bab ii. - abstrak.ta.uns.ac.id · dan keragaman jenis vegetasi yang masih baik. ... taksonomi...
TRANSCRIPT
6
BAB II.
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Habitat Satwa Liar
Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup
dan berkembang secara alami (UU No.5 Th 1990). Habitat juga merupakan
tempat sekelompok organisme (populasi) termasuk organisme lain dan juga
lingkungan abiotiknya. Menurut Alikodra (2002) habitat satwaliar adalah
kawasan yang baik abiotik maupun biotik merupakan satu kesatuan dan
dipergunakan sebagai tempat hidup dan perkembangbiakan satwa liar
tersebut. Suatu habitat merupakan hasil interaksi komponen abiotik dan
komponen biotik meliputi suhu, kelembaban, air, udara, iklim, topografi,
tanah dan ruang sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi, fauna dan
manusia.
Habitat mempunyai fungsi dalam menyediakan makanan (food), air
(water), dan pelindung (cover). Jika seluruh kebutuhan hidup satwa liar
terdapat di dalam habitatnya, populasi akan tumbuh sampai terjadi
persaingan dengan populasi lainya. Pertumbuhan populasi sangat ditentukan
oleh jumlah minimum dari faktor abiotik dan biotik yang membatasi
kehidupannya. Faktor-faktor ini bervariasi sesuai dengan jenis satwa liar,
kondisi musim yang kritis, dan kondisi habitat setempat (Alikodra, 2002).
Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan
kondisi yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu
spesies. Habitat merupakan organism-specific; ini menghubungkan
kehadiran spesies, populasi, atau individu (satwa dan tumbuhan) dengan
sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari
sekedar vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu
spesies.
7
Genus Presbytis mempunyai rentang vertikal habitat yang luas dari
permukaan laut daerah tropis sampai garis salju di pegunungan tinggi
(Walker, 1954). Genus ini dapat ditemukan pada altitude yang tinggi di
Himalaya (3.659 m dpl), pada zona kering di India dan Ceylon, di hutan
hujan India-cina, dan diantara pasang surut rawa mangrove di Malaya dan
Borneo (Napier and Napier, 1967). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000)
habitat asli rekrekan (Presbytis fredericae) adalah hutan tropic atau
pegunungan mulai dari ketinggian 350 hingga 1.500 m dpl.
Satwa liar dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik
hutan maupun bukan hutan. Satwa liar menempati habitat sesuai dengan
lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra,
1990). Sedangkan menurut Bailey (1984) tipe-tipe habitat yang diperlukan
oleh suatu satwa biasanya diidentifikasi dengan mengamati berbagai
fungsinya misalnya untuk makan (freding), bertelur, atau bersarang
(nesting). Tipe vegetasi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari karakter
habitat karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu
melibatkan aspek vegetasi (Dasman, 1981)
Satwa liar tidak mengunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai
habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Seleksi
habitat merupakan suatu hal yang penting bagi satwa liar karena mereka
dapat bergerak secara mudah dari suatu habitat lainya untuk mendapatkan
makanan, air reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan.
Pemilihan habitat oleh satwa liar dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
ketersediaan mangsa (pakan), mengindari pesaing dan menghindari predator
(Moris, 1987).
Menurut Fitria (2012) distribusi primata dipengaruhi oleh karakteristik
habitat. Salah satu karakteristik habitat yang sangat penting bagi kehidupan
primata seperti rekrekan adalah penutupan lahan. Hasil penelitian
penggunaan habitat rekrekan di Gunung Slamet menunjukan bahwa
rekrekan yang ada di Gunung Slamet lebih banyak ditemukan di lereng
bagian selatan, dimana didaerah ini merupakan habitat yang didominasi oleh
8
hutan primer dan sekunder. Ini berarti bahwa pemilihan habitat oleh
rekrekan lebih mengarah pada karakter penutupan lahan (kanopi vegetasi)
dan keragaman jenis vegetasi yang masih baik. Satwa memilih habitat
melalui sebuah proses hirarki keruangan (Johnson, 1980; Hutto,1985)
Djuwantoko (1986) mengartikan habitat adalah sebagai tempat hidup
populasi satwa liar untuk berkembang biak dengan optimal. Habitat ideal
bagi satwa adalah yang mencakup kebutuhan biologis dan ekologis satwa
bersangkutan. Artinya, habitat satwa dapat memenuhi kebutuhan biologis
satwa (makan, minum, berlindung, bermain, berkembang biak) dan dapat
memenuhi kebutuhan fungsi ekologis dalam ekosistem.
Secara sederhana habitat satwa liar sering diartikan sebagai tipe
vegetasi disebabkan karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa
liar selalu melibatkan aspek vegetasi. Fachrul (2007), mendefinisikan
vegetasi sebagai masyarakat tumbuhan yang terbentuk oleh berbagai
populasi jenis tumbuhan yang terdapat di dalam suatu wilayah ekosistem
serta memiliki variasi pada setiap kondisi tertentu.
Vegetasi merupakan kumpulan individu-individu tumbuhan yang
membentuk suatu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain (Mueller-
Dombois dan Ellenberg, 1974). Kedudukan vegetasi bagi satwa liar sangat
penting, baik satwa yang hidup di savana, tundra, hutan, maupun daerah-
daerah basah (wetlands) di seluruh bagian dunia. Hal ini berkaitan dengan
fungsi vegetasi yang sangat berperan dalam penyediaan kebutuhan satwa
terhadap pakan, perlindungan, air dan lingkungan tempat tinggal. Beberapa
jenis satwa sangat tergantung kepada vegetasi sepanjang hidupnya dan
beberapa jenis lainnya hanya membutuhkan vegetasi sebagai sumber pakan
dan cover. Istilah vegetasi dapat berarti satu pohon, satu jenis di suatu
tempat tertentu atau gabungan beberapa tumbuhan atau jenis di suatu
bentang lahan
9
2. Taksonomi Rekrekan
Taksonomi Rekrekan (Presbytis fredericae) berdasarkan data IUCN
(2012), adalah sebagai berikut:
Klas : Mamalia
Ordo : Primata
Sub ordo : Antropoidae
Famili : Cercopithecoidae
Sub famili : Colobinae
Genus : Prebytis
Spesies : Prebytis fredericae
Menurut Supriatna (2008), menyatakan bahwa berdasarkan pertemuan
IUCN pada bulan Maret tahun 2000 di Florida, para ahli primata dunia
mencatat jumlah dan jenis primata dunia yang mengalami penambahan.
Penambahan terjadi karena adanya penemuan jenis baru atau revisi jenis-
jenis yang sudah ada. Seperti pemisahan Kukang menjadi dua jenis,
Nycticebus caucang (ditemukan di Sumatera) dan Nycticebus javanicus
(ditemukan di Jawa), kemudian Orangutan juga menjadi dua jenis,
Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo
pygmaeus). Pada jenis lutung terjadi perubahan nama dari Lutung Hitam
(Presbytis cristatus) menjadi (Trachipithecus villous), serta peningkatan
dari sub-species menjadi spesies, seperti terjadi pada Rekrekan (Presbytis
fredericae) yang hanya ditemukan di Jawa Tengah, yang sebelumnya
merupakan sub-species (Presbytis comata fredericae)
3. Morfologi
Prebytis fredericae adalah monyet yang berukuran antara 42-61cm
dengan kepala bulat, hidung pesek, dan perut besar. Ekor umumnya lebih
panjang dari pada tubuhnya. Monyet ini memiliki tungkai kecil dan
ramping serta ekor lebih panjang dari ukuran kepala sampai badannya,
memiliki ketebalan ekor seragam dari pangkal hingga ujung, rambut yang
10
menutupi tubuhnya cukup panjang dan tebal, rambut di kepala membentuk
jambul dan berujung runcing, alis meremang kaku mengarah ke depan
(Napier dan Napier, 1967).
Ciri khas dari Rekrekan (Presbytis fredericae) adalah warna rambut
yang kelabu kecokelatan, sedang bagian perut (ventral) mulai dari dagu,
bagian dalam tangan, kaki hingga ekor berwarna putih keabu-abuan.
Panjang tubuh dari ujung hingga tungging antara 42-61 cm dengan panjang
ekor antara 43-68 cm. Berat tubuh rekrekan dewasa 5-7 kg (Supriatna dan
Wahyono, 2000).
4. Perilaku Rekrekan
Sukarsono (2009) menyatakan secara umum hewan akan membentuk
kelompok sosial di alam liar. Pada hewan-hewan yang hidup berkelompok
atau bergerombol akan membentuk kelompok yang terorganisir dengan erat
dan akan saling mengikuti. Berkelompok akan memberi keuntungan
bersama maupun individu, diantaranya efisiensi energi, perlindungan, dan
keberlangsungan reproduksi.
Sebaran geografi rekrekan (Presbytis fredericae) yang merupakan
satwa endemik Jawa Tengah, ditemukan di sekitar Gunung Slamet dan
pegunungan sekitarnya, seperti: Gunung Cupu, Gunung Merbabu, Gunung
Sindoro dan Gunung Sumbing. Pada saat menjelajah kelompok rekrekan
bergerak bersama-sama dengan jantan kadang-kadang berada di belakang.
Daerah jelajah harian Rekrekan (Presbytis fredericae) antara 750-1.500 m.
Dalam satu kelompok biasa dijumpai 3-8 ekor yang terdiri dari jantan dan
beberapa betina, serta lutung muda dalam asuhan induknya (Supriatna dan
Wahyono, 2000). Hasil penelitian di Gunung Slamet menujukan bahwa
jumlah individu dalam setiap kelompok rekrekan Gunung Slamet antara 3 –
11 individu yang terdiri dari satu jantan dan beberapa betina serta anaknya
(Fitria, 2012).
Alikodra (2002), mendefinisikan perilaku sebagai kebiasaan-
kebiasaan satwa liar dalam aktivitas hidupnya, seperti sifat berkelompok,
11
waktu aktif, wilayah pergerakkan, cara mencari makan, cara membuat
sarang, hubungan sosial, tingkah laku bersuara, interaksi dengan jenis lain,
cara kawin, dan melahirkan anak. Satwa liar mempunyai berbagai perilaku
fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Untuk
mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang
agresif, melakukan persaingan dan kerja sama untuk mendapatkan makanan,
pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi, dan sebagainya. Pada satwa
liar dikenal adanya perilaku makan/ingestif, perilaku membuang
kotoran/eliminatif, perilaku seksual, perilaku pemeliharaan anak/epimelitik,
perilaku menentang/agonistik, perilaku meniru/alelomimetik, perilaku
mencari perlindungan, dan perilaku memeriksa. Perilaku dapat juga
diartikan sebagai gerak-gerik organisme sehingga perilaku merupakan gerak
atau perubahan, dari bergerak ke tidak bergerak sama sekali, atau diam.
5. Aktivitas Harian Rekrekan
Dilihat dari cara bergeraknya, Rekrekan (Presbytis fredericae)
termasuk ke dalam “Old world Brachiating Type”, yaitu satwa yang
bergerak dengan menggunakan keempat anggota badan untuk berjalan
(quadrapedal), dan cara pergerakannya ada beberapa macam :
a. Brachiating (berjalan); bergerak dari cabang pohon ke cabang pohon
lain dengan menggunakan keempat anggota badannya.
b. Leaping (melompat); pergerakan dengan cara melonpat dari satu cabang
pohon ke cabang pohon lain.
c. Arm swingging (menggantung); pergerakan dengan menggantung dan
berayun dari satu cabang ke cabang pohon lainnya, baik menggunakan
satu tangan atau dua tangan.
d. Climbing (memanjat); gerakan memanjat secara kontinyu, biasanya
berupa gerakan vertikal dengan menggunakan tangan untuk menarik
tubuhnya ke atas, sedangkan kedua kakinya digunakan untuk
mendorong.
12
Aktivitas harian Rekrekan (Presbytis fredericae) pada saat bergerak
pada dahan yang besar mereka menggunakan keempat anggota tubuhnya
(quadropedal). Namun, pada saat pindah pohon mereka sering meloncat
untuk mencapai dahan atau pohon didepannya. Seperti jenis lutung pada
umumnya, Rekrekan bersifat arboreal atau menghabiskan sebagian
waktunya di pohon, dan aktif pada siang hari atau diurnal (Supriatna dan
Wahyono, 2000).
6. Status Konservasi
Status konservasi Rekrekan (Presbytis fredericae) dalam CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora) sudah masuk dalam Appendix II, yaitu jenis satwa liar yang
perdagangannya diatur dan dipantau secara ketat. Sedangkan menurut IUCN
satwa ini dimasukkan dalam kategori genting (endangered), yaitu jenis
satwa liar dengan resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu
dekat, dan beresiko menjadi kritis. Jenis ini semula dianggap sebagai anak
jenis Presbytis comata atau surili, maka Rekrekan (Presbytis fredericae)
sebenarnya sudah dilindungi sejak surat keputusan perlindungan Surili
(Ptresbytis comata) dikeluarkan. Surat keputusan perlindungan tersebut
antara lain:
a. Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 5 April 1979, Nomor
247/Kpts/Um/1979 tentang Jenis-jenis Satwa Liar yang Dilindungi;
b. Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 5 Desember 1979, Nomor
757/Kpts/Um/12/1979 tentang Penetapan Tambahan Jenis-jenis Satwa
Liar yang Dilindungi;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
d. Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 10 Juni 1991, Nomor
301/Kpts/II/1991 tentang Inventarisasi Satwa Liar yang Dilindungi
Undang-Undang;
13
e. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa.
f. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam No. 132/IV-KKH/2011 tentang penetapan Empat Belas Spesies
terancam punah yang dijadikan Spesiae Prioritas Utama untuk
peningkatan populasi 3 % pada tahun 2010 – 2014.
7. Taman Nasional Gunung Merbabu
Taman Nasional Gunung Merbabu ditunjuk berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No : 135/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada
Kelompok Hutan Gunung Merbabu seluas ± 5.725 Ha. Secara geografis
terletak pada koordinat 1100
26' 22" BT dan 70
27' 13" LS. Secara
administrasi, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak di 3 (tiga)
kabupaten, yaitu Kabupaten Boyolali seluas 2.415 ha (sisi Selatan dan
Timur), Kabupaten Semarang seluas 1.150 ha (sisi Utara) dan Kabupaten
Magelang seluas 2.160 ha (sisi Barat), (Rencana Strategis TNGMb, 2012)
Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGMb) secara definitif
ditetapkan sebagai UPT Departemen Kehutanan berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2006 tanggal 2 Juni 2006
tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-
II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional. Wilayah
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu terdiri dari 2 (dua) seksi
pengelolaan, yaitu : Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I
Kopeng di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dan Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah II Krogowanan di Kecamatan Sawangan
Kabupaten Magelang.
Berdasarkan Keputusan Kepala Balai TNGMb nomor
SK.114/BTNGMb/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Penunjukan dan
Resort pada Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, maka SPTN Wilayah
I Kopeng terdiri dari 2 Resort (Resort Semuncar dan Resort Kalipasang)
14
yang secara administrasi berada dalam wilayah Kabupaten Boyolali dan
Kabupaten Semarang sedangkan SPTN Wilayah II Krogowanan terdiri dari
2 Resort (Resort Wonolelo dan Resort Wekas) yang secara administrasi
berada di Kabupaten Boyolali dan Magelang. Kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu berbatasan dengan 37 Desa dalam 7 Kecamatan yang
berada di 3 Kabupaten tersebut
Tabel 1. Nama Kabupaten, Kecamatan, dan Desa yang Berbatasan
Langsung dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu
No Kabupaten Kecamatan Desa Keterangan
1 2 3 4 5
1 Magelang Sawangan Wonolelo Wulunggunung Banyuroto Pakis Ketundan Kaponan Kenalan Gondangsari Jambewangi Muneng Munengwarangan Daleman Kidul Petung Banyusidi Pakis Kragilan Pogalan Ngablak Genikan Jogonayan Tejosari Candimulyo Surodadi
2 Boyolali Ampel Njlarem
Ngadirojo
Sampetan
Ngargoloko
Candisari
Ngagrong
Selo Jeruk
Senden
Tarubatang
Selo
Samiran
Lencoh
15
Jrakah
3 Semarang Getasan Kopeng
Jetak
Batur Enclave
Tajuk Enclave
Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, 2012
a. Keadaan Fisik dan Biologi
1) Keadaan Fisik
Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak pada
ketinggian ± 600 – 3.142 mdpl dengan topografi sebagian besar
merupakan daerah strato (pegunungan). Bentuk lapangan berbukit-bukit
sampai bergunung-gunung dengan jurang dan tebing curam mulai
kemiringan 30° hingga 80°. Gunung Merbabu memiliki bentuk lahan
lereng atas bebatuan lepas-lepas (piroklastik) yang tidak terkikis kuat.
Dari segi potensi hidrogeologis, bentuk lahan ini lebih mampu
menyimpan air karena didasari oleh aliran lava dan pecahan batuan lava
yang menjadi media masuknya air hujan ke dalam tanah, dengan
demikian banyak dijumpai sumber-sumber air yang mampu memenuhi
ketersediaan air hingga musim kemarau. Daerah ini khususnya terbentuk
pada lereng bagian Utara dan Barat.
Pada sebagian lereng yang lain, yaitu lereng Selatan dan Timur,
bentuk lahan piroklastik terbentuk sebagai akibat lelehan lava. Wilayah
ini adalah daerah bayangan hujan (leeward side), sehingga tidak
mempunyai tenaga potensial untuk mengangkut materi vulkanik kecuali
terbawa banjir yang dapat terjadi pada waktu tertentu. Sebagai akibatnya
daerah ini secara hidrogeologis kurang mampu menyimpan air,
Karenanya sumber-sumber air yang ada hanya memiliki debit yang kecil.
Gunung Merbabu tergolong gunung api tua yang sudah tidak aktif
lagi. Gunung ini berada pada ketinggian + 3.142 m dpl. Gunung Merbabu
mempunyai 7 (tujuh) puncak, yaitu Puncak Pertapaan, Puncak Watutulis,
16
Puncak Gegersapi, Puncak Syarif, Puncak Ondorente, Puncak Kenteng
Songo dan Puncak Trianggulasi. Puncak-puncak Gunung Merbabu dapat
dicapai melalui jalur pendakian yaitu melalui Dusun Kedakan Desa
Kenalan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, Dusun Genting Desa
Tarubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Dusun Tekelan Desa
Batur dan Dusun Cuntel Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang ( BTNGMb, 2013)
2) Keadaan Biologi
Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki 3 (tiga) tipe
ekosistem (Van Steenis, 2006), yaitu :
a) Ekosistem hutan hujan tropis musim pegunungan rendah (1.000 –
1.500 mdpl); sebagian besar terdiri dari jenis tanaman Pinus (Pinus
merkusii) dan Puspa (Schima noronhae), yang merupakan hutan
sekunder. Jenis tanaman Pinus (Pinus merkusii) yang mendominasi
pada tipe ekosisitem ini, merupakan vegetasi yang ditanam oleh
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, pada saat masih berstatus
hutan lindung.
b) Ekosistem hutan hujan tropis musim pegunungan tinggi (1.500 -
2.400 mdpl); ditumbuhi Dempul (Glochidion sp.), Jurang
(Villebrunea rubescens), Lotrok (Nauclea obtuse), Luwing (Ficus
hispida), Akasia (Acacia decurens), Puspa (Schima noronhae),
Kemlandingan gunung (Albizia montana), Sowo (Engelhardia
serrata), Tanganan (Schefflera elliptica) dan Pasang (Quercus
spicata).
c) Ekosistem hutan tropis musim sub-alpin (2.400 – 3.142 mdpl);
terletak pada puncak Gunung Merbabu yang ditumbuhi rumput,
Edelweis (Anaphalis javanica), dan Cantigi (Vaccinium
varingivolium).
17
Potensi flora maupun fauna di Taman Nasional Gunung Merbabu
antara lain potensi flora adalah Akasia dekuren (Acacia decurrens),
Cantigi (Dodonea viscose), Dempul (Glochihidion sp.), Kemlandingan
gunung (Albizzia montana), Kebeg (Ficus fulva), Kersenan (Trema
orientale), Krangeyan (Litsea cubeba), Krembik/Waru gunung (Hibiscus
macrophyllus), Lotrok (Neuclea obtuse), Lowa (Ficus glomerata),
Luwing (Hibiscus hispida), Pasang (Quercus spicata), Picis (Nauclea
lanceolata), Puspa (Schima noronhae), Rukem (Flocourtia inermis),
Serut (Streblus asper), Sowo (Engelhardia serrata), Tanganan, Tengsek,
Umbel-umbelan (Aleuritis fordii), Wilodo (Ficus fistula), Wuru (Litsea
sp.), Bintami (Podocarpus sp.), Kina (Chincona spec.), Beringin (Ficus
sp), Pampung dan Cemara Gunung.
Sedangkan Fauna yang dapat dijumpai di kawasan Taman Nasinal
Gunung Merbabu antara lain Lutung hitam (Tracypithecus auratus),
Rekrekan/Lutung kelabu (Presbytis fredericae), Kera ekor panjang
(Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Musang (Herpates
javanica), Landak (Histrix sp.) dan Luwak (Paradoxurus
hermaproditus). Untuk jenis burung/aves terdapat 53 spesies, antara lain
Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Alap-alap sapi (Falco moluccensis),
Kipasan ekor merah (Rhipidura phoenicura), Cekakak jawa (Nalcyon
cyannoventris), Takur bututut (Megalaima corvina), Tepus leher putih
(Stachyris thoracica), Ciung air jawa (Macronous flavicollis), Walet
linchi (Collocalia linchi), Kacamata gunung (Zosterops montanus), Ceret
gunung (Cettia vulcania), Anis gunung (Turdus poliocephalus) dan lain
lain.
b. Aksesibilitas
Aksesibilitas menuju kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu
ditempuh dari beberapa kota di Jawa Tengah dengan rute antara lain
sebagai berikut :
18
1) Solo/Surakarta – Boyolali – Selo – Kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu dengan jarak tempuh + 65 km dengan
menggunakan roda 4 dapat ditempuh dalam jangka waktu + 1 jam
30 menit.
2) Semarang – Salatiga – Kopeng – Kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu dengan jarak tempuh + 70 km dengan
menggunakan roda 4 dapat ditempuh dalam jangka waktu + 2 jam.
3) Jogyakarta – Magelang – Ketep – Kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu dengan jarak tempuh + 80 km dengan
menggunakan roda 4 dapat ditempuh dalam jangka waktu + 2 jam
(Rencana Strategis BTNGMb Tahun 2010-2014)
c. Iklim
Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan Gunung
Merbabu mempunyai iklim tipe B dengan nilai Q = 31,42 % dengan curah
hujan berkisar antara 2.000 – 3.000 mm/tahun dan suhu sepanjang tahun
berkisar antara 17 ° – 30 °C.
d. Hidrologi
Gunung Merbabu merupakan kawasan pengatur tata air daerah di
bawahnya. Pada kawasan yang termasuk wilayah Kabupaten Boyolali
terdapat beberapa sungai yang mengalir diantaranya Kali Babrik, Kali
Tanggi, Kali Soko, Kali Rejoso, Kali Jarak dan Kali Batang. Beberapa
sumber mata air yang muncul dimanfaatkan sebagai sumber air bagi
masyarakat disekitarnya seperti Tuk Sipendok, Tuk Muncar, Tuk Buyaran,
Tuk Sampetan, Tuk Grenjeng (Kecamatan Ampel), Tuk Babon, Tuk
Gentong, Tuk Talangan (Kecamatan Selo). Dari beberapa mata air tersebut,
Tuk Sipendok mempunyai debit air yang paling besar, yaitu ± 30 liter/detik.
Sedangkan pada kawasan yang termasuk wilayah Kabupaten
Magelang beberapa sungai yang mengalir diantaranya Kali Sendoyo, Kali
Candiroto, Kali Kediran, Kali Mangu, Kali Grenjengan dan Kali Marong.
19
Beberapa mata air yang muncul di beberapa lokasi kawasan gunung
dimanfaatkan sebagai sumber air bagi masyarakat setempat, seperti Tuk
Abang yang dimanfaatkan oleh penduduk Dusun Candran dan Desa
Wonolelo, Umbul Nglempong Sikendi dan Umbul Kukusan yang
dimanfaatkan oleh Penduduk Dusun Kenalan dan Dusun Kewiran.
Kondisi hidrologi Gunung Merbabu dipengaruhi oleh aspek geofisik
permukaan. Dari sifat morfologi, lereng Gunung Merbabu ke arah wilayah
Boyolali didominasi oleh batuan lava, sedang ke arah wilayah Magelang
lebih didominasi oleh batuan bermateri piroklasik. Ditinjau dari aspek cuaca
dan iklim wilayah Boyolali merupakan daerah bayangan hujan (leeward
side) sedang wilayah Magelang merupakan wilayah hujan (windward side).
Sebagai konsekuensinya ditinjau dari aspek hidrogeologi Gunung Merbabu
memiliki potensi hidrologi yang cukup mencolok. Ketersediaan air di
wilayah Magelang lebih permanen daripada daerah Boyolali. Kondisi sungai
yang mengalir ke arah lereng Barat lebih permanen daripada ke arah lereng
Timur. Banyak mata air dijumpai di lereng Barat mulai dari mata air
Sobleman yang menjadi hulu Sungai Bulak dan Sungai Gendil. Mata air
Kecitran mengalir ke Kali Mangu dan yang cukup besar mata air Ketundan
yang mengalir ke Sungai Soti.
Kondisi yang menarik ditinjau dari aspek hidrologi adalah pada
peralihan lereng Timur dan lereng Selatan. Di daerah peralihan ini
ditemukan fenomena peralihan kondisi basah dan kering. Batas wilayah
kering yang tegas di wilayah Desa Ngagrong dan kondisi basah dijumpai di
wilayah Desa Selo.
e. Topografi
Sesuai dengan klasifikasi kelerengan lahan (SK Menteri Pertanian
Nomor 837/Um/11/1980) dan analisis peta kemiringan lereng (Satyatama,
2008), diperoleh bahwa sebagian besar kawasan Taman Nasional Gunung
Merbabu memiliki kemiringan lereng kelas II (8 – 15 %) atau landai. Secara
keruangan untuk kemiringan lereng kelas II tersebar hampir merata di
20
sekeliling lereng Gunung Merbabu mulai dari lahan kawasan hutan hingga
lahan milik. Kemiringan lereng kelas II terdapat di wilayah Desa
Gondangsari dan Tejosari, sebagian lagi tersebar di wilayah Desa Banyuroto
dan Candisari.
Kemiringan lereng kelas III (16 – 25 %) atau agak curam sebagian
besar tersebar di wilayah Kecamatan Ampel di lereng Gunung Merbabu
bagian Timur dan di wilayah Kecamatan Pakis di lereng Gunung Merbabu
bagian Barat. Kemiringan lereng kelas IV (26 – 40%) dengan klasifikasi
curam berada diantara kemiringan lereng kelas III, seperti yang terjadi di
wilayah Desa Candisari, Boyolali dan wilayah Ketundan, Pakis, Magelang.
Sedangkan lereng Kelas V (>40%) atau sangat curam hanya terdapat pada
puncak atau igir (ring wall) Gunung Merbabu yang seolah-olah mengelilingi
puncaknya.
f. Geologi dan Tanah
Gunung Merbabu tidak mempunyai kawah aktif karena tergolong
gunung api tua. Puncak Merbabu berupa dataran tinggi yang lebar,
merupakan deretan beberapa puncak yang tersebar secara terpisah. Karena
jumlah puncak yang tergolong banyak, sebagian pendaki kemudian
menjuluki Gunung Merbabu sebagai The Seven Summit in Central of java.
Gunung Merbabu terbentuk oleh proses-proses yang berasal dari aktivitas
gunung api (vulkanik), sehingga bentuk lahannya secara umum adalah
bentuk lahan vulkan. Materi yang dilepaskan oleh gunung berapi dapat
berupa material lepas atau juga berupa lelehan lava. Endapan material yang
dilepaskan oleh letusan gunung api tersebut membentuk karakteristik
permukaan bumi yang khas, sehingga berpengaruh juga pada sifat
permukaan bumi tersebut. Begitu juga pada Gunung Merbabu yang pernah
meletus pada tahun 1560 dan 1797, menghasilkan endapan yang berasal dari
material lepas dan material lelehan lava. Proses pengikisan yang
berlangsung pada gunung ini mulai dari terkikis kuat hingga terkikis sedang.
21
Proses pengikisan yang terkuat terletak pada bagian lereng gunung
sebelah Selatan hingga Barat Daya, yaitu mulai dari Desa Lencoh, Jrakah
hingga Wonolelo dan tersebar pada wilayah lereng atas. Proses erosi yang
kuat ditandai oleh banyaknya lereng terjal dan igir-igir yang lancip serta
lembah yang curam. Pada bagian Barat dari Gunung Merbabu ini, proses
erosi bersifat sedang hingga kuat, baik pada lereng atas maupun pada lereng
tengah. Material yang terdapat pada bagian ini merupakan material
piroklastik. Kondisi semacam ini banyak terdapat pada lereng atas di Desa
Kenalan dan Desa Pogalan yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Pakis.
Karakteristik erosi ditandai oleh adanya fenomena igir-igir yang agak
tajam, tetapi tidak setajam pada bagian yang tererosi kuat.
Pada bagian Utara dan bagian Tenggara, didominasi oleh material
bekas lelehan lava (lava flow). Hal ini ditandai dengan bentuk permukaan
yang bergelombang dan banyak ditemui singkapan batuan. Pada kedua
daerah ini, proses erosi bersifat sedang dan ditandai oleh bentuk igir-igir
yang tidak terlalu tajam dan pola alirannya tidak begitu rapat. Hal ini
disebabkan karena material endapan lelehan lava lebih resisten daripada
material endapan piroklastik. Bentukan proses ini tersebar mulai dari lereng
atas hingga lereng tengah. Sebelah Utara terletak pada daerah sekitar
Kopeng dan sebelah Tenggara pada daerah sekitar Selo.
Bagian Timur Laut hingga Timur lereng Gunung Merbabu,
didominasi oleh proses erosi tingkat sedang dengan material endapan
piroklastik, menyerupai lereng atas, mapun pada lereng tengah sepeti yang
terletak di daerah Ngadirejo – Candisari Kecamatan Ampel. Proses erosi
sedang ditandai oleh pola aliran yang tidak terlalu rapat dan igirnya juga
tidak terlalu tajam.
g. Tata Guna Lahan
Pada umumnya daerah pengunungan didominasi oleh semak belukar,
terutama mulai dari lereng tengah hingga lereng atas. Begitu juga pada
Gunung Merbabu, sebaran semak belukar terdapat pada lereng tengah
22
hingga lereng atas. Pada wilayah lereng tengah, perbandingan antara
penggunaan lahan kebun campur/perkebunan dan semak belukar cukup
imbang dan di beberapa tempat di Sawangan dan Selo juga ditemui sebaran
rumput dan lahan kosong. Aktivitas manusia banyak terdapat pada lereng
bawah, yang ditandai dengan adanya tegalan di lereng Timur Laut hingga
Selatan dan sawah mulai dari lereng Utara hingga lereng Barat Daya.
Tanaman tegalan yang terdapat pada lereng Gunung Merbabu merupakan
jenis sayur mayur dan buah. Sayur-sayuran dan buah-buahan tersebut
didistribusikan ke kota-kota sekitar Jawa Tengah, seperti Yogjakarta,
Surakarta dan Semarang. Kondisi alam demikian, memang sangat cocok
untuk pertanian tersebut, sehingga sebagian besar masyarakatnya hidup dari
hasil bercocok tanam komoditas ini.
Bentuk penggunaan lahan di lereng Gunung Merbabu secara dominan
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) di lereng Barat
merupakan daerah basah, banyak mata air dan sungai permanen, seperti
yang terjadi mulai dari unit geoekologi Denokan – Jrakah, Sobleman –
Kecritan, Damar–Ngablak, dan Kopeng–Ngaduman. Pada lahan milik
banyak dijumpai sawah irigasi, sedang pada kawasan hutan berupa tegakan
Pinus rapat cukup luas dan pada lereng atas dan puncaknya berupa belukar
rapat, (2) di lereng bagian Timur yang merupakan daerah bayangan hujan,
mata air kecil hingga hampir tidak ada, sungai tidak permanen bahkan
sering terjadi banjir, seperti yang terjadi pada unit geoekologi Sidorejo–
Ngargoloka dan Ngagrong– Selowangan. Pada bagian ini lahan milik
didominasi tanaman tembakau dan jagung, sedang pada kawasan hutan
ditumbuhi tegakan Pinus jarang tidak begitu luas, dan pada lereng atas
hingga puncak berupa semak belukar jarang.
Kondisi topografi berbukit dan bergunung membuat masyarakat
beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar lahan kering
digunakan masyarakat untuk berladang (tegal/kebun) dengan berbagai jenis
tanaman sayur, buah serta tanaman perkebunan.
24
8. Posisi Penelitian dalam Bidang Lingkungan Hidup
Dalam konteks Ilmu Lingkungan Hidup, penelitian mengenai
pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai upaya Konservasi
Rekrekan (Presbytis fredericae) adalah merupakan upaya melestarikan
nilai-nilai penting yang terkandung di kawasan Taman Nasional Gunung
Merbabu meliputi potensi keanekaragaman hayati, perlindungan fungsi
hidro-orologi, dan potensi pariwisata alam. Kekayaan sumberdaya alam
hayati yang dimiliki kawasan TNGMb cukup beragam dengan nilai
konservasi tinggi (high value conservation). Rekrekan (Presbytis
fredericae) merupakan salah satu jenis primata endemik Provinsi Jawa
Tengah yang hanya dapat dijumpai pada beberapa kawasan saja, seperti
Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Spesies ini yang pada awalnya diklasifikasikan sebagai anak jenis dari Surili
(Presbytis comata) ini dikategorikan International Union for the
Conservation of Nature (IUCN) dalam status genting (endangered)
sehingga perlu upaya-upaya konservasi untuk pelestariannya.
Sesuai dengan azas-azas pengetahuan lingkungan penelitian ini
termasuk dalam azas-azas lingkungan antara lain :
a. Azas keempat yaitu untuk semua kategori sumber daya alam, kalau
pengadaannya sudah mencapai optimum, pengaruh unit pengadaannya
sering menurun dengan penambahan sumber alam sampai ke suatu
tingkat maksimum
b. Azas ketujuh yaitu kemantapan keanekaragaman suatu komunitas
lebih tinggi dialam lingkungan yang “mudah diramal”
c. Azas ketiga belas yaitu lingkungan secara fisik mantap (dewasa)
memungkinkan terjadinya keanekaragaman biologi dalam ekosistem
yang mantap (dewasa), yang kemudian dapat menggalagkan
kemantapan populasi
25
d. Azas keempat belas (Derajat pola keteraturan naik turunnya populasi
bergantung pada jumlah keturunan dalam sejarah populasi
sebelumnya yang nantinya akan mempengaruhi populasi itu.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang terkait dengan rekrekan sudah pernah dilakukan
sebelumnya antara lain : populasi dan distribusi rekrekan di lereng selatan
Gunung Slamet Jawa Tengah oleh Setiawan, dkk (2007), karakteristik
habitat rekrekan di lereng timur Gunung Slamet Jawa tengah oleh Agustin
(2007), pendugaan tempat-tempat yang menarik untuk melihat lutung
abu/rekrekan sebagai obyek daya tarik wisata alam di Taman Nasional
Gunung Merbabu oleh Haryoso (2011) penggunaan habitat oleh rekrekan di
lereng Gunung Slamet Jawa Tengah oleh Fitria (2012) dan survei distribusi
dan populasi rekrekan di Taman Nasional Gunung Merbabu oleh Handayani
(2013).
Rincian penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan tema
tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Penelitian yang terkait dengan tema
No
Nama dan
Judul
Penelitian
Tahun Metode
Penelitian
Hasil
penelitian Keterangan
1 2 4 5 6 1 Setiawan, dkk/
populasi dan
distribusi
rekrekan di lereng
selatan Gunung
Slamet Jawa
Tengah
2007 Metode : Line
taransect method
(Buchland
et.al.,1993); analisis
& estimasi populasi
menggunakan
pendekatan
perpendiculars
distance dalam
program komputer
DISTANCE 5.0
Estimasi
populasi di
lereng selatan
Gunung Slamet
(36,6559 m2)
adalah 219
individu dengan
kepadatan 5,96
individu/km2
Biodiversitas
volume 8 nomor
4
2 Agustin/
karakteristik
habitat rekrekan
di lereng timur
Gunung Slamet
Jawa tengah
2007 Untuk mengetahui
habitat mikro dan
makro digunakan
metode poit centered
quarter method
Analisis data :
Habitat mikro :
jenis pohon
pakan & cover
didominasi
pohon anggrung
(Trema
Skripsi Fakultas
Kehutanan
UGM
26
Analisis deskriptif
kuantitatif
orientale), jenis
pakan non
pohon
didoninasi
pandan
(Pandanus
amboniensi)
Habitat makro
di dominasi
pohon panggang
(Travesia
sundaica), non
pohon
didominasi siri-
sirihan (Piper)
3 Haryoso /
pendugaan
tempat-tempat
yang menarik
utuk melihat
rekrekan/rekrekan
sebagai obyek
daya tarik wisata
alam di Taman
Nasional Gunung
Merbabu
(TNGMb)
2011 Pengamatan visual
dengan metode Berau
of Land Management
pada tiga alternative
jalur (Bundas,
Nggancik dan Jurang
Bangke
Keberadaan
rekrekan pada
TNGMb di
Blok Pandean
& Nglorokan;
alternative
jalusr wisata
satwa liar yang
dipilih adalah
jalur jurang
bangke
Tesis Fakultas
Kehutanan
UGM
4 Fitria /
penggunaan
habitat oleh
rekrekan di lereng
gunung Slamet
Jawa Tengah
2012 Level lanskap ;
variable diinterpretasi
dengan data SIG &
dianalisis dengan
analisis geostatik;
level homerange
dengan mengikuti
pola pergerakan
harian (daily range).
Kharakteristik habitat
dengan metode jalur
untuk jenis tumbuhan
pohon saja; level
habitat mikro; metode
animal centered
method (untuk
mendata
kharakteristik habitat)
& frequency of
accurance (untuk
mendata sumber
pakan)
Karakteristik
Habitat
rekrekan di
gunung Slamet
: a) Level
landskap, pada
hutan primer &
sekunder, hutan
tanaman, kebun
campuran,
elevasi 644-
2024 mdpl,
lebih menyukai
lereng selatan;
b) level
homerange,
diameter pohon
38-51 cm,
tinggi 15-25 m,
jumlah jenis
23-81
keragaman
jenis 2,98-4,15;
c) level site
spesifik,
koposisi pakan
81, 65 %,
pucuk daun
muda, 2,79%,
daun tua,
6,70% buah,
4,83 % biji 0,29
cendawan
Disertasi
Fakultas
Kehutanan
UGM
Lanjutan Tabel 2.
27
5 Handayani /
Survei on
distribution and
population of the
Javan Grizzled
Langur at Mount
Merbabu National
Park
2013 Population data will
be collected with
distance sampling
method following
transect line. Each
group will be
indentified by age
and split as adult,
sub adult, juvenile
and infant
Primate group
distribution wil be
mapped using GIS
applications
Habitat type used
by javan langur will
collected using
Nested sampling,
by marking
sampling plot 20 x
20 meter for tree,
10 x 10 meters for
sampling
Skripsi Fakultas
Kehutanan
UGM
C. Kerangka Berpikir
Taman Nasional Gunung Merbabu mempunyai arti penting bagi
daerah sekitarnya, baik dari segi ekologis, ekonomis, sosial budaya dan
sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan. Sebagai habitat bagi flora
dan fauna rekrekan (Presbytis fredericae) merupakan satwa endemik di
Taman Nasional Gunung Merbabu kondisi saat ini mengalami penurunan
habitat baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan terjadi akibat
disebabkan oleh kerusakan habitat akibat terjadinya kebakaran hutan dan
rendahnya suber pakan yang tersedia di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu yang berimplikasi pada penurunan keanekaragaman
hayati dan ekosistem rekrekan (Presbytis fredericae) yang merupakan salah
satu jenis primata endemik Taman Nasional Gunung Merbabu.
Spesies ini dikategorikan International Union for the Conservation of
Nature (IUCN) dalam status genting (endangered) dan terancam punah
sehingga perlu upaya-upaya konservasi untuk pelestariannya. Rekrekan
merupakan jenis primata pemakan buah dan biji-bijian, mereka berperan
Lanjutan Tabel 2.
28
dalam penyebaran biji-bijian/benih (seed dispersal), keseimbangan dan
kelestarian ekosistem hutan.
Penelitian terhadap Rekrekan (Presbytis fredericae) merupakan upaya
Pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta menjaga nilai
konservasi tingkat tinggi (high value conservation) terhadap potensi
keanekaragaman hayati, perlindungan fungsi hidro-orologi, dan potensi
pariwisata alam. Jika digambarkan dalam kerangka berpikir adalah
sebagai berikut :
.
Terjadinya Alih
Fungsi Lahan Tingkat Keanekaragaman Hayati Taman
Nasional Gunung Merbabu (TNGMb)
Inventarisasi
1. Jumlah rekrekan
2. Variasi vegetasi
3. Kegiatan masyarakat disekitar
hutan
Bencana Alam
Perburuan Liar Reproduksi yang
lambat
Gambar 2. Alur Kerangka Berpikir
Perubahan Kondisi Biofisik TNGMb
1. Penurunan populasi rek-rekan
2. Penurunan keanekaragaman hayati
Penelitian
1. pengelolaan rekrekan dan upaya
pelestarianya
2. Tingkat keanekaragaman vegetasi
3. Tingkat kepedulian penduduk
terhadap rekrekan
Mendapatkan
1. Pengelolaan rekrekan
2. Keanekaragaman vegetasi
3. Peran serta masyarakat
Pengelolaan Habitat Rekrekan dan
Rekomendasi