara. Gereja saat mengambil posisi, harus

bebas memberikan advokasi yang mungkin bukan untuk membujuk mayoritas

pemberi suara selama bertahun-tahun ke depan. Gereja juga harus menjauhkan diri

dari pergualatan ambisi pribadi yang bertentangan (meski harus diakui banyak

diantaranya sudah muncul dalam gereja itu sendiri) dan tetap dalam posisi untuk

melayani dan memengaruhi orang-orang dari semua partai.

Sekali lagi, orang mungkin membayangkan keadaan luar biasa dimana gereja

harus secara tegas mengutuk parta tertentu atau bahkan menjadi partai. Tetapi

keadaan haruslah benar-benar luar biasa.22

21

Ibid, 268-269 22

Ibid, 269

Page 15: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

6. Pembangkangan Sipil

Pembangkangan sipil yang dilakukan oleh umat Kristen, terutama berkaitan

dengan orientasi umat Kristen yang cinta damai. Meski pembangkangan sipil

terkadang secara tak langsung menyatakan bahwa pemerintahan suatu Negara tidak

sah, ini dapat merepresentasikan kesaksian Kristen bahwa hukum atau kebijakan

tertentu sudah teralalu jauh melanggar batas sehingga satu-satunya jalan bagi umat

Kristen adalah tidak mematuhinya, tindakan ini umumnya dilakukan secara terbuka,

tanpa kekerasan, dan tanpa usaha menghindari konsekwensi hokum. Dibawah disiplin

semavam itu, pembangkangan sipil dapat dipandang sebagai konfirmasi legitimasi

otoritas Negara – digabung dengan upaya terkuat yang mungkindilakukan untuk

mendorong otoritas mengubah kebijakan yang dipertanyakan. Tindakan ini secara

umum dilakukan oleh umat Kristen secara individu maupun dalam kelompok

nonecclesial, meski secara prinsip tidak ada alasan bahwa gereja tidak boleh

melakukan pembangkangan publik.23

Terkadang pembangkangan sipil dilakukan untuk menyatakan hukum atau

peraturan tertentu yang inkonstitusional, dan pada beberapa kasus mungkin tidak

terbukti pembangkangan sipil sama sekali. Tetapi ada yang dikatakan seseorang

tentang status teologis tingkah laku illegal yang dilakukan sebagai saksi Kristen

adalah untuk memastikan adanya pelanggaran perjanjian sipil. Dan karena perjanjian

sipil memiliki status teologis yang penting, yang dianggap menentang

pembangkangan sipil , jadi pembangkangan sipil tidak boleh dilakukan sembarangan,

seperti halnya perjanjian sipil yang memiliki sedikit klaim moral atas keyakinan

Kristen. Fakta bahwa kebijakan atau hukum tertentu mendorong persepsi orang akan

23

Ibid, hlm. 270

Page 16: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

keburukan mungkin tidak cukup untuk menjamin pelanggaran hukum, karena hampir

setiap hukum, adat, atau kebijakan mengandung suatu kejahatan pada dunia yang

sesat ini. Tujuan pembangkangan sipil ketika dilakukan oleh umat Kristen, bukan

untuk menjadi suci. Dengan cara itu, tidak satu orang pun yang bisa menjadi suci di

dunia ini. Tujuannya lebih untuk menyampaikan, dengan cara yang paling mendesak,

bahwa suatu kebijakan atau hokum secara tak lazim bertentangan dengan kesadaran

Kristen, atau meredam efek hukum atau kebijakan ketika konsekwensi pada manusia

dianggap sudah tidak dapat ditolerir. Tindakan ini juga harus didukung oleh keadaan

yang luar biasa.

Normalnya, disiplin itu mengkonfirmasi rasa hormat terhadap legitimasi otoritas

sipil. Tetapi beberapa situasi dimana pembangkangan sipil itu dijamin mungkin

memerlukan kerahasiaan agar efektif. Misalnya upaya gereja-gereja Amerika

memberi perlindungan bagi warga Negara asing illegal yang melarikan diri akibat

kondisi yang opesif di Amerika Tengah pada tahun 1980-an.24

7. Partisipasi dalam Revolusi

Revolusi merupakan tingkat keterlibatan politik yang paling serius karena

mengandung rekonstitusi total atas perjanjian politik itu sendiri. Bagi umat Kristen,

ini juga sangat serius karena umumnya membawa konsekwensi kekerasan. Jelas

bahwa, revolusi – bahkan revolusi dengan kekerasan – dapat dilakukan oleh umat

Kristen hanya pada kondisi yang benar-benar ekstrim.

Tetapi pada kejadian mana pun, gereja hurus sangat berhati-hati dalam

mengambil langkah. Mereka mungkin memperjuangkan hak-hak manusia dan

pentingnya berpartisipasi dalam demokrasi, dan bahwa advokasi dapat berjalan

24

Ibid, 270-271

Page 17: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

beriringan dengan perjuangan revolusi jika orde yang lama tidak mau berubah. Tapi

penyebab revolusi cencerung menyebabkan absolutism pada diri mereka sendiri, dan

gereja harus selalu mengingatkan bahwa tidak ada sesuatu yang absolute kecuali

Tuhan. Bahkan revolusi yang paling menjanjikan sekalipun akan menghasilkan

kekecewaan dan kritik. Bahkan kekuatan represif memiliki kemungkinan untuk

menebusnya. Gereja mungkinperlu mengidentifikasi secara keseluruhan penyebab

revolusi, meski tetap dalam posisi membantu penguasa demi kemuliaan yang lebih

besar.

Gereja merupakan bagian dari masyarakat sipil, seperti halnya kelompok yang

lain. Apa pun yang dilakukan Negara pada saat itu akan melibatkan gereja serta

warga individual, suka atau tidak. Pembahasan berbagai level keterlibatan gereja

tidak akan membawa keadilan pada kompleksitas. Tapi ini menunjukkan pentingnya

memberi bobot kompleksitas secara berhati-hati.25

Semantara itu, Zakaria J. Ngelow membagi 3 (tiga) model bentuk-bentuk keterlibatan gereja

dalam bidang politik. Model-model tersebut adalah:

1. Model Yusuf – Daniel

Yang dimaksudkan dengan Model Yusuf-Daniel adalah peran politik warga Gereja di

Indonesia, yang berusaha untuk masuk dalam “lingkaran kekuasaan”. Hal ini nampak dari

pendirian partai Kristen dan ketelibatan dalam partai non Kristen, yang telah mengantar

beberapa tokoh-tokoh Gereja menduduki jabatan yang strategis dalam pemerintahan mulai

dari zaman pergerakan nasional sampai pada era reformasi.

25

Ibid, 271-272

Page 18: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

Tokoh Yusuf diceriterakan dalam kejadian 37:1-50:26, Ia dijual oleh saudara-

saudaranya ke Mesir dan di sana ia memperlihatkan prestasi yang cukup gemilang, ia dapat

mengalahkan godaan dari istri Potifar, berhasil menafsirkan mimpi para tahanan dan mimpi

Firaun dan juga memberi nasihat praktis yang segera diterima oleh Firaun. Prestasi inilah

yang mengantarkan Yusuf sebagai penguasa atas istana, sehingga ia bertanggung jawab atas

keuangan Mesir dan walaupun Yusuf telah menjadi petinggi di Mesir, dia tidak pernah

mendendam terhadap saudara-saudaranya bahkan tergerak hatinya untuk membantu mereka.26

Demikian pun yang dialami oleh Daniel, Ia adalah salah seorang pengawas dari seratus dua

puluh provinsi kerajaan. Walaupun dia berada dalam lingkaran kekuasaan, ia tetap

mempunyai integritas hal ini terbukti ketika ada surat keputusan dari raja bahwa barang siapa

selama tiga puluh hari menyampaikan permohonan kepada salah satu dewa atau manusia,

kecuali kepada raja, akan dilemparkan ke dalam gua singa. Tetapi Daniel tetap menjalankan

kebiasaannya yakni berdoa kepada Allah, yang membuat dia dihukum, tetapi Ia tetap

diselamatkan oleh Allah yag disembahnya (Daniel 6:2-29).27

Sejak zaman pergerakan Nasional partisipasi kalangan Kristen Indonesia memberi

perhatian diarahkan pada perjuangan untuk membela pemisahan negara dan agama. Pada

periode demokrasi liberal ketika Konstituante berusaha menyusun Konstitusi baru muncul

pertarungan antara ideologi Pancasila atau ideologi Islam. Jelas pihak Kristen membela

Pancasila. Di bawah kepemimpinan Mulia, Leimena, dan Tambunan, masa itu sampai tahun

60-an dianggap masa jaya partisipasi politik Kristen melalui Parkindo, yang merupakan satu-

satunya partai Kristen. Pada Pemilu tahun 1955 Parkindo mendapat 16 kursi di Konstituante

dengan 1.003.326 suara (2,66%). Pada awalnya tidak banyak dukungan kepada Parkindo.

26

Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 74 27

Ibid, hlm. 620

Page 19: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

Pada rapat pembentukan partai Kristen (mula-mula namanya Partai Kristen Nasional, PKN),

tgl 6 November 1945, berkembang pemahaman menentang adanya partai politik Kristen. Ds.

Probowinoto (Ketua terpilih menggantikan W.Z. Johannes pada Kongres bulan Desember

1945) mengungkapkan 3 pandangan yang menolak: para politikus Kristen lebih baik

menyebar dalam partai-partai sekuler yang programnya dapat diterima orang Kristen; umat

Kristen terlalu lemah dari segi sumber daya; dan politik pekerjaan kotor yang tidak sesuai

dengan Kekristenan. Pada thn 1952 Leimena menunjuk pada 3 kelompok orang-orang yang

mempertanyakan partisipasi Kristen dalam Indonesia merdeka: kelompok yang tidak

mendukung kemerdekaan Indonesia; kelompok yang dibingungkan oleh keadaan masyarakat

yang tidak menentu; dan kelompok yang mengasingkan diri dari urusan negara.28

Parkindo menjadi wakil umat Kristen dalam dinamika percaturan politik nasional

dari masa Revolusi, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin sampai awal Orde Baru. Cukup

mencolok bahwa Parkindo merupakan satu-satunya partai politik Kristen. Memang ada juga

sejumlah intelektual atau politisi Kristen di luar kelembagaan gereja yang memilih aktivitas

politiknya di luar Parkindo dalam partai-partai sekuler. PARKI (partai Kristen Indonesia)

pimpinan Melanchton Siregar di Sumatera Utara menggabungkan diri ke Parkindo pada tahun

1947. Peran utama Parkindo dapat diletakkan dalam konteks sosial-politik dan kegerejaan

masa itu. Pertama-tama struktur kepemimpinan gereja dan politik umat Kristen hampir

berimpit dari pusat sampai ke jemaat-jemaat, khususnya dalam lingkungan DGI. Para

pendeta, pimpinan gereja dan majelis jemaat sekaligus pengurus Parkindo. Sementara itu

Kekristenan Indonesia belum secara tajam terbelah antara kaum ekumenis dan kaum Injili,

dan masih cukup kuatnya patronase “gereja induk”. Selain itu, juga karena rendahnya tingkat

28

Zakaria J. Ngelow, Partisipasi Umat Kristen Indoneisa di Bidang Politik, Jurnal STT Intim Makassar,Edisi No. 5 – Semester Ganjil 2003, hlm. 48.

Page 20: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

kecelikan politik umat Kristen sehingga gampang diekploitasi secara emosional-primordial

dari sudut agama. Dan sekalipun kepemimpinan gereja mengalami berbagai masalah, belum

terjadi konflik serius yang mengarah ke perpecahan. Singkatnya, Parkindo mendapat

dukungan langsung gerejagereja dalam menghadirkan kesaksian Kristen dalam percaturan

politik di Indonesia. Apakah Parkindo berhasil? Ketokohan para pimpinannya dalam pentas

politik nasional, seperti a.l. J. Leimena, M. Tambunan, Ds. W.J. Rumambi dan A.M. Pasila

mungkin dapat dibanggakan. Bagaimanapun, secara teologis harus diakui bahwa dengan

segala kekurangannya Parkindo dan seluruh jajarannya di pusat dan di daerah telah dipakai

Tuhan untuk membawa kesaksian Injil Kristus di tengah-tengah perjalanan sejarah bangsa

kita. 29

Dalam pengakuan itu pertanyaan kritis tetap perlu diajukan. Apakah kesaksian

Kristen oleh Parkindo dalam percaturan politik di Indonesia memang telah dijalankan dengan

setia menyatakan suara kenabian terhadap berbagai ketimpangan dalam pemerintahan dan

masyarakat? Apakah praktek-praktek kotor dunia politik tidak menulari para politikus

Kristen? Apakah transformasi ke arah kehidupan nasional yang lebih adil dan demokratis

bagi semua terus diperjuangkan? Ataukah substansinya lebih pada perjuangan untuk

kepentingan terbatas umat Kristen dalam bayang-bayang kecemasan terhadap diskriminasi

kelompok-kelompok yang lebih kuat, khususnya Islam?30

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu diletakkan dalam konteks dinamika sosial-politik

nasional yang penuh tantangan. Dalam 25 tahun pertama kemerdekaan negara kita

diperhadapkan pada berbagai tantangan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan

sampai terbentuknya pemerintahan Orde Baru. Separatisme RMS, pemberontakan DI/TII,

29

Zakaria J. Ngelow, ibid. 30

Ibid, Hlm. 49

Page 21: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

Pemilu 1955, PRRI/PERMESTA, kemacetan Konstituante, Pembebasan Irian Barat, Dwikora,

G30S/PKI dan peralihan kekuasaan ke pemerintah Orde Baru adalah rangkaian tantangan

berat susulmenyusul yang turut membentuk karakter partisipasi politik umat Kristen

Indonesia. Sementara secara internal gereja-gereja yang rata-rata baru mulai berdiri sendiri

bergumul dengan masalah-masalah pengembangan jemaat, kader, sumber dana dan

organisasi, sambil berusaha mewujudkan cita-cita keesaan gereja-gereja di Indonesia. Itulah

ketegangan antara kemandirian dan keesaan gereja-gereja di Indonesia.31

Ketegangan itu dijalani sambil mencari gagasan-gagasan partisipasi yang relevan.

Selain gagasan-gagasan teologi politik Kuyperian yang dikemukakan di atas, wacana politik

Kristen di Indonesia sejak tahun 1950-an mendapat masukan dari gerakan ekumene sedunia,

yang antara lain memperlihatkan pengaruh Reinhold Niebuhr (1892-1971). Wacana

responsible society DGD yang disinggung di atas diletakkan dalam perspektif Christian

realism Niebuhr. Pada satu fihak Niebuhr menolak optimism Social Gospel mengenai

kebaikan manusia dan kemampuannya melaksanakan perintah Allah dalam semua bidang

kehidupan, dan pada fihak lain mengandalkan kehadiran Allah yang memberi kemungkinkan

luas bagi manusia (inderterminate possibilities) mewujudkan hal-hal besar bagi-Nya.

Kombinasi wacana masyarakat tanggung jawab dan realisme Kristen dibumbui suatu

idealisme creative minority, mengikuti pandangan Arnold Toynbee (1889-1975). Sejarawan

Inggeris ternama itu menyatakan bahwa kemajuan dan kemunduran peradaban terjadi ketika

tampil kaum minoritas kreatif yang mampu membaca tanda-tanda zaman, memahami

tantangan dan peluang zamannya serta secara strategis memobilisasi masyarakatnya

melakukan pembaharuan atau perubahan, dan karena itu mereka menjadi elit masyarakatnya.

Namun kemudian peradaban merosot ketika kelompok ini berubah menjadi dominant

31

Ibid.

Page 22: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

minority yang sibuk mempertahankan kekuasaanya. Wacana creative minority kemudian tidak

dipopulerkan dalam lingkaran intelektual dan politisi Kristen Indonesia untuk menghindari

dikotomi minoritas – mayoritas dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang bisa mengarah

pada ekses negatif pemahaman persatuan nasional. Alasan lain adalah meredam sindrom

minoritas. Tetapi adanya kecendrungan yang dapat secara figuratif disebut “model peran

Yusuf-Daniel” dalam kalangan intelektual dan pemimpin Kristen menunjukkan pengaruh

gagasan itu, khususnya dalam power-centric orientation para intelektual dan pemimpin

Kristen Indonesia. Di sini sebenarnya terjadi penyimpangan mendasar dari gagasan creative

minority, yakni menjadi dominant minority, bukan menjalankan kepeloporan dalam membaca

dan menjawab tanda-tanda zaman, melainkan masuk dalam lingkaran kekuasaan yang

hakekatnya anti pembaharuan. Dengan kata lain, substansi partisipasi politik Kristen

dikerdilkan menjadi perjuangan bagi kepentingan kelompok atau golongan, yang dalam

konteks Indonesia merupakan perwujudan dari sindrom minoritas. 32

Dalam orientasi itu, kehadiran wakil-wakil Kristen di Parlemen dan Kabinet adalah

prestasi yang sering dibanggakan. Perlu diperhatikan bahwa karena latar pendidikannya pada

zaman kolonial, banyak orang Kristen menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi

pemerintahan sampai awal tahun 1970-an. Juga kemudian pada tahun 1971 ketika Orde Baru

menyederhakan kekuatan politik dengan mem-fusi parkindo ke dalam PDI orang-orang

Kristen masih hadir di Parlemen dan Kabinet. Bahkan dalam Orde Baru peran birokrat Kristen

(Katolik dan Protestan) cukup penting, dengan adanya sejumlah tokoh kabinet dan pimpinan

militer dan partai politik. Dengan kata lain, “hilangnya” Parkindo dari pentas politik tidak

meniadakan kehadiran tokoh-tokoh Kristen di bidang pemerintahan, militer dan politik. Para

politikus Kristen (a.l. eks Parkindo) tetap berkiprah dalam percaturan politik Orde Baru.

32

ibid

Page 23: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

Evaluasi negatif terhadap pemerintahan Suharto menimbulkan pertanyaan kritis, apakah

partisipasi para tokoh-tokoh Kristen pada masa Orde Baru benar dapat dibanggakan? Hal ini

akan menjadi evaluasi bagi peran politik Gereja dalam era reformasi.33

Menurut Martin Lukito

Sinaga, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik selain hanya menghasilkan suara

minoritas juga terbukti mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki

akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan ekspresi partai dari situasi sedemikian

akan hanya menyuburkan isolasinya.34

Peran politik model Yusuf –Daniel, juga nampak dalam terlibatnya pendeta dalam

lingkaran politik praktis. Menurut Zakaria J. Ngelow, Baik pada masa PARKINDO maupun

di era Reformasi pendeta-pendeta terlibat langsung dalam dunia politik praktis. Apakah

pendeta cocok menjalankan peran partisipasi politik Kristen? Ya dan tidak. Ya, karena

pendeta adalah pemimpin umat yang (seharusnya) mempunyai wawasan yang luas terhadap

berbagai aspek dan perkembangan dalam masyarakat, termasuk politik, dan selalu

merelasikannya dengan panggilan gereja. Tidak, karena pendeta yang terlibat dalam politik

praktis memilih salah satu partai/golongan politik, dan dengan itu tidak bisa lagi membina

warga jemaatnya dalam aktivitas politik yang berbeda-beda. Masalah pendeta dalam dunia

politik praktis bukan terutama masalah doktrin jabatan menyangkut salah atau benar;

melainkan masalah etika, boleh atau tidak boleh. Pendeta yang berpolitik akan cenderung

mengarahkan warga jemaat pada kepentingan partainya, dan dengan demikian tidak netral.

Bahkan dapat memakai mimbar gereja untuk kampanye politik, bukan pemberitaan Injil.

Yang juga penting adalah motivasi pendeta terjun dalam politik praktis. Ada pendeta yang

33

ibid 34

Martin Lukito Sinaga, Jalan Baru Politik di Indonesia, http:// www. suara pembaruan. Com / News / 2004 / 04 / 03/ index.html, Diunduh, 15 Juni, 2012.

Page 24: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

memang bekerja dalam dunia politik dengan integritas, visi dan komitmen. Tetapi banyak

pula yang sesungguhnya ikut Yunus “melarikan diri” ke Tarsis.35

2. Model Musa-Elia

Yang dimaksud dengan Model Musa-Elia adalah peran politik Gereja yang

kembangkan ke arah tepian sosial: solidaritas dengan kaum marjinal. Model ini berbeda

dengan Model Yusuf-Daniel yang berorientasi ke lingkaran elit kekuasaan.

Dalam Keluaran 2:1-22 , diceriterakan tentang Musa yang dibesarkan dalam

lingkungan istana di Mesir, namun karena rasa solidaritasnya terhadap bangsanya ia

melarikan diri dari istana menuju ke Midian dan dari situlah Musa mendapat pengutusan dari

Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari pebudakan di Mesir menuju tanah perjanjian

(Kel. 3:7-15). Solidaritas itupun yang diperlihatkan oleh Elia di tengah pemerintahan raja

Ahab di Israel yang tidak memihak kepada rakyat kecil dan ketika kekeringan melanda negeri

itu. Solidaritas itu digambarkan melalui cerita mengenai seorang janda di Sarfat, di mana

Elia melakukan mujizat yakni minyak dan tepung menjadi banyak dan dbangkikannya anak

tunggal dari janda itu (I Raja-raja 17:1-24).36

Pada KGM-DGI pertama tahun 1962 di Sukabumi disampaikan prinsip-prinsip

teologis partisipasi gereja. Dalam suatu kertas kerja berjudul “Geredja dan Masjarakat di

Indonesia” yang disusun oleh Komisi Geredja dan Masjarakat DGI, sebagaimana yang dikutip

oleh Zakaria J. Ngelow, antara lain dikemukakan:

“Eksistensi Gereja terjalin dengan Injil Kerajaan Allah, yakni menjadi suatu

fungsi dalam masa pemberitaan dan penantian kegenapan pemerintahan Allah

yang telah mulai diwujudkan dalam kemenangan Yesus Kristus. Oleh karena

Injil Kerajaan Allah bermakna comprehensive maka gereja harus menyatakannya

di dalam semua lapangan kehidupan, baik pertobatan pribadi secara rohani

maupun pembinaan masyarakat secara sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya.

35

Zakaria J. Ngelow, Pendeta Berpolitik?, www.oaseonline.org, diunduh, 15 Juni 2012. 36

Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed), hlm. 323

Page 25: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

Dalam fungsi ini gereja dapat tergoda untuk mengutamakan dirinya (

ecclesiocentrism) atau memisahkan tuntutan-tuntutan konkret kehidupan

masyarakat dari Injil sehingga terjerumus dalam sekularisme.”37

Partisipasi transformatif itu merujuk pada Gereja Purba sebagai model dan

ukurannya: Jemaat Kristen purba merupakan model dan ukuran bagi peran Gereja di tengah-

tengah masyarakat, yaitu bukan dengan suatu ideologi atau sistem sosial politik tertentu,

melainkan dengan hidup dari dan di bawah kekuasaan Kristus mewujudkan kasih dan

keadilan. Cara hidup gereja Kristen yang lama dalam masyarakat selama abad-abad yang

pertama bukan konservatif, maupun evolusioner, atau revolusioner, melainkan membetulkan

(mentransformasikan) dan karena itu mengubah. Gereja, yakni jemaat-jemaat, hanya dapat

melancarkan pengaruh-pengaruh yang dinamis, yang membaharui dan mengubah itu dalam

masyarakat jika gereja sadar akan masalah-masalah yang dihadapi dan jika gereja hidup dari

penggenapan dan pengharapan akan Kerajaan Allah yang dalam Yesus Kristus telah dan akan

datang itu. Menurut Julianus Mojau dalam konteks Indonesia yang majemuk, peran politis

yang cukup prospektif adalah Gereja menjadi Komunitas iman basis yang memberdayakan

warga Jemaat dan masyarakat sehingga memiliki kesadaran politik kritis terhadap segala

bentuk kekuasaan hegemonis yang selalu ingin megkorup harkat dan martabat mereka. 38

Hal

ini senada dengan konsep mengenai partisipasi Kristen masa Orde Baru yang digagas dalam

KGM tahun 1972 dengan “falsafah” sikap positif-kreatif-kritis-realistis.

Menurut Zakaria J. Ngelow; kata kunci partisipasi menyiratkan tindakan-tindakan

nyata di tengah-tengah, bersama dan bagi rakyat banyak. Karena itu pendekatan partisipasi

37

Zakaria J. Ngelow, hlm. 50. 38

Julianus Mojau, Teologi Politik Pemberdayaan, Yogyakarta Kanisius, 2009, Hlm. 8

Page 26: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

sosial gereja diungkapkan dalam istilah-istilah pendampingan ( advocacy), pemberdayaan (

empowerment) dan solidaritas (solidarity).39

3. Model Yesus

Yang dimaksud dengan Model Yesus adalah peran politik Gereja yang bukan hanya

berorientasi pada proses pemberdayaan warga masyarakat saja (model Musa-Elia), tetapi juga

berkaitan erat dengan peran profetis atau dengan kata lain disamping memberi pendidikan

politik dan pendampingan pastoral terhadap warganya, Gereja juga tetap mengkritik

pemerintah jika cenderung tidak memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Ada beberapa aspek dari kehidupan yang menonjol dalam pengajaran dan kehidupan

Yesus Kristus yakni hubungan dan perhatian-Nya terhadap rakyat jelata atau miskin dan

termarginalkan. Jika kita menelusuri latar belakang kehidupan Yesus maka Dia sebenarnya

berasal dari kalangan rakyat kecil dan melakukan pemberitaan dan pelayanannya terutama di

wilayah pedalaman Galilea di antara rakyat kecil. Laporan Injil-injil mengenai pekerjaan dan

pengajaran Yesus memperlihatkan perhatian terhadap dan keakrabanya dengan dunia orang

kebanyakan. Ia berbelas kasihan terhadap orang banyak (Mat. 9:36). Orang-orang yang

dilayani Yesus secara langsung adalah rakyat miskin dan mereka yang dikucilkan dari

masyarakat. Penyembuhan-penyembuhan-Nya adalah atas rakyat kecil yang sakit seperti

orang buta dan orang timpang. Ia memberi makan kepada orang banyak, yaitu rakyat yang

datang berkumpul mendengar pengajarannya tanpa bekal yang cukup. Pengajaran Yesus

Kristus sendiri memihak kaum jelata.40

Sabda bahagia dalam khotbah di bukit (Luk. 6:20-21)

tertuju kepada mereka: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang

empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan

39

Ibid, Hlm. 51. 40

Zakaria J. Ngelow, Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia, Jurnal Teologi Persetia, 1999, Hlm. 32-33

Page 27: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

dipuaskan. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis karena kamu akan tertawa

(Luk. 6:20-21; Mat. 5:1-2)

Pengajaran Yesus Kristus bertolak dari pemahaman akan misinya selaku Mesias

pembawa kabar sukacita bagi kaum miskin dan menderita. Dalam khotbah-Nya di Nazaret,

Yesus merujuk kepada nubuatan nabi Yesaya (Yes. 61:1-2):

“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab ia mengurapi aku, untuk menyampaikan

kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku dan

memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi

orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk

memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19).

Nats ini merupakan konsepsi mengenai Mesias yang dinubuatkan oleh para nabi.

Mesias dikaruniakan dan diperlengkapi Tuhan dengan kemampuan untuk mengatasi krisis

yang melanda masyarakat, tugas mesias adalah menegakkan keadilan bagi rakyat yang

tertindas, dan memulihkan damai sejahtera di tengah-tengah masyarakat, serta membawa umat

pada pertobatan, mesias bekerja tidak terutama dengan mengandalkan kekuatan kekuasaan,

melainkan dengan kerelaan untuk menderita.41

Aspek lain dari pengajaran dan kehidupan Yesus adalah sikap Kritis terhadap

kekuasaan. Yesus mengambil jarak kepada kekuasaan, dan mengeritik dengan tajam praktek

kekuasaan duniawi sambil memperkenalkan pelayanan di dalam kekuasaan (band. Mrk 10:42-

45), bahkan tidak segan-segan berhadapan dengan penguasa yang korup, hal ini nampak

ketika Yesus mengusir orang dari bait Allah di Yerusalem (Markus 11:15-17). Dalam Injil

dikisahkan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Paskah Yahudi. Yang diusir adalah mereka

yang secara ekonomis berbisnis dengan memeras rakyat jelata, mereka adalah para penukar

uang, para penjual binatang korban, dan orang-orang berduit yang nota bene dikuasai oleh

para pemuka agama Yahudi yang mendominasi perayaan Paskah Yahudi. Tindakan Yesus

41

Ibid, Hlm. 33

Page 28: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

mengusir orang-orang yang berbisnis pasti menimbulkan huru-hara secara sosial bahkan

merupakan salah satu tuduhan dari lawan politik Yesus yakni orang Farisi dan pemuka agama

untuk menjerat Yesus sehingga dihukum mati, tetapi dilain pihak tindakan ini merupakan

sikap profetis ketika yang berlaku adalah ketidakbenaran dan ketidakadilan.

Tindakan Yesus yang sering mengundang kontroversi adalah ajaran Yesus yang

kerap kali menjadi “pedang” bagi mereka yang mendengarkannya, karena memuat tajam bagi

orang yang mempertahankan Status-quo keagamaan, dan pemerintahan yang korup dan tidak

adil. Dalam sikap kritis-tajam, Yesus selalu berpihak pada rakyat miskin. Menurut George V.

Pixley sebagaimana yang dikutip oleh Aloys Budi Purnomo mengatakan bahwa masa ketika

Yesus tampil adalah masa pergolakan dan perubahan besar dalam bidang ekonomi, sosial, dan

keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran keagamaan, masa yang rawan

kerusuhan.42

Dalam situasi seperti itulah, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan

kelompok elite-religius dan politik yang kontradiktif dengan relitas kemiskinan rakyat. Yesus

bersuara vokal terhadap sistem pajak yang menguntungkan segelintir orang, namun menindas

kebanyakan rakyat. Secara sosial, masyarakat Palestina adalah mayoritas tertindas, yang

menikmati kemakmuran adalah penjajah dan sejumlah kecil penguasa setempat yang pro

penjajah, kelompok imam dengan institusi korban yang terkait dengan kenisah, sejumlah kecil

tuan tanah dan para pemungut pajak.43

Dalam situasi seperti itu pula, Yesus mengembangkan

sikap radikal, berpihak pada kaum mskin dan marginal. Menurut David J. Bosch yang dikutip

oleh Aloys Budi Purnomo, mengatakan bahwa: Kata “miskin” merupakan istilah

komprehensif bagi semua kategori orang yang disingirkan dalam masyarakat, mereka yang

marginal dalam masyarakta Yahudi. Termasuk di dalamnya adalah orang sakit, buta, lapar,

42

Aloys Budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, 87 43

ibid

Page 29: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

menangis, pendosa, pemungut cukai, yang dianiaya, tawanan, yang berbeban berat, yang tidak

tahu hukum, yang kecil, dan para pelacur.44

Justru karena itulah, maka gerakan Yesus merupakan gerakan rakyat yang

berhadapan dengan para penguasa agama dan politik sezamanNya. Gerakan Yesus adalah

gerakan membela mereka yang menderita. Salib Yesus adalah puncak pembelaan setiap insan

yang dibelenggu oleh penderitaan. Menurut Gunche Lugo, Politik Yesus tidak beorientasi

merebut kekuasaan atau pemerintahan, tetapi politik moral (etik).politk Yesus adalah politik

memperjuangkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan

peradaban dalam masyarakat.45

Dengan belajar dari sikap Yesus tersebut maka, hendaknya hal itu menjadi model

peran politik Gereja di Indonesia di era reformasi sekarang ini. Dalam era Orde Baru ada

beberapa tokoh Gereja yang sudah berusaha menerapkan model ini di antaranya Pdt. Yozef

Widyatmaja dan beberapa orang dari YKBS (Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial) Solo

yang tanpa banyak ekspose bekerja menolong pembelaan warga Kedungombo pada akhir

tahun 80-an, kemudian menyusul Romo Mangunwijaya. Prof. Sahetapy yang tidak takut

bersuara vocal terhadap pelecehan hukum dan HAM pada tahun 1994 di Sumatera. Di

Lampung seorang pendeta desa yang tidak terkenal bernama Sugiarto memberi nasehat

kepada warga yang tanahnya harus diserahkan kepada konglomerat tanpa ganti rugi yang

memadai, agar menulis ke Kotak Pos 4000 di akhir tahun 80-an. Akibatnya ia ditahan oleh

yang berwajib sampai tiga hari dan endapat tekanan mental yang lumayan berat.46

Dengan

memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa model Yesus dalam peran politik

Gereja di Indonesia selama ini masih terbatas tindakan individu-individu, mereka memang

44

ibid 45

Gunche Lugo, Hlm. 57. 46

Emanuel Gerrit Singgih, Hlm. 34.

Page 30: Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A ... II.pdfB. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik . 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan

adalah tokoh-tokoh Gereja tetapi mereka tidak dapat diklaim mewakili Gereja secara lembaga.

Tetapi selama ini Gereja hanya bersuara ketika eksistensinya diganggu, bukan karena

menyangkut hajat hidup orang banyak dari latar belakang yang berbeda.