bab i pendahuluan i.1 latar belakang dewasa ini
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dewasa ini pembangunan nasional Indonesia lebih difokuskan terhadap
usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan
secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan
tantangan global.
Menyikapi tantangan global yang terus berkembang ini, maka peningkatan
sumber daya manusia tentu menjadi jaminannya. Pembekalan atau pelatihan
terhadap usaha peningkatan sumber daya manusia ini telah dilakukan secara
baik oleh pemerintah saat ini dimana seperti membuat balai latihan kerja
bersama ataupun dengan pendidikan formal di sekolah ataupun informal seperti
kursus dan sebagainya. Pengembang sumber daya manusia Indonesia adalah
bagian dari proses dan tujuan dalam pembangunan nasional Indonesia.1 Oleh
karena itu, pikiran-pikiran pembangunan yang berkembang di Indonesia
dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kesadaran yang makin kuat akan tidaknya
terhindarnya keikutsertaan bangsa Indonesia dalam proses global yang sedang
berlangsung itu. Diharapkan proses ini membawa keuntungan dan mendorong
1 Ginandjar Kartasasmita, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Cides, Jakarta, h. 245.
2
proses pembangunan nasional.2 Hal yang ingin dicegah adalah bahwa bangsa
Indonesia hanyut tanpa kendali dalam arus globalisasi itu dan tenggelam
didalamnya, dan bahwa proses globalisasi akan berwujud proses dehumanisasi.
Pada waktu yang bersamaan, bangsa Indonesia juga menghadapi tantangan
untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu
maju. Oleh karena itu, pembangunan bangsa yang maju dan mandiri, untuk
mewujudkan kesejahteraan, mengharuskan dikembangkannya konsep
pembangunan yang bertumpu pada manusia dan masyarakatnya.3 Atas dasar
itu untuk mencapai tujuan pembangunan yang demikian, titik berat
pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi dengan kualitas sumber daya
manusia.
Adanya arus globalisasi yang makin meningkat dewasa ini maka tidak
menutup kemungkinan pula bahwa akan lahirnya tindakan yang ingin
mendapatkan apapun yang diinginkan dengan mudah dapat terjadi. Melihat
fenomena masyarakat yang tergolong dalam ekonomi rendah atau dapat
dikatakan sumber daya alamnya kurang mumpuni dalam mencari pemenuh
kebutuhan tentu mereka akan melakukan segala upaya dalam memenuhi setiap
kebutuhannya. Hal inilah yang harus disadari bahwa terkadang orang-orang
yang berada dibawah tekanan akan dengan mudah mendapat pengaruh yang
ingin menguntungkan bagi hidupnya, sehingga dirinya akan dengan mudah
2 Ibid., h. 246. 3 Ibid., h. 286.
3
menerima ajakan atau mencari tempat dan sarana penghidupan yang layak
demi memperbaiki kehidupannya.
Perubahan paradigma dalam diri manusia ini akan terus terjadi seiring
dengan terjadinya perubahan dan perkembangan jaman itu sendiri. Setiap hal
akan berubah termasuk manusia itu sendiri dengan pemikiran yang akan
semakin berkembang. Perubahan itu ada kalanya berjalan terlalu cepat,
sehingga tidak semua anggota masyarakat mampu mengikuti irama yang
sedang berkembang. Dalam keadaan tertentu, pada tahap perubahan tersebut,
terdapat kondisi-kondisi yang kondusif bagi maraknya kejahatan, yakni
manakala terjadi penurunan kehidupan politik, sosial-ekonomi yang diperparah
dengan jurang kaya-miskin, dan merosotnya keadilan.4 Dengan merosotnya
keadilan ini maka tidak menutup kemungkinan bahwa akan lahirnya kejahatan,
dimana kejahatan jalanan yang dulu kita kira hanya bersifat sangat lokal, kini
ternyata mempunya pertautan dengan kejahatan transnasional (transnational
crime).5
Kejahatan transnasional apa pun bentuknya sekarang ini, ikut menjadi
penumpang globalisasi. Maka, untuk mengatasi kejahatan tersebut, kita mula-
mula dituntut harus paham tentang mekanisme yang berkembang dalam
globalisasi. Tatanan global dewasa ini ditandai dengan semakin mengerutnya
dunia, karena lahirnya percepatan. Kondisi akseleratif dalam globalisasi
4 Ronny Rahman Nitibaskara, 2007, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 227.
5Ibid., h. 230.
4
tersebut menjadi ajang dan medan operasi kejahatan, sekaligus harus menjadi
arena pemberantasannya.6
Salah satu masalah kejahatan transnasional yang saat ini terjadi dan masih
menjadi polemik adalah masalah kejahatan penyelundupan manusia (Human
Smuggling). Kejahatan penyelundupan manusia (Human Smuggling) mungkin
masih asing terdengar di telinga kita dimana kita biasanya hanya mendengar
istilah perdagangan manusia (Human Trafficking) atau istilah penyelundupan
barang (Goods Smuggling) seperti narkoba, psikotropika, barang-barang black
market (pasar gelap) dan jenis barang lainnya. Penyelundupan manusia
merupakan modus operandi dimana sekelompok orang melakukan migrasi atau
mencari suaka ke luar daerah tempat dia berasal dengan bantuan orang lain
ataupun prakarsa sendiri melewati batas-batas wilayah negara lain secara
ilegal. Migrasi ini biasanya tidak dilakukan sendiri melainkan berkelompok
dan biasanya menuju negara lain guna mencari penghidupan yang lebih baik.
Patrick Manning dalam bukunya Migration in World History (2005)
menyatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia–homo sapiens–telah
terjadi sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi.7 Dorongan utama dilakukannya
migrasi pada masa itu secara umum berasal dari naluri alamiah umat manusia
untuk mencari tempat tinggal atau daerah bermukim yang dapat memberikan
keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat, bangsa Canaan (yang sekarang
disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia menuju Eropa,
6Ibid., h. 231. 7 Patrick Manning, 2005, Migration in World History, Routledge, London, h. 20.
5
demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya dan
bangsa-bangsa lainnya.8
Para ahli sejarah dan geografi sepaham dengan pendapat bahwa migrasi
manusia selanjutnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor
ketidaknyamanan kondisi iklim, kurangnya persediaan makanan (ekonomi),
perang (konflik senjata dan keamanan), dan faktor sosial yang meliputi tekanan
politik, ras, agama, dan ideologi.9 Terkait alasan atau faktor-faktor tersebut,
pada periode saat ini dimana berlaku konsep negara-bangsa yang mengusung
prinsip kedaulatan atas suatu wilayah negara, serta berlaku prinsip
kewarganegaraan atas diri seseorang maka praktik migrasi oleh bangsa atau
warga negara tertentu ke wilayah negara lain dapat menjadi permasalahan
serius. Dalam hal ini banyak negara di dunia umumnya sependapat bahwa
migrasi yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan keimigrasian atau
migrasi ilegal akan mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan, keamanan,
kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan juga ancaman terhadap ideologi suatu
bangsa. Hal inilah yang menjadi landasan dalam menindaklanjuti kejahatan
transnasional seperti perdagangan manusia (Human Trafficking) dan
penyelundupan manusia (Human Smuggling) yang notabene melanggar
peraturan keimigrasian suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara di
dunia tentunya juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek
kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh
8 IOM, 2009, Buku Petunjuk Bagi Petugas Dalam Rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, tanpa penerbit, Jakarta, h.24.
9 Ibid.
6
faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum
di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu
sendiri. Indonesia yang bentuk negaranya adalah kepuluan secara geografis
memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan.
Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garis pantai yang sangat panjang, dan
merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang
dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk
terjadinya kejahatan transnasional.
Human smuggling (penyelundupan manusia) umumnya dapat terjadi
dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk
diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang
untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan
untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau
keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.
Human smuggling atau penyelundupan manusia sesungguhya berangkat dari
adanya dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab
yang memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab
munculnya tindakan penyelundupan manusia.
Segala upaya telah dilakukan oleh berbagai negara di belahan dunia untuk
melawan kejahatan terhadap manusia ini, salah satunya adalah melalui
Protocol Againts The Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air,
Supplementing the United Nations Convention Againts Transnational
7
Organized Crime yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2009
melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Protokol Menentang
Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara, melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi. Di Indonesia sendiri, sebelum diundangkannya peraturan
keimigrasian yang baru, penyelundupan manusia ini hanya diatur secara
implisit melalui Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 Tentang
Pidana Imigrasi maupun dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 9 Tahun
1992. Namun, dua ketentuan hukum nasional tersebut tidak mampu menjerat
pelaku penyelundupan manusia karena tidak ada definisi yang pasti mengenai
kejahatan tersebut. Penyelundupan manusia hanya merupakan pelanggaran
keimigrasian bukan suatu kejahatan atau tindak pidana pada masa itu. Butuh
kurang lebih 19 tahun bagi pemerintah Indonesia untuk merumuskan masalah
penyelundupan manusia masuk dalam masalah keimigrasian. Selama itu pula
pelaku-pelaku human smuggling atau penyelundupan manusia bergerak bebas
melakukan aksinya. Hingga akhirnya pada tahun 2011, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
yang didalamnya terdapat pasal dalam ketentuan pidana yang mengatur
mengenai penyelundupan manusia.
Apabila melihat peraturan mengenai penyelundupan manusia ini,
penanggulangannya saat ini lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan
menangkap korbannya langsung namun tidak serta merta dipikirkan apakah
yang menjadi refugee (pengungsi) ini bisa saja yang menjadi pelaku atau yang
8
mengajak rekan-rekannya dalam proses penyelundupan. Hal inilah yang
menjadi masalah dalam penentuan pelaku dan proses penyelidikan terhadap
kasus penyelundupan manusia, dimana fenomena masuknya imigran gelap ke
Indonesia tersebut sudah memenuhi syarat sebagai penyelundupan manusia
(human smuggling), namun karena ketiadaan aturan khusus yang mengatur hal
tersebut maka Polri serta imigrasi hanya menggunakan Undang-Undang
Imigrasi dalam proses penyidikan. Hal ini yang menyebabkan masalah bahwa
yang menjadi tersangka kemudian hanyalah warga negara Indonesia,
sedangkan para imigran gelap berlindung di bawah konsep penyelundupan
manusia (human smuggling) dan lepas dari tuntutan hukum Indonesia.10
Dalam hal ini seharusnya pemerintah juga ikut menyelidiki status para
imigran gelap dalam kasus penyelundupan manusia ini. Lalu lintas keluar dan
masuk orang dari dan ke dalam Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
Imigrasi No 6 Tahun 2011. Namun permasalahan yang muncul kemudian
adalah banyak dari imigran yang masuk secara ilegal dan berlindung dibalik
status pengungsi atau pencari suaka sehingga belum dapat dipastikan apakah
mereka mendapatkan status tersebut dari UNHCR atau tidak, sehingga hukum
di Indonesia terabaikan. Penanganan Imigran Ilegal berstatus pencari suaka dan
pengungsi itu sendiri pada saat ini hanya mengacu kepada Peraturan Dirjenim
Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 antara lain bahwa :
10 Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 28-30.
9
1. Penekanan bahwa Orang Asing yang masuk dan tinggal tanpa dokumen
adalah Imigran Ilegal.
2. Penekanan terhadap Case Closed/rejected UNHCR akan segera
dideportasi.
3. Penekanan bahwa bagi pemegang surat UNHCR yang tidak
berkedudukan di Indonesia akan terkena tindakan Keimigrasian.
4. Imigran Ilegal yang telah mendapatkan status Asylum Seekers /
pengungsi dapat tidak dipermasalahkan izin tinggalnya.
Dengan dasar Peraturan Dirjen diatas sudah jelas sebenarnya arah dari
tindakan Keimigrasian yang harus dilakukan terhadap Imigran Ilegal berstatus
Pencari suaka dan Pengungsi tersebut. Bahwa kenyataannya tidak akan semua
dari para pemohon status refugees (pengungsi) yang diterima dan disetujui
untuk diberi status pengungsi internasional atau refugees (pengungsi) oleh
UNHCR dengan alasan atau pun tolok ukur yang hanya diketahui oleh pihak
UNHCR sendiri.
Mereka yang telah menerima penolakan status, tetap memperoleh
kesempatan untuk banding selama 3 kali sebelum dinyatakan kasus mereka
case close data, sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk diberikan status dan
diminta secara suka rela untuk pulang ke negara asalnya dengan difasilitasi
oleh IOM (International Organization for Migration). Kenyataannya
dilapangan bahwa sebagian besar dari mereka akan menolak untuk
10
dipulangkan dengan suka rela oleh pihak Imigrasi dengan bantuan IOM. Hal
ini menimbulkan kesulitan sendiri pada saat kita akan mengusahakan
pemulangan paksa/deportasi karena pihak IOM tidak dapat menggunakan
dananya manakala itu adalah suatu upaya paksa. IOM hanya akan
mengeluarkan bantuan dana dengan program AVR (Assisted Voluntary
Return). Sedangkan dana deportasi untuk Imigran Ilegal tidak akan mencukupi
untuk pemulangan keseluruhan kasus-kasus case closed ini.
Kemudian dalam penanganan kasus Imigran Ilegal yang telah mendapatkan
status pencari suaka (Asylum Seekers) dan Pengungsi (Refugees), sebagaimana
telah tercantum pada peraturan Dirjen diatas bahwa Imigran Ilegal yang telah
mempunyai status-status tersebut dapat tidak dipermasalahkan izin tinggalnya,
juga menjadi persoalan sendiri bagi Pemerintah Indonesia. Persoalan tersebut
berkaitan dengan penempatan mereka yang berada di luar Rumah Detensi
Imigrasi seperti di Cisarua Puncak Bogor, Medan, Jogyakarta, Makassar dan
lain-lain. Persoalan yang disinyalir akan dan mungkin sudah terjadi adalah
aspek sosial, keamanan dan ketertiban di lingkungan mereka tinggal tersebut
terhadap penduduk lokal. Aspek-aspek sosial keamanan dan ketertiban yang
ada dan mungkin muncul tersebut seperti adanya perkawinan tidak sah dengan
wanita lokal, bekerja illegal, kejahatan seperti narkotika, terorisme dan lain-
lain.
Hal tersebut diatas disebabkan rentang waktu tunggu mereka di Indonesia
sangat tidak jelas. UNHCR tidak dapat memastikan setelah mereka
mendapatkan status-status tersebut, berapa lama untuk dapat ditempatkan di
11
Australia. Banyak contoh bahwa mereka setelah mendapatkan status-status
tersebut masih harus menunggu bertahun-tahun untuk dapat ditempatkan di
Negara Penerima/Australia. Keberadaan mereka yang lama tersebut itulah yang
kemudian akan menimbulkan kerawanan-kerawanan dari sisi sosial, keamanan
dan ketertiban. Jika hal ini tidak ditangani secara cepat dan tepat, maka
kemungkinan pada tahun-tahun mendatang akan ada multi ras baru yang
berkembang di Indonesia.
Selain itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai
korban penyelundupan manusia, padahal Undang-Undang khusus tentang
human smuggling (penyelundupan manusia) tidak ada di Indonesia,
mengakibatkan para imigran gelap merasa sangat aman di Indonesia, merasa
bebas tanpa dikenakan hukum Indonesia. Yang terjerat hukum Indonesia
hanyalah WNI yang juga ikut terlibat (terhasut oleh para penyelundup).11
Terkait masalah pengaturan mengenai penanggulangan bagi para imigran
illegal yang berkedok sebagai korban penyelundupan manusia atau dalam
status perlindungan sebagai pencari suaka dan pengungsi inilah yang belum
diatur secara nasional dalam suatu peraturan perundang–undangan, maka harus
dilakukan suatu pembaruan hukum (law reform) yang merupakan bagian dari
pembangunan nasional. Pembaruan hukum nasional sebagai bagian dari
rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu
11 Hari Sabarno, 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38.
12
baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi, dan meliputi
juga hukum formil maupun hukum materielnya.
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaruan hukum pidana tidak hanya
menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan
nilai-nilai yang ada.
Untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa pembaruan
hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-
nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.12
Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman
Sarikat Putra Jaya mengatakan, bahwa proses penegakan hukum itu
menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum/undang-undang.
Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu nanti dijalankan.13
12 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h.28.
13 Nyoman Sarikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip, Semarang, h. 23.
13
Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung kebijakan Negara
dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada
umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau
kewenangan penguasa/penegak hukum dalam menjalankan tugasnya
memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan kenyataan dalam rangka penanggulangan masalah
penyelundupan manusia ini maka diperlukan suatu pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan hukum pidana atau kebijakan formulasi yang
merupakan bagian kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum
pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum
pidana” (penal policy). Dengan adanya kebijakan formulasi yang merupakan
suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang akan dirumuskan
dalam suatu formulasi kebijakan, dapat mengarah kepada suatu pembaruan
hukum pidana (penal law reform) untuk menanggulangi masalah imigran ilegal
dalam konteks penanganan penyelundupan manusia pada masa mendatang.
Dari paparan latar belakang diatas, imigran ilegal berstatus pencari suaka
dan pengungsi yang dibungkus oleh kegiatan penyelundupan manusia ini,
sudah harus ditangani secara holistik oleh instansi terkait seperti Imigrasi,
Polri, Menkopolhukam, Kementerian Luar Negeri dan lain-lain, dimana telah
terjadi kekaburan norma pada Undang-Undang Keimigrasian serta kekosongan
norma yang mengatur keterlibatan imigran ilegal ini dimana belum mengatur
14
secara tegas mengenai kedudukan imigran ilegal yang seharusnya dapat
diselidiki lebih mendalam lagi apakah imigran ini telah mendapatkan statusnya
sesuai aturan atau dalam kejahatan penyelundupan manusia bertindak tidak
sesuai aturan yang ada, sehingga melalui kebijakan hukum pidana nantinya
diharapkan dapat menanggulangi para imigran ilegal yang berkedok ini sebagai
bentuk dari tindak pidana yang terselubung. Hal inilah yang menjadi alasan-
alasan penulis mengambil judul skripsi “PENANGGULANGAN IMIGRAN
ILEGAL DALAM KEJAHATAN PENYELUNDUPAN MANUSIA DI
INDONESIA”.
I.2 Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang menjadi fokus kajian penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan tentang penanggulangan terhadap imigran
ilegal dalam kejahatan penyelundupan manusia menurut hukum positif di
Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang
terhadap penanggulangan imigran ilegal dalam kejahatan penyelundupan
manusia?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas
batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga
15
pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju
pada pokok bahasan yang diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari
pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, Maka ruang lingkup
pembahasan masalah difokuskan pada hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Bagaimanakah pengaturan penanggulangan imigran ilegal yang terlibat
dalam kejahatan penyelundupan manusia berdasarkan hukum positif di
Indonesia.
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang
terhadap masalah penanggulangan imigran ilegal dalam kejahatan
penyelundupan manusia demi terciptanya suatu pembaharuan hukum
pidana terhadap kejahatan penyelundupan manusia di Indonesia.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini sengaja penulis angkat menjadi judul skripsi, dimana
merupakan karya ilmiah yang sejauh saya ketahui belum pernah dibahas secara
mendalam dalam sebuah karya ilmiah di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Udayana (UNUD). Dalam beberapa artikel, mengenai
penyelundupan manusia telah diangkat dalam beberapa jurnal ilmiah di
berbagai fakultas hukum negeri selain Universitas Udayana seperti di UGM,
UNSRI, USU. Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi buku-
buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, keaslian penelitian ini dapat saya pertanggungjawabkan.
16
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah :
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan mengenai penanggulangan
imigran ilegal yang terdapat di Indonesia dalam menyikapi kejahatan
transnasional terutama masalah imigran ilegal dalam kejahatan
penyelundupan manusia yang kian marak terjadi.
2. Untuk mengetahui apakah aturan mengenai penyelundupan manusia yang
sekarang sudah sempurna dan mencakup penanggulangan imigran ilegal
atau belum, sehingga kedepannya dapat ditentukan dan ditetapkan aturan
yang lebih baik lagi.
b. Tujuan Khusus
Dengan dilakukannya penulisan hukum ini, maka ada beberapa tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis yaitu :
1. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaturan penanggulangan imigran
ilegal dalam hukum positif di Indonesia yang dikaitkan dengan kejahatan
penyelundupan manusia agar kedepannya pemerintah Indonesia dapat
menciptakan suatu lingkungan hukum yang lebih baik.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis kebijakan hukum pidana yang dapat
diambil pada masa yang akan datang dengan melihat peraturan perundang-
17
undangan Indonesia terhadap suatu kejahatan transnasional yaitu
penyelundupan manusia yang mencakup penanggulangan imigran ilegal
yang terlibat dalam kejahatan ini.
1.6 Manfaat Hasil Penelitian
Dalam setiap penulisan skripsi terdapat manfaat yang dapat diambil dari
penelitian yang dilakukan. Manfaat secara umum dalam penulisan skripsi ini
terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis.
a. Manfaat Teoritis
1. Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pimikian
dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum,
khususnya dalam disiplin ilmu hukum pidana yang bersifat umum.
2. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan hukum pidana mengenai masalah imigran ilegal berbalut
penyelundupan manusia yang peraturannya masih perlu disempurnakan
dan dibutuhkannya suatu aturan yang lebih khusus tentang pengaturannya.
3. Selain itu juga dapat menambah pemahaman bagi mahasiswa yang
berkaitan dengan apa itu penyelundupan manusia dan fenomena apa saja
yang terkait dengan penanggulangan imigran ilegal di dalamnya.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan-pertimbangan atau
masukan bagi pemerintah dalam membuat peraturan dibidang tindak
18
pidana secara keilmuan umum dan aturan di bidang hukum
keimigrasian.
2. Untuk dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat
dalam menyikapi tindak pidana penyelundupan secara khusus mengenai
penyelundupan manusia agar dapat mencegah terhasutnya masyarakat
untuk melakukannya.
1.7 Landasan Teoritis
Di dalam pembahasan skripsi ini, sebelumnya perlu adanya dikemukakan
suatu landasan teoritis yang menjadi landasan berpikir dalam membahas dan
menyelesaikan pokok permasalahan yang diangkat. Berbicara tentang
kebijakan kriminalisasi dalam menanggulangi penyelundupan manusia, terlebih
dahulu harus membahas tentang kejahatan transnasional, kebijakan hukum
pidana, pembaruan hukum pidana, subjek tindak pidana, korban tindak pidana,
dan pertanggungjawaban pidana.
A. Kejahatan Transnasional
Transnasional Crime memiliki beberapa definisi, hal ini terkait dengan
latar belakang pendidikan, pengalaman, serta kepentingan yang menyebabkan
beberapa Ahli merumuskan definisi Transnasional Crime serta Radikalisme
sangat bervariasi, namun secara garis besar terdapat kata kunci yang dapat
digunakan sebagai panduan dalam merumuskan pengertian Transnational
Crime adalah:
19
1. Suatu perbuatan sebagai suatu kejahatan.
2. Terjadi antar Negara atau Lintas Negara.
Menurut G.O.W. Mueller “Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis
mengenai ilmu tentang kejahatan, yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-
bangsa bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal
mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu yang melampaui perbatasan
internasional, melanggar hukum dari beberapa negara, atau memiliki dampak
pada negara lain.
Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational
crime adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara,
kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara
lebih dari satu negara, sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang
dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi istilah
kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-
kejahatan yang sebenarnya nasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi
dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak
adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan
kejahatan itu. Kejahatan transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan
kejahatan atau tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata.Demikian
pula sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya
sudah meliputi individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang
20
transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun
internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan politik.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah menentukan karakteristik apa
saja yang termasuk dalam kategori kejahatan transnasional yaitu:
a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara;
b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan,
perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain;
c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok
kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari
satu negara; atau
d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam
negara lainnya.
Sedangkan kejahatan transnasional hampir selalu berkaitan dengan
kejahatan dengan motif finansial, yang membawa dampak terhadap
kepentingan lebih dari satu negara.
Dari kata-kata kunci diatas dapat dijelaskan bahwa TransnationalCrime
merupakan suatu kejahatan yang terjadi lintas Negara dalam pengertian bahwa
suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan apabila terdapat piranti
hukum yang dilanggar sehingga bisa saja terjadi suatu perbuatan yang
dirumuskan, dirancang, disiapkan, dilaksanakan dalam suatu Negara bisa saja
21
bukan merupakan kejahatan namun ketika hasil kejahatan yang diatur,
disiapkan melakukan lintas batas Negara untuk masuk ke yuridiksi Negara
yang berbeda lantas dikategorikan sebagai kejahatan Transnasional Crime.
B. Kebijakan Hukum Pidana
Secara gardual dan fundamental, terminologi kebijakan berasal dari istilah
"policy" (Inggris) atau "politiek" (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan
sebagi prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah
(dalam artian luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang
– bidang penyusunan peraturan perundang – undangan dan mengalokasikan
hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (warga negara).14
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah "kebijakan hukum
pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam
kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain "penal policy", "criminal law policy" atau
"strafrechtspolitiek". Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat
dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Pengertian kebijakan
atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik
kriminal.
14 Lilik Mulyadi, 2008, Bungai Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi I), h. 389.
22
Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.15
Berdasarkan pengertian diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang – undangan pidana
agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa
mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum
pidana identik dengan "Pembaruan perundang-undangan hukum pidana",
namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa, hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang
terdiri dari budaya (culture), struktur (structural) dan substansi (substantive)
hukum. Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum,
pembaruan hukum pidana, di samping memperbarui perundang – undangan,
juga mencakup pembaruan ide dasar dan ilmu hukum pidana.16
15 Soedarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 159. 16 Lilik Mulyadi I, Op.cit., h. 390.
23
Dikaji dari perspektif politik hukum, pada dasarnya politik hukum pidana
berusaha membuat dan perumuskan perundang-undangan pidana yang baik.
Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik. Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai peraturan
perundang – undangan hukum pidana. Atas dasar itu, menurut Marc Ancel
sebaiknya hukum positif dirumuskan secara lebih baik agar dapat menjadi
pedoman bukan hanya untuk pembuat undang – undang saja, tetapi juga untuk
Pengadilan yang menerapkan undang – undang dan kepada penyelenggaran
atau pelaksana putusan pengadilan. Karena itu istilah penal policy, menurut
Ancel sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.17 Menurut
Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah
mana pemberlakuan hukum Pidana Indonesia masa yang akan datang dengan
melihat penegakannya saat ini. 18
Di sisi lain, kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut Wisnubroto
dikutip dari buku Lilik Mulyadi, merupakan tindakan yang berhubungan
dengan hal – hal :
a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menggulangi kejahatan dengan
hukum pidana.
17 Ibid. 18 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non -
Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, h.66.
24
b Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat.
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana.
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.19
Melaksanakan politik hukum pidana berarti didalamnya terkandung upaya
yang mengarah pada perubahan, perbaikan dan pembaharuan hukum pidana
tidak hanya untuk saat ini, melainkan juga kearah masa depan. Oleh karena itu
membicarakan politik hukum pidana termasuk di dalamnya termasuk prospek
serta upaya antisipasi dalam rangka membuat peraturan hukum pidana yang
lebih baik. Mengenai prospek kebijakan hukum pidana mencakup persoalan
kebijakan hukum pidana yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan
kebijakan hukum pidana untuk masa yang akan datang atau hukum yang dicita-
citakan (ius constitutuendum) yang berupa pemecahan faktor-faktor yang
menjadi penghambat secara umum, di dalamnya meliputi faktor substantif atau
materi, faktor struktur dan faktor budaya hukum, fungsi antisipatif dan terlebih
fungsi adaptif. Dari suatu peraturan perundang-undangan terutama hukum
pidana merupakan prasyarat keberhasilan pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana pada umumnya. Kebijakan pemerintah menetapkan peraturan
19 Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi II), h. 29.
25
perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum pidana ditujukan dalam
rangka menciptakan ketertiban sosial.
Menurut A. Mulder, dalam Strafrechtspolitiek ditentukan garis-garis
kebijakan tentang :
(1). Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaiki
(2). Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana
(3). Cara bagaimana penyidikan, pengusutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.
Definisi Mulder diatas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”
menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa, tiap masyarakat yang
terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :
a. Peraturan – peraturan hukum pidana dan sanksinya
b. Suatu prosedur hukum pidana, dan
c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana)20
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka
20 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., h. 26.
26
politik hukum pidana identik dengan pengertian “ kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana”.
Dua masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana dengan menggunakan
sarana sentral (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan
b. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Dengan
demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani
dua masalah sentral diatas harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Bertolak dari
pendekatan kebijakan tersebut dalam menghadapi masalah sentral yang
pertama diatas sering disebut dengan kebijakan kriminalisasi.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan
suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi
suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya
kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan criminal (criminal
policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu
27
termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya
kebijakan formulasinya.21
C. Pembaruan Hukum Pidana
Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum
pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan
latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri.
Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-
nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah :
a. Dilihat dari sudut pendekatan – kebijakan :
i. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah –
masalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya)
ii. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan)
21 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaruan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 126.
28
iii. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.
b. Dilihat dari sudut pendekatan – nilai :
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai – nilai sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita – citakan. Bukanlah
pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum
pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi
nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). 22
D. Subjek Tindak Pidana
Kata pelaku dalam pengertian pidana adalah pertama-tama ia melakukan
elemen-elemen dari tindak pidana, yang dirumuskan dalam rumusan delik.
Seringkali sulit untuk menentukan pelaku dari tindak pidana. Manusia hidup di
masyarakat dan hidup dengan orang lain yang berinteraksi, maka perbuatan
atau tingkah laku mereka sedikit banyak memberikan pengaruh kepada
perbuatannya sendiri. Khususnya dalam delik itu sendiri terdiri atas tingkah
22 I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana I), h. 161.
29
laku yang seharusnya dilakukan dengan atau terhadap orang lain, maka sulit
untuk menentukan, siapa pelaku yang sebenarnya dalam delik tersebut.
Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana dalam
KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat
disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu
perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana. Adapun
bentuk-bentuk pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP,
yaitu:
1. Orang yang melakukan (pleger)
Menurut pendapat Simons yang dimaksud dengan “orang yang melakukan
suatu tindak pidana”, ialah apabila seseorang melakukan sendiri suatu tindak
pidana artinya tidak ada temannya atau bantuan orang lain23. Dalam arti sempit,
pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam arti luas
meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu yang melakukan perbuatan,
yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan dan yang
menganjurkan.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Dalam hal ini paling sedikit harus ada dua orang yang dapat dikatakan
sebagai pelaku tindak pidana, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan
23 I Made Widnyana, 2010, Asas – Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, (Selanjutnya disebut I MadeWidnyana II), h.219.
30
orang yang disuruh melakukan. Terhadap orang yang menyuruh melakukan
tindak pidana itu tidak melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana, akan
tetapi orang disuruh yang melakukan tidak dikenai suatu pertanggungjawaban
pidana karena tidak mampu bertanggungjawab (tidak mandiri). Terhadap orang
yang menyuruh melakukan (yang memberi perintah) dalam hal ini dapat
disebut juga sebagai badan usaha atau korporasi.
3. Orang yang turut serta melakukan (mede pleger)
Yang dimaksud dengan turut serta melakukan ialah apabila beberapa orang
pelaku beserta bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana. Dalam ikut serta, para pelaku menyadari bahwa
bersama-sama akan melakukan tindak pidana. Semua pelaku dalam ikut serta
harus bersama-sama secara fisik melaksanakan tindak pidana itu. Meskipun
dalam pengertian tidak perlu semua peserta memenuhi persis seperti yang
termuat sebagai unsur tindak pidana.
4. Orang yang membujuk melakukan (uitlokker)
Pada orang yang membujuk atau penganjur melakukan sesuatu kejahatan
dengan perantaraan orang lain. Akan tetapi, disini orang lain itu sendiri atau
orang yang menerima anjuran, juga dapat dipidana sebagai pelaku (dader) yang
sebenarnya dari kejahatan itu. Yang dimaksud denganpembujuk adalah setiap
orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana. Bentuk pembujuk yang disebutkan dalam
31
Pasal 55 ayat (2) KUHP ialah usaha untuk menggerakkan orang lain itu,
senantiasa harus digunakan cara, daya dan upaya, sebagaimana ditentukan oleh
ketentuan Pasal 55 ayat (2) tersebut.
5. Orang yang membantu (medeplichtigheid)
Pemberian bantuan dapat dilakukan sebelum dan saat berlangsungnya
pelaksanaan kejahatan. Cara – cara yang dilakukan sebelum dilaksanakannya
kejahatan yaitu dengan memberikan kesempatan, memberikan sarana dan
memberikan keterangan24.
E. Korban Tindak Pidana
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli bahwa Victim
adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,
kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha
pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini
jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya”
itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.25
Selaras dengan pendapat diatas adalah Arief Gosita menyatakan yang
dimaksud dengan korban adalah:
24 Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 142.
25 Abdussalam, 2010, Victimology, PTIK, Jakarta, h. 5.
32
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.
Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan
mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari
korban.26
Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang
dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:
1. Setiap orang,
2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
3. Kerugian ekonomi,
4. Akibat tindak pidana.
Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur
dalam beberapa perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian
yang baku, namun hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana.
26 Arief Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 75.
33
Secara etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami
kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang
merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan
sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban
diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat
tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat
pengalamannya sebagai target/sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak
Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :
1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi :
a. Korban Langsung (Direct Victims)
Yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan
dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
2) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan
emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar
manusia.
3) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan
dalam hukum pidana.
4) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
34
b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)
Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam
membantu korban langsung (direct victims) atau turut melakukan
pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak
pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban
langsung seperti isteri/suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
2. Victims of abuse of power
Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita
kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan
ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok hak dasar mereka, melalui
perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum merupakan pelanggaran
undang-undang pidana Nasional tetapi norma-norma diakui secara
internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia.
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum
PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun
kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang
melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan
yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain terutama
mengenai pengertian “Victims of Power” bahwa orang-orang yang menjadi
korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum
35
merupakan pelanggaran. Menurut norma HAM yang diakui secara
internasional juga termasuk dalam pengertian “Korban”.
F. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai
“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang
telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, “orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan
pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama–tama
tergantung pada dilakukannya tindak pidana.27 Konsep Rancangan KUHP
Tahun 2014, didalam Pasal 36 memberikan definisi pertanggungjawaban
pidana yaitu pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang
yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya.
Didalam penjelasannya dikemukakan bahwa tindak pidana tidak berdiri
sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini
berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya
harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)
yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang
27 Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.20.
36
berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.28
Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif
pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya
kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa
pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam
tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga
diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada
kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan
seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu
adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur
melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya.
Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat
apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang
dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang
memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu. Berdasarkan hal
tersebut, menurut Sudarto maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana terdiri atas beberapa unsur, yaitu :
28 Iman Herlambang, 2012, Pengertian Pertanggungjawaban Pidana, URL : http://imanhsy.blogspot.com/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 26 Januari 2015.
37
1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari
si pembuat
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)
3. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat29
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan
datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah
satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan
asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan
bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu
untuk menerapkan asas strict liability (pertanggungjawaban terbatas), vicarious
liability (pertanggungjawaban tanpa kesalahan), erfolgshaftung, kesesatan
atau error, rechterlijk pardon (keringanan hakim), culpa in causa dan
pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak
pidana.30 Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas
culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini
29 I Made Widnyana II, Op.cit., h. 68. 30 Barda Nawawi Arief, 2011, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III), h. 92.
38
biasanya terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana,
khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
1.8 Metode Penelitian
Metodologi berasal dari kata dasar metode dan logi. Metode artinya cara
melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu
yang berdasarkan logika berpikir. Metodologi Penelitian artinya ilmu tentang
cara melakukan penelitian dengan teratur (sistematis). Metodologi penelitian
hukum artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian hukum dengan teratur
(sistematis).31
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian secara normatif. Dalam
penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan
adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.32 Tahapan
pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan
penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum
subjektif (hak dan kewajiban).33
31 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 57.
32 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13–14.
33 Hardijan Rusli, 2006, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”,Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Volume V No. 3, Tahun 2006, h. 50.
39
b. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini adapun pendekatan yang digunakan dalam
mengkaji permasalahan adalah adalah pendekatan fakta (The Fact
Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach).
Pendekatan fakta dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap hal-
hal yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan isu yang dihadapi,
sedangkan pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani.34
c. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penulisan skripsi terdiri dari data
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dinamakan data sekunder.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua)
sumber, yaitu:
1. Bahan hukum primer
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
b. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian, LN RI Tahun 2011 Nomor 52, TLN
RI Nomor 5216.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009
Tentang Pengesahan United Nations Convention Against
34 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93-95.
40
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
yang Terorganisasi), LN RI Tahun 2009 Nomor 5, TLN RI
Nomor 4960.
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2009 Tentang Pengesahan Protocol Against The Smuggling
of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing The
United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan
Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi), LN RI Tahun
2009 Nomor 54, TLN RI Nomor 4991.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, LN RI Tahun
2013 Nomor 68, TLN RI Nomor 5409.
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1994 Tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan
Keimigrasian, LN RI Tahun 1994 Nomor 54, TLN RI
Nomor 3562.
41
h. Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-
1489.UM.08.05 Tahun 2010 Tentang Penanganan Imigran
Ilegal.
2. Bahan Hukum Sekunder
a. Buku-buku hukum (text book)
b. Jurnal-jurnal hukum.
c. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang
termuat dalam media masa.
d. Internet (dengan menyebutkan sumber situsnya).
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan yaitu:
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian.
2. Sistem kartu (card system).
Sistem ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Mempergunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila
penulis telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau
penulis dari bahan pustaka yang diketahuinya.
2. Mempergunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila
penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namun
penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.
42
Mempergunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek
adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu
bahan dari subjek ini, penulis tidak perlu mengetahui nama
pengarang ataupun judul dari suatu bahan pustaka.35
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan
teknik sistematisasi. Melalui teknik deskripsi dapat diuraikannya suatu
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-
hukum.Kemudian dengan teknik interpretasi dapat digunakan jenis-jenis
penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran
sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.
Setelah melakukan penafsiran tentu melalui teknik evaluasi
kemudian dilakukan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap
suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik
yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Kemudian melalui teknik argumentasi dan teknik sistematisasi dilakukan
penalaran hukum dan upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum
atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat
maupun antara yang tidak sederajat.
35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23.