bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/bab i.pdf · 2018. 11. 29. ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan sistem ketatanegaraan sejumlah negara belakangan ini
menunjukkan bahwa begitu banyak negara yang kemudian menjadikan
konsepsi tentang negara hukum sebagai konsep ideal dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu menunjukkan bahwa betapa
tingginya posisi dan kedudukan hukum dalam perjalanan kehidupan berbangsa
dan bernegara, khususnya dalam rangka mengatur kehidupan suatu negara
menjadi lebih baik. Hukum menjadi sesuatu yang sangat penting untuk
mengatur dan menata kehidupan manusia.1
Sebagaimana telah tercantum dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwasannya Negara Indonesia
merupakan Negara Hukum. Dalam konsep Negara Hukum yang ideal tersebut
hukum dijadikan panglima diatas segalanya, bukan politik maupun ekonomi.
Karena itu, hal yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris menyebutkan salah
satu prinsip Negara Hukum yakni“The rule of law, not of man”. Pemerintahan
pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang
hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya.2
1 Haposan Siallagan. 2016. Penerapan Prinsip Hukum di Negara Indonesia. Medan.
Sosiohumaniora. Vol. 18 No. 2. Fakultas Hukum HKBP Nommensen. Hal. 122
2 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum di Indonesia, http://www.jimly.com,
diakses tanggal 8 September 2017
2
Sehingga dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara
Indonesia merupakan negara yang didasarkan kepada hukum (rechstaat)
bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan semata (machtstaat).
Kemudian Konsep Negara Hukum dalam proses bekerjanya aparatur
penegak hukum memiliki tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :
1. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana yang mendukung mekanisme kerja kelembagaannya;
2. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya;
3. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang
dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum
acaranya.
Upaya penegakan hukum haruslah memperhatikan ketiga aspek
tersebut secara komprehensif, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan
itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.3
Adapun dari suatu permasalahan hukum yang muncul haruslah melalui
beberapa tahapan-tahapan, seperti salah satu contohnya dalam perkara pidana,
menurut sistem yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam
peradilan pidana adalah tahap penyidikan oleh kepolisian, tahap penuntutan
oleh kejaksaan, tahap pemeriksaan di pengadilan oleh hakim, tahap
3 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, http://www.jimly.com, diakses tanggal 14
September 2017
3
pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan.
Namun, apabila suatu putusan belum menyelesaikan suatu permasalahan atau
perkara maka untuk selanjutnya ada tahapan yang disebut dengan upaya
hukum.4 Dalam pasal 1 angka 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya biasa disebut
KUHAP, dijelaskan bahwa :
“Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan hak
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-
undang ini.”5
Upaya hukum tersebut terdiri dari 2 (dua) yakni upaya hukum biasa
yang meliputi banding dan kasasi dan upaya hukum luar biasa meliputi kasasi
demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Upaya hukum terakhir
yang sering ditempuh untuk mengakhiri suatu permasalahan hukum yakni
pengajuan peninjauan kembali. Hal ini ditunjukkan dari data dibawah ini yang
dilansir dari laman website Mahkamah Agung dan hukum online sebagai
berikut :
1. Tahun 2013 sebanyak 4.687
2. Tahun 2014 sebanyak 2.426
3. Tahun 2015 sebanyak 2.755
4. Tahun 2016 sebanyak 3.487
5. Tahun 2017 sebanyak 3.904
4 Muhammad Nursal NS, Proses Peradilan Pidana, http://www.negarahukum.com
/hukum/proses-peradilan-pidana.html, diakses tanggal 6 Oktober 2017
4
Dari data diatas menunjukkan bahwa pengajuan PK terbanyak ada di
tahun 2013 yang kemudian sempat menurun di tahun 2014 dan tahun 2015.
Namun kembali naik di tahun berikutnya yakni di tahun 2016 dan 2017. Hal
tersebut menunjukkan bahwa upaya hukum mengenai PK mengalami keadaan
naik turun di tiap-tiap tahun yang berbeda yang digunakan sebagai jalan paling
terakhir untuk menempuh suatu penyelesaian hukum selain upaya hukum
kasasi.6
Namun seiring dengan berkembangannya hukum keefektifan dalam
penerapan peninjauan kembali menjadi sangat kurang dikarenakan terdapat
berbagai peraturan yang tidak berkesinambungan.7 Hal ini menyebabkan
sebagian masyarakat beranggapan bahwa mengenai upaya hukum peninjauan
kembali dirasa kurang konsisten, efisien, dan efektif dalam penerapannya.
Mengenai ketentuan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK)
dalam ranah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Peninjauan Kembali
(PK) terdapat dan diatur dalam Bab XVIII Pasal 263 Sampai dengan 269
KUHAP. Pasal-pasal ini merupakan upaya hukum yang mengatur tata cara
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Jadi ini merupakan Rechteerljike Dwaling atau
Misscarriage of Justice terhadap seseorang yang telah di jatuhi pidana
6 Asep Nursobah, Inilah Putusan yang diajukan PK di Tahun 2016, https://kepaniteraan.
mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/1410-inilah-putusan-yang-diajukan-peninjauan-kemb
ali-di-tahun-2016, diakses tanggal 22 Januari 2018
7 Setyawan Nurdaya Sakti, Disampaikan pada saat perkuliahan Hukum Acara Pidana
5
berdasarkan bukti-bukti kuat dan signifikan dia tidak bersalah atau ternyata
perbuatan pidana yang yang dituduhkan dilakukan oleh orang lain.8
Adapun upaya hukum luar biasa mengenai pengajuan peninjauan
kembali terjadi polemik ketika putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan
dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Mahkamah Konstitusi
tepatnya pada tanggal 6 Maret 2014 mengeluarkan putusan Nomor 34/PUU-
XI/2013 yang mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi yakni Antasari Azhar, S.H., M.H sebagai Pemohon I,
istrinya yakni Ida Laksmiwaty, S.H., sebagai Pemohon II,dan anaknya Ajeng
Oftarifka Antasariputri sebagai Pemohon III. Dimana para pemohon
mengajukan permohonan terhadap pembatalan pasal 268 ayat (3) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Pasal tersebut mengatur mengenai pengajuan peninjauan kembali yang
hanya dapat dilakukan satu kali, sehingga Antasari Azhar sebagai pemohon I
yang sedang terjerat kasus hukum saat itu telah mengajukan peninjauan
kembali dan untuk mengajukan peninjauan kembali untuk kedua kalinya
terganjal oleh pasal 268 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.9
8 Seno Wibowo Gumbira. 2016. Problematika Peninjauan Kembali Dalam Sistem
Peradilan Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Pasca Sema Ri No. 7 Tahun 2014
(Suatu Analisa Yuridis Dan Asas-Asas Dalam Hukum Peradilan Pidana). Jurnal Hukum dan
Pembangunan. Vol. 46 No.1. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Terbuka. Hal. 108
9 MA : PK Hanya Satu Sekail, Putusan MK Tak Dapat Dikesampingkan. Sumber Cetak.
http://icjr.or.id/ma-pk-pidana-hanya-satu-kali-putusan-mk-tak-dapat-dikesampingkan/. Di pos
pada tanggal 02 Januari 2015. Diakses tanggal 27 Desember 2017
6
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 268 ayat (3) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945.10 Sehingga dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi ini upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari
satu kali dalam perkara pidana. Dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat konkrit, final dan mengikat hingga ke seluruh lapisan masyarakat
(erga omnes).
Selanjutnya setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan ini,
Mahkamah Agung tepatnya pada tanggal 31 Desember 2014 mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Dimana
SEMA ini di dalam poin nomor 3 mempertegas mengenai aturan pengajuan
permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang hanya dapat
dilakukan 1 (satu) kali. Kemudian menurut poin nomor 4, PK dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang
sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan
Peninjauan Kembali.11
10 Agung Barok Pratama. 2017. Analisis Yuridis Pengaturan Ideal Peninjauan Kembali
Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Jurnal Pasca
Sarjana UNS. Vol. 5 No.2 Hal. 32
11 Muhammad Tanziel Aziezi, Tentang SEMA RI Nomor 7 Tahun 2014 (Bagian 1),
https://www.selasar.com/jurnal/7051/Tentang-SEMA-RI-Nomor-7-Tahun-2014-Bagian-1, diakses
tanggal 27 Desember 2017
7
Selanjutnya dalam pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA Nomor 7
Tahun 2014 menyatakan bahwa MK hanya menghapus ketentuan PK dalam
pasal 268 (3) KUHAP namun tidak menghapus ketentuan PK di dalam
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni
pasal 24 ayat (2) dan pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Mahkamah Agung. Dikarenakan kedua pasal tersebut bersifat
umum dan pada saat itu yang dimohonkan judicial review hanya pasal 268
ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.12
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi disini dari data yang
dilansir di laman website Mahkamah Agung dan hukum online hanya terdapat
64 perkara PK diatas PK yang ditangani oleh Mahkamah Agung. Hal ini
merupakan bukti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak berpengaruh
terhadap hakim-hakim di pengadilan dikarenakan para hakim di pengadilan
lebih tunduk kepada SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.13
Untuk selanjutnya mengenai pertimbangan yang digunakan dalam
SEMA terutama mengenai pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, memiliki bunyi yang sama seperti
pada pasal 268 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dirasa sangat penting untuk menentukan
bagaimana jalannya sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat bahwa
12 Ibid
13 Asep Nursobah, Loc.cit
8
pasal tersebut tercantum di dalam Undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menaungi seluruh ruang lingkup peradilan yang ada di
Indonesia baik ruang lingkup peradilan umum maupun ruang lingkup
peradilan khusus. Dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 24 dan pasal 25
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni bahwa
kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, berarti terlepas dari
pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah (terhubung dengan itu,
harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para
hakim). Hal ini sebagai bukti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh
undang-undang salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu
kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan legislatif dan eksekutif.14
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya yakni dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militerdan lingkungan peradilan tata usaha negara serta oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sejak awal era kemerdekaan Indonesia, kekuasaan
kehakiman ditujukan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-
lembaga politik seperti legislatif dan presiden dan memiliki hak untuk menguji
14 Threesya Aldina, Kekuasaan Kehakiman, http://www.academia.edu/12280496
/Kekuasaan_Kehakiman_di_Indonesia, diakses tanggal 01 Januari 2018
9
yakni hak untuk menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak untuk
menguji meteril (materiele toetsingrecht).15
Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi
terselenggaranya Negara Republik Indonesia”. Kemerdekaan atau
independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu
sifat kekuasaan kehakiman, sebagaimana disinggung oleh Bagir Manan
tentang kekuasaan kehakiman, bahwa :
1. Kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari
campur tangan kekuasaan lain;
2. Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara
yang lain, lebih mencerminkan asas pemisahan kekuasaan, daripada
pembagian kekuasaan. Bagir Manan menunjuk pada Penjelasan
UUD NRI 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS dan UUD 1950
diartikan sebagai “terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.
Pada tatanan konsep, teori Kekuasaan kehakiman mengandung dua
segi, diantaranya adalah:
1. Hakim merdeka bebas dari pengaruh siapapun, selain kekuasaan
legislatif dan eksekutif, hakim juga harus bebas dari pengaruh
kekuasaan unsur-unsur judisiil itu sendiri dan pengaruh dari luar
pemerintahan seperti pendapat umum, pers dan sebagainya;
2. Kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya sebatas fungsi hakim
sebagai pelaksana kekuasaan yudisiil atau pada fungsi
yudisiilnya.16
15 Sofyan Jailani. 2012. Independensi Kekuasaan Kehakiman Berdasar Undang-Undang
Dasar 1945. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 6. No. 3. September – Desember 2012. Hal. 2
16 Rahayu Prasetyaningsih. 2011. Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman. Bandung. Jurnal
Konstitusi. Vol. 8 No. 5 Oktober 2011. Hal 835-836
10
Dalam hal ini menimbulkan suatu pertanyaan apakah putusan
Mahkamah Konstitusi juga dapat mengikat khususnya pada pasal 24 ayat (2)
Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dimana Undang-undang tersebut mengikat terhadap seluruh ruang lingkup
peradilan yang berada di Indonesia. Kemudian bagaimana implikasi yang
ditimbulkan atas adanya putusan mengenai pembatalan terhadap pasal 268
ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kemudian dalam uraian latar belakang tersebut membuat penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat final, konkrit dan mengikat dapat berimplikasi terhadap sistem
peradilan di Indonesia khususnya pada pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan judul
“IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 34/PUU-XI/2013 TERHADAP PASAL 24 AYAT (2) UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009
TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”.
B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-
XI/2013 terhadap pasal 268 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai upaya hukum peninjauan
kembali?
11
2. Bagaimana implikasi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
34/PUU-XI/2013 terhadap pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas, maka
tujuan dari penelitian hukum ini ialah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap pasal 268 ayat (3) Undang-
undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai
upaya hukum peninjauan kembali.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa implikasi hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap pasal 24 ayat (2) Undang-
undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian hukum ini ialah sebagai berikut:
a. Bagi Mahasiswa
Memberikan tambahan pengetahuan mengenai pertimbangan
hukum oleh hakim dan kepastian hukum dalam pengajuan peninjauan
kembali serta urgensi pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan lebih
dari satu kali bagi masyarakat di Indonesia. Selain itu, juga untuk
12
mengetahui dan memahami implikasi hukum putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan lain.
b. Bagi Penegak Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan peningkatan
pengetahuan dan memberikan pandangan mengenai kepastian hukum
pengajuan peninjauan kembali dilihat dari segi peraturan perundang-
undangan di Indonesia, sehingga nantinya akan tercapai kepastian hukum
sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.
c. Bagi Penulis
Penelitian dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan baru untuk penulis terkait implikasi hukum atas putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan yang lain
khususnya pada pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Di samping itu, manfaat penelitian secara subyektif yaitu
sebagai syarat untuk Penulisan Tugas Akhir dan menyelesaikan studi
Srata-1 (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
dengan gelar Sarjana Hukum.
d. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk
memperoleh informasi dan kepastian hukum secara utuh mengenai
pengajuan peninjauan kembali.
13
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna dalam menemukan dan mengetahui implikasi
hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 24 ayat (2) Undang-
undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia. Kemudian untuk menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan mengenai kepastian hukum pengajuan peninjauan
kembali dan urgensi pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari
satu kali untuk menjamin kesejahteraan dan menambah kepercayaan
masyarakat Indonesia untuk penerapan hukum yakni demi keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan hukum.
Selain itu, untuk memahami kesesuaian sistem yang diputus oleh
Mahkamah Konstitusi dan Surat Edaran Mahkamah Agung dalam
menemukan kesinambungan dan kepastian hukum mengenai pengajuan
peninjauan kembali. Sehingga penelitian ini dapat memberikan masukan
terhadap perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia yang akan
disesuaikan dengan tujuan hukum. Serta mendorong pemikiran untuk lebih
maju bagi kalangan praktisi hukum maupun pelaku kekuasaan dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar.
F. Metode Penulisan
Dalam pembuatan karya ilmiah ini penulis akan menggunakan sebuah
metode penulisan. Dimana dalam metode ini dilakukan dengan cara mencari
informasi secara terstruktur dan kemudian diikuti dengan langkah-langkah
14
terinci supaya mendapatkan penafsiran yang cukup luas. Selain itu, metode
disini bertujuan untuk menemukan solusi maupun fakta hukum.
1. Metode Pendekatan
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh punulis, maka metode
yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian
hukum normatif (normatif legal research) yakni menempatkan hukum
sebagai norma dalam masyarakat. Metode penelitian hukum normatif atau
metode penelitian kepustakaan ini adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti dan menggunakan bahan pustaka yang ada.17
Pendekatan yuridis normatif disini dilakukan dengan 2 pendekatan
yakni pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan
konseptual (statute conceptual). Pendekatan undang-undang (statute
approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undangdan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi
dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang
lainnya atau antara undang-undang dan UUD NRI 1945 atau antara
regulasi dan undang-undang.
17 Soerjono Soeksanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Cetakan ke – 11. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal. 13–14
15
Sedangkan pendekatan konseptual (statute conceptual) beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.18
2. Jenis Bahan Hukum
Dalam proses penyusunan penelitian ini penulis menggunakan 3
(tiga) jenis bahan hukum yaitu :
a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau
yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–
undangan dan putusan hakim.19 Bahan hukum primer meliputi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang RI No. 14
Tahun 1985 jo. Undang-undang RI No. 5 tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung jo. Undang-undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, Undang-undang RI No. 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang RI No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung
18 Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hal
133-136
19 Peter Mahmud, Op.cit Hal. 93.
16
(SEMA) No. 7 Tahun 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
34/PUU-XI/2013.
b. Bahan Hukum Sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak
mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli
yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan
memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang
dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–
doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum, artikel hukum dan
internet serta hasil seminar penemuan ilmiah.
c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum
yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.20
3. Tekhnik Pengumpulan Bahan
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model
studi kepustakaan (library research), yakni pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan
secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif yakni
20 Ibid. Hal 93
17
penulisan yang didasari pada data-data yang dijadikan obyek penulisan
kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif.21
4. Tekhnik Analisa Bahan Hukum
Tahap analisa bahan hukum yaitu menguraikan bahan hukum
dalam bentuk kalimat yang baik dan benar. Sedangkan analisa yang
digunakan dalam penelitian ini ialah analisa dengan tekhnik deskriptif
kualitatif yaitu dengan cara menganalisa permasalahan dengan konsep dan
bahan hukum terkait. Sehingga akan muncul solusi dari permasalahan
hukum yang ada.
G. Rencana Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan penulisan hukum, penulis membagi dalam 4 bab
dan masing-masing bab terdiri atas sub bab yang dalam hal ini bertujuan
untuk mempermudah pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisikan tentang latar belakang peneliti atau penulis
mengangkat suatu permasalahan atau peroblematika dalam fenomena
di ruang lingkup peradilan yang di dalamnya juga menjelaskan
bagaimana suatu putusan dan surat edaran dapat dikatakan tidak
harmonis dengan mencantumkan pula posisi kasus. Serta, bagaimana
21 Padang Saputra. 2014. Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 17 Tahun
2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Hal. 13
18
kekuasaan kehakiman sangat penting dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Selain itu, juga menyebutkan landasan yuridis dan landasan
sosiologis serta landasan empiris.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang kumpulan beberapa teori yang akan menajdi
acuan atau rujukan dari topik penelitian, sehingga nantinya dapat
mempermudah peneliti atau penulis dalam menguraikannya di
pembahasan yang disesuaikan dengan batasan agar tidak keluar dari
bahasan topik yang diteliti.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisikan tentang hasil dari penelitian yang berkaitan
dengan rumusan masalah yang diangkat peneliti atau penulis yang
berkaitan dengan judul yang diangkatnya. Dalam bab ini, penulis
menguraikan hasilnya serta dikaitkan dengan teori yang diapkai oleh
penulis.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum yang
akan berisikan kesimpulan dari permasalahan yang diangkat dengan
memberikan saran atau solusi.