bab i pendahuluan -...

22
1 BAB I Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan (Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani) 1.1 Latar Belakang Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara- negara berkembang. Keadaan tersebut harus diiringi atau didukung oleh peningkatan kebutuhan akan pangan. Menurut apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, bahwa perkembangan manusia akan selalu lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan produksi bahan makanan, maka akan tiba saatnya, manusia kekurangan bahan makanan, jika tidak diimbangi oleh kemampuan mengatasinya. Kemampuan sumber daya alam sebagai penghasil pangan sangat terbatas, untuk itu perlu diupayakan pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan produksi pangan. 1 Krisis pangan yang terjadi pada era pasca Perang Dunia II dan kemajuan pemikiran dalam hal mengolah tanaman dan menanam berbagai jenis kebutuhan, membuat masyarakat khususnya para petani berbondong-bondong mencari cara agar tanaman yang ditanam terus sehat dan dapat menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, dalam upaya pencarian ini tidak jarang bahwa ada beberapa jenis tanaman lokal yang mulai hilang atau tidak eksis lagi dan kemudian digantikan dengan tanaman yang sedang naik daun. 2 1 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24978/4/Chapter%20II.pdf , diunduh pada tgl 09 Maret 2017, Pkl. 14.42WIB 2 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 22

Upload: phamnhi

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan

(Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes,

Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani)

1.1 Latar Belakang

Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara- negara berkembang.

Keadaan tersebut harus diiringi atau didukung oleh peningkatan kebutuhan akan

pangan. Menurut apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, bahwa

perkembangan manusia akan selalu lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan

produksi bahan makanan, maka akan tiba saatnya, manusia kekurangan bahan

makanan, jika tidak diimbangi oleh kemampuan mengatasinya. Kemampuan sumber

daya alam sebagai penghasil pangan sangat terbatas, untuk itu perlu diupayakan

pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan

produksi pangan.1 Krisis pangan yang terjadi pada era pasca Perang Dunia II dan

kemajuan pemikiran dalam hal mengolah tanaman dan menanam berbagai jenis

kebutuhan, membuat masyarakat khususnya para petani berbondong-bondong

mencari cara agar tanaman yang ditanam terus sehat dan dapat menghasilkan nilai

ekonomi yang tinggi, dalam upaya pencarian ini tidak jarang bahwa ada beberapa

jenis tanaman lokal yang mulai hilang atau tidak eksis lagi dan kemudian digantikan

dengan tanaman yang sedang naik daun.2

1 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24978/4/Chapter%20II.pdf , diunduh pada

tgl 09 Maret 2017, Pkl. 14.42WIB 2 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 22

2

Krisis pangan tidak saja berdampak di negara-negara maju tetapi juga di negara

berkembang, sebut saja Indonesia. Di Indonesia guna menjaga ketahanan pangan,

pemerintah berusaha keras dengan membuat program-program yang dapat membantu

mengatasi hal tersebut, program yang paling popular dan dianggap pemerintah

sebagai sebuah solusi atau jalan keluar adalah “Revolusi Hijau”. Tahun 1965,

Indonesia mengalami masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Keadaan

sosial, politik, serta ekonomi Indonesia pada saat itu sangat labil. Hal ini yang

menyebabkan Soeharto berusaha untuk mengkondusifkan kembali keadaan Indonesia

melalui perbaikan dalam bidang ekonomi. Pada awal pemerintahannya, Soeharto

mengarahkan program pemerintah kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional

terutama penyelesaian masalah inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan

pengamanan kebutuhan pokok rakyat.3 Sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk

memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang

dimulai sejak tahun 1970-an. Dalam bidang pertanian, masuknya Revolusi Hijau

telah menjawab satu tantangan yakni ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus

meningkat.

Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping, jika tanpa

pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.

Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu,

pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor,

pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati

3 http://www.repository.upi.edu/16839/5/S_SEJ_0901419_Chapter1.pdf

3

swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan

menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian

pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah

dikontrol pemerintah.4

Revolusi Hijau atau revolusi agraria dipahami sebagai suatu perubahan cara

bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan

produktivitas pertanian. Definisi lain menyebutkan bahwa revolusi hijau adalah

revolusi produksi biji-bijian dari penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari

varietas gandum, padi, jagung yang membawa dampak tingginya hasil panen. Tujuan

revolusi hijau adalah meningkatkan produktivitas pertanian dengan cara penelitian

dan eksperimen bibit unggul.5 Program Revolusi Hijau mengantarkan Indonesia

berhasil menjadi negara Swasembada pangan terbesar dunia pada tahun 1984.6

Dalam waktu yang cukup lama, program Revolusi Hijau juga telah berhasil

mengubah kebiasaan dan sikap para petani Indonesia yang awalnya menggunakan

sistem bertani secara tradisional menjadi sistem bertani yang modern di mana para

petani mulai menggunakan teknologi-teknologi pertanian yang ditawarkan oleh

program Revolusi Hijau.7 Perubahan sikap tersebut sangat berpengaruh terhadap

4 http://www.kompasiana.com/firlianggara/revolusi-hijau-dan-dampak

buruknya_552e08686ea8345b248b457b, diunduh pada tagl. 09 Maret 2016, pkl. 14.05WIB 5 https://herydotus.wordpress.com/2012/01/25/revolusi-hijau-revolusi-agraria/, diunduh pada

tanggal 22 Februari 2017, Pkl. 16.33WIB. 6 Soekartawi. (Beberapa Perubahan Mendasar Pasca Swasembada Beras. Prisma. No. 5 Tahun

XXII, 1993). 25-30. 7 Soekartawi., . . . 26

4

kenaikan produktifitas sub-sektor pertanian hingga Indonesia menjadi negara yang

berswasembada beras.

Namun demikian belakangan ini, mulai disadari bahwa Revolusi Hijau ternyata

bukan solusi menjaga ketahanan pangan, sebaliknya menjadi jalan pintas yang penuh

dengan duri yang racunnya amat mematikan. Revolusi Hijau membuat modal sosial

yang ada di dalam masyarakat mulai hilang secara perlahan-lahan. Pengaruh dari

gerakan Revolusi Hijau juga mendatangkan banyak persoalan, tidak saja bagi

kehidupan para petani kecil yang mau tidak mau harus bersaing agar tanaman yang

ditanam tahan lama dengan menggunakan cara-cara yang lebih modern, tetapi yang

lebih parah adalah gerakan Revolusi Hijau juga berpengaruh pada kesehatan,

kerusakan lingkungan dan kegiatan bertani yang tidak ramah lingkungan.8

Pengaruh yang timbulkan terhadap kerusakan lingkungan adalah tanah kehilangan

kesuburannya (humus tanah) selain itu berbagai jenis tanaman tidak tahan terhadap

penyakit, akibat penggunaan pupuk kimia. Kerusakan lingkungan karena rekayasa

genetika untuk menciptakan bibit-bibit unggul seperti Jagung Hibrida, Pisang

Amerika, Mangga Amerika dan tumbuhan lainnya yang lebih unggul dibandingkan

tanaman lokal yang ditanam oleh para petani. Rekayasa genetika ternyata

menghancurkan ekosistem, bibit unggul yang ditemukan melalui proses rekayasa

genetika ternyata sangat rentan terhadap hama. Tidak sampai di situ bahwa dengan

penggunaan bahan kimia, pupuk dan pestisida yang terlalu berlebihan kemudian

membunuh mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah sebagai zat pengendali, di

8 Perkumpulan Pikul-NTT: Riset Tematik, Amankah bahan Makanan Kita (Kupang: 2013), 9

5

mana cacing tanah akan mati.9 Sudah jatuh tertimpa tangga adalah peribahasa yang

dapat menggambarkan dampak masuknya Revolus Hijau dalam kehidupan petani di

desa Kotabes, yang juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Penggunaan

pestisida dan pupuk kimia buatan yang dikonsumsi secara berlebihan akan

mengakibatkan berbagai penyakit, sebaliknya Revolusi Hijau membuat kegiatan

bertani menjadi tidak ramah lingkungan sebab hasil panen yang meningkat akibat

penggunaan pupuk kimia dan pestisida membuat tanah semakin rusak dan tidak

produktif lagi.

Penggunaan obat- obatan atau zat-zat kimia dalam pertanian membuat manusia

beranggapan bahwa penyakit tanaman, seperti hama, kutu daun dan gulma dapat

diatasi atau dapat dimusnahkan, padahal masyarakat tidak menyadari bahwa pada

waktu dulu nenek moyang kita menangani hama dan tanaman secara holistik, sebagai

satu kesatuan. Di daerah Jawa misalnya, mereka beranggapan bahwa hama dan

penyakit padi adalah penjelmaan, Kala Gumarang, raksasa yang menggangu Dewi

Sri, babi hutan ini dibunuh oleh Wisnu dengan Panah. Pada malam hari para petani

sering sekali mengelilingi sawah dengan membawa obor yang membantu menarik

serangga sehingga membuat mereka terbakar, ular sawah tidak diganggu. Begitu pula

dengan burung-burung pemakan ulat, dengan usaha-usaha ini secara tidak langsung

keseimbangan hayati tetap terjaga. Akan tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan,

pada permulaan abad ke- 20, obat-obatan atau pestisida mulai berkembang, dengan

dasar pikiran bahwa zat-zat yang dibutuhkan oleh tanaman dapat digantikan dengan

9 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, . . . 24-25

6

zat lain di luar ekosistemnya10, seperti, pupuk organik dari kotoran hewan dan

dedaunan kering. Banyak kemajuan genetika yang membantu orang membuat

tanaman-tanaman yang tahan terhadap penyakit.11

Tidak hanya sampai di situ bahwa Revolusi Hijau yang awalnya diagung-

agungkan sebagai “penyelamat” ternyata bertolak belakang dengan keadaan yang

terjadi sekarang, di mana hasil panen yang ada membuat petani tetap miskin tidak

kaya-kaya, banyak hewan yang tidak lagi makan rumput atau berkeliaran di

sembarang tempat mengingat lahan pertanian atau perkebunan sudah penuh dengan

pestisida dan bahan kimia, biaya perawatan tanaman dengan membeli pupuk dan

pestisida terkadang jauh melebihi hasil panen. Lingkungan alam menjadi rusak, di

mana Lingkungan alam sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan

keadaan (kondisi atau kekuatan) sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan

tingkah laku organisme selain lingkungan alam, lingkungan hidup pun menjadi

terganggu yakni perikehidupan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.12

Eka Darmaputera mengemukakan tiga hal mengenai hubungan manusia dengan alam

yaitu: Pertama, orang memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan

sehingga manusia harus tunduk kepada alam dan menghormatinya seperti dengan

menggunakan sesajen. Kedua, alam di pandang sebagai obyek dan manusia

10 Maksudnya adalah kalau di dalam ekosistem itu terjadi secara alamiah seperti dedaunan

kering dan kotoran hewan sedangkan yang dimaksud dengan di luar ekosistem mungkin mengarah

kepada bahan-bana buatan manusia (pupuk, pestisida dll) 11 Prof. Dr. Haruono Sumangun, Peran Masyarakat dalam Pengendalian Hama dan Penyakit

Tanaman, dalam Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner: Pengelolaan Ketahanan Hayati Berbasis

Masyarakat, 55-56. 12 Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), 675

7

mengambil peran sebagai subyek. Ketiga, manusia dan alam sama-sama dipandang

sebagai dua subyek yang saling mempengaruhi sehingga dapat dibangun hubungan

yang selaras.13 Hal ini ditinjau dari pandangan masyarakat tradisional. Oleh Malcolm

Brownlee, ia melihat hubungan manusia dengan alam pada era modern di mana

manusia berusaha menguasai dan menggunakan alam seperti pada pandangan kedua

di atas. Perkembangan ilmu teknologi menjadikan alam bukan lagi sesuatu yang

sakral, melainkan sebagai obyek penelitian untuk diselidiki dan digarap.14

Pertanyaan sekarang bagaimana cara menanggulangi hal ini? Tinjauan ekoteologi

mungkin dapat membantu melihat hal ini, di mana Ekoteologi berasal dari kata

ekologi dan teologi. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli

ilmu hayat dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa

Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu. Oleh karena itu,

secara harafiah ekologi adalah ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau

dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.15 Istilah

teologi dalam bahasa Yunani adalah theologia. Istilah ini berasal dari gabungan dua

kata theos yang berarti Allah dan logos yang berarti logika. Jadi, teologi adalah ilmu

mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Berdasarkan

penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ekoteologi merupakan ilmu yang

mempelajari interrelasi antara Tuhan dengan alam semesta demi terciptanya

13 Eka Darmaputera Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian

Society (Ph. D, dissertation , Boston College and Andover Newton Theological School, Newton

Center, Massachusetts, 1982) 263-264. 14 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2001) 152-156. 15 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan

(Jakarta:Djambatan,1991), 19.

8

keseimbangan dan pola relasi yang saling menghargai antara manusia dengan alam.

Manusia sebagai agen yang diberikan mandat untuk manjaga dan mengelola

lingkungan membuat dia tentunya sadar untuk bagaimana mengambil sikap agar

kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Masuknya revolusi hijau yang merusak ekosistem, menghilangkan varietas-

varietas lokal, membuat masyarakat menjadi orang-orang yang ingin hidup instan

tanpa bekerja keras dan mempedulikan alam. Revolusi hijau juga, mengakibatkan

terjadinya kemiskinan terhadap para petani (baik kebun maupun ladang), kampung

menjadi sepi karena banyak anak-anak yang merantau dan menjadi TKI atau TKW di

negeri tetangga.16 Revolusi Hijau juga berdampak dalam kehidupan masyarakat di

Desa Kotabes Kecamatan Amarasi, NTT. Dulunya Amarasi terkenal dengan

pertanian dan peternakan sapi Timor yang cukup besar, di mana sistem pemeliharaan

ternak sapi yang diterapkan oleh masyarakat di Kecamatan ini terdiri dari dua sistem

yakni intensif dan ekstensif. Pemeliharaan induk dan anak sapi mengalami

permasalahan yang cukup serius yakni menurunnya jumlah dan mutu padang

penggembalaan yang disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya alih fungsi

padang penggembalaan menjadi areal pemukiman akibat pertambahan populasi

penduduk dan invasi gulma semak bunga putih (Chromolaena odorata). Semak

bunga putih adalah tanaman yang memiliki karakteristik pertumbuhan yang sangat

cepat walaupun di lahan kritis. Tumbuhan ini menghasilkan biji yang banyak dan

16 Fenomena ini yang ditemukan di lapangan bahwa di Desa Kotabes kebanyakan para

pemuda menjadi TKI/ TKW dengan alasan tidak lagi ada lapangan pekerjaan. Bagi anak muda bekerja

di kebun tidak lagi dapat menjawab kebutuhan hidup mereka. mungkin ini juga dipengaruhi oleh gaya

hidup yang mulai beralih ke gaya hidup perkotaan yang semakin mewah.

9

mudah tersebar dengan bantuan angin. Selanjutnya tanaman ini dianggap suatu gulma

yang sangat merugikan karena: (1) dapat mengurangi kapasitas tampung padang

penggembalaan, (2) dapat menyebabkan keracunan, bahkan mungkin sekali

kemarau.17 Namun predikat sebagai daerah pertanian dan peternakan sapi Timor itu

tinggal kenangan bahwa Kecamatan Amarasi merupakan salah satu kantong produksi

ternak sapi Kabupaten Kupang. Hal ini dibuktikan dengan posisi Kecamatan

Amarasi pada urutan 2 dari data sebaran populasi ternak sapi di Kabupaten Kupang

dengan jumlah populasi sebanyak 19.243 ekor atau sebesar 12.68% dari total sapi di

Kabupaten Kupang.18

Selain cara beternak tradisional yang mulai hilang, cara bertani yang tradisional

juga bergeser. Kita tidak akan melihat lagi masyarakat saling membantu untuk

membersihkan ladang atau kebun, tidak ada kegiatan membersihkan rumput bersama,

yang ada membersihkan rumput dengan menggunakan alat pembasmi rumput agar

lebih cepat dan tidak memakan waktu. Dampak Revolusi Hijau membuat keinginan

masyarakat Desa Kotabes, semakin kuat agar menghasilkan tanaman yang tahan akan

sakit penyakit dengan cara, membeli pupuk, obat tanaman (pestisida dengan banyak

variasi karena banyak penyakit juga), membuat para petani berlomba-lomba.19

17http://download.portalgaruda.org/article.php?article=392996&val=8609&title=PEMANFA

ATAN%20GULMA%20SEMAK%20BUNGA%20PUTIH%20(Chromolaena%20odorata)%20SEBA

GAI%20BAHAN%20PEMBUAT%20PUPUK%20ORGANIK%20BOKHASI%20DALAM%20RAN

GKA%20MENGATASI%20PENYEMPITAN%20PADANG%20PEMGGEMBALAAN%20DAN%2

0MENCIPTAKAN%20PERTANIAN%20TERPADU%20BERBASIS%20ORGANIK. Jurnal

Pengabdian Masyarakat Peternakan Vol. 1 No. 1 Tahun 2016 18 BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Kupang, 2014 19 Maksudnya adalah petani yang ada di Desa Kotabes cenderung mencari pestisida yang

cocok untuk menjaga kualitas tanaman agar ketika dijual harganya jauh lebih tinggi. Karena tidak

dapat dipungkiri bahwa harga panen biasanya tidak stabil, ketika pasokan panen (tomat dan tanaman

lainnya) di pasar sedikit maka harganya akan naik tetapi sebaliknya ketika pasokan panen sudah mulai

10

Pemandangan ini akan sering terlihat ketika musim tanam akan tiba. Salah satu

contoh akibat penggunaan pestisida yang berlebihan terkadang membuat hasil yang di

dapatkan oleh masyarakat di Desa Kotabes ini, tidak sebanding dengan proses

perawatan tanaman sehingga mengakibatkan para petani di Desa Kotabes mengalami

kerugian. Kebutuhan akan bibit unggul mulai dicari agar dapat menghasilkan nilai

jual yang tinggi, tidak jarang para petani di Desa Kotabes mencari bibit-bibit yang

dijual di toko dengan tujuan agar dapat menghasilkan tanaman yang lebih baik.

Mereka lupa tanah tempat mereka menanam tidak sehat lagi, lingkungan menjadi

“sakit” dan perlu penanganan yang lebih baik. Penyakit mulai menyerang akibat

penggunaan pestisida dan obat-obatan yang begitu banyak. Revolusi Hijau hanya

memberikan kesenangan sesaat bagi masyarakat Desa Kotabes tetapi menimbulkan

kesedihan yang mendalam.

Gaya bertani yang mulai berubah, mengakibatkan rusaknya ekologi karena

masuknya Revolusi Hijau dalam kehidupan para petani dan dunia pertanian, sehingga

mengharuskan adanya cara lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat tani Desa

Kotabes untuk tetap melakukan kegiatan bertani yang ramah lingkungan, demi

perekonomian yang tetap dapat meningkat dan juga kelestarian alam akan tetap

terjaga. Alternatif lain yang ditawarkan adalah dengan menggunakan metode bertani

atau pertanian organik. Pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi

pertanian yang holistik (keseluruhan) dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan

kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga mampu

banyak maka harga akan semakin turn. Hal inilah yang diperhitungkan oleh masyarakat tani yang ada

di desa Kotabes agar mendapatkan keuntungan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

11

menghasilkan pangan dan serat yang cukup berkualitas serta berkelanjutan.20 Dapat

dikatakan bahwa pertanian organik ialah suatu sistem pertanian yang mengupayakan

kembalinya semua jenis bahan organik ke dalam tanah, sehingga mendukung siklus

biologi dan aktivitas biologi tanah guna memperbaiki struktur tanah agar kesuburan

tanah meningkat tanpa menggunakan bahan-bahan yang mengandung kimia sintetis

dan tidak merusak lingkungan pada proses produksinya.

Ada empat prinsip dasar yang penting dalam pertanian organik. Adapun prinsip

pertanian organik tersebut ialah sebagai berikut:21 Pertama, prinsip kesehatan. Prinsip

kesehatan yaitu pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan

tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.

Kedua, prinsip ekologi. Prinsip ekologi yaitu pertanian organik harus didasarkan pada

sistem dan siklus ekologi kehidupan, yaitu bekerja, meniru dan berusaha memelihara

sistem dan siklus ekologi kehidupan. Ketiga, prinsip keadilan. Prinsip keadilan yaitu

pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan

terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama, dan keempat, prinsip

perlindungan, Prinsip perlindungan yaitu pertanian organik harus dikelola secara hati-

hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi

sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Bertani seperti ini menjadi alternatif

yang kiranya dapat membantu agar kelestarian alam tetap terjaga, perekonomian

menjadi terpenuhi dan juga ramah lingkungan.

20 H. Didiek Goenadi, 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi

Agribisnis yang Berkelanjutan. http://www.ipord.com/art_perkebunan/dhg1.asp. Diunduh pada

tanggal 05 Mei 2017, Pkl. 15.00WIB 21IFOAM. Prinsip-Prinsip Pertanian Organik. http://www.ifoam.org/aboutifoam/

pdfs/POA_folder_indonesian pdf. Diunduh pada tanggal 05 Mei 2017, Pkl. 15.30wib

12

Banyak tulisan ataupun penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa organisasi

maupun perkumpulan orang-orang yang peduli akan kerusakan lingkungan maupun

juga yang peduli dengan pangan yang sehat bagi manusia maupun makhluk hidup

yang lain. Di antaranya ada tulisan tentang Petani Versus Globalisasi: Pertanian

Organik Sebagai Strategi yang ditulis oleh J. Mardimin dkk. Secara garis besar

buku ini berisi beberapa pembahasan mengenai bagaimana pengaruh globalisasi

dalam kehidupan masyarakat tani yang ada di lingkungan Jemaat GKJTU dalam hal

ini masuknya revolusi hijau dengan agendanya yakni “Pestisida”, revolusi hijau

dipandang sebagai “onak dan duri” yang mematikan, bukan merupakan solusi terbaik

tetapi sebaliknya. Di samping itu tulisan ini juga menjelaskan bagaimana cara

mengubah pandangan masyarakat yang sudah terlanjur dipengaruhi oleh masuknya

revolusi hijau, dengan menggunakan strategi baru yakni pertanian organik yang lebih

sehat dan juga ramah lingkungan. Pertanian organik menurut tulisan J. Mardimin dkk,

adalah alternatif yang dapat digunakan agar kelestarian hayati tetap terjaga dan pada

akhirnya tulisan ini akan membawa pengaruh yang positif, baik secara teori maupun

praktek.22

Tulisan yang kedua adalah tentang “Amankah Bahan Makanan Kita?” yang

ditulis oleh Komunitas PIKUL yang ada di Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini

secara eksplisit merupakan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat

tani yang menggunakan bahan pestisida dalam mengelola tanaman mereka, selain

melihat penggunaan pestisida komunitas ini juga melihat tentang bagaimana dampak

22 J. Mardimin, dkk. Petani versus Globalisasi, (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009),

13

kesehatan yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan terhadap

tanaman. Penelitian ini dilakukan di beberapa daerah di wilayah Kota dan Kabupaten

Kupang yakni Kecamatan Kupang Barat, Kupang Timur, Maulafa, Naioni dan

Amarasi dan hasil yang didapatkan adalah bahwa penggunaan pestisida di kalangan

masyarakat tani tidak terkontrol, pengunaannya sudah sangat tinggi pada petani

holtikultural, pemahaman akan pengaruh dari pestisida masih kurang apalagi yang

berkaitan dengan pengaruh tanaman yang sudah terkontaminasi pestisida bagi

kesehatan manusia dan lingkungan (tanah).23

Tulisan yang ketiga tentang Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau yang

ditulis oleh Isvasta Eka. Secara garis besar berisi tentang bagaimana agenda lain

dari Revolusi Hijau yang ditawarkan yakni tentang penggunaan Pestisida dan pupuk

anorganik. Penggunaan pestisida yang berlebihan seperti yang dijelaskan dalam buku

ini akan menimbulkan beberapa dampak baik bagi ekosistem, manusia, tumbuhan dan

juga hewan. Ketika semakin banyak tumbuhan diberikan pupuk kimia dan pestisida

maka hama atau penyakit akan semakin kebal dan tidak akan mempan lagi ketika

diberikan pestisida dengan takaran yang biasa saja, dosis atau takaran akan terus

ditambahkan ketika penyakit tanaman tidak dapat diatasi lagi. Selain itu dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, maka semakin

besar pula peluang untuk terus menciptakan inovasi yang baru terhadap pestisida dan

pupuk kimia lainnya, apalagi ketika tanaman yang ditanam bukan lagi tanaman lokal

23 http://www.perkumpulanpikul.org/2013/07/amankah-bahan-makanan-kita/, Diunduh pada

tgl 22 Februari 2017, Pkl. 11.40WIB

14

maka yang terjadi adalah penyakit akan semakin rentan karena tanaman baru tidak

cocok dengan objek atau tempat untuk menanam.24

Menurut saya dari ketiga tulisan ini belum membahas mengenai bagaimana

pengaruh masuknya revolusi hijau dan pandangan masyarakat tentang bertani yang

tinjau dari Ekoteologi, sehingga dengan adanya tulisan ini dapat membantu

masyarakat tani secara umum dan lebih khusus masyarakat Desa Kotabes untuk

melakukan kegiatan bertani sebagai upaya menjamin kebutuhan hidup dalam hal ini

pemenuhan ekonomi dengan melakukan kegiatan bertani yang ramah akan

lingkungan. Keutamaan tulisan ini jelas ingin melihat apakah masyarakat selama ini

paham betul dengan bertani yang ramah lingkungan ataukah belum memahami sama

sekali. Maksudnya adalah masyarakat tani di desa Kotabes hanya bekerja,

menghasilkan panen yang baik tetapi tidak melihat bahwa lingkungan sedikit demi

sedikit mulai rusak dan pada akhirnya tidak dapat menghasilkan tanaman yang

produktif lagi.

Berdasarkan latar belakang dan juga beberapa tulisan pendukung yang sudah

gambarkan di atas saya mencoba merumuskannya dalam sebuah tulisan yang

berjudul:

Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan

(Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes,

Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani )

24 Isvasta Ekha, Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau (Jogjakarta: Kanisius, 1988),

15

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, berikut ini merupakan identifikasi masalah

yang ditemukan antara lain:

1. Revolusi Hijau pada dasarnya adalah agenda utama yang dibawa oleh

globalisasi yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Awalnya revolusi

hijau dipandang sebagai solusi yang paling baik guna meningkatkan

ketahanan pangan dan kehidupan para petani (petani ladang maupun kebun),

tetapi semakin memasuki era yang maju ternyata sebaliknya menjadi onak dan

duri yang mematikan. Agenda Revolusi Hijau mengahasilkan penggunaan

pestisida yang tentunya berpengaruh bagi kesehatan makhluk hidup (manusia,

tumbuhan dan hewan) dan juga ekosistem lingkungan dalam hal ini tanah

yang menjadi media tanam. Pandangan masyarakat Desa Kotabes terhadap

pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani akan menjadi fokus utama dalam

penelitian ini.

2. Ketika Revolusi Hijau membawa pengaruh yang negatif (buruk), ini tidak saja

menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi di mana peran gereja sebagai

lembaga atau institusi perpanjangan tangan Allah. Tinjauan Ekoteologi akan

membantu bagaimana sikap gereja dan pemerintah menghadapi pengaruh

Revolusi Hijau dalam kehidupan para petani.

Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, permasalahan yang ada cukup luas,

maka penelitian dibatasi pada: Bagaimana pandangan masyarakat Desa Kotabes

Kecamatan Amarasi- NTT tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani.

16

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang dikemukakan

yakni, Bagaimana pandangan masyarakat Desa Kotabes Kecamatan Amarasi- NTT

tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam kehidupan bertani? Maka rumusan masalah

penelitian ini terdiri dari dua bagian yakni: 1). Apa saja praktik-praktik bertani

masyarakat Desa Kotabes, Kec. Amarasi yang mulai hilang akibat masuknya

Revolusi Hijau, 2). Apa tinjauan Ekoteologi terhadap pandangan masyarakat Desa

Kotabes Kecamatan Amarasi- NTT tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani?

dan 3). Apa peran Gereja terhadap persoalan kerusakan lingkungan atau Revolusi

Hijau?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1). Mendeskripsikan praktik-praktik bertani

yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kotabes yang telah berubah akibat masuknya

revolusi hijau, 2). Mendeskripsikan dan menganalisa tinjauan Ekoteologi terhadap

pandangan masyarakat Desa Kotabes tentang pengaruh Revolusi Hijau dalam bertani,

dan 3). Mendeskripsikan peran gereja terhadap persoalan kerusakan lingkungan atau

Revolusi Hijau.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran baik secara

teori maupun praksis kepada masyarakat Desa Kotabes Kecamatan Amarasi- NTT

yang berprofesi sebagai petani, sehingga dapat mengambil sikap yang tepat berkaitan

dengan pengaruh yang ditimbulkan dari Revolusi Hijau, yang secara tidak sadar

17

sedang dipraktikkan dalam kehidupan bertani maupun berkebun. Dengan penelitian

ini diharapkan ada solusi ataupun metode lain yang dapat digunakan untuk menjaga

keberlangsungan alam dan kehidupan manusia. Karena, kita tidak sadar bahwa

Revolusi Hijau ternyata menawarkan solusi yang tidak bertanggungjawab, dalam

artian bahwa Revolusi Hijau memaksa para petani (yang hidup di desa) meninggalkan

cara bertani yang tradisional dan lebih memfokuskan diri kepada cara bertani yang

modern dengan banyak menggunakan agenda Revolusi Hijau (pestisida dan bibit

unggul). Saya yakin bahwa pengetahuan tradisional masyarakat masih eksis dan dapat

membantu menjaga lingkungan.

1.6. Urgensi Penelitian

Secara praksis, penelitian ini menurut saya penting dilakukan karena belakangan

ini perilaku kehidupan masyarakat tani yang ada di Desa Kotabes sudah berubah di

mana mereka menjadi masyarakat tani yang harap gampang, misalnya, ketika hendak

membersihkan rumput di kebun atau ladang mereka tidak lagi membersihkan secara

manual (menggunakan parang dan alat pertanian tradisional lainnya) mereka

cenderung membeli beberapa obat pembasmi rumput yang lebih gampang dan tidak

memakan waktu.25 Cara kerja yang instan atau gampang ini, membuat masyarakat

tani tidak sadar bahwa itu merusak lingkungan dan ekosistem makhluk hidup lainnya.

Selain itu akibat cara bertani yang mulai berubah, dari cara tradisional menjadi yang

lebih modern berpengaruh pada kehidupan bertani dengan bertani yang tidak ramah

25 Berdasarkan pengamatan penulis bahwa obat pembersih rumput ini biasanya dalam bentuk

bubuk yang dicampurkan dengan air kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tanki atau alat semprot,

setelah itu penyemprotan dilakukan secara menyeluruh. Rumput-rumput akan berubah warna menjadi

coklat dan akan kering dengan sendirinya. Jadi, para petani tidak lagi menggunakan tangan untuk

mencabut ataupun alat lainnya.

18

lingkungan, mengapa? Revolusi hijau menawarkan berbagai kemudahan dalam

menjaga dan merawat tanaman salah satunya yang sedang eksis sekarang adalah

penggunaan pupuk anorganik dan pestisida, kegiatan bertani yang dulunya hanya

untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam keluarga berubah menjadi kegiatan bertani

yang tidak ramah lingkungan.

Tidak sampai di situ bahwa penduduk yang semakin bertambah ini

membutuhkan lahan atau tempat tinggal yang juga semakin besar, ketika semua lahan

digunakan sebagai kebun atau ladang, ini menjadi masalah yang harus ditangani.

Masuknya revolusi hijau ini membuat masyarakat tani maupun pemerintah harus

mencari alternatif atau solusi yang tepat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Itu

sebabnya menurut saya perlu dilakukan studi terhadap pengaruh revolusi hijau ini

sehingga masyarakat tani memahami bahwa kegiatan bertani yang dilakukan saat ini

tidak ramah lingkungan tetapi sebaliknya merusak lingkungan. Secara teori urgensi

dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan teori ekoteologi yang selama ini

hanya membahas tentang isu-isu besar seperti global warning, kebakaran hutan,

polusi udara, banjir, pembabatan hutan dan lain sebagainya, menjadi teori ekoteologi

yang membahas persoalan seperti penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang

menjadi bagian dari revolusi hijau dalam kehidupan bertani. Dengan begitu teori

ekoteologi mengalami perkembangan secara terus menerus.

1.7 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis rencanakan dalam penulisan ini adalah

jenis penelitian deskriptif-analitis yakni penelitian yang diarahkan untuk

19

mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang

terjadi dalam kehidupan manusia, melakukan interpretasi dan menganalisis secara

mendalam dan memberikan rekomendasi bagi keperluan masa yang akan datang.26

Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni suatu metode untuk

menangkap dan memberikan gambaran terhadap fenomena tertentu dalam kehidupan

manusia, mengeksplorasi dan memberikan penjelasan dari fenomena yang diteliti

tersebut.27

Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Informan yang akan

diwawancarai untuk mendukung penelitian ini adalah para petani, masyarakat, aparat

desa dan juga pendeta. Observasi yang dilakukan ialah pengamatan terhadap kegiatan

sehari-hari kehidupan bertani masyarakat. Metode pengumpulan data yang digunakan

oleh penulis adalah observasi (pengamatan) dan tehnik wawancara baik secara

terstruktur maupun tidak. Di mana di dalam bukunya Basrowi “Memahami Penelitian

Kualitatif”28 mengatakan bahwa observasi adalah salah satu metode pengumpulan

data di mana peneliti melihat atau mengamati secara visual sehingga didapatkan data

yang valid. Metode ini memiliki ciri spesifik dibandingkan dengan teknik yang lain.

Cara atau metode ini umumnya ditandai dengan pengamatan tentang hal-hal yang

benar-benar dilakukan oleh individu dan juga membuat pencatatan yang sifatnya

objektif mengenai apa yang diamati. Melalui observasi juga, deskripsi objektif dari

26 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 89. 27 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta:

Salemba Humanika, 2012), 8. 28 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008),

94-95

20

individu-individu dalam hubungannya yang aktual satu sama lain dan hubungan

dengan lingkungannya secara tidak langsung dapat diperoleh. Selain observasi,

peneliti juga menggunakan tehnik wawancara baik secara terstruktur (dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan) dan tidak terstruktur. Jenis wawancara tidak terstruktur yakni

tidak disusun terlebih dahulu, dengan kata lain mengalir begitu saja seperti

percakapan sehari-hari.29 Wawancara akan dilakukan kepada:

1. Para petani (pria dan wanita, orangtua dan juga anak muda),

2. Pemerintah setempat

3. Para sarjana pertanian (kalau ada)

4. Para penyuluh pertanian

1.8 Lokasi Penelitian

Tempat penelitian yang penulis pilih adalah Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi-

NTT. Kecamatan Amarasi sendiri adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Kupang

provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kecamatan ini memiliki 8 desa dan 1

Kelurahan. Masyarakat di Kecamatan ini umumnya adalah petani/peternak yang

hidup dari bercocok tanam dan memelihara ternak. Jenis tanaman yang diusahakan

adalah tanaman padi (sawah) dan tanaman hortikultura, sedangkan jenis ternak yang

dipelihara adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, babi, dan ayam30, kebiasaan bertani

atau berkebun yang lama mulai digantikan dengan teknologi yang lebih modern, tidak

29 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif , . . . , 130 30 Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan Vol. 1 No. 1 Tahun 2016

21

ada lagi dikerjakan dengan tangan, sudah ada traktor, sudah ada alat yang lebih maju

untuk membersihkan rumput yang ada di dalam ladang atau kebun.31

Lokasi ini dipilih karena beberapa alasan yakni, pertama, penulis melihat bahwa

pengaruh revolusi hijau begitu terlihat meskipun pada akhirnya penulis harus jujur

bahwa masyarakat desa Kotabes tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di

dalam agenda revolusi hijau. Kedua, kurangnya pengetahuan (sekalipun arus

globalisasi dan modernisasi sudah masuk tetapi bukan berarti membuat masyarakat

selalu meng-update informasi terbaru) membuat masyarakat yakin benar bahwa

kegiatan bercocok tanam yang dilakukan sudah benar, tidak membawa pengaruh baik

itu pengaruh yang baik ataupun buruk. Ketiga, alasan mengapa lokasi ini dipilih

adalah bahwa penulis ingin mempelajari bagaimana kegiatan bercocok tanam yang

dilakukan oleh masyarakat dari cara tradisional dan berubah menjadi yang lebih

modern apakah membawa pengaruh yang besar ataukah sebaliknya, dan Keempat,

alasan mengapa lokasi ini dipilih karena berdasarkan beberapa cerita masyarakat,

Amarasi dulunya dikenal sebagai lumbung peternakan sapi. Tanaman petes atau

lamtoro tumbuh dengan subur, karena menjadi makanan sapi. Namun akibat

masuknya varietas baru dari lamtoro, hama tanaman seperti kutu loncat mulai

“bermigrasi” ke Amarasi dan memakan habis semua jenis tanaman petes atau lamtoro

lokal. Hal ini menjadi dugaan penulis bahwa masuknya revolusi hijau mengakibatkan

banyak sekali kerugian bagi masyarakat tani dan peternak.

31 Pengamatan penulis di lapangan selama satu tahun magang

22

1.8 Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari Empat Bab, yakni: Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar

belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, urgensi penulisan, metode pengumpulan data, lokasi penelitian, dan

sistematika penulisan. Bab II Kerangka Konseptual, terdiri dari Teori Ekoteologi

dan Revolusi Hijau. Bab III Hasil Penelitian terdiri dari data lapangan dan

pembahasan tentang pandangan masyarakat desa Kotabes tentang pengaruh revolusi

hijau dalam bertani. Bab IV Analisa terdiri dari analisa teori yang ada di bab II

tentang ekoteologi dan revolusi hijau serta temuan-temuan dalam bab III mengenai

pandangan masyarakat tentang pengaruh revolusi hijau dalam bertani, dan Bab V

Penutup, meliputi kesimpulan, berisi temuan-temuan dan saran-saran yang berupa

kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya serta refleksi Teologi dari

penulis.