bab ii gagagl ginjal akut
DESCRIPTION
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang
secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang brkembang
cepat. Laju filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin
serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10
mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh oligurea (keluaran urine < 400
ml/hari). Criteria oliguria tidak mutlak tapi berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang
amerika mengandung sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urine
maksimum sekitar 1200 mOsm /L air, maka kehilangan air obligat dalam urine adalah 500
ml. oleh karna itu ,bila keluaran urine menurun hingga kurang dari 400 ml/hari, penambahan
jat terlarut tidak bisa dibatasi dengan kadar BUN serta kreatinin meningkat. Namun oliguria
bukan merupakan gambaran penting pada ARF. Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa
pada sepertiga hingga separuh kasus ARF,keluaran urine melebihi 400 ml /hari.dan dapat
mencapai hingga 2L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran-tinggi atau disebut non-
ologurik. ARF menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada
gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi, eksresi, dan
endokrin ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemiabukan merupakan
gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitanya akut.
B. Tujuan
Dengan adanya makalah asuhan keperawatan ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami serta mampu menjelaskan tentang konsep penyakit gagal ginjal akut serta
asuhan keperawatan gagal ginjal akut.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang
ditindai dengan disfungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa
hari). Yang menyebabkan ozotemia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomelurus
yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak
0,5mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10mg/dl/hari dalam beberapa
hari. ARF biasanya disertai dengan oliguria (kekurangan urin <400ml/hari). Jika
kemampuan pemekatan urin maksimum sekitar 1200 mOsm/L air, maka kehilangan
air obligat dalam urin adalah 500ml. Oleh karena itu, bila keluaran urin menurun
hingga kurang dari 400ml/hari, pembebanan zat terlarut tidak dapat dibatasi dan kadar
BUN serta kreatinin meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting
dalam ARF. Keluaran urin melebihi 400ml/hari dan dapat mencapai hingga 2L/hari,
untuk ARF ini disebut ARF keluaran tinggi atau non oliguria.
B. Etiologi
Penyebab ARF umumnya dipertimbangkan dalam tiga kategori diagnostik:
1. Azotemia pra-renal (penurunan perfusi ginjal)
Penyebab tersering ozotemia akut (>50% kasus) yang dapat menyebabkan
terjadinya ARF tipe ATN. Petunjuka lain penyebab prarenal ARF adalah
iskemia ginjal yang lama akibat penurunan perfusi ginjal. Hipoperfusi ginjal
berkaitan dengan berbagai keadaan ginjal yang menyebabkan deplesi volume
intravaskuar, menurunnya volume sirkulasi yang efektif, atau terkadang
obstruksi vaskular ginjal. Beberapa keadaaan prarenal yang paling sering
dengan peningkatan resiko ARF adalah pembedahan aorta abdominalis,
operasi jantung terbuka, syok kardiogenik, luka bakar berat, dan syok septik.
Sebagian besar keadaan ini berkaitan dengan hipotensi sistemik dengan
aktivasi kompensatorik sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Angiotensisn menyebabkan vasokontriksi ginjal, kulit, dan
jaringan vaskular splanknikus, dan aldosteron menyebabkan retensi garam dan
air.
2. Azotemia pasca-renal (obstruksi saluran kemih)
Dapat menyebabkan ARF lebih jarang terjadi (5%) dari pada penyebab
prarenal dan mengarah pada obstruksi aliran urin disetiap tempat pada saluran
kemih. Pembesaran prostat (akibat hipertrofi jinak atau kanker) merupakan
penyebab tersering obstruksi aliran keluar kandung kemih. Kanker serviks
juga dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih. Obstruksi diatas saluran
kemih (biasanya disebabkan oleh batu) harus terjadi bilateral untuk dapat
menyebabkan obstruksi aliran keluar urin, kecuali jikahanya terdapat satu
ginjal yang berfungsi. Penting disadari bahawa obstruksi aliran keluar urin
dalam waktu lama akan menyebabkan hidronefrosis, kerusakan berat
parenkim ginjal, dan ARF.
3. Gagal ginjal akut intrinsik
1) Nekrosis Tubular akut
a. Pasca iskemik. Syok, sepsis, bedah jantung terbuka, berdah aorta
(semua penyebab azotemia prarenal berat)
b. Nerfotoksik
a) Nefrotoksin eksogen: antibiotik, media kontrasi teriodinasi
(terutama pada diabetes), pelarut (karbontetraklorida,
etileneglikol, metanol)
b) Nefrotoksin endogen: pigmen intratubular, protein intra
tubular (mieloma multiple), kristal intra tubular (asam urat)
2) Penyakit vaskular atau glomerulus ginjal primer
a. Glomerulonefritis progresif cepat atau pascastreptokokus akut
b. Hipertensi maglina
c. Serangan akut pada gagal ginjal kronis yang terkait pembatas
garam atau air
3) Nefritis Tubulointertisial Akut
a. Alergi: beta laktam (penisilin, sefalosporin): sulfunamid
b. Infeksi (misal, pielonefritis akut)
C. Manifestasi Klinis
Gagal ginjal akut merupakan sakit yang keritis. Tanda-tanda yang dini meliputi
oliguria, azotemia,dan kadang-kadang anuria. Ketidakseimbangan elektrolit, asidosis
metabolik, dan beberapa akibat berat lainnya akan terjadi ketika keadaan uremia yang
dialami oasien bertambah berat dan disfungsi renal mengganggu sistem tubuh yang
lain.
a) GI: anoreksia, mual, muntah, daire/konstipasi, stomatitis, perdarahan,
hematemesis, membran mukosa yang kering, pernafasan uremik
b) Sistem saraf pusat: sakit kepala, mengantuk, iritabilitas, kebingungan,
neuropati perifer, serangan kejang atau bangkitan, koma.
c) Kulit: kering, pruritis, pucat, purpura dan kadang-kadang uremik frost
d) Kardiovaskular: pada awal penyakit, hipotensi: kemudian terjadi hipertensi,
aritmia, kelebihan muatan cairan, gagal jantung, edema sistemik, anemia,
perubahan mekanisme pembekuan darah.
e) Pernafasan: edema paru, pernafasan kussmaul
D. Komplikasi
Gagal ginjal mempengaruhi banyak proses tubuh. Komplikasi dapat meliputi:
a) Demam dan menggigil (sering terjadi) yang menunjukan infeksi
b) Asidosis metabolik akibat penurunan eksresi ion hidrogen
c) Anemia akibat eritropoietinemia, filtrasi eritrosis pada glomerulus, atau
perdarahan yang menyertai disfungsi trombosit: hipoksia jaringan yang
menstimulasi peningkatan respirasi dan kerja pernapasan
d) Sepsis karena penurunan imunitas yang diantarai sel darah putih
e) Gagal jantung akibat kelebihan muatan cairan dan anemia yang menyebabkan
beban kerja tambahan pada jantung
f) Keadaaan mudah terjadi hiperkoagulasi akibat kelainan pada jumlah atau
fungsi protein antikoalgualan, faktor koagulasi, trombosit atau mediator
endotel yang mengakibatkan perdarahan ataupun gangguan pembekuan
g) Perubahan status mental dan sensibilitas perifer akibat efek yang ditimbulkan
pada sel-sel saraf yang sensitif: keadaan ini terjad senkunder karena retensi
toksin, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis
E. Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal prerenal, intrarenal, dan pascarenal berbeda.
Kegagalan prarenal. Terjadi ketika terdapat suatu keadaan yang mengurangi aliran
darah kedalam ginjal sehingga terjadi hipoperfusi. Contoh meliputi hipovolemia,
hipotensi, vasokontriksi, atau curah jantung yang tidak adekuat. Azotemia (keadaan
terdapatnya produk limbah nitrogenus yang berlebihan dalam darah) terjadi pada 40%
hingga 80% kasus gagal ginjal akut.
Apabila aliran darah renal terganggu, pengangkutan oksigen kedalam ginjal juga
terganggu. Hipoksemia serta iskemia yang terjadi dapat menimbulkan kerusakan
ginjal dengan cepat dan ireversibel. Tubulus renal merupakan bagian ginjal yang
paling retan terhadap efek yang ditimbulkan oleh hipoksemia.
Azotemia merupakan akibat hipoperfusi renal. Kerusakan aliran darah akan
mengakibatkan penurunan laju filltrasi glomerulus dan peningkatan reabsorpsi
natrium serta air dalam tubulus renal. Penurunan laju filtrasi glomerulus
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis metabolik. Biasanya
pemulihan aliran darah renal dan laju iltrasi glomerulus akan membalikan keadaan
azotemia.
Kegagalan intrarenal. Kegagalan intrarenal, yang juga dinamakan gagal ginjala
intrinsik atau parenkimal, terjadi karena kerasakan pada struktur ginjal yang berfungsi
melakukan filtrasi . penyebab kegagalan intrarenal diklasifikasi menjadi penyebab
nefrotoksik, inflamasi, atau iskemik. Kalau kerusakan tersebut disebabkan oleh
nefrotoksisitas atas inflamasi, lapisan halus dibawah epitelium (membran basalis)
akan mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi dan keadaan ini secara
tipikal menimbulkan gagal ginjal kronis. Kekurangan aliran darah yang berat atau lam
akibat iskemia dapat menyebabkan kerusakan renal (cidera parenkimal iskemik) dan
kadar nitrogen yang berlebihan di dalam darah (azotemia renal intrinsik).
Nekrosis tubular akut, yang merupakan prekursor kegagalan intra renal, dapat terjadi
karena kersakan iskemik pada parenkim renal pada saat terdsapat kegagalan prerenal
yang tidak diketahui atau yang mendapatkan terapi yang salah atau karena komplikasi
obstetrik, seperti eklampsia, gagal ginjal pasca partum, oburtus septik, dan perdarah
intra uteri.
Kehilangan cairan menyebabkan hipotensi yang menyebabkan iskemia. Jaringan yang
iskemik akan menghasilkan radikal bebas-oksigen yang toksik dan menyebakan
pembengkakan, cidera, serta nekrosis.
Penyebab gagal ginjal akut yang lain adalah pemakaian zat-zat nefrotoksik yang
meliputi obat-obat analgetik, anastesi, logam berat, media kontras, pelarust organik,
dan anti mikroba, khususnya obat-obat antibiotik golongan aminoglikosin. Obat-obat
ini menumpuk dalam korteks renal sehingga terjadi gagal ginjal yang baru
menunjukan manifestasi secara nyata sesudah pemberian obat lain atau pajanan toksin
lain. Nekrosis yang disebabkan oleh nefrotoksin cenderung seragam dan terbatas
hanya pada tubulus proksimal, sedangkan nekrosis karena iskemia cendereng terlihat
sebagai bercak-bercak dan terbesar disepanjang berbagai bagian nefrotik.
Kegagalan pasca renal. Obstruksi bilateral aliran urin akan menyebabkan kegagalan
pasca renal. Penyebabnya dapat berada di dalam kandung kemih, ureter, atau uretra.
Obstruksi kandung kemih dapat disebabkan oleh:
1. Obat-obat anti kolinergik
2. Disfungsi saraf otonom
3. Infeksi
4. Tumor
Obstruksi ureter yang menghalangi aliran urin dari ginjal kedalam kandung kemih
dapat disebabkan :
1. Bekuan darah
2. Batu
3. Edema atau inflamasi
4. Nekrosis papilarenal
5. Fibrosis atau perdarahan retroperitoneal
6. Pembedahan (ligasi yang tidak disengaja dan striktur)
7. Tumor atau kristal asam urat
Obstruksi uretra dapat disebabkan oleh hiperplasia prostat, tumor prostat, atau striktur
uretra.
Ketiga tipe gagal ginjal akut (prerenal, intrarenal, atau pascarenal) biasanya terjadi
melalui 3 fase yang berbeda, yaitu: fase oliguria, diuresis dan pemulihan.
Fase oliguria
Oliguria dapat terjadi karena satu atau beberapa faktor. Nekrosis tubulus renal dapat
menyebabkan sel terlepas, pembentukan silinder, dan edema iskemik. Obstruksi
tubulus yang diakibatkan menimbulkan peningkatan retrograd tekanan dan penurunan
laju filtrasi glomerolus. Gagal ginjal dapat terjadi dalam tempo 24 jam akibat efek ini.
Filtrasi glomerolus bisa tetap normal pada beberapa kasus gagal ginjal, reasorpsi
filtrat di dalam tubulus renal dapat dipercepat. Pada keadaan ini, keadaan iskemia
dapat meningkatkan permeabilitas tubulus dan menyebabkan perembesan balik.
Konsep yang lain menjelaskan bahwa pelepasan angiotensin II didalam ginjal atau
redistribusi aliran darah dari korteks ke medula dapat menimbulkan konstriksi vasa
eferen sehingga terjadi peningkatan permeabilitas glomerolus dan penurunan laju
filtrasi.
Haluaran urin dapat tetap kurang dari 30 ml/jam atau 400 ml/hari selama beberapa
hari hinggga beberapa minggu. Sebelum terjadi kerusakan, kedua ginjal bereaksi
terhadap penurunaan aliran darah dengan menahan natrium dan air.
Kerusakan akan mengganggu kemampuan ginjal untuk menahan natrium. Pada
keadaan ini terjadi kelebihan volume cairan (air) azotemia (kenaikan kadar ureum,
kreatinin dan asam urat dan serum )dan ketidakseimbangan elektrolit. Cedera iskemik
atau toksik menimbulkan pelepasan mediator dan vasokoknstriksi intrarenal. Hipoksia
medula renal mengakibatkan pembengkakan sel-sel tubulus dan endotel, dan
pelekatan sel-sel neutrofil pada kapiler serta venula, dan mengaktifkan trombosit yang
tidak tepat. Peningkatan iskemia dan vasokonstriksi lebih lanjut membatasi perfusi
darah.
Sel-sel yang cidera akan kehilangan polaritas, dan distruksi yang terjadi pada
sambungan yang erat antara sel-sel tersebut meningkatkan perembesan balik filtrat.
Iskemia mengganggu fungsi pompa membran yang bergantung pada energi, dan
kalsium menumpuk dalam sel-sel tersebut. Kalsium yang berlebih ini selanjutnya
menstimulasi vasokonstriksi dan mengaktifkan enzim protease serta enzim-enzim
lain. Oliguria prarenal yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan nekrosis
tubuler akut.
Fase diuresis
Ketika ginjal tidak mampu lagi menahan natrium dan air maka akan terjadi fase
diuresis, yang ditandai oleh peningkatan sekresi urin hingga melebihi 400 ml/24 jam.
Laju filtrasi glomerolus mungkin normal atau meningkat tapi mekanisme yang
mendukung fungsi tubulus menjadi abnormal. Ekskresi urin yang
encer ,menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit. Kadar ureum yang
tinggi menimbulkan diuresis osmotik dan akibatnya terjadi kekurangan kalium,
natrium, serta air. Fase diuresis dapat berlangsung selama beberapa hari atau beberapa
minggu.
Fase pemulihan
Jika penyebab diuresis dikoreksi, keadaan azotemia secara berangsur-angsur
menghilang dan menjadi pemulihan. Fase pemulihan berupa proses pembalikan yang
terjadi secara berangsur-angsur untuk kembali kepada fungsi renal yang normal atau
hampir normal selama 3-12 bulan.
F. Diagnosis
Diagnosa gagal ginjal akut didasarkan pada hasil pemeriksaan berikut ini:
a) Pemeriksaan darah yang memperhatikan kenaikan kadar ureum, kreatinin, dan
kalium dalam serum darah; penurunan kadar bikarbonat, nilai hematokrit serta
hemoglobin; dan pH darah yang rendah
b) Pemeriksaan urin yang memperlihatkan adanya silinder, debris seluler, dan
penurunan berat jenis urin; pada penyakit glomerulus, proteinuria, dan
osmolalitas urin yang mendekati osmolalitas serum; kadar natrium dalm urin
kurang dari 20mEq/L jika oliguria terjadi karena penurunan perfusi darah dan
lebih dari 40mEq/L jika penyebab intrarenal
c) Tes klirens kreatinin yang mengukur laju filtrasi glomelurus dan
mencerminkan jumlah nefron yang masih berfungsi yang tersisa
d) Elektrokardiogram (EKG) yang memperlihatkan gelombang T yang tinggi dan
runcing; pelebaran segmen QRS dan gelombang P yang menghilangkan jika
terdapat keadaan hiperkalemia
e) Pemeriksaan USG, foto polos abdomen, urografi ekskretori, skanning renal,
pielografi retrograd, CT-scan, dan nefrotomografi.
G. Penatalaksanaan
a) Diet tinggi-kalori rendah-protein, natrium, dan kalium untuk memenuhi
kebutuhan metabolik
b) Pemantauan elektrolit yang cermat; pemberian infus untuk mempertahankan
dan mengoreksi keseimbangan cairan serta elektrolit
c) Pembatasan cairan untuk mengurangi gejala edema
d) Terapi diuretik untuk mengatasi fase oliguria
e) Pemberian preparat sodium polistiren sulfonat (Kayexalate) per oral atau
melalui enema untuk membalikan keadaan hiperkalemia yang disetai gejala
hiperkalemia ringan (keluhan cepat lelah; kehilangan selera makan; kelemahan
otot)
f) Pemberian infus larutan glukosa hipertonik, insulin, dan sodium bikarbonta IV
untuk gejala hiperkalemia yang lebih berat ( patirasa serta kesemutan dan
perubahan EKG)
g) Hemodialisis atau dialisis peritoneal untuk mengoreksi ketidakseimbangan
elektrolit dan cairan.
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT
1. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas
penanggung jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin,
pekerjaan,serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria
maupun wanita dari rentang usia manapun,khususnya bagi orang yang sedang
menderita penyakit serius,terluka serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia.
Pada pengkajian jenis kelamin, pria disebabkan oleh hipertrofi prostat sedangkan
pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran kemih yang berulang, serta pada wanita
yang mengalami perdarahan pasca melahirkan. Untuk pengkajian identitas
penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan,
hubungan dengan si penderita.
2. Riwayat Kesehatan
2.1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2.2.Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada
prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan
penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output
tersebut ada hubungannya dnegna predisposisi penyebab, seperti pasca
perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar nluas, cedera luka
bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat
NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah,
serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
2.3.Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji
tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi
terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
2.4.Riwayat psikososialcultural
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit yang
berat akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada
klien.
3. Pemeriksaan Fisik
3.1. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu
tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi
meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah
terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
3.2. Pemeriksaan Pola Fungsi
3.2.1. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan
jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom
akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering
didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan
kussmaul.
3.2.2. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi
sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal
akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik,
penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari
saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan
fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan
tekanan darah sering didapatkan adanya peningkatan.
3.2.3. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat
kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien
berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala,
penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan
terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
3.2.4. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada
periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan
jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine
menjadi lebih pekat/gelap.
3.2.5. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
3.2.6. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi.
3.3 Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH
urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA,d an GGK. Osmolalitas kurang dari 350
mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap
dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme
(pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi
glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein
mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan
hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan
metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik
normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah
sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi,
yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau
melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion
kalium menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
5. Analisa Data
Symptom Etiologi Problem
DS:-
DO:-perubahan pola
kemih,warna urin
pekat,penurunan urine output
<400 ml/hari.
fase diuresis dari
gagal ginjal akut
Defisit volume cairan
DS:-
DO:pernapasan
kussmaul,fetor uremik,
penurunan pH pada
ciaran serebrospinal,
perembesan cairan,
Aktual/risiko tinggi
pola napas tidak efektif
DS:-
DO:klien gelisah,Terdapat
papiledema,deficit
neurologis,kadar kalium
serum meningkat.
gangguan konduksi
elektrikal efek
sekunder dari
hiperkalemi
Aktual/risiko tinggi
aritmia.
DS:-
DO:peningkatan suhu
tubuh,penglihatan
kabur,kram otot,azotemia.
kerusakan hantaran
saraf sekunder dari
abnormalitas
elektrolit dan uremia.
Aktual/risiko tinggi
kejang
DS:-
DO:kehilangan kemampuan
konsentrasi,kehilangan
memori,penurunan lapang
pandang.
gangguan transmisi
sel-sel saraf sekunder
dari hiperkalsemi
Aktual/risiko tinggi
defisit neurologis
DS:-
DO:muntah,anoreksia,lemah.
intake nutrisi yang
tidak adekuat
sekunder dari
anoreksi, mual,
muntah
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
DS:-
DO:lemah,ada edema,terlihat
sakit berat.
edema ekstremitas,
kelemahan fisik
secara umum
Gangguan ADL
(Activity Daily Living)
DS:-
DO:bingung dengan
kondisinya,peningkatan
TTV,ketidakmampuan
berkonsentrasi,
prognosis penyakit,
ancaman, kondisi
sakit, dan perubahan
kesehatan
cemas
6. Diagnosa keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d. fase diuresis dari gagal ginjal akut
2. Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif b.d penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada
respons asidosis metabolik
3. Aktual/risiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal efek sekunder
penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia
4. Aktual/risiko penurunan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik
5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari
hiperkalemi
6. Aktual/risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari
abnormalitas elektrolit dan uremia.
7. Aktual/risiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel-sel saraf
sekunder dari hiperkalsemi
8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang
tidak adekuat sekunder dari anoreksi, mual, muntah
9. Gangguan ADL (Activity Daily Living) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik
secara umum
10. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit, dan perubahan
kesehatan
7. Intervensi
Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien,
menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan risiko komplikasi.
Diag
nose
Tujuan dan
criteria hasil
Intervensi Rasional
Tujuan : defisit
volume cairan
dapat teratasi
Kriteria evaluasi
:
Klien tidak
mengeluh
pusing,
membran
mukosa lembab,
turgor kulit
normal, TTV
dalam batas
normal, CRT <
3 detik, urine >
600 ml/hari
Laboratorium :
nilai hematokrit
dan protein
serum
meningkat,
BUN/Kreatinin
menurun
1. Monitoring status
cairan (turgor kulit,
membran mukosa,
urine output)
2. Auskultasi TD dan
timbang berat badan.
3. Programkan untuk
dialysis.
4. Kaji warna kulit,
suhu, sianosis, nadi
perifer, dan diaforesis
secara teratur.
5. Kolaborasi
Pertahankan
pemberian cairan
secara intravena
1. Jumlah dan tipe cairan pengganti
ditentukan dari keadaan status cairan
Penurunan volume cairan
mengakibatkan menurunnya produksi
urine, monitoring yang ketat pada
produksi urine <600 ml/hari karena
merupakan tanda-tanda terjadinya
syok hipovolemik.
2. Hipotensi dapat terjadi pada
hipovolemik. Perubahan berat badan
sebagai parameter dasar terjadinya
defisit cairan.
3. Program dialisis akan mengganti
fugnsi ginjal yang terganggu dalam
menjaga keseimbangan cairan tubuh.
4. Mengetahui adanya pengaruh adanya
peningkatan tahanan perifer.
5. Jalur yang paten penting untuk
pemberian cairan secara cepat dan
memudahkan perawat dalam
melakukan kontrol intake dan output
cairan
Tujuan:tidak
terjadi
perubahan pola
napas
Kriteria
evaluasi:
Klien tidak
sesak napas, RR
1. Kaji faktor penyebab
asidosis metabolic.
2. Monitor ketat TTV.
3. Istirahatkan klien
dengan posisi fowler.
4. Ukur intake dan
output.
Manajemen
1. Mengeidentifikasi untuk mengatasi
penyebab dasar dari asidosis
metabolic.
2. Perubahan TTV akan memberikan
dampak pada risiko asidosis yang
bertambah berat dan berindikasi pada
intervensi untuk secepatnya
melakukan koreksi asidosis
dalam batas
normal 16-20
x/menit.
Pemeriksaan
gas arteri pH
7.40 ± 0,005,
HCO, 24 ± 2
mEq/L, dan
PaCO, 40
mmHg
lingkungan :
5. lingkungan tenang
dan batasi
pengunjung.
Kolaborasi
6. Berikan cairan ringer
laktat secara
intravena.
7. Berikan bikarbonat.
8. Pantau data
laboratorium analisis
gas darah
berkelanjutan
3. Posisi fowler akan meningkatkan
ekspansi paru optimal istirahat akan
mengurangi kerja jantung,
meningkatkan tenaga cadangan
jantung, dan menurunkan tekanan
darah.
4. Penurunan curah jantung,
mengakibatkan gangguan perfusi
ginjal, retensi natrium/air, dan
penurunan urine output.
5. Lingkungan tenang akan
menurunkan stimulus nyeri eksternal
dan pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan O2 ruangan
yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan.
6. Larutan IV ringer laktat biasanya
merupakan cairan pilihan untuk
memperbaiki keadaan asidosis
metabolik dengan selisih anion
normal, serta kekurangan volume ECF
yang sering menyertai keadaan ini.
7. Kolaborasi pemberian bikarbonat.
Jika penyebab masalah adalah
masukkan klorida, maka
pengobatannya adalah ditujukan pada
menghilangkan sumber klorida.
8. Tujuan intervensi keperawatan pada
asidosis metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik sampai ke
batas yagn aman dan menanggulangi
sebab-sebab asidosis yang
mendasarinya. Dengan monitoring
perubahan dari analisis gas darah
berguna untuk menghindari
komplikasi yang tidak diharapkan
Tujuan:tidak
terjadi aritmia
Kriteria :
Klien tidak
gelisah, tidak
mengeluh mual-
mual dan
muntah
GCS 4, 5, 6
tidak terdapat
papiledema.
TTV dalam
batas normal.
Klien tidak
mengalami
defisit
neurologis,
kadar kalium
serum dalam
batas normal
1. Kaji faktor penyebab
dari situasi/keadaan
individu dan faktor-
faktor hiperkalemi.
Manajemen
pencegahan
hipokalemia
2. Beri diet rendah
kalium
3. Memonitor tanda-
tanda vital tiap 4 jam.
4. Monitoring ketat
kadar kalium darah
dan EKG.
5. Monitoring klien
yang berisiko terjadi
hipokalemi.
6. Monitoring klien
yang mendapat infus
cepat yang
mengandung kalium
Manajemen
kolaborasif koreksi
hiperkalemi:
7. Pemberian kalsium
glukonat.
8. Pemberian glukosa
10%.
9. Pemberian natrum
bikarbonat.
1
1. Banyak faktor yang menyebabkan
hiperkalemia dan penanganan
disesuaikan dengan faktor penyebab.
2. Makanan yang mengandung kalium
tinggi yang harus dihindari termausk
kopi, cocoa, the, buah yang
dikeringkan, kacang yang dikeringkan,
dan roti gandum utuh. Susu dan telur
juga mengandung kalium yang cukup
besar. Sebaliknya, makanan dengan
kandungan kalium minimal termasuk
mentega, margarin, sari buah, atau
saus cranbeery, bir jahe, permen karet,
atau gula-gula (permen), root beer,
gula dan madu.
3. Adanya perubahan TTV secara cepat
dapat menjadi pencetus aritmia pada
klien hipokalemi.
4. Upaya deteksi berencana untuk
mencegah hiperkalemi.
5. Asidosis dan kerusakan jaringan
seperti pada luka bakat atau cedera
remuk, dapat menyebabkan
perpindahan kalium dari ICF ke ECF,
dan masih ada hal-hal lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya,
larutan IV yang mengandung kalium
harus diberikan perlahan-lahan untuk
mencegah terjadinya beban kalium
berlebihan latrogenik.
6. Aspek yang paling penting dari
pencegahan hiperkalemia adalah
mengenali keadaan klinis yang dapat
menimbulkan hiperkalemia karena
hiperkalemia adalah akibat yang bisa
diperkirakan pada banyak penyakit
dan pemberian obat-obatan. Selain itu,
juga harus diperhatikan agar tidak
terjadi pemberian infus larutan IV
yang mengandung kalium dengan
kecepatan tinggi.
7. Dilakukan penghambatan terhadap
efek jantung dengan kalsium, disertai
redistribusi K+ dari ECF ke ICF. Tiga
metode yang digunakan dalam
penangan kegawatan dari hiperkalemia
berat (>8 mEq/L atau perubahan EKG
yang lanjut)
8. Kalsium glukonat 10% sebanyak 10
ml diinfus IV perlahan-lahan selama
2-3 menit dengan pantauan EKG,
efeknya terlihat dalam waktu 5 menit,
tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit.
9. Glukosa 10% dalam 500 ml dengan
10 U insulin regular akan
memindahkan K+ ke dalam sel;
efeknya terlihat dalam waktu 30 menit
dan dapat bertahan beberapa jam.
10. Natrium bikarbonat 44-88
mEq IV akan memperbaiki asidosis
dan perpindahan K+ ke dalam sel;
efeknya terlihat dalam waktu 30 menit
dan dapat bertahan beberapa jam.
Tujuan : perfusi
jaringan otak
dapat tercapai
1. Monitor tanda-tanda
status neurologis
1. Dapat mengurangi kerusakan otak
lebih lanjut.
2. Pada keadaan normal, autoregulasi
secara optimal.
Kriteria evaluasi
:
Klien tidak
gelisah, tidak
ada keluhan
nyeri kepala,
mual, kajang,
GCS 4,5,6, pupil
isokor, refleks
cahaya (+).
Tanda-tanda
vital normal
(nadi 60-100
kali/menit,
suhu : 36-
36,70C,
pernapasan 16-
20 kali/menit),
serta klien
tidak mengalami
defisit
neurologis
seperti : lemas,
agitasi, iritabel,
hiperefleksia,
dan spastisitas
dapat terjadi
hingga akhirnya
timbul koma,
kejang
dengan GCS.
2. Monitor tanda-tanda
vital seperti TD, nadi,
suhu, respirasi, dan
hati-hati pada
hipertensi sistolik.
3. Bantu klien untuk
membatasi muntah
dan batuk. Anjurkan
klien untuk
mengeluarkan napas
apabila bergerak atau
berbalik di tempat
tidur.
4. Anjurkan klien untuk
menghindari batuk
dan mengejan
berlebihan
5. Ciptakan lingkungan
yang tenang dan batasi
pengunjung.
6. Monitor kalium
serum
mempertahankan keadaan tekanan
darah sistemik yang dapat berubah
secara fluktuasi. Kegagalan
autoreguler akan menyebabkan
kerusakan vaskular serebral yang
dapat dimanifestasikan dengan
peningkatan sistolik dan diikuti oleh
penurunan tekanan diastolik,
sedangkan peningkatan suhu dapat
menggambarkan pejralanan infeksi.
3. Aktivitas ini dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan
intraabdomen. Mengeluarkan napas
sewaktu bergerak atau mengubah
posisi dapat melindungi diri dari efek
valsava.
4. Batuk dan mengejan dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan
potensial terjadi perdarahan ulang.
5. Rangsangan aktivitas yang
meningkatkan dapat meningkatkan
kenaikan TIK. Istirahat total dan
ketegangan mungkin diperlukan untuk
pencegahan terhadap perdarahan
dalam kasusu stroke
hemoragik/perdarahan lainnya.
6. Hiperkalemi terjadi dengan asidosis,
hipokalemi dapat terjadi pada
kebalikan asidosis dan perpindahan
kalium kembali ke sel.
Tujuan :
perawatan risiko
kejang berulang
1. Kaji dan catat faktor-
faktor yang
menurunkan kalsium
1. Penting artinya untuk mengamati
hipokalsemia pada klien berisiko.
Perawat harus bersiap untuk
tidak terjadi
Kriteria evaluasi
:
-Klien tidak
mengalami
kejang
dari sirkulasi.
2. Kaji stimulus kejang.
3. Monitor klien yang
berisiko hipokalsemi.
4. Hindari konsumsi
alkohol dan kafein
yang tinggi.
Kolaborasi
pemberian terapi
5. Garam kalsium
parenteral
6. Vitamin D
7. Tingkatan masukan
diet kalsium.
8. Monitor
pemeriksaan EKG dan
laboratorium kalsium
serum
kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
hebat.
2. Stimulus kejang pada tetanus adalah
rangsang cahaya dan peningkatan suhu
tubuh.
3. Individu berisiko terhadap
osteoporosis diinstruksikan tentang
perlunya masukan kalsium diet yang
adekuat; jika dikonsumsi dalam diet,
suplemen kalsium harus
dipertimbangkan.
4. Alkohol dan kafein dalam dosis yang
tinggi menghambat penyerapan
kalsium dan perokok kretek sedang
meningkatkan ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium parenteral termausk
kalsium glukonat, kalsium klorida, dan
kalsium gluseptat. Meskipun kalsium
klorida menghasilkan kalsium
berionisasi yang secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan jumlah
akuimolar kalsium glukonat, tetapi
cairan ini tidak sering digunakan
karena cairan tersebut l ebih
mengiritasi dan dapat menyebabkan
peluruhan jaringan jika dibiarkan
menginfiltrasi
6. Terapi vitamin D dapat dilakukan
untuk meningkatkan absorpsi ion
kalsium dari traktus GI
7. Tingkatan masukan diet kalsium
sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500
mg/hari pada orang dewasa sangat
dianjurkan (produk dari susu: sayuran
berdaun hijau; salmon kaleng, sadin,
dan oyster segar)
8. Menilai keberhasilan intervensi
8. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi adalah sebagai berikut:
1. Defisit volume cairan teratasi
2. Pola napas kembali efektif
3. Tidak terjadi penurunan curah jantung
4. Peningkatan perfusi serebral
5. Tidak terjadi aritmia
6. Tidak terjadi kejang
7. Pasien tidak mengalami defisit neurologis
8. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi
9. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
10. Kecemasan berkungan.
BAB III
PEMBAHASAN