bab i pendahuluan a. latar...

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi penghijauan yang sedang berkembang saat ini, membuat banyaknya pemanfaatan bahan-bahan ramah lingkungan untuk mengurangi masalah lingkungan yang terjadi, sehingga banyak dilakukan penelitian untuk pemanfaatan bahan organik dan mengurangi konsumsi bahan kimia termasuk obat-obat kimia. Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan faunanya, sehingga lebih banyak tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat alami. Indonesia memiliki kurang lebih 30.000 jenis tumbuhan di dalam hutan hujan tropisnya, yang diantaranya berkhasiat sebagai obat ada sekitar 9.600 jenis tumbuhan dan ada sekitar 200 jenis dari tanaman berkhasiat obat tersebut adalah tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional (Sriningsih & Agung, 2006). Masyarakat sekarang ini lebih memilih obat tradisional yang dinilai lebih aman untuk mengobati penyakitnya. Meskipun sebenarnya obat tradisional tetap memiliki efek samping, hanya saja lebih rendah dan terjadi jika penggunaannya kurang tepat. Penggunaan yang kurang tepat ini, mengakibatkan kurang optimalnya penyembuhan yang didapatkan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang diterima masyarakat tentang obat tradisional tersebut (Anggraini, 2008). Angkak merupakan hasil fermentasi beras dengan kapang Monascus purpureus. Hampir semua jenis beras dapat digunakan sebagai substrat, begitu juga beras merah yang memiliki tekstur yang lebih kenyal, nutrisi dan mineral yang terkandung juga lebih banyak dibandingkan beras putih (Wanti, 2008). Angkak 1

Upload: vocong

Post on 01-May-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teknologi penghijauan yang sedang berkembang saat ini, membuat banyaknya

pemanfaatan bahan-bahan ramah lingkungan untuk mengurangi masalah

lingkungan yang terjadi, sehingga banyak dilakukan penelitian untuk pemanfaatan

bahan organik dan mengurangi konsumsi bahan kimia termasuk obat-obat kimia.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan faunanya, sehingga lebih

banyak tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat alami. Indonesia

memiliki kurang lebih 30.000 jenis tumbuhan di dalam hutan hujan tropisnya, yang

diantaranya berkhasiat sebagai obat ada sekitar 9.600 jenis tumbuhan dan ada

sekitar 200 jenis dari tanaman berkhasiat obat tersebut adalah tumbuhan obat

penting bagi industri obat tradisional (Sriningsih & Agung, 2006).

Masyarakat sekarang ini lebih memilih obat tradisional yang dinilai lebih aman

untuk mengobati penyakitnya. Meskipun sebenarnya obat tradisional tetap

memiliki efek samping, hanya saja lebih rendah dan terjadi jika penggunaannya

kurang tepat. Penggunaan yang kurang tepat ini, mengakibatkan kurang optimalnya

penyembuhan yang didapatkan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang

diterima masyarakat tentang obat tradisional tersebut (Anggraini, 2008).

Angkak merupakan hasil fermentasi beras dengan kapang Monascus purpureus.

Hampir semua jenis beras dapat digunakan sebagai substrat, begitu juga beras

merah yang memiliki tekstur yang lebih kenyal, nutrisi dan mineral yang

terkandung juga lebih banyak dibandingkan beras putih (Wanti, 2008). Angkak

1

2

sebagai obat tradisional di Cina sering digunakan untuk mengobati penyakit saluran

cerna, luka otot, disentri, penurun kolesterol, antraks. Angkak dapat meringankan

kerja dari lambung serta memperkuat fungsi limpa (Chen & John, 1993).

Uji toksisitas pada angkak yang diinjeksikan secara intraperitoneal pada tikus

putih menunjukkan nilai LD50 7 gram/kg BB. Sedangkan uji toksisitas subakut tidak

menunjukan gejala yang abnormal pada organ hewan uji. Angkak yang dikonsumsi

dengan dosis 18 gram/kg BB secara oral tidak menyebabkan kematian dan tidak

menyebabkan keracunan (Danuri, 2009).

Selain angkak, kayu manis juga telah digunakan sebagai obat tradisional. Kayu

manis memiliki fungsi sebagai antibakteri, antioksidan, dan kayu manis dapat

meningkatkan kadar kolesterol HDL (Larasati et al., 2011). Oleh karena itu,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memproduksi sediaan uji penurun

kolesterol yang terbuat dari ekstrak angkak 20,00%; ekstrak kayu manis 11,76%

dan saccharum lactis.

Obat tradisional yang dibuat dari bahan alami juga memiliki efek samping. Efek

samping dapat dikurangi jika digunakan secara tepat. Tepat bahan, tepat dosis, tepat

cara penggunaan, tepat waktu penggunaan, tepat telaah informasi, tepat pemilihan

obat untuk indikasi tertentu, serta tidak adanya penyalahgunaan dapat menurunkan

efek samping obat alami tersebut (Sari, 2006).

Angkak dan kayu manis semakin berkembang penggunaannya dan banyak

digunakan sebagai obat untuk kepentingan medis. Tetapi belum banyak penelitian

lebih lanjut mengenai toksisitas dari angkak. Penggunaan angkak untuk berbagai

keperluan harus diteliti toksisitasnya terutama pengaruhnya terhadap metabolisme

3

di dalam tubuh. Obat yang akan dikonsumsi oleh manusia harus aman apalagi jika

obat digunakan dalam jangka panjang (Pratiwi, 2006). Obat herbal terstandar harus

telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik.

Bahan baku serta produk jadinya telah distandarisasi (Anonim, 2005).

Berdasarkan banyaknya alasan yang telah dipaparkan tadi, maka penting untuk

mengetahui keamanan dari produk yang akan dijual dan dikonsumsi oleh

masyarakat termasuk sediaan campuran angkak dan kayu manis. Penelitian ini

dilakukan untuk menguji toksisitas akut campuran angkak dan kayu manis yang

dilakukan secara peroral terhadap tikus putih galur Sprague Dawley dengan metode

OECD 423, sehingga diharapkan dapat diperoleh data dan fakta yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah kisaran nilai potensi ketoksikan akut oral (LD50) sediaan uji penurun

kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD?

2. Apa sajakah gejala toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji penurun

kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD?

3. Berapakah luas spektrum efek toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji

penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan

galur SD?

4

C. Pentingnya Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai potensi ketoksikan akut sediaan

uji penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan

galur SD. Penelitian ini melihat gejala toksik yang muncul selama pemejanan dan

pengaruhnya terhadap organ-organ hewan uji yang nantinya dapat menjadi

kewaspadaan manusia akan efek samping yang mungkin juga dapat muncul pada

manusia.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui :

1. Kisaran nilai potensi ketoksikan akut oral (LD50) sediaan uji penurun kolesterol

campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD.

2. Gejala toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji penurun kolesterol

campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD.

3. Luas spektrum efek toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan uji penurun

kolesterol campuran angkak dan kayu manis pada tikus putih jantan galur SD.

E. Tinjauan Pustaka

1. Angkak

Angkak adalah hasil fermentasi beras merah dengan kapang Monascus

purpureus. Berdasarkan sejarah angkak berasal dari Cina yang dikenal sebagai

salah satu bahan obat-obatan Cina. Angkak dikenal dengan sebutan yang berbeda-

beda di beberapa negara, seperti di Jepang dikenal dengan ang-khak, beni, koji atau

5

red koji, sedangkan di Cina angkak dikenal dengan zhi tai yang berarti angkak

dalam bentuk tepung kering, xue zhi kang yang berarti angkak telah diekstrak

dengan alkohol (Bakosova et al., 2001; Chen & John, 1993).

Klasifikasi dari Monascus purpureus, adalah sebagai berikut :

Divisio : Amastigomycotina

Sub divisio : Ascomycotina

Classis : Ascomycetes

Sub Classis : Plectomycetidae

Ordo : Eurotiales

Familia : Trichocomaceae

Genus : Monascus

Spesies : Monascus purpureus (Wanti, 2008).

Sediaan uji penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis dapat dilihat

pada gambar 1.

Gambar 1. Sediaan uji penurun kolesterol campuran angkak dan kayu manis

6

Substrat yang sering digunakan untuk pembuatan angkak adalah beras. Hampir

semua varietas beras dapat dijadikan angkak. Semakin berkembangnya ilmu

pengetahuan dan teknologi, sekarang ini dapat digunakan gandum, oat, dan jagung

sebagai substratnya. Salah satu varietas beras yang digunakan dalam pembuatan

angkak adalah beras merah. Beras merah memiliki rasa seperti kacang dan lebih

kenyal dibandingkan beras putih. Nutrisi dalam beras merah juga lebih banyak,

begitu juga jumlah magnesium, mineral mangan, kaya akan serat dan asam lemak,

untuk mencegah sembelit, diet, memiliki asam amino dan GABA (Gamma-

aminobutyric acid) (Wanti, 2008).

Kandungan kimia yang terdapat dalam angkak adalah monakolin K,

dihidromonakolin, asam lemak tak jenuh yang berupa asam oleat, asam linoleat,

asam linolenat, serta vitamin B kompleks. Angkak juga mengandung komponen

sterol seperti betasitosterol, campesterol, stigmasterol, sapogenin, dan isoflavon.

Kandungan mineral yang ada dalam angkak adalah selenium, seng dan magnesium

(Tisnadjaja, 2006).

GABA yang terkandung dalam angkak menyebabkan penurunan tekanan darah

pada tikus yang diikuti dengan kenaikan tekanan darah secara spontan (Eisenbrand,

2006). Angkak juga mengandung asam dimerumat yang memiliki kemampuan

antioksidan dan radical scavenging action terhadap –OH dan O2- yang dapat

menghambat ROS akibat adanya stress oksidatif pada proses inflamasi (Aniya et

al., 2000).

Angkak digunakan untuk kepentigan bahan pangan maupun sebagai obat di

Cina. Secara tradisional, angkak digunakan untuk pengobatan penyakit saluran

7

cerna, luka otot, disentri, penurun kolesterol, antraks. Angkak dapat meringankan

kerja dari lambung serta memperkuat fungsi limpa (Chen & John, 1993). Angkak

dapat memperbaiki sirkulasi darah dan menurunkan kadar kolesterol sebesar 11-

32% dan kadar trigliserida sebesar 12-19%. Oleh karena itu, angkak digunakan

dalam program diet, untuk mencegah penyakit jantung seperti jantung koroner,

serta mencegah aterosklerosis dan juga stroke. Angkak biasa digunakan dalam

pengobatan demam berdarah dengue karena dapat meningkatkan jumlah trombosit.

Angkak juga digunakan sebagai obat asma, mabuk laut, dan luka memar (Wong &

Koehler, 1981).

Angkak dalam bahan makanan sering digunakan sebagai pewarna makanan

karena mengandung beberapa pigmen, yaitu rubropunktatin dan monaskorubrin

(merah), monaskin dan anklaflavin (kuning), rubropunktamin (ungu) (Maolinag et

al., 2001; Suwanto, 1985). Produksi pigmen ini dipengaruhi oleh tipe substrat yang

digunakan dan kondisi pH, temperatur serta kadar air selama proses pembuatan

(Carvalho et al., 2005).

Angkak dilaporkan mengandung citrinin 0,2-1,71 µg/g, yang dikenal sebagai

mikotoksin monascidin A diduga dapat merusak ginjal dan hati (Sabater-Vilar et

al., 1999). Citrinin memiliki efek antibiotik dan antibakterial yang telah diujikan

pada bakteriofage, sarcomas, protozoa, sel-sel binatang, dan sel-sel tanaman tingkat

tinggi (Carvalho et al., 2005).

Ada beberapa penelitian mengenai ketoksikan dari angkak, menurut

Steinkrauus yang terdapat dalam penelitian Danuri (2009), angkak yang

diinjeksikan secara intraperitoneal pada tikus putih menunjukkan nilai LD50 7

8

gram/kg BB. Uji toksisitas subakut pada angkak tidak menunjukkan gejala yang

abnormal pada organ hewan uji. Menurut Su dan Wong, angkak yang dikonsumsi

dengan dosis 18 gram/kg BB secara oral tidak menyebabkan kematian dan tidak

menyebabkan keracunan yang dilihat dari uji kecepatan pertumbuhan, efisiensi

protein, DNA dan RNA (Danuri, 2009).

Beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2006), yang bertujuan

untuk menentukan toksisitas akut angkak pada tikus jantan galur SD dan

dilanjutkan dengan analisis biokimiawi serta histopatologis organ hati dan ginjal.

Hasil penelitian tersebut tidak ditemukan adanya kematian hewan uji pada semua

perlakuan. Terdapat 5 kelompok dosis tunggal yaitu kontrol, 2.5 g/kg BB, 5 g/kg

BB, 10 g/kg BB dan 15g/kg BB. Pengamatan dilakukan sejak 24 jam sampai 5 hari

setelah perlakuan, kemudian hewan uji dikorbankan. Bobot tikus selama perlakuan

tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Gejala klinis hewan coba seperti nafsu

makan, keadaan mata, keadaan bulu dan tingkah laku tidak menunjukkan adanya

perubahan, tapi ada kelompok perlakuan yang fesesnya berwarna kemerahan. Hasil

histopatologis organ pada penelitian menunjukkan organ hati mengalami kongesti,

degenerasi lemak dan nekrosa. Organ ginjal mengalami akumulasi protein dan

nekrosa pada sel tubulusnya.

Menurut Indrawati et al (2010), serbuk angkak memiliki sifat larut air dan

etanol. Serbuk angkak stabilitasnya tidak dipengaruhi oleh suhu kamar, 30oC dan

40oC tetapi dipengaruhi oleh cahaya matahari dan lampu selama 9 minggu

penyimpanan.

9

2. Kayu Manis

Kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan tanaman asli Indonesia yang

termasuk salah satu jenis rempah-rempah dari kayu lunak penghasil minyak atsiri.

Tanaman ini banyak ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi,

dan Bengkulu. Tinggi tanaman dapat mencapai 15 m. Tangkai daun panjangnya

0,5-1 cm, memiliki warna merah pucat dan berbulu halus ketika masih muda

(Lindasari, 2013). Kayu manis menurut Rismunandar dan Paimin (2001), memiliki

taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Gymnospermae

Subdivisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledonae

Sub kelas : Dialypetalae

Ordo : Policarpicae

Famili : Lauraceae

Genus : Cinnamomun

Spesies : Cinnamomum burmannii.

Tanaman kayu manis (Cinnamomum burmannii) dapat dilihat pada gambar 2.

10

Gambar 2. Cinnamomum burmannii (Rismunandar &Paimin, 2001)

Komponen yang ada pada kayu manis adalah cynnamaldehyde, cinnamyl

acetate, eugenol, dan anethol. Unsur utamanya adalah Cinnamaldehyde. Kadarnya

pada kulit adalah 4%. Daunnya memiliki kadar minyak kira-kira 0,5%.

Cinnamaldehyde ditemukan paling berpotensi dalam menghambat bakteri yang

bersifat patogen. Kayu manis mengandung proanthocyanidins yang dapat

meningkatkan kesehatan saluran urin dan kesehatan jantung. Kandungan minyak

atsiri dari kayu manis berfungsi sebagai bahan pewangi dan penyedap. Minyak

atsiri memiliki efek menenangkan serta memiliki manfaat untuk kesehatan seperti

anti radang. Kayu manis juga berfungsi sebagai anti stress pada manusia dan

memiliki nilai antioksidan yang tinggi (Ravindran et al., 2004; Rusli, 2010).

Anderson et al (2004) menyatakan, pada ekstrak etanol Cinnamon terdapat

komponen utama yang disebut dengan procyanidin type-A polymers yang memiliki

fungsi sebagai antioksidan dan mempotensiasi aksi insulin.

Penelitian yang dilakukan oleh Larasati et al (2011), menyatakan bahwa

pemberian bubuk kayu manis dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL tikus

11

rattus norvegicus strain wistar jantan model diabetes melitus tipe 2. Dosis

pemberian bubuk kayu manis yang dinilai paling signifikan dalam meningkatkan

kadar kolesterol HDL adalah dosis 27 mg/hari.

Menurut Gunawan (2011), pemberian ekstrak kayu manis berpengaruh dalam

menghambat terjadinya degenerasi sel hepar pada mencit Balb/c yang diberi

parasetamol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antar perlakuan dosis kayu

manis, namun pada dosis 800 mg/kgBB menunjukkan terjadinya proses inflamasi

di hepar.

3. Toksikologi

a. Definisi toksikologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini semakin berkembang. Banyak

orang terpejan jenis bahan alami maupun bahan buatan manusia, sehingga

masyarakat semakin tertarik untuk mengenal dan mencegah efek buruk yang

ditimbulkan, karena pada keadaan tertentu pejanan ini berefek buruk bagi kesehatan

bahkan menyebabkan kematian (Lu, 1995). Menurut Donatus (2005), toksikologi

adalah ilmu tentang aksi berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologis.

Menurut Lu (1995), toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan

mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik

lainnya. Penelitian mendalam tentang efek toksikan dan mekanismenya itu sangat

berguna untuk menemukan penawar khusus dan upaya penanggulangan lainnya.

Menurut Hodgson & Levy (2004), toksikologi merupakan cabang ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan racun. Racun sendiri didefinisikan sebagai

12

suatu zat yang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi organisme hidup apabila

terpejani, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Hal ini berarti bahwa dalam

toksikologi mempelajari antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa asing dengan

suatu sistem biologi atau makhluk hidup (Donatus, 2005).

b. Asas Umum Toksikologi

Faktor-faktor yang mempengeruhi timbulnya efek toksik disebut sebagai asas

umum toksikologi. Pemahaman atas asas umum toksikologi dapat digunakan untuk

mengevaluasi keberbahayaan suatu zat. Hasil evaluasi ini selanjutnya untuk

menentukan atau memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai atau

digunakan pada manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak

menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2010). Berdasarkan alur peristiwa timbulnya

efek toksik, terdapat empat asas umum yang perlu dipelajari dan dipahami dalam

toksikologi, yaitu kondisi pemejanan, kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi,

wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005).

1) Kondisi efek toksik

Kondisi efek toksik suatu senyawa merupakan berbagai keadaan atau faktor

yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi senyawa

tersebut di dalam tubuh yang nantinya akan menentukan keberadaan zat kimia

tersebut dalam sel sasaran secara utuh atau metabolitnya (Loomis, 1978). Kondisi

efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup (Donatus,

2005).

13

Kondisi pemejanan (kondisi paparan zat kimia) juga dipengaruhi oleh jenis

paparan (akut dan kronis), jalur pemejanan (melalui intravaskuler atau

ekstravaskuler), lama, kekerapan, saat, dan takaran dari pemejanan. Pemejanan akut

adalah pemejanan yang dilakukan kurang dari 24 jam, tapi dalam toksikologi klinis

pemejanan akut adalah pemejanan dalam kurun waktu 72 jam. Oleh karena itu,

pemejanan yang dilakukan lebih dari 72 jam dan kurang dari satu bulan merupakan

pemejanan subkronis. Pemejanan kronis adalah pemejanan yang dilakukan secara

berkesinambungan atau berulang dalam suatu periode waktu pemejanan tertentu

yang lebih lama dari periode waktu pemejanan akut (Donatus, 2005).

Kondisi makhluk hidup dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan kandisi

patologis dari makhluk hidup tersebut. Kondisi fisiologis meliputi berat badan,

umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status

gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sikardian, dan irama diurnal (Donatus, 2005).

Keadaan patologis dipengaruhi oleh penyakit saluran pencernaan, kardiovaskuler,

hati dan ginjal (Priyanto, 2010).

2) Mekanisme efek toksik

Penyebab dari timbulnya keracunan yang terlihat dari wujud dan sifat efek

toksik yang muncul dapat diketahui dengan mempelajari mekanisme aksi dari

senyawa toksik. Terdapat 3 mekanisme efek toksik, yaitu mekanisme berdasarkan

sifat dan tempat kejadian (fenomena patologi), interaksi racun dan tempat aksinya,

serta resiko penumpukan racun di dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus,

2005).

14

Berdasarkan sifat dan tempat aksinya, mekanisme efek tosik ini dibagi menjadi

mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel diawali dengan

adanya aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel baik dalam bentuk induk

maupun metabolitnya melalui mekanisme reaksi kimia seperti reaksi pendesakan,

ikatan kovalen, substitusi, peroksidasi, dan lain sebagainya (Donatus, 2005).

Mekanisme luka ekstrasel merupakan mekanisme luka dilingkungan luar sel

yang diakibatkan senyawa racun baik dalam bentuk induk maupun metabolitnya

yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi sel. Gangguan yang muncul

terhadap suplai oksigen, suplai makanan, dan cairan ekstrasel (elektrolit dan asam

basa) (Priyanto, 2010).

3) Wujud efek toksik

Wujud efek toksik yang muncul akibat dari paparan suatu racun adalah

perubahan biokimia, fungsional dan struktural yang saling terkait satu sama lain

dalam mekanismenya. Wujud efek toksik ini ada yang bersifat terbalikkan dan ada

yang bersifat tak terbalikkan (Donatus, 2005).

Wujud efek toksik biokimiawi merupakan wujud efek toksik yang terbalikkan,

yaitu terjadinya perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat

interaksi antara senyawa racun dengan tempat aksinya. Misalnya penghambatan

respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elekrolit serta gangguan

pasokan energi (Donatus, 2005; Priyanto 2009).

Wujud efek toksik fisiologis (fungsional) merupakan interaksi senyawa racun

dengan reseptor aktif enzim yang bersifat terbalikkan. Hal ini mengakibatkan

gangguan fungsi homeostasis tertentu dalam tubuh. Misalnya saja anoksia,

15

gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf pusat, hipertensi atau hipotensi,

hiperglikemia atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit,

perubahan kontraksi atau relaksasi otot, serta hipertermi atau hipotermi (Donatus,

2005; Priyanto, 2010).

Wujud efek toksik yang berupa perubahan struktural dapat diawali dari proses

perubahan biokimiawi ataupun fungsional. Respon perubahan struktural ini berupa

degenerasi, proliferasi dan inflamasi. Perubahan degenerasi dan proliferasi

merupakan efek intaseluler, sedangkan inflamasi merupakan efek ekstraseluler

(Priyanto, 2010).

4) Sifat efek toksik

Sifat efek toksik dari suatu senyawa racun dapat berupa terbalikkan (reversibel)

atau tak terbalikkan (irreversibel) yang memiliki ciri masing-masing. Pada sifat

yang terbalikkan bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu

telah habis maka reseptor tersebut akan kembali ke keadaan semula, hal ini akan

mengakibatkan efek toksik yang muncul akan segera kembali ke kondisi yang

normal, dan ketoksikan racun tergantug pada takaran serta kecepatan absorbsi,

distribusi, dan eliminasi racun tersebut. Sifat yang tak terbalikkan memiliki ciri,

bahwa kerusakan yang terjadi bersifat menetap, sehingga pada pemejanan

berikutnya akan mengakibatkan keruskan yang sifatnya sama dan memungkinkan

terjadinya penumpukan efek toksik. Efek yang ditimbulkan antara pemejanan

dengan dosis kecil dalam jangka waktu panjang akan sama efektif dengan

pemejanan dosis besar dalam jangka waktu pendek (Loomis, 1978; Priyanto, 2010).

16

c. Ruang lingkup toksikologi

Toksikologi ini memiliki 3 ruang lingkup, yaitu toksikologi lingkungan,

toksikologi ekonomi dan toksikologi kehakiman (forensik) (Loomis, 1978).

Toksikologi lingkungan merupakan paparan yang tak disengaja dari zat kimia,

yang merupakan polutan lingkungan baik dari udara, tanah dan air yang dapat

merugikan bagi kehidupan organisme khususnya pada manusia yang sebagian besar

sumber polutan tersebut merupakan dampak dari perbuatan manusia itu sendiri.

Proses yang berlangsung yaitu berawal dari pelepasan ke lingkungan, transport oleh

biota dengan atau tanpa transportasi bahan-bahan kimia, pelepasan oleh organisme

baik itu satu atau lebih dari satu target, yang mengakibatkan munculnya respon

individu, populasi, ataupun pada tingkat komunitas (Wright, 2002). Toksikologi

ekonomi membahas mengenai efek-efek berbahaya dari suatu substansi khusus

yang berhubungan dengan kebutuhan manusia seperti bahan pengawet makanan,

pewarna, ataupun perasa pada makanan.

Toksikologi kehakiman merupakan pemanfaatan ilmu toksikologi untuk

kepentingan pengadilan, yakni dengan melakukan analisis kualitatif maupun

kuantitatif dari bukti fisik dan hasil analisis yang ada sebagai bukti dalam tindakan

kriminal dalam pengadilan. Toksikologi kehakiman ini mementingkan aspek medis

dan hukum dari bahan-bahan berbahaya baik yang dipejankan secara sengaja

maupun tidak sengaja (Barile, 2004; Wirasuta, 2008).

17

4. Uji Toksikologi

Bertujuan untuk memastikan keamanan, efektivitas maupun mutu dari suatu

obat, maka obat tersebut harus melalui serangakaian uji agar dapat dipasarkan dan

digunakan oleh konsumen. Obat diberikan pada hewan uji sebelum diberikan pada

manusia melalui jalur yang memungkinkan manusia terpejan. Uji yang dilakukan

berupa uji efektivitas atau selektivitas, mekanisme kerjanya, dan serangkaian tes

keamanan berupa uji toksisitas dari obat tersebut (Priyanto, 2010).

Hewan uji yang dapat digunakan dalam uji toksikologi adalah galur tertentu dari

tikus, mencit, kelinci, marmot, hamster, atau anjing (Sukandar, 2004). Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi efek tosik yang muncul pada hewan uji dapat

dilihat pada tabel I.

Tabel I. Faktor yang mempengaruhi reaksi hewan uji (Hurni, 1970)

Genotip

Status fisiologi Usia, kematangan, kehamilan, daur estrus,

laktasi

Lingkungan Musim, suhu, kelembapan, intensitas

cahaya, sirkulasi udara, makanan,

kandang, alas, penanganan

Kesehatan Defisiensi, kekebalan spontan dan buatan

Fenotip Preperlakuan dalam penelitian Pemindahan, pengolahan ulang, adaptasi,

pemulihan kondisi

Dramatip Uji pendahuluan, uji sesungguhnya

Uji toksikologi dapat berupa uji ketoksikan khas dan tak khas. Uji ketoksikan

tak khas dilakukan untuk mengevaluasi efek toksik secara keseluruhan dari suatu

senyawa. Uji tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji

ketoksikan akut digunakan untuk menentukan nilai LD50 dan dosis maksimal yang

masih dapat ditoleransi oleh senyawa yang diuji. Uji ini dilakukan pengamatan

selama 24 jam atau hingga 7- 14 hari untuk kasus tertentu (Donatus, 2005). Uji

ketoksikan subkronis atau subakut dilakukan dengan melakukan 3 dosis yang

18

diberikan dengan dosis berulang selama 4 minggu sampai 3 bulan dengan

menggunakan 2 spesies yang berbeda (Donatus, 2005). Uji ketoksikan kronis

dilakukan pengamatan selama 6 bulan atau lebih pada hewan roden maupun non

roden. Uji ini perlu dilakukan bila obat nantinya akan digunakan dalam jangka

waktu yang panjang (Priyanto, 2010).

Uji ketoksikan tak khas menurut Donatus (2005), bertujuan untuk mengevaluasi

secara lebih rinci dari efek yang khas hasil pemejanan senyawa uji pada bermacam

hewan percobaan. Misalnya uji potensiasi, uji karsinogenesis, uji mutagenesis, uji

teratogenik, reproduksi, kulit dan mata.

5. Uji Toksikologi Akut

Uji ini dilakukan dengan memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji

yang diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang

memungkinkan manusia terpejani senyawa tersebut. Uji toksikologi akut senyawa

yang dipejankan akan diaborbsi dengan cepat, sehingga menghasilkan efek toksik

segera tetapi juga dapat menimbulkan efek yang tertunda (Hodgson & Levy, 2000).

Pengamatan dalam uji ini biasanya hanya dilakukan selama 24 jam, tetapi

sebaiknya jangka waktu pengamatan harus cukup panjang, sehingga efek yang

muncul lambat, termasuk kematian tidak luput dari pengamatan. Jangka waktu itu

biasanya 7-14 hari (Lu, 1995).

Tolak ukur dalam uji toksikologi akut ini berupa tolak ukur kualitatif dan

kuantitatif. Tolak ukur kualitatif dapat berupa penampakan klinis, dan morfologis

efek toksik dari senyawa uji. Data kuantitatif yang biasanya digunakan adalah LD50

19

(Loomis, 1978). LD50 dapat digunakan untuk mengetahui potensi ketoksikan akut

senyawa relatif terhadap senyawa lain serta untuk memperkirakan takaran dosis uji

toksikologi lainnya (Donatus, 2005).

LD50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik untuk menyatakan

dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan

efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji setelah perlakuan (Anonim, 1993).

Menentukan nilai LD50 dapat digunakan metode grafik Lithfield dan Wilcoxon,

metode kertas grafik probit Thompson-Weil yang berdasarkan hubungan antara

peringkat dosis dan persen respon. Metode tersebut menekankan respon kematian

sebagai end point dalam penentuan LD50 (Barile, 2008).

6. Uji Ketoksikan Akut Oral Metode 423

Terdapat beberapa metode toksisitas akut yang telah dipublikasikan oleh

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang masing-

masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Sitzel & Carr, 1999). Metode yang

pertama kali dikeluarkan oleh OECD adalah pedoman nomor 401 (Acute Oral

Toxicity) yang merupakan metode tradisional. Metode ini menggunakan hewan uji

rodentia baik tikus atau mencit dengan mengelompokkannya berdasarkan jenis

kelamin yang sama ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah ditetapkan. Tiap

kelompok terdiri dari 5 hewan uji yang dipejankan senyawa uji secara oral dan

dengan dosis yang bertingkat. Uji dilakukam kembali dengan hewan uji dari jenis

kelamin berbeda setelah uji pertama selesai (Sitzel & Carr, 1999).

20

OECD mengeluarkan pedoman nomor 420 (Fixed Dose Procedure), 423 (Acute

Toxic Class Method), dan 425 (Up and Down Procedure) untuk menggantikan

metode OECD 401. Semua metode tersebut menggunakan tikus atau mencit

(rodentia) sebagai hewan uji dengan jenis kelamin betina. Hal ini karena hewan uji

betina lebih sensitif dan untuk mengurangi jumlah hewan uji yang digunakan

(Anonim, 2001b).

Metode OECD 420 mengelompokkan hewan uji ke dalam beberapa kelompok

dosis yang telah ditetapkan yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/kg BB dengan 5 hewan

uji pada tiap kelompoknya. Uji pendahuluan dilakukan sebelum uji utama untuk

menentukan dosis awal dengan satu hewan uji pada tiap dosis. Metode ini

memberikan informasi mengenai senyawa berbahaya (hazardous) dan senyawa

tersebut dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dari Globally Harmonised

System (GHS) (Anonim, 2001a).

Metode OECD 425, hewan uji diberi seri dosis dengan faktor pengalian 3,2 dan

dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD50 dari acuan. Setidaknya

menggunakan 1 hewan uji untuk masing-masing dosis. Pemberian dosis selanjutnya

dilakukan berdasarkan satu dosis sebelumnya setelah 48 jam. Jika hewan uji hidup,

maka dosis selanjutnya dinaikkan dengan faktor kenaikan 3,2. Jika hewan uji mati,

maka dosis diturunkan dengan faktor penurunan 3,2. Metode ini nilai LD50

ditentukan dengan program AOT425StatPgm (Acute Oral Toxicity (Guideline 425)

Statistical Program) (Anonim, 2001c).

Hewan uji yang digunakan dalam metode OECD 423 lebih sedikit yaitu 3 hewan

uji. Metode OECD 423 tidak dapat menentukan nilai LD50 secara tepat, tetapi hanya

21

dapat menentukan kisaran nilai dari LD50. Untuk mengklasifikasikan tingkat

toksisitas dari senyawa yang diuji maka digunakan satu tingkat dosis tetap. Dengan

menggunakan metode ini senyawa dapat dikategorikan menurut Globally

Harmonised Classification System (GHS) (Barile, 2008). Klasifikasi Globally

Harmonised Classification System (GHS) dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Klasifikasi LD50 pada Globally Harmonised Classification System (GHS) (Anonim,

2001b)

Klasifikasi Keterangan

Kategori 1 Nilai LD50 pada kisaran 0-5 mg/kg BB hewan uji

Kategori 2 Nilai LD50 pada kisaran >25-50 mg/ kg BB hewan uji

Kategori 3 Nilai LD50 pada kisaran >200-300 mg/kg BB hewan uji

Kategori 4 Nilai LD50 pada kisaran >500-2000 mg/kg BB hewan uji

Kategori 5 Nilai LD50 pada kisaran 2500-5000 mg/kg BB hewan uji

Kategori 5 atau tidak terklasifikasi Nilai LD50 >5000 mg/kg BB hewan uji

Hewan uji yang sering digunakan adalah tikus, tapi dapat juga digunakan mencit

(rodentia). Hewan ini dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani.

Selain itu juga terdapat banyak data toksikologi mengenai jenis hewan ini, suatu

fakta yang mempermudah pembandingan toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1995).

Menurut OECD 423 hewan uji yang biasanya digunakan adalah betina karena

betina umumnya lebih sensitif. Menurut Donatus (2005), terdapat perbedaan tingkat

dan aktivitas enzim antara tikus jantan dan betina. Tikus betina memiliki kapasitas

metabolisme hati lebih rendah. Oleh karena itu, penentuan LD50 sebaiknya

dilakukan pada kedua jenis kelamin, juga pada hewan dewasa dan yang masih

muda, karena mungkin memiliki kerentanan yang berbeda (Lu, 1995).

Senyawa uji dipejankan secara peroral dengan pemberian dosis tunggal tetapi

jika tidak memungkinkan maka dapat dilakukan pemejanan berulang dalam waktu

22

kurang dari 24 jam dengan memperhatikan volume maksimal yang dapat diberikan

pada hewan uji (Anonim, 2001b).

Aklimatisasi atau penyesuaian hewan uji terhadap lingkungan minimal

dilakukan selama 5 hari. Hewan uji seharusnya dipuasakan sebelum dilakukan

pemejanan dengan tidak diberikan makan namun tetap diberikan minum selama

semalam (untuk tikus) atau 3-4 jam (untuk mencit). Makanan dapat diberikan

kembali 3-4 jam setelah pemejanan untuk tikus dan 1-2 jam setelah pemejanan

untuk mencit. Tetapi jika senyawa uji yang diberikan dalam bentuk fraksi selama

satu periode sebaiknya hewan uji tetap diberikan makan dan minum tergantung

lama periode pemejanan (Anonim, 2001b).

Dosis yang diberikan sama dengan dosis pada metode OECD 420 yaitu 5, 50,

300, dan 2000 mg/kg BB. Dosis awal dipilih berdasarkan studi pengamatan dosis

yang diharapkan menimbulkan kematian pada beberapa hewan uji. Jika informasi

tersebut tidak tersedia maka digunakan dosis awal 300 mg/kg BB. Sedangkan jika

informasi yang ada menunjukkan pada dosis tertinggi yaitu 2000 mg/kg BB tidak

mungkin ada kematian, maka uji batas harus dilakukan dan diberikan dosis 5000

mg/kg BB jika masih memungkinkan untuk diberikan dengan hanya 1 kelompok

saja (3 hewan uji) (Anonim, 2001b).

Pengamatan pada hewan uji dilakukan secara intensif selama 4 jam setelah

pemejanan dan dilanjutkan pengamatan setiap hari sesering mungkin selama 14

hari. Pengamatan tersebut dilakukan pada semua hewan uji yang hidup setelah

pemejanan. Bila terjadi kematian hewan uji, maka hewan tersebut harus langsung

dikorbankan. Lamanya pengamatan ini pun bergantung dari reaksi toksik yang

23

muncul, waktu onset dan panjang periode pemulihan dengan demikian pengamatan

dapat diperpanjang bila dianggap perlu (Anonim, 2001b).

Kejadian dan waktu munculnya tanda toksik dicatat untuk setiap hewan uji.

Pengamatan harus mencakup perubahan kulit, bulu, mata, selaput lendir,

pernapasan, peredaran darah, sistem saraf otonom dan pusat, somatomotor aktivitas

dan pola perilaku. Perlu diperhatikan pengamatan tremor, kejang, air liur, diare,

lesu dan tidur. Data pengamatan simtomatologis ini dapat digunakan untuk

memperkirakan dosis minimum toksik atau simtomatik, dosis maksimal yang dapat

ditolerir dan dosis yang tidak menyebabkan efek pada spesies uji. Data

simtomatologi juga dapat digunakan untuk memperkirakan mekanisme aksi, letak

sisi aktif efek toksik, dan perkiraan durasi efek toksik dosis tunggal yang berguna

untuk uji toksisitas dosis berulang (Loomis, 1978).

7. Histopatologis Organ

Histologi adalah ilmu mengenai jaringan tubuh dan cara jaringan ini menyusun

organ-organ (Junqueira & Carneiro, 2007). Histopatologi adalah cabang dari

patologi yang memusatkan dalam menemukan dan mendiagnosis penyakit dari

hasil pemeriksaan jaringan. Mayoritas diagnosis histopatologis dilakukan dari

potongan jaringan blok paraffin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin.

Jaringan berasal dari biopsi yang dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim ke

laboratorium histopatologi (Underwood, 1999). Bahan fiksasi yang sering

digunakan adalah formalin 10%. Pewarna yang sering digunakan dalam

pengamatan ini adalah kombinasi dari hematoksilin dan eosin. Hematoksilin

24

memulas inti dan struktur asal lainnya dari sel (seperti pada bagian sitoplasma yang

kaya RNA dan matriks tulang rawan) menjadi biru. Eosin akan memulas sitoplasma

dan kolagen menjadi merah muda (Junqueira & Carneiro, 2007).

Organ yang biasanya diamati dalam pemeriksaan histopatologis adalah hati,

ginjal, paru-paru, jantung, lambung, usus dan limpa (Lu, 1995). Hati merupakan

kelenjar terbesar dalam tubuh, terdiri dari sel-sel hati (hepatosit) yang tersusun

radial ke arah luar vena sentralis. Sel hati berbentuk polihedral dengan inti bulat

dan terletak di tengah (Dellman & Brown, 1992). Hati mendapat vaskularisasi

ganda melalui vena porta dan vena hepatika. Vena porta akan masuk darah yang

berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen lainya seperti limpa, pankreas

dan kantong empedu. Darah yang masuk ini mengandung berbagai macam nutrisi

yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Sebanyak 75-80%

darah pada organ hati berasal dari vena porta sedangkan dari arteri hepatika hanya

mendapat sekitar 20-25% darah yang kaya oksigen (MacLachan & Cullen, 1995).

Hati memiliki fungsi metabolisme paling kompleks di dalam tubuh, yaitu

metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Bahan-bahan

toksik dari saluran cerna seperti yang berasal dari tumbuhan, fungi, dan produk

bakteri akan diabsorbsi kedalam pembuluh darah portal dan ditransfer ke hati,

karena hati merupakan organ detoksifikasi. Toksikan dapat menyebabkan berbagai

perubahan pada sel-sel hati, sehingga mengakibatkan perlemakan hati, nekrosis

hati, kolestasis dan sirosis (MacLachan & Cullen, 1995; Lu, 1995).

Ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis, yaitu tempat masuknya

pembuluh darah dan keluarnya ureter (Dellman & Brown, 1992). Ukuran ginjal

25

dalam berbagai spesies sangat bergantung pada jumlah nefron yang memiliki fungsi

dasar untuk membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh

tubuh (Ganong, 2010).

Ginjal merupakan organ yang juga terkena efek toksik jika tubuh terpapar oleh

zat toksik. Fungsi utama dari ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme,

memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa,

serta mengatur tekanan darah (Dellman & Brown, 1992).

Ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik, karena

ginjal menerima 25% dari cardiac output, sehingga sering dan mudah kontak

dengan zat kimia dalam jumlah besar. Ginjal sebagai jalur obligatorik untuk

sebagian obat, sehingga insufisiensi ginjal meningkatkan konsentrasinya dalam

cairan tubulus. Secara mendasar ginjal akan mendapat efek langsung dari senyawa

toksik (Lu, 1995).

Menurut Ressang (1984), terdapat beberapa kelainan ginjal yang dapat dilihat

jelas secara mikroskopis, yaitu : ginjal dengan bercak-bercak putih pada bagian

korteks karena akumulasi dari leukosit sebagai bagian dari eksudat radang. Ginjal

yang membesar dan pucat karena degenerasi lemak. Ginjal yang mengecil, putih,

tidak rata karena banyaknya jaringan ikat yang bersifat refraktif akan

mengakibatkan permukaan ginjal menjadi berbenjol-benjol tidak rata.

Paru-paru merupakan bagian dari sistem pernafasan yang juga menjadi salah

satu target uji toksisitas. Saat proses pernafasan berlangsung, mungkin saja terjadi

toksisitas yang diakibatkan oleh tereksposnya suatu bahan kimia di udara, sehingga

26

mengakibatkan kerusakan epitel dan jaringan dalam bentuk degenerasi, proliferasi

dan inflamasi (Glaister, 1986).

Jantung merupakan target potensial dan mudah diserang oleh toksin. Jantung

membutuhkan banyak energi dibanding organ lainnya dalam tubuh untuk mengatur

suplai oksigen yang diperlukan dalam metabolisme aerobik (metabolisme yang

membutuhkan oksigen). Sejumlah besar obat dan bahan kimia dapat menyebabkan

berbagai kerusakan tingkat seluler jantung dengan mekanisme yang berbeda

(Glaister, 1986).

Lambung secara histologi terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa, kelenjar

lambung, dan tunika muskularis. Membran mukosa lambung membentuk lipatan

longitudinal yang disebut rugae dan terdiri dari 3 komponen, yaitu epitelium,

lamina propia, dan muskularis mukosa. Kelenjar lambung berbentuk tubular dan

mengandung sel parietal, sel utama (Chief sel), dan sel lendir leher (Gartner & Hiatt,

2001). Obat atau senyawa kimia sebagian besar dikonsumsi melalui oral dan akan

masuk dalam lambung, sehingga lambung dapat terpapar secara langsung oleh

senyawa toksik.

Usus halus secara mikroskopis dibagi menjadi duodenum, jejenum dan ileum

yang memiliki struktur histologi yang hampir sama. Lapisan-lapisan yang

menyusun dinding usus halus terdiri dari tunika mukosa, tunika submukosa, tunika

muskularis, dan tunika serosa (Dellman & Brown, 1992). Usus merupakan organ

pencernaan, sehingga setelah obat atau senyawa kimia dikonsumsi secara oral

melalui lambung, zat tersebut akan masuk kedalam usus.

27

Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu

organ limfoid primer dan sekunder. Organ limfoid primer merupakan organ yang

berfungsi mengatur produksi, diferensiasi limfosit dan pengaturan perkembangan

limfosit. Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berfungsi untuk menahan

agen asing atau zat toksik yang berhasil mencapai sirkulasi darah agar tidak

menyebar lebih luas (Tizard, 1987). Ketika ada benda asing atau zat toksik yang

masuk dalam tubuh maka akan terjadi respon dari limpa yang dapat dilihat dengan

adanya perubahan ukuran, warna dan konsistensi, sehingga secara mikroskopis

limpa terlihat membengkak (Volk & Wheleer, 1993).

Ketika ada zat toksik yang masuk dalam organ tubuh maka akan terdapat

beberapa respon yang dapat berupa luka sel pada organ dalam tubuh. Kelukaan

yang sering muncul diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Degenerasi hidropik

Degenerasi merupakan perubahan akibat luka yang tidak fatal dan dapat pulih

kembali (reversibel). Degenerasi hidropik merupakan gangguan metabolisme atau

karena keracunan bahan makanan. Hal ini mengakibatkan pembengkakan sel

dengan penimbunan lebih banyak air dan metabolit dalam vakuola yang terbentuk

di sitoplasma. Secara mikroskopis organ yang mengalami degenerasi hidropik akan

terlihat membesar, lebih pucat dan konsistensinya lebih rapuh (Underwood, 1999).

b. Infiltrasi

Infiltrasi adalah terjadinya penumpukan metabolit seperti air, lemak dan aneka

ragam jenis inklusi dalam jumlah berlebih karena adanya luka pada sel (Donatus,

2005).

28

c. Radang

Radang atau inflamasi adalah respon yang timbul diakibatkan adanya benda

asing atau terjadinya kelukaan jaringan secara langsung, baik kelukaan karena

bahan kimia, trauma mekanis, dan pengaruh fisik. Ketika benda asing masuk dalam

tubuh maka respon imun akan aktif dan akan mengakibatkan terjadinya proses

fagositosis dari protein plasma dan fagosit untuk mengisolasi, menghancurkan, atau

menginaktifkan agen yang masuk. Ketika mediator inflamasi diekspresikan maka

akan mengakibatkan timbulnya rubor (kemerahan), kolor (panas), dolor (nyeri),

dan turgor (pembengkakan) yang merupakan gejala dari inflamasi (Corwin, 2008).

d. Atropi

Atropi adalah mengecilnya sel atau berkurangnya jumlah sel yang biasanya

menyebabkan penyusutan atau pengkerutan jaringan atau organ yang terpengaruh

(Donatus, 2005).

e. Edema

Edema merupakan adanya cairan berlebihan pada jaringan tubuh. Edema

terutama terjadi pada kompartemen cairan ekstrasluler, tapi juga dapat melibatkan

cairan intraseluler. Terjadinya pembengkakan intraseluler misalnya karena depresi

sistem metabolik jaringan. Bila aliran darah ke jaringan menurun, pengiriman

oksigen dan nutrisi berkurang. Jika aliran darah menjadi sangat rendah untuk

mempertahankan metabolisme jaringan normal, maka pompa ion membran sel

menjadi tertekan. Bila ini terjadi, ion natrium yang biasanya masuk ke dalam sel

tidak dapat lagi di pompa keluar dari sel, dan kelebihan natrium dalam sel

menimbulkan osmosis air dalam sel, sehingga edema dapat terjadi pada jaringan

29

yang meradang. Edema ekstraseluler dapat terjadi karena kebocoran abnormal

cairan dari plasma ke ruang interstisial dengan melintasi kapiler dan kegagalan

limpatik untuk mengembalikan cairan dari interstisium ke dalam darah (Guyton &

Hall, 2006).

f. Kongesti

Kongesti terjadi dengan meningkatnya volume darah akibat pelebaran

pembuluh darah kecil. Kongesti akan menyebabkan venula dan kapiler semakin

permeable. Hal ini akan menyebabkan keluarnya cairan plasma ke dalam jaringan

dan meningkatkan viskositas darah sehingga sel darah menggumpal dan tekanan

terhadap aliran darah akan lebih tinggi. Selain terganggunya sirkulasi darah,

kongesti juga menyebabkan sel-sel hati mengalami degenerasi atau akan berlanjut

pada nekrosis karena kekurangan nutrien dan oksigen (Ressang, 1984).

g. Nekrosis

Nekrosis adalah kematian sel dalam diri makhluk hidup, dan merupakan respon

degenerasi terhadap luka sel yang sering sekali dijumpai. Kejadian ini merupakan

hasil akhir dari berbagai macam mekanisme luka sel baik intrasel maupun ekstrasel

(Donatus, 2005).

F. LANDASAN TEORI

Penelitian mengenai toksisitas serta pengaruh angkak dan kayu manis pada

pengamatan histopatologis secara terpisah telah banyak dilakukan. Penelitian

mengenai toksisitas angkak memberikan informasi tingkat toksisitas angkak yang

rendah, tetapi pengamatan terhadap histopatologis angkak memberikan informasi