bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/s1...adapun sektor privat...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
a. Aktualitas
Di tengah keterbatasan negara, peran kolektif masyarakat dipercaya mampu
mengatasi berbagai persoalan di level mikro (individu dan komunitas).
Keberadaannya mampu mendorong perubahan sikap mental dalam tubuh masyarakat
untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya pada peran pemerintah. Upaya ini
menjadi alternatif penyangga bagi sistem kesejahteraan sosial di Indonesia. Peran
masyarakat secara kolektif salah satunya diwujudkan dengan berderma. Derma
menjadi tradisi turun temurun yang telah melekat dalam berbagai budaya masyarakat.
Tradisi derma merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran setiap agama.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama islam, memiliki akar tradisi
derma yang berasal dari tradisi religius. Islam mengajarkan derma melalui zakat,
infak, shadaqah dan wakaf (ZISWAF) yang telah mengakar dalam masyarakat
sebagai wujud kesalehan sosial. Tradisi ini lahir dengan berbagai motif yang
kompleks sebagai ekspresi hubungan antara pemberi dan penerima derma.
Lahirnya lembaga filantropis mendorong berkembangnya budaya derma menjadi
budaya filantropisme. Salah satu yang tengah berkembang adalah filantropi islam
melalui akumulasi potensi ZISWAF. Merebaknya lembaga filantropi islam
merupakan respon aktual para pengelolanya dalam menghadapi masalah sosial yang
2
ada di sekitarnya, selain itu ini juga sebagai respon atas besarnya potensi dana
masyarakat yang mampu digalang. Dalam penelitian ini dua lembaga yang diteliti
adalah Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa.
b. Orisinilitas
Ada banyak penelitian dan bahan bacaan terkait peran Filantropi Islam yang
mendahului penelitian ini, diantanya sebagai berikut :
Syam Fikri Ghadafi (2004)1, menekankan pada peran zakat untuk
pemberdayaan masyarakat berbasis Community Development. Zakat dilihat sebagai
sumber daya potensial untuk mendorong perubahan di masyarakat dengan mangacu
yang dilakukan di Malaysia dan Singapura. Keterlibatan pemerintah meregulasi zakat
mampu menjadikannya sebagai modal memecahkan masalah sosial. Di Indonesia
permasalahan tentang zakat lebih komplek. Potensi zakat yang lebih besar tidak
dikelola dengan regulasi yang tegas. Zakat masih dikelola secara parsial oleh banyak
stackholder, baik pemerintah, civil society hingga korporasi. Masih banyak lembaga
pengelola zakat yang belum professional, pengurusnya sebatas formalitas, tidak
memiliki skill dan komitmennya yang rendah. Di tengah situasi ini muncul lembaga-
lembaga zakat professional untuk mengelola zakat melalui community development.
Adapun dari segi program masih terbagi dua: bersifat community development dan
karikatif.
1Syam Fikri Ghadafi, 2004, Peran Zakat dalam Kerangka Community Development (Studi Tentang Peran Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta), Skripsi Ilmu Sosiatri: FISIPOL UGM
3
Tetin Oktariani (2011)2, menyoroti peranan Muhammadiyah sebagai third
sector. Salah satu temuan menariknya adalah adanya transformasi Muhammadiyah
yang awalnya lahir dari gerakan masyarakat dengan mengandalkan penggalangan
dana filantropi, kini ketika kapasitas pelayanannya semakin membesar
Muhammadiyah justru berusaha memenuhi kebutuhan pendanaan layananan
pendidikan dan kesehatannya melalui dua strategi. Pertama, strategi politik untuk
mendekat ke pemerintah melalui koneksifitas kadernya untuk bisa membantu
mengalirkan dana bantuan pemerintah. Kedua, strategi pasar, Muhammadiyah
berubah menjadi setengah pasar dengan mengandalkan pemenuhan kebutuhan
layanan kesehatan dan pendidikannya dari penjualan jasa kepada masyarakat.
Hilman Latief (2010)3, menyoroti filantropi dalam tubuh persyarikatan
Muhammadiyah yang menunjukan kompleksitas gerakan kesejahteraannya.
Muhammadiyah yang selama ini banyak amal usaha yang tersebar luas di seluruh
nusantara mulai berupaya mengelola filantropi modern. Muhammadiyah mengalami
banyak masalah kelembagaan untuk mengelola filantropi modernya secara tersentral.
Proses penggalangan dana sudah berlangsung secara masif di akar rumput dengan
mengandalkan jalur lembaga amil zakat milik amal usaha (sekolah, universitas,
2 Tetin Oktariani, 2011, Eksistensi Layanan Pendidikan dan Kesehatan Muhammadiyah (Studi tentang Keterlibatan Third Sector dalam Pelayanan Publik), Skripsi Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan: FISIPOL UGM 3Hilman Latief, 2013, Melayani Umat (Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis), Jakarta : Gramedia
4
rumah sakit, bank, dll) dan melalui struktur pengurus dari tingkat ranting (desa /
dusun) sampai pusat (nasional).
Suparjan (2010)4, melihat peran negara dianggap gagal membangun sistem
sosial, ekonomi dan politik yang memberikan semua warga negara akses yang
memadai untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Dalam merespon situasi itu
penggalangan dana masyarakat dianggap bisa menjadi buffer zone bagi pelayanan
sosial. Penelitian ini melihat peran LAZIS Tsalasatul Kharimah di desa Sendang
Agung, Minggir, Sleman. LAZIS TK mendorong kolektivitas masyarakat akar
rumput, tetapi juga berprinsip pada pengelolaan yang professional. Perannya cukup
maksimal dalam mendorong program-program pengentasan kemiskinan. Hasil
penelitian menunjukan efektifitas lembaga ini dibandingkan dengan birokrasi
pemerintah sehingga publik memberikan kepercayaan penuh dan merasakan manafaat
langsung dari keberadaannya.
Dalam karyanya yang lain Hilman Latief (2013)5, menyoroti kompleksitas
filantropi islam di tengah kontestasi negara, pasar dan masyarakat sipil. Ketiga sektor
tersebut berkontestasi memainkan peran distribusi kesejahteraan. Negara dilihat
sebagai aktor yang pragmatis dengan melakukan pendekatan struktural untuk
berusaha memobilisasi penggalangan dana ZISWAF dari komunitas muslim,
4 Suparjan, 2010, Jaminan Sosial Berbasis Komunitas : Respon atas Kegagalan Negara dalam Penyediaan Jaminan Kesejahteraan mengangkat kegagalan peran negara dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada masyarakat, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 13 No 3, Maret 2010 5 Hilman Latief, 2013, Politik Filantropi Islam di Indonesia (Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil), Yogyakarta: Ombak
5
utamanya para pegawai aparatur pemerintahan. Di sisi lain masyarakat sipil
meresponnya dengan menunjukan kredibilitas dirinya untuk berhadapan dengan
otoritas yang diperankan negara. Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam
sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah muslim) untuk
menunjukan kontribusi sosial kolektif.
Penelitian di atas sangat bermanfaat sebagai titik pijak bagi lahirnya penelitian
ini. Kebaruan dari penelitian ini adalah berusaha melihat secara spesifik dari
lembaga-lembaga filantropi islam yaitu Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa sebagai
wujud memotret dua model lembaga berbeda yang memiliki tradisi filantropis
masing-masing yang unik. Fokus dari penelitian ini mencoba melihat eksistensi dua
lembaga filantropi islam di Indonesia dalam menciptakan kesejahteraan sosial.
c. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Kajian dalam Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) menempatkan
fokus pada 3 hal, yaitu: Social Policy, Community Empowerment dan Corporate
Social Responsibility. Penelitian ini berporos pada Social Policy, khusunya kajian
mengenai Welfare Pluralism yang menunjukan keseimbangan peran negara, pasar
dan masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial. Ketiga sektor
tersebut saling melengkapi dan menopang keterbatasan masing-masing. Kajian ini
fokus melihat peran filantropi religius sebagai salah satu wujud dari Third sector
dalam mendistribusikan kesejahteraan sosial di tengah keterbatasan negara.
6
B. Latar Belakang
Indonesia masih menghadapi berbagai masalah sosial sebagai dampak
kegagalan pemerataan pembangunan. Kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia
dilihat dari indikator makro ekonomi terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia cukup stabil di angka 5-7 %, pada 2012 pertumbuhan sebesar 6,2%, dengan
GDP perkapita berdasarkan paritas daya beli (PPP) pada 2012 telah mencapai US$
4971.4.
Perbaikan sektor ekonomi tidak diimbangi dengan pemerataan kesejahteraan.
Erani Ahmad Yustika menyebutkan terjadinya ketimpangan penguasaan aset, dimana
40 orang terkaya di Indonesia mampu menguasai aset setara APBN. Hal ini
terkonfirmasi dengan angka statistik indeks gini Indonesia yang berada pada posisi
0.41 pada 2012 dengan trend setiap tahun cenderungan meningkat (Kompas, 8 April
2013). Kesenjangan ini ditunjukan pula dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada
maret 2013 sebesar 28,07 juta jiwa atau 11,37%, angka ini diperoleh dengan indikator
kemiskinan sebesar Rp. 271.626 per kapita/bulan atau Rp. 9.054 perkapita/hari (+/-
US $ 0.9). Sedangkan tingkat kemiskinan yang dihitung dengan indikator World
Bank pada 2011 yaitu US $ 1,25 perkapita / hari dan US $ 2 perkapita / hari pada
Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity ) maka pada 2011 dihasilkan angka yang
cukup besar yaitu menjadi 16.2% dan 43.3 % (BPS, 2013:85).
Ketimpangan kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pemerataan
akses kesempatan kerja dan pendidikan. Tingkat pengangguran terbuka pada periode
7
Agustus 2013 sebesar 7,39 juta, atau 6,25% dari seluruh angkatan kerja. Dilihat dari
kualitas pekerjaannya relatif buruk, dimana 10,89 juta separuh menganggur,6
sedangkan 25,92 juta lainnya bekerja paruh waktu,7 atau 46,7% dari total pekerja
bekerja tidak penuh.8 Mayoritas dari penduduk bekerja berada di sektor informal, data
BPS febuari 2013 menunjukan 60,9% berada di sektor informal. Kondisi di atas salah
satunya bisa dilihat dari indikator tingkat pendidikan para pekerja yang rata-rata
terbilang cukup rendah, 52,02 juta atau 47% penduduk bekerja hanya lulusan SD ke
bawah, disusul tamatan SMP sebesar 18% (20,46 juta), SMA sebesar 16% (17,84
juta), SMK 9% (9,99 juta), Diploma sebesar 3% (2,92 juta), Sarjana ke atas hanya 7%
(7,57 juta).9
Kegagalan negara mewujudkan pemerataan kesejahteraan merupakan akibat
dari orientasi kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pasar. Paradigma ini
lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan stuktur sosial
yang timpang dari warisan feodalisme (Sritua dan Sasono, 2013:8-9). Akibatnya
masalah-masalah sosial lahir sebagai konsekuensi atas teralienasinya sebagian
populasi dari geliat pertumbuhan ekonomi. Merujuk teori Altur Lewis bahwa mereka
yang tersingkir tetap berkutat dalam model ekonomi subsistensi yang mengandalkan
6 Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan (dahulu disebut setengah pengangguran terpaksa). BPS (2013:111) 7 Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (dahulu disebut setengah pengangguran sukarela) BPS (2013:111) 8Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, Keadaan Ketenagakerjaan agustus 2013, dalam http://bps.go.id/brs_file/naker_06nov13.pdf diakses pada 20 november 2013 pukul 16.04 9 Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, Keadaan Ketenagakerjaan agustus 2013 dalam http://bps.go.id/brs_file/naker_06nov13.pdf diakses pada 20 november 2013 pukul 16.04
8
ceruk-ceruk peluang yang tersisa dalam perekonomian di sisi lain sistem ekonomi
modern tetap bekerja dengan tingkat efisiensi yang tinggi (Yustika,2000:185-186)
Negara mengambil peran intervensi dengan serangkaian program sosial untuk
mengatasi masalah sosial. Setiap tahunnya negara mengalokasikan anggaran yang
cukup besar untuk program bantuan sosial, pada tahun 2013 alokasi APBN untuk
bantuan sosial mencapai 82.5 Trilyun rupiah. Program yang digulirkan berupa: Biaya
Operasional Sekolah (BOS), Beasiswa siswa dan mahasiswa miskin, pembiayaan
Jaminan Kesehatan Masyarakat, Pembiayaan PNPM, Program Keluarga Harapan,
Dana Penanganan Bencana dan program-program lainnya.
TABEL 1.1 ALOKASI APBN UNTUK BANTUAN SOSIAL 2007-2013
(dalam Triliyun Rupiah)
Tahun Alokasi Anggaran % dari APBN Total APBN
2007 49.8 9.87 504.6
2008 57.7 8.32 693.4
2009 73.8 11.74 628.8
2010 68.6 9.84 697.4
2011 71.1 8.05 883.7
2012 75.6 7.47 1010.6
2013* 82.5 6.89 1196.8
*APBN P
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan APBN 2014
Intervensi yang dilakukan pemerintah melalui skema bantuan sosial belum
mampu menunjukan hasil signifikan. Masyarakat masih mengalami kerentanan atas
penurunan kualitas kesejahteraan. Data BPS yang dipresentasikan Rudi S
9
Prawiraditama, Direktur Penanggulangan Kemiskinan Bappenas,10
menunjukan
antara tahun 2009 dan 2010, ±55,7% penduduk miskin di tahun 2009 (di bawah garis
kemiskinan, Rp. 200.262 pada maret 2009 dan Rp. 211.762 pada maret 2010) telah
keluar dari kemiskinan pada tahun 2010. Sebaliknya ±21,52% penduduk Hampir
Miskin (1-1,2 kali garis kemiskinan), 11,54% penduduk Hampir Tidak Miskin (1,2-
1,5 kali garis kemiskinan), dan 2,94% penduduk Tidak Miskin (di atas 1,5 kali garis
kemiskinan) pada tahun 2009 jatuh kedalam kemiskinan pada tahun 2010. Indikator
perubahan status miskin dan tidak miskin tersebut menunjukan terjadinya kerentanan
kesejahteraan penduduk yang belum dapat terantisipasi (Lihat Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Mobilitas Status Kesejahteraan Penduduk 2009-2010
Sumber : BPS dalam presentasi Rudy S Prawiraditama, tentang MP3KI di UI, 5 /12/ 2012
Intervensi negara melalui skema program bantuan sosial seringkali justru
memicu masalah baru di akar rumput. Perencanaan yang lemah dalam membidik
sasaran dan prosedur pelaksanaannya mengakibatkan rusaknya modal sosial di
10 Presentasi Rudi S Prawiraditama, tentang MP3KI di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012 diakses melalui http://aksisinergi-ui.com/temunasional2012/wp-content/uploads/SLIDESHOW-RUDDY.pdf pada 20/9/2013
10
masyarakat dan seringkali mendatangkan konflik baik secara vertikal (masyarakat
dengan pemerintah) maupun horizontal (antar masyarakat).11
Selain itu Suparjan
(2010:254-255) mencatat tiga alasan kegagalan negara dalam memberikan jaminan
sosial, pertama, sasarannya kurang tepat, mayoritas penduduk rentan justru tidak
mendapat akses terhadap jaminan sosial, kedua, memicu konflik sosial akibat
kecemburuan dan salah sasaran, dan ketiga, pelaksanaannya memberikan beban
administratif dan finansial bagi masyarakat miskin yang akan mengaksesnya.
Keterbatasan negara baik secara finansial maupun birokrasi dalam melaksanakan
program sosial melahirkan kegagalan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
kelompok masyarakat yang paling marginal.
Negara dianggap telah gagal dalam menyejahterakan kelompok masyarakat
paling marginal. Kondisi ini mendorong keterlibatan masyarakat dalam wujud aksi
sosial kolektif. Aksi sosial ini terwadahi dalam berbagai gerakan untuk merespon
beragam isu sosial, ekonomi dan politik. Ada tiga varian respon masyarakat dalam
melihat keterbatasan negara. Pertama, Organisasi yang berorientasi pelayanan
(service) yaitu mereka yang menyediakan bantuan dan asistensi jangka pendek,
sebagai contoh yang dilakukan Gereja, Masjid dan organisasi masyarakat lainnya.
Kedua, Organisasi yang berorientasi pembangunan, yaitu mereka yang berusaha
melakukan upaya pengembangan masyarakat, diluar struktur pemerintah. Organisasi
ini berusaha menggalang keterlibatan kolektif masyarakat untuk ikut secara langsung
11 Selengkapnya Lihat dalam Mulyadi Sumarto, dalam Ucu Martanto (ed), Kebijakan Sosial dan Kesejahteraan, Yogyakarta: Fisipol UGM, 2008:174-176
11
mengentaskan masalah sosial di level mikro (individu dan komunitas), diantaranya
penyediaan kredit mikro, pendampingan usaha dan menyediakan akses pendidikan
dan kesehatan. Peran ini salah satunya dimainkan oleh organisasi filantropis modern.
Ketiga, Organisasi yang berorientasi gerakan, mereka melakukan upaya penyadaran
kolektif untuk menuntut perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik, diantaranya
gerakan mahasiswa, LSM, dll (Latief, 2013:36)
Sigh dalam Vandendael, et all (2013:16) melihat dalam konteks negara
berkembang filantropi menjadi salah satu bentuk respon terhadap keterbatasan negara
yang muncul dari kalangan kelas menengah. Filantropisme ditandai dengan
munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengandalkan dana
masyarakat baik lokal maupun internasional. Filantropisme berusaha menggalang
kepedulian dan keterlibatan masyarakat untuk mengalokasikan sumber dayanya untuk
aktivisme sosial. Salah satu filantropi yang paling berpengaruh dan paling potensial
di Indonesia adalah filantropi religius, khususnya filantropi Islam (Vandendael, et all,
2013:14-15). Filantropi Islam merupakan reinterpretasi dari ajaran agama yang
menganjurkan derma, berupa Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf (ZISWAF). Selama
ini aplikasi dari ajaran ini diterapkan dengan beragam metode dan berbagai motif
baik dilakukan secara indvidu maupun secara kolektif berdasarkan pada konteks
budaya masyarakatnya (Latief, 2013:7).
Persentuhan antara filantropi tradisional dan filantropi modern mulai
membentuk sebuah gerakan baru. Gerakan ini berorientasi menjadikan filantropi
sebagai alat untuk mengentaskan masalah sosial. Hadirnya lembaga filantropis Islam
12
di Indonesia menunjukan adanya reorientasi menuju model filantropisme modern.
Fernandes dalan Vandendael (2013:25) menyebutkan bahwa institusionalisasi
filantropi Islam di Indonesia muncul sebagai bentuk transisi antara bentuk-bentuk
traditional giving menuju mobilisasi yang berkelanjutan pada sumber daya
indigeneous. Lembaga filantropi professional yang paling awal muncul di Indonesia
adalah Dompet Dhuafa Republika. DD lahir pada 1993 sebagai inisiatif jurnalis
Republika, sebuah media yang didirikan oleh ICMI (Widyawati, 2011:72) Dompet
Dhuafa kini berkembang menjadi salah satu lembaga amil zakat nasional (LAZNAS)
yang mampu mengelola dana filantropi Iislam terbesar di Indonesia.
Kontribusi filantropisme Islam di Indonesia dalam mengatasi masalah sosial
bukanlah trend baru. Di awal abad ke 20-an, Muhammadiyah sudah lahir, tepatnya
pada 18 November 1912. Muhammadiyah sejak awal kelahirannya mendedikasikan
diri sebagai gerakan pembaharuan Islam yang berusaha untuk mengentaskan masalah
sosial kaum pribumi dengan membangun Amal Usaha Muhammadiyah (AUM),
berupa lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial. Muhammdiyah lahir dari basis
sosial kalangan kelas menengah muslim perkotaan, terutama “para saudagar” pada
zamannya (Rahardjo,1999:352). Mereka secara kolektif melakukan aktivisme sosial
untuk memberikan pelayanan pada kaum pribumi yang papa.
Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa keduanya merupakan organisasi yang
dalam menjalankan aktivisme sosialnya sangat mengandalkan dukungan sumber daya
filantropis berupa Zakat, Infaq, Shadaqah dan Waqaf (ZISWAF). Keduanya memiliki
pola yang berbeda dimana Muhammadiyah merupakan civic organization sekaligus
13
multiple purpose organization yang memiliki kompleksitas jaringan baik
keanggotaan, jaringan struktural maupun varian-varian aktivisme sosialnya.
Sedangkan, Dompet Dhuafa merupakan sebuah lembaga filantropis murni yang
berbentuk lembaga amil zakat yang menempatkan diri untuk menerima amanah
publik sebagai pengelola dana zakat, infaq, shadaqah dan waqaf. Perbandingan
pendayagunaan filantropisme di dalam kedua lembaga ini akan mampu memberikan
gambaran tentang kemampuan organisasi sektor ketiga dalam mengolah sumber daya
publik menjadi aktivisme sosial baik yang berbasis pelayanan, pemberdayaan
maupun pemberian aset untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan kaum marginal.
Penelitian tentang pendayagunaan sumber daya filantropisme islam pada
Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa menjadi penting untuk menjawab keresahan
masyarakat yang telah meragukan motif dibalik lahirnya filantropisme islam. Studi
tentang aktivisme sosial yang dilakukan Holger Weis dalam Latief (2012:175) di
Ghana terjadi kontestasi sekaligus resistensi pelayanan sosial yang dilakukan antara
komunitas muslim dan bantuan internasional yang sekuler ataupun misi gereja.
Quintant Wictorowicz and Suha Taji Farouki dalam Hilman Latief (2012:174) juga
menyebutkan di Jordania pelayanan kesehatan dan pendidikan dijadikan simbolisasi
dari makna politik yang berujung pada agregasi kepentingan dalam partai politik
tertentu. Studi Jenine A. Clark (2004) tentang upaya charitas dan aktivisme islam di
Mesir, Jordania dan Yaman menunjukan bahwa filantropisme islam cenderung
menjadi ajang untuk memperkuat basis sumber daya sosial dan akumulasi kapital
kalangan kelas menengah muslim.
14
Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa sebagai lembaga yang aktivismenya
mengandalkan akumulasi dana filantropi sering mengalami gugatan masyarakat.
Tetin Oktariani (2011) menyebut Muhammadiya telah bergeser dari usaha pelayanan
sosial kepada kalangan mustadh’afin (kaum lemah) sekedar menjadi korporasi jasa
yang berusaha mengakumulasi kapital untuk kepentingan organisasinya.
Kehadiran Dompet Dhuafa juga seringkali dicurigai memiliki tujuan-tujuan dan
motif tertentu secara politis mengingat dari sisi kelahirannya Dompet Dhuafa lahir
dari celah relasi politik ICMI dan dari sisi para pengelolanya merupakan kelas
menengah terpelajar yang sering disebut kelompok islamis. Kelahiran Dompet
Dhuafa yang juga memicu lahirnya lembaga-lembaga sejenis di berbagai level dan
mayoritas dikelola kalangan kelas menengah profesional. Pertumbuhan LAZ di
Indonesia sangat pesat terutama pasca terbentuknya Forum Zakat (FOZ) yang mampu
menekan pemerintah untuk mengesahkan regulasi tentang zakat (UU No. 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat). Kehadiran LAZ seringkali dikritik sebatas upaya
kelas menengah muslim memanfaatkan potensi besar sumber daya filantropis untuk
memperkuat basis pengaruh sosialnya.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dirumuskan permasalahan utama yaitu: “Bagaimana
eksistensi pelayanan kesejahteraan sektor ketiga yang berbasis filantropi islam di
Indonesia?” Dari pertanyaan utama tersebut diturunkan menjadi tiga pertanyaaan
turunan, sebagai berikut:
15
Pertama, Bagaimana motif di balik pelayanan sosial yang diberikan
Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa?
Kedua, Bagaimana bentuk relasi layanan kesejahteraan Muhammadiyah dan
Dompet Dhuafa di tengah keterbatasan kapasitas layanan negara dalam mewujudkan
kesejahteraan sosial?
Ketiga, Bagaimana peran dan strategi Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa
dalam mendorong dan mengakumulasi partisipasi kolektif publik untuk terlibat dalam
usaha perbaikan kualitas kesejahteraan kaum marginal?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat eksistensi, motif, relasi, peran dan
strategi dua lembaga filantropis islam di Indonesia, yaitu: Dompet Dhuafa dan
Muhammadiyah untuk mendorong terjadinya transformasi tradisi derma dalam
masyarakat menjadi upaya kolektif untuk mengatasi permasalahan sosial.
b. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuwan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) dan institusi berbasis filantropi islam
khususnya Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa. Adapun manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Pengembangan Keilmuwan PSdK :
16
i. Penelitian ini untuk memperkaya bahan kajian tentang perkembangan
filantropi dan welfare pluralism di Indonesia
ii. Penelitian ini menjadi bahan memetakan peran dan strategi lembaga filantropi
Islam khususnya Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa di tengah keterbatasan
kapasitas layanan negara
2. Bagi Institusi Filantropi islam khususnya Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa :
i. Penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melihat kinerja lembaga, terutama
terkait dengan pengarus utamaan filantropi islam dalam tradisi masyarakat
ii. Penelitian ini dapat menjadi bahan untuk merumuskan strategi kelembagaan
untuk memperkuat kapasitas dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial
E. Tinjauan Pustaka
Dalam studi tentang gerakan kesejahteraan sektor ketiga yang direpresentasikan
Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa ini ada beberapa konsep kunci; yaitu;
Filantropi, Kedermawanan, Solidaritas Sosial, Filantropi Islam, Filantropi Religius,
Filantropi Modern, Sektor Ketiga, dan Kesejahteraan Sosial
a. Filantropi, Kedermawanan dan Solidaritas Sosial
Filantropi tidak dapat dipisahkan dari kedermawanan, filantropi secara
etimologis berasal dari kata “philo” cinta, dan “anthropos” manusia, yang berarti
kepedulian seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain berdasarkan pada
kecintaannya pada sesama manusia (Latief, 2010:36) Robert Payton (1988:32)
mendefinisikan filantrofi mencakup tiga kegiatan yang saling berhubungan, yaitu;
17
layanan sosial, asosiasi sosial dan derma sosial bagi kemaslahatan umum. Tujuan
filantropi menurutnya dibagi dua, perilaku kasih sayang untuk menanggulangi
penderitaan dan perilaku kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Memahami filantropi tidak dapat dilepaskan dari konsepsi kedermawanan.
Kehadiran filantropi sejatinya adalah upaya kolektif untuk membingkai semangat
kedermawanan. Sifat kedermawanan selalu berusaha direproduksi dalam berbagai
konteks budaya masyarakat. W.K. Kelloog Foundation mendefinisikan derma pada
dasarnya adalah upaya menyisihkan sebagian dari harta (alat atau barang yang
dimiliki), waktu, ataupun tenaga untuk kepentingan orang lain (Latief, 2010:36).
Kedermawanan dan filantropi biasanya juga dikaitkan erat dengan charity, yang
diambil dari bahasa latin artinya cinta tanpa syarat. Menurut Helmut K. Anheier dan
Regina. A. List, dalam Widyawati (2011:27) antara Charity dan Filantropi dibedakan
dari sisi tujuan pemberiannya, charitas dimaksudkan sekedar memberikan untuk
kebutuhan jangka pendek, sedangkan filantropi berupaya untuk menyelidiki dan
menyelesaikan sebab utama dari persoalan.
Filantropi ataupun kedermawanan merupakan sebuah instrumen untuk
membangun solidaritas sosial, atau merawat pertalian dan kohesifitas sosial.
Sebagaimana dikatakan Komter (2005:7) bahwa gift giving atau pemberian dan
kedermawanan memiliki dua fungsi psikologis: pertama, membuat ikatan moral
antara pemberi dan penerima dan kedua, memelihara hubungan sosial yang telah
terjalin. Dalam kajian tentang Gift and Solidarity, Aafke. A Komter (2005:21)
18
mengambil pendekatan Alan Page Fiske bahwa terdapat empat model dasar dari
pembentukan relasi soial dalam masyarakat; Community Sharing, Authority Ranking,
Equality Matching dan Market Pricing.
Pertama, Community Sharing atau berbagi dalam komunitas adalah hubungan
setara yang menyertai keanggotaan dari sebuah komunitas yang di dalamnya
berusaha menegasikan keberadaan identitas individualistik. Biasanya berwujud
identifikasi kelompok, kepedulian, pertemanan dan solidaritas. Hal ini lahir dari
pengalaman panjang mereka yang merasakan menjadi bagiannya, identifikasi nilai
serta rasa primordialitas kolektif. Motif berbagi dalam community sharing adalah
upaya untuk menjaga kualitas hubungan dalam kelompoknya (Komter, 2005:22)
Kedua, Authority Ranking atau peringkat otoritas mencerminkan relasi yang
asimetris dan tidak setara. Terbentuknya relasi ini ditujukan untuk membentuk
klasifikasi kelas dan status sosial. Mereka yang berada di peringkat paling atas
memiliki akses untuk memegang otoritas dan selalu memiliki hak preogratif untuk
berinisiatif dan menentukan dalam tindakan sosial. Hal ini menjadikannya memiliki
kuasa untuk membuat keputusan dan menyuarakan pilihannya. Motif pertukaran
dalam authority rangking adalah upaya untuk menunjukan kepemilikan status sosial
atau posisinya dalam kekuasaan. Beberapa hal yang dijadikan alat seleksi sosial
adalah power (kekuasaan), fame (popularitas), Prestige (kewibawaan), dan merit
(prestasi) (Komter,2005:22-23)
Ketiga, Equality matching atau pertemuan setara, biasanya merujuk pada relasi
kawan sebaya “peer”, di dalamnya terjadi interaksi saling berbagi dan saling
19
pempengaruhi secara setara. Bentuk relasi yang terbentuk adalah relasi dua arah
“reprocity”. Hak, kewajiban dan aksi menunjukan kesetaraan di dalamnya (Komter,
2005:23-24)
Keempat, Market pricing “harga pasar”, hubungan ini merujuk pada dominasi
nilai pasar. Transaksi di dalam didasarkan pada pilihan rasional dan kebutuhan.Orang
menjalin hubungan karena merasa akan mendapatkan keuntungan. Di dalamnya
terkandung instrumentasi untuk melakukan competition (persaingan) dan struggle
(perjuangan) (Komter, 2005:24).
Komter menilai perkembangan teori things, gift and solidarity tidak bisa
dilepaskan dari kerangka dasar pertukaran yang melandaskan pada empat dasar relasi
diatas. Keempat motif tersebut termanifestasi dalam sikap masyarakat yang melekat
membentuk sebuah pola-pola hubungan yang unik sesuai dengan konteksnya. Dalam
kajian tentang filantropi, motif-motif kedermawanan menjadi titik sentral bagaimana
filantropi memberntuk karakternya.
b. Filantropi Islam perpadukan Filantropi Religius dan Filantropi Modern
Tradisi filantropisme juga identik dengan tradisi agama-agama
(Ilchman:
2006:ix). Semua agama memiliki ajaran untuk mengembangkan filantropi. Menurut
Thomas H. Jeavons, dalam Widyawati (2011:1) ada empat alasan mengapa agama
identik dengan filantropisme, pertama, agama memiliki doktrin agar umatnya saling
berbagi dengan mereka yang tidak mampu, kedua, lembaga agama sering
memposisikan diri sebagai penerima sekaligus sumber pemberian, ketiga, agama
20
mendorong dan mempengaruhi terbentuknya lembaga-lembaga filantropi, dan
keempat, agama sebagai kekuatan yang dapat menciptakan ruang sosial bagi kegiatan
dan lembaga filantropi. Tradisi filantropi yang melekat pada agama-agama terkadang
tidak identik dengan istilah filantropi, keduanya baru bersinggungan ketika filantropi
menjadi sebuah trend global, namun praktek filantropi sudah melekat dengan agama-
agama sebagai sebuah ajaran (Widyawati, 2011:18).
Tradisi filantropi religius bisa dilacak dari berbagai tradisi agama mulai dari
agama semintis (Islam, Kristen dan Yahudi), hingga tradisi agama timur, (Hindu,
Budha, Konghuchu) (Ilchman: 2006:ix). Dalam prakteknya semua agama memiliki
model-model sendiri, baik dalam ketentuannya, kepada siapa diberikan dan apa
tujuannya. Dalam islam, filantropi dijabarkan dalam beberapa instumen, yaitu: zakat,
infaq, shadaqah, dan wakaf.
Robert D. Mc Chesney menyebutkan zakat menjadi sebuah ambiguitas dalam
islam, disatu sisi ia merupakan kewajiban namun pelaksanaannya sangat tergantung
dengan konteks sosial masyarakat, kadang muncul otoritas kadang dilepaskan begitu
saja.12
Ridwan al Makasary (2006:40) menyebut pengelolaan zakat oleh negara
diwarnai penyalahgunaan sehingga melahirkan distrush terhadap institusi negara
yang memicu para ahli fiqh (hukum syariat) untuk mendukung distribusi zakat secara
intrapersonal.
12 Lihat dalam Robert M. Chesney http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ philanthropy_islam.asp diakses pada 20 november 2013 pukul 15:27
21
Tabel 1.3 Konsep Dasar tentang ZISWAF dalam Islam
Jenis Jenisnya Sifat Ketentuan
Zak
at
Fitrah,
Far
dhu /
Waj
ib
Zakat fitrah dibayarkan setahun sekali jelang 1 syawal
(idhul fitri), oleh siapapun yang memiliki kelebihan
bahan makanan dihari itu, besarnya berupa bahan
makanan 2,5 KG,
Maal /
Perdagang
an /
Profesi,
Zakat mal/perdagangan atau profesi dibayarkan setelah
satu tahun (haul), dengan ketentuan jumlahnya telah
memenuhi batasan (nisab 85 gram emas), dengan besaran
2,5 %
Rikaz
(barang
temuan),
Zakat Rikaz dibayarkan secara langsung dengan besaran
20%, (nisab 85 gram emas),
Zakat
Pertanian
Zakat Pertanian, dibayarkan secara langsung dengan
besaran 5% untuk yang perlu biaya bagi pengairannya,
dan 10% bagi yang tidak perlu biaya bagi pengairannya,
nisabnya 635 KG
Infaq Shunah /
himbauan
Jumlahnya lebih sedikit daripada zakat, biasanya recehan
diberikan pada siapa saja dimana saja
Sedeka
h
Shunah /
himbauan
Jumlahnya sama dengan atau lebih besar dari zakat,
biasanya diberikan dengan maksud-maksud tertentu mulai
dari membiayai kegiatan agama, beasiswa, sumbangan
fakir miskin, hingga kegiatan politik
Waqaf
Barang /
tanah /
uang
Shunah /
himbauan
Merupakan aset produktif yang diserahkan kepada sebuah
lembaga untuk dimanfaatkan sebagai fasilitas publik atau
kemanfaatannya digunakan untuk masyarakat luas, tidak
boleh diperjualbelikan boleh diusahakan
Denda
(diyat)
Kafarat Wajib
Hukuman terhadap pelanggaran dalam aturan agama
seperti berhubungan intim saat berpuasa dan berhaji, dll
biasanya identik dengan menyantuni fakir miskin dan
membebaskan budak
Fidyah Wajib
Sejumlah uang sebagai pengganti atas meninggalkan
ibadah puasa bagi mereka yang tidak mampu (ibu hamil
dan menyusui, pekerja keras, orang tua, dll)
Sumber : diolah dari Ridwan (2006:38) Rochim (2012:2-11) Sudewo(2012a:32-36),13
13 Erie Sudewo dan Ridwan al Makassary berbeda pendapat tentang definisi infaq dan sedekah keduanya mendefinisikan secara berkebalikan. Secara tegas konsep sedekah dan infaq memang sering dipergunakan secara berkebalikan dalam tradisi islam, terkait perdebatan infaq dan sedekah lihat juga Widyawati, 2011, Filantropi Islam dan Kebijakan Negara Pasca Orde Baru: Studi tentang Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf, Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, hal :22-23
22
Tabel 1.4 Reinterpretasi Penerima Zakat menurut F. Masudi
Tipe
Penerima
Konsep
Dasar
Makna
Konvensional Makna Kontekstual
Fuqara Fakir Dana Konsumtif untuk
fakir dan miskin
Setiap upaya yang ditujukan untuk
mengentaskan kemiskinan, melalui
kegiatan karikatif maupun program
penguatan kebijakan struktural
Masakin Miskin Dana Konsumtif untuk
fakir dan miskin
Setiap upaya yang ditujukan untuk
mengentaskan kemiskinan, melalui
kegiatan karikatif maupun program
penguatan kebijakan struktural
Amilin Pengelola Zakat Honorarium dan biaya
operasional pengelola
zakat
Gaji untuk Pegawai Negeri
Mualaf
Qulubuhum
Mereka yang
cenderung
hatinya pada
islam
Mereka yang
diharapkan masuk
islam, atau baru
memeluk agama islam
Masyarakat yang terisolasi, atau
tahanan dalam penjara
Gharimin Orang-orang
yang terlilit
hutang atau
bangkrut
Membantu mereka yang
akan bangkrut atau
jatuh miskin
Bantuan menyelesaikan hutang untuk
individu, lembaga atau negara
Riqab Orang tertindas Membebaskan budak Fasilitasi pendampingan bagi kaum
tertindas
Sabilillah Memanfaatkan
harta di jalan
allah
Biaya memerangi orang
kafir
Biaya bagi pertahanan dan keamanan
negara, penegakan hukum, dan
fasilitas dan pelayanan umum
Ibnu Sabil Anak-anak
Jalanan
Musafir yang kehabisan
bekal
Membantu dan mendampingi mereka
yang terdampar, pengungsi atau
mereka yang kehabisan bekal
Sumber : Latief (2012:83-84)
23
Di beberapa negara teluk, seperti Arab Saudi, Yaman dan Kuwait pemerintah
membentuk amil di bawah otoritas kementerian perwakafan dan urusan agama. Amil
zakat yang bersangkutan adalah pegawai yang dibayar negara, dan kewajiban
berzakat diregulasi dengan beberapa aturan sehingga orang-orang atau perusahaan
yang tidak membayar zakat akan terkena disinsentif atau penalti dari negara, seperti
dilarang mengikuti tender-tender pemerintah (Widyawati, 2011:30). Di Pakistan
pemerintah bukannya menerapkan kewajiban membayar zakat, justru dengan
otoritasnya menerapkan undang-undang pemotongan tabungan untuk bayar zakat
yang digunakan untuk sistem kesejahteraan masyarakat (subsidi langsung) (Latief,
2013:46; Widyawati, 2011:29).
Di Malaysia pemerintah hanya berlaku sebagai regulator, dimana peran
pengumpulan zakat diberikan pada negara bagian dan digunakan sebagai tambahan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diluar alokasi dari pemerintah pusat
(Widyawati, 2011:48). Tidak ada satu pun pemerintah yang memainkan fungsinya
sebagai otoritas pemungut zakat secara komprehensif, peran yang dimainkan
cenderung menjadi pengumpul dan distributor (amil), atau pemungut secara parsial.
Dalam konteks inilah zakat bermanifestasi dari sebuah kewajiban menjadi
keswadayaan dalam masyarakat. Pelaksanaan zakat tergantung pada kesadaran
individunya. Kewajiban zakat mengikat pada kewajiban individu namun negara tidak
menciptakan otoritasnya untuk melakukan pemaksaan pembayaran dan hanya
memberikan insentif seperti pemotongan pajak. Hal ini memunculkan nilai
kesukarelaan yang berbasis pada pertanggung jawaban seseorang pada Tuhan.
24
Di Indonesia pengelolaan zakat telah menjadi tradisi akar rumput. Negara sejak
masa kesultanan islam, kolonial, maupun era orde lama dan orde baru tidak campur
tangan dalam pengelolaan zakat (Al Makasary, 2006:40-41; Widyawati, 2011:3-5).
Zakat biasanya diberikan masyarakat kepada institusi agama di sekitarnya, mulai dari
pengajian, pesantren, sekolah agama, yayasan atau organisasi islam, atau pada
seorang ulama setempat. Dinamika akar rumput ini berjalan dalam tradisi masyarakat
Indonesia, terkadang zakat juga tidak dimaknai sebagaimana mestinya (dihitung dan
memenuhi ketentuan khusus). Tradisi zakat pada masyarakat Indonesia lebih identik
dengan sedekah, tetapi dimaknai sebagai zakat (Latief, 2010:167). Kurniawati (ed)
dalam Widyawati (2011:10) mengatakan survei PIRAC pada 2000-2004 di sepuluh
kota besar, ditemukan rata-rata masyarakat Indonesia di kota-kota besar membayar
zakat sekitar Rp. 124.000.14
Riset yang dilakukan BAZNAS dan IPB dan IDB
menunjukan potensi zakat masyarakat Indonesia sebesar 217 Trilyun rupiah (Beik, et,
al, 2013:10), walaupun yang tercatat oleh Baznas pada 2012 baru sebesar 2,2
Trilliyun.15
14 Bandingkan dengan, Abidin, Naniek dan Kurniawati (ed) dalam Asep Saepudin Jahar, 2010, Masa Depan Filantropi Islam di Indonesia: Kajian Lembaga-Lembaga Zakat dan Wakaf, Annual Conference in Islamic Studies (ACIS) ke 10, Banjarmasin, 1-4 November, hal:687 menemukan potensi perorangnya Rp. 684.550,- 15 Lihat dalam http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/berita/35-berita/706-menag-terima-laporan-perkembangan-zakat-dari-baznas.html diakses pada 20 november 2013, pukul 17.06
25
Tabel 1.5 Potensi Zakat Nasional Menurut IDB 2011
No Jenis Sumber Zakat Potensi Zakat dalam
Trilliyun (Rp) % dari GDP
% dari total potensi
1 Individual / keluarga 82.70 1.30 38.11%
2 Zakat Industri 1.84
Swasta 114.89 52.94%
BUMN 2.40 1.11%
3 Deposito 17.01 0.26 7.84%
Total 217.00 3.40 100.00%
Sumber : Firdaus, et, al dalam Beik dan Arsyiyanti (2013:10)
Filantropi modern menurut An Na’im, dalam Ridwan al Makasary (2006:42)
menejemennya menekankan pada administrasi modern yang professional,
proporsional, transparan dan mengedepankan akuntabilitas. An Na’im juga
menyebutkan dalam Asep Saefudin Jahar (2010:687) bahwa pilar utama filantropi
modern adalah kepercayaan publik. Kepercayaan publik akan hadir ketika
transparansi dan standarisasi administrasi diadopsi menjadi nilai dalam menjalankan
lembaga. Ciri modernnya lembaga filantropi ternyata tidak bisa dilihat dari
transparansinya saja. Erie Sudewo (2012b:100) merangkum bahwa filantropi modern
memiliki sistem kelembagaan modern termasuk dalam perencanaan, pengawasan,
komunikasi publik dan menejemen jaringan. Konsep filantropi modern mengarah
pada pembentukan Grant Making Organization (GMO), seperti Ford Foundation,
Rockefeller Foundation, dll
Kemunculan tradisi lembaga filantropi telah menggeser sifat tradisionalisme
dari pengelolaan dana-dana filantropi islam. Keberadaan lembaga tersebut secara
otomatis akan bekerja sebagai perantara antara si penderma dengan segala motifnya
26
dan penerima derma. Reproduksi nilai atas derma akan dikendalikan oleh lembaga
filantropi. Lembaga filantropi memiliki dua pilihan. Pertama, menjadi perantara
reproduksi nilai dan relasi sosial yang diinginkan oleh si penderma, atau kedua,
berusaha mereproduksi nilai baru dalam lembaga tersebut sehingga memaksa
pergeseran nilai dan motif si penderma. Keduanya adalah pilihan yang diberikan oleh
masing-masing lembaga filantopi dalam rangka mewujudkan ikatan antara lembaga
dan donaturnya, sebagai sebuah strategi fundraising yang nantinya akan direproduksi
melalui trust (kepercayaan) pada lembaga tersebut. Aafke Komter (2008:123-124),
merujuk pendapat Mary Douglas bahwa gift giving sebagai sebuah ekspresi akan
solidaritas sosial bisa muncul melalui bentuk anonymous. Ciri khususnya pemberian
ini tidak mengharapkan proses reprositas personal, dikarenakan hilangnya sifat
personalitas dalam wujud institusi, organisasi sosial dan volunteery action (tindakan
kesukarelawanan). Lembaga filantropi menjadi penghubung nilai ini akan
mendapatkan kepercayaan seiring kredibilitas lembaganya. Kredibilitas ini ditentukan
oleh kemampuan lembaga untuk mewujudkan transparansi, profesionalitas sekaligus
kepuasan pihak-pihak yang mendapat layanan sosial. Seorang dermawan akan bangga
menjadi bagian dari donatur lembaga tersebut seiring dengan keberhasilan lembaga
mengentaskan berbagai masalah-masalah sosial. Sebagaimana dikatakanHilman
Latief (2010:12) keberadaan lembaga filantropi islam berusaha mengkonversi
kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif dan mendorongnya menjadi gerakan
kolektif.
27
Gambar 1.1 Motif Pemberian Individu dan Transformasi Lembaga Filantropi
c. Peran Sektor Ketiga mewujudkan Kesejahteraan Sosial
Dalam kajian pluralisme kesejahteraan dijelaskan bahwa pembagian peran
antara negara, pasar dan masyarakat sipil dalam menunjang terwujudnya sistem
kesejahteraan. Ketiganya berperan untuk menopang satu sama lain untuk memegang
peran dalam mewujudkan kesejahteraan (Midgley,1997:8). Sektor ketiga biasanya
mewujudkan dirinya dalam bentuk kewajiban sosial secara kultural, diantaranya
adalah keluarga, kelompok persaudaraan, ketetanggaan (Midgley, 1997:69)
Midgley (1997:70) membagi sektor informal dalam penyedia kesejahteraan
dalam empat kategori yang terinternalisasi di masyarakat, pertama, pelayanan non
formal yang dijalankan atas kewajiban kultural biasanya melalui keluarga, saudara,
pertemanan, tetangga, dan jejaring komunitas. Kedua, pelayanan yang dijalankan atas
dasar kewajiban kultural berbasis agama, Richard Titmus menyebutnya sebagai
“Anonymous Strangers”, dikarenakan orientasinya yang hanya berbasiskan doktrin-
Anonymous Giving
Community Sharing
Equety matching
Authority Ranking
Market Pricing
Transparansi, Kredibilitas dan Profesionalisme
28
doktrin agama, salah satunya melalu alms giving atau zakat. Ketiga, sistem
kesejahteraan yang dijalankan oleh cooperative association (asosiasi koperatif),
misalnya, koperasi, arisan, dan pinjaman bergilir dalam kelompok. Keempat, sistem
kesejahteraan yang dijalankan cooperative endeavors, upaya kolektif untuk
mengembangkan kesejahteraan bersama, misalnya usaha bersama secara komunal.
Midgley (1997:71) juga menyoroti pentingnya peran lembaga filantropi yang berasal
dari tradisi giving, kedermawanan yang tercermin dalam kewajiban yang
dimandatkan agama-agama. Midgley (1997:72) juga melihat adanya peran filantropi
sekuler muncul sebagai respon dari industrialisasi masif yang menghasilkan kelas
menengah yang merasa peduli dengan mereka yang miskin dan papa
Michael Hill (1996:127-129) menyebutkan bahwa penyedia layanan
kesejahteraan bagi masyarakat terbagi atas empat aktor, pertama, layanan sosial yang
diberikan oleh negara, negara memberikan pelayanan sosial melalui berbagai
kebijakan sosialnya. Kedua, layanan sosial yang diberikan oleh pasar yaitu melalui
peranan bisnis swasta yang mendorong perputaran ekonomi, termasuk memberikan
kesempatan kerja. Ketiga, layanan sosial yang dilaksanakan oleh keluarga
“household”, dan kempat, layanan sosial yang dilakukan oleh institusi sektor ketiga
“volunteer” (komunitas, volunter, dan lembaga quasy pemerintah dalam bentuk
organisasi non profit). Household dan Volunteer merupakan dua sektor yang dapat
dikategorikan dalam third sector yang turut memainkan peran sebagai penyedia
kesejahteraan dalam masyarakat disamping negara dan pasar. Victor A Pestoff
(2009:8) menyebutkan bahwa kehadiran sektor ketiga tidak lain adalah sebagai
29
alternatif yang merupakan persinggungan dari tiga sektor yang biasa muncul dalam
pembahasan welfare regims, yaitu, negara, pasar dan komunitas. Kehadiran sektor
ketiga mencoba menjembatani antara ketiganya dengan menggali sumber daya dari
ketiganya pula serta saling melengkapi dari peran masing-masing.
Gambar 1.2 Welfare Diamond Michael Hill (1996:128)
Gambar 1.3 Sektor Ketiga dalam Segitiga Kesejahteraan Victor A. Pestoff (2009:9)
30
Third sector juga biasa dipahami sebagai Informal sektor. Informal sektor
sebagai sebuah institusi muncul di masyarakat sebagai respon atas kondisi sosial yang
dihadapinya. Kemunculan informal sektor dalam teori institusionalisasi dilihat
sebagai hasil dari dua proses yaitu reactive (reaksi) atau spontanous (spontanitas)
(Helmke dan Levitsky, 2003:17). Helmke dan Levitsky (2003:16-17) menyebutkan
bahwa kemunculan sektor informal sebagai reaksi merupakan perwujudan respon atas
kondisi struktural di sektor formal dalam hal ini negara yang memberikan insentif
untuk munculnya sektor informal tersebut. Insentif bisa dimaksudkan sebagai
peluang-peluang yang muncul dari adanya pihak lain. Sedangkan, kemunculan sektor
informal yang berbasis spontanitas lebih dikarenakan faktor-faktor yang secara
indigenous muncul dari dalam masyarakat dan berdampingan dengan sistem-sistem
formal yang ada. Pelayanan sosial yang diberikan sektor ketiga bisa lahir dari
keduanya.
Eksistensi sektor ketiga di sebuah negara bisa dilacak dari perkembangan
oraganisasi yang tumbuh di masyarakat. Di Indonesia sektor ketiga bisa dimaknai
beragam, mulai dengan sebutan civil society atau masyarakat sipil16
, Non
Government Organization (NGO), Non Profit Organization (NPO), organisasi
masyarakat (ormas)17
, organisasi non politik (ornop)18
, lembaga swadaya masyarakat
16 Digunakan untuk merujuk kekuatan diluar negara dan pasar yang menjadi representasi keswadayaan masyarakat dan kemampuan masyarakat untuk melakukan pengorganisasian diri, Alexis de Toqoeville dalam Victor A Petsoff, 2008, A Democratic Architecture for the Welfare State, New York : Routledge, hal:8 17 Organisasi masyarakat yang dibentuk masyarakat dan memiliki anggota tertentu yang memiliki identitas-identitas serta tujuannya, ormas juga identik dengan perkumpulan, lihat Antlöv, H, et al
31
(LSM)19
. Kesemuanya memiliki kesamaan makna yang hampir sama hanya saja
penggunaannya yang sesuai dengan konteksnya masing-masing. Eksistensi sektor
ketiga termanifestasikan dalam beragam bentuk tersebut yang fokus untuk
memberikan pelayanan-pelayanan sosial. Dari sekian kata yang ada, akan dipakai
selanjutnya adalah Non Government Organization (NGO), alasannya kata NGO lebih
bermakna general dan bisa mewakili seluruhnya. Salamon dan Anheier, dalam
Shigetomi (2002:6) NGO merupakan didefinisikan sebagai lembaga yang dalam
prosesnya memiliki enam ciri, yaitu; 1) non government, 2) non profit making, 3)
voluntary, 4) memiliki kekohannya dan berkelanjutannya 5) altruistik, dan 6)
filantropis. Dengan menggunakan pendekatan NGO, kedua lembaga yang akan
menjadi sasaran penelitian ini yaitu, Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa keduanya
merupakan NGO.
Levitsky dan Helmke (2003:12) membangun tipologi relasi antara sektor formal
dan sektor informal dengan dua dimensi, pertama, efektifitas dari sektor formal,
kedua, posisi tujuan antara sektor formal dan sektor informal. Pendekatan Levitsky
dan Helmke membentuk empat pola relasi sektor informal (third sector) dan sektor
formal (state and market), yaitu; complementary (melengkapi), substitutive
dalam Anoux Vandendeal, et, al, 2013, 2013. Stimulating Civil Society The Perspective of INGO: an Explorative Study of Indonesia, Erasmus University ,hal:16 18 Ornop adalah kata yang digunakan pemerintah orde baru untuk merujuk semua organisasi sosial diluar partai politik, lihat Yumiko Sakai, dalam Shinichi Shigetomi (ed), 2002, The State and NGOs, Singapore : ISEAS, hal:161-162 19 LSM, sering dugunakan untuk menyebut NGO, namun LSM biasanya identik dengan lembaga yang fokus pada isu spesifik dan berorientasi pada advokasi-advokasi kebijakan. Yumiko Sakai, dalam ibid, hal161-162
32
(pengganti), accommodating (akomodatif) dan competing (bersaing). Levitsky dan
Helmke (2003:12) melihat posisi sektor informal dan sektor formal akan ditentukan
oleh dua hal, yaitu pertama, tujuan yang ingin dicapai oleh informal sektor dan formal
sektor, jika keduanya berada pada posisi yang sama maka akan dimungkinkan akan
terjadi saling melengkapi atau akan menggantikan. Posisi ini ditentukan sejauh mana
efektifitas negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Ketika negara yang efektif akan
memposisikan third sector yang tujuannya sama sebagai pelengkap, sebaliknya
negara tidak menjalankan fungsinya secara efektif maka third sector akan secara
otomatis muncul memainkan peran substitutive (pengganti) (Levitsky dan Helmke,
2003:14).
Tabel 1.6 Pembagian Tipologi Institusi Informal
Sumber: Helmke dan Levitsky (2003:12)
Sektor informal yang memposisikan tujuannya berbeda dengan pendekatan
sektor formal memunculkan akomodasi atau persaingan (Helmke dan Levisky,
2003:13). Ketika negara telah mampu menjalankan fungsinya secara efektif
keberadaan third sector akan diakomodasi sebagai pilihan alternatif bagi layanan
kesejahteraan diluar negara. Keberadaan third sector yang diakomodasi akan menjaga
33
agar masyarakat tidak mengalami ketergantungan total terhadap negara. Sebaliknya,
ketika negara tidak mampu mengefektifkan kinerja kesejahteraannya, maka third
sector yang berorientasi berbeda dengan tujuan negara akan menjadikan negara
memposisikannya sebagai pesaing (Helmke dan Levisky, 2003:15). Persaingan ini
diartikulasikan dengan pilihan kebijakan yang berorientasi untuk menjaga legitimasi
negara dihadapan publik dalam wujudupaya pembatasan ataupun regulasi untuk
memastikan third sector tidak menggerogoti legitimasi negara.