bab ii geomorfologi

21
8 BAB II GEOMORFOLOGI 2.1. Geomorfologi Regional Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Sumatera Utara secara umum menjadi lima zona, yaitu : 1. Zona struktur blok pegunungan yang umumnya terdiri dari batuan Pra- Tersier dan Tersier Bawah pada bagian tengah, barat, dan selatan Sumatera Utara. 2. Zona depresi dan graben yang sebagian besar di tempati oleh batuan Pra – Tersier dan Tersier Bawah pada bagian tengah Sumatera Utara. 3. Zona embayent Meulaboh danSingkil pada sisi barat Sumatera Utara, umumnya terdiri dari batuan Pra – Tersier. 4. Zona Kaki Bukit dan Dataran Rendah, yaitu zona yang menempati bagian utara dan timur daerah Sumatera Utara, umumnya didominasi oleh batuan yang berumur Tersier dan Kwarter.

Upload: geo-kapur

Post on 07-Aug-2015

257 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Geomorfologi

8

BAB II

GEOMORFOLOGI

2.1. Geomorfologi Regional

Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Sumatera Utara secara umum

menjadi lima zona, yaitu :

1. Zona struktur blok pegunungan yang umumnya terdiri dari batuan Pra-

Tersier dan Tersier Bawah pada bagian tengah, barat, dan selatan

Sumatera Utara.

2. Zona depresi dan graben yang sebagian besar di tempati oleh batuan Pra –

Tersier dan Tersier Bawah pada bagian tengah Sumatera Utara.

3. Zona embayent Meulaboh danSingkil pada sisi barat Sumatera Utara,

umumnya terdiri dari batuan Pra – Tersier.

4. Zona Kaki Bukit dan Dataran Rendah, yaitu zona yang menempati bagian

utara dan timur daerah Sumatera Utara, umumnya didominasi oleh batuan

yang berumur Tersier dan Kwarter.

5. Zona kompleks Vulkanik Muda, terdiri dari batuan – batuan produk

gunung api berumur Plio – Plistosen.

Sesuai dengan klasifikasi Fisiografi Sumatera Utara di atas maka daerah

penelitian berada pada Zona Kaki Bukit dan Dataran Rendah, yaiti zona yang

menempati bagian utara dan timur Sumatera Utara, umumnya didominasi oleh

batuan yang berumur Tersier dan Kwarter.

Page 2: BAB II Geomorfologi

9

Menurut N. R. Cameron, dkk (1982), pada peta geologi lembar Medan

membagi fisiografi regional daerah penelitian menjadi 7 (tujuh), yaitu :

1. Dataran rendah bagian timur (The Eastern lowland)

2. Kaki perbukitan Pantai timur (The East Coast Foothill)

3. Dataran Tinggi Berastagi (The Berastagi Highland)

4. Plato Kabanjahe (The Kabanjahe Plateu)

5. Jajaran barisan Bagian Timur (The Eastern Barisan Range)

6. Depresi Alas – Renun (The Alas – Renun Depression)

7. Jajaran barisan bagian tengah (The Central Barisan Range)

1. Dataran Rendah Bagian Timur (The Eastern Lowland)

Dataran rendah bagian timur terletak dibagian timur laut peta yang

merupakan produk dari gunung api muda yaitu tufa toba dengan ketinggian

berkisar 100 meter. Pola aliran yang berkembang terutama pola aliran dendritik

dan trellis yang dikontrol oleh struktur kekar dan rekahan sebagai akibat

rendahnya daerah maka cendrung berlumpur seperti dibagian utara Binjai,

Pangkalan Berandan dan terus ke Tenggara yaitu Sungai Belawan.

2. Kaki Perbukitan Pantai Timur (The East Coast Foothill)

Daerah ini terletak di bagian timur dari dataran rendah yang berkembang

kearah Barat laut sungai Wampu dengan ketinggian dibawah 150 meter,

ditumbuhi hutan dengan perbukitan yang dikontrol oleh struktur dan cendrung

dengan arah Timur laut – Tenggara. Pola aliran yang berkembang dendritik

sebagai sungai utama yang melintasi lembah- lembah dan melintasi beberapa

perkampungan.

Page 3: BAB II Geomorfologi

10

3. Dataran Tinggi Berastagi (The Berastagi Higland)

Dataran tinggi Berastagi menempati bagian sebelah timur dari dataran

rendah kearah selatan, sebagaian besar terdiri dari puncak- puncak dengan

ketinggian berkisar 1500 meter dengan ketinggian mencapai Sinabung (2451

meter) dan Gunung Sibayak (2212 meter).

Pola aliran yang berkembang adalah pola aliran radial yang menyebar dari

puncak – puncak ketinggian. Sungai pada daerah aliran ini memotong lembah –

lembah yang dalam. Pada bagian timur Sungai Wampu terbentuk “karst

Tofografi” pada batu gamping yang berumur Perm.

4. Plateu Kabanjahe (The Kabanjahe Plateu)

Merupakan daerah hutan dengan relief pegunungan dengan litologi satuan

tufa Toba dan morfologi bergelombang lemah menuju arah sebelah timur dengan

ketinggian 600 meter serta kerah barat daya dengan ketinggian 1300 meter.

Terdapat beberapa pegunungan yang mengelilingi plateu ini yang berangsur –

angsur menipis keaarah barat laut dan menjadi dua bagian yang sempit dengan

litologi tufa yang menyebar ke pegunungan Barisan. Pola pengaliran umumnya

terbentuk konsekuen dengan ciri khas adanya lembah – lembah yang sempit dan

tidak teratur.

5. Jajaran Barisan Bagian Timur(The Eastern Barisan Range)

Menempati Bagian Timur yang ditumbuhi hutan lebat dengan tofografi

tidak rata. Litologi bersifat resisten yang berumur Pra Tersier seperti metawacke

dari Formasi Bohorok, ini berkembang dari kaki Bukit sebelah Timur dan terbatas

Page 4: BAB II Geomorfologi

11

25 km menuju Barat dari Depresi Alas Renun. Pola aliran bersifat dendritik yang

dikontrol oleh patahan dan rekahan pada batuan, puncak yang tertinggi adalah

gunung Bendahara (302 meter) terletak disebelah Barat Laut.

6. Depresi Alas Renun (The Alas Renun Depression)

Terbentuk sepanjang jalur sesar yang memotong peta pada arah Barat laut

– Tenggara dengan panjang lebih kurang 70 km, lebar dari Kutacane Braben.

Bagian Alas Renun Depresi yang terletak antara 80 – 200 meter.

7. Jajaran Barisan Bagian Tengah (The Central Barisan Range)

Menempati hampir seluruh lembar peta yaitu sebelah Barat dari Depresi

Alas Renun. Memiliki ketinggian mencapai 3050 meter dengan arah Barat Laut.

Sebagai batuan dasar adalah batuan yang berumur Pra Tersier terbentuk plateu

dan bagian atas dari Lau mamas dan Selatan dari lau Bekiung, sedangkan

ketinggiannya berkisar 100 meter. Pola pengalirannya umumnya paralel dengan

arah Barat daya yang terletak pada bagian timur laut jalur Barisan. Pola

pengaliran tersebut dikontrol oleh struktur sesar yang dapat dilihat pada Lau

Seruai dengan jenis sungai anteseden.

Page 5: BAB II Geomorfologi

12

Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Regional daerah Penelitian

Page 6: BAB II Geomorfologi

13

2.2. Geomorfologi Daerah Penelitian

2.2.1. Satuan Morfologi

Secara umum geomorfologi daerah penelitian mengacu pada peta tofografi

dan hasil pengamatan lapangan. Berdasarkan fisiografinya pada lembar Medan

daerah penelitian termasuk kedalam zona Jajaran Barisan Bagian Timur.

Pengklasifikasian morfologi daerah penelitian berdasarkan klasifikasi lereng

menurut Van Zuidam, 1983, yang berdasarkan analisa kontur dan kemiringan

lereng daerah penelitian yaitu:

Kelas lereng Relif dan sifat-sifat proses

0-2° (0-2%) Datar hingga hampir datar

Tidak ada proses denudasi yang berarti

2-4° (2-7%) Bergelombang atau miring landai

Gerakan tanah kecepatan rendah

4-8° (7-15%) Bergelombang atau miring

8-16° (15-30%) Berbukit atau agak curam

Banyak terjadi gerakan tanah dan erosi

16-35° (30-70%) Berbukit-bukit atau curam

Sering terjadi gerakan tanah

35-55° (70-140%) Pegunungan sangat curam

Proses denudasi sangat intensif

>55° (>140%) Pegunungan curam ekstrim

Proses denudasi sangat kuat

Page 7: BAB II Geomorfologi

14

2.2.1.1. Satuan Morfologi Datar

Satuan morfologi datar terletak di bagian utara daerah penelitian dan

menempati ± 10 % dari total daerah penelitian. Merupakan daerah dataran rendah

dengan kemiringan lereng berkisar antara 0° hingga 2°. Litologi yang menempati

satuan morfologi ini adalah endapan aluvial dan tufa, tingkat erosi pada daerah ini

rendah dengan vegetasi didominasi oleh perkebunan sawit dan tanaman palawija.

Pemanfaatan lahan pada satuan morfologi ini diantaranya adalah sebagai

pemukiman penduduk dan areal perkebunan.

Foto 2.1. Satuan Morfologi Datar Di Desa Cangkulen

2.2.1.2. Satuan Morfologi Bergelombang Rendah / Landai

Untuk morfologi landai memiliki luasan ± 30 % dari luas daerah

penelitian. Morfologi ini dicirikan oleh kerapatan kontur yang rendah dan

kenampakan dilapangan yang menunjukkan bentang alam bergelombang rendah

dengan kemiringan lereng berkisar antara 2 - 4°. Batuan yang menyusun

morfologi ini umumnya tufa yang hampir menyebar luas pada daerah lau-kawar,

Page 8: BAB II Geomorfologi

15

kuala-murak, kuta-gajah, lokasi perkebunan PTPN II dan sebagian didaerah

cangkulan, sebagian tufa sudah mengalami pelapukan, pada daerah ini tingkat

erosi juga masih rendah sehingga daerah ini dimanfaatkan oleh masyarakat

sebagai lahan pertanian dan perkebunan serta sebagaian sebagai daerah

pemukiman masyarakat.

Foto 2.2. Satuan Morfologi Begelombang Rendah Di PTPN II

2.2.1.3. Satuan Morfologi Miring

Morfologi ini memiliki luasan ± 15 % dari daerah penelitian dengan

kemiringan lereng berkisar 4 - 8° yang disusun oleh batuan tufa serta sebagian

sabak, pada daerah ini tingkat erosi sudah mulai tinggi, ini di tandai dengan

adanya tanah longsor. Satuan ini dicirikan kontur yang agak rapat. Pada satuan

morfologi di manfaatkan sebagai lahan perkebunan masyarakat. Satuan ini berada

pada daerah Lau Murak dan sebagaian di sekitar L Kawar.

Page 9: BAB II Geomorfologi

16

Foto 2.2. Satuan Morfologi Miring Di Desa Simolap

2.2.1.4. Satuan Morfologi Curam Menengah

Untuk morfologi agak curam memiliki luasan ± 5 % dari luas daerah

penelitian, morfologi ini dicirikan oleh kerapatan kontur yang tinggi dan

kenampakan dilapangan yang menunjukkan bentang alam perbukitan yang

bergelombang sedang dengan lembah-lembah yang relatif agak curam dengan

kemiringan lereng berkisar antara 8 - 16°. Batuan yang menyusun morfologi ini

umumnya batu sabak yang terdapat didaerah hulu sungai lau-kawar dan di hutan

lindung daerah Kaperas. Pada satuan ini tingkat erosi sudah tinggi di tandai

dengan seringnya tanah longsor, daerah ini sebagian dimanfaatkan sebagai lahan

perkebunan karet oleh masyarakat serta sebagian merupakan wilayah hutan

lindung.

Page 10: BAB II Geomorfologi

17

Foto 2.4. Satuan Morfologi Curam Menengah Di L. Murak

2.2.1.5. Satuan Morfologi Curam

Morfologi ini memiliki luasan ± 40 % dari daerah penelitian yang disusun

oleh batu gamping dan sebagian sabak. Erosi yang terjadi pada satuan morfologi

ini berlangsung intensif, satuan ini dicirikan oleh kontur yang sangat rapat dengan

kenampakan dilapangan berupa perbukitan yang relatif bergelombang kuat dan

lembah-lembah yang tajam dengan kemiringan lereng berkisar 16 - 35°. Satuan

morfologi ini terlihat pada daerah hutan lindung di hulu Lau Murak disebelah

selatan daerah penelitian, dan juga di hulu Sungai Wampu serta hulu Lau Kawar

daerah penelitian.

Page 11: BAB II Geomorfologi

18

Foto 2.5. Satuan Morfologi Curam Di Hulu L. Kawar

2.2.2 Pola pengaliran dan Stadia Sungai

Semua sungai, baik besar maupun kecil, mempunyai sistem pengaliran

cekungan atau drainage basin (Tarbuck & Lutgens, 1984). Drainage basin yang

dimaksud adalah semua daerah yang dialiri oleh sungai dan tributary, yakni

sungai kecil yang mengalir menuju sungai yang lebih besar. Berdasarkan referensi

dan informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar, sistem drainage basin dari

sungai – sungai yang terdapat di daerah penelitian digolongkan ke dalam tipe

parenial, yakni sungai yang berair sepanjang tahun.

Pada umumnya, aliran sungai dikendalikan oleh struktur batuan dasar,

kekerasan batuan, struktur geologi serta beberapa hal lainnya yang membentuk

pola – pola aliran sungai. Berdasarkan faktor – faktor ini, maka pola aliran sungai

yang ada pada daerah penelitian digolongkan kedalam pola aliran sungai

”dendritik”.

Page 12: BAB II Geomorfologi

19

Pola aliran sungai dendritik adalah pola aliran sungai yang berbentuk

seperti cabang – cabang pohon, berkembang tidak teratur dan pola pengaliran ini

dicirikan dengan kekerasan batuan yang homogen. Pola peengaliran ini

berkembang dengan baik pada batugamping, batusabak, dan tufa pada daerah

penelitian.

Selain pola pengaliran, hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah

tahap geomorfik selama periode waktu mulai dari sungai tersebut terbentuk.

Thornbury (1954) menjelaskan bahwa evolusi dari lembah sungai dapat dibagi ke

dalam 3 tahap, yaitu tahap muda, tahap dewasa, dan tahap tua. Beberapa dasar

yang digunakan dalam melakukan pembagian ini diantaranya adalah jenis erosi

yang dominan, bentuk profil lembah sungai, gradien sungai, ada tidaknya dataran

banjir, kecepatan aliran sungai, dan lain sebagainya. Berdasarkan dasar – dasar

tersebut, stadia sungai yang terdapat pada daerah penelitian dapat dibagi ke dalam

dua bagian.

Yang pertama adalah wilayah Barat daerah penelitian, mencirikan stadia

sungai tahap muda dan diantaranya meliputi Sungai Wampu, L.kawar, L Murak

dan L Selam dengan anak – anak sungainya. Sungai – sungai yang terdapat di

wilayah Barat ini pada umumnya memiliki arus yang deras, lembah yang sempit

dan berbentuk ”V”, gradien sungai yang curam, serta erosi vertikal yang dominan.

Page 13: BAB II Geomorfologi

20

Bagian yang kedua adalah wilayah Barat Laut daerah penelitian yang

mencirikan stadia sungai tahap dewasa, yang diantaranya ditunjukkan oleh

L.Rimo, dan L.Mencing. Beberapa penciri stadia sungai tahap dewasa di wilayah

Barat Laut ini diantaranya adalah gradien sungainya yang relatif landai, lembah

sungai lebar dengan bentuk ”U”, erosi lateral lebih dominan, aliran sungai tidak

begitu deras, mulai terbentuk dataran – dataran banjir dan di beberapa tempat

mulai mengalami shifting atau perpindahan mengikuti bentuk lembahnya.

Foto 2.6. Stadia Sungai Tahap Muda Di Wilayah Barat Daerah Penelitian

Page 14: BAB II Geomorfologi

21

Foto 2.7. Stadia sungai tahap Dewasa Di Wilayah Barat Laut Daerah Penelitian