bab ii

Upload: laksita-barbara

Post on 10-Jul-2015

611 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Skizofrenia Definisi dan Epidemiologi Skizofrenia Skizofrenia merupakan penyakit otak yang menimbulkan gejala psikotik

(Stuart, 2002) dimana terdapat gangguan pada pikiran, persepsi, perilaku termasuk gerakan, dan juga pada emosi termasuk afeknya. (Doenges, dkk, 1995 & Vedebeck, 2001). Penyakit ini banyak terjadi pada usia remaja akhir hingga dewasa (Vedebeck, 2001) dimana 90% onset penderitanya terjadi pada usia antara 15-55 tahun (Kaplan, 2010). Epidemiologi pada perempuan dan laki-laki tidak berbeda jauh, namun onset pada laki-laki lebih awal dari pada perempuan. (Kaplan, 2010). 2.1.2 Faktor Predisposisi dan Presipitasi Skizofrenia Banyak teori yang mengemukakan tentang berbagai etiologi skizofrenia. Namun, penyakit ini tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi melainkan gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor biologis maupun psikososial. Satu faktor mungkin muncul sebagai faktor predisposisi dan mungkin juga onset belum bermula. Namun, dengan adanya faktor lain sebagai presipitasi, gejala dapat muncul sebagai manifestasi dari penyakit tersebut, dan dapat juga semakin berat dengan dukungan dari faktor yang lain (Vedebeck, 2001). Faktor predisposisi meliputi biologis, psikologis, dan sosiokutural dan lingkungan. Faktor biologis dari skizofrenia meliputi berbagai gangguan dalam fungsi dan anatomi otak, neurotransmitter, 5 maupun faktor genetik.

6

Perkembangan teknologi berbagai pencitraan otak telah mengungkap gangguan pada anatomi otak penderita skizofrenia. Dari pencitraan Computed Tomograph (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ditemukan adanya pengecilan volume otak pada pasien skizofrenia dan atrofi lobus frontal, cerebelum, dan limbik. Sedangkan pencitraan melalui Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan aliran darah ke lobus frontal yang menyebabkan gangguan pada perhatian, perencanaan, dan pembuatan keputusan (Stuart & Laraia, 2006). Selain itu, gangguan pada sistem limbik yang secara normal berfungsi untuk mengendalikan emosi, dan juga gangguan pada ganglia basalis mengakibatkan gangguan atau keanehan pada pergerakan termasuk gaya berjalan, ekspresi wajah facial grimacing, termasuk gangguan gerakan diskinesia tardive yang merupakan efek samping pengobatan (Kaplan, 2010). Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan

dopaminergik (Kaplan, 2010). Terdapat empat fungsi dopamin dalam otak: (1). Mesokortikal: menginervasi lobus frontal dan berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial, menahan diri, dan aktifitas kognisi tingkat tinggi. Gangguan pada fugsi ini mengakibatkan gejala negatif; (2). Mesolimbik: menginervasi sistem limbik dan fungsinya berhubungan dengan memori, indera pembau, efek viseral automatis, dan

7

perilaku emosional. Gangguan pada fungsi ini mengakibatkan gejala positif; (3). Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan

memproyeksikan pada pituitari. Fungsi dopamin disini mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus, fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin. (4). Nigrostriatal: berfungsi menginervasi sistem motorik dan

ekstrapiramidal. Obat- obatan antipsikotik juga mempengaruhi fungsi ini yaitu gangguan pada pergerakan. (Stuart & Laraia, 2005) Pada aspek biologis lain, hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap terjadinya scizophrenia dimana terjadi peningkatan risiko pada kembar identik atau monozigotik (Stuart, 2002 & Kaplan, 2010). Risiko pada kembar identik yang salah satunya menderita skizofrenia adalah 50%. Anak yang salah satu orang tuanya menderita skizofrenia, mempunyai risiko 15 % dan meningkat menjadi 35% jika kedua orang tuanya menderita skizofrenia (Vedebeck, 2001). Selain faktor biologis, faktor psikososial juga turut berpengaruh dalam munculnya gejala skizofrenia. Faktor psikologis yang dapat menyebabkan munculnya skizofrenia diantaranya adanya konflik keluarga, dan gagalnya beberapa tahap perkembangan. Sedangkan yang dapat memperberat gejala skizofrenia adalah stres yang terus menerus (Stuart, 2002) dimana stres tersebut dapat berasal dari diri sendiri, yaitu faktor sikap/ perilaku dan kesehatan. maupun

8

lingkungannya termasuk keluarga. Kaplan mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari keluarga dan pola dukungan di dalamnya terhadap tejadinya skizofrenia. Sedangkan faktor sosial yang dapat memperparah atau mempercepat onset skizofrenia diantaranya lingkungan industri dan urbanisasi (Kaplan, 2010). Selain itu, kemiskinan, isolasi sosial, lingkungan yang kritis, stigmatisasi, tekanan pekerjaan, dan kesulitan hubungan interpersonal juga diidentifikasi sebagai faktor sosial yang dapat memicu munculnya gejala skizofrenia (Stuart & Laraia, 2005). 2.1.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia Gejala yang muncul pada penderita schizphrenia meliputi gejala yang melibatkan gangguan berpikir, persepsi, perilaku, dan afek maupun emosi. Masalah kognitif yng terjadi dapat meliputi gangguan memori yaitu kesulitan mengingat, gangguan perhatian, bentuk dan isi bicara, pengambilan keputusan, dan isi pikir (Stuart, 2002). Gangguan isi pikir dapat meliputi waham atau delusi, yaitu keyakinan palsu tanpa dasar atau tidak sesuai dengan latar belakang (Brooker, 1997). Gejala yang berhubungan dengan gangguan persepsi dapat berupa halusinasi, ilusi, dan ganguan pada sensori kulit, serta hilangnya kemampuan untuk mengidentifikasi wajah. Halusinasi yang terjadi pada pasien skizofrenia umumya berupa halusinasi auditori, yaitu mendengar suara yang tidak nyata atau berasal dari dalam tubuhnya (Yosep, 2007 & Maslim, 2003). Adanya halusinasi ataupun delusi mengakibatkan adanya keanehan terhadap perilaku penderita skizofrenia. Halusinasi yang dirasakan mengganggu oleh penderita atau membuatnya takut, akan memicu perilaku agresi dan direprentasikan dengan perilaku kekerasan terhadap diri sendiri maupun orang

9

lain. Keanehan atau gangguan perilaku yang dapat terjadi diantaranya perilaku katatonik yang ditandai dengan keadaan gaduh gelisah dan postur tubuh tertentu yang dipertahankan (Maslim, 2003). Gangguan kognitif, persepsi, dan perilaku di atas digolongkan ke dalam gejala positif, yaitu gejala yang tidak terdapat pada orang normal (Barker, 2009 & Yosep, 2007). Penderita skizofrenia juga mengalami emosi tumpul atau datar

mengakibatkan ekspresi yang kurang, baik pada ekspresi wajah maupun gerakan, namun dapat juga berupa hiperekspresi (Yosep, 2007 & Stuart, 2002). Gejala yang lain adalah hilangnya minat dan kepedulian dan kurangnya energi sehingga berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan diri. Gejala ini digolongkan ke dalam gejala negatif di mana pada kondisi normal seharusnya terdapat kemampuan yang tidak dimiliki penderita skizofrenia (Barker, 2009 & Yosep, 2007). Kriteria gejala yang menjadi syarat ditegakkannya diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ- III antara lain: 1. Harus ada sedikitnya satu atau dua gejala: a. thought echo (isi pikiran sendiri yang bergema), thought insertion or withdrawal (isi pikiran asing yang masuk atau isi pikirannya diambil keluar), dan thought broadcasting (isi pikiran tersiar ke luar) b. delusi atau waham, dapat berupa delusion of control, influence, passivity, dan perception. c. Halusinasi auditorik d. Waham menetap jenis lain 2. Atau paling sedikit dua diantara gejala:

10

a. Halusinasi menetap dari pancaindera apa saja b. Arus pikiran terputus atau mengalami sisipan c. Perilaku katatonik d. Gejala-gejala negatif 3. Gejala-gejala tersebut menetap dalam kurun waktu satu bulan atau lebih. (Maslim, 2003) Halusinasi pada pasien skizofrenia yang merupakan gejala dominan dapat menyebabkan pasien merasa terancam. Ancaman tersebut berupa ancaman tidak nyata yang dirasakan oleh pasien sendiri, misalnya halusinasi auditorik berupa bisikan-bisikan untuk menyakiti orang lain. Respon terhadap ancaman tersebut dapat menyebabkan pasien melakukan kekerasan sebagai bentuk proteksi dirinya. Begitupun waham terutama waham dikejar-kejar yang direspon oleh pasien berupa perilaku kekerasan. 2.1.4 Tipe- Tipe Skizofrenia Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Ganguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia, berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-tiga (DSM- III) terdapat sembilan tipe skizofrenia: 1. Skizofrenia Paranoid: Tipe skizofrenia dengan ciri menonjol berupa halusinasi suara ancaman atau memberi perintah, bunyi peluit,

mendengung atau bunyi tawa, adanya waham khas yaitu waham dikendalikan atau dikejar-kejar. 2. Skizofrenia hebefrenik: Tipe skizofrenia yang onsetnya bermula pada usia 15 25 tahun. Gejala yang menonjol adalah gangguan afektif, dorongan kehendak, dan gangguan proses pikir, serta perilaku tanpa tujuan (aimless).

11

3. Skizofrenia katatonik: Tipe Skizofrenia yang memenuhi satu atau lebih gejala stupor atau mutisme, gaduh-gelisah, menampakkan posisi tertentu, negativisme, rigiditas, fleksibilitas cerea, command automatism, dan pengulangan kata-kata. 4. Skizofrenia tak terinci: Tipe skizofrenia yang tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, hebefrenik, katatonik, residual, maupun depresi pascaskizofrenia. 5. Depresi pasca-skizofrenia: Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir dengan beberapa gejala yang masih ada dan gejala depresif menonjol paling sedikit dua minggu. 6. Skizofrenia residual: Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, adanya riwayat paling tidak satu episode psikotik, sudah melampaui waktu sedikitnya satu tahun, tidak terdapat dementia atau penyakit otak organik lain. 7. Skizofrenia simpleks: Gejala negatif skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna. 8. Skizofrenia lainnya 9. Skizofrenia yang tidak tergolongkan (Maslim, 2003) 2.2 2.2.1 Kemarahan, Agresi, dan Kekerasan Definisi Kemarahan, Agresi, dan Kekerasan Kemarahan. agresi, dan kekerasan saling berkaitan. Pada dasarnya, kemarahan merupakan emosi yang normal yang diinduksi oleh adanya ancaman dan merupakan emosi yang tidak menyenangkan (Barker, 2009 & Vedebeck,

12

2001). Kemarahan jika diekspresikan secara tidak tepat, dapat menjadi hal yang negatif, diantaranya dapat menimbulkan agresi. Agresi merupakan perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik secara verbal maupun fisik (Kaplan, 2010 & Yosep, 2017). Agresi juga bisa berkembang menjadi perilaku kekerasan yang merupakan respon terhadap stresor berupa penggunaan tenaga atau kekuatan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun lingkungan dan juga dilakukan dalam bentuk kekerasan psikologis maupun fisik (Keliat, 2007, Barker, 2009, & Yosep, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan perilaku kekerasan baik secara fisik maupun psikologis yang masih dapat dikendalikan dan dapat berawal dari kemarahan yang tidak direspon secara adaptif. Ketika agresi tersebut tidak dapat dikendalikan dan menjadi sangat kuat, maka perilaku kekerasan yang dilakukan dapat berbahaya terhadap lingkungan dan diri sendiri. 2.2.2 Rentang Respon Kemarahan Rentang respon kemarahan sendiri dimulai dari respon adaptif hingga maladaptif. Respon adaptif dapat dicapai ketika individu mampu mengatasi kemarahan dengan cara asertif. Namun, ketika seseorang tidak mampu berespon secara normal, dapat terjadi agresi dan perilaku kekerasan. (Yosep, 2007)

Respon Adaptif Asertif Frustasi Pasif Agresif

Respon maladaptif Kekerasan

Gambar 2.1 Rentang respon Kemarahan (Yosep, Keperawatan Jiwa: 248, 2007)

Pada respon asertif, seseorang mampu berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan norma dimana mereka dapat menunjukan penghargaan mereka

13

terhadap orang lain. Respon pasif menunjukkan pembicaraan yang negatif dimana sesorang akan merendahkan hak mereka di bawah orang lain. Kebalikan dari respon pasif, pada respon agresif seseorang tidak akan memperdulikan hak orang lain dan mereka berasumsi bahwa mereka harus melawan untuk memperjuangkan minat mereka. (Stuart & Laraia, 2006) 2.2.3 Etiologi Perilaku Kekerasan Terjadinya perilaku kekerasan melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi. Etiologi tersebut meliputi faktor biologis, psikologis dan sosiokultural. Faktor biologis yang terlibat dapat berasal dari faktor neurologik yang berperan dalam menghambat ataupun menghantarkan rangsang dan diperankan oleh neurotransmiter yaitu dopamin, serotonin, asetilkolin,

epinefrin.dan norepinefrin, maupun oleh sistem limbik, fungsi lobus frontal dan temporal (Vedebeck, 2001 & Yosep, 2007). Sistem limbik berkaitan dengan pengendalian, ekspresi emosi, dan perilaku. Kelainan pada sistem ini dapat menyebabkan gangguan penilaian, pembuatan keputusan, dan perilaku agresif. Lobus frontal berperan dalam perilaku yang bertujuan dan pemikiran logis. Adanya kerusakan pada sistem ini menyebabkan ketakutan, kemarahan. Hipotalamus berperan sebagai sistem alarm dan kontrol pituitari, dimana gangguan pada bagian ini akan menyebabkan respon berlebihan terhadap stres. (Stuart & Laraia, 2006) Faktor psikososial yang terlibat dalam memunculkan perilaku kekerasan antara lain kegagalan dalam perkembangan pada masa bayi maupun todler. Kegagalan dalam perkembangan ini menyebabkan anak mersa kurang mendapat kasih sayang dan kurang dalam pengendalian diri maupun harga diri yang rendah. Lingkungan juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap

14

perilaku kekerasan yang dilakukan oleh seseorang. Perilaku kekerasan dapat ditiru dan dipelajari dari lingkungan sejak masa anak-anak yang ahirnya menjadi perilaku yang dibawa hingga dewasa. Faktor kultural tertentu dapat menimbulkan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku kekerasan, seperti budaya berebutan, masyarakat yang terbiasa dengan perilaku kasar, dan cara bicara yang kasar dan bernada tinggi (Yosep, 2007). 2.2.4 Tanda Dan Gejala Perilaku Kekerasan Perilaku yang berkaitan dengan agresi menurut Stuart dan Laraia (2006) terdiri dari empat aspek. Pertama adalah agitasi motorik dimana penderita selalu berjalan dan tidak mampu untuk duduk diam, rahang mengatup, tangan mengepal, respirasi meningkat, dan penghentian aktivitas secara tiba-tiba. Aspek kedua adalah verbalisasi yang berupa ancaman verbal kepada objek yang nyata maupun tidak, sikap minta perhatian, bicara keras dan menekan, dan tandatanda delusi atau pemikiran paranoid. Sedangkan pada afek terdapat kemarahan, permusuhan, kecemasan berlebih, iritabilitas, uforia berlebih, dan afek labil. Aspek terakhir adalah tingkat kesadaran dimana terjadi konfusi, perubahan mendadak pada status mental, disorientasi, dan gangguan memori, dan ketidakmampuan untuk diarahkan kembali. (Stuart & Laraia, 2006) Yosep (2007) membagi tanda dan gejala perilaku kekerasan menjadi delapan aspek yang dapat diobservasi. Aspek-aspek tersebut meliputi gejala fisik, verbal, perilaku, emosi, intelektual, spiritual, sosial, dan perhatian. Gejala fisik meliputi muka merah atau tampak tegang, pandangan tajam, tangan mengepal, dan rahang mengatup kuat. Aspek verbal yang dapat diamati meliputi bicara kasar, suara tinggi, membentak, atau berteriak, mengancam atau mengumpat. Perilaku yang ditunjukan pada perilaku kekerasan dapat berupa

15

melempar atau memukul orang lain, dan merusak barang di sekitarnya. (Keliat, dkk, 2007 & Yosep, 2007) 2.2.5 Fase-Fase Perilaku Kekerasan Terdapat acuan yang digunakan untuk mengkategorikan agresifitas pasien dengan gangguan jiwa menjadi fase-fase yang dapat diidentifikasi. Siklus agresi ini dibagi menjadi lima fase, yaitu pemicu, ekskalasi, krisis, pemulihan, dan pascakrisis. (Vedebeck, 2001) Tabel 2.1 Fase Siklus AgresiFase Pemicu Definisi Peristiwa terjadi atau keadaan lingkungan memunculkan respon klien yang sering kali dalam bentuk kemarahan atau permusuhan. Respon klien menunjukkan peningkatan perilaku yang mengindikasikan pergerakan menuju kehilangan kendali. Tanda, Gejala, dan Perilaku Gelisah, ansietas, iritabilitas, berjalan mondar-mandir, otot tegang, pernapasan cepat, berkeringat, suara keras, marah. Wajah pucat atau kemerahan, berteriak, bersumpah, agitasi, mengancam, menuntut, mengepalkan tangan, gestur mengancam, menunjukkan sikap bermusuhan, kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau berpikir jernih. Kehilangan kendali fisik dan emosional, melemparkan bendabenda, menendang, memukul, meludah, menggigit, mencakar, menjerit, memekik, tidak mampu berkomunikasi dengan jelas. Merendahkan suara, ketegangan otot berkurang, komunikasi lebih jelas dan lebih rasional, relaksasi fisik. Menyesal, meminta maaf, menangis, perilaku menarik diri.

Ekskalasi

Krisis

Periode krisis emosional dan fisik ketika klien kehilangan kendali.

Pemulihan

Klien memperoleh kembali kendali fisik dan emosional.

Pascakrisis

Klien berusaha memperbaiki hubungan dengan orang lain dan kembali ke tingkat fungsi sebelum insiden agresi dan kembali seperti semula.

Sumber: Vedebeck, S. L. 2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

16

2.2.6

Tindakan Keperawatan Perilaku Kekerasan Tindakan Keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan

diimplementasikan dari sebuah rentang intervensi. Rentang tersebut dimulai dari strategi pencegahan, strategi antisipasi, dan strategi pengekangan. ( Stuart & Laraia, 2006)

Strategi Pencegahan Self-awareness Pendidikan pasien Latihan asertif

Strategi Antisipasi Komunikasi Perubahan ingkungan Tindakan berperilaku Psikofarmakologi

Strategi Pengekangan Manajemen krisis Seklusi Restrain

Gambar 2.2 Rentang intervensi keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan (Stuart & Laraia, Principles and Practice of Psichiatric Nursing: 639, 2006)

Pada strategi pencegahan, implementasinya antara lain self-awareness yaitu proses memahami seseorang kepercayaan, dan mengenali pemikiran, bagaimana motivasi, itu bias, dan dapat

keterbatasan

semua

mempengaruhi orang lain (Boyd, 2008). Strategi ini juga berisi tentang pendidikan pasien dimana pasien diajarkan untuk mengekspresikan kemarahan dengan tepat sehingga tidak terjadi perilaku kekerasan. Selain itu, latihan asertif juga dilakukan yakini meliputi latihan komunikasi, berkata tidak, mengungkapkan keberatan, dan mengekspresikan penghargaan dengan benar. Tahap kedua pada rentang intervensi keperawatan adalah strategi antisipasi. Komunikasi adalah aspek penting yang bisa diimplikasikan perawat dalam mencegah perilaku kekerasan oleh pasien. Perawat berkomunikasi dengan tenang dan nada suara yang rendah dengan pasien serta berusaha

16

memahami apa yang pasien rasakan. Selain itu, modifikasi lingkungan juga dapat membantu mencegah munculnya perilaku kekerasan diantaranya penerapan norma dan penghargaan. Strategi perilaku yang dapat diimplikasikan antara lain menetapkan batasan perilaku dan kontrak. Penggunaan obat-obatan juga bisa dijadikan implikasi dalam rentang ini, seperti anticemas, antidepresan, ataupun antipsikotik. Ketika kemarahan pasien tidak berhasil dikendalikan atau strategi pencegahan dan antisipasi tidak berhasil membuat pasien tenang sehingga muncul perilaku kekerasan, maka perlu dilakukan strategi pengekangan diantaranya manajemen krisis, seklusi dan restrain. Prosedur manajemen krisis antara lain: (1) Identifikasi ketua tim (2) Bentuk tim krisis (3) Beritahu petugas keamanan jika dibutuhkan (4) Pindahkan semua pasien dari area (5) Siapkan restrain (6) Buat rencana untuk mengelola krisis dan informasikan kepada tim (7) Tugaskan anggota tim untuk mengamankan sendi-sendi pasien (8) Jelaskan manfaat tindakan kepada pasien dan coba minta kerjasamanya (9) Restrain pasien jika ketua tim menginstruksikan (10) Berikan obat jika diresepkan (11) Jaga pendekatan tetap lembut dan konsisten kepada pasien (12) Review intervensi manajemen krisis dengan tim (13) Proses kejadian dengan pasien lain jika diperlukan (14) Proses kejadian dengan pasienIntegrasikan pasien secara bertahap kepada lingkungan pergaulannya. 2.3 Strategi Pelaksanaan Perilaku Kekerasan Sejak bencana Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam, dikembangkan sebuah model praktik keperawatan yang mengedepankan sistem piramida dalam pelayanan kesehatan. Model tersebut dinamakan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Pada tahun 2005, model tersebut diterapkan pertama kali

17

oleh Sitorus di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) kemudian diadaptasi kedalam praktik keperawatan jiwa dimana terdapat empat pilar yang mendasari model ini, diantaranya manajemen, kompensasi dan penghargaan, hubungan profesional, dan asuhan keperawatan. (Keliat, dkk, 2007) Asuhan keperawatan sendiri dalam implementasinya disusun sebagai sebuah strategi terhadap masing-masing respon individu yang mengalami gangguan. Untuk asuhan keperawatan dasar, terdapat tujuh diagnosa pada pasien gangguan mental. Diagnosa tersebut antara lain: (1) Harga diri rendah, (2) Isolasi sosial, (3) gangguan persepsi sensori: halusinasi, (4) Gangguan proses berpikir, (5) Risiko perilaku kekerasan, (6) Risiko bunuh diri, dan (7) Defisit Perawatan diri. Strategi pelaksanaan ini diimplementasikan untuk pasien dan juga keluarga. 2.3.1 Tujuan Strategi Pelaksanaan Perilaku Kekerasan Strategi pelaksanaan pengendalian perilaku kekerasan terdiri dari lima SP untuk pasien dan tiga SP untuk keluarga. Keliat, dkk pada tahun 2007 memaparkan strategi pelaksanaan yang diintervensikan dengan tujuan umum klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan secara fisik, sosial dan verbal, spiritual, dan terapi psikoformatika. Sedangkan tujuan khususnya antara lain: 1) Klien dapat membina hubungan saling percaya 2) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan 3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan 4) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dapat dilakukan 5) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

18

6) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan 7) Klien dapat mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan 8) Klien dapat memasukkan latihan ke dalam jadwal kegiatan harian. 2.3.2 Teknik Strategi Pelaksanaan Perilaku Kekerasan Strategi pelaksanaan perilaku kekerasan yang diimplikasikan untuk pasien terdiri dari lima strategi pelaksanaan yang dilakukan dalam lima sesi. Strategi pelaksanaan tersebut antara lain: Strategi Pelaksanaan I: menjalin hubungan terapeutik saling percaya, membantu klien untuk mengetahui penyebab yang biasanya membuat pasien marah dan melakukan kekerasan, membantu klien mengenali gejala marah dan mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasanya dilakukan, akibat dari perilaku kekerasan tersebut, dan mengajari klien mengendalikan kemarahan melalui nafas dalam. Strategi Pelaksanaan II: mengevaluasi kemampuan pasien dalam mengendalikan kemarahan melalui nafas dalam dan mengajarkan klien mengendalikan perilaku kekerasan melalui cara katarsis yaitu memukul bantal atau kasur. Strategi pelaksanaan III: mengevaluasi kekerasan kemampuan cara klien katarsis dalam dan

mengendalikan

perilaku

dengan

mengajarkan klien mengendalikan perilaku kekerasan melalui latihan verbal asertif, diantaranya cara menolak dengan baik, meminta dengan baik, dan mengungkapkan perasaan dengan baik. Strategi pelaksanaan IV: mengevaluasi kemampuan pasien dalam mengendalikan perilaku kekerasan melalui kegiatan spiritual yaitu ibadah dan doa.

19

-

Strategi pelaksanaan V: mengevaluasi kemampuan pasien dalam mengendalikan perilaku kekerasan melalui kegiatan spiritual dan mengajarkan klien untu meminum obat dengan benar dan teratur serta menjelaskan pentingnya minum obat dan akibat dari putus obat. Setiap sesi strategi pelaksanaan terdiri dari fase orientasi, kerja, dan

terminasi. Sebelum sesi dimuai, terlebih dulu dibuat laporan pendahuluan yang berisi rencana keperawatan termasuk strategi komunikasi. Fase orientasi terdiri dari salam terapeutik, evaluasi atau validasi, dan kontrak topik, waktu, dan tempat. Fase kerja merupakan fase implementasi strategi pelaksanaan dan dilanjutkan dengan fase terminasi yang terdiri dari evaluasi respon klien, tindak lanjut dari strategi yang telah dilatih, dan kontrak untuk melakukan pertemuan selanjutnya. Pada setiap akhir sesi, pasien dibantu untuk membuat jadwal latihan teknik yang telah diajarkan. Pada jadwal yang telah dibuat, pasien diminta untuk mengisi tanda jika latihan telah dilakukan atau belum dilakukan. Tanda M diberikan jika pasien melakukan latihan secara mandiri, tanda B jika pasien melakukan latihan dengan bantuan perawat atau orang lain atau diingatkan terlebih dulu, dan tanda T jika pasien tidak melakukan latihan.