bab i porfiri tembaga-emas tambahan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Logam dasar merupakan logam yang mudah teroksidasi dan terkorosi, dan
bereaksi sedikit dengan HCL untuk membentuk hidrogen. Logam dasar secara luas
digunakan dalam aplikasi komersial dan industri. Mereka lebih berlimpah di alam dan
karena itu jauh lebih murah daripada logam mulia seperti emas, perak dan platina.
Ada beberapa jenis logam dasar, yaitu: aluminium, tembaga, timah, nikel, timah dan
seng.
Keterbentukan mineral logam erat kaitannya dengan aktivitas tektonik. Proses
magmatisme terjadi karena adanya aktifitas arus konveksi yang menyebabkan
terjadinya pergerakan tektonisme lempeng-lempeng di bumi. Pergerakan tersebut
menyebabkan setting tektonik yang menghasilkan magma yang berbeda-beda. Setting
tektonik yang banyak berkembang di Indonesia adalah subduksi dimana salah satu
lempeng, baik lempeng benua maupun samudera dibawah lempeng yang lain setelah
terjadi proses tumbukan diantara keduanya akibat pengaruh arus konveksi. Proses-
proses tektonik dan magmatisme yang terjadi di Indonesia mempengaruhi komposisi
penyusun batuan dan penyebarannya. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki
kekayaan mineral yang berlimpah baik logam maupun non logam.
Proses-proses pembentukan mineral logam terdiri dari kristalisasi magma,
sublimasi, metasomatik kontak, dan hidrothermal.
a. Kristalisasi magma
Magma merupakan larutan silikat yang berasal dari perut bumi, mengandung
berbagai unsur kimia, baik berbentuk logam, semi logam, dan bukan logam
ataupun unsur-unsur volatil (pembentuk gas). Magma dapat bergerak kemana-
mana melalui celah-celah yang dapat membentuk intrusi. Dalam
perjalanannya magma mengalami penurunan tekanan dan temperature
sehingga terjadi kristalisasi mineral-mineral silikat (Bowen reaction series)
dan membentuk mineral silikat dan cairan magma. Sebelum magma mencapai
akhir pembekuan, unsur-unsur yang masih tersisa dalam cairan sisa magma
akan membentuk oksida-oksida magmatik dan endapan sulfida. Cairan
tersebut dapat berkumpul dalam celah-celah ataupun rekahan-rekahan yang
akan membentuk pegmatit. Sisa cairan yang sudah tidak kental sebagian besar
mengandung air dan gas-gas logam-logam yang terlarut di dalamnya (larutan
hidrothermal), yang kemudian akan mengendapkan mineral-mineral
hidrothermal. Endapan bahan galian yang terbentuk bersama-sama dengan
batuan sekeliling disebut sebagai bahan galian singenetik, dan endapan bahan
galian logam yang terbentuk sesudah terjadinya endapan tersebut disebut
bahan galian epigenetik.
b. Sublimasi
Sublimasi adalah proses pengendapan langsung dari uap dan gas. Hal ini
terjadi karena adanya penurunan tekanan. Terbentuknya endapan mineral ini
sebagai akibat terjadinya reaksi anatara dua gas atau lebih.
c. Metasomatisme Kontak
Intrusi magma yang telah menjadi padatan mempunyai sisa magma yang
berupa cairan dan gas bersuhu tinggi. Apabila cairan dan gas ini masuk dan
bersentuhan pada celah-celah batuan lainnya dapat membentuk reaksi kimia
dan menghasilkan mineral-mineral baru.
d. Proses Hidrothermal
Cairan hidrothermal yang mengandung konsentrasi logam-logam yang
terdapat di dalam magma dan tidak mengalami pengkristalan membawa
logam-logam ke tempat yang baru dianggap sebagai asal dari endapan-
endapan epigenik. Beberapa mineral logam yang terbentuk karena proses
hidrothermal adalah: emas, perak, tembaga, timbal, seng, air raksa, antimon,
molibden, dan sebagainya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
terbentuk mineral yang berasal dari proses hidrothermal, yaitu:
- Terdapat cairan bermineral yang mampu melarutkan dan mengangkut
hasil larutan mineral.
- Terdapat celah-celah di dalam batuan yang dapat dilalui cairan tersebut.
- Ada tempat-tempat yang menguntungkan bagi terjadinya pengendapan
mineral.
- Terjadi reaksi kimia yang mampu mengendapkan mineral.
- Cukup terkumpul endapan mineral sehingga memungkinkan dilakukan
kegiatan penambangan.
Jenis endapan mineral yang terbentuk dibumi bergantung pada jenis tatanan
tektoniknya. Berikut adalah gambar hubungan tektonik lempeng dengan keberadaan
endapan mineral.
Gambar 1. Tektonik lempeng dan endapan mineral
Gambar 2 merupakan peta penyebaran endapan porfiri Cu-Au dan Au di
Indonesia. Berdasarkan keterdapatannya sesuai Gambar 1, porfiri tembaga-emas
memungkinkan untuk hadir hampir diseluruh wilayah Asia Tenggara, akan tetapi
pada Gambar 2, penyebaran porfiri tembaga-emas di Pulau Sumatera tidak banyak.
Gambar 2. Peta tektonik regional Asia Tenggara, menunjukkan endapan pofiri Cu-Au utama dan epitermal Au
KAJIAN PUSTAKA
A. Genesa Tembaga
Genesa endapan bijih tembaga secara garis besar dapat dibagi 2 (dua) kelompok,
yaitu genesa primer dan genesa sekunder.
1. Genesa Primer
Logam tembaga, proses genesanya berada dalam lingkungan magmatik, yaitu
suatu proses yang berhubungan langsung dengan intrusi magma. Bila magma
mengkristal maka terbentuklah batuan beku atau produk-produk lain. Produk lain itu
dapat berupa mineral-mineral yang merupakan hasil suatu konsentrasi dari sejumlah
elemen-elemen minor yang terdapat dalam cairan sisa.
Pada keadaan tertentu magma dapat naik ke permukaan bumi melalui
rekahan-rekahan (bagian lemah dari batuan) membentuk terowongan (intrusi). Ketika
mendekati permukaan bumii, tekanan magma berkurang yang menyebabkan bahan
volatile terlepas dan temperatur yang turun menyebabkan bahan non volatile akan
terinjeksi ke permukaan lemah dari batuan samping (country rock) sehingga akan
terbentuk pegmatite dan hidrotermal.
Endapan pegmatite sering dijumpai berhubungan dengan batuan plutonik
tapi umumnya granit yang kaya akan unsur alkali, aluminium, kuarsa dan beberapa
muskovit dan biotit.
Endapan hidrotermal merupakan endapan yang terbentuk dari proses
pembentukan endapan pegmatite lebih lanjut, dimana larutan bertambah dingin dan
encer. Cirri khas endapan hidrotermal adalah urat yang mengandung sulfida yang
terbentuk karena adanya pengisian rekahan (fracture) atau celah pada batuan semula
rendah, tersebar relatif merata dengan jumlah cadangan yang besar. Endapan bahan
galian ini erat hubungannya dengan intrusi batuan Complex Subvolcanic
Calcaline yang bertekstur porfitik. Pada umumnya berkomposisi granodioritik,
sebagian terdeferensiasi ke batuan granitik dan monzonit. Bijih tersebar dalam bentuk
urat-urat sangat halus yang membentuk meshed network sehingga derajat
mineralisasinya merupakan fungsi dari derajat retakan yang terdapat pada batuan
induknya (hosted rock). Mineralisasi bijih sulfidanya menunjukkan perkembangan
yang sesuai dengan pola ubahan hidrotermal.
Zona pengayaan pada endapan tembaga porfiri:
Zona pelindian.
Zona oksidasi.
Zona pengayaan sekunder.
Zona primer.
Reaksi yang terjadi pada proses pengayaan tersebut adalah :
5FeS2 + 14Cu2+ + 14SO42- + 12H2O 7Cu2S + 5Fe2+ + 2H+ + 17SO4
2-
Sifat susunan mineral bijih endapan tembaga porfiri adalah:
- Mineral utama terdiri : pirit, kalkopirit dan bornit.
- Mineral ikutan terdiri : magnetit, hematite, ilmenit, rutil, enrgit, kubanit,
kasiterit, kuebnit dan emas.
- Mineral sekunder terdiri : hematite, kovelit, kalkosit, digenit dan tembaga natif.
Akibat dari pembentukannya yang bersal dari intrusi hidrotermal maka
mineralisasi bijih tembaga porfiri berasosiasi dengan batuan metamorf kontak seperti
kuarsit, marmer dan skarn.
2. Genesa Sekunder
Dalam pembahasan mineral yang mengalami proses sekunder terutama akan
ditinjau proses ubahan (alteration) yang terjadi pada mineral-mineral urat (vein).
Mineral sulfida yang terdapat di alam mudah sekali mengalami perubahan. Mineral
yang mengalami oksidasi dan berubah menjadi mineral sulfida kebanyakan
mempunyai sifat larut dalam air. Akhirnya didapatkan suatu massa yang berongga
terdiri dari kuarsa berkarat yang disebut Gossan (penudung besi). Sedangkan material
logam yang terlarut akan mengendap kembali pada kedalaman yang lebih besar dan
menimbulkan zona pengayaan sekunder.
Pada zona diantara permukaan tanah dan muka air tanah berlangsung sirkulasi
udara dan air yang aktif, akibatnya sulfida-sulfida akan teroksidasi menjadi sulfat-
sulfat dan logam-logam dibawa serta dalam bentuk larutan, kecuali unsur besi.
Larutan mengandung logam tidak berpindah jauh sebelum proses pengendapan
berlangsung. Karbon dioksit akan mengendapkan unsur Cu sebagai malakit dan
azurit. Disamping itu akan terbentuk mineral lain seperti kuprit, gunative, hemimorfit
dan angelesit. Sehingga terkonsentrasi kandungan logam dan kandungan kaya bijih.
Apabila larutan mengandung logam terus bergerak ke bawah sampai zona air
tanah maka akan terjadi suatu proses perubahan dari proses oksidasi menjadi proses
reduksi, karena bahan air tanah pada umumnya kekurangan oksigen. Dengan
demikian terbentuklah suatu zona pengayaan sekunder yang dikontrol oleh afinitas
bermacam logam sulfida.
Logam tembaga mempunyai afinitas yang kuat terhadap belerang, dimana
larutan mengandung tembaga (Cu) akan membentuk seperti pirit dan kalkopirit yang
kemudian menghasilkan sulfida-sulfida sekunder yang sangat kaya dengan
kandungan mineral kovelit dan kalkosit. Dengan cara seperti ini terbentuk zona
pengayaan sekunder yang mengandung konsentrasi tembaga berkadar tinggi bila
dibanding bijih primer.
Zona Alterasi hidrotermal dapat terbagi menjadi 5 Zona berdasarkan
kumpulan mineral ubahannya, yaitu
1. Zona Potasik ("Potassic Zone”)
Zona potasik merupakan zona alterasi yang berada pada bagian dalam suatu
sistem hidrotermal dengan kedalaman bervariasi yang umumnya lebih dari beberapa
ratus meter. Zona alterasi ini dicirikan oleh mineral ubahan berupa biotit sekunder, K
Feldspar, kuarsa, serisit dan magnetite. Mineral logam sulfida berupa pirit dan
kalkopirit dengan perbandingan 1:1 hingga 3:1, bentuk endapan dapat juga dijumpai
dalam bentuk mikroveinlet serta dalam bentuk menyebar (“disseminated”).
Pembentukkan biotiti sekunder ini dapat terbentuk akibat reaksi antara mineral mafik
terutama hornblende dengan larutan hidrotermal yang kemudian menghasilkan biotit,
feldspar maupun piroksen..
Selain biotisasi tersebut mineral klorit muncul sebagai penciri zona ubahan
potasik ini. Klorit merupakan mineral ubahan dari mineral mafik terutama piroksin,
hornblende maupun biotit, hal ini dapat dilihat bentuk awal dari mineral piroksin
terlihat jelas mineral piroksin tersebut telah mengalami ubahan menjadi klorit.
Pembentukkan mineral klorit ini karena reaksi antara mineral piroksin dengan larutan
hidrotermal yang kemudian membentuk klorit, feldspar, serta mineral logam berupa
magnetit dan hematit.
Alterasi ini diakibat oleh penambahan unsur pottasium pada proses
metasomatis dan disertai dengan banyak atau sediktnya unsur kalsium dan sodium
didalam batuan yang kaya akan mineral aluminosilikat. Sedangkan klorit, aktinolite,
dan garnet kadang dijumpai dalam jumlah yang sedikit. Mineralisasi yang umumnya
dijumpai pada zona ubahan potasik ini berbentuk menyebar dimana mineral tersebut
merupakan mineral – mineral sulfida yang terdiri atas pyrite maupun kalkopirit
dengan pertimbangan yang relatif sama.
Bentuk endapan berupa hamburan dan veinlet yang dijumpai pada zona
potasik ini disebabkan oleh pengaruh matasomatik atau rekristalisasi yang terjadi
pada batuan induk ataupun adanya intervensi daripada larutan magma sisa (larutan
hidrotermal) melalui pori-pori batuan dan seterusnya berdifusi dan mengkristal pada
rekahan batuan.
2. Zona Alterasi Serisit (“Phlic Zone”)
Zona alterasi ini biasanya terletak pada bagian luar dari zona potasik. Batas
zona alterasi ini berbentuk circular yang mengelilingi zona potasik yang berkembang
pada intrusi. Zona ini dicirikan oleh kumpulan mineral serisit dan kuarsa sebagai
mineral utama dengan mineral pyrite yang melimpah serta sejumlah anhidrit. Mineral
serisit terbentuk pada proses hidrogen metasomatis yang merupakan dasar dari
alterasi serisit yang menyebabkan mineral feldspar yang stabil menjadi rusak dan
teralterasi menjadi serisit dengan penambahan unsur H+, menjadi mineral
phylosilikat atau kuarsa. Dominasi endapan dalam bentuk veinlet dibandingkan
dengan endapan yang berbentuk hamburan kemungkinan disebabkan oleh
berkurangnya pengaruh metasomatik yang lebih mengarah ke proses hidrotermal. Hal
ini disebabkan karena zona ini semakin menjauh dari pusat intrusi serta berkurangnya
kedalaman sehingga interaksi membesar dan juga diakibatkan oleh banyaknya
rekahan pada batuan sehingga larutan dengan mudah mengisinya dan mengkristal
pada rekahan tersebut, mineralisasi yang intensif dijumpai pada vein kuarsa adalah
logam sulfida berupa pirit, kalkopirit dan galena.
3. Zona Alterasi Propilitik (“Prophylitic Zone”)
Zona ini berkembang pada bagian luar dari zona alterasi yang dicirikan oleh
kumpulan meneral epidot maupun karbonat dan juga mineral klorit. Alterasi ini
dipengaruhi oleh penambahan unsur H+ dan CO2. Mineral logam sulfida berupa
pyrite mendominasi zona ini dimana keterdapatannya dijumpai mengganti fenokris
piroksin maupun hornblende, sedangkan kalkopirit jarang dijumpai. Karakteristik dari
zona ubahan ini yaitu dijumpai kumpulan mineral ubahan yang umumnya berupa
klorit dan epidot serta dijumpainya mineral ubahan serisit dan kuarsa, lempung dan
karbonat dalam jumlah yang sedikit. Mineral karbonat dijumpai sebagai mineral
ubahan yang berasal dari ubahan mineral mafik maupun ubahan mineral plagoklas
yang kaya akan unsur Ca, bentuk endapan umumnya dijumpai dalam bentuk veinlet
disebabkan pengisian rekahan oleh larutan sisa magma yang melewati batuan
tersebut, dimana rekahannya merupakan zona yang lemah yang merupakan media
tempat larutan tersebut mengalir yang kemudian mengalami pembekuan dan
pengkristalan.
4. Zona Argilik (“Argillic Zone”)
Zona ini terbentuk karena rusaknya unsur potasium, kalsium dan magnesium
menjadi mineral lempung. Zona ini dicirikan oleh kumpulan mineral lempung,
kuarsa, dan karbonat. Unsur potasium, kalsium dan magnesium dalam batuan terubah
menjadi monmorilonit, illit, hidromika dan klorit. Diatas zona argillic kadang
terbentuk advanced argillit yang tersusun atas mineral diaspore, kuarsa atau silika
amorf korondum dan alunit yang terbentuk pada kondisi asam yang tinggi. Logam
sulfida yang biasanya terbentuk pada zona ini berupa pirit namun kehadirannya tidak
seintensif pada zona serisit dimana bentuk veinlet ini hadir pada bagian luar dalam
suatu sistem alterasi hidrotermal.
5. Zona Alterasi Skarn
Alterasi ini terbentukl akibat kontak antara batuan sumber dengan batuan
karbonat, zona ini sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan yang kaya akan
kandungan mineral karbonat. Pada kondisi yang kurang akan air, zona ini dicirikan
oleh pembentukan mineral garnet, klinopiroksin dan wollastonit serta mineral
magnetit dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan pada kondisi yang kaya akan
air, zona ini dicirikan oleh mineral klorit.,tremolit – aktinolit dan kalsit dan larutan
hidrotermal.
Proses pembentukkan skarn akibat urutan kejadian Isokimia–
metasomatisme–retrogradasi. Dijelaskan sebagai berikut :
• Isokimia merupakan transfer panas antara larutan magama dengan batuan
samping, prosesnya H2O dilepas dari intrusi dan CO2 dari batuan samping
yang karbonat. Proses ini sangat dipengaruhi oleh temperatur,komposisi dan
tekstur host rocknya (sifat konduktif).
• Metasomatisme, pada tahap ini terjadi eksolusi larutan magma kebatuan
samping yang karbonat sehingga terbentuk kristalisasi pada bukaan – bukaan
yang dilewati larutan magma.
• Retrogradasi merupakan tahap dimana larutan magma sisa telah menyebar pada
batuan samping dan mencapai zona kontak dengan water falk sehingga air
tanah turun dan bercampur dengan larutan.
TEORI TEKTONIK LEMPENG
Teori tektonik lempeng berasal dari hipotesis pergeseran benua (continental
drift) yang dikemukakan Alfred Wagener (1912) dan dikembangkan lagi dalam
bukunya “The Origin of Continents and Oceans” (1915). Ia mengemukakan bahwa
benua-benua yang sekarang adalah satu benua yang menjauh sehingga melepaskan
diri seperti ‘bongkahan es’ dari granit yang bermassa jenis rendah yang mengambang
di atas lautan basal yang lebih padat.
Teori ini mengatakan bahwa kerak bumi tidak bersifat permanen, tetapi
bergerak secara mengapung, mulai diperkenalkan pada awal abad ke 20. Pada tahun
1968, teori tentang kontinen mengapung sudah diterima secara luas, dan selanjutnya
disebut teori tektonik lempeng. Teori ini mempelajari hubungan antara deformasi
dengan keberadaan dan pergerakan lempeng di atas mantel bumi yang plastis.
Batas-batas lempeng ada tiga macam, dibedakan dari jenis pergerakannya,
yaitu :
1. Divergen
lempeng bergerak saling menjauh, menyeebabkan naiknya material dari
mantel bumi dan membentuk lantai samudra baru yang luas.
2. Konvergen
Lempeng-lempeng bergerak saling mendekat.
a. Subduksi
Lempeng benua dengan lempeng samudra. Pada peristiwa ini lempeng
samudra menunjam ke bawah dengan sudut 45 atau lebih, menyusup di
bawah lempeng benua.
b. Obduksi
Kenampakan dimana kerak benua menunjam di bawah kerak samudra.
Ada beberapa hipotesis tentang mula terjadi obduksi, yang paling
memungkinkan adalah bahwa diawali oleh penunjaman kerak samudra
dengan kerak benua di belakangnya. Penunjaman bias terjadi karena
perubahan dari batas lempeng divergen menjadi konvergen. Kelanjutan
penunjamn membawa kerak benua berbenturan dengan kerak samudra.
pada awalnya, kerak samudra naik ke atas kerak benua, sebelum akhirnya
penunjaman di tempat itu berhenti dan berpindah ke tempat lain yang
dapat mengakomodasi konvergensi antar lempeng.
c. Collision
Lempeng benua bertemu dengan lempeng benua. Kedua lempeng tersebut
tidak ada yang tertunjam karena keduanya memiliki massa jenis yang
sama, hal ini mengakibatkan pembentukan pegunungan lipatan yang
biasanya sangat tinggi.
3. Transform
Lempeng-lempeng bergerak saling berpapasan, tanpa membentuk atau
merusak litosfir, menghasilkan sesar mendatar.
KERANGKA PEMIKIRAN
Indonesia sangat menarik dalam tatanan tektoniknya, karena berada pada jalur
pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng india, lempeng asia dan lempeng
filipina. Akibatnya membentanglah sabuk magmatisme dari barat hingga timur
kepulauan Indonesia. Selain sebagai zona yang rawan terhadap bencana geologi,
Indonesia juga merupakan daerah yang kaya akan mineral, salah satunya tembaga.
Tembaga menarik dipelajari karena selain harganya yang cukup tinggi,
keterdapatannya pun cukup melimpah. Secara pembentukan tembaga terbagi menjadi
dua, yaitu porfiri dan epitermal (sulfidasi rendah).
Peneltitan ini dilakukan guna mengetahui mengapa penyebaran tembaga di
wilayah Indonesia bgian barat (Sumatra) tidak semelimpah di Indonesia bagian timur.
Penyelidikian ini dilakukan dengan membandingkan tektonik setting bagian barat dan
timur serta pengaruh litologi batuannya. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat
menjelaskan keterkaitan tektonik terhadap pembentukan mineral tembaga.
HIPOTESIS
Ketidakmelimpahannya tembaga pada wilayah Indonesia bagian barat (Sumatra)
disebabkan pengaruh dari tektonik setting dan litologi penyusunnya.
PEMBAHASAN
Asia Tenggara terdiri dari ofiolit, busur kepualauan dan samudera yang
merupakan hasil dari subduksi intra-oceanic dan oceanic-continental. Wilayah ini
terdiri dari tiga aktifitas tektonik, yaitu: Lempeng Philippine Sea (PSP) dan Lempeng
Caroline (CP) dibagian timur, lempeng Indian-Australian (IP) dibagian barat, dan
batas lempeng benua Eurasian dan benua India-Australian (AB).
Tektonik Asia Tenggara terdapat beberapa peristiwa tektonik, yaitu:
- Escape tectonic dekstral yang merupakan aktifitas tektonik antara blok
Indochina dan subduksi dari Lempeng proto-South Sea (PSCSP), dengan
adanya pemekaran di PSP.
- Tumbukan antara Australia dengan Philippines-Halmahera Arc dan
Ontong Java Plateu dengan busur Melanesian. Menutupnya PSCSP, dan
membukanya Laut Cina Selatan, penebalan kerak Kalimantan Utara
merupakan awal mula rotasi searah jarum jam PSP.
- Tumbukan antara Filipina dan batas benua Asia Tenggara menghasilkan
zona subduksi dari barat ke timur Filipina.
Ketiga peristiwa tektonik yang berbeda ini mempengaruhi bagaimana
keterdapatan porfiri tembaga-emas di wilayah-wilayah Asia Tenggara. Penyebaran
porfiri tembaga-emas di Indonesia bagian barat berjumlah seidikit, sedangkan di
Indonesia bagian timur terdapat porfiri tembaga-emas yang berlimpah, begitu juga
dengan di Papua New Guinea dan Filipina.
Keterdapatan endapan mineral tidak dipengaruhi oleh sistem busur, akan
tetapi keadaan sistem magma juga mempengaruhi keterdapatan endapan tersebut,
seperti magma potasik alkali, magma busur alkali, dan magma adakitic. Menurut
Mungall (2002), Pelelehan sebagian subduksi kerak samudera, hanya terjadi pada
keadaan tertentu, termasuk berhentinya subduksi, subduksi yang lambat atau subduksi
oblique, subduksi datar, dan subduksi kerak samudra yang sangat muda.
Pada Indonesia bagian barat, saat subduksi berlangsung lempeng India
menunjam di bawah lempeng Asia. Arah tumbukan oblik ini menghasilkan sesar
dextral Sumatra. Tidak terdapat endapan porfiri yang cukup signifikan di bagian barat
Indonesia. Tumbukan pada Kala Eosen ini terjadi saat lempeng samudra dingin
begitu juga lempeng benua yang relatif dingin. Selain itu penunjaman pada bagian
barat Sumatra bersifat dangkal. Sehingga menyebabkan kurangnya temperatur dalam
mengontrol pembentukan endapan porfiri yang ekonomis.
Adanya subduksi atau tumbukan bukan jaminan adanya endapan tembaga
yang besar, akan tetapi endapan ini terbentuk ketika tektonik secara tiba-tiba berubah
secara drastis, seperti saat berhenti atau mulai terjadinya subduksi. Jadi hal ini
bergantung pada kondisi termidinamika dari tumbukan litosfir (Mungall, 2000)
Berdasarkan grafik di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 fase tektonik
yang mengakibatkan terbentuknya mineral tembaga.
Kebanyakan mineralisasi terjadi pada masa Neogen yang
mengindikasikan bahwa mineralisasi juga sebenarnya tidak
bergantung pada umur kerak yang tersubduksi. Hubungan antara
usia busur dijelaskan dengan erosi sebagai akibat pengangkatan
selama aktivitas vulkanik dan erosi yang berhubungan dengan
kegiatan orogenik.