bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teknologi penghijauan yang sedang berkembang saat ini, membuat banyaknya
pemanfaatan bahan-bahan ramah lingkungan untuk mengurangi masalah
lingkungan yang terjadi, sehingga banyak dilakukan penelitian untuk pemanfaatan
bahan organik dan mengurangi konsumsi bahan kimia termasuk obat-obat kimia.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan faunanya, sehingga lebih
banyak tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat alami. Indonesia
memiliki kurang lebih 30.000 jenis tumbuhan di dalam hutan hujan tropisnya, yang
diantaranya berkhasiat sebagai obat ada sekitar 9.600 jenis tumbuhan dan ada
sekitar 200 jenis dari tanaman berkhasiat obat tersebut adalah tumbuhan obat
penting bagi industri obat tradisional (Sriningsih & Agung, 2006).
Masyarakat sekarang ini lebih memilih obat tradisional yang dinilai lebih aman
untuk mengobati penyakitnya. Meskipun sebenarnya obat tradisional tetap
memiliki efek samping, hanya saja lebih rendah dan terjadi jika penggunaannya
kurang tepat. Penggunaan yang kurang tepat ini, mengakibatkan kurang optimalnya
penyembuhan yang didapatkan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang
diterima masyarakat tentang obat tradisional tersebut (Anggraini, 2008).
Angkak merupakan hasil fermentasi beras dengan kapang Monascus purpureus.
Hampir semua jenis beras dapat digunakan sebagai substrat, begitu juga beras
merah yang memiliki tekstur yang lebih kenyal, nutrisi dan mineral yang
terkandung juga lebih banyak dibandingkan beras putih (Wanti, 2008). Angkak
1
2
sebagai obat tradisional di Cina sering digunakan untuk mengobati penyakit saluran
cerna, luka otot, disentri, penurun kolesterol, antraks. Angkak dapat meringankan
kerja dari lambung serta memperkuat fungsi limpa (Chen & John, 1993).
Uji toksisitas pada angkak yang diinjeksikan secara intraperitoneal pada tikus
putih menunjukkan nilai LD50 7 gram/kg BB. Sedangkan uji toksisitas subakut tidak
menunjukan gejala yang abnormal pada organ hewan uji. Angkak yang dikonsumsi
dengan dosis 18 gram/kg BB secara oral tidak menyebabkan kematian dan tidak
menyebabkan keracunan (Danuri, 2009).
Selain angkak, kayu manis juga telah digunakan sebagai obat tradisional. Kayu
manis memiliki fungsi sebagai antibakteri, antioksidan, dan kayu manis dapat
meningkatkan kadar kolesterol HDL (Larasati et al., 2011). Oleh karena itu,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memproduksi sediaan uji penurun
kolesterol yang terbuat dari ekstrak angkak 20,00%; ekstrak kayu manis 11,76%
dan saccharum lactis.
Obat tradisional yang dibuat dari bahan alami juga memiliki efek samping. Efek
samping dapat dikurangi jika digunakan secara tepat. Tepat bahan, tepat dosis, tepat
cara penggunaan, tepat waktu penggunaan, tepat telaah informasi, tepat pemilihan
obat untuk indikasi tertentu, serta tidak adanya penyalahgunaan dapat menurunkan
efek samping obat alami tersebut (Sari, 2006).
Angkak dan kayu manis semakin berkembang penggunaannya dan banyak
digunakan sebagai obat untuk kepentingan medis. Tetapi belum banyak penelitian
lebih lanjut mengenai toksisitas dari angkak. Penggunaan angkak untuk berbagai
keperluan harus diteliti toksisitasnya terutama pengaruhnya terhadap metabolisme
3
di dalam tubuh. Obat yang akan dikonsumsi oleh manusia harus aman apalagi jika
obat digunakan dalam jangka panjang (Pratiwi, 2006). Obat herbal terstandar harus
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik.
Bahan baku serta produk jadinya telah distandarisasi (Anonim, 2005).
Berdasarkan banyaknya alasan yang telah dipaparkan tadi, maka penting untuk
mengetahui keamanan dari produk yang akan dijual dan dikonsumsi oleh
masyarakat termasuk sediaan campuran angkak dan kayu manis. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji toksisitas akut campuran angkak dan kayu manis yang
dilakukan secara peroral terhadap tikus putih galur Sprague Dawley dengan metode
OECD 423, sehingga diharapkan dapat diperoleh data dan fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1. Berapakah kisaran nilai potensi ketoksikan akut oral (LD50) sediaan uji penurun
kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD?
2. Apa sajakah gejala toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji penurun
kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD?
3. Berapakah luas spektrum efek toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji
penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan
galur SD?
4
C. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai potensi ketoksikan akut sediaan
uji penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan
galur SD. Penelitian ini melihat gejala toksik yang muncul selama pemejanan dan
pengaruhnya terhadap organ-organ hewan uji yang nantinya dapat menjadi
kewaspadaan manusia akan efek samping yang mungkin juga dapat muncul pada
manusia.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui :
1. Kisaran nilai potensi ketoksikan akut oral (LD50) sediaan uji penurun kolesterol
campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD.
2. Gejala toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji penurun kolesterol
campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD.
3. Luas spektrum efek toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji penurun
kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD.
E. Tinjauan Pustaka
1. Angkak
Angkak adalah hasil fermentasi beras merah dengan kapang Monascus
purpureus. Berdasarkan sejarah angkak berasal dari Cina yang dikenal sebagai
salah satu bahan obat-obatan Cina. Angkak dikenal dengan sebutan yang berbeda-
beda di beberapa negara, seperti di Jepang dikenal dengan ang-khak, beni, koji atau
5
red koji, sedangkan di Cina angkak dikenal dengan zhi tai yang berarti angkak
dalam bentuk tepung kering, xue zhi kang yang berarti angkak telah diekstrak
dengan alkohol (Bakosova et al., 2001; Chen & John, 1993).
Klasifikasi dari Monascus purpureus, adalah sebagai berikut :
Divisio : Amastigomycotina
Sub divisio : Ascomycotina
Classis : Ascomycetes
Sub Classis : Plectomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus : Monascus
Spesies : Monascus purpureus (Wanti, 2008).
Sediaan uji penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1. Sediaan uji penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis
6
Substrat yang sering digunakan untuk pembuatan angkak adalah beras. Hampir
semua varietas beras dapat dijadikan angkak. Semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, sekarang ini dapat digunakan gandum, oat, dan jagung
sebagai substratnya. Salah satu varietas beras yang digunakan dalam pembuatan
angkak adalah beras merah. Beras merah memiliki rasa seperti kacang dan lebih
kenyal dibandingkan beras putih. Nutrisi dalam beras merah juga lebih banyak,
begitu juga jumlah magnesium, mineral mangan, kaya akan serat dan asam lemak,
untuk mencegah sembelit, diet, memiliki asam amino dan GABA (Gamma-
aminobutyric acid) (Wanti, 2008).
Kandungan kimia yang terdapat dalam angkak adalah monakolin K,
dihidromonakolin, asam lemak tak jenuh yang berupa asam oleat, asam linoleat,
asam linolenat, serta vitamin B kompleks. Angkak juga mengandung komponen
sterol seperti betasitosterol, campesterol, stigmasterol, sapogenin, dan isoflavon.
Kandungan mineral yang ada dalam angkak adalah selenium, seng dan magnesium
(Tisnadjaja, 2006).
GABA yang terkandung dalam angkak menyebabkan penurunan tekanan darah
pada tikus yang diikuti dengan kenaikan tekanan darah secara spontan (Eisenbrand,
2006). Angkak juga mengandung asam dimerumat yang memiliki kemampuan
antioksidan dan radical scavenging action terhadap –OH dan O2- yang dapat
menghambat ROS akibat adanya stress oksidatif pada proses inflamasi (Aniya et
al., 2000).
Angkak digunakan untuk kepentigan bahan pangan maupun sebagai obat di
Cina. Secara tradisional, angkak digunakan untuk pengobatan penyakit saluran
7
cerna, luka otot, disentri, penurun kolesterol, antraks. Angkak dapat meringankan
kerja dari lambung serta memperkuat fungsi limpa (Chen & John, 1993). Angkak
dapat memperbaiki sirkulasi darah dan menurunkan kadar kolesterol sebesar 11-
32% dan kadar trigliserida sebesar 12-19%. Oleh karena itu, angkak digunakan
dalam program diet, untuk mencegah penyakit jantung seperti jantung koroner,
serta mencegah aterosklerosis dan juga stroke. Angkak biasa digunakan dalam
pengobatan demam berdarah dengue karena dapat meningkatkan jumlah trombosit.
Angkak juga digunakan sebagai obat asma, mabuk laut, dan luka memar (Wong &
Koehler, 1981).
Angkak dalam bahan makanan sering digunakan sebagai pewarna makanan
karena mengandung beberapa pigmen, yaitu rubropunktatin dan monaskorubrin
(merah), monaskin dan anklaflavin (kuning), rubropunktamin (ungu) (Maolinag et
al., 2001; Suwanto, 1985). Produksi pigmen ini dipengaruhi oleh tipe substrat yang
digunakan dan kondisi pH, temperatur serta kadar air selama proses pembuatan
(Carvalho et al., 2005).
Angkak dilaporkan mengandung citrinin 0,2-1,71 µg/g, yang dikenal sebagai
mikotoksin monascidin A diduga dapat merusak ginjal dan hati (Sabater-Vilar et
al., 1999). Citrinin memiliki efek antibiotik dan antibakterial yang telah diujikan
pada bakteriofage, sarcomas, protozoa, sel-sel binatang, dan sel-sel tanaman tingkat
tinggi (Carvalho et al., 2005).
Ada beberapa penelitian mengenai ketoksikan dari angkak, menurut
Steinkrauus yang terdapat dalam penelitian Danuri (2009), angkak yang
diinjeksikan secara intraperitoneal pada tikus putih menunjukkan nilai LD50 7
8
gram/kg BB. Uji toksisitas subakut pada angkak tidak menunjukkan gejala yang
abnormal pada organ hewan uji. Menurut Su dan Wong, angkak yang dikonsumsi
dengan dosis 18 gram/kg BB secara oral tidak menyebabkan kematian dan tidak
menyebabkan keracunan yang dilihat dari uji kecepatan pertumbuhan, efisiensi
protein, DNA dan RNA (Danuri, 2009).
Beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2006), yang bertujuan
untuk menentukan toksisitas akut angkak pada tikus jantan galur SD dan
dilanjutkan dengan analisis biokimiawi serta histopatologis organ hati dan ginjal.
Hasil penelitian tersebut tidak ditemukan adanya kematian hewan uji pada semua
perlakuan. Terdapat 5 kelompok dosis tunggal yaitu kontrol, 2.5 g/kg BB, 5 g/kg
BB, 10 g/kg BB dan 15g/kg BB. Pengamatan dilakukan sejak 24 jam sampai 5 hari
setelah perlakuan, kemudian hewan uji dikorbankan. Bobot tikus selama perlakuan
tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Gejala klinis hewan coba seperti nafsu
makan, keadaan mata, keadaan bulu dan tingkah laku tidak menunjukkan adanya
perubahan, tapi ada kelompok perlakuan yang fesesnya berwarna kemerahan. Hasil
histopatologis organ pada penelitian menunjukkan organ hati mengalami kongesti,
degenerasi lemak dan nekrosa. Organ ginjal mengalami akumulasi protein dan
nekrosa pada sel tubulusnya.
Menurut Indrawati et al (2010), serbuk angkak memiliki sifat larut air dan
etanol. Serbuk angkak stabilitasnya tidak dipengaruhi oleh suhu kamar, 30oC dan
40oC tetapi dipengaruhi oleh cahaya matahari dan lampu selama 9 minggu
penyimpanan.
9
2. Kayu Manis
Kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan tanaman asli Indonesia yang
termasuk salah satu jenis rempah-rempah dari kayu lunak penghasil minyak atsiri.
Tanaman ini banyak ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi,
dan Bengkulu. Tinggi tanaman dapat mencapai 15 m. Tangkai daun panjangnya
0,5-1 cm, memiliki warna merah pucat dan berbulu halus ketika masih muda
(Lindasari, 2013). Kayu manis menurut Rismunandar dan Paimin (2001), memiliki
taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Gymnospermae
Subdivisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas : Dialypetalae
Ordo : Policarpicae
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomun
Spesies : Cinnamomum burmannii.
Tanaman kayu manis (Cinnamomum burmannii) dapat dilihat pada gambar 2.
10
Gambar 2. Cinnamomum burmannii (Rismunandar &Paimin, 2001)
Komponen yang ada pada kayu manis adalah cynnamaldehyde, cinnamyl
acetate, eugenol, dan anethol. Unsur utamanya adalah Cinnamaldehyde. Kadarnya
pada kulit adalah 4%. Daunnya memiliki kadar minyak kira-kira 0,5%.
Cinnamaldehyde ditemukan paling berpotensi dalam menghambat bakteri yang
bersifat patogen. Kayu manis mengandung proanthocyanidins yang dapat
meningkatkan kesehatan saluran urin dan kesehatan jantung. Kandungan minyak
atsiri dari kayu manis berfungsi sebagai bahan pewangi dan penyedap. Minyak
atsiri memiliki efek menenangkan serta memiliki manfaat untuk kesehatan seperti
anti radang. Kayu manis juga berfungsi sebagai anti stress pada manusia dan
memiliki nilai antioksidan yang tinggi (Ravindran et al., 2004; Rusli, 2010).
Anderson et al (2004) menyatakan, pada ekstrak etanol Cinnamon terdapat
komponen utama yang disebut dengan procyanidin type-A polymers yang memiliki
fungsi sebagai antioksidan dan mempotensiasi aksi insulin.
Penelitian yang dilakukan oleh Larasati et al (2011), menyatakan bahwa
pemberian bubuk kayu manis dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL tikus
11
rattus norvegicus strain wistar jantan model diabetes melitus tipe 2. Dosis
pemberian bubuk kayu manis yang dinilai paling signifikan dalam meningkatkan
kadar kolesterol HDL adalah dosis 27 mg/hari.
Menurut Gunawan (2011), pemberian ekstrak kayu manis berpengaruh dalam
menghambat terjadinya degenerasi sel hepar pada mencit Balb/c yang diberi
parasetamol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antar perlakuan dosis kayu
manis, namun pada dosis 800 mg/kgBB menunjukkan terjadinya proses inflamasi
di hepar.
3. Toksikologi
a. Definisi toksikologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini semakin berkembang. Banyak
orang terpejan jenis bahan alami maupun bahan buatan manusia, sehingga
masyarakat semakin tertarik untuk mengenal dan mencegah efek buruk yang
ditimbulkan, karena pada keadaan tertentu pejanan ini berefek buruk bagi kesehatan
bahkan menyebabkan kematian (Lu, 1995). Menurut Donatus (2005), toksikologi
adalah ilmu tentang aksi berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologis.
Menurut Lu (1995), toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan
mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik
lainnya. Penelitian mendalam tentang efek toksikan dan mekanismenya itu sangat
berguna untuk menemukan penawar khusus dan upaya penanggulangan lainnya.
Menurut Hodgson & Levy (2004), toksikologi merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan racun. Racun sendiri didefinisikan sebagai
12
suatu zat yang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi organisme hidup apabila
terpejani, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Hal ini berarti bahwa dalam
toksikologi mempelajari antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa asing dengan
suatu sistem biologi atau makhluk hidup (Donatus, 2005).
b. Asas Umum Toksikologi
Faktor-faktor yang mempengeruhi timbulnya efek toksik disebut sebagai asas
umum toksikologi. Pemahaman atas asas umum toksikologi dapat digunakan untuk
mengevaluasi keberbahayaan suatu zat. Hasil evaluasi ini selanjutnya untuk
menentukan atau memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai atau
digunakan pada manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak
menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2010). Berdasarkan alur peristiwa timbulnya
efek toksik, terdapat empat asas umum yang perlu dipelajari dan dipahami dalam
toksikologi, yaitu kondisi pemejanan, kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi,
wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005).
1) Kondisi efek toksik
Kondisi efek toksik suatu senyawa merupakan berbagai keadaan atau faktor
yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi senyawa
tersebut di dalam tubuh yang nantinya akan menentukan keberadaan zat kimia
tersebut dalam sel sasaran secara utuh atau metabolitnya (Loomis, 1978). Kondisi
efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup (Donatus,
2005).
13
Kondisi pemejanan (kondisi paparan zat kimia) juga dipengaruhi oleh jenis
paparan (akut dan kronis), jalur pemejanan (melalui intravaskuler atau
ekstravaskuler), lama, kekerapan, saat, dan takaran dari pemejanan. Pemejanan akut
adalah pemejanan yang dilakukan kurang dari 24 jam, tapi dalam toksikologi klinis
pemejanan akut adalah pemejanan dalam kurun waktu 72 jam. Oleh karena itu,
pemejanan yang dilakukan lebih dari 72 jam dan kurang dari satu bulan merupakan
pemejanan subkronis. Pemejanan kronis adalah pemejanan yang dilakukan secara
berkesinambungan atau berulang dalam suatu periode waktu pemejanan tertentu
yang lebih lama dari periode waktu pemejanan akut (Donatus, 2005).
Kondisi makhluk hidup dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan kandisi
patologis dari makhluk hidup tersebut. Kondisi fisiologis meliputi berat badan,
umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status
gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sikardian, dan irama diurnal (Donatus, 2005).
Keadaan patologis dipengaruhi oleh penyakit saluran pencernaan, kardiovaskuler,
hati dan ginjal (Priyanto, 2010).
2) Mekanisme efek toksik
Penyebab dari timbulnya keracunan yang terlihat dari wujud dan sifat efek
toksik yang muncul dapat diketahui dengan mempelajari mekanisme aksi dari
senyawa toksik. Terdapat 3 mekanisme efek toksik, yaitu mekanisme berdasarkan
sifat dan tempat kejadian (fenomena patologi), interaksi racun dan tempat aksinya,
serta resiko penumpukan racun di dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus,
2005).
14
Berdasarkan sifat dan tempat aksinya, mekanisme efek tosik ini dibagi menjadi
mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel diawali dengan
adanya aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel baik dalam bentuk induk
maupun metabolitnya melalui mekanisme reaksi kimia seperti reaksi pendesakan,
ikatan kovalen, substitusi, peroksidasi, dan lain sebagainya (Donatus, 2005).
Mekanisme luka ekstrasel merupakan mekanisme luka dilingkungan luar sel
yang diakibatkan senyawa racun baik dalam bentuk induk maupun metabolitnya
yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi sel. Gangguan yang muncul
terhadap suplai oksigen, suplai makanan, dan cairan ekstrasel (elektrolit dan asam
basa) (Priyanto, 2010).
3) Wujud efek toksik
Wujud efek toksik yang muncul akibat dari paparan suatu racun adalah
perubahan biokimia, fungsional dan struktural yang saling terkait satu sama lain
dalam mekanismenya. Wujud efek toksik ini ada yang bersifat terbalikkan dan ada
yang bersifat tak terbalikkan (Donatus, 2005).
Wujud efek toksik biokimiawi merupakan wujud efek toksik yang terbalikkan,
yaitu terjadinya perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat
interaksi antara senyawa racun dengan tempat aksinya. Misalnya penghambatan
respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elekrolit serta gangguan
pasokan energi (Donatus, 2005; Priyanto 2009).
Wujud efek toksik fisiologis (fungsional) merupakan interaksi senyawa racun
dengan reseptor aktif enzim yang bersifat terbalikkan. Hal ini mengakibatkan
gangguan fungsi homeostasis tertentu dalam tubuh. Misalnya saja anoksia,
15
gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf pusat, hipertensi atau hipotensi,
hiperglikemia atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perubahan kontraksi atau relaksasi otot, serta hipertermi atau hipotermi (Donatus,
2005; Priyanto, 2010).
Wujud efek toksik yang berupa perubahan struktural dapat diawali dari proses
perubahan biokimiawi ataupun fungsional. Respon perubahan struktural ini berupa
degenerasi, proliferasi dan inflamasi. Perubahan degenerasi dan proliferasi
merupakan efek intaseluler, sedangkan inflamasi merupakan efek ekstraseluler
(Priyanto, 2010).
4) Sifat efek toksik
Sifat efek toksik dari suatu senyawa racun dapat berupa terbalikkan (reversibel)
atau tak terbalikkan (irreversibel) yang memiliki ciri masing-masing. Pada sifat
yang terbalikkan bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu
telah habis maka reseptor tersebut akan kembali ke keadaan semula, hal ini akan
mengakibatkan efek toksik yang muncul akan segera kembali ke kondisi yang
normal, dan ketoksikan racun tergantug pada takaran serta kecepatan absorbsi,
distribusi, dan eliminasi racun tersebut. Sifat yang tak terbalikkan memiliki ciri,
bahwa kerusakan yang terjadi bersifat menetap, sehingga pada pemejanan
berikutnya akan mengakibatkan keruskan yang sifatnya sama dan memungkinkan
terjadinya penumpukan efek toksik. Efek yang ditimbulkan antara pemejanan
dengan dosis kecil dalam jangka waktu panjang akan sama efektif dengan
pemejanan dosis besar dalam jangka waktu pendek (Loomis, 1978; Priyanto, 2010).
16
c. Ruang lingkup toksikologi
Toksikologi ini memiliki 3 ruang lingkup, yaitu toksikologi lingkungan,
toksikologi ekonomi dan toksikologi kehakiman (forensik) (Loomis, 1978).
Toksikologi lingkungan merupakan paparan yang tak disengaja dari zat kimia,
yang merupakan polutan lingkungan baik dari udara, tanah dan air yang dapat
merugikan bagi kehidupan organisme khususnya pada manusia yang sebagian besar
sumber polutan tersebut merupakan dampak dari perbuatan manusia itu sendiri.
Proses yang berlangsung yaitu berawal dari pelepasan ke lingkungan, transport oleh
biota dengan atau tanpa transportasi bahan-bahan kimia, pelepasan oleh organisme
baik itu satu atau lebih dari satu target, yang mengakibatkan munculnya respon
individu, populasi, ataupun pada tingkat komunitas (Wright, 2002). Toksikologi
ekonomi membahas mengenai efek-efek berbahaya dari suatu substansi khusus
yang berhubungan dengan kebutuhan manusia seperti bahan pengawet makanan,
pewarna, ataupun perasa pada makanan.
Toksikologi kehakiman merupakan pemanfaatan ilmu toksikologi untuk
kepentingan pengadilan, yakni dengan melakukan analisis kualitatif maupun
kuantitatif dari bukti fisik dan hasil analisis yang ada sebagai bukti dalam tindakan
kriminal dalam pengadilan. Toksikologi kehakiman ini mementingkan aspek medis
dan hukum dari bahan-bahan berbahaya baik yang dipejankan secara sengaja
maupun tidak sengaja (Barile, 2004; Wirasuta, 2008).
17
4. Uji Toksikologi
Bertujuan untuk memastikan keamanan, efektivitas maupun mutu dari suatu
obat, maka obat tersebut harus melalui serangakaian uji agar dapat dipasarkan dan
digunakan oleh konsumen. Obat diberikan pada hewan uji sebelum diberikan pada
manusia melalui jalur yang memungkinkan manusia terpejan. Uji yang dilakukan
berupa uji efektivitas atau selektivitas, mekanisme kerjanya, dan serangkaian tes
keamanan berupa uji toksisitas dari obat tersebut (Priyanto, 2010).
Hewan uji yang dapat digunakan dalam uji toksikologi adalah galur tertentu dari
tikus, mencit, kelinci, marmot, hamster, atau anjing (Sukandar, 2004). Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi efek tosik yang muncul pada hewan uji dapat
dilihat pada tabel I.
Tabel I. Faktor yang mempengaruhi reaksi hewan uji (Hurni, 1970)
Genotip
Status fisiologi Usia, kematangan, kehamilan, daur estrus,
laktasi
Lingkungan Musim, suhu, kelembapan, intensitas
cahaya, sirkulasi udara, makanan,
kandang, alas, penanganan
Kesehatan Defisiensi, kekebalan spontan dan buatan
Fenotip Preperlakuan dalam penelitian Pemindahan, pengolahan ulang, adaptasi,
pemulihan kondisi
Dramatip Uji pendahuluan, uji sesungguhnya
Uji toksikologi dapat berupa uji ketoksikan khas dan tak khas. Uji ketoksikan
tak khas dilakukan untuk mengevaluasi efek toksik secara keseluruhan dari suatu
senyawa. Uji tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji
ketoksikan akut digunakan untuk menentukan nilai LD50 dan dosis maksimal yang
masih dapat ditoleransi oleh senyawa yang diuji. Uji ini dilakukan pengamatan
selama 24 jam atau hingga 7- 14 hari untuk kasus tertentu (Donatus, 2005). Uji
ketoksikan subkronis atau subakut dilakukan dengan melakukan 3 dosis yang
18
diberikan dengan dosis berulang selama 4 minggu sampai 3 bulan dengan
menggunakan 2 spesies yang berbeda (Donatus, 2005). Uji ketoksikan kronis
dilakukan pengamatan selama 6 bulan atau lebih pada hewan roden maupun non
roden. Uji ini perlu dilakukan bila obat nantinya akan digunakan dalam jangka
waktu yang panjang (Priyanto, 2010).
Uji ketoksikan tak khas menurut Donatus (2005), bertujuan untuk mengevaluasi
secara lebih rinci dari efek yang khas hasil pemejanan senyawa uji pada bermacam
hewan percobaan. Misalnya uji potensiasi, uji karsinogenesis, uji mutagenesis, uji
teratogenik, reproduksi, kulit dan mata.
5. Uji Toksikologi Akut
Uji ini dilakukan dengan memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji
yang diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang
memungkinkan manusia terpejani senyawa tersebut. Uji toksikologi akut senyawa
yang dipejankan akan diaborbsi dengan cepat, sehingga menghasilkan efek toksik
segera tetapi juga dapat menimbulkan efek yang tertunda (Hodgson & Levy, 2000).
Pengamatan dalam uji ini biasanya hanya dilakukan selama 24 jam, tetapi
sebaiknya jangka waktu pengamatan harus cukup panjang, sehingga efek yang
muncul lambat, termasuk kematian tidak luput dari pengamatan. Jangka waktu itu
biasanya 7-14 hari (Lu, 1995).
Tolak ukur dalam uji toksikologi akut ini berupa tolak ukur kualitatif dan
kuantitatif. Tolak ukur kualitatif dapat berupa penampakan klinis, dan morfologis
efek toksik dari senyawa uji. Data kuantitatif yang biasanya digunakan adalah LD50
19
(Loomis, 1978). LD50 dapat digunakan untuk mengetahui potensi ketoksikan akut
senyawa relatif terhadap senyawa lain serta untuk memperkirakan takaran dosis uji
toksikologi lainnya (Donatus, 2005).
LD50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik untuk menyatakan
dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan
efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji setelah perlakuan (Anonim, 1993).
Menentukan nilai LD50 dapat digunakan metode grafik Lithfield dan Wilcoxon,
metode kertas grafik probit Thompson-Weil yang berdasarkan hubungan antara
peringkat dosis dan persen respon. Metode tersebut menekankan respon kematian
sebagai end point dalam penentuan LD50 (Barile, 2008).
6. Uji Ketoksikan Akut Oral Metode 423
Terdapat beberapa metode toksisitas akut yang telah dipublikasikan oleh
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang masing-
masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Sitzel & Carr, 1999). Metode yang
pertama kali dikeluarkan oleh OECD adalah pedoman nomor 401 (Acute Oral
Toxicity) yang merupakan metode tradisional. Metode ini menggunakan hewan uji
rodentia baik tikus atau mencit dengan mengelompokkannya berdasarkan jenis
kelamin yang sama ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah ditetapkan. Tiap
kelompok terdiri dari 5 hewan uji yang dipejankan senyawa uji secara oral dan
dengan dosis yang bertingkat. Uji dilakukam kembali dengan hewan uji dari jenis
kelamin berbeda setelah uji pertama selesai (Sitzel & Carr, 1999).
20
OECD mengeluarkan pedoman nomor 420 (Fixed Dose Procedure), 423 (Acute
Toxic Class Method), dan 425 (Up and Down Procedure) untuk menggantikan
metode OECD 401. Semua metode tersebut menggunakan tikus atau mencit
(rodentia) sebagai hewan uji dengan jenis kelamin betina. Hal ini karena hewan uji
betina lebih sensitif dan untuk mengurangi jumlah hewan uji yang digunakan
(Anonim, 2001b).
Metode OECD 420 mengelompokkan hewan uji ke dalam beberapa kelompok
dosis yang telah ditetapkan yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/kg BB dengan 5 hewan
uji pada tiap kelompoknya. Uji pendahuluan dilakukan sebelum uji utama untuk
menentukan dosis awal dengan satu hewan uji pada tiap dosis. Metode ini
memberikan informasi mengenai senyawa berbahaya (hazardous) dan senyawa
tersebut dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dari Globally Harmonised
System (GHS) (Anonim, 2001a).
Metode OECD 425, hewan uji diberi seri dosis dengan faktor pengalian 3,2 dan
dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD50 dari acuan. Setidaknya
menggunakan 1 hewan uji untuk masing-masing dosis. Pemberian dosis selanjutnya
dilakukan berdasarkan satu dosis sebelumnya setelah 48 jam. Jika hewan uji hidup,
maka dosis selanjutnya dinaikkan dengan faktor kenaikan 3,2. Jika hewan uji mati,
maka dosis diturunkan dengan faktor penurunan 3,2. Metode ini nilai LD50
ditentukan dengan program AOT425StatPgm (Acute Oral Toxicity (Guideline 425)
Statistical Program) (Anonim, 2001c).
Hewan uji yang digunakan dalam metode OECD 423 lebih sedikit yaitu 3 hewan
uji. Metode OECD 423 tidak dapat menentukan nilai LD50 secara tepat, tetapi hanya
21
dapat menentukan kisaran nilai dari LD50. Untuk mengklasifikasikan tingkat
toksisitas dari senyawa yang diuji maka digunakan satu tingkat dosis tetap. Dengan
menggunakan metode ini senyawa dapat dikategorikan menurut Globally
Harmonised Classification System (GHS) (Barile, 2008). Klasifikasi Globally
Harmonised Classification System (GHS) dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Klasifikasi LD50 pada Globally Harmonised Classification System (GHS) (Anonim,
2001b)
Klasifikasi Keterangan
Kategori 1 Nilai LD50 pada kisaran 0-5 mg/kg BB hewan uji
Kategori 2 Nilai LD50 pada kisaran >25-50 mg/ kg BB hewan uji
Kategori 3 Nilai LD50 pada kisaran >200-300 mg/kg BB hewan uji
Kategori 4 Nilai LD50 pada kisaran >500-2000 mg/kg BB hewan uji
Kategori 5 Nilai LD50 pada kisaran 2500-5000 mg/kg BB hewan uji
Kategori 5 atau tidak terklasifikasi Nilai LD50 >5000 mg/kg BB hewan uji
Hewan uji yang sering digunakan adalah tikus, tapi dapat juga digunakan mencit
(rodentia). Hewan ini dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani.
Selain itu juga terdapat banyak data toksikologi mengenai jenis hewan ini, suatu
fakta yang mempermudah pembandingan toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1995).
Menurut OECD 423 hewan uji yang biasanya digunakan adalah betina karena
betina umumnya lebih sensitif. Menurut Donatus (2005), terdapat perbedaan tingkat
dan aktivitas enzim antara tikus jantan dan betina. Tikus betina memiliki kapasitas
metabolisme hati lebih rendah. Oleh karena itu, penentuan LD50 sebaiknya
dilakukan pada kedua jenis kelamin, juga pada hewan dewasa dan yang masih
muda, karena mungkin memiliki kerentanan yang berbeda (Lu, 1995).
Senyawa uji dipejankan secara peroral dengan pemberian dosis tunggal tetapi
jika tidak memungkinkan maka dapat dilakukan pemejanan berulang dalam waktu
22
kurang dari 24 jam dengan memperhatikan volume maksimal yang dapat diberikan
pada hewan uji (Anonim, 2001b).
Aklimatisasi atau penyesuaian hewan uji terhadap lingkungan minimal
dilakukan selama 5 hari. Hewan uji seharusnya dipuasakan sebelum dilakukan
pemejanan dengan tidak diberikan makan namun tetap diberikan minum selama
semalam (untuk tikus) atau 3-4 jam (untuk mencit). Makanan dapat diberikan
kembali 3-4 jam setelah pemejanan untuk tikus dan 1-2 jam setelah pemejanan
untuk mencit. Tetapi jika senyawa uji yang diberikan dalam bentuk fraksi selama
satu periode sebaiknya hewan uji tetap diberikan makan dan minum tergantung
lama periode pemejanan (Anonim, 2001b).
Dosis yang diberikan sama dengan dosis pada metode OECD 420 yaitu 5, 50,
300, dan 2000 mg/kg BB. Dosis awal dipilih berdasarkan studi pengamatan dosis
yang diharapkan menimbulkan kematian pada beberapa hewan uji. Jika informasi
tersebut tidak tersedia maka digunakan dosis awal 300 mg/kg BB. Sedangkan jika
informasi yang ada menunjukkan pada dosis tertinggi yaitu 2000 mg/kg BB tidak
mungkin ada kematian, maka uji batas harus dilakukan dan diberikan dosis 5000
mg/kg BB jika masih memungkinkan untuk diberikan dengan hanya 1 kelompok
saja (3 hewan uji) (Anonim, 2001b).
Pengamatan pada hewan uji dilakukan secara intensif selama 4 jam setelah
pemejanan dan dilanjutkan pengamatan setiap hari sesering mungkin selama 14
hari. Pengamatan tersebut dilakukan pada semua hewan uji yang hidup setelah
pemejanan. Bila terjadi kematian hewan uji, maka hewan tersebut harus langsung
dikorbankan. Lamanya pengamatan ini pun bergantung dari reaksi toksik yang
23
muncul, waktu onset dan panjang periode pemulihan dengan demikian pengamatan
dapat diperpanjang bila dianggap perlu (Anonim, 2001b).
Kejadian dan waktu munculnya tanda toksik dicatat untuk setiap hewan uji.
Pengamatan harus mencakup perubahan kulit, bulu, mata, selaput lendir,
pernapasan, peredaran darah, sistem saraf otonom dan pusat, somatomotor aktivitas
dan pola perilaku. Perlu diperhatikan pengamatan tremor, kejang, air liur, diare,
lesu dan tidur. Data pengamatan simtomatologis ini dapat digunakan untuk
memperkirakan dosis minimum toksik atau simtomatik, dosis maksimal yang dapat
ditolerir dan dosis yang tidak menyebabkan efek pada spesies uji. Data
simtomatologi juga dapat digunakan untuk memperkirakan mekanisme aksi, letak
sisi aktif efek toksik, dan perkiraan durasi efek toksik dosis tunggal yang berguna
untuk uji toksisitas dosis berulang (Loomis, 1978).
7. Histopatologis Organ
Histologi adalah ilmu mengenai jaringan tubuh dan cara jaringan ini menyusun
organ-organ (Junqueira & Carneiro, 2007). Histopatologi adalah cabang dari
patologi yang memusatkan dalam menemukan dan mendiagnosis penyakit dari
hasil pemeriksaan jaringan. Mayoritas diagnosis histopatologis dilakukan dari
potongan jaringan blok paraffin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin.
Jaringan berasal dari biopsi yang dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim ke
laboratorium histopatologi (Underwood, 1999). Bahan fiksasi yang sering
digunakan adalah formalin 10%. Pewarna yang sering digunakan dalam
pengamatan ini adalah kombinasi dari hematoksilin dan eosin. Hematoksilin
24
memulas inti dan struktur asal lainnya dari sel (seperti pada bagian sitoplasma yang
kaya RNA dan matriks tulang rawan) menjadi biru. Eosin akan memulas sitoplasma
dan kolagen menjadi merah muda (Junqueira & Carneiro, 2007).
Organ yang biasanya diamati dalam pemeriksaan histopatologis adalah hati,
ginjal, paru-paru, jantung, lambung, usus dan limpa (Lu, 1995). Hati merupakan
kelenjar terbesar dalam tubuh, terdiri dari sel-sel hati (hepatosit) yang tersusun
radial ke arah luar vena sentralis. Sel hati berbentuk polihedral dengan inti bulat
dan terletak di tengah (Dellman & Brown, 1992). Hati mendapat vaskularisasi
ganda melalui vena porta dan vena hepatika. Vena porta akan masuk darah yang
berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen lainya seperti limpa, pankreas
dan kantong empedu. Darah yang masuk ini mengandung berbagai macam nutrisi
yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Sebanyak 75-80%
darah pada organ hati berasal dari vena porta sedangkan dari arteri hepatika hanya
mendapat sekitar 20-25% darah yang kaya oksigen (MacLachan & Cullen, 1995).
Hati memiliki fungsi metabolisme paling kompleks di dalam tubuh, yaitu
metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Bahan-bahan
toksik dari saluran cerna seperti yang berasal dari tumbuhan, fungi, dan produk
bakteri akan diabsorbsi kedalam pembuluh darah portal dan ditransfer ke hati,
karena hati merupakan organ detoksifikasi. Toksikan dapat menyebabkan berbagai
perubahan pada sel-sel hati, sehingga mengakibatkan perlemakan hati, nekrosis
hati, kolestasis dan sirosis (MacLachan & Cullen, 1995; Lu, 1995).
Ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis, yaitu tempat masuknya
pembuluh darah dan keluarnya ureter (Dellman & Brown, 1992). Ukuran ginjal
25
dalam berbagai spesies sangat bergantung pada jumlah nefron yang memiliki fungsi
dasar untuk membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh
tubuh (Ganong, 2010).
Ginjal merupakan organ yang juga terkena efek toksik jika tubuh terpapar oleh
zat toksik. Fungsi utama dari ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme,
memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa,
serta mengatur tekanan darah (Dellman & Brown, 1992).
Ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik, karena
ginjal menerima 25% dari cardiac output, sehingga sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah besar. Ginjal sebagai jalur obligatorik untuk
sebagian obat, sehingga insufisiensi ginjal meningkatkan konsentrasinya dalam
cairan tubulus. Secara mendasar ginjal akan mendapat efek langsung dari senyawa
toksik (Lu, 1995).
Menurut Ressang (1984), terdapat beberapa kelainan ginjal yang dapat dilihat
jelas secara mikroskopis, yaitu : ginjal dengan bercak-bercak putih pada bagian
korteks karena akumulasi dari leukosit sebagai bagian dari eksudat radang. Ginjal
yang membesar dan pucat karena degenerasi lemak. Ginjal yang mengecil, putih,
tidak rata karena banyaknya jaringan ikat yang bersifat refraktif akan
mengakibatkan permukaan ginjal menjadi berbenjol-benjol tidak rata.
Paru-paru merupakan bagian dari sistem pernafasan yang juga menjadi salah
satu target uji toksisitas. Saat proses pernafasan berlangsung, mungkin saja terjadi
toksisitas yang diakibatkan oleh tereksposnya suatu bahan kimia di udara, sehingga
26
mengakibatkan kerusakan epitel dan jaringan dalam bentuk degenerasi, proliferasi
dan inflamasi (Glaister, 1986).
Jantung merupakan target potensial dan mudah diserang oleh toksin. Jantung
membutuhkan banyak energi dibanding organ lainnya dalam tubuh untuk mengatur
suplai oksigen yang diperlukan dalam metabolisme aerobik (metabolisme yang
membutuhkan oksigen). Sejumlah besar obat dan bahan kimia dapat menyebabkan
berbagai kerusakan tingkat seluler jantung dengan mekanisme yang berbeda
(Glaister, 1986).
Lambung secara histologi terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa, kelenjar
lambung, dan tunika muskularis. Membran mukosa lambung membentuk lipatan
longitudinal yang disebut rugae dan terdiri dari 3 komponen, yaitu epitelium,
lamina propia, dan muskularis mukosa. Kelenjar lambung berbentuk tubular dan
mengandung sel parietal, sel utama (Chief sel), dan sel lendir leher (Gartner & Hiatt,
2001). Obat atau senyawa kimia sebagian besar dikonsumsi melalui oral dan akan
masuk dalam lambung, sehingga lambung dapat terpapar secara langsung oleh
senyawa toksik.
Usus halus secara mikroskopis dibagi menjadi duodenum, jejenum dan ileum
yang memiliki struktur histologi yang hampir sama. Lapisan-lapisan yang
menyusun dinding usus halus terdiri dari tunika mukosa, tunika submukosa, tunika
muskularis, dan tunika serosa (Dellman & Brown, 1992). Usus merupakan organ
pencernaan, sehingga setelah obat atau senyawa kimia dikonsumsi secara oral
melalui lambung, zat tersebut akan masuk kedalam usus.
27
Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu
organ limfoid primer dan sekunder. Organ limfoid primer merupakan organ yang
berfungsi mengatur produksi, diferensiasi limfosit dan pengaturan perkembangan
limfosit. Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berfungsi untuk menahan
agen asing atau zat toksik yang berhasil mencapai sirkulasi darah agar tidak
menyebar lebih luas (Tizard, 1987). Ketika ada benda asing atau zat toksik yang
masuk dalam tubuh maka akan terjadi respon dari limpa yang dapat dilihat dengan
adanya perubahan ukuran, warna dan konsistensi, sehingga secara mikroskopis
limpa terlihat membengkak (Volk & Wheleer, 1993).
Ketika ada zat toksik yang masuk dalam organ tubuh maka akan terdapat
beberapa respon yang dapat berupa luka sel pada organ dalam tubuh. Kelukaan
yang sering muncul diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Degenerasi hidropik
Degenerasi merupakan perubahan akibat luka yang tidak fatal dan dapat pulih
kembali (reversibel). Degenerasi hidropik merupakan gangguan metabolisme atau
karena keracunan bahan makanan. Hal ini mengakibatkan pembengkakan sel
dengan penimbunan lebih banyak air dan metabolit dalam vakuola yang terbentuk
di sitoplasma. Secara mikroskopis organ yang mengalami degenerasi hidropik akan
terlihat membesar, lebih pucat dan konsistensinya lebih rapuh (Underwood, 1999).
b. Infiltrasi
Infiltrasi adalah terjadinya penumpukan metabolit seperti air, lemak dan aneka
ragam jenis inklusi dalam jumlah berlebih karena adanya luka pada sel (Donatus,
2005).
28
c. Radang
Radang atau inflamasi adalah respon yang timbul diakibatkan adanya benda
asing atau terjadinya kelukaan jaringan secara langsung, baik kelukaan karena
bahan kimia, trauma mekanis, dan pengaruh fisik. Ketika benda asing masuk dalam
tubuh maka respon imun akan aktif dan akan mengakibatkan terjadinya proses
fagositosis dari protein plasma dan fagosit untuk mengisolasi, menghancurkan, atau
menginaktifkan agen yang masuk. Ketika mediator inflamasi diekspresikan maka
akan mengakibatkan timbulnya rubor (kemerahan), kolor (panas), dolor (nyeri),
dan turgor (pembengkakan) yang merupakan gejala dari inflamasi (Corwin, 2008).
d. Atropi
Atropi adalah mengecilnya sel atau berkurangnya jumlah sel yang biasanya
menyebabkan penyusutan atau pengkerutan jaringan atau organ yang terpengaruh
(Donatus, 2005).
e. Edema
Edema merupakan adanya cairan berlebihan pada jaringan tubuh. Edema
terutama terjadi pada kompartemen cairan ekstrasluler, tapi juga dapat melibatkan
cairan intraseluler. Terjadinya pembengkakan intraseluler misalnya karena depresi
sistem metabolik jaringan. Bila aliran darah ke jaringan menurun, pengiriman
oksigen dan nutrisi berkurang. Jika aliran darah menjadi sangat rendah untuk
mempertahankan metabolisme jaringan normal, maka pompa ion membran sel
menjadi tertekan. Bila ini terjadi, ion natrium yang biasanya masuk ke dalam sel
tidak dapat lagi di pompa keluar dari sel, dan kelebihan natrium dalam sel
menimbulkan osmosis air dalam sel, sehingga edema dapat terjadi pada jaringan
29
yang meradang. Edema ekstraseluler dapat terjadi karena kebocoran abnormal
cairan dari plasma ke ruang interstisial dengan melintasi kapiler dan kegagalan
limpatik untuk mengembalikan cairan dari interstisium ke dalam darah (Guyton &
Hall, 2006).
f. Kongesti
Kongesti terjadi dengan meningkatnya volume darah akibat pelebaran
pembuluh darah kecil. Kongesti akan menyebabkan venula dan kapiler semakin
permeable. Hal ini akan menyebabkan keluarnya cairan plasma ke dalam jaringan
dan meningkatkan viskositas darah sehingga sel darah menggumpal dan tekanan
terhadap aliran darah akan lebih tinggi. Selain terganggunya sirkulasi darah,
kongesti juga menyebabkan sel-sel hati mengalami degenerasi atau akan berlanjut
pada nekrosis karena kekurangan nutrien dan oksigen (Ressang, 1984).
g. Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sel dalam diri makhluk hidup, dan merupakan respon
degenerasi terhadap luka sel yang sering sekali dijumpai. Kejadian ini merupakan
hasil akhir dari berbagai macam mekanisme luka sel baik intrasel maupun ekstrasel
(Donatus, 2005).
F. LANDASAN TEORI
Penelitian mengenai toksisitas serta pengaruh angkak dan kayu manis pada
pengamatan histopatologis secara terpisah telah banyak dilakukan. Penelitian
mengenai toksisitas angkak memberikan informasi tingkat toksisitas angkak yang
rendah, tetapi pengamatan terhadap histopatologis angkak memberikan informasi