bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra Arab adalah ungkapan tentang pengalaman perasaan dalam
bentuk inspirasi (Qut}b, 1990:9). Menurut Sainte Beuve (via asy-Sya>yib, 1994:17)
karya sastra Arab juga merupakan al-kala>mu ad-daqi>qu al-jami>lu allaz|i yu‘abbiru
‘an al-h}aqa>>>‘iqi al-adabiyyati wa al-‘awa>t}ifi al-insa>niyyati ‘ungkapan indah dan
mendalam yang mengungkapkan hakikat sastrawi dan emosi kemanusiaan’. Karya
sastra Arab bukan saja tentang keindahan dan seni yang mengeksploitasi bahasa
sebagai medianya, tetapi juga mengandung aspek estetika makna, baik dalam arti
imajinasi, rasa, dan pikiran (Kamil, 2009:6).
Dalam karya sastra Arab dikenal tiga genre, yaitu asy-syi‘ru ‘puisi’, an-
nas|ru ‘prosa’, dan al-masrah}iyyatu ‘drama’ (Kamil, 2009:7). Di antara ketiga
genre tersebut, puisi dianggap paling tinggi nilai sastranya. Puisi di kalangan
bangsa Arab juga lebih disukai dibanding dengan karya sastra lainnya. Hal ini
dikarenakan puisi merupakan suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari
kehalusan perasaan dan keindahan imajinasi (al-Muhdar, 1983:28).
Puisi di dalam kesusastraan Arab disebut asy-syi‘ru, yang kemunculannya
dimulai sejak zaman jahiliyah, yaitu sekitar abad ke-2, sebelum munculnya Islam
(al-Muhdar, 1983:25). Pada waktu itu, puisi memiliki kedudukan yang agung,
kuat, dan banyak memberikan pengaruh di bangsa Arab. Kemudian puisi
berkembang pada masa setelahnya, yaitu masa permulaan Islam sampai masa
2
kebangkitan hingga muncul istilah modern sampai sekarang ini (Ha>syimi>,
1967:12-13).
Puisi Arab pada masa modern ditandai dengan tema nasionalisme, politik,
konflik, dan perlawanan. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Muhdar (1983:25)
bahwa puisi Arab modern sangat erat kaitannya dengan keadaan politik, sosial,
dan agama, ditambah dengan adanya rasa nasionalisme bangsa Arab yang tinggi.
Atas dasar penjelasan di atas, maka para penyair Arab mempunyai rasa kepekaan
yang tinggi dan jiwa yang kritis terhadap kejadian yang baru-baru ini terjadi. Hal
tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutiasumarga (2000:113) bahwa di
era modern ini, para sastrawan Arab lebih terbuka terhadap pengaruh-pengaruh
eksternal dan karya-karyanya pun lebih kaya, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas.
Ketika disebut puisi Arab modern, maka yang paling banyak berkembang
adalah puisi-puisi Arab dari Mesir. Sementara itu, puisi Arab meliputi 23 negara
yang memiliki karakteristik masing-masing. Meskipun sampai saat ini seringkali
tidak dibedakan berdasarkan kewilayahannya, tetapi banyak puisi Arab yang
ditulis oleh para sastrawan dari negara lain. Salah satunya adalah puisi Arab
modern yang ditulis oleh sastrawan terkenal dari Yaman.
Adapun salah satu sastrawan termasyhur di Yaman adalah ‘Abdulla>h al-
Baraddu>ni>. Ia merupakan penyair yang mengikuti aliran al-muqallidun dan al-
mujaddidun. Ia memakai pola lama dan terdapat pembaharuan dalam isi puisinya,
khususnya dalam hal yang menyangkut tentang masyarakat dan konflik-konflik
yang terjadi di dalam kehidupan. ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> telah menerbitkan 12
3
antologi puisi dengan topik konflik, perlawanan, dan dinamika politik Yaman.
Buah karyanya banyak berisi sindiran dan kritikan terhadap penguasa-penguasa
dan minimnya demokrasi di negara Yaman (Musaed, 2010).
Satu dari sekian banyak puisi karya ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> yang
mengisahkan keadaan rakyat dan sindiran terhadap penguasa-penguasa di Yaman
adalah puisi yang berjudul “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na”. Puisi tersebut di muat
dalam antologi puisi Fi> T{ari>qi al-Fajri yang diterbitkan pada tahun 1967. Puisi ini
dipilih karena pada pembacaan pertama tampak memiliki sistem tanda untuk
dianalisis, misalnya pada bait pertama dari puisi tersebut s}ah}wuna> kulluhu>
ma’tamun ‘seluruh ketenangan kita adalah pemakaman’, kalimat tersebut
merupakan tanda yang menyimpan makna dan tidak merujuk pada makna yang
sebenarnya karena antara arti ketenangan dan pemakaman merupakan dua arti
selaras yang disejajarkan.
Oleh karena itu, agar puisi dapat dipahami, maka perlu dilakukan
penelitian. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan teori semiotik karena
menurut Pradopo (2014:122) menganalisis makna puisi tidak lepas dari analisis
semiotik karena secara semiotik, puisi merupakan struktur tanda-tanda bahasa
atau simbol yang bersistem dan bermakna yang ditentukan oleh konvensi.
Dengan menggunakan teori semiotik, diharapkan dapat memahami tanda-
tanda bahasa atau simbol yang ada dalam puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam
antologi puisi Fi> T>>{ari>qi al-Fajri karya ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> tersebut sehingga
dapat mengungkapkan makna yang ingin disampaikan oleh penyair.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan
yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah apa makna yang terkandung dalam
puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam antologi puisi Fi> T>>{ari>qi al-Fajri karya
‘Abdulla>h al-Baraddu>ni>?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian puisi ini
adalah untuk mengungkapkan makna puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam
antologi puisi Fi> T>>{ari>qi al-Fajri karya ‘Abdulla>h al-Baradu>ni>.
1.4 Tinjauan Pustaka
Puisi-puisi ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> pernah dibahas dalam disertasi yang
berjudul “as}-S}u>ratu asy-Syi‘riyyatu ‘inda ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni>”, (Masywah},
2000). Penelitian tersebut merupakan studi kritis yang dilakukan peneliti untuk
memperoleh gelar doktor. Penelitian tersebut membahas tentang penyebab dari
pembaharuan dalam puisi ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> dan aliran-aliran yang
mempengaruhi ‘Abdullah al-Baraddu>ni> dalam penciptaan bentuk puisi-puisinya.
Selanjutnya, penelitian yang berjudul “as-Sukhriyyatu fi> Syi‘ri ‘Abdulla>h
al-Baraddu>ni>”, (Musaed, 2010) dari Universitas Ummu al-Qura>. Penelitian
tersebut membahas tentang ironi dalam puisi ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni>. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam puisi al-Baraddu>ni> didominasi oleh
ironi yang bukan merupakan bentuk balas dendam pribadi sang penyair. Akan
tetapi, sebuah ironis kritikus pembaharuan yang menyoroti kelemahan-kelemahan
agar terlepas dari gaya-gaya sinis.
5
Penelitian puisi yang bertemakan rakyat, pemerintahan, dan tanah air
dengan analisis semiotik telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Berikut adalah lima dari penelitian yang menggunakan tema tentang rakyat,
pemerintahan, dan tanah air. Pertama adalah penelitian yang berjudul
“Yaumiyyatu Jurh{i Filast{i>niyyin” karya Mah{mu>d Darwi>sy dengan memanfaatkan
analisis semiotik Riffaterre (Sastiani, 2011). Tanda-tanda dalam puisi tersebut
menggambarkan tetang penderitaan dan kesengsaraan rakyat Palestina akibat
pendudukan Israel di wilayah mereka. Israel memaksa mereka meninggalkan
tanah air dan membiarkan mereka hidup sengsara. Akan tetapi, hal tersebut tidak
menghalangi mereka untuk terus berjuang meski harus mati hingga mereka dapat
hidup bahagia di sana.
Kedua adalah penelitian yang berjudul “Jundiyyu>n Yah{lumu Biz-Zana>biqil
Baid{a>’a” dalam antologi A<khiru al-Lail karya Mah{mu>d Darwisy (Vebriyanti,
2012). Tanda-tanda dalam puisi tersebut menggambarkan tetang Israel yang
meninggalkan medan peperangan atas nama hati nurani karena telah banyak
membunuh musuh Yahudi yang merupakan warga sipil.
Ketiga adalah penelitian yang berjudul “Mata> Yu’linu>na Wafa>ta al-Arabi”
dalam antologi puisi al-A’ma>lu al-K>a>milatu Li asy-Sya>’ir karya Niza>r Qabba>ni>
(Tubagus, 2014). Tanda-tanda dalam puisi tersebut menjelaskan tentang keadaan
sosial, politik, dan ekonomi bangsa Arab yang mengalami banyak masalah sejak
Perang Dunia II, seperti korupsi, ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan, dan
kondisi ekonomi yang stagnan. Hal ini dikarenakan para pemimpinnya lebih
mementingkan kepentingan pribadi dan tidak memikirkan bangsa Arab secara
6
menyeluruh. Hal tersebut menyebabkan negara Arab tidak dapat berkembang dan
hanya bisa bertahan dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang buruk dan
lemah.
Keempat adalah penelitian yang berjudul “Kulluna Tunisu Sauratu al-
Yasmini” karya Muhammad bin az-Zayyib al-‘Ajami> (Ashary, 2015). Tanda-tanda
dalam puisi tersebut menjelaskan tentang sistem pemerintahan diktator, otoriter,
represif, dan turun temurun tidaklah baik diterapkan dalam masyarakat, sehingga
dibutuhkan sistem pemerintahan yang demokratis.
Kelima adalah penelitian yang berjudul “ala> Mah}at}t}ati Qit}a>rin Saqat}a ‘an
al-Khari>t}ati” dalam antologi puisi La Uri>du Li Ha>z|ihi al-Qas}i>dati an Tantahiya
karya Mah}mu>d Darwisy (Rifa’i, 2016). Tanda-tanda dalam puisi tersebut
menjelaskan tentang perjuangan rakyat Palestina dalam mengusir penjajah untuk
mempertahankan tanah airnya. Puisi tersebut juga menceritakan eksistensi
Palestina. Negara Palestina tetap ada meskipun dalam kenyataannya telah dikuasai
oleh Israel dan sudah hilang dari peta.
Dari pemaparan di atas, penelitian terhadap puisi “Nah{nu wa al-
H{a>kimu>na” karya Abdulla>h al-Baraddu>ni> ini belum pernah dilakukan. Setelah
melakukan penelusuran di situs digital library dan jurnal-jurnal ilmiah online juga
tidak ditemukan penelitian terhadap puisi ini. Sementara para penyair asing yang
tergabung dalam organisasi PEN (Penyair, Esais, Novelis) yang berbasis di
Amerika Serikat, ataupun para penyair dari dunia Arab belum ditemukan satu
penelitian yang meneliti puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” ini dengan menggunakan
analisis semiotik. Oleh karena itu, penelitian terhadap puisi karya ‘Abdulla>h al-
7
Baraddu>ni> dengan analisis semiotik perlu dilakukan, sehingga ini akan menjadi
penelitian akademis pertama untuk puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dan dapat
menjadi tambahan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti puisi revolusi di
dunia Arab, terutama tentang konfigurasi dan dinamika politik Yaman.
1.5 Landasan Teori
Untuk mengetahui makna puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam antologi
puisi Fi> T>>{ari>qi Al-Fajri karya ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni>, maka digunakan teori
semiotik karena semiotik adalah pendekatan yang paling sesuai untuk memahami
makna puisi (Riffaterre, 1978:ix). Menurut Paul Cobley dan Litza Janz, semiotika
berasal dari kata seme dalam bahasa Yunani yang memiliki arti penafsiran tanda
(via Ratna, 2008:97). Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Hal ini senada dengan Hoed (via Nurgiyantoro, 2012:40) bahwa
semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Sebagai tanda,
karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai sarana
komunikasi antara pembaca dan pengarangnya.
Menurut de Saussure (via Teeuw, 2013:36) tanda merupakan kesatuan
antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant atau penanda dan
signifie atau petanda. Signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu,
sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Hubungan antara
penanda dan petanda bersifat arbitrer (Pradopo, 2014:123). Tanda juga bersifat
maya, tidak menarik perhatian pada dirinya sendiri, tetapi menunjuk langsung
pada yang diacunya (Wellek & Warren, 1995:15).
8
Karya sastra (puisi) merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat
bahwa karya sastra (puisi) itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna
dan menggunakan medium bahasa (Pradopo, 2014:122-123). Bahasa (sistem
tanda) yang menjadi medium karya sastra itu adalah sistem tanda tingkat pertama
karena hanya dapat dipahami dari arti kata (meaning) saja (Siswantoro, 2010:33).
Bahasa dalam karya sastra disebut semiotik tingkat kedua karena dalam karya
sastra, arti kata ditentukan oleh konvensi sastranya, maka timbullah arti baru,
yaitu arti sastra (meaning of meaning) (Pradopo, 2014:122).
Oleh karena itu, untuk mengetahui makna puisi bukan semata-mata
berdasarkan arti bahasanya saja, tetapi juga arti bahasa dan suasana, perasaan,
intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris, pengertian yang ditimbulkan
tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi
sastra (Pradopo, 2014:124). Dalam pemaknaan puisi, semiotik yang
dikembangkan oleh Riffaterre dapat memberikan pemaknaan khusus, yaitu
dengan pemberian makna karya sastra sebagai sistem tanda-tanda itu istilahnya
memproduksi makna tanda-tanda (Ratih, 2016:5). Teori semiotik Riffaterre
(1978:1) menyatakan bahwa puisi merupakan wacana kebahasaan yang
mengungkapkan suatu hal secara tidak langsung. Maksud dari ketidaklangsungan
tersebut adalah kata-kata dalam puisi berkemungkinan mengandung makna-
makna di luar makna yang dapat dipahami langsung sesuai makna leksikal.
Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain.
9
1.6 Metode Penelitian
Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas, maka metode
penelitian yang digunakan adalah metode analisis semiotik yang diungkapkan
oleh Riffaterre dalam Semiotic of Poetry. Dalam usaha memaknai puisi, Riffaterre
(1978) menawarkan empat langkah pokok yang perlu diperhatikan, yaitu
ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif,
matrik atau kata kunci, dan hipogram. Dalam penelitian ini akan digunakan dua
hal dari empat langkah yang ditawarkan oleh Riffaterre, yaitu ketidaklangsungan
ekspresi dan pembacaan heuristik serta hermeneutik atau retroaktif.
Ketidaklangsungan ekspresi mengacu pada bahasa puisi.
Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal (Riffaterre, 1978:2), yaitu
penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of
meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti ini menurut
Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam
karya sastra. Dalam khazanah sastra Arab metafora dan metonimi berbentuk
tasybi>h, maja>z, isti’ara>h, dan kina>yah. Tasybi>h adalah ungkapan yang
menjelaskan bahwa sesuatu atau sesuatu yang banyak itu sama dengan yang
lainnya dalam hal sifat atau lainnya dengan menggunakan ada>t seperti huruf ka>f
atau sejenisnya baik tersirat maupun tersurat (al-Ja>rim dan Ami>n, t.t:20). Maja>z
adalah ungkapan yang digunakan pada arti bukan semestinya karena ada
hubungan beserta adanya qari>nah (petunjuk) yang mencegah dari arti yang lalu
(asli) (Dayyab dkk, 1997:482-483). Isti’ara>h adalah maja>z yang hubungannya
berupa musya>bahah (perserupaan) (Dayyab dkk, 1997:485). Selanjutnya, kina>yah
10
adalah ungkapan yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian yang
sewajarnya, tetapi dapat dimaksudkan untuk makna asli (al-Ja>rim dan Ami>n,
t.t:115).
Penyimpangan arti menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal,
yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas muncul disebabkan oleh
pemakaian bahasa sastra yang multimakna. Ambiguitas dalam sastra Arab identik
dengan tauriyyah. Tauriyyah adalah penyebutan kata tunggal yang mempunyai
dua arti, yaitu arti yang dekat dan arti yang jauh (al-Ja>rim dan Ami>n, tt:277).
Kontradiksi berupa situasi yang berlawanan. Adapun kontradiksi identik dengan
t}iba>q dan muqa>balah. T{iba>q adalah berkumpulnya dua arti yang berlawanan
dalam satu ucapan (al-Ja>rim dan Ami>n, tt:281) sedangkan muqa>balah adalah
digunakannya dua arti atau lebih kemudian diimbangi dengan kata-kata yang
berlawanan secara berturut-turut (al-Ja>rim dan Ami>n, tt:285). Sementara nonsense
adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa
rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus (Pradopo, 2013:128).
Sementara itu, penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa
bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan
makna dalam sajak (Pradopo, 2013:129). Penciptaan arti ini terjadi karena adanya
enjambemen, tipografi, persajakan (rima), dan homologues. Dalam bahasa Arab,
rima identik dengan saj’. Saj’ adalah persesuaian dua fa>s}ilah pada huruf terakhir
(al-Ja>rim dan Ami>n, tt:273). Sementara itu, enjambemen identik dengan was}l dan
fas}l. Was}l adalah menghubungkan suatu kalimat dengan kalimat yang lain dengan
11
huruf wa>wu, sedangkan fas}l adalah meninggalkan penghubungan ini (al-Ja>rim dan
Ami>n, tt:230).
Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat
dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau rektroaktif
(Riffaterre, 1978:5). Pembacaan heuristik adalah pembacaan sesuai dengan
kompetensi bahasa dan struktur kebahasaannya (Pradopo, 2013:135). Pembacaan
heuristik juga merupakan pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama,
pembacaan menurut konvensi bahasa. Dalam pembacaan ini, karya sastra dibaca
berdasarkan struktur kebahasaannya, misalnya dengan menambah kata sambung,
sinonim, kata dasar dalam kurung atau memprosakan puisi sehingga menjadi
ungkapan biasa menurut konvensi bahasa (Pradopo, 2013:136). Akan tetapi,
pembacaan heuristik belum menghasilkan makna karya sastra yang sesuai dengan
kehendak sang pengarang. Oleh karena itu, perlu adanya pembacaan ulang atau
retroaktif dengan pembacaan tafsiran atau hermeneutik.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan berdasarkan konvensi sastra,
sistem semiotik tingkat kedua (Riffaterre, 1978:5). Pembacaan hermeneutik
adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik (Pradopo,
2013:135). Pembaca akan menafsirkan dan menjelaskan puisi berdasarkan apa
yang telah ia pahami setelah melakukan pembacaan pertama. Proses semiotik
yang berlangsung dalam pikiran pembaca hasilnya berasal dari pembacaan kedua
ini (Riffaterre, 1978:4).
Untuk penelitian terhadap puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam antologi
puisi Fi> T{ari>qi Al-Fajri karya ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> ini, langkah pertamanya
12
adalah analisis ketidaklangsungan ekspresi. Analisis ini digunakan dengan
pencarian bentuk-bentuk ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh
penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Adapun langkah
keduanya adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif). Pertama, puisi
akan dibaca secara heuristik, yaitu puisi akan dibaca berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat pertama. Puisi tersebut akan dibaca secara linier menurut struktur
bahasanya, kemudian teks puisi yang berbahasa Arab tersebut akan diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia sehingga artinya dapat diketahui. Selanjutnya,
pembacaan kedua adalah pembacaan hermeneutik, yaitu puisi akan dibaca
berdasarkan konvensi sastra untuk mendapatkan makna kesastraan. Pembacaan
tersebut dilakukan dengan cara mencari tanda-tanda yang terdapat dalam puisi,
lalu tanda-tanda tersebut dicari maknanya. Makna yang telah diketahui tersebut,
dihubungkan dengan peristiwa yang melatar belakangi penciptaan puisi tersebut
dan diperkuat dengan adanya sejumlah referensinya.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian terhadap puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam
antologi puisi Fi> Tari>qi al-Fajri karya ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> ini diperlukan
adanya sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini disajikan dalam empat
bab sebagai berikut.
Bab pertama adalah pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika
penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab kedua berisi biografi
‘Abdulla>h al-Baraddu>ni> beserta teks puisi dan transliterasinya. Bab ketiga berisi
13
analisis semiotik puisi “Nah{nu wa al-H{a>kimu>na” dalam antologi puisi Fi> Tari>qi
al-Fajri karya ‘Abdulla>h al-Baraddu>ni>. Bab keempat berisi kesimpulan dari
penelitian ini. Penelitian ini diakhiri dengan daftar pustaka.
1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan
pedoman transliterasi Arab-Latin bedasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22
Januari 1988 No. 158/1987 dan No.0543 b/U/1987.
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan
dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf sekaligus.
No Arab Latin No Arab Latin
tidak ا 1
dilambangkan
Ṭ ط 16
Ẓ ظ B 17 ب 2
_‘ ع T 18 ت 3
G غ Ṡ 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
Q ق Ḥ 21 ح 6
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م Ż 24 ذ 9
N ن R 25 ر 10
W و Z 26 ز 11
H ه S 27 س 12
14
No. Arab Latin No. Arab Latin
_’ ء Sy 28 ش 13
Y ي Ṣ 29 ص 14
Ḍ ض 15
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong, vokal
rangkap atau diftong, dan vokal panjang.
Vokal Tunggal Vokal Rangkap Vokal Panjang
Tanda Huruf
Latin
Tanda
dan Huruf
Gabungan
Huruf
Harakat
dan Huruf
Huruf dan
Tanda
يَـ A َـ Ai اَـ a>
وَـ I ِـ Au يِـ i>
وُـ U ُـ u>
3. Tā Marbūṭah
Transliterasi untuk tā marbūṭah ada dua. Pertama, tā Marbūṭah hidup atau
mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah, transliterasinya adalah /t/. Kedua,
tā Marbūṭah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/. Kalau pada
kata yang terakhir dengan tā Marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata
sandang al- serta kedua kata itu terpisah, maka tā Marbūṭah itu ditransliterasikan
dengan /h/.
Contoh: .al-Madi>nah al-Munawwarah atau al-Madi>natul-Munawwarah: ّورةنامل دينةامل
15
4. Syaddah (Tasydīd)
Tanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh: ربنا : rabbana>
5. Kata Sandang
Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata
sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya, yaitu huruf /I/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang tersebut.
Contoh: الّرجل : ar-rajulu
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf /I/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Contoh: لمالق : al-qalamu
6. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof (’) jika terletak ditengah dan
akhir kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan
Arab berupa alif.
Contoh: أكل : akala, سأل : sa’ala, بدأ : bada’a
16
7. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu
yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain
karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya
dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh: وإّن هللا هلو خري الرّازقني : Wa innalla>ha lahuwa khairu ar-ra>ziqi>n atau
Wa innalla>ha lahuwa khairur-ra>ziqi>n
8. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi
dalam translierasinya huruf kapital digunakan dengan dengan ketentuan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD).
Contoh: Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l : و ما حممد إاّل رسول