bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, banyak wilayah yang mulai tumbuh menjadi wilayah yang
lebih maju dengan munculnya infrastruktur serta fasilitas umum daerah. Bahkan
selain bermunculan bangunan-bangunan baru, renovasi atau perbaikan bangunan
lama menjadi jauh lebih besar juga sudah sering ditemukan di berbagai tempat.
Tentunya akan membutuhkan lahan yang jauh lebih luas dari sebelumnya.
Pembangunan tersebut menyebabkan permintaan lahan meningkat, sehingga lahan
hijau yang terkadang belum diolah juga menjadi sasaran perubahan penggunaan
lahan.
Pembangunan beberapa wilayah di Indonesia menyebabkan banyaknya
perubahan penggunaan lahan yang banyak dilakukan dalam kurun waktu yang
relatif singkat. Perubahan penggunaan lahan tersebut banyak terjadi pada lahan
yang semula merupakan ruang terbuka hijau yang kemudian berubah menjadi
bangunan-bangunan infrastruktur daerah. Padahal, salah satu syarat dalam
penataan kawasan perkotaan adalah tersedianya ruang terbuka hijau, sehingga
ruang terbuka jadi kebutuhan penting dari suatu kota mengingat begitu banyak
fungsi dari adanya ruang terbuka hijau itu sendiri. Kebutuhan ruang terbuka hijau
di suatu wilayah adalah sedikitnya 30% dari keseluruhan luas total dan terdiri atas
20% ruang publik dan 10% ruang privat (UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Tata Ruang Wilayah Nasional).
Kota sebagai salah satu lingkungan binaan tidak seharusnya dijejali
dengan bangunan, jalan, jembatan, maupun bentukan keras seperti hutan beton.
Namun, saat ini kota-kota seakan melupakan lingkungan alam, bahkan justru
sering terjadi perusakan. Berbagai wilayah nyaris tidak terdapat ruang terbuka
hijau yang tersisa (Joga dan Iwan, 2011).
Penambahan bangunan juga terjadi di Kompleks Perkantoran Terpadu
Pemerintah Kabupaten Boyolali, dimana telah dilakukan pemindahan pusat
2
pemerintahan yang menyebabkan adanya bangunan baru guna menunjang
jalannya pemerintahan. Saat ini, memang banyak terjadi pembangunan di
Kabupaten Boyolali karena adanya permintaan terkait dengan fasilitas umum bagi
masyarakat. Pembangunan tersebut juga dilakukan di lahan yang awalnya
merupakan lahan hijau yang banyak berupa kebun atau ladang. Adanya
perpindahan pusat pemerintahan dengan munculnya bangunan baru menyebabkan
adanya pengurangan luas wilayah untuk ruang terbuka hijau. Hal tersebut dapat
dilihat di Gambar 1.1. yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan menjadi
bangunan-bangunan perkantoran.
Sumber : Google Earth
Gambar 1.1. Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali dari Tahun 2006-2015
Berdasarkan foto udara yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan
tersebut, lahan hijau sebagai penutup lahan di kawasan yang menjadi sasaran
penelitian menjadi berkurang. Pengurangan luas lahan hijau menjadi masalah
apabila ruang terbuka hijau menjadi berkurang padahal ketersediaan ruang terbuka
hijau sudah ditentukan dan disesuaikan dengan ketersediaan vegetasi yang ada.
Keberadaan ruang terbuka hijau juga menjadi hal yang sangat penting
dalam kaitannya dengan pengaruhnya dengan aspek fisik seperti ketersedian
oksigen yang berguna bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Kapasitas
oksigen bagi makhluk hidup tentunya berkaitan langsung dengan jumlah
pepohonan yang ada di suatu kawasan.
3
Peranan vegetasi sangat diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2
kembali ke udara. Setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini mempersenyawakan
sekitar 150.000 juta ton CO2 dan 25.000 juta ton hidrogen dengan membebaskan
400.000 juta ton O2 ke atmosfer, serta menghasilkan 450.000 juta ton zat-zat
organik. Setiap jam, 1 ha daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan
CO2 yang dihembuskan oleh napas sekitar 200 orang dalam waktu yang sama.
Setiap pohon yang ditanam mempunyai kapasitas mendinginkan udara sama
dengan rata-rata 5 mesin pendingin ruangan yang dioperasikan 20 jam terus
menerus setiap harinya. Setiap 1 ha pepohonan mampu menetralkan CO2 yang
dikeluarkan 20 kendaraan (Maimun, 2007).
Kebutuhan ruang terbuka hijau perlu diketahui agar tercipta keseimbangan
antara luas wilayah dengan jumlah penduduk yang mendiami kawasan tersebut.
Hal itu dikarenakan keberadaan ruang terbuka hijau mempengaruhi jalannya
kehidupan sosial kemasyarakatan. Maka dari itu, diperlukan adanya analisis
kebutuhan ruang terbuka hijau di suatu wilayah melalui perbandingan dengan
ruang terbuka hijau yang ada saat ini.
1.2. Perumusan Masalah
Kompleks perkantoran untuk pemerintahan di Kabupaten Boyolali baru
berdiri kurang dari 10 tahun. Kompleks perkantoran tersebut baru diresmikan
pada tahun 2013 dimana pada saat itu masih dilakukan penyempurnaan dan
pembangunan beberapa kantor. Hal tersebut menyebabkan masih belum
matangnya penataan ruang yang ada sehingga dapat terjadi ketidakseimbangan
antara lahan terbuka dan lahan terbangun.
Kebutuhan ruang terbuka hijau perlu diketahui agar tercipta keseimbangan
antara luas wilayah dengan jumlah penduduk. Hal tersebut dikarenakan
keberadaan ruang terbuka hijau mempengaruhi jalannya kehidupan sosial
kemasyarakatan. Adanya bangunan-bangunan baru menyebabkan adanya
pengurangan luas wilayah untuk ruang terbuka hijau.
4
Pengaruh ketersediaan udara dari adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali dirasakan oleh
pegawai kantor yang sehari-harinya bekerja di kompleks tersebut. Dikarenakan
pengaruhnya hanya dapat dirasakan di siang hari, menjadikan penduduk yang
bekerja itulah sebagai objek adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Berapa besar ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks
Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali?
2. Berapa besar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks
Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Menganalisis ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks
Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali.
2. Menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks
Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat yang terbagi atas
manfaat teoritis dan manfaat praktis dengan penjabaran sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan geografi lingkungan, khususnya ilmu
geografi perkotaan tentang penataan kawasan perkotaan.
2. Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan tentang pentingnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi suatu
perkotaan, memberikan informasi tentang besarnya ketersediaan serta
kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kompleks Perkantoran Terpadu
5
Pemerintah Kabupaten Boyolali serta dapat menjadi suatu masukan dalam
mengembangkan keberadaan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Kawasan Perkotaan
Kota merupakan sebuah sistem yaitu sistem terbuka, baik dilihat secara
fisik maupun dilihat dari sosial ekonomi yang bersifat tidak statis dan dinamis
atau disebut memiliki sifat sementara (Irwan, 2005). Adakalanya kota didirikan
sebagai pusat pemerintahan di wilayah setempat, namun kenyataannya terdapat
ragam masyarakat dan menjadi tempat berkegiatan sosial dari berbagai dimensi.
Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan
menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
“Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasaserta perubahan nama dan pemindahan ibukota pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.”
Dapat dikatakan bahwa suatu kawasan yang tidak terdapat lahan sawah yang
mendominasi didalamnya disebut kawasan perkotaan.
Kawasan perkotaan yang berkelanjutan ditandai oleh interaksi dan
hubungan timbal balik yang seimbang antara manusia dan alam yang hidup
berdampingan di dalamnya (Rahmy dkk, 2012). Ciri-ciri kawasan perkotaan yang
mudah ditemukenali apabila dilihat dari segi masyarakatnya adalah sifat modern
dan lebih berkembang serta cenderung memiliki sifat heterogen. Hal tersebut
disebabkan karena dalam suatu kawasan perkotaan, masyarakat berasal dari
berbagai wilayah dengan latar belakang yang berbeda-beda.
1.5.2. Ruang Terbuka
Ruang terbuka pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat
menampung kegiatan aktivitas tertentu dari warga lingkungan tersebut baik secara
6
individu maupun kelompok. Bentuk dari ruang terbuka ini sangat tergantung pada
pola serta susunan massa bangunan (Hakim, 1987)
Ruang terbuka menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan,
“Ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.”
Menurut Pergub Jateng No. 60 tahun 2014 tentang Pengendalian Ruang
Terbuka Hijau,
“Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan gedung.”
1.5.3. Ruang Terbuka Hijau
Elemen-elemen iklim utama yang mendukung jalannya kehidupan adalah
cahaya matahari, suhu udara, angin, dan kelembaban (Irwan, 2005). Interaksi dari
keempat elemen ini menghasilkan kenyamanan, keselarasan, atau bahkan
kepanasan maupun kedinginan. Pepohonan, semak-belukar, serta rerumputan
dapat berperan sebagai pengendali suhu kota. Penghijauan yang dilakukan di
sepanjang jalan dan sungai, taman kota, taman lingkungan, penghijauan di sekitar
bangunan, seluruhnya merupakan suatu unsur hutan kota.
Ruang terbuka hijau kota merupakan pertemuan antara sistem alam dan
manusia dalam lingkungan perkotaan (urban). Berdasarkan Undang-Undang No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
"Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam”.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan,
“Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan
7
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.”
Fungsi utama ruang terbuka hijau adalah sebagai penunjang ekologis kota.
(Ganura dan Iwan, 2015). Menurut Santoso, dkk (2012), Ruang Terbuka Hijau
(RTH) adalah ruang tidak terbangun yang ada dalam suatu kawasan. Kawasan
dimaksud dapat merupakan kawasan perkampungan, kelurahan atau desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan seterusnya. RTH merupakan bagian dari
infrastruktur hijau berupa jaringan interkoneksi dengan fungsi melestarikan nilai
dan ekosistem serta memberi manfaat bagi manusia (Benedict dan McMahon,
2001).
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga dijelaskan
bahwa suatu wilayah/kota wajib menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar
30% dari luas wilayahnya, dengan RTH publik 20% dan RTH privat 10%.
Keberadaan ruang terbuka hijau kota yang sangat dibutuhkan warga kota di
samping fungsinya sebagai areal perlindungan; sarana untuk menciptakan
kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan; sarana untuk
memperbaiki iklim mikro dan pengaturan tata air dan perkotaan, akhir-akhir ini
cukup banyak menghadapi masalah. Bahkan seringkali terjadi konflik penggunaan
lahan yang menyangkut keberadaan ruang terbuka hijau di kawasan padat
penduduk (Widjajanti, 2010).
Menurut Adillasintani (2013), ruang terbuka pada perkantoran maupun
pendidikan mempunyai kegunaan yang bermacam-macam, antara lain digunakan
sebagai areal bermain, berkumpul, olahraga, upacara, pertunjukan musik, serta
kegiatan lain yang biasa dilakukan. Ruang-ruang terbuka inilah yang seharusnya
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan hutan kota. Gedung perkantoran dengan
lahan yang sempit pun bisa memiliki ruang terbuka hijau jika penanaman pohon
dan tanaman bunga lainnya diatur sedemikian rupa apabila memanfaatkan lahan
terbuka secara maksimal.
Ruang terbuka hijau dapat terbagi menjadi beberapa jenis, khususnya
untuk jenis kepemilikan ruang terbuka hijau itu sendiri. Jenis-jenis ruang terbuka
hijau menurut Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
8
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disajikan dalam tabel
1.1. berikut ini :
Tabel 1.1. Kepemilikan RTH
No Jenis RTH Publik
RTH Privat
1. RTH Pekarangan a. Pekarangan rumah tinggal b. Halaman perkantoran, pertokoan,
dan tempat usaha c. Taman atap bangunan
V V
V 2. RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT b. Taman RW c. Taman kelurahan d. Taman kecamatan e. Taman kota f. Hutan kota g. Sabuk hijau (green belt)
V V V V V V
V V V V
3. RTH Jalur Hijau Jalan a. Pulau jalan dan median jalan b. Jalur pejalan kaki c. Ruang dibawah jalan layang
V V V
V V
4. RTH Fungsi Tertentu a. RTH sempedan rel kereta api b. Jalur hijau tegangan listrik
tegangan tinggi c. RTH sempedan sungai d. RTH sempedan pantai e. RTH pengamanan sumber air
baku/mata air f. Pemakaman
V V
V V V
V
Sumber : Permen PU No. 5 Tahun 2008
Jenis ruang terbuka hijau menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan meliputi :
a. taman kota;
b. taman wisata alam;
9
c. taman rekreasi;
d. taman lingkungan perumahan dan permukiman;
e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;
f. taman hutan raya;
g. hutan kota;
h. hutan lindung;
i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng, dan lembah;
j. cagar alam;
k. kebun raya;
l. kebun binatang;
m. pemakaman umum;
n. lapangan olah raga;
o. lapangan upacara;
p. parkir terbuka;
q. lahan pertanian perkotaan;
r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);
s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ, dan rawa;
t. jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan
pedestrian;
u. kawasan dan jalur hijau;
v. daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan
w. taman atap (roof garden).
Ruang terbuka hijau tentunya memiliki tujuan dalam pembangunannya.
Tujuan penyelenggaraan ruang terbuka hijau menurut Permen PU No. 5 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan, adalah :
a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
b. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk
kepentingan masyarakat;
10
c. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana
pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan
bersih.
Ruang terbuka hijau yang dibangun di kawasan perkotaan memiliki fungsi
dari berbagai segi menurut Departemen PU (2006), meliputi :
a. Segi sosial, ekonomi, dan budaya, bahwa ruang terbuka hijau
merupakan tempat rekreasi, pendidikan, serta interaksi sosial
masyarakat.
b. Segi fisik, bahwa ruang terbuka hijau sebagai pengatur iklim,
penyerapan airtanah, produsen oksigen, peneduh, penghalang angin,
serta habitat satwa.
c. Segi ekosistem perkotaan, bahwa ruang terbuka hijau merupakan salah
satu bagian dari usaha pangan, produsen oksigen, tanaman berbunga.
d. Segi estetis, bahwa ruang terbuka hijau memiliki peran untuk
meningkatan nilai keindahan dan kenyaman kota. Selain itu dapat
menciptakan keseimbangan dan keserasian antara berbagai bangunan,
taman kota, jalur hijau jalan, jalur biru kali serta bantaran rel kereta
api.
Samsudi (2010) menyatakan manfaat yang diharapkan dari perencanaan
RTH di kawasan perkotaan antara lain sebagai sarana untuk mencerminkan
identitas daerah, sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan, sarana rekreasi
serta interaksi sosial, meningkatkan nilai ekonomis lahan, sarana aktivitas sosial
bagi anak-anak, remaja, dewasa, dan manula, sarana evakuasi untuk keadaan
darurat, memperbaiki iklim mikro, serta meningkatkan cadangan oksigen di
perkotaan.
Selain menurut Samsudi, manfaat adanya ruang terbuka hijau menurut
Hakim dan Utomo (2004), terdiri dari :
a. menciptakan kenyamanan, kesehatan dan keindahan lingkungan
sebagai paru-paru kota;
b. menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat kota;
c. memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, dan buah;
11
d. menjadi tempat tumbuh tumbuhan dan hidup satwa;
e. melalui area resapan air, dapat mengurangi aliran air, menangkap
dan menyimpan air, menjaga keseimbangan tanah untuk menjamin
kesuburan tanah serta sebagai area sirkulasi udara perkotaan;
f. menjadi tempat sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi
perkotaan.
Ruang terbuka hijau sebagai area yang ditumbuhi oleh tumbuhan-
tumbuhan hijau. Dimana fotosintesis menjadi proses untuk sebuah tumbuhan hijau
dapat menghasilkan oksigen (O2). Tumbuhan merupakan penyerap karbon
dioksida (CO2) di udara. Beberapa tanaman-tanaman itu mempunyai kemampuan
besar untuk menyerap karbon dioksida (CO2). Sebagai contoh pohon trembesi
(Samanea saman), dan Cassia (Cassia sp) merupakan tumbuhan yang kemampuan
menyerap CO2nya sangat besar hingga mencapai ribuan kg/tahun lamanya.
(Adillasintani, 2013)
Selain ketersediaan tumbuhan sebagai penyedia oksigen dan penyerap
karbon dioksida yang dibutuhkan oleh manusia, keberadaan ruang terbuka hijau
juga menjadi salah satu sarana untuk menguraikan gas berbahaya hasil
pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas udara adalah penambahan jumlah atau volume kendaraan
sebagai sarana transportasi, karena aktivitas transportasi merupakan sumber utama
pencemaran udara di daerah perkotaan (Mutia, 2013). Setiap kendaraan memiliki
kriteria tersendiri untuk kebutuhan oksigen sesuai dengan bahan bakar yang
digunakan.
Kebutuhan oksigen berdasarkan jenis kendaraan menurut Wisesa (1988)
dalam Ramadhan (2012) tersaji dalam Tabel 1.2. berikut :
Tabel 1.2. Kebutuhan Oksigen Berdasarkan Jenis Kendaraan
No Jenis
Kendaraan Bahan Bakar
Kebutuhan Bahan Bakar
(kg/PS jam)
Daya (PS)
Kebutuhan O2/kg Bahan
Bakar
Kebutuhan O2
(kg/jam)
1. Sepeda motor Bensin 0,21 1 2,77 0,5817
12
lanjutan Tabel 1.2.
No Jenis
Kendaraan Bahan Bakar
Kebutuhan Bahan Bakar
(kg/PS jam)
Daya (PS)
Kebutuhan O2/kg Bahan
Bakar
Kebutuhan O2
(kg/jam)
2. Kendaraan penumpang
Bensin 0,21 20 2,77 11,634
3. Kendaraan ringan
Solar 0,16 50 2,86 22,88
4. Kendaraan beban berat
Solar 0,16 200 2,86 91,52
5. Kendaraan bus Solar 0,16 100 2,77 44,32 Sumber : Wisesa (1988) dalam Ramadhan (2012)
Disamping menghasilkan oksigen, ruang terbuka hijau juga menyerap
karbondioksida hasil emisi. Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
“Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannnya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.”
Karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas penting dan dalam kadar yang
normal sangat bermanfaat dalam melindungi kehidupan manusia di bumi.
Komposisi ideal dari CO2 dalam udara bersih seharusnya adalah 314 ppm
sehingga jumlah yang berlebihan di atmosfer bumi akan mencemari udara serta
menimbulkan efek gas rumah kaca (Dwi, 2008). Oleh karena itu, dapat diketahui
bahwa emisi karbon dioksida (CO2) berarti pemancaran atau pelepasan gas karbon
dioksida (CO2) ke udara.
Setiap jenis tanaman memang memiliki kadar penyerapan karbon dioksida
yang berbeda-beda. Banyak faktor dan sebab yang mempengaruhi hal ini, antara
lain berdasarkan mutu klorofil yang ada dalam daun. Daya serap karbon dioksida
sebuah pohon juga ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase
pertumbuhan tanaman. Selain itu, pohon-pohon yang berbunga dan berbuah
memiliki kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi sehingga mampu sebagai
penyerap karbon dioksida yang lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan
13
daya serap karbon dioksida adalah suhu, dan sinar matahari, ketersediaan air
(Adillasintani, 2013).
1.6. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang ketersedian dan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau sudah
banyak dilakukan oleh peneliti di berbagai wilayah perkotaan. Hal tersebut
disebabkan karena banyaknya wilayah memiliki kawasan perkotaan yang cukup
luas diiringi dengan pembangunan yang pesat pula. Penelitian tentang
ketersediaan serta kebutuhan ruang terbuka hijau juga penting untuk perencanaan
pengembangan suatu kawasan kota pada masa depan. Apalagi sudah mulai
banyak daerah dengan kawasan kota yang semakin luas, tentunya diiringi pula
dengan penambahan jumlah penduduk yang semakin padat.
Wijayanti (2003), telah melakukan penelitian tentang pengembangan
ruang terbuka hijau di Purwokerto. Tujuan penelitian tersebut adalah mempelajari
karakteristik dan manfaat ruang terbuka hijau serta memprediksikan luas dan
optimasi ruang terbuka hijau di Purwokerto sampai tahun 2017. Metode penelitian
yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif. Hasil
penelitian berupa karakteristik ruang terbuka hijau di Purwokerto dan luas ruang
terbuka hijau sampai tahun 2017 dengan pendekatan metode Gerarkis, Standar
Inmendagri No. 14 Tahun 1988, dan Standar Perencanaan Lingkungan
Permukiman Kota.
Muis (2005), juga meneliti tentang kebutuhan ruang terbuka hijau menurut
kebutuhan oksigen dan air di Kota Depok dengan tujuan untuk menentukan luas
ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen dan ketersediaan air serta
menilai preferensi masyarakat terhadap prioritas bidang pengembangan
pembangunan di Kota Depok. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian yang diperoleh berupa luas
kebutuhan ruang terbuka hijau dengan metode Gerarkis di Kota Depok,
ketersediaan dan kebutuhan air di tahun 2005-2015, serta preferensi masyarakat
tentang pengembangan pembangunan Kota Depok
14
Adillasintani, dkk (2013), telah meneliti kebutuhan dan ketersediaan ruang
terbuka hijau di kawasan perkantoran yang berada di Kota Makassar. Tujuan
penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis kebutuhan serta ketersediaan
ruang terbuka hijau yang ada. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah deskriptif untuk menggambarkan lokasi penelitian yaitu Kantor Gubernur,
Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan. Hasil penelitian yang telah dilakukan
berupa jumlah ketersediaan ruang terbuka hijau berdasarkan oksigen yang
dihasilkan oleh vegetasi dan jumlah kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan
kebutuhan oksigen dan karbon dioksida yang dihasilkan dari pegawai, kendaraan
yang ada pada kawasan perkantoran tersebut (dengan asumsi penggunaan
kendaraan 1 jam/hari), serta alat elektronik yang digunakan dalam kantor tersebut.
Sitorus, dkk (2013) telah meneliti ketersediaan ruang terbuka hijau dan
tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi. Penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan, mengetahui ketersediaan dan
kecukupan ruang terbuka hijau, mengetahui dinamika perkembangan wilayah,
serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan ruang terbuka
hijau. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian ini
menghasilkan perubahan penggunaan lahan tahun 2007-2011, ketersediaan ruang
terbuka hijau, dan dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi.
Shani (2015), melakukan penelitian mengenai ketersediaan dan kebutuhan
ruang terbuka hijau di Kota Sukabumi dengan tujuan mengetahui ketersediaan dan
kebutuhan ruang terbuka hijau serta pola persebaran ruang terbuka hijau tersebut.
Metode yang digunakan oleh Shani adalah metode survei dengan teknik
analisisnya berupa interpretasi citra, regulasi undang-undang, jumlah penduduk,
serta analisis tetangga terdekat untuk pola persebarannya. Hasil penelitian tersebut
berupa luas ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau yang ada
dibandingkan dengan kriteria menurut undang-undang sesuai dengan jenis ruang
terbuka hijaunya, serta pola persebaran ruang terbuka hijau secara kuantitatif.
Ma’arif dan Rulli (2016), pernah meneliti tentang kebutuhan ruang terbuka
hijau untuk menyerap emisi karbon dioksida (CO2) kendaraan bermotor di
Surabaya dengan tujuan untuk menganalisis kebutuhan penyediaan ruang terbuka
15
hijau untuk menyerap emisi CO2 kendaraan bermotor. Metode yang digunakan
adalah deskriptif kuantitatif dengan menghitung jumlah kendaraan bermotor di
Jalan Tandes – Benowo guna mengetahui emisi karbon dioksidanya. Hasil
penelitian tersebut berupa beban emisi karbon dioksida (CO2) dan kebutuhan
ruang terbuka hijau untuk menyerap emisi tersebut.
Roshintha dan Sarwoko (2016) meneliti tentang kecukupan ruang terbuka
hijau sebagai penyerap emisi karbon dioksida di kawasan Kampus ITS Sukolilo,
Surabaya. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui luas ruang
terbuka hijau yang dapat menyerap emisi karbon dioksida. Analisis yang
dilakukan adalah melakukan perhitungan kendaraan bermotor dan vegetasi di
kawasan kampus ITS. Hasil yang diperoleh adalah beban emisi karbon dioksida
(CO2) di kawasan kampus dan zona-zona yang ruang terbuka hijau memenuhi dan
belum memenuhi kebutuhannya sebagai penyerap emisi karbon dioksida.
Penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan pada lokasi kajian,
yaitu berupa kompleks perkantoran yang terdiri dari 23 kantor dan 5 fasilitas
umum peribadatan, dimana pegawai kantor serta kendaraan menjadi objek dalam
penelitian. Analisis yang digunakan berupa analisis deskriptif kuantitatif,
deskriptif kualitatif, normatif, dan spasial. Pengolahan data menggunakan
software ArcGis yang dapat menunjukkan besarnya luas ketersediaan ruang
terbuka hijau setelah dilakukan interpretasi foto udara. Untuk mengetahui
kebutuhan ruang terbuka hijau, dilakukan perhitungan dengan metode Gerarkis
(1974) yang telah disempurnakan oleh Wijayanti (2003), yang melibatkan data
jumlah pegawai serta jumlah kendaraan bermotor karena metode tersebut
menunjukkan kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen bagi
manusia, kendaraan, dan ternak, namun kebutuhan oksigen ternak diabaikan
karena tidak ditemukannya hewan ternak di kawasan perkantoran.
Berdasarkan uraian dari beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti
tentang ketersediaan maupun kebutuhan ruang terbuka hijau, maka perbandingan
hasil penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan, tersaji dalam
tabel berikut :
16
Tabel 1.3. Perbandingan Hasil Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan
No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian
1. Meilina Wijayanti (2003), Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Purwokerto
Mempelajari karakteristik dan manfaat ruang terbuka hijau Memprediksi luas dan optimasi ruang terbuka hijau sampai tahun 2017
Metode deskriptif kualitatif Metode deskriptif kuantitatif
Karakteristik ruang terbuka hijau di Purwokerto Luas ruang terbuka hijau sampai tahun 2017 dengan pendekatan metode Gerarkis, Standar Inmendagri No. 14 Tahun 1988, dan Standar Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota.
2. Bos Ariadi Muis (2005), Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Oksigen dan Air di Kota Depok Propinsi Jawa Barat
Menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen dan ketersediaan air Menilai preferensi masyarakat terhadap prioritas bidang pengembangan pembangunan di Kota Depok
Metode deskriptif kualitatif Metode deskriptif kuantitatif
Kebutuhan ruang terbuka hijau dengan metode Gerarkis di Kota Depok Ketersediaan dan kebutuhan air di tahun 2005-2015 Preferensi masyarakat tentang pengembangan pembangunan Kota Depok
17
lanjutan Tabel 1.3.
No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian
3. Adillasintani, Muh. Isran Ramli, Achmad Zubair (2013), Analisis Tingkat Kebutuhan dan Ketersediaan RTH pada Kawasan Perkantoran di Kota Makassar.
Menganalisis kebutuhan serta ketersediaan ruang terbuka hijau yang ada
Metode deskriptif kuantitatif
Jumlah ketersediaan ruang terbuka hijau berdasarkan oksigen yang dihasilkan oleh vegetasi Jumlah kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen dan kemampuan menyerap karbon dioksida
4. Santun Risma Pandapotan Sitorus, Mutiara Ashri, Dyah Retno Panuju (2013), Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau dan Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Mengetahui perubahan penggunaan lahan Mengetahui ketersediaan dan kecukupan RTH, dan faktor yang mempengaruhi Mengetahui dinamika perkembangan wilayah,
Metode deskriptif kuantitatif
Perubahan penggunaan lahan tahun 2007-2011 di Kota Cimahi Ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Cimahi Dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi
18
lanjutan Tabel 1.3.
No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian
5. Fauzan Maulana Shani (2015), Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan di Kota Sukabumi
Mengetahui ketersediaan ruang terbuka hijau Mengetahui kebutuhan ruang terbuka hijau Mengetahui pola persebaran ruang terbuka hijau
Metode survei Ketersediaan ruang terbuka hijau dengan teknik analisis interpretasi citra Kebutuhan ruang terbuka hijau perkotaan Pola persebaran ruang terbuka hijau
6. Afrizal Ma’arif dan Rulli Pratiwi Setiawan (2016), Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau untuk Menyerap Emisi CO2
Kendaraan Bermotor di Surabaya (Studi Kasus : Koridor Jalan Tandes Hingga Benowo)
Menganalisis penyediaan ruang terbuka hijau minimal untuk menyerap emisi karbon dioksida kendaraan bermotor
Metode deskriptif kuantitatif
Beban emisi karbon dioksida (CO2) Kebutuhan ruang terbuka hijau untuk menyerap emisi yang dihasilkan kendaraan bermotor
19
lanjutan Tabel 1.3.
No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian
7. Ribka Regina Roshintha dan Sarwoko Mangkoedihardjo (2016), Analisis Kecukupan Ruang Terbuka Hijau sebagai Penyerap Emisi Karbon Dioksida (CO2) pada Kawasan Kampus ITS Sukolilo, Surabaya
Mengetahui kecukupan ruang terbuka hijau yang ada dalam menyerap emisi karbon dioksida (CO2)
Metode deskriptif kuantitatif
Besarnya beban emisi karbon dioksida (CO2) di kawasan kampus Kecukupan ruang terbuka hijau di kampus ITS di beberapa zona
8. Fatma Nugrahaning Nastiti (2017), Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali
Menganalisis ketersediaan ruang terbuka hijau Menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen
Metode deskriptif kuantitatif Metode deskriptif kualitatif
Ketersediaan ruang terbuka hijau menurut jenis Ketersediaan ruang terbuka hijau dalam produksi oksigen dan penyerap karbon dioksida Kebutuhan ruang terbuka hijau menurut kebutuhan oksigen Kebutuhan ruang rerbuka hijau berdasarkan emisi karbon dioksida
20
1.7. Kerangka Pemikiran
Perkembangan di Kabupaten Boyolali diikuti dengan banyaknya
permintaan untuk lahan terbangun untuk mendukung infrastruktur yang ada.
Lahan terbangun tentunya mengurangi besarnya lahan terbuka yang menyediakan
kawasan hijau tanpa adanya bangunan yang menutupinya. Selain itu lahan yang
sebelumnya merupakan lahan hijau diubah fungsinya menjadi perkantoran.
Seiring dengan banyaknya perkembangan dan perubahan penggunaan
lahan, maka kebutuhan akan adanya ruang terbuka hijau juga semakin menurun
karena infrastruktur yang sangat pesat terbangun. Kebutuhan ruang terbuka hijau
terkadang tidak didukung oleh ketersediaan ruang terbuka hijau dari suatu
wilayah. Padahal kebutuhan ruang terbuka hijau berbeda-beda tergantung dengan
luas wilayah serta banyaknya penduduk yang menggunakan wilayahnya.
Ketersediaan ruang terbuka hijau memiliki hubungan langsung dengan
oksigen yang dihasilkan serta karbon dioksida yang dapat diserap. Ketersediaan
ruang terbuka hijau dianggap memenuhi apabila kebutuhan oksigen pegawai
perkantoran selaku pelaku aktivitas perkantoran serta kendaraan bermotor
tercukupi. Selain itu, besarnya karbon dioksida yang sanggup diserap ruang
terbuka hijau juga dikatakan memenuhi apabila dapat mencukupi besarnya karbon
dioksida yang dihasilkan pelaku aktivitas perkantoran serta kendaraan bermotor.
Secara skematis, kerangka pemikiran untuk penelitian ini berdasarkan latar
belakang serta rumusan masalah yang ada, disajikan dalam gambar berikut :
21
Gambar 1.2. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
Penurunan proporsi lahan terbuka
Pola persebaran ruang terbuka hijau tidak merata
Analisis ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau
Kebutuhan RTH berdasarkan
jumlah kebutuhan oksigen
Ketersediaan berdasarkan luasan lahan hijau, tipe ruang terbuka hijau, dan
jumlah pohon
Pemindahan pusat pemerintahan
Kebutuhan lahan terbangun meningkat