bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi komunikasi era ini membuat masyarakat
memiliki banyak pilihan dalam mengakses informasi yang diingikannya. Televisi
banyak digandrungi oleh masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan,
karena kemunculan televisi yang relatif lama. Media televisi tergolong memiliki
jangkauan yang cukup luas hingga kepelosok negeri dan hampir setiap masyarakat
dalam satu keluarga minimal memiliki satu televisi.
Media memiliki kemampuan untuk menyusun pemikiran seseorang, dan
memiliki kemampuan untuk menata mental serta mengatur dunia kita sendiri.
Begitupun televisi sebagai wadah informasi dapat mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku dan dapat menentukan sudut pandang seseorang. Individu khalayak
media tidak pasif mereka memiliki kemampuan mengontrol, menyeleksi
informasi, serta memberikan pemaknaan atas informasi tersebut. Perlu
digarisbawahi bahwa penerimaan dan pemaknaan informasi tersebut diseleksi
kedalam diri mereka masing-masing berdasarkan ideologi yang telah tertanam
didalam diri mereka. Menurut Stuart Hall, media sebagai kekuatan kultural dan
ideologis yang besar, yang berada dalam posisi dominan dalam kaitannya dengan
cara bagaimana pembentukan dan transformasi ideologi populer dalam diri
audiens (Hall,2011:194)
-
2
Pemilihan capres pada tahun 2014 ini, menimbulkan respon yang berbeda
oleh berbagai kalangan. Banyak wacana yang beredar di televisi baik respon
positif maupun respon negatif tentang pemilihan calon presiden tahun ini. Banyak
pula gegar-gegar politik yang digemborkan untuk menjatuhkan partai politik
tertentu misalnya pemberitaan Partai Demokrat dan kadernya yang terjerat tindak
pidana serta pemberitaan PKS yang sedang bergemuruh karena suap daging
impor. Hal tersebut mungkin dapat menimbulkan penilaian negatif masyarakat
tentang partai politik serta pemeran politik yang terkait. Disisi lain banyak pula
figur politik yang selalu dielu-elukan karena kinerjanya atau karena kepentingan
tertentu.
Banyak yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2014
mulai dari Farhat Abbas yang notabennya seorang pengacara, Rhoma Irama yang
merupakan penyanyi dan masih banyak lainnya. Ada pula calon presiden yang
diusung oleh partai politik, seperti Golkar yang diwakilkan oleh Abu Rizal
Bakrie, Nasional Demokrat oleh Surya Palloh, Hanura oleh Wiranto dan lainnya.
Beberapa figur politik diangkat namanya dan sering disebut di televisi seperti
Jokowi, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Mahfud MD dan lainnya. Nama-nama figur
politik yang tiba-tiba menjadi fenomenal tersebut tidak menuntut kemungkinan
akan diusung oleh partai politik yang melamarnya menjadi calon presiden
contohnya saja Mahfud MD yang sudah diusung oleh PKB. Calon-calon presiden
untuk pilpres 2014 telah banyak diperbincangkan di pemberitaan televisi baik
perbincangan tentang isu-isu, maupun perbincangan yang bersumber dari hasil
penelitian.
-
3
Jokowi mendominasi percakapan media sosial di 31 provinsi, kecuali di
dua provinsi lainnya yaitu Maluku dan Kalimantan Timur (Sundari. 2013. Capres,
Duet Jokowi-JK Terpopuler di Dunia Maya. http://www.tempo.co/read/news/.
Diakses tanggal 24/09/13). Kepopuleran Jokowi mengalahkan pejabat publik di
Indonesia dengan perolehan sebanyak 85,9 persen, mengalahkan Ibu Negara Ny.
Ani Yudhoyono di angka 78,5 persen. Pejabat lainnya, yakni Sri Sultan
Hamengkubuwono X 59,5 persen, Dahlan Iskan 42,6 persen, Mahfud MD 39,6
persen, Pramono Edhie Wibowo 20,2 persen, Djoko Suyanto 15,2 persen, Gita
Wirjawan 8,4 persen, dan lainnya (Gatra, Sandoro. 2013. Survei CSIS: Jokowi
Capres Teratas. http://nasional.kompas.com. Diakses tanggal 17/03/2014).
Melambungnya nama Jokowi dipengaruhi oleh kesederhanaan dan ketegasan
Jokowi (Fiansyah, Rahmat. 2014. Kesederhanaan dan Ketegasan Jokowi Pikat
Relawan Pendukungnya. http://nasional.kompas.com. Diakses tanggal
17/03/2014).
Mendekati Juli 2014 yang merupakan tahun pemilihan presiden pemuda
berpotensi menghasilkan suara terbanyak dalam pemilihan presiden nanti. Ada 32
juta potensi suara pemilih pemula pada Pemilu 2014. Hal itu menunjukan bahwa
suara potensial ini sangat signifikan guna memenangkan perhelatan pemilihan
umum mendatang. (Rosit, M. 2014. Melirik Potensi Pemilih Pemula pada Pemilu
2014. http://news.liputan6.com/read/. Diakses tanggal 09/03/2012). Disisi lain
pemuda juga merupakan pelopor bagi sebuah perubahan. Dilihat dari sejarah
pemuda Indonesia, pertama dimulai dari 100 tahun kebangkitan nasional pada 20
Mei 2008, sebelumnya seratus tahun yang lalu tahun 1908 sejumlah pelajar
-
4
STOVIA dipimpin oleh Soetomo mendirikan Budi Oetomo di Jakarta. Kedua 28
oktober 2008 diperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Ketiga, 10 tahun Peristiwa
Trisakti pada tanggal 12 Mei 2008. Tidak kalah pentingnya pelengseran dinasti
orde baru Soeharto dilengserkan oleh barisan muda yang dipelopori oleh Amin
Rais pada waktu itu. Disimpulkanlah bahwa pemuda memiliki peran besar dalam
kepemimpinan yang ada di Indonesia.
Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor merupakan kubu
besar, dari kelompok muda yang sangat berperan andil dalam pembangunan
bangsa. Pemuda sejatinya memiliki peran dan fungsi strategis dalam akselerasi
pembangunan termasuk pula dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara,
dan sebagai aktor dalam pembangunan. Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan
Pemuda Ansor merupakan representasi dari kelompok muda yang akhirnya
berpotensi dalam pemilu 2014. Dilihat dari sejarahnya Pemuda Muhammadiyah
yang merupakan gerakan keagamaan Muhammadiyah dan GP Ansor yang
merupakan gerakan keagamaan NU telah berkecimpung dalam politik di Indonesia.
Melihat kepopuleran Jokowi dalam memimpin DKI Jakarta dapat menarik
simpatik masyarakat, dan khususnya kaum muda dapat menentukan bahkan
memilih siapa saja yang terbaik menurut mereka yang akan membawa Indonesia
menjadi lebih maju. Terpilihnya Jokowi atau figur politik lainnya dapat
dibuktikan dengan menunggu hasil pemungutan suara pada pesta rakyat yang
digelar pada bulan Juli 2014.
Mendekati pemilu berbagai media massa seperti televisi telah menyoroti
isu-isu menyangkut pemilu. Fenomena tentang Jokowi yang banyak di beritakan
-
5
di televisi dapat mengudang berbagai pandangan terhadap Jokowi. Setiap individu
dalam masyarakat memiliki pandangan masing-masing. Sudut pandang seseorang
dalam menilai, memandang suatu fenomena sosial di lingkungannya tergantung
atas nilai-nilai berita itu diterima sebagaimana berkaitan dengan ideologi yang
tertanam didalam masing-masing individu. Isu tersebut disoroti manakala dinilai
penting atau tidak terhadap individu yang terkait dalam kelompok, institusi, partai
politik dan pemerintahan.
Setiap individu bisa memiliki pandangan yang berbeda tentang
kepemimpinan Jokowi. Dalam penelitian ini Pemuda Muhammadiyah dan
Gerakan Pemuda Ansor merupakan subjek penelitan yang memiliki latar bekang
yang berbeda. Individu dalam dua gerakan tersebut masing-masing memiliki
pemaknaan sendiri tentang apa yang dibaca apa yang dilihat, dan didengar.
Karena hasil konsumsi media bergantung pada susunan budaya dari berbagai
komunitas.
Penelitian ini menekankan pada aspek individu yang ada dalam kelompok
Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor dengan latar belakang
budaya yang dimiliki masing-masing individu dan tertanam menjadi patokan
dalam berpendapat. Perbedaan latar belakang sosio-kultural, pengalaman serta
identitas audiens yang akan membuat pemaknaan yang berbeda oleh masing-
masing audiens dalam menginterpretasi pesan. Melalui pendekatan ini dapat
dilihat mengapa audiens memaknai sesuatu secara berbeda serta faktor-faktor
psikologis dan sosial apakah yang kemudian akan muncul dalam bentuk
pemikiran. Dapat ditarik kesimpulan bahwa segala bentuk sistem tanda juga
-
6
diresepsi sesuai dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki audiens
sebelumnya.
Hal ini menarik peneliti untuk melakukan penelitian “Resepsi Organisasi
Pemuda tentang Model Kepemimpinan Jokowi pada Pemberitaan Di Televisi
(Studi Model Kepemimpinan Jokowi pada Program Berita Kabar Khusus dengan
Tema 100 Hari Kepemimpinan Jokowi+Ahok di TV ONE. Penelitian ini memiliki
keunikan karena akan mengetahui resepsi dari golongan kaum muda yang
berlatarbelakang berbeda yaitu Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda
Ansor dalam menaggapi isu tentang Jokowi yang beredar di Televisi. Keunikan
lainnya karena penelitian ini membahas tentang Jokowi yang sekarang
mencalonkan sebagai Presiden sebelum habis masa jabatannya di DKI Jakarta.
Dalam studi resepsi menekankan kepada individual subjek peneliti yang telah
terbentuk dalam diri mereka budaya masing-masing. Pemuda Muhammadiyah dan
Gerakan Pemuda Anshar sebagai subjek peneliti akan membentuk dan
mentransformasi ideologi populer dalam diri mereka terhadap televisi sebagai
kekuatan kultural dan ideologis yang besar. Menggunakan pendekatan kualitatif
dengan teknik wawancara, peneliti akan mengeksplorasi jawaban dari Subjek
yang diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumusankan masalah yaitu:
Bagaimana resepsi organisasi pemuda di Kota Malang (Pemuda Muhammadiyah
dan Gerakan Pemuda Ansor) dalam menanggapi model kepemimpinan Jokowi
-
7
pada program berita Kabar Khusus dengan tema 100 hari Kepemimpinan Jokowi-
Ahok di TV ONE?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi resepsi organisasi
pemuda di Kota Malang (Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor)
dalam menanggapi model kepemimpinan Jokowi pada program Berita Kabar
Khusus dengan tema 100 hari Kepemimpinan Jokowi-Ahok di TV ONE.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis :
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk
penelitian selanjutnya khususnya berhubungan tentang resepsi khalayak
menanggapi isu media. Peneltian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan dan memberikan stimuli bagi mahasiswa komunikasi untuk
lebih mencermati media dan khalayaknya.
2. Manfaat Praktis :
Penelitian ini mampu memberikan sumbangsih berupa informasi kepada
tokoh politik agar berprilaku dan berbuat sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat karena masyarakat merupakan elemen penting yang menentukan
terpilihnya tokoh politik.
-
8
E. Tinjauan Pustaka
E.1. Komunikasi Politik
Dari teori komunikasi yang diketahui secara umum “who says what, to
whom, in which what channel, with what effect, Laswell mengembangkannya
kedalam bidang politik. Tulisan Laswell dalam politik pada tahun 1963 yaitu,
Politics: Who Gets What, When, How. Definisi dari komunikasi politik sendiri
datang dari berbagai sudut pandang. INT”L ENCYL OF Commuication (1989)
mengambil kesimpulan bahwa: komunikasi politik adalah setiap penyampaian
pesan yang disusun secara sengaja untuk mendapatkan pengaruh atas penyebaran
atau penggunaan power didalam masyarakat yang didalamnya mengandung empat
bentuk komunikasi; (a) Elite communication, (b) Hegemonic communication, (c)
Petitionary communication, (d) Associational communication (Arrianie, 2010:14).
Menurut Almond dan Powell (dalam Arifin, 2003:9) komunikasi sebagai fungsi
politik bersama-sama fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekruitmen yang
terdapat dalam suatu sistem politik dan komunikasi politik merupakan prasyarat
(prerequisite) bagi berfungsinya fungsi-fungsi politik yang lain.
Ada empat komponen dalam komunikasi politik menurut Gurevitch dan
Blumler (1977:72) yaitu:
1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya.
2. Institusi media dalam aspek politiknya.
3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi.
4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasinya.
-
9
Berkenaan dengan komponen diatas berbagai penelitian komunikasi
politik yang pertama dilakukan berhubungan dengan kampanye politik dan
pemilihan umum. Mendekati pemilihan umum tahun ini banyak sekali aktor
politik memerankan diri mereka baik untuk kepentingan kelangsungan jabatan
ataupun untuk mencalonkan diri demi jabatan tertentu. Komunikasi politik dapat
dilakukan dengan berbagai cara dapat pula secara sengaja maupun tidak sengaja.
Berkomunikasi secara sengaja dimaksudkan disini adalah pencitraan yang dibuat-
buat oleh sebagian aktor politik yang mencalonkan diri. Komunikasi politik yang
tidak sengaja terjadi bisa jadi beberapa orang-orang yang berperan dalam kancah
politik dapat menempatkan diri mereka dengan sebaik mungkin. Dua hal tersebut
banyak mengundang perhatian masyarakat. Pemberitaan di televisi oleh aktor
politik baik pemberitaan setting-an ataupun pemberitaan murni dari media massa
mendapatkan penilaian yang bermacam-macam dari khalayak.
Pada saat itu hasil-hasil kampanye diukur dengan melihat opini publik
lewat survey sikap, di Jerman penelitian ini disebut meinungforschung
(demoskopie) dan latar belakang inilah penelitian komunikasi politik di Eropa
sangat didominasi oleh opini publik (Nimmo, 2000:viii). Opini publik tersebut
tidak terlepas pada tokoh politik atau politisi yang berperan sebagai aktor politik.
Pada dasarnya aktor politik memerankan diri untuk dan atas nama rakyat, namun
pada realitasnya sangatlah bertolak belakang. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
kepentingan partai maupun kepentingan pribadi. Filosof Friedrich Nietzsche
(dalam Nimmo, 1993:53) menyatakan bahwa politikus hanyalah aktor yang
menciptakan citra ideal untuk diri mereka sendiri, dan citra adalah suatu integrasi
-
10
mental yang halus dari berbagai sifat yang diproyeksikan oleh orang itu,
dipersepsi dan diinterpretasikan rakyat menurut kepercayaan, nilai dan
pengharapan mereka.
E.2. Model Kepemimpinan
Setiap kepemimpinan memiliki ciri khas masing-masing dan tergantung
pada pemimpinnya. Maju tidaknya sebuah kepemimpinan juga tergantung atas
saha dari pemimpinnya yang menjadi ujung tombak kepemimpinan. Ilmuan barat
merangkum standar model kepemimpinan yaitu (Swaidan & Basyaril 2005:103):
Kepemimpinan dengan rutinitas; kepemimpinan yang menumbuhkan;
kepemimpinan yang otokratis; kepemimpinan yang sopan santun; kepemimpinan
yang menarik diri; kepemimpinan yang menyempurnakan; kepemimpinan yang
mengarahkan; kepemimpinan yang memberi dukungan; kepemimpinan yang
melimpahkan; kepemimpinan dengan sifat bos; kepemimpinan yang menguasai;
kepemimpinan memberi pengaruh; kepemimpinan yang stabil; kepemimpinan
yang konservatif; kepemimpinan yang berjiwa sosial; kepemimpinan yang labil;
kepemimpinan yang resmi; kepemimpinan yang demokratis; kepemimpinan yang
partisipatif dan kepemimpinan yang menyibukkan diri.
Gaya seseorang pemimpin dalam memimpin akan tercermin selama
kepemerintahannya. Gaya kepemimpinan tersebut terbentuk secara almiah tanpa
dibuat-buat, walaupun banyak isu yang beredar beberapa petinggi yang ada di
Indonesia memiliki gaya kepemimpinan yang dibuat-buat demi pencitraan. Bila
diperhatikan di media massa khususnya televisi yang banyak memberitakan
-
11
tentang pemimpin-pemimpin yang ada di Indonesia, masyarakat sebagai audiens
dapat menilai mana gaya kepemimpinan yang dibuat-dibuat dan mana gaya
kepemimpinan yang terbentuk dari karakter pribadi Si Pemimpin.
Prilaku-prilaku pemimpin berbeda-beda dalam menjalankan
kepemimpinannya. Ada lima kategori prilaku pemimpin yang dijalankan seorang
pemimpin (Swaidan & Basyaril 2005:107):
1. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya tinggi sedangkan
perhatian terhadap kerjanya rendah.
2. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya rendah sedangkan
perhatian terhadap kerjanya tinggi.
3. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya rendah dan perhatian
terhadap kerjanya rendah.
4. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya sedang dan perhatian
terhadap kerjanya sedang.
5. Perhatian terhadap manusia atau masyarakatnya tinggi dan perhatian
terhadap kerjanya tinggi.
Apabila seorang pemimpin melakukannya secara efektif antara kedua dua
hal tersebut maka akan terpentuk menjadi pemimpin yang ideal. Pemimpin yang
efektif menurut teori kepemimpinan adalah pemimpin yang tahu bagaimana
menjalankan dua model ini bersamaan dengan menjaga loyalitas, kesolidan tim,
serta produktifitas yang tinggi secara kontinu.
-
12
E.3. Pemuda dan Politik
Pemuda merupakan agen perubahan bangsa dan tombak regenerasi
kepemimpinan di Indonesia. Dilihat dari sejarah pemuda Indonesia, pertama
dimulai dari 100 tahun kebangkitan nasional pada 20 Mei 2008, sebelumnya
seratus tahun yang lalu tahun 1908 sejumlah pelajar STOVIA dipimpin oleh
Soetomo mendirikan Budi Oetomo di Jakarta. Kedua 28 oktober 2008 diperingati
80 tahun Sumpah Pemuda. Ketiga, 10 tahun Peristiwa Trisakti pada tanggal 12
Mei 2008.
Dalam Sumpah Pemuda tertanamlah nilai dimana pemuda tidak hanya
sebagai generasi penerus bangsa, tetapi sekaligus pemersatu bangsa. Di era
modern seperti sekarang ini dimana teknologi berkembang tinggi, membutakan
pemuda akan wawasan nusantara. Pemuda merupakan aspek krusial, ia juaga
merupakan elemen strategis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi
kemerdekaan. Di periode pergerakan nasional ada lima karekteristik
kepemimpinan kaum muda di Indonesia (Hasibuan :25) :
1. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu diliputi dengan
keinginan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
2. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu bereksperimen
dengan berbagai ideologi yang berkembang saat itu. Pergerakan nasional
arus ideologi mengalir mempengaruhi pola pikir kaum muda saat itu,
seperti ideologi reformis Islam oleh Natsir, ideologi nasionalisme oleh
Soekarno, ideologi komunis oleh Tan Malaka dan masih banyak lainnya.
-
13
3. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, juga lebih banyak
menampilkan watak radikalisme dari pada koorporatif.
4. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu menampilkan
wajah koorporatif dengan berbagai perbedaan ideologi, apabila memiliki
tujuan yang sama untuk kemerdekaan Indonesia.
5. Kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional, selalu memiliki cetak
biru (blue print) Indonesia masa depan.
Pada saat itu seperti Jong Java tidak turut langsung ke politik akan tetapi
diberi kebebasan untuk berpolitik. Perlu diingat kembali bahwa para pemudalah
yang menculik Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat
kemerdekaan kaum muda juga menyoroti kebijakan pemerintah tentng kenaikan
bensin, namun tidak dihiraukan oleh pemerintah. Kaum muda lalu membentuk
gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Aksi tersebut berjalan tanggal 10
Januari 1966 dimana mahasiswa berdemontrasi memprotes kenaikan harga untuk
ditinjau kembali.
Keberadan KAMI dikhawatirkan karena mereka bukanlah dari kaum muda
akan tetapi mereka yang berumur 30 tahun dan bukan lagi mahasiswa. Tepatnya
mereka bukan mahasiswa berpolitik akan tetapi politikus yang memiliki kartu
mahasiswa. Banyak sekali pergelakan kaum muda ssat itu dan berakhir dengan
lengsernya jaman orde baru.
Memasuki era reformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie kaum muda juga
belum merasa terpuaskan. Tahun 2000-an kaum mda masuk kedalam organisasi
muda underbouw partai, seperti Barisan Muda PAN, Garda Bangsa PKB, Garda
-
14
Keadilan PKS, Pemuda Banteng PDIP. Hal yang menarik aktifis mahasiswa
beberapanya masuk kedalam anggota parlemen (sebagian terpilih dalam Pemilu
2004). Hingga saat ini banyak sekali kaum muda yang terjun langsung ke dunia
politik. Belum lama ini di salah satu program talk show Mata Najwa edisi “Pilih
lah Aku” tanggal 19 Januari 2014, merupakan caleg dari kaum muda yang
usianya relatif dini.
E.4. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan tajdid (pembaharuan) atau gerakan
reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu
organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana
yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus membersihkan berbagai
amalan umat yangmenyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik,
maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah memiliki tugas
menegakkan amal ma’ruf nahyi munkar yaitu menegakkan kebenaran dan
mencegah kemunkaran.
Muhammadiyah memiliki amal usaha yang bergerak dalam pendidikan,
kesehatan, dan umat usaha lainnya yang bergerak demi pelayanan masyarakat.
Muhammadiyah adalah gerakan islam yang modern tanpa mazhab dan hanya
berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah. Konsep surat Al-Maun sebagai basis
gerakan Muhammadiyah dengan Ahmad Dahlan sebagai pelopornya. Hal ini
menjadi spirit untuk menjadi organisasi islam yang sangat populis, kerakyatan dan
bukan borjuis.
-
15
E.5. Politik Muhammadiyah
Muhammadiyah memang menyatakan tidak memiliki keterikatan politik
dengan partai politik manapun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan
warganya untuk memilih dalam pemilihan umum. Muhammadiyah konsisten
memperjuangkan aspirasi politik Muhammadiyah, maka kemudian Tanwir
Pemuda Muhammadiyah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan memutuskan untuk
mencoba membentuk partai politik alternatif bagi anggota persyarikatan
Muhammadiyah (Cahyono, Imam. 2004. Menimbang Partai Alternatif
Muhammadiyah. http://www.islamlib.com/. Diakses pada tanggal 09/03/2014)
Muhammadiyah tidak alergi dengan aktivitas politik baik yang bersifat low
politics dalam bentuk struggle of power atau juga yang bersifat high politics
dalam bentuk pejuangan politik yang berorientasi pada tujuan-tujuan moral
(Syafii Maarif; 200). Dalam konteks struggle of power menurut Haedar Nashir
(2000 :36) ada tiga pola perjuangan politik Muhammadiyah adalah
1) Langsung membidani kelahiran partai-partai politik, dalam pola ini
Muhammadiyah secara kelembagaan ikut serta secara aktif dalam
membidani kelahiran partai politik dan juga menggerakkan roda partai
politik. Saat itu KH. Mas Mansyur, ketika Muhammadiyah menjadi
anggota istimewa Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), begitu
juga ketika Muhammadiyah ikut membidani kelahiran Partai Muslim
Indonesia (Parmusi).
2) Keterlibatan secara personal dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, hubungan
yang terbangun adalah hubungan emosional. Pola kedua ini yang paling
-
16
sering terjadi dalam perserikatan Muhammadiyah, mulai dari generasi
awal Muhammadiyah yang terlibat aktif di MIAI (Majlisul Islam A'la
Indonesia), PII (Partai Islam Indonesia) dan sebagainya sampai masa
Amien Rais, yang telah mengokohkan hubungan emosional antara warga
Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional PAN.
3) Hubungan yang betul-betul netral, dimana semua unsur persyarikatan
harus menjaga jarak yang sama dengan kelompok-kelompok kepentingan
politik yang ada. Pola ketiga muncul dalam Muktamar Muhammadiyah
tahun 1971 di Ujung Pandang.
Ketiga pola di atas sesungguhnya bisa dijadikan pijakan awal untuk
memetakan seperti apa politik Muhammadiyah dalam pandangan warga
persyarikatan. Kelompok yang berusaha menjaga jarak sedemikian rupa dengan
proses low politics ini kemudian mengidentitas dalam kelompok Muhammadiyah
cultural, yang di dalamnnya bercokol tokoh-tokoh intelektual dan budayawan
Muhammadiyah. Kelompok ini melihat Muhammadiyah akan kehilangan
vitalitasnya dalam peran sosial kemasyarakatan jika harus memaksakan diri untuk
melakukan struggle of power.
Kelompok kedua merupakan kelompok yang berusaha mencari jalan
tengah, yaitu kelompok yang merasa Muhammadiyah sangat perlu memiliki
saluran aspirasi politik, tapi tidak dengan serta merta menempatkan
Muhammadiyah terikat dengan satu atau beberapa kelompok kepentingan.
Kelompok inilah yang kemudian menganggap aspirasi politik Muhammadiyah
bisa disalurkan melalui kader-kadernya yang ada di partai-partai politik.
-
17
Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang menginginkan Muhammadiyah
aktif melakukan perjuangan politik pada tingkat low politics untuk kepentingan
mewujudkan aspirasi politik perserikatan. Kelompok ketiga ini beranggapan
Muhammadiyah akan sulit merealisasikan aspirasi politik jika hanya
mengandalkan hubungan emosional dengan partai politik, Muhammadiyah harus
berani membentuk partai politik.
Jelaslah bahwa Muhammadiyah ikut andil dalam kegiatan politik
walaupun didalamnya terdapat pro kontra. Keterlibatan Muhammadiyah dalam
politik tidak lain adalah untuk politik Indonesia. Indonesia membutuhkan pilar
politik yang bersih untuk kemajuan negaranya dan kesejahtraan Masyarakat
disegala bidang, sesuai dengan tujuan gerakan Muhammadiyah didirikan.
E.6. Nahdatul Ulama (NU)
Nahdatul ulama merupakan oraganisasi Islam terbesar di Indonesia.
Organisasi ini pertama dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asyhari. Dari istilah
Nahdatul Ulama dapat diartikan sebagai kebangkitan ulama atau kebangkitan
cendekiawan Islam. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926. Berdirinya NU
bertujuan untuk membedakan dan melindungi praktik keagamaan muslim
Indonesia dari praktik pemikiran keagamaan Timur Tengah. Nahdatul Ulama
(NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim
naqli (skripturalis). Tujuan organisasi NU menegakkan ajaran islam menurut
paham ahlussunnah wal jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di
-
18
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa usaha
organisasi yaitu :
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah islamiyah dan meningkatkan
rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam
perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi
luhur, berpengetahuan luas.
3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta
kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk
menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya
ekonomi rakyat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum
penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam
NU.
-
19
E.7. Politik Nahdatul Ulama (NU)
NU memiliki tiga model politik yaitu, politik kenegaraan, politik
kerakyatan dan politik kekuasaan. Bagi NU politik kekuasaan atau yang bisa
disebut dengan politik praktis merupakan tataran politik yang paling rendah
karena politik ini cendrung mengakibatkan perpecahan. NU dalam sebagian
kalangan beranggapan bahwa politik kenegaraan dan politik kerakyatan akan
meraih politik kekuasaan. Pada awal masa berdirinya NU belum bersinggungan
langsung dengan politik kenegaraan. Pasca kemerdekaan Indonesia NU mulai
bersentuhan dengan politik kenegaraan atau politik kebangsaan. NU meletakkan
komitmen kenegaraan diatas segala-galanya karena NU menyadari bahwa
eksistensi negara adalah hal utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai
denga Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Politik kerakyatan dan politik kenegaraan merupakan konsep politik yang
paling ideal bagi NU karena berorientasi pada kebaikan umum (mashlahah
‘ammah). Pada akhirnya NU tidak mampu mempertahankan kedua politik ini
karena godaan politik kekuasaan baik dari golongan NU itu sendiri maupun dari
golongan luar NU. Banyak pintu masuk yang dapat digunakan untuk lewat. Jika
tidak lewat struktur NU maka bisa lewat pintu kultur NU. Bila tokoh-tokoh NU
masuk kedalam politik praktis maka akan mendapat dorongan baik dari masing-
masing pintu. Hal tersebut diawali dengan sebagai penyangga Masyumi tokoh-
tokoh NU terlibat dalam kekuasaan jabatan baik didalam maupun diluar partai.
Menurut Greg Fealy, tujuan politik NU saat menjadi parpol ialah : 1) penyaluran
dana pemerintah terhadap NU, 2) mendapat peluang bisnis, 3) menduduki jabatan
-
20
irokrasi (Greg Fealy, Ijtihat Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. LKIS :
Yogyakarta 2003). Saat inilah kinerja NU terpuruk. NU kemudian menjadi
penyokong utama PPP, yang menunjukan bahwa NU mengutamakan orientasi
kepada politik kekuasaan dan saat itulah NU dicurangi. NU akhirnya memutuskan
untuk kembali seperti tahun 1926 dimana berorientasi pada jam’aah serta
jam’iyyah. Pada akhirnya NU kembali kepada Politik kekuasaan dengan gaya
yang bereda. Hal tersebut dilakukan dengan cara dicalonkannya KH.
Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI pada tahun 1999 dan KH. Hasyim
Muzadi oleh PDI-P untuk wakil Presiden RI 5 Juli 2004.
Jawa Timur sebagai basis NU kurang beruntung, justru di wilayah ini NU
belum mampu menempatkan kader-kadernya untuk jabatan politik, seperti
bupati/wakil bupati dan wali kota/wawali kota. Dan yang sesungguhnya
merisaukan adalah karena kekalahan tersebut disebabkan oleh pudarnya soliditas
warga NU dalam kompetisi politik. Tokoh NU masuk lewat pintu berbeda. Dan
variasi pintu masuk tersebut juga memperoleh dukungan dari elit-elit NU.
Perbedaan suara warga NU tersebut kemudian bisa dimanfaatkan secara jitu oleh
kompetitor politiknya.
-
21
E.8. Berita Televisi
Imaji media menajamkan kita tentang berbagai persoalan dunia. Kita harus
pintar memilih apa saja berita yang dapat berdampak positif maupun negatif.
Kisah-kisah media memberikan berbagai cerita, karena itulah media merupakan
tempat membangun kultur dan tempat kita untuk memasuki kultur baru. Media
selalu mendemontrasikan siapa kuat, siapa lemah, siapa yang berkuasa dan siapa
yang tidak. Bagi si penguasa memiliki kekuatan untuk menjalankan segala
niatnya, tidak menutup kemungkinan televisi sebagai media massa merupakan alat
terampuh untuk mempengaruhi khalayaknya. Santana K (2007 : 139) mengatakan,
bahwa media kerap menjadi sumber pedagdogis ia mempengaruhi edukasi kita, ia
mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana memikirkannya,
merasakannya, meyakininya, dan menyemangatinya. Banyak pemberitaan televisi
yang mengajak masyarakat Indonesia untuk pandai memilih dan jangan terjebak
akan janji-janji politik. Bangsa Indonesia tentunya ingin kearah yang lebih maju.
Hal yang perlu dikhawatirkan yaitu pemberitaan di televisi yang masih umum
ditonton oleh beberapa kalangan dapat menjadi influence terbesar dalam
menentukan pilihan. Alih-alih pengaruh tersebut dilakukan oleh aktor politikus
yang berkompeten lalu bagaimana bagi aktor politik yang hanya mengejar
pencitraan dan kekuasaan?
Di televisi banyak sekali iklan politik yang disiarkan mendekati pemilu.
Mendekati pilpres beberapa nama yang sering disebut antara lain Aburizal Bakrie,
Surya Paloh, Wiranto, Hatta Rajasa, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Hary
Tanoesoedibjo, Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD,
-
22
Puan Maharani, Rhoma Irama dan masih banyak lagi. Nama-nama tersebut ada
yang sudah mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakilnya menuju RI 1
dan ada pula menjadi calon presiden wacana. Calon presiden wacana yang sering
diberitakan ditelevisi sebagian merupakan hasil poling masyarakat. Jokowi
diantaranya salah satu aktor politik yang sering disorot oleh media. Televisi
banyak memberitakan kinerja Jokowi. Televisi bersinggungan secara lebih
langsung dan memainkan peran pembentukan dan formatif dalam kaitan dengan,
ideologi populer, praktis para audiens.
Philip Elliott mengungkapkan bahasa bagaimana audiens menjadi sumber
dan sekaligus penerima pesan televisi. Jurnalisme dalam televisi tampak dijadikan
semacam pengeras suara yang dengannya ide-ide berlaku umum diperkuat dan
diterapkan secara umum di segenap kawasan formasi sosial. Alam pemberitaan
televisi terjadi kesatuan yang kompleks terjalin atara deskripsi fakta yang
dihasilkan televisi dan deskripsi premier tentang fakta yang terbentuk dalam
formasi sosial sebagai kejelasan presentasi visual dominan terkadang hegemonik
tentang antagoisme politik ekonomi.
Pemberitaan di televisi disusun sedemikian rupa dengan penentuan topik-
topik oleh praktik jurnalisme televisi, dibuat tampak sebagai pemahaman yang
paling baik tentang fakta-fakta, oponi publik yang diperkuat dengan presentasi
visual. Terkadang audiens hanya dijadikan saksi atas, tetapi bukan sebagai peserta
dalam, perebutan dan adu pendapat tentang pelbagai isu. Televisi kini menjadi
alat penyusun agenda dalam lingkup opini publik. Televisi tanpa sengaja
memainkan peran untuk menarik perhatian publik dalam membentuk pemahaman
-
23
tentang situasi politik. Peran tersebut dikelompokan dalam 1) penentuan isu yang
akan memasuki lingkup kesadaran publik dan diskusi publik, 2) penentuan atasan
termasuk didalamnya isu-isu yang akan didiskusikan, 3) menetukan siapa yang
akan berbicara tentang topik yang telah dipilih, 4) mengelola dan mengontrol
perdebatan dan diskusi yang akan terjadi. Mendekati pemilu presiden banyak isu
tentang calon-calon yang secara tidak langsung terpilih dalam berbagai polling,
baik di media televisi itu sendiri maupun media sosial yang telah banyak
dilakukan penelitian tentang percakapan calon presiden yang potensial. Jokowi
merupakan isu publik yang terbanyak sebagai calon presiden yang berpotensi dan
ini pula yang menjadi diskusi publik. Kemudian isu kinerjanya banyak tercuat
ditelevisi hingga akhirnya diapun muncul untuk diwawancarai tentang kinerjanya
tokoh disalah satu program televisi seperti pada TV ONE tanggal 22 Januari edisi
100 Hari Jokowi+Ahok. Televisilah yang menjalankan peran sebagai pengontrol
akan pro kontranya Jokowi sebagai calon Presiden.
Televisi memberikan liputan tentang pemilu dan peristiwa politik, dalam
pemberitaannya televisi menunjukan kemungkinan bahwa independensi yang
lemah karena khalayak media tidak punya liputan televisi tentang pemilu, tetapi
punya pemilu televisi.
-
24
E.9. Resepsi Pesan
Audiens terdiri dari beberapa komunitas yang memiliki nilai-nilai,
gagasan, dan ketertarikannya sendiri. Makna informasi yang ada di media
ditafsirkan secara sosial dalam kelompoknya, dan individu lebih dipengaruhi oleh
orang sekitarnya dari pada media itu sendiri. Makna pesan tidak ditanggapi secara
pasif, masyarakat bertindak seperti yang mereka lihat. Makna pesan yang terdapat
di media tidak pernah ditentukan individu, melainkan ditafsirkan secara komunal.
Hal tersebut tergantung individu tersebut tergabung dalam keanggotaan secara
turun-temurun.
Peran aktif khalayak di dalam memaknai teks media dapat terlihat pada
premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall (2011:213) yang
merupakan dasar dari analisis resepsi. Ada 3 kategorisasi encoding/decoding
menurut Stuart Hall, yaitu :
1. Dominant-Hegemonic Position.
Yaitu, audience TV mengambil makna yang mengandung arti dari
program TV dan meng-dekode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud
(preferred reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya
pemahaman yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan
komunikator dan komunikan sama, langsung menerima.
2. Negotiated Position.
Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah
didefinisikan dan ditandakan dalam program TV. Audience bisa menolak
bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain.
-
25
3. Oppositional Position.
Yaitu, audience membaca kode atau pesan yang lebih disukai dan
membentuknya kembali dengan kode alternatif. Dalam bentuk ekstrem
mempunyai pandangan yang berbeda, langsung menolak karena
pandangan yang berbeda.
Dalam kelompok intrepretif (interpretive communities), masing-masing
dengan pemaknaanya sendiri tentang apa yang dibaca apa yang dilihat, dan
didengar. Karena hasil konsumsi media bergantung pada susunan budaya dari
berbagai komunitas.
Individu memiliki kesadaran tentang keuntungan berpartisipasi secara
personal dalam dan dengan kelompok termasuk kedalamnya terlibat gaya hidup
atau bentuk budaya yang khas. Hall menjelaskan dalam karyanya tentang cultural
studies (2011:194-195) yaitu :
a. Media tidak hanya berpengaruh langsung. Media berperan sebagai pemicu
kerangka berfikir dapat mendefinisikan sebagai peran ideologis media.
Media sebagai kekuatan kultural dan ideologis yang besar, berada dalam
posisi dominan dalam kaitannya dengan cara berbagai relasi sosial dan
permasalahan politik didefinisikan dengan cara bagaimana pembentukan
dan transformasi ideologi populer dalam diri audiens.
b. Pertentangan atas teks media sebagai pembawa makna yang transparan
sebagai pesan. Pada dasarnya pesan yang disampaikan mengandung unsur
ideologis dan kesaling keterkaitan .
-
26
c. Pemutusan atas konsepsi audiens pasif yang seragam yang dipengaruhi
oleh media. Di era ini audiens lebih aktif dalam konsepsi, pembacaan, dan
konsepsi hubungan antara acara pesan media itu dikodekan .
d. Peran yang dimainkan media dalam menyebarluaskan dan membuat aman
pelbagai definisi dan representasi ideologis dominan kedalam agenda
pembicaraan.
Media saat ini berperan menyusun peran dalam sirkulasi definisi sosial
dominan dan, produksi media berfokus pada komunikasi politik. Media terjebak
dalam berbagai permasalahan dalam penyiarnnya yang muncul baik dari upaya
untuk memahami bagaimana media memainkan peran ideologis dalam masyarakat
maupun dari pengonsepsian hubungan kompleks media itu dengan kekuasaan.
Sekarang media sangat erat kaitannya dan membangun relasi yang kompleks
antara, media, politik dan masyarakat.
Teks mengkonstruksi berbagai posisi subjek tentang kritik yang
menyeluruh terhadap realisme, mode naratifnya. Individu memiliki ideologis,
yang menurut Althusser merupakan sebuah representasi tentang relasi imajiner
individu dengan kondisi real keberadaan mereka (Hall 2011 : 203).
Veron (dalam Hall 2011:209) menjelaskan bahwa ideologi adalah level
penandaan yang melakukan pengoprasiannya melalui konotasi. Ideologi dalam
diri individu melampaui dan melibatkan keseluruhan semesta tanda denotatif dan
konotatif. Bentuk pesan adalah bentuk yang nampak dan dibutuhkan dari suatu
peristiwa dalam peralihannya dari sumber ke penerima. Kumpulan makna yang
dikodekan memiliki efek, mempengaruhi, menghibur, mengajari, merayu, dengan
-
27
konsekuensi tingkah laku, ideologis, emosional, kognitif, persepsi indrawi yang
sangat kompleks. Kondisi persepsi adalah hasil dari sebuah pengoprasian yang
ada dalam kode, sekalipun secara tak sadar.
F. Metode Penelitian
F.1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Nasution (2003:5) penelitian kualitatif adalah mengamati
orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat
mereka tentang dunia sekitar. Dalam penelitian ini peneliti akan menafsirkan
resepsi dari subjek peneliti dalam memaknai pemberitaan televisi model
Kepemimpinan Jokowi.
F.2. Tipe Dasar Penelitian
Tipe dasar penelitian yaitu deskriptif eksploratif yang bertujuan berusaha
menggambarkan dan mencari ide-ide atau hubungan-hubungan peristiwa-
peristiwa kecil yang terjadi di lingkungan penonton dengan konteks sosial budaya
yang sedang terjadi, dimana praktik menonton itu berlangsung serta
menghubungkan pengalaman menonton dengan pengalaman lain dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Peneliti mencari hubungan variabel atau hasil
penelitian yang bersumber dari subjek penelitian. Menurut Irawan (2007:101)
“metode eksploratif adalah penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data-
-
28
data awal tentang sesuatu”. Penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif
bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena (Arikunto: 1989).
F.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dua tempat yaitu :
1. Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) cabang Kota Malang
yang merupakan tempat dari Pemuda Muhammadiyah dan strukturnya.
PDM Kota Malang belokasi di Jl. Gajayana 28b, Kota Malang
2. Kantor Majelis Wakil Cabang (MWC) NU yang juga merupakan kantor
Gerakan Pemuda Ansor, Kota Malang yang bertempat di JL. KH Hasyim
Asyhari 21, Kota Malang.
Adapun waktu penelitian dilakukan pada tanggal 24 Maret – 15 April
2014.
F.4. Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan untuk mendeskripsikan bagaimana resepsi
organisasi pemuda di Kota Malang (Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan
Pemuda Ansor) dalam menanggapi model kepemimpinan Jokowi pada program
berita Kabar Khusus dengan tema 100 hari Kepemimpinan Jokowi-Ahok di TV
ONE.
F.5. Subjek Penelitian / Informan
Moleong (2010: 132) mendeskripsikan subjek penelitian sebagai informan,
yang artinya orang pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan
-
29
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam penelitian ini
digunakan purposive sampling dalam menentukan subjek peneliti. Purposive
sampling adalah taknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu tentang apa apa yang diharapkan
sehingga mempermudah peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang yang
sedang diteliti (Sugiyono 2008:218).
Dalam penelitian kualitatif tidak ada jumlah patokan baku tentang berapa
informan diperlukan, karena yang menjadi patokan adalah informasi yang
didapatkan dan dapat menjawab permasalahan penelitian. Sama halnya dengan
analisis resepsi yang tidak mematok berapa jumlah informan yang diperlukan,
karena informan dilihat dari latar belakangnya bisa saja dari kalangan kaaryawan,
birokrat, pengangguran dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis menentukan
kriteria-kriteria yang dapat menjadikan dasar utama dalam pemilihan informan
yaitu :
1. Tingkat pendidikan. Dalam penelitian analisis resepsi tingkat
pengetahuan dan pendidikan akan membedakan informan dalam
menjawab pertanyaan dari penulis. Dalam kriteria ini penulis memilih
lagi informan kedalam tiga jenjang pendidikan.
2. Pernah menonton televisi setidaknya tentang pemberitaan Jokowi.
Menjadi lebih penting ketika informan telah menonton program “Kabar
Khusus” di TV ONE Edisi 22 Januari 2013 tentang 100 Hari
Kepemimpinan Jokowi+Ahok. Dalam program tersebut terdapat
gambaran kepemimpinan Jokowi setelah 100 hari memerintah Jakarta.
-
30
3. Memiliki peran strategis dalam organisasi dimana posisi informan
mengetahui banyak hal, yang akan berguna untuk jawaban-jawaban
yang diberikan.
4. Kesediaan untuk menjadi informan. Dalam penelitian ini jelas
dibutuhkan waktu informan untuk memberikan informasi dalam
wawancara. Waktu yang dibutuhkan dalam mewawancarai informan
cukup lama yaitu sekitar 20-60 menit. Dibutuhkan informan yang
memiliki waktu untuk wawancara sebelum batas waktu selesainya
penelitian yang ditentukan oleh penulis. Hal ini dimaksudkan agar
penelitian tentang model kepemimpinan Jokowi ini tidak kadaluarsa
mengingat pemilihan Presiden akan dilakukan pada Juli 2014.
F.6. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer, yaitu data yang berkaitan langsung dengan subjek penelitian.
Data primer ini diperoleh dari wawancara dengan informan dan pihak-pihak lain
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Wawancara atau percakapan
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan pewawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moloeng, 2010: 186). Pencatatan sumber data primer melalui
wawancara, serta pengamatan merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat,
mendengar, dan bertanya. Hasil interview akan digambarkan dalam bentuk tulisan
-
31
dan kritik. Dalam penelitian ini peneliti akan mewawancarai fungsionaris Pemuda
Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor sebagai subjek penelitian.
2. Data Sekunder
Data penunjang yang didapat dari sumber tertulis yaitu studi kepustakaan,
baik berupa buku, majalah, dokumen, laporan, catatan, dan sumber tertulis lainnya
maupun penelitian sebelumnya.
F.7. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini untuk analisis data kualitatif yang dipakai adalah
analisis resepsi. Terdapat elemen dalam reception analysis, yaitu mengumpulkan
data, menginterpretasikan data dan preferred reading. Penjelasannya yaitu :
1. Mengumpulkan data berupa pesan, kata, frasa, maupun kalimat yang
diungkapkan oleh audiens, yakni dengan wawancara (Jensen dalam
Jensen dan Jankowsky: 1993, 139-140)
2. Menginterpretasikan pengalaman/penerimaan audiens tentang media
yang didapatkan dari hasil wawancara. Data hasil dari wawancara
dibuat transkrip, kemudian di buat kategorisasi berdasarkan tema-tema
yang muncul pada pemaknaan yang dilakukan subjek penelitian (makna
yang dimunculkan) (Hall 2011 : 220).
3. Tema-tema yang muncul dibandingkan dengan preferred reading untuk
kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kelompok pemaknaan;
dominant reading, oppositional reading dan negotiated reading. (Hall
2011 : 226)
-
32
F.8. Teknik Keabsahan Data
Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek
penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2010: 117).
Pada penelitian ini uji validitas yang digunakan peneliti adalah triangulasi data.
Triangulasi ditempuh peneliti melalui beberapa cara, yaitu:
1. Menggunakan bahan referensi, yaitu pembuktian data yang di temukan
oleh peneliti, misalnya dapat berupa rekaman. Dalam penelitian ini
untuk mendapatkan hasil analisa peneliti melihat ulang video rekaman
dari setiap informan
2. Member check, adalah pengecekan data yang dilakukan oleh peneliti
kepada subjek penelitian atau narasumber. Peneliti melakukan
beberapa kali wawancara contoh salah satunya peneliti kembali
menemui Informan Sarbini dari bagian Gerakan Pemuda Ansor untuk
kejelasan struktural keanggotaan Gerakan Pemuda Ansor.
3. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dengan pandangan orang seperti dengan rakyat biasa,
ataupun orang yang berpendidikan. Dalam hasil penelitian ini peneliti
membandingkan jawaban dari masing-masing informan yang berbeda
latar belakang.
4. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang
berkaitan. Peneliti juga memasukan data yang berkembang mengenai
isu tentang Jokowi.