bab i pendahuluan a. latar...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi komunikasi era ini membuat masyarakat memiliki banyak pilihan dalam mengakses informasi yang diingikannya. Televisi banyak digandrungi oleh masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan, karena kemunculan televisi yang relatif lama. Media televisi tergolong memiliki jangkauan yang cukup luas hingga kepelosok negeri dan hampir setiap masyarakat dalam satu keluarga minimal memiliki satu televisi. Media memiliki kemampuan untuk menyusun pemikiran seseorang, dan memiliki kemampuan untuk menata mental serta mengatur dunia kita sendiri. Begitupun televisi sebagai wadah informasi dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan dapat menentukan sudut pandang seseorang. Individu khalayak media tidak pasif mereka memiliki kemampuan mengontrol, menyeleksi informasi, serta memberikan pemaknaan atas informasi tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa penerimaan dan pemaknaan informasi tersebut diseleksi kedalam diri mereka masing-masing berdasarkan ideologi yang telah tertanam didalam diri mereka. Menurut Stuart Hall, media sebagai kekuatan kultural dan ideologis yang besar, yang berada dalam posisi dominan dalam kaitannya dengan cara bagaimana pembentukan dan transformasi ideologi populer dalam diri audiens (Hall,2011:194)

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1    

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Perkembangan teknologi komunikasi era ini membuat masyarakat

    memiliki banyak pilihan dalam mengakses informasi yang diingikannya. Televisi

    banyak digandrungi oleh masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan,

    karena kemunculan televisi yang relatif lama. Media televisi tergolong memiliki

    jangkauan yang cukup luas hingga kepelosok negeri dan hampir setiap masyarakat

    dalam satu keluarga minimal memiliki satu televisi.

    Media memiliki kemampuan untuk menyusun pemikiran seseorang, dan

    memiliki kemampuan untuk menata mental serta mengatur dunia kita sendiri.

    Begitupun televisi sebagai wadah informasi dapat mempengaruhi seseorang dalam

    berperilaku dan dapat menentukan sudut pandang seseorang. Individu khalayak

    media tidak pasif mereka memiliki kemampuan mengontrol, menyeleksi

    informasi, serta memberikan pemaknaan atas informasi tersebut. Perlu

    digarisbawahi bahwa penerimaan dan pemaknaan informasi tersebut diseleksi

    kedalam diri mereka masing-masing berdasarkan ideologi yang telah tertanam

    didalam diri mereka. Menurut Stuart Hall, media sebagai kekuatan kultural dan

    ideologis yang besar, yang berada dalam posisi dominan dalam kaitannya dengan

    cara bagaimana pembentukan dan transformasi ideologi populer dalam diri

    audiens (Hall,2011:194)

  • 2    

    Pemilihan capres pada tahun 2014 ini, menimbulkan respon yang berbeda

    oleh berbagai kalangan. Banyak wacana yang beredar di televisi baik respon

    positif maupun respon negatif tentang pemilihan calon presiden tahun ini. Banyak

    pula gegar-gegar politik yang digemborkan untuk menjatuhkan partai politik

    tertentu misalnya pemberitaan Partai Demokrat dan kadernya yang terjerat tindak

    pidana serta pemberitaan PKS yang sedang bergemuruh karena suap daging

    impor. Hal tersebut mungkin dapat menimbulkan penilaian negatif masyarakat

    tentang partai politik serta pemeran politik yang terkait. Disisi lain banyak pula

    figur politik yang selalu dielu-elukan karena kinerjanya atau karena kepentingan

    tertentu.

    Banyak yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2014

    mulai dari Farhat Abbas yang notabennya seorang pengacara, Rhoma Irama yang

    merupakan penyanyi dan masih banyak lainnya. Ada pula calon presiden yang

    diusung oleh partai politik, seperti Golkar yang diwakilkan oleh Abu Rizal

    Bakrie, Nasional Demokrat oleh Surya Palloh, Hanura oleh Wiranto dan lainnya.

    Beberapa figur politik diangkat namanya dan sering disebut di televisi seperti

    Jokowi, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Mahfud MD dan lainnya. Nama-nama figur

    politik yang tiba-tiba menjadi fenomenal tersebut tidak menuntut kemungkinan

    akan diusung oleh partai politik yang melamarnya menjadi calon presiden

    contohnya saja Mahfud MD yang sudah diusung oleh PKB. Calon-calon presiden

    untuk pilpres 2014 telah banyak diperbincangkan di pemberitaan televisi baik

    perbincangan tentang isu-isu, maupun perbincangan yang bersumber dari hasil

    penelitian.

  • 3    

    Jokowi mendominasi percakapan media sosial di 31 provinsi, kecuali di

    dua provinsi lainnya yaitu Maluku dan Kalimantan Timur (Sundari. 2013. Capres,

    Duet Jokowi-JK Terpopuler di Dunia Maya. http://www.tempo.co/read/news/.

    Diakses tanggal 24/09/13). Kepopuleran Jokowi mengalahkan pejabat publik di

    Indonesia dengan perolehan sebanyak 85,9 persen, mengalahkan Ibu Negara Ny.

    Ani Yudhoyono di angka 78,5 persen. Pejabat lainnya, yakni Sri Sultan

    Hamengkubuwono X 59,5 persen, Dahlan Iskan 42,6 persen, Mahfud MD 39,6

    persen, Pramono Edhie Wibowo 20,2 persen, Djoko Suyanto 15,2 persen, Gita

    Wirjawan 8,4 persen, dan lainnya (Gatra, Sandoro. 2013. Survei CSIS: Jokowi

    Capres Teratas. http://nasional.kompas.com. Diakses tanggal 17/03/2014).

    Melambungnya nama Jokowi dipengaruhi oleh kesederhanaan dan ketegasan

    Jokowi (Fiansyah, Rahmat. 2014. Kesederhanaan dan Ketegasan Jokowi Pikat

    Relawan Pendukungnya. http://nasional.kompas.com. Diakses tanggal

    17/03/2014).

    Mendekati Juli 2014 yang merupakan tahun pemilihan presiden pemuda

    berpotensi menghasilkan suara terbanyak dalam pemilihan presiden nanti. Ada 32

    juta potensi suara pemilih pemula pada Pemilu 2014. Hal itu menunjukan bahwa

    suara potensial ini sangat signifikan guna memenangkan perhelatan pemilihan

    umum mendatang. (Rosit, M. 2014. Melirik Potensi Pemilih Pemula pada Pemilu

    2014. http://news.liputan6.com/read/. Diakses tanggal 09/03/2012). Disisi lain

    pemuda juga merupakan pelopor bagi sebuah perubahan. Dilihat dari sejarah

    pemuda Indonesia, pertama dimulai dari 100 tahun kebangkitan nasional pada 20

    Mei 2008, sebelumnya seratus tahun yang lalu tahun 1908 sejumlah pelajar

  • 4    

    STOVIA dipimpin oleh Soetomo mendirikan Budi Oetomo di Jakarta. Kedua 28

    oktober 2008 diperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Ketiga, 10 tahun Peristiwa

    Trisakti pada tanggal 12 Mei 2008. Tidak kalah pentingnya pelengseran dinasti

    orde baru Soeharto dilengserkan oleh barisan muda yang dipelopori oleh Amin

    Rais pada waktu itu. Disimpulkanlah bahwa pemuda memiliki peran besar dalam

    kepemimpinan yang ada di Indonesia.

    Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor merupakan kubu

    besar, dari kelompok muda yang sangat berperan andil dalam pembangunan

    bangsa. Pemuda sejatinya memiliki peran dan fungsi strategis dalam akselerasi

    pembangunan termasuk pula dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara,

    dan sebagai aktor dalam pembangunan. Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan

    Pemuda Ansor merupakan representasi dari kelompok muda yang akhirnya

    berpotensi dalam pemilu 2014. Dilihat dari sejarahnya Pemuda Muhammadiyah

    yang merupakan gerakan keagamaan Muhammadiyah dan GP Ansor yang

    merupakan gerakan keagamaan NU telah berkecimpung dalam politik di Indonesia.

    Melihat kepopuleran Jokowi dalam memimpin DKI Jakarta dapat menarik

    simpatik masyarakat, dan khususnya kaum muda dapat menentukan bahkan

    memilih siapa saja yang terbaik menurut mereka yang akan membawa Indonesia

    menjadi lebih maju. Terpilihnya Jokowi atau figur politik lainnya dapat

    dibuktikan dengan menunggu hasil pemungutan suara pada pesta rakyat yang

    digelar pada bulan Juli 2014.

    Mendekati pemilu berbagai media massa seperti televisi telah menyoroti

    isu-isu menyangkut pemilu. Fenomena tentang Jokowi yang banyak di beritakan

  • 5    

    di televisi dapat mengudang berbagai pandangan terhadap Jokowi. Setiap individu

    dalam masyarakat memiliki pandangan masing-masing. Sudut pandang seseorang

    dalam menilai, memandang suatu fenomena sosial di lingkungannya tergantung

    atas nilai-nilai berita itu diterima sebagaimana berkaitan dengan ideologi yang

    tertanam didalam masing-masing individu. Isu tersebut disoroti manakala dinilai

    penting atau tidak terhadap individu yang terkait dalam kelompok, institusi, partai

    politik dan pemerintahan.

    Setiap individu bisa memiliki pandangan yang berbeda tentang

    kepemimpinan Jokowi. Dalam penelitian ini Pemuda Muhammadiyah dan

    Gerakan Pemuda Ansor merupakan subjek penelitan yang memiliki latar bekang

    yang berbeda. Individu dalam dua gerakan tersebut masing-masing memiliki

    pemaknaan sendiri tentang apa yang dibaca apa yang dilihat, dan didengar.

    Karena hasil konsumsi media bergantung pada susunan budaya dari berbagai

    komunitas.

    Penelitian ini menekankan pada aspek individu yang ada dalam kelompok

    Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor dengan latar belakang

    budaya yang dimiliki masing-masing individu dan tertanam menjadi patokan

    dalam berpendapat. Perbedaan latar belakang sosio-kultural, pengalaman serta

    identitas audiens yang akan membuat pemaknaan yang berbeda oleh masing-

    masing audiens dalam menginterpretasi pesan. Melalui pendekatan ini dapat

    dilihat mengapa audiens memaknai sesuatu secara berbeda serta faktor-faktor

    psikologis dan sosial apakah yang kemudian akan muncul dalam bentuk

    pemikiran. Dapat ditarik kesimpulan bahwa segala bentuk sistem tanda juga

  • 6    

    diresepsi sesuai dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki audiens

    sebelumnya.

    Hal ini menarik peneliti untuk melakukan penelitian “Resepsi Organisasi

    Pemuda tentang Model Kepemimpinan Jokowi pada Pemberitaan Di Televisi

    (Studi Model Kepemimpinan Jokowi pada Program Berita Kabar Khusus dengan

    Tema 100 Hari Kepemimpinan Jokowi+Ahok di TV ONE. Penelitian ini memiliki

    keunikan karena akan mengetahui resepsi dari golongan kaum muda yang

    berlatarbelakang berbeda yaitu Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda

    Ansor dalam menaggapi isu tentang Jokowi yang beredar di Televisi. Keunikan

    lainnya karena penelitian ini membahas tentang Jokowi yang sekarang

    mencalonkan sebagai Presiden sebelum habis masa jabatannya di DKI Jakarta.

    Dalam studi resepsi menekankan kepada individual subjek peneliti yang telah

    terbentuk dalam diri mereka budaya masing-masing. Pemuda Muhammadiyah dan

    Gerakan Pemuda Anshar sebagai subjek peneliti akan membentuk dan

    mentransformasi ideologi populer dalam diri mereka terhadap televisi sebagai

    kekuatan kultural dan ideologis yang besar. Menggunakan pendekatan kualitatif

    dengan teknik wawancara, peneliti akan mengeksplorasi jawaban dari Subjek

    yang diteliti.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumusankan masalah yaitu:

    Bagaimana resepsi organisasi pemuda di Kota Malang (Pemuda Muhammadiyah

    dan Gerakan Pemuda Ansor) dalam menanggapi model kepemimpinan Jokowi

  • 7    

    pada program berita Kabar Khusus dengan tema 100 hari Kepemimpinan Jokowi-

    Ahok di TV ONE?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi resepsi organisasi

    pemuda di Kota Malang (Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor)

    dalam menanggapi model kepemimpinan Jokowi pada program Berita Kabar

    Khusus dengan tema 100 hari Kepemimpinan Jokowi-Ahok di TV ONE.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat Akademis :

    Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk

    penelitian selanjutnya khususnya berhubungan tentang resepsi khalayak

    menanggapi isu media. Peneltian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan

    ilmu pengetahuan dan memberikan stimuli bagi mahasiswa komunikasi untuk

    lebih mencermati media dan khalayaknya.

    2. Manfaat Praktis :

    Penelitian ini mampu memberikan sumbangsih berupa informasi kepada

    tokoh politik agar berprilaku dan berbuat sesuai dengan yang diharapkan

    masyarakat karena masyarakat merupakan elemen penting yang menentukan

    terpilihnya tokoh politik.

  • 8    

    E. Tinjauan Pustaka

    E.1. Komunikasi Politik

    Dari teori komunikasi yang diketahui secara umum “who says what, to

    whom, in which what channel, with what effect, Laswell mengembangkannya

    kedalam bidang politik. Tulisan Laswell dalam politik pada tahun 1963 yaitu,

    Politics: Who Gets What, When, How. Definisi dari komunikasi politik sendiri

    datang dari berbagai sudut pandang. INT”L ENCYL OF Commuication (1989)

    mengambil kesimpulan bahwa: komunikasi politik adalah setiap penyampaian

    pesan yang disusun secara sengaja untuk mendapatkan pengaruh atas penyebaran

    atau penggunaan power didalam masyarakat yang didalamnya mengandung empat

    bentuk komunikasi; (a) Elite communication, (b) Hegemonic communication, (c)

    Petitionary communication, (d) Associational communication (Arrianie, 2010:14).

    Menurut Almond dan Powell (dalam Arifin, 2003:9) komunikasi sebagai fungsi

    politik bersama-sama fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekruitmen yang

    terdapat dalam suatu sistem politik dan komunikasi politik merupakan prasyarat

    (prerequisite) bagi berfungsinya fungsi-fungsi politik yang lain.

    Ada empat komponen dalam komunikasi politik menurut Gurevitch dan

    Blumler (1977:72) yaitu:

    1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya.

    2. Institusi media dalam aspek politiknya.

    3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi.

    4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasinya.

  • 9    

    Berkenaan dengan komponen diatas berbagai penelitian komunikasi

    politik yang pertama dilakukan berhubungan dengan kampanye politik dan

    pemilihan umum. Mendekati pemilihan umum tahun ini banyak sekali aktor

    politik memerankan diri mereka baik untuk kepentingan kelangsungan jabatan

    ataupun untuk mencalonkan diri demi jabatan tertentu. Komunikasi politik dapat

    dilakukan dengan berbagai cara dapat pula secara sengaja maupun tidak sengaja.

    Berkomunikasi secara sengaja dimaksudkan disini adalah pencitraan yang dibuat-

    buat oleh sebagian aktor politik yang mencalonkan diri. Komunikasi politik yang

    tidak sengaja terjadi bisa jadi beberapa orang-orang yang berperan dalam kancah

    politik dapat menempatkan diri mereka dengan sebaik mungkin. Dua hal tersebut

    banyak mengundang perhatian masyarakat. Pemberitaan di televisi oleh aktor

    politik baik pemberitaan setting-an ataupun pemberitaan murni dari media massa

    mendapatkan penilaian yang bermacam-macam dari khalayak.

    Pada saat itu hasil-hasil kampanye diukur dengan melihat opini publik

    lewat survey sikap, di Jerman penelitian ini disebut meinungforschung

    (demoskopie) dan latar belakang inilah penelitian komunikasi politik di Eropa

    sangat didominasi oleh opini publik (Nimmo, 2000:viii). Opini publik tersebut

    tidak terlepas pada tokoh politik atau politisi yang berperan sebagai aktor politik.

    Pada dasarnya aktor politik memerankan diri untuk dan atas nama rakyat, namun

    pada realitasnya sangatlah bertolak belakang. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh

    kepentingan partai maupun kepentingan pribadi. Filosof Friedrich Nietzsche

    (dalam Nimmo, 1993:53) menyatakan bahwa politikus hanyalah aktor yang

    menciptakan citra ideal untuk diri mereka sendiri, dan citra adalah suatu integrasi

  • 10    

    mental yang halus dari berbagai sifat yang diproyeksikan oleh orang itu,

    dipersepsi dan diinterpretasikan rakyat menurut kepercayaan, nilai dan

    pengharapan mereka.

    E.2. Model Kepemimpinan

    Setiap kepemimpinan memiliki ciri khas masing-masing dan tergantung

    pada pemimpinnya. Maju tidaknya sebuah kepemimpinan juga tergantung atas

    saha dari pemimpinnya yang menjadi ujung tombak kepemimpinan. Ilmuan barat

    merangkum standar model kepemimpinan yaitu (Swaidan & Basyaril 2005:103):

    Kepemimpinan dengan rutinitas; kepemimpinan yang menumbuhkan;

    kepemimpinan yang otokratis; kepemimpinan yang sopan santun; kepemimpinan

    yang menarik diri; kepemimpinan yang menyempurnakan; kepemimpinan yang

    mengarahkan; kepemimpinan yang memberi dukungan; kepemimpinan yang

    melimpahkan; kepemimpinan dengan sifat bos; kepemimpinan yang menguasai;

    kepemimpinan memberi pengaruh; kepemimpinan yang stabil; kepemimpinan

    yang konservatif; kepemimpinan yang berjiwa sosial; kepemimpinan yang labil;

    kepemimpinan yang resmi; kepemimpinan yang demokratis; kepemimpinan yang

    partisipatif dan kepemimpinan yang menyibukkan diri.

    Gaya seseorang pemimpin dalam memimpin akan tercermin selama

    kepemerintahannya. Gaya kepemimpinan tersebut terbentuk secara almiah tanpa

    dibuat-buat, walaupun banyak isu yang beredar beberapa petinggi yang ada di

    Indonesia memiliki gaya kepemimpinan yang dibuat-buat demi pencitraan. Bila

    diperhatikan di media massa khususnya televisi yang banyak memberitakan

  • 11    

    tentang pemimpin-pemimpin yang ada di Indonesia, masyarakat sebagai audiens

    dapat menilai mana gaya kepemimpinan yang dibuat-dibuat dan mana gaya

    kepemimpinan yang terbentuk dari karakter pribadi Si Pemimpin.

    Prilaku-prilaku pemimpin berbeda-beda dalam menjalankan

    kepemimpinannya. Ada lima kategori prilaku pemimpin yang dijalankan seorang

    pemimpin (Swaidan & Basyaril 2005:107):

    1. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya tinggi sedangkan

    perhatian terhadap kerjanya rendah.

    2. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya rendah sedangkan

    perhatian terhadap kerjanya tinggi.

    3. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya rendah dan perhatian

    terhadap kerjanya rendah.

    4. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya sedang dan perhatian

    terhadap kerjanya sedang.

    5. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya tinggi dan perhatian

    terhadap kerjanya tinggi.

    Apabila seorang pemimpin melakukannya secara efektif antara kedua dua

    hal tersebut maka akan terpentuk menjadi pemimpin yang ideal. Pemimpin yang

    efektif menurut teori kepemimpinan adalah pemimpin yang tahu bagaimana

    menjalankan dua model ini bersamaan dengan menjaga loyalitas, kesolidan tim,

    serta produktifitas yang tinggi secara kontinu.

  • 12    

    E.3. Pemuda dan Politik

    Pemuda merupakan agen perubahan bangsa dan tombak regenerasi

    kepemimpinan di Indonesia. Dilihat dari sejarah pemuda Indonesia, pertama

    dimulai dari 100 tahun kebangkitan nasional pada 20 Mei 2008, sebelumnya

    seratus tahun yang lalu tahun 1908 sejumlah pelajar STOVIA dipimpin oleh

    Soetomo mendirikan Budi Oetomo di Jakarta. Kedua 28 oktober 2008 diperingati

    80 tahun Sumpah Pemuda. Ketiga, 10 tahun Peristiwa Trisakti pada tanggal 12

    Mei 2008.

    Dalam Sumpah Pemuda tertanamlah nilai dimana pemuda tidak hanya

    sebagai generasi penerus bangsa, tetapi sekaligus pemersatu bangsa. Di era

    modern seperti sekarang ini dimana teknologi berkembang tinggi, membutakan

    pemuda akan wawasan nusantara. Pemuda merupakan aspek krusial, ia juaga

    merupakan elemen strategis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi

    kemerdekaan. Di periode pergerakan nasional ada lima karekteristik

    kepemimpinan kaum muda di Indonesia (Hasibuan :25) :

    1. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu diliputi dengan

    keinginan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.

    2. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu bereksperimen

    dengan berbagai ideologi yang berkembang saat itu. Pergerakan nasional

    arus ideologi mengalir mempengaruhi pola pikir kaum muda saat itu,

    seperti ideologi reformis Islam oleh Natsir, ideologi nasionalisme oleh

    Soekarno, ideologi komunis oleh Tan Malaka dan masih banyak lainnya.

  • 13    

    3. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, juga lebih banyak

    menampilkan watak radikalisme dari pada koorporatif.

    4. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu menampilkan

    wajah koorporatif dengan berbagai perbedaan ideologi, apabila memiliki

    tujuan yang sama untuk kemerdekaan Indonesia.

    5. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu memiliki cetak

    biru (blue print) Indonesia masa depan.

    Pada saat itu seperti Jong Java tidak turut langsung ke politik akan tetapi

    diberi kebebasan untuk berpolitik. Perlu diingat kembali bahwa para pemudalah

    yang menculik Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat

    kemerdekaan kaum muda juga menyoroti kebijakan pemerintah tentng kenaikan

    bensin, namun tidak dihiraukan oleh pemerintah. Kaum muda lalu membentuk

    gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Aksi tersebut berjalan tanggal 10

    Januari 1966 dimana mahasiswa berdemontrasi memprotes kenaikan harga untuk

    ditinjau kembali.

    Keberadan KAMI dikhawatirkan karena mereka bukanlah dari kaum muda

    akan tetapi mereka yang berumur 30 tahun dan bukan lagi mahasiswa. Tepatnya

    mereka bukan mahasiswa berpolitik akan tetapi politikus yang memiliki kartu

    mahasiswa. Banyak sekali pergelakan kaum muda ssat itu dan berakhir dengan

    lengsernya jaman orde baru.

    Memasuki era reformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie kaum muda juga

    belum merasa terpuaskan. Tahun 2000-an kaum mda masuk kedalam organisasi

    muda underbouw partai, seperti Barisan Muda PAN, Garda Bangsa PKB, Garda

  • 14    

    Keadilan PKS, Pemuda Banteng PDIP. Hal yang menarik aktifis mahasiswa

    beberapanya masuk kedalam anggota parlemen (sebagian terpilih dalam Pemilu

    2004). Hingga saat ini banyak sekali kaum muda yang terjun langsung ke dunia

    politik. Belum lama ini di salah satu program talk show Mata Najwa edisi “Pilih

    lah Aku” tanggal 19 Januari 2014, merupakan caleg dari kaum muda yang

    usianya relatif dini.

    E.4. Muhammadiyah

    Muhammadiyah adalah gerakan tajdid (pembaharuan) atau gerakan

    reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu

    organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana

    yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus membersihkan berbagai

    amalan umat yangmenyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik,

    maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah memiliki tugas

    menegakkan amal ma’ruf nahyi munkar yaitu menegakkan kebenaran dan

    mencegah kemunkaran.

    Muhammadiyah memiliki amal usaha yang bergerak dalam pendidikan,

    kesehatan, dan umat usaha lainnya yang bergerak demi pelayanan masyarakat.

    Muhammadiyah adalah gerakan islam yang modern tanpa mazhab dan hanya

    berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah. Konsep surat Al-Maun sebagai basis

    gerakan Muhammadiyah dengan Ahmad Dahlan sebagai pelopornya. Hal ini

    menjadi spirit untuk menjadi organisasi islam yang sangat populis, kerakyatan dan

    bukan borjuis.

  • 15    

    E.5. Politik Muhammadiyah

    Muhammadiyah memang menyatakan tidak memiliki keterikatan politik

    dengan partai politik manapun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan

    warganya untuk memilih dalam pemilihan umum. Muhammadiyah konsisten

    memperjuangkan aspirasi politik Muhammadiyah, maka kemudian Tanwir

    Pemuda Muhammadiyah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan memutuskan untuk

    mencoba membentuk partai politik alternatif bagi anggota persyarikatan

    Muhammadiyah (Cahyono, Imam. 2004. Menimbang Partai Alternatif

    Muhammadiyah. http://www.islamlib.com/. Diakses pada tanggal 09/03/2014)

    Muhammadiyah tidak alergi dengan aktivitas politik baik yang bersifat low

    politics dalam bentuk struggle of power atau juga yang bersifat high politics

    dalam bentuk pejuangan politik yang berorientasi pada tujuan-tujuan moral

    (Syafii Maarif; 200). Dalam konteks struggle of power menurut Haedar Nashir

    (2000 :36) ada tiga pola perjuangan politik Muhammadiyah adalah

    1) Langsung membidani kelahiran partai-partai politik, dalam pola ini

    Muhammadiyah secara kelembagaan ikut serta secara aktif dalam

    membidani kelahiran partai politik dan juga menggerakkan roda partai

    politik. Saat itu KH. Mas Mansyur, ketika Muhammadiyah menjadi

    anggota istimewa Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), begitu

    juga ketika Muhammadiyah ikut membidani kelahiran Partai Muslim

    Indonesia (Parmusi).

    2) Keterlibatan secara personal dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, hubungan

    yang terbangun adalah hubungan emosional. Pola kedua ini yang paling

  • 16    

    sering terjadi dalam perserikatan Muhammadiyah, mulai dari generasi

    awal Muhammadiyah yang terlibat aktif di MIAI (Majlisul Islam A'la

    Indonesia), PII (Partai Islam Indonesia) dan sebagainya sampai masa

    Amien Rais, yang telah mengokohkan hubungan emosional antara warga

    Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional PAN.

    3) Hubungan yang betul-betul netral, dimana semua unsur persyarikatan

    harus menjaga jarak yang sama dengan kelompok-kelompok kepentingan

    politik yang ada. Pola ketiga muncul dalam Muktamar Muhammadiyah

    tahun 1971 di Ujung Pandang.

    Ketiga pola di atas sesungguhnya bisa dijadikan pijakan awal untuk

    memetakan seperti apa politik Muhammadiyah dalam pandangan warga

    persyarikatan. Kelompok yang berusaha menjaga jarak sedemikian rupa dengan

    proses low politics ini kemudian mengidentitas dalam kelompok Muhammadiyah

    cultural, yang di dalamnnya bercokol tokoh-tokoh intelektual dan budayawan

    Muhammadiyah. Kelompok ini melihat Muhammadiyah akan kehilangan

    vitalitasnya dalam peran sosial kemasyarakatan jika harus memaksakan diri untuk

    melakukan struggle of power.

    Kelompok kedua merupakan kelompok yang berusaha mencari jalan

    tengah, yaitu kelompok yang merasa Muhammadiyah sangat perlu memiliki

    saluran aspirasi politik, tapi tidak dengan serta merta menempatkan

    Muhammadiyah terikat dengan satu atau beberapa kelompok kepentingan.

    Kelompok inilah yang kemudian menganggap aspirasi politik Muhammadiyah

    bisa disalurkan melalui kader-kadernya yang ada di partai-partai politik.

  • 17    

    Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang menginginkan Muhammadiyah

    aktif melakukan perjuangan politik pada tingkat low politics untuk kepentingan

    mewujudkan aspirasi politik perserikatan. Kelompok ketiga ini beranggapan

    Muhammadiyah akan sulit merealisasikan aspirasi politik jika hanya

    mengandalkan hubungan emosional dengan partai politik, Muhammadiyah harus

    berani membentuk partai politik.

    Jelaslah bahwa Muhammadiyah ikut andil dalam kegiatan politik

    walaupun didalamnya terdapat pro kontra. Keterlibatan Muhammadiyah dalam

    politik tidak lain adalah untuk politik Indonesia. Indonesia membutuhkan pilar

    politik yang bersih untuk kemajuan negaranya dan kesejahtraan Masyarakat

    disegala bidang, sesuai dengan tujuan gerakan Muhammadiyah didirikan.

    E.6. Nahdatul Ulama (NU)

    Nahdatul ulama merupakan oraganisasi Islam terbesar di Indonesia.

    Organisasi ini pertama dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asyhari. Dari istilah

    Nahdatul Ulama dapat diartikan sebagai kebangkitan ulama atau kebangkitan

    cendekiawan Islam. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926. Berdirinya NU

    bertujuan untuk membedakan dan melindungi praktik keagamaan muslim

    Indonesia dari praktik pemikiran keagamaan Timur Tengah. Nahdatul Ulama

    (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang

    mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim

    naqli (skripturalis). Tujuan organisasi NU menegakkan ajaran islam menurut

    paham ahlussunnah wal jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di

  • 18    

    dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa usaha

    organisasi yaitu :

    1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah islamiyah dan meningkatkan

    rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam

    perbedaan.

    2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan

    nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi

    luhur, berpengetahuan luas.

    3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta

    kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.

    4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk

    menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya

    ekonomi rakyat.

    5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

    Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum

    penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta

    merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.

    Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut

    berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam

    NU.

  • 19    

    E.7. Politik Nahdatul Ulama (NU)

    NU memiliki tiga model politik yaitu, politik kenegaraan, politik

    kerakyatan dan politik kekuasaan. Bagi NU politik kekuasaan atau yang bisa

    disebut dengan politik praktis merupakan tataran politik yang paling rendah

    karena politik ini cendrung mengakibatkan perpecahan. NU dalam sebagian

    kalangan beranggapan bahwa politik kenegaraan dan politik kerakyatan akan

    meraih politik kekuasaan. Pada awal masa berdirinya NU belum bersinggungan

    langsung dengan politik kenegaraan. Pasca kemerdekaan Indonesia NU mulai

    bersentuhan dengan politik kenegaraan atau politik kebangsaan. NU meletakkan

    komitmen kenegaraan diatas segala-galanya karena NU menyadari bahwa

    eksistensi negara adalah hal utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai

    denga Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    Politik kerakyatan dan politik kenegaraan merupakan konsep politik yang

    paling ideal bagi NU karena berorientasi pada kebaikan umum (mashlahah

    ‘ammah). Pada akhirnya NU tidak mampu mempertahankan kedua politik ini

    karena godaan politik kekuasaan baik dari golongan NU itu sendiri maupun dari

    golongan luar NU. Banyak pintu masuk yang dapat digunakan untuk lewat. Jika

    tidak lewat struktur NU maka bisa lewat pintu kultur NU. Bila tokoh-tokoh NU

    masuk kedalam politik praktis maka akan mendapat dorongan baik dari masing-

    masing pintu. Hal tersebut diawali dengan sebagai penyangga Masyumi tokoh-

    tokoh NU terlibat dalam kekuasaan jabatan baik didalam maupun diluar partai.

    Menurut Greg Fealy, tujuan politik NU saat menjadi parpol ialah : 1) penyaluran

    dana pemerintah terhadap NU, 2) mendapat peluang bisnis, 3) menduduki jabatan

  • 20    

    irokrasi (Greg Fealy, Ijtihat Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. LKIS :

    Yogyakarta 2003). Saat inilah kinerja NU terpuruk. NU kemudian menjadi

    penyokong utama PPP, yang menunjukan bahwa NU mengutamakan orientasi

    kepada politik kekuasaan dan saat itulah NU dicurangi. NU akhirnya memutuskan

    untuk kembali seperti tahun 1926 dimana berorientasi pada jam’aah serta

    jam’iyyah. Pada akhirnya NU kembali kepada Politik kekuasaan dengan gaya

    yang bereda. Hal tersebut dilakukan dengan cara dicalonkannya KH.

    Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI pada tahun 1999 dan KH. Hasyim

    Muzadi oleh PDI-P untuk wakil Presiden RI 5 Juli 2004.

    Jawa Timur sebagai basis NU kurang beruntung, justru di wilayah ini NU

    belum mampu menempatkan kader-kadernya untuk jabatan politik, seperti

    bupati/wakil bupati dan wali kota/wawali kota. Dan yang sesungguhnya

    merisaukan adalah karena kekalahan tersebut disebabkan oleh pudarnya soliditas

    warga NU dalam kompetisi politik. Tokoh NU masuk lewat pintu berbeda. Dan

    variasi pintu masuk tersebut juga memperoleh dukungan dari elit-elit NU.

    Perbedaan suara warga NU tersebut kemudian bisa dimanfaatkan secara jitu oleh

    kompetitor politiknya.

  • 21    

    E.8. Berita Televisi

    Imaji media menajamkan kita tentang berbagai persoalan dunia. Kita harus

    pintar memilih apa saja berita yang dapat berdampak positif maupun negatif.

    Kisah-kisah media memberikan berbagai cerita, karena itulah media merupakan

    tempat membangun kultur dan tempat kita untuk memasuki kultur baru. Media

    selalu mendemontrasikan siapa kuat, siapa lemah, siapa yang berkuasa dan siapa

    yang tidak. Bagi si penguasa memiliki kekuatan untuk menjalankan segala

    niatnya, tidak menutup kemungkinan televisi sebagai media massa merupakan alat

    terampuh untuk mempengaruhi khalayaknya. Santana K (2007 : 139) mengatakan,

    bahwa media kerap menjadi sumber pedagdogis ia mempengaruhi edukasi kita, ia

    mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana memikirkannya,

    merasakannya, meyakininya, dan menyemangatinya. Banyak pemberitaan televisi

    yang mengajak masyarakat Indonesia untuk pandai memilih dan jangan terjebak

    akan janji-janji politik. Bangsa Indonesia tentunya ingin kearah yang lebih maju.

    Hal yang perlu dikhawatirkan yaitu pemberitaan di televisi yang masih umum

    ditonton oleh beberapa kalangan dapat menjadi influence terbesar dalam

    menentukan pilihan. Alih-alih pengaruh tersebut dilakukan oleh aktor politikus

    yang berkompeten lalu bagaimana bagi aktor politik yang hanya mengejar

    pencitraan dan kekuasaan?

    Di televisi banyak sekali iklan politik yang disiarkan mendekati pemilu.

    Mendekati pilpres beberapa nama yang sering disebut antara lain Aburizal Bakrie,

    Surya Paloh, Wiranto, Hatta Rajasa, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Hary

    Tanoesoedibjo, Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD,

  • 22    

    Puan Maharani, Rhoma Irama dan masih banyak lagi. Nama-nama tersebut ada

    yang sudah mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakilnya menuju RI 1

    dan ada pula menjadi calon presiden wacana. Calon presiden wacana yang sering

    diberitakan ditelevisi sebagian merupakan hasil poling masyarakat. Jokowi

    diantaranya salah satu aktor politik yang sering disorot oleh media. Televisi

    banyak memberitakan kinerja Jokowi. Televisi bersinggungan secara lebih

    langsung dan memainkan peran pembentukan dan formatif dalam kaitan dengan,

    ideologi populer, praktis para audiens.

    Philip Elliott mengungkapkan bahasa bagaimana audiens menjadi sumber

    dan sekaligus penerima pesan televisi. Jurnalisme dalam televisi tampak dijadikan

    semacam pengeras suara yang dengannya ide-ide berlaku umum diperkuat dan

    diterapkan secara umum di segenap kawasan formasi sosial. Alam pemberitaan

    televisi terjadi kesatuan yang kompleks terjalin atara deskripsi fakta yang

    dihasilkan televisi dan deskripsi premier tentang fakta yang terbentuk dalam

    formasi sosial sebagai kejelasan presentasi visual dominan terkadang hegemonik

    tentang antagoisme politik ekonomi.

    Pemberitaan di televisi disusun sedemikian rupa dengan penentuan topik-

    topik oleh praktik jurnalisme televisi, dibuat tampak sebagai pemahaman yang

    paling baik tentang fakta-fakta, oponi publik yang diperkuat dengan presentasi

    visual. Terkadang audiens hanya dijadikan saksi atas, tetapi bukan sebagai peserta

    dalam, perebutan dan adu pendapat tentang pelbagai isu. Televisi kini menjadi

    alat penyusun agenda dalam lingkup opini publik. Televisi tanpa sengaja

    memainkan peran untuk menarik perhatian publik dalam membentuk pemahaman

  • 23    

    tentang situasi politik. Peran tersebut dikelompokan dalam 1) penentuan isu yang

    akan memasuki lingkup kesadaran publik dan diskusi publik, 2) penentuan atasan

    termasuk didalamnya isu-isu yang akan didiskusikan, 3) menetukan siapa yang

    akan berbicara tentang topik yang telah dipilih, 4) mengelola dan mengontrol

    perdebatan dan diskusi yang akan terjadi. Mendekati pemilu presiden banyak isu

    tentang calon-calon yang secara tidak langsung terpilih dalam berbagai polling,

    baik di media televisi itu sendiri maupun media sosial yang telah banyak

    dilakukan penelitian tentang percakapan calon presiden yang potensial. Jokowi

    merupakan isu publik yang terbanyak sebagai calon presiden yang berpotensi dan

    ini pula yang menjadi diskusi publik. Kemudian isu kinerjanya banyak tercuat

    ditelevisi hingga akhirnya diapun muncul untuk diwawancarai tentang kinerjanya

    tokoh disalah satu program televisi seperti pada TV ONE tanggal 22 Januari edisi

    100 Hari Jokowi+Ahok. Televisilah yang menjalankan peran sebagai pengontrol

    akan pro kontranya Jokowi sebagai calon Presiden.

    Televisi memberikan liputan tentang pemilu dan peristiwa politik, dalam

    pemberitaannya televisi menunjukan kemungkinan bahwa independensi yang

    lemah karena khalayak media tidak punya liputan televisi tentang pemilu, tetapi

    punya pemilu televisi.

  • 24    

    E.9. Resepsi Pesan

    Audiens terdiri dari beberapa komunitas yang memiliki nilai-nilai,

    gagasan, dan ketertarikannya sendiri. Makna informasi yang ada di media

    ditafsirkan secara sosial dalam kelompoknya, dan individu lebih dipengaruhi oleh

    orang sekitarnya dari pada media itu sendiri. Makna pesan tidak ditanggapi secara

    pasif, masyarakat bertindak seperti yang mereka lihat. Makna pesan yang terdapat

    di media tidak pernah ditentukan individu, melainkan ditafsirkan secara komunal.

    Hal tersebut tergantung individu tersebut tergabung dalam keanggotaan secara

    turun-temurun.

    Peran aktif khalayak di dalam memaknai teks media dapat terlihat pada

    premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall (2011:213) yang

    merupakan dasar dari analisis resepsi. Ada 3 kategorisasi encoding/decoding

    menurut Stuart Hall, yaitu :

    1. Dominant-Hegemonic Position.

    Yaitu, audience TV mengambil makna yang mengandung arti dari

    program TV dan meng-dekode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud

    (preferred reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya

    pemahaman yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan

    komunikator dan komunikan sama, langsung menerima.

    2. Negotiated Position.

    Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah

    didefinisikan dan ditandakan dalam program TV. Audience bisa menolak

    bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain.

  • 25    

    3. Oppositional Position.

    Yaitu, audience membaca kode atau pesan yang lebih disukai dan

    membentuknya kembali dengan kode alternatif. Dalam bentuk ekstrem

    mempunyai pandangan yang berbeda, langsung menolak karena

    pandangan yang berbeda.

    Dalam kelompok intrepretif (interpretive communities), masing-masing

    dengan pemaknaanya sendiri tentang apa yang dibaca apa yang dilihat, dan

    didengar. Karena hasil konsumsi media bergantung pada susunan budaya dari

    berbagai komunitas.

    Individu memiliki kesadaran tentang keuntungan berpartisipasi secara

    personal dalam dan dengan kelompok termasuk kedalamnya terlibat gaya hidup

    atau bentuk budaya yang khas. Hall menjelaskan dalam karyanya tentang cultural

    studies (2011:194-195) yaitu :

    a. Media tidak hanya berpengaruh langsung. Media berperan sebagai pemicu

    kerangka berfikir dapat mendefinisikan sebagai peran ideologis media.

    Media sebagai kekuatan kultural dan ideologis yang besar, berada dalam

    posisi dominan dalam kaitannya dengan cara berbagai relasi sosial dan

    permasalahan politik didefinisikan dengan cara bagaimana pembentukan

    dan transformasi ideologi populer dalam diri audiens.

    b. Pertentangan atas teks media sebagai pembawa makna yang transparan

    sebagai pesan. Pada dasarnya pesan yang disampaikan mengandung unsur

    ideologis dan kesaling keterkaitan .

  • 26    

    c. Pemutusan atas konsepsi audiens pasif yang seragam yang dipengaruhi

    oleh media. Di era ini audiens lebih aktif dalam konsepsi, pembacaan, dan

    konsepsi hubungan antara acara pesan media itu dikodekan .

    d. Peran yang dimainkan media dalam menyebarluaskan dan membuat aman

    pelbagai definisi dan representasi ideologis dominan kedalam agenda

    pembicaraan.

    Media saat ini berperan menyusun peran dalam sirkulasi definisi sosial

    dominan dan, produksi media berfokus pada komunikasi politik. Media terjebak

    dalam berbagai permasalahan dalam penyiarnnya yang muncul baik dari upaya

    untuk memahami bagaimana media memainkan peran ideologis dalam masyarakat

    maupun dari pengonsepsian hubungan kompleks media itu dengan kekuasaan.

    Sekarang media sangat erat kaitannya dan membangun relasi yang kompleks

    antara, media, politik dan masyarakat.

    Teks mengkonstruksi berbagai posisi subjek tentang kritik yang

    menyeluruh terhadap realisme, mode naratifnya. Individu memiliki ideologis,

    yang menurut Althusser merupakan sebuah representasi tentang relasi imajiner

    individu dengan kondisi real keberadaan mereka (Hall 2011 : 203).

    Veron (dalam Hall 2011:209) menjelaskan bahwa ideologi adalah level

    penandaan yang melakukan pengoprasiannya melalui konotasi. Ideologi dalam

    diri individu melampaui dan melibatkan keseluruhan semesta tanda denotatif dan

    konotatif. Bentuk pesan adalah bentuk yang nampak dan dibutuhkan dari suatu

    peristiwa dalam peralihannya dari sumber ke penerima. Kumpulan makna yang

    dikodekan memiliki efek, mempengaruhi, menghibur, mengajari, merayu, dengan

  • 27    

    konsekuensi tingkah laku, ideologis, emosional, kognitif, persepsi indrawi yang

    sangat kompleks. Kondisi persepsi adalah hasil dari sebuah pengoprasian yang

    ada dalam kode, sekalipun secara tak sadar.

    F. Metode Penelitian

    F.1. Pendekatan Penelitian

    Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

    kualitatif. Menurut Nasution (2003:5) penelitian kualitatif adalah mengamati

    orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat

    mereka tentang dunia sekitar. Dalam penelitian ini peneliti akan menafsirkan

    resepsi dari subjek peneliti dalam memaknai pemberitaan televisi model

    Kepemimpinan Jokowi.

    F.2. Tipe Dasar Penelitian

    Tipe dasar penelitian yaitu deskriptif eksploratif yang bertujuan berusaha

    menggambarkan dan mencari ide-ide atau hubungan-hubungan peristiwa-

    peristiwa kecil yang terjadi di lingkungan penonton dengan konteks sosial budaya

    yang sedang terjadi, dimana praktik menonton itu berlangsung serta

    menghubungkan pengalaman menonton dengan pengalaman lain dalam

    kehidupan mereka sehari-hari. Peneliti mencari hubungan variabel atau hasil

    penelitian yang bersumber dari subjek penelitian. Menurut Irawan (2007:101)

    “metode eksploratif adalah penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data-

  • 28    

    data awal tentang sesuatu”. Penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif

    bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena (Arikunto: 1989).

    F.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dua tempat yaitu :

    1. Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) cabang Kota Malang

    yang merupakan tempat dari Pemuda Muhammadiyah dan strukturnya.

    PDM Kota Malang belokasi di Jl. Gajayana 28b, Kota Malang

    2. Kantor Majelis Wakil Cabang (MWC) NU yang juga merupakan kantor

    Gerakan Pemuda Ansor, Kota Malang yang bertempat di JL. KH Hasyim

    Asyhari 21, Kota Malang.

    Adapun waktu penelitian dilakukan pada tanggal 24 Maret – 15 April

    2014.

    F.4. Fokus Penelitian

    Penelitian ini memfokuskan untuk mendeskripsikan bagaimana resepsi

    organisasi pemuda di Kota Malang (Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan

    Pemuda Ansor) dalam menanggapi model kepemimpinan Jokowi pada program

    berita Kabar Khusus dengan tema 100 hari Kepemimpinan Jokowi-Ahok di TV

    ONE.

    F.5. Subjek Penelitian / Informan

    Moleong (2010: 132) mendeskripsikan subjek penelitian sebagai informan,

    yang artinya orang pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan

  • 29    

    informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam penelitian ini

    digunakan purposive sampling dalam menentukan subjek peneliti. Purposive

    sampling adalah taknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan

    tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu tentang apa apa yang diharapkan

    sehingga mempermudah peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang yang

    sedang diteliti (Sugiyono 2008:218).

    Dalam penelitian kualitatif tidak ada jumlah patokan baku tentang berapa

    informan diperlukan, karena yang menjadi patokan adalah informasi yang

    didapatkan dan dapat menjawab permasalahan penelitian. Sama halnya dengan

    analisis resepsi yang tidak mematok berapa jumlah informan yang diperlukan,

    karena informan dilihat dari latar belakangnya bisa saja dari kalangan kaaryawan,

    birokrat, pengangguran dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis menentukan

    kriteria-kriteria yang dapat menjadikan dasar utama dalam pemilihan informan

    yaitu :

    1. Tingkat pendidikan. Dalam penelitian analisis resepsi tingkat

    pengetahuan dan pendidikan akan membedakan informan dalam

    menjawab pertanyaan dari penulis. Dalam kriteria ini penulis memilih

    lagi informan kedalam tiga jenjang pendidikan.

    2. Pernah menonton televisi setidaknya tentang pemberitaan Jokowi.

    Menjadi lebih penting ketika informan telah menonton program “Kabar

    Khusus” di TV ONE Edisi 22 Januari 2013 tentang 100 Hari

    Kepemimpinan Jokowi+Ahok. Dalam program tersebut terdapat

    gambaran kepemimpinan Jokowi setelah 100 hari memerintah Jakarta.

  • 30    

    3. Memiliki peran strategis dalam organisasi dimana posisi informan

    mengetahui banyak hal, yang akan berguna untuk jawaban-jawaban

    yang diberikan.

    4. Kesediaan untuk menjadi informan. Dalam penelitian ini jelas

    dibutuhkan waktu informan untuk memberikan informasi dalam

    wawancara. Waktu yang dibutuhkan dalam mewawancarai informan

    cukup lama yaitu sekitar 20-60 menit. Dibutuhkan informan yang

    memiliki waktu untuk wawancara sebelum batas waktu selesainya

    penelitian yang ditentukan oleh penulis. Hal ini dimaksudkan agar

    penelitian tentang model kepemimpinan Jokowi ini tidak kadaluarsa

    mengingat pemilihan Presiden akan dilakukan pada Juli 2014.

    F.6. Teknik Pengumpulan Data

    1. Data Primer

    Data primer, yaitu data yang berkaitan langsung dengan subjek penelitian.

    Data primer ini diperoleh dari wawancara dengan informan dan pihak-pihak lain

    yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Wawancara atau percakapan

    dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

    pertanyaan dan pewawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas

    pertanyaan itu (Moloeng, 2010: 186). Pencatatan sumber data primer melalui

    wawancara, serta pengamatan merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat,

    mendengar, dan bertanya. Hasil interview akan digambarkan dalam bentuk tulisan

  • 31    

    dan kritik. Dalam penelitian ini peneliti akan mewawancarai fungsionaris Pemuda

    Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor sebagai subjek penelitian.

    2. Data Sekunder

    Data penunjang yang didapat dari sumber tertulis yaitu studi kepustakaan,

    baik berupa buku, majalah, dokumen, laporan, catatan, dan sumber tertulis lainnya

    maupun penelitian sebelumnya.

    F.7. Teknik Analisis Data

    Dalam penelitian ini untuk analisis data kualitatif yang dipakai adalah

    analisis resepsi. Terdapat elemen dalam reception analysis, yaitu mengumpulkan

    data, menginterpretasikan data dan preferred reading. Penjelasannya yaitu :

    1. Mengumpulkan data berupa pesan, kata, frasa, maupun kalimat yang

    diungkapkan oleh audiens, yakni dengan wawancara (Jensen dalam

    Jensen dan Jankowsky: 1993, 139-140)

    2. Menginterpretasikan pengalaman/penerimaan audiens tentang media

    yang didapatkan dari hasil wawancara. Data hasil dari wawancara

    dibuat transkrip, kemudian di buat kategorisasi berdasarkan tema-tema

    yang muncul pada pemaknaan yang dilakukan subjek penelitian (makna

    yang dimunculkan) (Hall 2011 : 220).

    3. Tema-tema yang muncul dibandingkan dengan preferred reading untuk

    kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kelompok pemaknaan;

    dominant reading, oppositional reading dan negotiated reading. (Hall

    2011 : 226)

  • 32    

    F.8. Teknik Keabsahan Data

    Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek

    penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2010: 117).

    Pada penelitian ini uji validitas yang digunakan peneliti adalah triangulasi data.

    Triangulasi ditempuh peneliti melalui beberapa cara, yaitu:

    1. Menggunakan bahan referensi, yaitu pembuktian data yang di temukan

    oleh peneliti, misalnya dapat berupa rekaman. Dalam penelitian ini

    untuk mendapatkan hasil analisa peneliti melihat ulang video rekaman

    dari setiap informan

    2. Member check, adalah pengecekan data yang dilakukan oleh peneliti

    kepada subjek penelitian atau narasumber. Peneliti melakukan

    beberapa kali wawancara contoh salah satunya peneliti kembali

    menemui Informan Sarbini dari bagian Gerakan Pemuda Ansor untuk

    kejelasan struktural keanggotaan Gerakan Pemuda Ansor.

    3. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

    pendapat dengan pandangan orang seperti dengan rakyat biasa,

    ataupun orang yang berpendidikan. Dalam hasil penelitian ini peneliti

    membandingkan jawaban dari masing-masing informan yang berbeda

    latar belakang.

    4. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang

    berkaitan. Peneliti juga memasukan data yang berkembang mengenai

    isu tentang Jokowi.