bab i pendahuluan i.1 latar belakang dewasa ini

42
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini pembangunan nasional Indonesia lebih difokuskan terhadap usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan global. Menyikapi tantangan global yang terus berkembang ini, maka peningkatan sumber daya manusia tentu menjadi jaminannya. Pembekalan atau pelatihan terhadap usaha peningkatan sumber daya manusia ini telah dilakukan secara baik oleh pemerintah saat ini dimana seperti membuat balai latihan kerja bersama ataupun dengan pendidikan formal di sekolah ataupun informal seperti kursus dan sebagainya. Pengembang sumber daya manusia Indonesia adalah bagian dari proses dan tujuan dalam pembangunan nasional Indonesia. 1 Oleh karena itu, pikiran-pikiran pembangunan yang berkembang di Indonesia dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kesadaran yang makin kuat akan tidaknya terhindarnya keikutsertaan bangsa Indonesia dalam proses global yang sedang berlangsung itu. Diharapkan proses ini membawa keuntungan dan mendorong 1 Ginandjar Kartasasmita, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Cides, Jakarta, h. 245.

Upload: dokiet

Post on 12-Jan-2017

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dewasa ini pembangunan nasional Indonesia lebih difokuskan terhadap

usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan

secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan

memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan

tantangan global.

Menyikapi tantangan global yang terus berkembang ini, maka peningkatan

sumber daya manusia tentu menjadi jaminannya. Pembekalan atau pelatihan

terhadap usaha peningkatan sumber daya manusia ini telah dilakukan secara

baik oleh pemerintah saat ini dimana seperti membuat balai latihan kerja

bersama ataupun dengan pendidikan formal di sekolah ataupun informal seperti

kursus dan sebagainya. Pengembang sumber daya manusia Indonesia adalah

bagian dari proses dan tujuan dalam pembangunan nasional Indonesia.1 Oleh

karena itu, pikiran-pikiran pembangunan yang berkembang di Indonesia

dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kesadaran yang makin kuat akan tidaknya

terhindarnya keikutsertaan bangsa Indonesia dalam proses global yang sedang

berlangsung itu. Diharapkan proses ini membawa keuntungan dan mendorong

1 Ginandjar Kartasasmita, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Cides, Jakarta, h. 245.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

2

proses pembangunan nasional.2 Hal yang ingin dicegah adalah bahwa bangsa

Indonesia hanyut tanpa kendali dalam arus globalisasi itu dan tenggelam

didalamnya, dan bahwa proses globalisasi akan berwujud proses dehumanisasi.

Pada waktu yang bersamaan, bangsa Indonesia juga menghadapi tantangan

untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu

maju. Oleh karena itu, pembangunan bangsa yang maju dan mandiri, untuk

mewujudkan kesejahteraan, mengharuskan dikembangkannya konsep

pembangunan yang bertumpu pada manusia dan masyarakatnya.3 Atas dasar

itu untuk mencapai tujuan pembangunan yang demikian, titik berat

pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi dengan kualitas sumber daya

manusia.

Adanya arus globalisasi yang makin meningkat dewasa ini maka tidak

menutup kemungkinan pula bahwa akan lahirnya tindakan yang ingin

mendapatkan apapun yang diinginkan dengan mudah dapat terjadi. Melihat

fenomena masyarakat yang tergolong dalam ekonomi rendah atau dapat

dikatakan sumber daya alamnya kurang mumpuni dalam mencari pemenuh

kebutuhan tentu mereka akan melakukan segala upaya dalam memenuhi setiap

kebutuhannya. Hal inilah yang harus disadari bahwa terkadang orang-orang

yang berada dibawah tekanan akan dengan mudah mendapat pengaruh yang

ingin menguntungkan bagi hidupnya, sehingga dirinya akan dengan mudah

2 Ibid., h. 246. 3 Ibid., h. 286.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

3

menerima ajakan atau mencari tempat dan sarana penghidupan yang layak

demi memperbaiki kehidupannya.

Perubahan paradigma dalam diri manusia ini akan terus terjadi seiring

dengan terjadinya perubahan dan perkembangan jaman itu sendiri. Setiap hal

akan berubah termasuk manusia itu sendiri dengan pemikiran yang akan

semakin berkembang. Perubahan itu ada kalanya berjalan terlalu cepat,

sehingga tidak semua anggota masyarakat mampu mengikuti irama yang

sedang berkembang. Dalam keadaan tertentu, pada tahap perubahan tersebut,

terdapat kondisi-kondisi yang kondusif bagi maraknya kejahatan, yakni

manakala terjadi penurunan kehidupan politik, sosial-ekonomi yang diperparah

dengan jurang kaya-miskin, dan merosotnya keadilan.4 Dengan merosotnya

keadilan ini maka tidak menutup kemungkinan bahwa akan lahirnya kejahatan,

dimana kejahatan jalanan yang dulu kita kira hanya bersifat sangat lokal, kini

ternyata mempunya pertautan dengan kejahatan transnasional (transnational

crime).5

Kejahatan transnasional apa pun bentuknya sekarang ini, ikut menjadi

penumpang globalisasi. Maka, untuk mengatasi kejahatan tersebut, kita mula-

mula dituntut harus paham tentang mekanisme yang berkembang dalam

globalisasi. Tatanan global dewasa ini ditandai dengan semakin mengerutnya

dunia, karena lahirnya percepatan. Kondisi akseleratif dalam globalisasi

4 Ronny Rahman Nitibaskara, 2007, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 227.

5Ibid., h. 230.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

4

tersebut menjadi ajang dan medan operasi kejahatan, sekaligus harus menjadi

arena pemberantasannya.6

Salah satu masalah kejahatan transnasional yang saat ini terjadi dan masih

menjadi polemik adalah masalah kejahatan penyelundupan manusia (Human

Smuggling). Kejahatan penyelundupan manusia (Human Smuggling) mungkin

masih asing terdengar di telinga kita dimana kita biasanya hanya mendengar

istilah perdagangan manusia (Human Trafficking) atau istilah penyelundupan

barang (Goods Smuggling) seperti narkoba, psikotropika, barang-barang black

market (pasar gelap) dan jenis barang lainnya. Penyelundupan manusia

merupakan modus operandi dimana sekelompok orang melakukan migrasi atau

mencari suaka ke luar daerah tempat dia berasal dengan bantuan orang lain

ataupun prakarsa sendiri melewati batas-batas wilayah negara lain secara

ilegal. Migrasi ini biasanya tidak dilakukan sendiri melainkan berkelompok

dan biasanya menuju negara lain guna mencari penghidupan yang lebih baik.

Patrick Manning dalam bukunya Migration in World History (2005)

menyatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia–homo sapiens–telah

terjadi sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi.7 Dorongan utama dilakukannya

migrasi pada masa itu secara umum berasal dari naluri alamiah umat manusia

untuk mencari tempat tinggal atau daerah bermukim yang dapat memberikan

keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat, bangsa Canaan (yang sekarang

disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia menuju Eropa,

6Ibid., h. 231. 7 Patrick Manning, 2005, Migration in World History, Routledge, London, h. 20.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

5

demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya dan

bangsa-bangsa lainnya.8

Para ahli sejarah dan geografi sepaham dengan pendapat bahwa migrasi

manusia selanjutnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor

ketidaknyamanan kondisi iklim, kurangnya persediaan makanan (ekonomi),

perang (konflik senjata dan keamanan), dan faktor sosial yang meliputi tekanan

politik, ras, agama, dan ideologi.9 Terkait alasan atau faktor-faktor tersebut,

pada periode saat ini dimana berlaku konsep negara-bangsa yang mengusung

prinsip kedaulatan atas suatu wilayah negara, serta berlaku prinsip

kewarganegaraan atas diri seseorang maka praktik migrasi oleh bangsa atau

warga negara tertentu ke wilayah negara lain dapat menjadi permasalahan

serius. Dalam hal ini banyak negara di dunia umumnya sependapat bahwa

migrasi yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan keimigrasian atau

migrasi ilegal akan mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan, keamanan,

kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan juga ancaman terhadap ideologi suatu

bangsa. Hal inilah yang menjadi landasan dalam menindaklanjuti kejahatan

transnasional seperti perdagangan manusia (Human Trafficking) dan

penyelundupan manusia (Human Smuggling) yang notabene melanggar

peraturan keimigrasian suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara di

dunia tentunya juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek

kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh

8 IOM, 2009, Buku Petunjuk Bagi Petugas Dalam Rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, tanpa penerbit, Jakarta, h.24.

9 Ibid.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

6

faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum

di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu

sendiri. Indonesia yang bentuk negaranya adalah kepuluan secara geografis

memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan.

Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garis pantai yang sangat panjang, dan

merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang

dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk

terjadinya kejahatan transnasional.

Human smuggling (penyelundupan manusia) umumnya dapat terjadi

dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk

diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang

untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan

untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau

keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.

Human smuggling atau penyelundupan manusia sesungguhya berangkat dari

adanya dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab

yang memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab

munculnya tindakan penyelundupan manusia.

Segala upaya telah dilakukan oleh berbagai negara di belahan dunia untuk

melawan kejahatan terhadap manusia ini, salah satunya adalah melalui

Protocol Againts The Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air,

Supplementing the United Nations Convention Againts Transnational

Page 7: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

7

Organized Crime yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2009

melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Protokol Menentang

Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara, melengkapi Konvensi

Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisasi. Di Indonesia sendiri, sebelum diundangkannya peraturan

keimigrasian yang baru, penyelundupan manusia ini hanya diatur secara

implisit melalui Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 Tentang

Pidana Imigrasi maupun dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 9 Tahun

1992. Namun, dua ketentuan hukum nasional tersebut tidak mampu menjerat

pelaku penyelundupan manusia karena tidak ada definisi yang pasti mengenai

kejahatan tersebut. Penyelundupan manusia hanya merupakan pelanggaran

keimigrasian bukan suatu kejahatan atau tindak pidana pada masa itu. Butuh

kurang lebih 19 tahun bagi pemerintah Indonesia untuk merumuskan masalah

penyelundupan manusia masuk dalam masalah keimigrasian. Selama itu pula

pelaku-pelaku human smuggling atau penyelundupan manusia bergerak bebas

melakukan aksinya. Hingga akhirnya pada tahun 2011, pemerintah

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

yang didalamnya terdapat pasal dalam ketentuan pidana yang mengatur

mengenai penyelundupan manusia.

Apabila melihat peraturan mengenai penyelundupan manusia ini,

penanggulangannya saat ini lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan

menangkap korbannya langsung namun tidak serta merta dipikirkan apakah

yang menjadi refugee (pengungsi) ini bisa saja yang menjadi pelaku atau yang

Page 8: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

8

mengajak rekan-rekannya dalam proses penyelundupan. Hal inilah yang

menjadi masalah dalam penentuan pelaku dan proses penyelidikan terhadap

kasus penyelundupan manusia, dimana fenomena masuknya imigran gelap ke

Indonesia tersebut sudah memenuhi syarat sebagai penyelundupan manusia

(human smuggling), namun karena ketiadaan aturan khusus yang mengatur hal

tersebut maka Polri serta imigrasi hanya menggunakan Undang-Undang

Imigrasi dalam proses penyidikan. Hal ini yang menyebabkan masalah bahwa

yang menjadi tersangka kemudian hanyalah warga negara Indonesia,

sedangkan para imigran gelap berlindung di bawah konsep penyelundupan

manusia (human smuggling) dan lepas dari tuntutan hukum Indonesia.10

Dalam hal ini seharusnya pemerintah juga ikut menyelidiki status para

imigran gelap dalam kasus penyelundupan manusia ini. Lalu lintas keluar dan

masuk orang dari dan ke dalam Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang

Imigrasi No 6 Tahun 2011. Namun permasalahan yang muncul kemudian

adalah banyak dari imigran yang masuk secara ilegal dan berlindung dibalik

status pengungsi atau pencari suaka sehingga belum dapat dipastikan apakah

mereka mendapatkan status tersebut dari UNHCR atau tidak, sehingga hukum

di Indonesia terabaikan. Penanganan Imigran Ilegal berstatus pencari suaka dan

pengungsi itu sendiri pada saat ini hanya mengacu kepada Peraturan Dirjenim

Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 antara lain bahwa :

10 Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 28-30.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

9

1. Penekanan bahwa Orang Asing yang masuk dan tinggal tanpa dokumen

adalah Imigran Ilegal.

2. Penekanan terhadap Case Closed/rejected UNHCR akan segera

dideportasi.

3. Penekanan bahwa bagi pemegang surat UNHCR yang tidak

berkedudukan di Indonesia akan terkena tindakan Keimigrasian.

4. Imigran Ilegal yang telah mendapatkan status Asylum Seekers /

pengungsi dapat tidak dipermasalahkan izin tinggalnya.

Dengan dasar Peraturan Dirjen diatas sudah jelas sebenarnya arah dari

tindakan Keimigrasian yang harus dilakukan terhadap Imigran Ilegal berstatus

Pencari suaka dan Pengungsi tersebut. Bahwa kenyataannya tidak akan semua

dari para pemohon status refugees (pengungsi) yang diterima dan disetujui

untuk diberi status pengungsi internasional atau refugees (pengungsi) oleh

UNHCR dengan alasan atau pun tolok ukur yang hanya diketahui oleh pihak

UNHCR sendiri.

Mereka yang telah menerima penolakan status, tetap memperoleh

kesempatan untuk banding selama 3 kali sebelum dinyatakan kasus mereka

case close data, sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk diberikan status dan

diminta secara suka rela untuk pulang ke negara asalnya dengan difasilitasi

oleh IOM (International Organization for Migration). Kenyataannya

dilapangan bahwa sebagian besar dari mereka akan menolak untuk

Page 10: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

10

dipulangkan dengan suka rela oleh pihak Imigrasi dengan bantuan IOM. Hal

ini menimbulkan kesulitan sendiri pada saat kita akan mengusahakan

pemulangan paksa/deportasi karena pihak IOM tidak dapat menggunakan

dananya manakala itu adalah suatu upaya paksa. IOM hanya akan

mengeluarkan bantuan dana dengan program AVR (Assisted Voluntary

Return). Sedangkan dana deportasi untuk Imigran Ilegal tidak akan mencukupi

untuk pemulangan keseluruhan kasus-kasus case closed ini.

Kemudian dalam penanganan kasus Imigran Ilegal yang telah mendapatkan

status pencari suaka (Asylum Seekers) dan Pengungsi (Refugees), sebagaimana

telah tercantum pada peraturan Dirjen diatas bahwa Imigran Ilegal yang telah

mempunyai status-status tersebut dapat tidak dipermasalahkan izin tinggalnya,

juga menjadi persoalan sendiri bagi Pemerintah Indonesia. Persoalan tersebut

berkaitan dengan penempatan mereka yang berada di luar Rumah Detensi

Imigrasi seperti di Cisarua Puncak Bogor, Medan, Jogyakarta, Makassar dan

lain-lain. Persoalan yang disinyalir akan dan mungkin sudah terjadi adalah

aspek sosial, keamanan dan ketertiban di lingkungan mereka tinggal tersebut

terhadap penduduk lokal. Aspek-aspek sosial keamanan dan ketertiban yang

ada dan mungkin muncul tersebut seperti adanya perkawinan tidak sah dengan

wanita lokal, bekerja illegal, kejahatan seperti narkotika, terorisme dan lain-

lain.

Hal tersebut diatas disebabkan rentang waktu tunggu mereka di Indonesia

sangat tidak jelas. UNHCR tidak dapat memastikan setelah mereka

mendapatkan status-status tersebut, berapa lama untuk dapat ditempatkan di

Page 11: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

11

Australia. Banyak contoh bahwa mereka setelah mendapatkan status-status

tersebut masih harus menunggu bertahun-tahun untuk dapat ditempatkan di

Negara Penerima/Australia. Keberadaan mereka yang lama tersebut itulah yang

kemudian akan menimbulkan kerawanan-kerawanan dari sisi sosial, keamanan

dan ketertiban. Jika hal ini tidak ditangani secara cepat dan tepat, maka

kemungkinan pada tahun-tahun mendatang akan ada multi ras baru yang

berkembang di Indonesia.

Selain itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai

korban penyelundupan manusia, padahal Undang-Undang khusus tentang

human smuggling (penyelundupan manusia) tidak ada di Indonesia,

mengakibatkan para imigran gelap merasa sangat aman di Indonesia, merasa

bebas tanpa dikenakan hukum Indonesia. Yang terjerat hukum Indonesia

hanyalah WNI yang juga ikut terlibat (terhasut oleh para penyelundup).11

Terkait masalah pengaturan mengenai penanggulangan bagi para imigran

illegal yang berkedok sebagai korban penyelundupan manusia atau dalam

status perlindungan sebagai pencari suaka dan pengungsi inilah yang belum

diatur secara nasional dalam suatu peraturan perundang–undangan, maka harus

dilakukan suatu pembaruan hukum (law reform) yang merupakan bagian dari

pembangunan nasional. Pembaruan hukum nasional sebagai bagian dari

rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu

11 Hari Sabarno, 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

12

baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi, dan meliputi

juga hukum formil maupun hukum materielnya.

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaruan hukum pidana tidak hanya

menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan

nilai-nilai yang ada.

Untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa pembaruan

hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-

nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan

hukum di Indonesia.12

Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman

Sarikat Putra Jaya mengatakan, bahwa proses penegakan hukum itu

menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum/undang-undang.

Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan

hukum itu nanti dijalankan.13

12 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h.28.

13 Nyoman Sarikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip, Semarang, h. 23.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

13

Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung kebijakan Negara

dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada

umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau

kewenangan penguasa/penegak hukum dalam menjalankan tugasnya

memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan yang telah

ditetapkan.

Berdasarkan kenyataan dalam rangka penanggulangan masalah

penyelundupan manusia ini maka diperlukan suatu pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan hukum pidana atau kebijakan formulasi yang

merupakan bagian kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum

pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum

pidana” (penal policy). Dengan adanya kebijakan formulasi yang merupakan

suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang akan dirumuskan

dalam suatu formulasi kebijakan, dapat mengarah kepada suatu pembaruan

hukum pidana (penal law reform) untuk menanggulangi masalah imigran ilegal

dalam konteks penanganan penyelundupan manusia pada masa mendatang.

Dari paparan latar belakang diatas, imigran ilegal berstatus pencari suaka

dan pengungsi yang dibungkus oleh kegiatan penyelundupan manusia ini,

sudah harus ditangani secara holistik oleh instansi terkait seperti Imigrasi,

Polri, Menkopolhukam, Kementerian Luar Negeri dan lain-lain, dimana telah

terjadi kekaburan norma pada Undang-Undang Keimigrasian serta kekosongan

norma yang mengatur keterlibatan imigran ilegal ini dimana belum mengatur

Page 14: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

14

secara tegas mengenai kedudukan imigran ilegal yang seharusnya dapat

diselidiki lebih mendalam lagi apakah imigran ini telah mendapatkan statusnya

sesuai aturan atau dalam kejahatan penyelundupan manusia bertindak tidak

sesuai aturan yang ada, sehingga melalui kebijakan hukum pidana nantinya

diharapkan dapat menanggulangi para imigran ilegal yang berkedok ini sebagai

bentuk dari tindak pidana yang terselubung. Hal inilah yang menjadi alasan-

alasan penulis mengambil judul skripsi “PENANGGULANGAN IMIGRAN

ILEGAL DALAM KEJAHATAN PENYELUNDUPAN MANUSIA DI

INDONESIA”.

I.2 Rumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang menjadi fokus kajian penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan tentang penanggulangan terhadap imigran

ilegal dalam kejahatan penyelundupan manusia menurut hukum positif di

Indonesia?

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang

terhadap penanggulangan imigran ilegal dalam kejahatan penyelundupan

manusia?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas

batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga

Page 15: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

15

pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju

pada pokok bahasan yang diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari

pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, Maka ruang lingkup

pembahasan masalah difokuskan pada hal-hal sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan penanggulangan imigran ilegal yang terlibat

dalam kejahatan penyelundupan manusia berdasarkan hukum positif di

Indonesia.

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang

terhadap masalah penanggulangan imigran ilegal dalam kejahatan

penyelundupan manusia demi terciptanya suatu pembaharuan hukum

pidana terhadap kejahatan penyelundupan manusia di Indonesia.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini sengaja penulis angkat menjadi judul skripsi, dimana

merupakan karya ilmiah yang sejauh saya ketahui belum pernah dibahas secara

mendalam dalam sebuah karya ilmiah di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana (UNUD). Dalam beberapa artikel, mengenai

penyelundupan manusia telah diangkat dalam beberapa jurnal ilmiah di

berbagai fakultas hukum negeri selain Universitas Udayana seperti di UGM,

UNSRI, USU. Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi buku-

buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai

pihak. Oleh sebab itu, keaslian penelitian ini dapat saya pertanggungjawabkan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

16

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah :

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penulisan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan mengenai penanggulangan

imigran ilegal yang terdapat di Indonesia dalam menyikapi kejahatan

transnasional terutama masalah imigran ilegal dalam kejahatan

penyelundupan manusia yang kian marak terjadi.

2. Untuk mengetahui apakah aturan mengenai penyelundupan manusia yang

sekarang sudah sempurna dan mencakup penanggulangan imigran ilegal

atau belum, sehingga kedepannya dapat ditentukan dan ditetapkan aturan

yang lebih baik lagi.

b. Tujuan Khusus

Dengan dilakukannya penulisan hukum ini, maka ada beberapa tujuan yang

ingin dicapai oleh penulis yaitu :

1. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaturan penanggulangan imigran

ilegal dalam hukum positif di Indonesia yang dikaitkan dengan kejahatan

penyelundupan manusia agar kedepannya pemerintah Indonesia dapat

menciptakan suatu lingkungan hukum yang lebih baik.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis kebijakan hukum pidana yang dapat

diambil pada masa yang akan datang dengan melihat peraturan perundang-

Page 17: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

17

undangan Indonesia terhadap suatu kejahatan transnasional yaitu

penyelundupan manusia yang mencakup penanggulangan imigran ilegal

yang terlibat dalam kejahatan ini.

1.6 Manfaat Hasil Penelitian

Dalam setiap penulisan skripsi terdapat manfaat yang dapat diambil dari

penelitian yang dilakukan. Manfaat secara umum dalam penulisan skripsi ini

terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis.

a. Manfaat Teoritis

1. Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pimikian

dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum,

khususnya dalam disiplin ilmu hukum pidana yang bersifat umum.

2. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang

berkaitan dengan hukum pidana mengenai masalah imigran ilegal berbalut

penyelundupan manusia yang peraturannya masih perlu disempurnakan

dan dibutuhkannya suatu aturan yang lebih khusus tentang pengaturannya.

3. Selain itu juga dapat menambah pemahaman bagi mahasiswa yang

berkaitan dengan apa itu penyelundupan manusia dan fenomena apa saja

yang terkait dengan penanggulangan imigran ilegal di dalamnya.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan-pertimbangan atau

masukan bagi pemerintah dalam membuat peraturan dibidang tindak

Page 18: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

18

pidana secara keilmuan umum dan aturan di bidang hukum

keimigrasian.

2. Untuk dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat

dalam menyikapi tindak pidana penyelundupan secara khusus mengenai

penyelundupan manusia agar dapat mencegah terhasutnya masyarakat

untuk melakukannya.

1.7 Landasan Teoritis

Di dalam pembahasan skripsi ini, sebelumnya perlu adanya dikemukakan

suatu landasan teoritis yang menjadi landasan berpikir dalam membahas dan

menyelesaikan pokok permasalahan yang diangkat. Berbicara tentang

kebijakan kriminalisasi dalam menanggulangi penyelundupan manusia, terlebih

dahulu harus membahas tentang kejahatan transnasional, kebijakan hukum

pidana, pembaruan hukum pidana, subjek tindak pidana, korban tindak pidana,

dan pertanggungjawaban pidana.

A. Kejahatan Transnasional

Transnasional Crime memiliki beberapa definisi, hal ini terkait dengan

latar belakang pendidikan, pengalaman, serta kepentingan yang menyebabkan

beberapa Ahli merumuskan definisi Transnasional Crime serta Radikalisme

sangat bervariasi, namun secara garis besar terdapat kata kunci yang dapat

digunakan sebagai panduan dalam merumuskan pengertian Transnational

Crime adalah:

Page 19: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

19

1. Suatu perbuatan sebagai suatu kejahatan.

2. Terjadi antar Negara atau Lintas Negara.

Menurut G.O.W. Mueller “Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis

mengenai ilmu tentang kejahatan, yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-

bangsa bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal

mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu yang melampaui perbatasan

internasional, melanggar hukum dari beberapa negara, atau memiliki dampak

pada negara lain.

Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational

crime adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara,

kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara

lebih dari satu negara, sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang

dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi istilah

kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-

kejahatan yang sebenarnya nasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi

dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak

adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan

kejahatan itu. Kejahatan transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan

kejahatan atau tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata.Demikian

pula sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya

sudah meliputi individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang

Page 20: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

20

transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun

internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan politik.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah menentukan karakteristik apa

saja yang termasuk dalam kategori kejahatan transnasional yaitu:

a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara;

b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan,

perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain;

c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok

kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari

satu negara; atau

d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam

negara lainnya.

Sedangkan kejahatan transnasional hampir selalu berkaitan dengan

kejahatan dengan motif finansial, yang membawa dampak terhadap

kepentingan lebih dari satu negara.

Dari kata-kata kunci diatas dapat dijelaskan bahwa TransnationalCrime

merupakan suatu kejahatan yang terjadi lintas Negara dalam pengertian bahwa

suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan apabila terdapat piranti

hukum yang dilanggar sehingga bisa saja terjadi suatu perbuatan yang

dirumuskan, dirancang, disiapkan, dilaksanakan dalam suatu Negara bisa saja

Page 21: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

21

bukan merupakan kejahatan namun ketika hasil kejahatan yang diatur,

disiapkan melakukan lintas batas Negara untuk masuk ke yuridiksi Negara

yang berbeda lantas dikategorikan sebagai kejahatan Transnasional Crime.

B. Kebijakan Hukum Pidana

Secara gardual dan fundamental, terminologi kebijakan berasal dari istilah

"policy" (Inggris) atau "politiek" (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan

sebagi prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah

(dalam artian luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau

menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang

– bidang penyusunan peraturan perundang – undangan dan mengalokasikan

hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya

mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (warga negara).14

Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah "kebijakan hukum

pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam

kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain "penal policy", "criminal law policy" atau

"strafrechtspolitiek". Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat

dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Pengertian kebijakan

atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik

kriminal.

14 Lilik Mulyadi, 2008, Bungai Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi I), h. 389.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

22

Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.15

Berdasarkan pengertian diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya

merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang – undangan pidana

agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa

mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum

pidana identik dengan "Pembaruan perundang-undangan hukum pidana",

namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal

ini dapat dijelaskan bahwa, hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang

terdiri dari budaya (culture), struktur (structural) dan substansi (substantive)

hukum. Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum,

pembaruan hukum pidana, di samping memperbarui perundang – undangan,

juga mencakup pembaruan ide dasar dan ilmu hukum pidana.16

15 Soedarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 159. 16 Lilik Mulyadi I, Op.cit., h. 390.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

23

Dikaji dari perspektif politik hukum, pada dasarnya politik hukum pidana

berusaha membuat dan perumuskan perundang-undangan pidana yang baik.

Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang

bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara

lebih baik. Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai peraturan

perundang – undangan hukum pidana. Atas dasar itu, menurut Marc Ancel

sebaiknya hukum positif dirumuskan secara lebih baik agar dapat menjadi

pedoman bukan hanya untuk pembuat undang – undang saja, tetapi juga untuk

Pengadilan yang menerapkan undang – undang dan kepada penyelenggaran

atau pelaksana putusan pengadilan. Karena itu istilah penal policy, menurut

Ancel sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.17 Menurut

Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah

mana pemberlakuan hukum Pidana Indonesia masa yang akan datang dengan

melihat penegakannya saat ini. 18

Di sisi lain, kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut Wisnubroto

dikutip dari buku Lilik Mulyadi, merupakan tindakan yang berhubungan

dengan hal – hal :

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menggulangi kejahatan dengan

hukum pidana.

17 Ibid. 18 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non -

Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, h.66.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

24

b Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi

masyarakat.

c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan

hukum pidana.

d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.19

Melaksanakan politik hukum pidana berarti didalamnya terkandung upaya

yang mengarah pada perubahan, perbaikan dan pembaharuan hukum pidana

tidak hanya untuk saat ini, melainkan juga kearah masa depan. Oleh karena itu

membicarakan politik hukum pidana termasuk di dalamnya termasuk prospek

serta upaya antisipasi dalam rangka membuat peraturan hukum pidana yang

lebih baik. Mengenai prospek kebijakan hukum pidana mencakup persoalan

kebijakan hukum pidana yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan

kebijakan hukum pidana untuk masa yang akan datang atau hukum yang dicita-

citakan (ius constitutuendum) yang berupa pemecahan faktor-faktor yang

menjadi penghambat secara umum, di dalamnya meliputi faktor substantif atau

materi, faktor struktur dan faktor budaya hukum, fungsi antisipatif dan terlebih

fungsi adaptif. Dari suatu peraturan perundang-undangan terutama hukum

pidana merupakan prasyarat keberhasilan pencegahan dan penanggulangan

tindak pidana pada umumnya. Kebijakan pemerintah menetapkan peraturan

19 Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi II), h. 29.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

25

perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum pidana ditujukan dalam

rangka menciptakan ketertiban sosial.

Menurut A. Mulder, dalam Strafrechtspolitiek ditentukan garis-garis

kebijakan tentang :

(1). Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaiki

(2). Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana

(3). Cara bagaimana penyidikan, pengusutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

Definisi Mulder diatas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa, tiap masyarakat yang

terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :

a. Peraturan – peraturan hukum pidana dan sanksinya

b. Suatu prosedur hukum pidana, dan

c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana)20

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka

20 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., h. 26.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

26

politik hukum pidana identik dengan pengertian “ kebijakan penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana”.

Dua masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana dengan menggunakan

sarana sentral (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan

b. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar

Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari

konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Dengan

demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani

dua masalah sentral diatas harus pula dilakukan dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Bertolak dari

pendekatan kebijakan tersebut dalam menghadapi masalah sentral yang

pertama diatas sering disebut dengan kebijakan kriminalisasi.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan

suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi

suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya

kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan criminal (criminal

policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu

Page 27: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

27

termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya

kebijakan formulasinya.21

C. Pembaruan Hukum Pidana

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum

pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan

latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri.

Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-

nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan

hukum di Indonesia. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah :

a. Dilihat dari sudut pendekatan – kebijakan :

i. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah –

masalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional

(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya)

ii. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan)

21 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaruan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 126.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

28

iii. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih

mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan – nilai :

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai – nilai sosiopolitik,

sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap

muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita – citakan. Bukanlah

pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum

pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi

nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). 22

D. Subjek Tindak Pidana

Kata pelaku dalam pengertian pidana adalah pertama-tama ia melakukan

elemen-elemen dari tindak pidana, yang dirumuskan dalam rumusan delik.

Seringkali sulit untuk menentukan pelaku dari tindak pidana. Manusia hidup di

masyarakat dan hidup dengan orang lain yang berinteraksi, maka perbuatan

atau tingkah laku mereka sedikit banyak memberikan pengaruh kepada

perbuatannya sendiri. Khususnya dalam delik itu sendiri terdiri atas tingkah

22 I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana I), h. 161.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

29

laku yang seharusnya dilakukan dengan atau terhadap orang lain, maka sulit

untuk menentukan, siapa pelaku yang sebenarnya dalam delik tersebut.

Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana dalam

KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat

disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu

perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana. Adapun

bentuk-bentuk pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP,

yaitu:

1. Orang yang melakukan (pleger)

Menurut pendapat Simons yang dimaksud dengan “orang yang melakukan

suatu tindak pidana”, ialah apabila seseorang melakukan sendiri suatu tindak

pidana artinya tidak ada temannya atau bantuan orang lain23. Dalam arti sempit,

pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam arti luas

meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu yang melakukan perbuatan,

yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan dan yang

menganjurkan.

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)

Dalam hal ini paling sedikit harus ada dua orang yang dapat dikatakan

sebagai pelaku tindak pidana, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan

23 I Made Widnyana, 2010, Asas – Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, (Selanjutnya disebut I MadeWidnyana II), h.219.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

30

orang yang disuruh melakukan. Terhadap orang yang menyuruh melakukan

tindak pidana itu tidak melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana, akan

tetapi orang disuruh yang melakukan tidak dikenai suatu pertanggungjawaban

pidana karena tidak mampu bertanggungjawab (tidak mandiri). Terhadap orang

yang menyuruh melakukan (yang memberi perintah) dalam hal ini dapat

disebut juga sebagai badan usaha atau korporasi.

3. Orang yang turut serta melakukan (mede pleger)

Yang dimaksud dengan turut serta melakukan ialah apabila beberapa orang

pelaku beserta bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana. Dalam ikut serta, para pelaku menyadari bahwa

bersama-sama akan melakukan tindak pidana. Semua pelaku dalam ikut serta

harus bersama-sama secara fisik melaksanakan tindak pidana itu. Meskipun

dalam pengertian tidak perlu semua peserta memenuhi persis seperti yang

termuat sebagai unsur tindak pidana.

4. Orang yang membujuk melakukan (uitlokker)

Pada orang yang membujuk atau penganjur melakukan sesuatu kejahatan

dengan perantaraan orang lain. Akan tetapi, disini orang lain itu sendiri atau

orang yang menerima anjuran, juga dapat dipidana sebagai pelaku (dader) yang

sebenarnya dari kejahatan itu. Yang dimaksud denganpembujuk adalah setiap

orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana. Bentuk pembujuk yang disebutkan dalam

Page 31: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

31

Pasal 55 ayat (2) KUHP ialah usaha untuk menggerakkan orang lain itu,

senantiasa harus digunakan cara, daya dan upaya, sebagaimana ditentukan oleh

ketentuan Pasal 55 ayat (2) tersebut.

5. Orang yang membantu (medeplichtigheid)

Pemberian bantuan dapat dilakukan sebelum dan saat berlangsungnya

pelaksanaan kejahatan. Cara – cara yang dilakukan sebelum dilaksanakannya

kejahatan yaitu dengan memberikan kesempatan, memberikan sarana dan

memberikan keterangan24.

E. Korban Tindak Pidana

Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli bahwa Victim

adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,

kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha

pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini

jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya”

itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.25

Selaras dengan pendapat diatas adalah Arief Gosita menyatakan yang

dimaksud dengan korban adalah:

24 Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 142.

25 Abdussalam, 2010, Victimology, PTIK, Jakarta, h. 5.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

32

“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan

orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.

Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan

mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari

korban.26

Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang

dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan

fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak

pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

3. Kerugian ekonomi,

4. Akibat tindak pidana.

Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur

dalam beberapa perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian

yang baku, namun hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana.

26 Arief Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 75.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

33

Secara etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami

kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang

merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan

sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban

diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat

tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat

pengalamannya sebagai target/sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak

Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :

1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi :

a. Korban Langsung (Direct Victims)

Yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan

dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut :

1) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.

2) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan

emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar

manusia.

3) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan

dalam hukum pidana.

4) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

34

b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)

Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam

membantu korban langsung (direct victims) atau turut melakukan

pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak

pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban

langsung seperti isteri/suami, anak-anak dan keluarga terdekat.

2. Victims of abuse of power

Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita

kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan

ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui

perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum merupakan pelanggaran

undang-undang pidana Nasional tetapi norma-norma diakui secara

internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia.

Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum

PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun

kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang

melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan

yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain terutama

mengenai pengertian “Victims of Power” bahwa orang-orang yang menjadi

korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum

Page 35: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

35

merupakan pelanggaran. Menurut norma HAM yang diakui secara

internasional juga termasuk dalam pengertian “Korban”.

F. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai

“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”.

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang

telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, “orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan

pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama–tama

tergantung pada dilakukannya tindak pidana.27 Konsep Rancangan KUHP

Tahun 2014, didalam Pasal 36 memberikan definisi pertanggungjawaban

pidana yaitu pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang

yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya.

Didalam penjelasannya dikemukakan bahwa tindak pidana tidak berdiri

sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini

berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya

harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)

yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang

27 Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.20.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

36

berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi

persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.28

Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif

pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya

kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau

perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa

pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam

tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga

diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada

kesalahan dari pelakunya.

Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan

seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan

sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu

adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur

melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya.

Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat

apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang

dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang

memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu. Berdasarkan hal

tersebut, menurut Sudarto maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan

menurut hukum pidana terdiri atas beberapa unsur, yaitu :

28 Iman Herlambang, 2012, Pengertian Pertanggungjawaban Pidana, URL : http://imanhsy.blogspot.com/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 26 Januari 2015.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

37

1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari

si pembuat

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)

3. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat29

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan

datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah

satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan

asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan

bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu

untuk menerapkan asas strict liability (pertanggungjawaban terbatas), vicarious

liability (pertanggungjawaban tanpa kesalahan), erfolgshaftung, kesesatan

atau error, rechterlijk pardon (keringanan hakim), culpa in causa dan

pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak

pidana.30 Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).

Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas

culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini

29 I Made Widnyana II, Op.cit., h. 68. 30 Barda Nawawi Arief, 2011, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III), h. 92.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

38

biasanya terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana,

khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.

1.8 Metode Penelitian

Metodologi berasal dari kata dasar metode dan logi. Metode artinya cara

melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu

yang berdasarkan logika berpikir. Metodologi Penelitian artinya ilmu tentang

cara melakukan penelitian dengan teratur (sistematis). Metodologi penelitian

hukum artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian hukum dengan teratur

(sistematis).31

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian secara normatif. Dalam

penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan

adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.32 Tahapan

pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk

mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan

penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum

subjektif (hak dan kewajiban).33

31 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 57.

32 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13–14.

33 Hardijan Rusli, 2006, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”,Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Volume V No. 3, Tahun 2006, h. 50.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

39

b. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini adapun pendekatan yang digunakan dalam

mengkaji permasalahan adalah adalah pendekatan fakta (The Fact

Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach).

Pendekatan fakta dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap hal-

hal yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan isu yang dihadapi,

sedangkan pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani.34

c. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penulisan skripsi terdiri dari data

yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dinamakan data sekunder.

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua)

sumber, yaitu:

1. Bahan hukum primer

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

b. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011

Tentang Keimigrasian, LN RI Tahun 2011 Nomor 52, TLN

RI Nomor 5216.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009

Tentang Pengesahan United Nations Convention Against

34 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93-95.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

40

Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional

yang Terorganisasi), LN RI Tahun 2009 Nomor 5, TLN RI

Nomor 4960.

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

2009 Tentang Pengesahan Protocol Against The Smuggling

of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing The

United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan

Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak

Pidana Transnasional yang Terorganisasi), LN RI Tahun

2009 Nomor 54, TLN RI Nomor 4991.

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, LN RI Tahun

2013 Nomor 68, TLN RI Nomor 5409.

g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

1994 Tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan

Keimigrasian, LN RI Tahun 1994 Nomor 54, TLN RI

Nomor 3562.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

41

h. Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-

1489.UM.08.05 Tahun 2010 Tentang Penanganan Imigran

Ilegal.

2. Bahan Hukum Sekunder

a. Buku-buku hukum (text book)

b. Jurnal-jurnal hukum.

c. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang

termuat dalam media masa.

d. Internet (dengan menyebutkan sumber situsnya).

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan yaitu:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan

dengan permasalahan penelitian.

2. Sistem kartu (card system).

Sistem ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu :

1. Mempergunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila

penulis telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau

penulis dari bahan pustaka yang diketahuinya.

2. Mempergunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila

penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namun

penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini

42

Mempergunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek

adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu

bahan dari subjek ini, penulis tidak perlu mengetahui nama

pengarang ataupun judul dari suatu bahan pustaka.35

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan

teknik sistematisasi. Melalui teknik deskripsi dapat diuraikannya suatu

kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-

hukum.Kemudian dengan teknik interpretasi dapat digunakan jenis-jenis

penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran

sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.

Setelah melakukan penafsiran tentu melalui teknik evaluasi

kemudian dilakukan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap

suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik

yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

Kemudian melalui teknik argumentasi dan teknik sistematisasi dilakukan

penalaran hukum dan upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum

atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun antara yang tidak sederajat.

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23.