bab ii gambaran umum wilayah kecamatan wedi, … · kecamatan jogonalan dan di sebelah selatan...
TRANSCRIPT
19
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH KECAMATAN WEDI, KABUPATEN
KLATEN
A. Kondisi Geografis Wilayah Wedi-Birit
Wedi merupakan salah satu Kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten
Klaten. Wedi terletak di bagian paling selatan dari kabupaten Klaten, yang berbatasan
dengan Kecamatan Bayat di sebelah timur, Jogonalan di sebelah barat, Klaten Selatan
dan Kalikotes di sebelah utara, dan sebelah selatan berbatasan dengan Gantiwarno.1
Kecamatan Wedi termasuk dalam kategori dataran tinggi, karena memiliki tinggi wilayah
yang terletak pada kurang lebih 120-300 meter di atas permukaan laut.2
Wedi merupakan salah satu Kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten
Klaten. Wedi terletak di bagian paling selatan dari Kabupaten Klaten. Di sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Bayat, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Klaten Selatan dan Kecamatan Kalikotes, untuk sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Jogonalan dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Gantiwarno.
Kecamatan Wedi berjarak 4km dari kantor Kabupaten Klaten.3 Kecamatan Wedi
1Badan Pusat Statistik, Kecamatan Wedi dalam Angka 1992, hlm. 1.
2 R. Sodo Adisewojo, Bertjojok Tanam tembakau (Nocotiana tabacum), (Bandung
: Vorkink-Van Hoeven, 1958), hlm. 6.
3Badan Pusat Statistik, op.cit, hlm. 1.
20
memiliki luas wilayah 24,38 km2
dengan kepadatan penduduk lebih dari 2.048 jiwa/km2.4
Di wilayah Wedi ini memiliki kepadatan penduduk yang melebihi kepadatan penduduk
rata-rata. Kecamatan Wedi memiliki 19 Desa/Kelurahan, dan 175 Dukuh. Sembilan belas
desa tersebut yaitu Birit, Brangkal, Canan, Dengkeng, Gadungan, Jiwo Wetan, Kadibolo,
Kadilanggon, Kaligayam, Kalitengah, Melikan, Pacing, Pandes, Pasung, Pesu, Sembung,
Sukorejo, Tanjung, Trotok.
Dari letak geografisnya, Wedi merupakan wilayah yang strategis bila dilihat dari
faktor-faktor yang penting dalam penanaman tembakau yaitu tanah, iklim dan pengairan
(irigasi), selain faktor-faktor tersebut, ada beberapa faktor penunjang lainnya seperti jalur
transportasi, maupun dari segi tenaga kerja. Untuk segi transportasi, letak Kecamatan
Wedi tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan antara kota Yogyakarta dan
Surakarta. Jalan ini sangat ramai karena marupakan jalan utama perekonomian Jawa
bagian selatan. Selain itu terdapat jalur kereta api yang menghubungkan ke berbagai
daerah, di wilayah Kecamatan Wedi ini terdapat sebuah stasiun kereta api yaitu Stasiun
Srowot yang terletak di Desa Srowot, stasiun ini berfungsi sebagai jalur transportasi
untuk pengiriman hasil perkebunan ke pusat daerah untuk kemudian diekspor ke luar
negeri.
Mengenai budidaya tanaman tembakau, keadaan fisik daerah sangat menentukan
sekali, karena dalam pertumbuhan dan perkembangannya diperlukan syarat-syarat seperti
4 Djamasri Adenan, dkk., Laporan Penelitian Perwilayahan dan Pembangunan
Regional Daerah Tingkat II Se Jawa Tengah,(Pusat Ilmiah pembangunan Regional
(P.I.P.R.) Jawa Tengah dan Daerah Istimewa yogyakarta dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Daerah tingkat I Propinsi Jawa Tengah). Hlm.356.
21
tanah, iklim yang cocok, dan pengairan agar dapat menghasilkan tembakau dengan
produksi yang tinggi serta memiliki kualitas yang bagus.
1. Tanah
Penanaman tanaman tembakau ini harus berada pada tanah yang subur dan gembur
serta mengandung humus yang cukup. Namun tanah juga tidak boleh sangat kering, juga
tidak boleh terlalu basah (mengandung banyak air) dalam keadaan yang lama, hal ini bisa
mempengaruhi pertumbuhan dari tanaman tembakau, karena tanaman tembakau tidak
bisa hidup dengan keadaan tanah yang banyak mengandung air. Tembakau bisa di tanam
pada beberapa jenis tanah seperti tanah liat yang subur, jenis tanah ini bisa ditanami
tembakau dengan pengolahan yang benar, sehingga tanah menjadi gembur. Selain itu
jenis tanah lainnya adalah tanah pasir yang subur juga dapat ditanami tembakau, asal
tanah itu mengandung banyak humus atau lumpur sehingga tidak cepat mengering.5
Di Kecamatan Wedi umumnya tanaman tembakau di tanam di tanah sawah bekas
tanaman padi. Guna pengusahaan tanaman tembakau setelah menanam padi, tanah sawah
tersebut harus diolah kembali agar lebih sesuai untuk menanam tembakau. hal ini
dikarenakan oleh tanah bekas tanaman padi bersifat padat, sedangkan untuk tanaman
tembakau membutuhkan tanah yang mengandung banyak udara, dan tidak lembab atau
tidak mengandung banyak air. Guna mengurangi kadar air dalam tanah tersebut maka
5 R.Sodo Adisewojo, Bertjojok Tanam tembakau (Nocotiana tabacum), (Bandung
: Vorkink-Van Hoeven, 1958), hlm. 10.
22
tanah tadi harus dibuat saluran-saluran untuk membuang air supaya tanah menjadi
kering.6
Tanaman tembakau di daerah Klaten dibudidayakan di atas jenis-jenis tanah yang
sangat berbeda-beda yang di antaranya memiliki kemudahan untuk diolah yang
bervariasi, dari yang sangat ringan hingga sangat berat, serta memiliki geologis yang
berbeda-beda. Terdapat 4 daerah utama sesuai dengan bahan-bahan endapan yaitu antara
lain:7
1. Daerah yang memiliki endapan-endapan Merapi yang masih muda (di sebelah barat
Klaten).
2. Daerah yang memiliki endapan-endapan Merapi yang lebih tua (di sebelah timur
Klaten).
3. Daerah yang terdapat tanah-tanah yang terletak di daerah kaki gunung pegunungan
selatan (selatan dan barat laut dari Klaten).
4. Daerah yang didapati oleh tufa-tufa yang mempunyai tanah mergel (tidak didapati
endapan-endapan Merapi) (selatan tenggara dan timur dari Klaten).
Tanah di daerah Wedi termasuk dalam tipe tanah yang pertama yaitu tanah yang
memiliki endapan-endapan Merapi yang masih muda (regosol). Masih banyak
mengandung volkan-volkan Merapi yang masih tetap aktif eruptip. Hal ini karena letak
dari daerah Wedi dekat dengan gunung Merapi, serta dekat dengan aliran-aliran sungai
yang bersumber dari gunung Merapi. tipe tanah regosol hanya bisa untuk ditanami
6 Ibid, hlm. 23.
7 A. Azis Lahiyah, op.cit, hlm. 158.
23
palawija, tembakau dan buah-buahan, sehingga tanah disana digunakan untuk
mengusahakanntanaman palawija dan untuk pembudidayaan tembakau.
2. Iklim
Tanaman tembakau di tanam di tempat yang berbeda-beda iklimnya seperti dataran
tinggi dan lereng-lereng gunung. Iklim di daerah perkebunan tembakau Vorstenlands,
khususnya di Kabupaten Klaten pada situasi normal cukup baik untuk pertumbuhan
tanaman tembakau. Tanaman tembakau merupakan tanaman tropis yang dapat tumbuh
atau hidup pada rentang iklim yang luas. Karena responsnya netral terhadap panjang hari,
tanaman tembkau dapat tumbuh dari 600
LU-400
LS. Batas suhu minimumnya yaitu 150 C
dan suhu maksimumnya 240
C, sedang suhu ideal saat siang hari adalah 270
C. Sejak
tanaman tembakau ditanam hingga fase pemasakan daun, tanaman tembakau harus dalam
keadaan selalu kering. Curah hujan merupakan faktor penentu hasil dan mutu tembakau.
Pengaturan waktu tanam didasarkan periode kering, karena sangat menentukan
keberhasilan usaha tani tembakau. Tanaman tembakau harus dalam keadaan selalu
kering, jika tanaman tembaku terlalu banyak air atau lembab maka tanaman tersebut akan
layu dan tidak bisa di hidupkan kembali.8
Banyaknya hujan yang turun dalam satu tahun besar sekali pengaruhnya terhadap
tanaman tembakau. Bukan hanya hasil namun juga kualitas dari tembakau tersebut yang
dapat dipengaruhi oleh banyaknya hujan.9 Dalam penanaman tembakau yang disesuaikan
8 Suwarto, Top 15 Tanaman Perkebunan, (Jakarta: Penebar Swadaya, 2014), hlm.
285.
9 R.Sodo Adisewojo, loc.cit.
24
dengan musim hujan yang turun, biasanya dibagi dalam tiga dekade. Musim hujan pada
daerah Wedi turun mulai dekade III bulan Oktober sampai dekade I bulan November.
Antara bulan Juni sampai Oktober ada kiriman hujan ringan, oleh karena itu pada awal
panen diperkirakan antara Oktober dekade III sampai November dekade I, sebab
tembakau cerutu ini akan menghasilkan kualitas prima bila dipanen setelah mendapatkan
hujan yang cukup dan teratur. Hujan yang dirasa cukup untuk tanaman tembakau ini
adalah antara 60-100 mm per dekade, karena jenis ini termasuk jenis tembakau Na Oogst.
Namun karena kemajuan teknologi, kemudian dikembangkan tanaman tembakau
Vorstenlands Bawah Naungan (VBN) yang dipanen mulai musim kemarau. Faktor-faktor
tersebut yang memungkinkan daerah Wedi cocok untuk ditanami tembakau.10
Berdasarkan data statistik yang ada, daerah Wedi merupakan daerah yang subur
dengan curah hujan sedang. Tahun 1996 Kecamatan Wedi mengalami hari hujan rata-rata
6 dengan curah hujan rata-rata 74 mm3, sedangkan pada tahun 1997 mengalami hari
hujan rata-rata 6 dengan rata-rata curah hujan 42 mm3. Untuk mengetahui curah hujan di
KecamatanWedi lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel berikut:
10
PT. Perkebunan XIX (0Persero), Pedoman Manajemen Operasional Budidaya
Tembakau Vorstenlands, Hlm.3.
25
Tabel 1.
Hari Hujan dan Curah Hujan
Di Kecamatan Wedi Menurut Bulan
(Mm3)
Bulan Hari Hujan Curah Hujan (Mm3)
Januari 23 161
Februari 18 125
Maret 11 75
Aapril 12 58
Mei 4 22
Juni 1 6
Juli 0 0
Agustus 0 0
September 0 0
Oktober 0 0
November 3 11
Desember 6 56
Rata-rata th 1997 6 74
Rata-rata th 1996 6 42
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten Tahun 1997.
26
Grafik 1.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten Tahun 1997.
Berdasarkan data statistik dapat dilihat bahwa curah hujan yang dimiliki
Kecamatan Wedi masuk dalam kategori sedang, tidak memiliki curah hujan yang tinggi
maupun rendah. Adanya ketersediaan air dan kondisi alamnya mendukung untuk
petumbuhan tanaman tembakau. Curah hujan memiliki pengaruh yang penting dalam
jadwal penanaman tembakau serta tanaman lainnya. Dengan tingginya curah hujan dapat
mempengaruhi proses penanaman tembakau, dan kemudian mempengaruhi menurunnya
hasil tanaman tembakau.11
11
Wawancara Dengan Bapak Arjo Sukarno, Pada Tanggal 12 Mei 2016.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Grafik Curah Hujan (Mm3)
27
3. Pengairan (Irigasi)
Kegiatan perkebunan memiliki banyak faktor sebagai pendukungnya, diantaranya
tentang pengairan atau irigasi. Pengairan berpengaruh terhadap pertumbuhan dari
tanaman perkebunan dan juga mengenai kondisi lahan perkebunan. Kondisi irigasi di
Kecamatan Wedi didukung oleh beberapa sungai dan anak sungai yang mengalir
melewati daerah Wedi. Hal ini disebabkan karena letak dari Kecamatan Wedi dekat
dengan gunung Merapi sehingga terdapat beberapa sungai yang melintasi daerah Wedi.
Daerah Vorstenlands pengairan berasal dari beberapa sungai Opak, Dengkeng dan
Pepe yang bersumber didaerah lereng-lereng gunung Merapi. Untuk wilayah Wedi
sendiri dekat dengan aliran sungai Dengkeng yang merupakan bersumber dari daerah
lereng-lereng gunung Merapi. Sungai Dengkeng terbentuk atas beberapa sungai kecil
yang berasal dari lereng gunung Merapi bagian selatan, kemudian mengalir ke barat
Klaten lalu ke arah selatan. Setelah melewati lembah yang sempit antara pegunungan
Jiwo dan pegunungan selatan (muara Bayat) dan menyerap banyak sekali anak-anak
sungai yang bersumber dari Merapi.12
Ada beberapa jenis pengairan yang biasa digunakan di daerah Klaten, yaitu cara
pengairan teknis, semi teknis dan liar. Air pengairan yang digunakan bersumber dari air
sungai yang dibendung dan disalurkan melalui selokan-selokan terbuka yang melintasi
tanah pertanian. Pengairan dengan model seperti itu pula yang diterapkan pada
12
A. Azis Lahiyah, op.cit, hlm 155.
28
perkebunan di daerah Wedi. Suangi Dengkeng yang melintasi Kecamatan Wedi dialirkan
dengan menggunakan slokan-slokan kecil menuju lahan pertanian.13
B. Gambaran Masyarakat Kecamatan Wedi
Berdasarkan data statistik, bahwa kehidupan masyarakat di Kecamatan Wedi
memiliki kaitan erat dengan aktifitas pertanian. Hal tersebut dikarenakan Kecamatan
Wedi memiliki kesuburan tanah yang cukup bagus untuk area pertanian serta perkebunan.
Dengan keadaan alam seperti tanah dan cuaca yang mendukung untuk pertanian atau
perkebunan, sehingga mata pencaharian masyarakat sekitar mayoritas adalah petani.
Seiring berkembangnya jaman masyarakat Wedi dikategorikan sebagai masyarakat yang
homogen, karena terdapat bermacam-macam jenis mata pencaharian.
Pertambahan jumlah penduduk di Kecamatan Wedi ini termasuk dalam kategori
yang tinggi. Alasan yang mendasari dari tingginya jumlah pertambahan penduduk ini
adalah adanya anggapan dari masyarakat desa bahwa banyak anak banyak rejeki, dengan
banyaknya keturunan maka banyak pula tenaga untuk memperoleh penghasilan dan
menjadi jaminan di hari tua.14
Guna mengetahui pertambahan penduduk di Kecamatan
Wedi dapat dilihat pada tabel berikut:
13
Warner Roll, op.cit, hlm. 18.
14 Normalia Puspitasari, “Ajon-Ajon Perkebunan Tembakau dan Dampaknya
terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Klaten Tahun 1970-1983”, Skripsi,
Sarjana Strata Satu Jrusan Pendidikan IPS, FISIP Universitas Sebelas Maret, Hlm. 37.
29
Tabel 2.
Jumlah Penduduk Kecamatan Wedi Tahun 1986-1998
Tahun Jumlah
1986 50.533
1987 50.651
1989 50.909
1990 50.910
1991 51.072
1992 51.002
1993 51.423
1994 51.013
1995 51.813
1996 52.680
1997 52.657
1998 52.926
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten Tahun 1989.
Grafik 2.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten Tahun 1989.
50,533 50,651 50,909 50,91 51,072 51,002
51,423 51,013
51,813
52,68 52,657 52,926
1986 1987 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Jumlah Penduduk Kecamatan Wedi Tahun 1986-1998
30
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa setiap tahunnya Kecamatan Wedi
mengalami peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Namun sempat juga
mengalami penurunan yang bisa dikatakan cukup banyak pada tahun 1992, yaitu dari
jumlah penduduk 51.072 di tahun 1993, kemudian menjadi 51.002 ditahun 1992.
Tingginya jumlah penduduk di Kecamatan Wedi ini didasari oleh daerah ini tidak
termasuk dalam kategori daerah yang miskin. Hal ini memacu pertumbuhan penduduk
yang tinggi pada tiap tahunnya. Namun di Kecamatan Wedi ini masih dijumpai penduduk
yang tergolong miskin dan beresiko tinggi menjadi miskin. Hal ini disebabkan oleh rata-
rata penduduk di Kecamatan Wedi memiliki mata pencaharian buruh tani dan buruh
konveksi.15
Potensi alam di Kecamatan Wedi yang subur telah dimanfaatkan masyarakat untuk
memenuhi kesejahteraan masyarakat. Memicu adanya penyerapan tenaga kerja pada
bidang perkebunan. Dalam proses pengolahan tembakau dari awal hingga akhir seperti
produksi, prosesing dan perdagangan tembakau, memerlukan tenaga kerja yang cukup
banyak. Adanya keterkaitan dua hal tresebut yaitu tingginya jumlah penduduk dan
kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan sangat berkaitan untuk keberlangsungan usaha
perkebunan.
Adanya kegiatan dalam usaha perkebunan tersebut mengakibatkan keterlibatan
petani dalam jumlah yang banyak, oleh karena itu sub sektor perkebunan merupakan
lapangan kerja bagi penduduk pedesaan serta menjadi sumber utama pendapatan
15
Faturochman, “Krisis Dan Nasib Buruh Di Perdesaan”, Jurnal Populasi,
Volume. 1 No. 10, 1999, hlm. 3.
31
penduduk.16
Jenis-jenis komoditi perkebunan terutama tembakau, telah memberikan
sumbangan yang tidak sedikit bagi perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Wedi tidak lepas dari peran potensi lahan
pertanian yang subur. Alasan tersebut yang menyebabkan akivitas pertanian di sana
didominasi oleh penyewa, penggarap, dan buruh. Di Kecamatan Wedi lahan milik petani
tidak diolah secara pribadi oleh pemiliknya, namun tanah-tanah tersebut disewakan
kepada pihak perkebunan sebagai pemilik modal untuk pengusahaan tanaman tembakau.
Di sini petani memiliki posisi yang tidak kuat, dalam artian petani sebagai pemilik lahan
namun hanya sebagai penggarap atau buruh perkebunan saja, sebab pihak perkebunan
telah menunjuk beberapa orang sebagi sinder dan mandor untuk mengawasi perkebunan.
Kedudukan petani berada pada status yang paling bawah dalam lingkungan perkebunan.17
Selain bermatapencaharian sebagai petani dan buruh perkebunan, masyarakat juga
banyak yang bekerja sebagai buruh sortir daun tembakau di gudang pengolahan. Pekerja
di perkebunan tembakau Wedi-Birit ini dibagi menurut jenis pekerjaannya, untuk
pengerjaan pembibitan, pengolahan lahan, pengankutan hasil panen ke los-los biasanya
dikerjakan oleh buruh laki-laki, sedangkan untuk pekerjaan penyortiran di bagian gudang
dikerjakan oleh buruh perempuan.18
Adanya perkebunan Tembakau di daerah Wedi ini
16
Mubyarto.dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, (Yogyakarta: Aditya
Media, 1992),. Hlm. 187.
17 Faturochman, “Krisis Dan Nasib Buruh Di Perdesaan”, Jurnal Populasi,
Volume. 1 No. 10, 1999, hlm. 4.
18Wawancara dengan ibu Harjo, Mantan Buruh Gudang Pengolahan Perkebunan
Tembakau Wedi-Birit, pada 02 Mei 2016.
32
dapat membantu pemberdayaan masyarakat sekitar yaitu penyerapan tenaga kerja dengan
pemanfaatan masyarakat sekitar sebagai buruh perkebunan.
Hubungan sosial yang terjalin dalam masyarakat desa biasanya masih bersifat
feodal. Hubungan yang terjalin antara kepala desa dengan petani menganut sistem sosial
Patron-Client yaitu hubungan antara tuan dengan hamba. Hubungan kepala desa dengan
petani tersebut, merupakan hubungan penguasa tanah dan petani, yang bersifat sama. Hal
ini masih tetap terjadi hingga perkebunan memasuki masa Orde Baru, ketika perkebunan
Wedi mulai dikelola oleh PNP XIX (Perusahaan Negara Perkebunan XIX), sistem
Patron-Client ini masih tetap berjalan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya sikap petani
serta sikap menerima nasib yang dimiliki oleh petani di wilayah pedesaan.19
Dalam menentukan status sosial, tanah merupakan salah satu kriteria untuk
menentukan tinggi rendahnya status seseorang. Di lingkungan masyarakat seorang buruh
tani memiliki status yang lebih rendah dibandingkan dengan seorang pemilik tanah
beserta pekarangan akan memiliki status yang lebih tinggi. Stratifikasi sosial di dalam
masyarakat pedesaan di daerah Klaten digolongkan menjadi beberapa lapisan. Lapisan-
lapisan masyarakat pedesaan di daerah Klaten dibagi berdasarkan perbedaan hak atas
tanah. Untuk lapisan yang pertama kuli kenceng dan kuli gandul, merupakan petani yang
memiliki tanah, pekarangan dan rumah, denga kepemilikan tanah persawahan yang
berukuran 0,35 ha dan 0,45 ha, dan berkewajiban untuk membayar pajak serta
menyerahkan tenaga kerjanya kepada pemerintah. Untuk lapisan yang kedua kuli
19
Hendra Try Ardianto & M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S., “Bungai Rampai
Interaksi Kaum Marginal dalam Interaksi Patron-Klien Studi Kasusu Perkebunan
Tembakau Vortenlanden Klaten Pasca-Orde Baru”, edisi 44/XXIII/2011, hlm. 147.
33
setengah kenceng, merupakan petani yang tidak memiliki tanah namun memiliki
pekarangan dan rumah. Lapisan yang ketiga kuli indung atau megersari, petani ini
merupakan petani yang rumah namun tidak pada tanahnya sendiri, melainkan di tanah
milik orang lain. Terakhir kuli dundhul atau kuli tlosor petani ini tidak memiliki apa-apa
dan bekerja serabutan atau kasaran.20
Dalam lapisan masyarakat pedesaan, hak-hak penggunaan tanah yang berbeda-
beda menentukan keadaan ekonomi seseorang. Keadaan seperti itu menimbulkan adanya
berbagai tingkatan sosial di lingkungan masyarakat pedesaan. Kabupaten Klaten
merupakan bekas wilayah Kasunanan Surakarta, sehingga di Klaten semua hak atas
seluruh tanah dulunya adalah mutlak di tangan raja. Atas hak tersebut raja memiliki hak
untuk membagikan tanah tersebut kepada kerabat kerajaan dan birokrat istana atas
pertimbangan status sosaial dan peranannya dalam kerajaan. Tanah yang dibagi-bagikan
disebut dengan tanah lungguh. Saat ini masih dikenal dengan istilah tanah bengkok atau
tanah kas desa yang dititipkan kepada perangkat desa yang tengah menjabat untuk
digarap.21
Selama tanah untuk pertanian tidak digunakan untuk keperluan raja sendiri,
tanah diperbolehkan untuk digunakan sebagai gaduhan atau apanage oleh anggota
keluarga raja atau kepada pegawai negara yang berdarah ningrat agar mengurus dan
20
Warner Roll, op.cit, hlm. 60.
21Henra Try Ardianto dan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S., “Bunga Rampai
Interaksi Kaum Marginal dalam Interaksi Patron-Klien Studi Kasusu Perkebunan
Tembakau Vortenlanden Klaten Pasca-Orde Baru”, edisi 44/XXIII/2011, hlm. 146.
34
memungut pajak.22
Untuk itu para pemungut pajak (patuh) mendapatkan hadiah dari
bekel sebagai bentuk penghormatan mereka sebesar 1/5 bagian dari bidang tanah
kebekelan yang digarap oleh penduduk setempat. Tanah ini merupakan tanah dinas bagi
para pemungut pajak (lungguh). Lahan sisanya 4/5 bagian dari tanah garapan boleh
dikerjakan oleh penduduk dengan membayar sewa yang tinggi. Dengan demikian
penduduk tidak memiliki tanah dan hanya diperkenankan untuk mengerjakan bidang
tanah yang ditunjuk. Sehingga penduduk tidak memiliki hak hukum atas tanah, dan hanya
pegawai-pegawai kraton saja yang bisa menikmati tanah-tanah garapan tersebut.
Namun kemudian tanah gaduh diserahkan dan dikelola oleh pihak Belanda,
kemudian system mulai berubah. Belanda mengubah sistemnnya yang semula dari
penyerahan hasil panen kemudian menjadi penyerahan sebagian areal tanah beserta
tenaga yang menggarap tanah tersebut. Pada tiap musim panen para penggarap sawah
dipaksa untuk menyerahkan 1/2 atau 1/3 bagian dari hasil produksi yang laku di pasaran
dunia ditanam di tanah pertanian selama 16 bulan atau lebih lama sesuai dengan jumlah
hasil tanah atau pembayaran uang.23
22
Jati Isnanto, “Pelaksanaan Program Tebu Rakyat Intensifikasi di kabupaten
Klaten 1975-1997”, Skripsi, Sarjana Tingkat Satu Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2012, Hlm. 37-38.
23Warner Roll., op.cit, hlm. 50-51.