bab i pendahuluan a.perang jawa yang terjadi pada tahun 1825-1830. politik tanam paksa ......
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah pedesaan Jawa pada akhir abad XIX sampai awal abad XX telah
ditandai dengan munculnya kembali gerakan-gerakan kerusuhan petani, yang banyak
diantaranya menimbulkan bentrokan dengan penguasa Kolonial. Gerakan-gerakan ini
merupakan ledakan tersendiri yang dikobarkan atas inisiatif lokal dan belum
terkontrol.1 Kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat ini merupakan bentuk
penentangan terhadap tekanan dan menyuarakan ketidakpuasan kaum tani dan buruh
dengan berbicara secara terus terang mengenai kemarahannya terhadap sistem politik
dan ekonomi baru, yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial. Sistem yang kemudian
menjadi alasan dibalik rusaknya sistem politik dan ekonomi tradisional.2
Perubahan sistem bermula ketika pemerintah Kolonial memperkenalkan
sebuah hukum dan hubungan sosial baru untuk mengatasi masalah petani dan tenaga
kerja. Perubahan lahan pertanian menjadi penanaman tebu, menjadi alasan yang
menyebabkan kegelisahan sosial di kalangan masyarakat Jawa pada saat itu.
1 Sartono Kartodirdjo, Gerakan-gerakan Protes di Pedesaan Jawa,(Yogyakarta: Buku Tidak Dipublikasi, 2007), hlm.1.
2 Ibid., hlm.5.
2
Ditambah dengan banyaknya tuntutan pelayanan yang diminta oleh kaum majikan
dan pemungutan pajak memperburuk ketidakpuasaan masyarakat.3
Kegelisahan masyarakat ini mulai terjadi sejak diterapkan sistem ekonomi
liberal, yang dimulai sejak berlakunya Agrarische Wet tahun 1870. Sistem yang
menjanjikan pemodal asing dapat menanam modal di Indonesia. Sebelum berlakunya
politik liberal di Indonesia, pada pertengahan abad XIX ekonomi eksploitatif telah
lebih dulu diterapkan oleh Gubernur Jendral Van den Bosch, sebagai akibat dari
perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825-1830. Politik tanam paksa
memperkenalkan Indonesia kepada penanaman komoditas ekspor. Sedangkan
pengawasan terhadap penanaman komoditas ekspor diserahkan kepada para bupati di
daerah masing-masing. Purworejo menjadi salah satu daerah yang strategis untuk
penanaman komoditas ekspor karena tanahnya yang subur, lahan-lahan di Purworejo
pada masa itu telah ditanami antara lain: indigo (nila), kopi, teh, kayu manis,
tembakau, kayu jati, kertas delancang dan belakangan gula.4
Bentuk-bentuk ekonomi eksploitatif di Indonesia berakhir pada tahun 1870,
setelah pemerintah Belanda memberikan kesempatan bagi pemodal asing untuk
menanamkan modal di Indonesia demi keuntungan pihaknya. Kedatangan para
pemodal Eropa ini kemudian membentuk sebuah kelas baru dalam masyarakat Jawa.
3 Ibid.
4 Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di TanahBagelen Abad XIX, (Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan Sosial Budaya,2000), hlm.188.
3
Struktur masyarakat Jawa yang sebelumnya memang telah terbagi dalam beberapa
kelas, dengan kedatangan kaum pemodal Eropa membentuk satu kelas baru yaitu
kaum borjuis Eropa. Pertama, kelas atas yang terdiri dari kaum bourjuis/pemilik
modal, umumnya orang asing. Kedua, kelas menengah yang terdiri atas birokrat jawa
(kaum priyayi termasuk di dalamnya), pedagang kecil, karyawan, jurnalis, pegawai
pemerintahan, dll. Terakhir kelas bawah /proletar, yakni petani, buruh tani dan buruh
pabrik. Hingga kemudian komunisme menjadi ideologi dominan dalam
membangkitkan kesadaran kelas.5
Pada awal abad ke XX terjadi mobilisasi massa petani dan buruh secara cepat
dan luar biasa. Kandungan ideologi yang terkandung dalam setiap gerakan sosial ini
juga berbeda-beda. Setiap gerakan sosial memiliki bentuk dan konsep gerakan, yang
diantaranya adalah sebagai berikut: gerakan messianisme (kepercayaan terhadap
kedatangan Ratu Adil), nativisme (konsep modern mengacu pada perjuangan untuk
mendapatkan kembali hak-hak masyarakat), revivalisme (kebangkitan kembali dan
mengacu pada agama) dan ada pula yang bersifat sekte-sekte.6 PKI dan SI juga
berperan penting dalam gerakan massa buruh dan menjadi salah satu faktor dari
protes yang terjadi di Jawa, mobilisasi besar-besaran yang terjadi dimanfaatkan oleh
gerakan politik modern seperti PKI dan SI. Semaoen dan Darsono yang merupakan
5 Sumarsono, Dinamika Gerakan Kiri di Kotapraja Semarang Tahun 1914-1926, (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta,2007), hlm.1.
6 Sartono Kartodirdjo, Gerakan-gerakan Protes di Pedesaan Jawa,(Yogyakarta: Buku Tidak Dipublikasi, 2007), hlm.8-9.
4
pemimpin komunis dalam jubah SI, menghasut petani dan buruh untuk melancarkan
serangan terhadap tuan tanah, kaum majikan dan agen-agennya.7
Buruh di Purworejo menjadi salah satu bagian dalam gerakan protes yang
terjadi pada awal abad XX, hal ini dikarenakan lahan-lahan tempat para buruh
dahulunya bertani telah diambil alih. Pada awal abad XX, lahan-lahan pertanian di
Purworejo sebagian besar telah menjadi milik pemodal asing. Lahan-lahan yang telah
dipegang oleh pemodal ini kemudian berubah menjadi perkebunan dan pabrik gula.
Meskipun sejak pertengahan abad XIX sebagian lahan di Purworejo telah ditanami
komoditas ekspor, namun perubahan yang terjadi akibat politik liberal memberikan
tekanan yang lebih besar terhadap para petani yang sebagian besar telah
bertransformasi menjadi buruh, baik itu pabrikan maupun perkebunan.
Akibat sistem ekonomi terbuka, perusahaan-perusahaan swasta Belanda
mendapatkan kesempatan menyewa tanah-tanah di Jawa untuk dijadikan areal
penanaman tebu dan usaha lainnya.8 Tenaga kerja yang menjadi pekerja untuk orang-
orang Eropa tersebut merupakan tenaga upahan yang direkrut melalui perangkat desa
dengan setengah memaksa, pengupahannya dilakukan langsung oleh pabrik. Menjadi
buruh upahan yang terlepas dari ikatan desa tidak terjadi begitu saja. Masalah juga
terjadi dalam sistem pengupahan yang kemudian menyebabkan protes dan
7 Ibid., hlm.59.
8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan TerhadapImperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: CV.Tumaritis, 1990), hlm.119.
5
pemogokan buruh. Terjadinya pemogokan yang dilancarkan oleh buruh itu membuat
pemilik pabrik/perkebunan menjadi panik dan terkejut. Meskipun begitu, para
pengusaha tidak sedikitpun menanggapi permintaan dari para buruh.9
Suasana kehidupan rakyat setelah Perang Dunia I tahun 1919, baik kehidupan
para petani maupun kaum buruh pada umumnya sangat buruk dan menyedihkan. Para
petani di Yogyakarta misalnya, yang memiliki sawah diwajibkan menanami 2/3 dari
sawahnya dengan tanaman tebu untuk pemerintah, sedangkan bagi pemilik 1/3 bagian
untuk keperluan hidup keluarga. Menurut peraturan sawah yang digunakan oleh
perkebunan harus disewa oleh perusahaan. Tetapi keadaannya lebih buruk lagi karena
uang yang dijanjikan tidak sampai kepada petani melainkan masuk ke kantong para
penguasa Belanda dan bawahannya. Sedangkan untuk rakyat yang tanahnya
disewakan tidak pernah menerima hasil dari sewa tanah miliknya.10
Keadaan-keadaan seperti itulah yang kemudian digunakan untuk menghasut
para petani maupun buruh untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan-
pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan protes terhadap masuknya
perekonomian barat yang tidak diinginkan dan terhadap pengawasan politik, dua hal
yang merongrong tatanan masyarakat tradisional. Sedangkan pemerintah Belanda
9 Ibid., hlm.136.
10 Ibid., hlm.142.
6
menganggap gerakan ini sebagai bentuk gangguan terhadap keamanan dan ketertiban
sehingga berusaha untuk menghentikannya.11
Pemberontakan atau gerakan sosial sebagai bentuk protes yang terjadi pada
akhir abad XIX dan awal XX sangat terpengaruh oleh pemuka agama. Pemuka agama
menjadi tokoh penting yang memberikan bentuk populer terhadap ramalan dan
menerjamahkannya ke dalam aksi untuk menarik massa supaya mau bergerak dan
memberontak melawan para majikan serta pemerintah Kolonial.12
Aksi pemberontakan buruh, salah satunya pemogokan kerja ini sudah
dianggap oleh pemerintah Belanda bukan lagi sebuah gerakan yang menuntut
perbaikan nasib namun sudah kepada kepentingan politik. Meskipun para buruh
mendapatkan ancaman, namun para buruh ini tetap gigih untuk melakukan protes.
Kesadaran buruh pabrik di Purworejo melakukan protes bermula dari kemunculan
Suryopranoto sebagai pemimpin PFB. Dalam kepemimpinannya Suryopranoto telah
memperjuangkan nasib buruh pabrik di Yogyakarta. Hal ini kemudian menimbulkan
keinginan besar dari buruh pabrik di Purworejo untuk memperjuangkan nasib
bersama dan keinginan ini kemudian disebarluaskan. Bentuk-bentuk penghasutan
disebarluaskan melalui pidato, surat kabar serta poster berisikan ajakan untuk
melawan imperialisme mulai gencar dilakukan pada awal abad XX. Seperti
11 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, (Jakarta: DuniaPustaka Jaya, 1984), hlm 15.
12 Ibid., hlm.16.
7
contohnya yang dikemukakan melalui surat kabar Soeara Kaoem Boeroeh sebagai
berikut:
Kita tahoe bahwa moesoeh kita kaoem kapitalisten atau kaoem madjikanada mempoenjai banyak tempat oentoek memboeka soearanja danmemperhatikan keperloeannja. Beberapa soerat-soerat kabar baik Melajoemaoepoen Belanda, karena memang mereka itu ada mampoe. Akan tetapisemoea itoe tiada jang memperhatikan keperloean kita kaoem boeroeh,malahan disitoe kita bisa memoeter-moeter pikirannja kaoem boeroehmenjadi keblinger.13
Isinya mengenai seruan terhadap kaum buruh untuk bangkit melawan
ketidakadilan dari kaum kapitalis yang tidak lain adalah para majikan. Saatnya bagi
kaum buruh untuk menyuarakan suaranya supaya tuntutan mereka dapat terpenuhi.
Bentuk-bentuk protes yang terjadi di masyarakat kemudian menuai reaksi dari
pemerintah dengan mengeluarkan besluit 161 bis yang melarang segala bentuk
propaganda yang akan membawa pada gerakan protes dan mogok. Besluit ini
menyatakan bahwa segala bentuk propaganda yang akan menciptakan aksi
pemogokan dan protes, baik itu melalui seruan seperti pidato maupun tulisan seperti
pers dilarang. Hal ini merupakan bentuk pemboikotan aksi pemogokan dan protes
buruh dan sebagai antisipasi terhadap gerakan protes yang lebih besar. Adanya
peristiwa di atas dan lebih menarik karena peristiwa ini merupakan protes buruh
pabrik pertama di Purworejo serta belum ada tulisan yang mengungkapkan mengenai
hal ini. Hal-hal tersebut yang menjadi latar belakang penulisan skripsi yang berjudul
“Protes Buruh Pabrik di Purworejo tahun 1919-1926”.
13 Surat Kabar Soeara Kaoem Boeroeh, 15 Juli 1921, Koleksi PerpustakaanNasional Republik Indonesia.
8
B. Rumusan Masalah
Penjelasan dan uraian dalam latar belakang masalah dan pembatasan masalah,
maka dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi gerakan protes buruh pabrik di Purworejo tahun
1919-1926?
2. Bagaimana bentuk kepemimpinan dan ideologi yang mendorong terjadinya
protes buruh di Purworejo tahun 1919-1926?
3. Bagaimana aksi yang ditunjukkan kaum buruh dalam protes buruh pabrik di
Purworejo tahun 1919-1926?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan permasalahan yang diungkapkan, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi buruh pabrik di Purworejo
tahun 1919-1926 melakukan gerakan protes.
2. Kemudian mengetahui bagaimana kepemimpinan dan ideologi yang
ditanamkan dalam protes buruh di Purworejo tahun 1919-1926.
3. Mengetahui bentuk-bentuk aksi buruh dalam protes buruh di Purworejo tahun
1919-1926 sampai muncul reaksi dari pemerintah Belanda terhadap protes
tersebut.
9
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang pergerakan buruh di Purworejo ini diharapkan mempunyai
manfaat sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan ilmu
sejarah, khususnya bidang historiografi sejarah Indonesia.
2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang kemudian
dijadikan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Purworejo dalam
melaksanakan pembangunan baik di bidang sosial dan ekonomi.
3. Menambah pengetahuan bagi para pembaca karya ini terutama mengenai
kondisi ekonomi masyarakat Purworejo di awal abad XX serta menjadi bahan
informasi bagi peneliti yang tertarik pada masalah serupa untuk meneliti lebih
lanjut.
E. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa studi sebelumnya yang telah membahas mengenai protes
buruh di Indonesia pada masa Kolonial antara lain:
Sandra dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pergerakan Kaum Buruh
(2007) membahas tentang sejarah perkembangan kaum buruh di Indonesia sejak masa
Kolonial. Munculnya serikat buruh di Indonesia didorong atas rasa kekecewaan
sekaligus rasa kebangsaan dan nasionalisme para buruh serta sebagai bentuk
tandingan dari serikat buruh Eropa yang lebih dulu ada. Serikat Buruh Eropa hanya
beranggotakan orang-orang Eropa, sedangkan kaum buruh Indonesia tetap menjadi
golongan partikelir yang tertindas.
10
Dalam buku ini dijelaskan bahwa serikat buruh mulai bermunculan setelah
adanya organisasi-organisasi dan partai politik di Indonesia, contohnya Boedi
Oetomo, disusul denga SI dan PKI. Serikat buruh ini terbentuk sesuai dengan latar
belakang pekerjaan para buruh, seperti: Serikat Buruh Pabrik, Serikat Guru, Serikat
Buruh Perkereta Apian, Serikat Buruh Pegadaian dan lain sebagainya. Massa buruh
ini kemudian dimanfaatkan oleh organisasi dan partai politik dengan menanamkan
pengaruhnya untuk memperkokoh organisasi masing-masing. Hingga kemunculan
pemogokan-pemogokan buruh di berbagai tempat, apalagi setelah terjadinya Perang
Dunia I tahun 1919. Pada akhirnya, tahun 1925 Pemerintah Kolonial mengambil
tindakan untuk penangkapan besar-besaran para pemogok terutama ketua
organisasinya dan bagi yang melakukan pemogokan akan dicap sebagai Komunis.
Serikat-serikat buruh yang terbentuk pada akhirnya tidak berumur panjang, karena
aksi mereka pada akhirnya masih dapat diredam oleh Pemerintah Kolonial. Buku ini
memang menjelaskan mengenai sejarah berdirinya serikat-serikat kaum buruh hingga
pemogokan yang dilakukan para buruh namun sayangnya yang terlihat buku ini lebih
menonjolkan mengenai perbedaan kelas, di mana buruh Indonesia menginginkan
untuk sepadan dengan serikat buruh Eropa. Tidak dijelaskan tentang tuntutan apa
yang diajukan kaum buruh dalam aksi pemogokannya.
Kemudian Sartono Kartodirdjo, (1984) dalam tulisannya membahas tentang
gerakan petani Banten untuk melawan kolonialisme Belanda akibat dari kebijakan
yang memberatkan rakyat serta dorongan fanatisme terhadap agama. Di Banten
terdapat dualisme kekuasaan yaitu kekuasaan tradisional yang masih berkiblat pada
11
Kasultanan dan kekuasaan politik Belanda. Hal tersebut sama dengan adanya dua
kepemimpinan yang harus dipatuhi oleh rakyat. Banten merupakan daerah yang
sebagian besar masyarakatnya sangat fanatik terhadap Islam. Pemberontakan di
Banten sendiri didorong oleh pemimpin yang kharismatik yang mempersiapkan
pemberontakan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan pesta sehingga tidak
diketahui oleh pemerintah Belanda. Latar belakang sebagai kyai dan haji menjadikan
para pengikutnya tidak ragu untuk melaksanakan aksi pemberontakan tersebut.
Keadaan tersebut menjadi ancaman untuk kedudukan pemerintah Belanda. Apalagi
ditambah dengan sanksi-sanksi yang diberikan terhadap orang-orang yang masa
bodoh terhadap persoalan agama, belum lagi masyarakat yang tercekik beban pajak
yang besar. Pemberontakan sendiri dipersiapkan dengan matang mulai tahun 1884.
Tokoh seperti Haji Tubagus Ismail menjadi tokoh yang sangat menetang kaum kafir
seperti bangsa Belanda setelah melakukan beberapa kali perjalanan haji. Meskipun
gerakan ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk menghasut menciptakan
pemberontakan yang lebih besar.
Perkembangan tanam paksa hingga munculnya pabrik-pabrik di Jawa akan
dilihat melalui buku Anak Jajahan Belanda Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-
1880 (2004) karya Peter Boomgard. Buku ini menjelaskan tentang pajak, tanam
paksa hingga perkembangan pabrik yang ada di Jawa. Hingga kemudian munculnya
istilah buruh yang bekerja untuk perusahaan baik itu kecil maupun besar atau bekerja
di perkebunan hingga di rumah para majikan. Perkembangan sosial ekonomi di Jawa
mulai abad ke 18 hingga 19 dari mulai diterapkannya pajak, kemudian tanam paksa
12
(Cultuurstelsel) hingga sistem ekonomi liberal yang berlaku mulai akhir abad 19.
Namun pembahasan buku ini belum sampai kepada munculnya gerakan-gerakan
buruh dan petani pada awal abad ke 20.
Bicara soal tanam paksa atau perburuhan tidak dapat terlepas dari kaum elite
atau priyayi yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda sebagai pengawas tradisional.
Robert Van Niel, dalam bukunya Munculnya Elite Modern Indonesia (2009)
mengungkapkan bahwa semenjak pertengahan abad kesembilan belas pengawasan
terakhir berada di tangan parlemen Belanda yang bernama Staten Generaal yang
praktis berada di tangan Menteri Urusan Jajahan. Atas usul dari Menteri Urusan
Jajahan kemudian diangkatlah Gubernur Jendral yang bertugas selama lima tahun.
Tahun 1900an memang merupakan masuknya bangsa Eropa ke Hindia Belanda
secara besar-besaran akibat dari kebijakan ekonomi liberal hingga kemudian
membentuk perasaan eksklusif (golongan elite) dan memisahkan diri dengan
golongan yang lain. Hingga kemudian orang Indonesia sampai saat ini mengakui
adanya dua tingkatan di dalam masyarakatnya yaitu kelompok besar yang berisi
rakyat kecil atau rakyat jelata dan priyayi yang berisi orang-orang berpendidikan.
Sedangkan studi mengenai sejarah kota Purworejo salah satunya ditulis oleh
Radix Penadi dalam bukunya Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di
Tanah Bagelen Abad XIX (2000) yang di dalamnya menjelaskan mengenai sejarah
kota Purworejo sejak Perang Jawa sampai pada penerapan Cultuurstelsel. Purworejo
pada mulanya tergabung dalam sebuah Karesidenan yang bernama Bagelen, namun
sejak Perang Jawa terjadi karena cakupan wilayahnya dianggap terlalu luas dan
13
mengancam kedudukan pemerintahan Kolonial maka pada akhirnya dibagi dan
menjadi sebuah kabupaten dan masuk ke dalam Karesidenan Kedu. Karesidenan
Bagelen merupakan pusat dari Perang Jawa kala itu, bukan hanya karena letaknya
yang dekat dengan Yogyakarta namun juga dikarenakan oleh besarnya pengikut
Pangeran Diponegoro di daerah tersebut. Kalahnya Pangeran Diponegoro dalam
perang tersebut dan kosongnya kas negara menyebabkan diterapkannya kebijakan
Cultuurstelsel, tidak terkecuali daerah Purworejo. Tanaman yang menjadi komoditas
ekspor dan sebagai tanaman wajib yang ditanam di Karesidenan Bagelen tersmasuk
di Purworejo antara lain: Indigo, teh, tembakau dan yang terakhir adalah tebu/gula.
Kajian Teori gerakan buruh diambil dari beberapa hasil studi sebelumnya
mengenai gerakan kaum buruh dan kaum tani, di antaranya adalah: James C. Scott,
dalam bukunya Perlawanan Kaum Tani (1993) mengungkapkan mengenai
perlawanan sebagai bentuk protes dari kaum tani subsisten dan buruh proletar di Asia
Tenggara. Dahulu hubungan antara kaum elite memiliki hubungan saling
membutuhkan dengan petani dan buruh tani. Kaum elite membutuhkan kaum tani
untuk menggarap sawah dan sebagai simbol dari kekayaan sedangkan petani butuh
perlindungan baik itu dari pemerintah maupun bandit serta hal lain yang mengancam
keamanan kaum tani. Setelah pemerintah Kolonial masuk ke Asia Tenggara dan
adanya kebijakan penggunaan lahan pertanian untuk kebutuhan komersil, hubungan
antara keduanya menjadi sebuah bentuk eksploitasi terhadap petani dan buruh, belum
lagi penerapan pajak yang kemudian menjadi salah satu alasan terbesar pemicu
perlawanan kaum tani. Gerakan petani terjadi dalam berbagai bentuk, mereka keras
14
kepala tapi masif. Tindakan-tindakan wujud protes mereka ada dalam berbagai
bentuk misalnya: membuat petisi, melarikan diri, menjadi penyamun dan
pembakaran. Semua itu berhubungan dengan hal-hal spesifik dari kaum tani berupa
pajak, akses terhadap lahan dan distribusi panen, selain juga tema keagamaan dan
nasionalisme. Tindakan perlawanan dapat dilakukan oleh perorangan maupun
kelompok, baik itu dalam kelompok besar maupun kecil. Perlawanan dalam bentuk
tindakan diam-diam seperti pelarian, sabotase, pencurian yang mungkin mempunyai
dampak yang lebih besar, jarang diketahui. Ada pula gerakan secara terang-terangan,
misalnya dengan melakukan perusakan, pembakaran, pemogokan, pemboikotan dan
perampokan di gudang-gudang. Alasan lain yang melatarbelakangi perlawanan yang
makin besar selain dengan penolakan terhadap pajak dan eksploitasi namun juga
masuknya mesin, yang mengakibatkan lebih banyaknya pengangguran serta bentuk
perlawanan kelas.
Dalam bukunya yang lain Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi
di Asia Tenggara ( 1983 ), Scott membicarakan mengenai kondisi moral ekonomi
petani dan buruh tani. Di Asia Tenggara boleh dikatakan tidak memiliki upah
minimum dan juga terjadi komersialisasi lahan pertanian sehingga bentuk-bentuk
perlindungan sosial kepada petani dan buruh tani lama-lama menghilang sejak masa
Kolonial. Hingga pada akhirnya para petani dan buruh tani kekurangan lahan
pertanian sekaligus mata pencaharian mereka, dan saat itulah muncul kerajinan
tangan untuk mengisi waktu luang. Pemikiran Petani dan Buruh tani tentang ekonomi
pada waktu masih “cari aman” dalam artian mereka lebih memilih bekerja terus
15
menerus dengan gaji kecil dibandingkan dengan mencoba untuk mengerjakan sesuatu
yang baru dengan gaji yang belum diketahui/ mungkin lebih besar. Mereka hanya
berfikir agar penghasilan mereka selalu tetap dan tidak berkurang, namun tidak
memikirkan semisal mereka mendapatkan penghasilan yang besar hanya saja tidak
tetap. Bahkan mereka juga bersedia untuk menyewa tanah dengan harga yang mahal
untuk menghidupi keluarga dibandingkan dengan bekerja sebagai buruh. Bukan
hanya faktor ekonomis saja, namun juga faktor stratifikasi sosial yaitu kedudukan
sosial mereka akan lebih tinggi dibandingkan dengan buruh tani. Pada akhirnya
depresi menghancurkan semua tatanan agraris yang sudah goyah akibat perubahan
struktur. Syarat-syarat sewa yang semakin berat, hutang yang menumpuk antara
petani pemilik kecil dan petani penyewa semakin bertambah, beratnya pajak, serta
rasa cemas yang meluas karena kegagalan panen menyebabkan gerakan-gerakan
protes. Perlawanan sengit juga dilakukan oleh para petani sehingga mengakibatkan
pemilik rumah harus mengungsi akibat rumahnya dirampok dan dicuri oleh
gerombolan yang terdiri atas 50 sampai 100 orang. Kemudian beras hasil jarahan itu
dibagi-bagi kepada yang miskin. Namun selain protes berupa kekerasan, adapula
protes formal yaitu berupa permohonan atau petisi yang diajukan melalui distrik-
distrik. Berbagai tuntutan diajukan, misalnya penghapusan pajak, tanah-tanah hasil
penipuan dikembalikan dan lain sebagainya.
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Gerakan-gerakan Protes di Pedesaan
Jawa Sebuah Kajian Kerusuhan Petani di Awal Abad 19 dan Awal Abad 20 (2007)
mengungkapkan mengenai bentuk-bentuk gerakan protes dan kepemimpinan dalam
16
gerakan protes serta ideologi pemimpinnya. Salah satu bentuknya adalah
Milleniarisme di sebagian besar wilayah seringkali berbentuk mesias. Mitos
mengenai mesias sendiri adalah mengenai datangnya Ratu Adil yang akan
melepaskan masyarakat dari segala bentuk penyakit dan kelaparan serta segala
kejahatan. Selama mengikuti perintahnya kebajikan akan selalu menang. Nativisme
merupakan gerakan sosial yang dilandasi kembalinya segi-segi kebudayaan murni
masyarakat dan menolak kebudayaan asing. Nativisme juga berharap
dikembalikannya tanah asli, di mana orang kulit putih tidak ada lagi dan dinasti lama
berkuasa lagi. Gerakan-gerakan mesianis merupakan gerakan-gerakan yang
disemangati oleh harapan datangnya Ratu Adil, yang ditunjukkan oleh pemimpin itu
sendiri, atau oleh pengikut-pengikutnya sebagai utusan. Kepemimpinan melegitimasi
dirinya dengan menyandang sebuah utusan sebagai perubahan dalam diri atau wahyu.
Bentuk paling umum dari mesianis adalah bentuk mengenai agama tanpa unsur
ekonomi. Gerakan-gerakan sektarian berkembang sebagai akibat penolakan
masyarakat yang telah terbentuk. Ideologi tipe protes ini adalah kebangkitan kembali,
dengan maksud menurunkan kekuatan agama masyarakat dan melawan proses
degenerasi, dalam beberapa kasus mungkin bisa dilihat keresahan ekonomi.
Neil J. Smelser dalam bukunya Collective Behaviour (1965) menjelaskan
mengenai perilaku kolektif yang menjadi penyebab dari gerakan-gerakan sosial.
Perilaku kolektif ini didasari oleh banyak keadaan, salah satunya adalah kesamaan
nasib dari dua orang atau lebih. Beberapa keadaan kemudian membuat individu-
individu yang kemudian tergabung dalam sebuah organisasi sebagai sarana untuk
17
melakukan aksi-aksi sosial. Aksi sosial sebagian besar didasari oleh krisis dan
kepanikan di bidang ekonomi meskipun tidak selalu alasan ekonomi yang
melatarbelakangi gerakannya. Seorang pemimpin menjadi faktor penting dalam
gerakan sosial. Pemimpin selain sebagai tokoh yang mengorganisir pergerakan, juga
merupakan yang melakukan propaganda dan agitasi sehingga membentuk keyakinan
dan pemikiran yang menyebabkan kepanikan massa. Kepanikan massa ini yang
kemudian membuat organisasi-organisasi bergerakan untuk melakukan aksi-aksi
sosial yaitu berupa demonstrasi, protes hingga perusakan. Gerakan-gerakan massa ini
kemudian diubah arah gerakannya oleh pemimpin atau partai-partai politik untuk
kepentingannya. Gerakan ini bukan hanya sebagai bentuk tuntutan sebagai akibat dari
krisis ekonomi yang terjadi, namun ada juga gerakan atas dasar religius. Bersamaan
dengan pemimpin, ideologi pemimpin juga faktor yang penting dalam membetuk
sebuah gerakan sosial.
F. Metode Penelitian
Sejarah merupakan rekonstruksi masa lampau yang terkait pada prosedur
penelitian ilmiah.14 Prosedur penelitian sejarah untuk memperoleh tulisan sejarah
yang ilmiah maka diperlukan metode penelitian. Metode yang digunakan dalam
skripsi ini adalah metode sejarah, karena obyek dari penelitian ini bertujuan untuk
14 Kuntowijaya, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Benteng Budaya,1995), hlm.18.
18
mendiskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau.15 Maka metode
yang dipakai adalah metode historis, yaitu penelitian yang berusaha untuk mengkaji
dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau.
Metode sejarah meliputi empat tahapan yaitu pengumpulan data (heuristik), kritik
sumber (verifikasi), analisis data (interpretasi), dan penulisan sejarah (historiografi).16
Berikut merupakan metode-metode yang akan digunakan untuk mengkaji tulisan ini
agar dapat dikategorikan sebagai tulisan ilmiah:
1. Heuristik atau pengumpulan data.
Metode heuristik adalah metode mengumpulkan data, baik menghimpun data
melalui sumber secara tertulis yang relevan dan sumber penunjangnya yang berupa
buku maupun tulisan ilmiah yang berkaitan dengan protes buruh. Penggunaan data
merupakan hal yang penting. Dalam penelitian ini dibutuhkan arsip-arsip resmi yang
berupa: M.v.O (Memorie van Overgave) Karesidenan Kedu, Bagelen dan Banyumas
serta M.v.O afdeeling Purworejo, Algeemene Secretarie yang tersimpan di ANRI
(Arsip Nasional Republik Indonesia). Koran-koran sejaman misalnya: Surat kabar
Soeara Kaoem Boeroeh yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Serta pendukung lain yang berupa buku-buku referensi dan artikel serta
penelitian terdahulu.
15 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, ter. Nugroho Noto Susanto, (Jakarta:UI Press, 1995), hlm.32.
16 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Ilmu Sosial, (Yogyakarta:UGM Press,1991), hlm.72.
19
2. Kritik sumber
Kritik sumber digunakan untuk meneliti tentang keaslian dan kredibilitas
sumber melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern atau otentitas dilakukan untuk
mengetahui tingkat keaslian sumber data. Hal ini digunakan untuk menyeleksi segi-
segi fisik dari sumber data tersebut, sehingga diperoleh keyakinan bahwa penelitian
telah dilakukan dengan data yang tepat. Kritik intern atau kredibilitas dilakukan untuk
meneliti kebenaran isi data. Dengan menggunakan kritik sumber maka akan
didapatkan tingkat kebenaran isi dari sumber data. Oleh karena itu, kritik digunakan
sebagai alat pengendali atau proses untuk meminimalisir kekeliruan yang mugkin
terjadi. Metode ini digunakan untuk membandingkan sumber yang berupa surat kabar
Soeara Kaoem Boereoh dengan Memorie van Overgave serta sumber lainnya.
3. Interpretasi
Interpretasi adalah berupa proses penafsiran data yang telah teruji
kebenarannya. Dalam tahap ini dicoba untuk menafsirkan fakta sejarah dengan
merangkai fakta yang satu dengan yang lainnya sehingga muncul hubungan yang
rasional antara data yang diperoleh dengan fakta yang ada. Hasil eksplanasi tersebut
kemudian disajikan dalam bentuk tertulis (rekonstruksi) dan fakta-fakta tersebut
kemudian disusun sehingga menjadi sebuah kisah sejarah.
4. Historiografi
Historiografi yaitu penulisan hasil penelitian menjadi rekontruksi sebuah
cerita dengan mengorganisasikan materi, peletakan dasar pandangan dari sudut masa
lalu. Historiografi merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan dalam proses
20
penelitian atau pengkajian sejarah. Historiografi merupakan bentuk penulisan sejarah
sebagai proses akhir dari studi sejarah.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dari skripsi ini akan dibagi menjadi 5 bab dan pembagiaannya adalah
sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang berupa
heuristik atau teknik pengumpulan data, kemudian verifikasi sumber yang dilakukan
agar data yang dipakai sesuai dengan tema dan valid, setelah melakukan
pengumpulan data dan diverifikasi maka kemudian dapat diintepretasi dari data yang
di dapat dan ditulis dengan menggunakan teknik historiografi dan akhir dari bab
pertama adalah sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tentang Potret Kota Purworejo dan perkembangan
perburuhan serta latarbelakang tindakan protes buruh pabrik di Purworejo tahun
1919-1926.
Bab ketiga berisi mengenai kepemimpinan dari aksi protes buruh pabrik dan
ideologi yang menjadi menjadi dasar serta pendorong terjadinya protes buruh pabrik
di Purworejo, sampai berakhirnya aksi pada tahun 1926 akibat ditetapkannya aturan
161 bis mengenai larangan propaganda dan protes sebagai bentuk reaksi dari
pemerintah Kolonial.
21
Bab keempat mengungkapkan mengenai aksi yang dilakukan kaum buruh di
Purworejo untuk menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pemerintah dan kaum
majikan dalam protes tahun 1919-1926.
Bab kelima berisi tentang kesimpulan yang menerangkan mengenai jawaban
dari permasalahan.