bab i pendahuluan a. latar belakangdigilib.uinsgd.ac.id/625/3/3_bab1sd4.pdf · yang dibeli dan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdirinya Lembaga Keuangan Syariah merupakan implementasi dari
pemahaman umat Islam terhadap prinsip-prinsip muamalah dalam hukum
ekonomi Islan, yang selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk pranata ekonomi
Islam sejenis keuangan syariah dan non-bank.
Dalam perkembangan dewasa ini, dikenal dua jenis Lembaga Keuangan
Syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) sedangkan Lembaga Keuangan Syariah non-bank diwujudkan
dalam bentuk Asuransi Takaful (AT), Baitul Mal Watamwil (BMT), Unit
Simpanan Pinjaman Syariah (USPS) dan Koperasi Pesantren (KOPONTREN) di
berbagai wilayah di Indonesia (Hendi Suhedi, 2004: iii).
Pegadaian Syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan Lembaga
Keuangan Syariah, serta masyarakat Indonesia yang menjadi nasabah Pegadaian
kebanyakan umat Islam, sehingga dengan keberadaan Pegaadaian dan nasabah
akan merasa aman di karenakan traksaksinya sesuai dengan syariah Islam (Sasli
Rais, 2005:150)
Prospek bisnis Lembaga Pegadaian Syari‟ah memiliki peluang terus
tumbuh dan berkembangan. Hal ini dimungkinkan karena Pegadaian Syariah
memiliki keunggulan dibandingkan dengan lembaga keuangan syariah lainnya
seperti Perbankan Syariah di antaranya dalam hal kemudahan dan kecepatan dana
2
segera bagi masyarakat baik untuk kebutuhan modal kerja (working capital),
konsumtif, maupun investasi.
Rekapitulasi data nasabah mulia
Tahun 2009-2010
Tahun Nasabah Total
(Rp)
2009 11 75.862.339
2010 41 236.551.558
Jumlah 52 321.413.897
Pesatnya perkembangan ekonomi dan semakin meningkatnya masyarakat
yang menginginkan kondisi ekonomi menjadi lebih baik menyebabkan
meningkatnya kebutuhan kondisi ekonomi menjadi lebih baik menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan jasa Pegadaian. Pegadaian mucul sebagai salah
satu solusi alternatif terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan manusia karena
dalam operasinya Pegadaian Syariah mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah
Islam khususnya yang berkaitan tata cara bermuamalah secara Islam. Dari
berbagai produk yang ditawarkan, Pegadaian Syariah memiliki Produk Mulia
(Murabahah Logam Mulia Untuk Investasi Abadi) yang hadir sebagi solusi untuk
menjawab pemenuhan sebagian masyarakat.
Konsep operasi Pegadaian Syariah mengacu pada sistem administrasi
modern, yaitu asas rasioanalitas, efisiensi, dan efektivitas yang diselaraskan
dengan nilai Islam. Mulia (Murabahah Logam Mulia Untuk Investasi Abadi)
menggunakan akad Murabahah, karakteristik Murabahah adalah bahwa penjual
harus memberi tahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan
jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya (Cost) tersebut. Murabahah
3
bersifat anamah (kepercayaan) di mana pembeli mempercayai perkataan penjual
dalam memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang
dikeluarkan yang merupakan harga pokok pembelian dan tambahan keuntungan,
tidak disertai dengan bukti pembelian.
Dikatakan dalam hadits bahwa jual beli secara tangguh (Murabahah)
terdapat keberkahan. Menurut ulama yang dimaksud dengan keberkahan adalah
tumbuh dan menjadi lebih baik. Dengan pembiayaan Murabahah, nasabah atau
pembeli mendapat kelonggaran dalam membayaran barang yang dibeli sesuai
dengan kesepatan yang telah dibuatnya dengan penjual. Logam Mulia atau emas
mempunyai berbagai aspek yang menyentuh kebutuhan manusia disamping
memiliki nilai estetis yang tinggi yang juga merupakan jenis investasi yang
nilainya sangat stabil, likuid, dan aman secara rill. Untuk memfasilitasi
kepemilikan emas batangan kepada masyarakat, Pegadaian Syariah menawaran
produk jual beli Logam Mulia secara tunai dan atau dengan pola angsuran dengan
proses cepat dalam jangka waktu tertentu yang fleksibel. Jual –beli Logam Mulia
yang ditawarkan oleh Pegadaian Syariah bernama: Pembiayaan Mulia (Mulia
Murabahah dan Rahn. Jenis emas batangan yang sediakan oleh Pegadaian Syariah
berupa Logam Mulia dengan kadar 99.9% dengan berat 4,25 gr, 5 gr, 10 gr, 25
gr, 50 gr, 100 gr, 250 gr, dan 1 kg.
Seperti diketahui bahwa harga emas saat ini semakin hari semakin
melambung. Emas sering diindentikan sebagai barang berharga yang bernilai
estetis yang tinggi, nomor satu, prestisius dan elegan, sehingga orang yang
4
menyebutnya sebagai Logam Mulia, karena dalam keadaan murni atau dalam
udara biasa, emas tidak dapat terosidasi atau dengan kata lain tahan karat.
Produk Gadai Syariah Mulia ini, dilaksanakan dengan akad Murabahah,
dimana jual beli dilaksanakan dengan pembayaran tangguh, dan emas yang dibeli
tidak langsung diterima oleh pembeli, melainkan ditahan oleh Pegadaian Syariah
sebagai penjual dengan akad Rahn sampai pembayaran dibayar lunas oleh
pembeli atau nasabah. Dalam pelaksanaan jual beli logam mulia di pegadaian
syariah ada tiga pihak yang terkait, yaitu pihak penjual, pembeli dan pemasok.
Pegadaian Syariah selaku pihak penjual menawarkan emas batangan kepada
nabah selaku pihak pembelian, dimana harga beli dan margin keuntungan
diberitahukan oleh Pegadaian Syariah kepada pihak pembeli (nasabah), setelah
ada kesepakatan, kemudian pihak penjual melakukan pemesanan emas Logam
Mulia kepada pihak pemasok PT.ANTAM (Aneka Tambang) sesuai dengan
permintaan pihak pembeli.
Dalam transaksi Mulia ini, pihak penjual (Pegadaian Syariah) memberikan
fasilitas pembiayaan kepada pihak pembeli (nasabah) dengan akad Murabahah,
pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam
Murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk
cara pembayaran yang berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan cara
penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian (setelah awal akad),
baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus)
(Adiwarman Karim, 2008: 115).
5
Di Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi, selama pembayaran angsuran
belum lunas, maka pihak pembeli (nasabah) diwajibkan menyerahkan barang
jaminan sebagai pelunasaan pembiayaan Murabahah berupa emas Logam Mulia
yang dibeli dan jaminan emas Logam Mulia yang dibeli tidak diserahkan
langsung kepada pihak pembeli (nasabah), melainkan ditahan, tetap berada di
bawah penguasaan pihak pertama sebagai barang jaminan (marhun) sampai
pembayaran angsuran lunas, sehingga pihak pembeli (nasabah) tidak dapat
menikmati emas yang dibelinya, namun dapat menggadaikannya serta Rahn
adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga butuh kepada
serah terima (Al Qabdh). Karena itu penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
dengan judul : “MEKANISME MURABAHAH LOGAM MULIA DI
PEGADAIAN SYARIAH CABANG SUKABUMI”.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, maka berdasarkan latar belakang
masalah di atas penulis perlu merumuskan masalah penelitian dalam bentuk
pertanyaan-penyertaan sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme pembiayaan Murabahah Logam Mulia yang
dilaksanakan Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi?
2. Bagaimana tinjauan fiqh Muamalah tentang pelaksanaan pengajuan
pembiayaan Murabahah Logam Mulia di Pegadaian Syariah Cabang
Sukabumi?
6
C. Tujuan Penelitian
Penelitiam ini secara umum bertujuan untuk menjelaskan analisis Gadai
Murabahah Logam Mulia (Murabahah Logam Mulia Untuk Investasi Abadi) di
Pegadaian Syariah secara rinci sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme pembiayaan Murabahah Logam Mulia yang
dilaksanakan Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi.
2. Untuk mengetahui tinjauan figh Muamalah tentang pelaksanaan pengajuan
pembiayaan Murabahah Logam Mulia di Pegadaian Syariah Cabang
Sukabumi.
D. Kerangka Berfikir
Gadai Syariah adalah skim pinjaman untuk kebutuhan dana masyarakat
dengan sistem Gadai sesuai Syariah. Berdasarkan Pedoman Operasional Gadai
Syaraiah (POSG), pada dasarnya Pegadaian Syariah merupakan Lembaga
Keuangan non Bank Syariah yang memberikan pinjaman atau pembiayaan atas
dasar akad hukum gadai Syariah, yang memberikan pinjaman nilai barang,
penitipan barang berdasarkan akad ijarah dan gold counter yaitu tempat jual beli
emas (Zaenudin Ali, 2008: 66).
Salah satu produknya terbaru Pegadaian Syariah adalah Mulia (Murabahah
Logam Mulia Untuk Investasi Abadi) yaitu suatu pelayanan jual beli emas
batangan Logam Mulia dengan mengunakan akad Murabahah dan Rahn.
Sebagaimana diatur dalam pasal 6 (m) Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
7
bahwa salah satu produk perbankan berdasarkan Prinsip Syariah adalah perjanjian
Murabahah. Perjanjian atau pembiayaan Murabahah juga menjadi produk yang
ditawarkan Pegadaian Syariah. Murabahah menurut Sutan Remi Sjahdeni
Murabahah adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli
dengan cicilan.
Pada perjanjian Murabahah atau mark up, bank membiayai pembelian
barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu
dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan
menambahkan suatu mark up/ keuntungan (Sutan Remi Sjahdeni, Perbankan
Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia) Pustaka
Utama Grafiti, Jakara, 2005, hlm. 64.
Menurut Muhammad, Murabahah adalah penjual dengan harga asal
ditambah dengan margin yang telah disepakati. Menurut para fuqoha , Murabahah
adalah penjualan barang seharga biaya/harga pokok(cost) barag tersebut ditambah
penjualan harus memberitahu pembeli mengenai harga pembelian produk
menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya (cost) tersebut.
Harga beli ditambah margin keuntungan.
Pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau dengan mengangsur dalam
transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad (Ahmad Rodoni dan Abdul
Hamid, 2008: 23-24). Menurut Dewan Syariah Nasional Murabahah adalah
menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba perjanjian
Murabahah adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli
8
dengan angsuran. Pada perjanjian Murabahah Pegadaian Syariah membiayai
pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli
barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah
tersebut dengan menambah suatu keuntungan. Dengan kata lain, penjual barang
Pegadaian Syariah kepada nasabah dilakukan atas dasar cost plus profit
pembayaran dari nasabah dilakukan dengan cara angsuran dalam waktu yang
telah ditentukan. Sistem pembayaan secara angsuran dikenal dengan istilah Bai’
Bitsaman Ajil.
Rahn atau gadai, menurut bahasa barang yang dijadikan sebagai jaminan
kepercayaan, sedangkan menurut syara yaitu artinya menyandera sejumlah harta
yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat di ambil sebagai
tebusan. Dalam definisinya Rahn adalah barang yang digadaikan, rahin adalah
orang yang menggadaikan sedangkan murtahin orang yang memberikan pinjaman.
Pengertian Rahn yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau
beberapa pihak mengenal persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai
jaminan utang yang mempunyai nilai harta. Menurut pandangan syara Rahn
sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagaian manfaat barang itu. Menurut
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni Rahn adalah sesuatu yang dijadikan
kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila orang yang
berpiutang (Heri Soedarsono, 2008: 194-165). Sebagaimana dijelaskan dalam
Alqur‟an Al-Baqarah: 283
9
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikan-nya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Soenarjo, 1998:71)
Pelaksanaan pembiayaan biasanya memerlukan akad pelengkap ditujukan
untuk mencari keuntungan, tapi bukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan dalam akad ini pelengkap ini dibolehkan untuk menangani biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. (Adiwarman A.Karim
,2008:104-105) Rahn merupakan akad pelengkap pada produk mulia yang
dikeluarkan Pegadaian Syariah sebagai pelengakap akad rahn bertujuan untuk
memberikan jaminan pembayaran.
Murabahah termasuk ke dalam jual beli,jual beli Murabahah boleh kecuali
ada dalil yang mengharamkannya, sebagaimana dijelaskan Allah QS Al-baqarah:
275
.... ....
……”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
10
Jual beli menjadi sah sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan terhindar
dari kefasidan, apabila rukun dan syarat terpenuhi, rukun Murabahah sama saja
halnya dengan rukun jual beli karena Murabahah ini termasuk ke dalam salah satu
jenis jual beli. Menurut jumhur ulama rukun jula beli terdiri dari atas empat
elemen diantaranya :
1. Bai (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shighat( Ijab dan Qabul)
4. Ma’qud a’laih (benda atau barang). (Rahmat Syafe‟I, 2001:76)
Adapun syarat khusus yang harus ada di dalam Bai Murabahah ,
diantaranya:
1. Harga awal yang harus mengerti oleh kedua belah pihak (penjual dan
pembeli), dalam akad Bai Murabahah penjual wajib menyampaikan secara
transparan harga beli pertama dari barang yang akan ia jual kepada
pembeli.
2. Besarnya keuntungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah
pihak, penjual dan pembeli mempunyai hak untuk mengetahui bahkan
menyepakati keuntungan yang akan diperoleh.
3. Harga pokok yang dapt diketahui secara pasti satuannya.
4. Murabahah tidak boleh dicampurkan transaksi ribawi.
5. Akad pertama dalam Murabahah harus shahih, jika pada pembelian
pertama tidak dilakukan dengan cara shahih, maka transaksi ribawi, maka
transaksi Murabahah di anggap batal (M. Yazid Affandi, 2009:91).
11
Rukun adalah salah satu yang wajib ada dalam transaksi, misalnya penjual
dan pembeli tanpa ada penjual dan pembeli, maka jual beli tidak ada. Sedangkan
syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Bila rukun sudah
terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, rukun menjadi tidak lengkap sehingga
transaksi tesebut fasid(rusak). Dalam Al-qura‟an dijelaskan Surat Al-Maidah ayat
1 sebagai berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu……….”
(Soenarjo,dkk., 1998:156)
Islam memberikan tuntunan dalam beribadah hukum yang berlaku bahwa
semua hal yang dilarang kecuali ada ketentuan berdasarkan Alqur‟an dan Hadist,
sedangkan dalam muamalah semua diperbolehkan kecuali dalil yang melarang
baik secara eksplisit maupun implisit sesuai kaidah muamalah
لالا يادللا أان إلا اإلبااحا ال ملعااماالات ف ص لي ا عالاى دا ها .تا ري “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya” ( A.Djajuli, 2006:130)
Adapun penyebab terlarangnya transaksi adalah disebabakan faktor-faktor
sebagai berikut ini (Adiwarman Karim 2008: 29-46)
12
1. Haram zatnya(haram li dzatihi)
Transaksi yang dilarang karena ada objek (barang dan penjual/ atau jasa
yang dilakukan juga dilarang misalnya minuman keras, bangkai, daging
babi, dan sebagainya.
2. Haram selain zatnya (haram li ghairihi)
Transaksi ini dilarang karena melanggar prinsip an-tarradin minkum
seperti tadlis, melanggar prinsip „la tazhimuna wa la tuzhlamun’ seperti
gharar, rekayasa pasar (dalam supply)maupun demand, riba, maysir dan
rishwah.
3. Tidak sah (lengkap) akadnya
Suatu transaksi bisa dikatakan tidak lengkap bila terjadi salah satu (atau
lebih) faktor-faktor seperti rukun, syarat tidak terpenuhi, terjadi ta’aluq
(dua akad yang saling berkaitan (two in one/dua akad dalam transaksi).
Murabahah merupaka salah satu jenis pembiayaan jual beli yaitu tansaksi
jual beli di mana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menyebutkan jumlah
keuntungan transaksi ini barang diserahkan segera setelah akas sementara
pembayaran dilakukan cicil/secara tangguh. Islam mengadakan aturan-aturan bagi
keperluan hidup manusia dan membatasi keinganan-keinginan sehingga
memperoleh maksudnya tanpa memberi madharat bagi orang lain, sehingga
memperoleh kegiatan tukar menukar keperluan anggota masyarakat adalah suatu
jalan yang baik agar manusia dapat menghindari kesempitan dan memperoleh
maksudnya tanpa merusak kehormatan.
13
Pelaksanaan suatu transaksi harus sesuai dengan asas-asas muamalah agar
tidak menimbulkan kemadharatan, secara umum asas-asas muamalah meliputi:
1. Asas tadabul manafi’
Yang artinya bahwa segala bentuk kegiatan ekonomi harus memberikan
keuntungan yang bermanfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat.
2. Asas pemerataan
Yaitu merupakan penerapan prinsip keadialan dan aktivitas ekonomi yang
menghendaki agar harta tidak hanya di kuasai oleh sekelompok orang saja,
akan tetapi harus didistribusikan secara merata pada masyarakat.
3. Asas an taradin (suka sama suka)
Bahwa dalam melakukan aktivitas ekonomi setiap individu yang
bertransaksi harus berdasarkan kerelaan masing-masing.
4. Asas adamul’ gharar
Artinya bahwa setiap bentuk dalam aktivitas ekonomi tidak boleh ada daya
tipu yang menyebabkan salah satu merasa dirugikan oleh orang lainnya.
5. Asas al-birr wa al-taqwa
Bahwa dalam melakukan aktivitas ekonomi harus adanya ta’awun yang
mendekatkan pada kebijakan dan ketaqwaan.
6. Asas musyarakah ; artinya setiap bentuk aktivitas ekonomi adalah
kerjasama yang saling mengutungkan , tidak saja kedua belah pihak yang
bertransaksi melainkan seluruh masyarakat.
Asas-asas muamalah ini menjadi tolak ukur dalam rangka memperoleh dan
mengembangkan harta benda, yang demikian ini dimaksudkan agar usaha kita
14
masih dalam jual beli merupakan yang akan dilakukan antara dua orang lebih
untuk saling menukar barang atas dasar kerelaan.
E. Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, metode ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu
menganalisis dan menyajikan fakta tentang mekanisme Logam Mulia di
Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi secara sistematik sehingga dapat lebih
mudah untuk dipahami dan disimpulkan ( Syaefudin Azwar, 1988:6 ).
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder ( Cik Hasan Bisri, 2008: 577 ).
Sumber data primer diperoleh dari narasumber dalam hal ini adala Pegadaian
Syariah Cabang Sukabumi, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari buku-
buku penunjang dan dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan oleh peneliti adalah data kualitatif, yang
dihubungkan dengan masalah yang dibahas yaitu mengenai penembahan margin
keuntungan dalm pembiayaan bermasalah di. Data yang dikumpulkan adalah
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan adanya
penerapan metode kulitatif (Lexy J. Moleong, 2010: 11).
15
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data tergantung pada jenis data dan sumber data
yang diperlukan (Cik Hasan Bisri, 2008: 58). Dalam pengumpulan data peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui
komunikasi langsung dengan cara bercakap-cakap/Tanya jawab dengan pimpinan
dan para staf di. Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi.
b. Studi Kepustakaan dan Dokumentasi
Studi kepustakaan dan dokumentasi dilakukan dengan cara
mengumpulkan bahan, mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan
pelaksanaan pinjaman Murabahah dan meneliti dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
5. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi berlokasi
yang di Jl. Zaenal Zakse No. 38 Kebon Jati Cikole Telp (0266) 219235 Sukabumi
6. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan cara mengelompokkan dan
menghubungkan jawaban, pandangan, dan relevansi masalah, kemudian setelah
itu dilakukan analisis data yang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Melakukan seleksi terhadap data yang telah terkumpul dari berbagai
sumber data, baik sumber data primer maupun sekunder.
b. Mengelompokkan seluruh data dalam satuan sesuai dengan rumusan
16
masalah dan tujuan penelitian.
c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam
kerangka pemikiran.
d. Menarik kesimpulan dari data-data yang dianalisa dengan
memperhatikan rumusan masalah yang telah ditentukan.
17
BAB II
TEORI MURABAHAH DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Landasan Hukum Murabahah
Murabahah secara bahasa berasal dari lafazh ribh/al-ribh yang berarti
ziyadah (tambahan, keuntungan). Ia dibentuk dengan wazan (pola pembentukan
kata) mafa’alat (dalam bahasa Arab, sharaf) yang berarti “saling “. Oleh karena
itu murabahah secara bahasa adalah saling memberi keuntungan. (Jaih Mubarak,
2004:61-61).
Sedangkan pengertian murabahah secara istilah telah banyak didefinisikan
oleh para fuqaha dengan redaksi yang beragam, misalnya Hanafiyah mengartikan
murabahah dengan menjual sesuatu yang dimiliki senilai harga barang itu dengan
tambahan ongkos, Malikiyah mengartikan murabahah dengan menjual barang
sesuai dengan harga pembelian disertai harga pembelian dengan tambahan
keuntungan yang diketahui oleh penjual dan pembeli. (Yadi Janwari, 2005:157).
Dalam kitab al-muhadzdzab dikatakan bahwa yang dimaksud al-
murabahah adalah penjual yang memberitahukan modal oleh penjual kepada
pembeli, dan penjual meminta keuntungan kepada pembeli. Berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. (Jaih Mubarak, 2004:62).
Menurut Adiwarman A. Karim, (2004:113) murabahah adalah akad jual
beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keutungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk
natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required
18
rate profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh). Karena di dalamnya
mengandung sebuah keuntungan yang disepakati, maka karakteristik murabahah
adalah penjual (Pegadaian Syariah) harus memberitahukan pembeli tentang harga
pembelian harga dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan biaya
tesebut.
Menurut Ahmad al-Syasyi al-Qaffal menjelaskan bahwa al-murabahah
adalah :(Jaih Mubarak, 2004:63)
ال عالاىراأ سال ما االزيااداةل“Adanya tambahan terhadap modal.”
Secara sederhana murabahah berarti suatu penjualan barang seharga
barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya, seseorang
membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.
Berapa besar kentungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu
atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%
(Adiwarman A. Karim, (2004:113).
Murabahah selain untuk membiayai pembelian barang (asset), diterapkan
pula pada pola produk pembiayaan pembelian barang-barang investasi, baik
domestik maupun luar negeri seperti letter of credit (L/C), skema ini paling
banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa
bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya (Antonio, 2004:104).
Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan
permintaan nasabah, adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual
yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan.
19
Dengan demikian, pihak bank atau lembaga diwajibkan untuk dislclose
(menerangkan) tentang harga beli dan tambahan keuntungan yang diinginkan
kepada nasabah (Djuwaini, 2008:105).
Murabahah adalah salah satu aplikasi jual beli. Maka jula beli ini
dihalalkan sebagaimana halnya jual beli lain. Dasar hukum yang digunakan pun
mengacu pada dasar hukum secara umum jual beli,diantarannya:
QS Al-Baqarah (2) ayat 275:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Soenarjo dkk, 1989:69)
20
QS Al-Baqarah (2) ayat 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikan-nya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Soenarjo dkk, 1989:71) QS An-Nisaa (4) ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Soenarjo dkk, 1989: 71)
Perdagangan itu ada dua macam, perdagangan yang halal, yang ada dalam
bahasa syara‟ disebut bai‟ (jual beli ) perdagangan yang haram, yang disebut riba.
Masing-masing baik bai‟ maupun riba adalah termasuk dalam kategori
perdagangan.
21
Dalam Islam, konsep jual beli tidak bisa dipisahkan dari etika dan moral.
Karena konsep jual beli dala Islam tidak semena-mena berorientasi kepada
keuntungan materi semata, tetapi lebih dari itu ia merupakan saran untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian seorang penjual tidak
boleh berdusta atau menyembunyikan aib barang. Dari Abi Sa‟id diriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاتابي علو ا : قاالا واسالاما اهلللعالاي و راسلو لل اهلللعان ولأانا راضيا عي د سا ااب عان اعالاىب اع ضوالاتابي علو ا والاتاشفلو اب اع ضاها بث الامث ال ب بالداىا الداىابا
والاتاشفلو االورقباورقالامث البث اعالاىب اع ضوالاتابي علو امن هلما اب اع ضاهاغاائبابنااجز.)متفقعليو(
Dari Abi Sa‟id al-Khudryn ra, Rasullah SAW bersabda: “Perdagangan
yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para
Nabi, para siddiqin, dan para syuhada”. (Abdul Azhim bin Abdul Qowy
al-Mundzry, 1988:585)
Dalam jual beli juga sangat diharapkan adanya unsur suka sama suka,
seperti Hadist Nabi:
ت ارااض.)رواهالبيهقيوإبنماجو( واإناااال ب اي علعان “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka”. (HR. Baihaqi dan
Ibnu Majah) (Rachmat Syafei, 2006:75).
22
Mengenai jual beli dan segala aktifitas, hal ini berkenaan dengan kaidah
fiqh yang berbunyi:
ا. ها عالاىتا ري لي دا يادللا ةلإلاأان لفال ملعااماالاتاإلبااحا الاص “pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukakan kecuali ada
dalil yang mengharamkan”. (A. Djajuli, 2006: 130).
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi
pada dasarnya boleh, seperti dalam jual beli, sewa-menyewa, gadai, kerja sama
(mudharabah atau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas
diharamkan seperti mengakibatkan kemudharatan, tipuan, judi, dan riba.
B. Syarat dan Rukun Murabahah
Suatu akad dikatakan sah apabila rukun dan syarat terpenuhi. Begitu pula
dengan Murabahah terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu bai‟(penjual) adalah pihak yang memiliki barang untuk
dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan
membeli barang.
b. Objek akad, yaitu mab’i (barang dagangan) dan tsaman (harga), dan
c. Sighah, yaitu Ijab dan Qabul (Ascarya, 2007:82)
Murabahah pada awalnya merupakan konsep yang sama sekali titdak ada
hubungan dengan pembiayaan. Namun demikian, jual beli ini kemudian
digunakan oleh Lembaga Keuangan Syari‟ah dengan menanamkan beberapa
konsep lain sehingga menjadi bentuk pembiayaan. Akan tetapi, validitas transaksi
23
seperti ini tergantung pada beberapa syarat yang benar-benar harus diperhatikan
agar transaksi tersebut diterima secara Syari‟ah (Ascarya, 2007:83)
Menurut jumhur Ulama rukun dan syarat yang terdapat dalam Murabahah
sama dengan rukun dan syarat yang ada dalam jual beli. Menurut Hanafiyah rukun
yang terdapat dalam jual beli hanya satu, yaitu: sighah, yaitu (ijab dan qabul).
Sedangkan menurut jumhur ulama rukun yang terdapt dalam jual beli, yaitu : Aqid
(orang yang bertransaksi dalam hal ini penjual dan pembeli), sighah (ijab dan
qabul), dan ma’qud alaih (objek transaksi, yakni harga dan barang) (Dimyaudin
Djuwaini, 2008:111).
Agar jual beli menjadi syah, diperlukan terpenuhinya syarat-syarat,
diantaranya yang berkaitan dengan orang yang berakad, yang berkaitan dengan
barang yang diakadkan, adanya harga sebagai alat pembayaran.
1. Syarat Orang Yang Berakad
Untuk orang yang melakukan akad diisyaratkan:
a. Berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk,
anak kecil, yang tidak dapat membedakan (memilih) tidak sah. Jika orang
gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadanng-kadang sadar dan
kadang- kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar
dinyatakan sah, dan yang dilakukan ketika gila, tidah sah. Akad anak kecil
yang sudah dapat membedakan dinyatakan valid (sah), hanya
kevalidannya tergantung kepada izin walinya.
b. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Adapun anak-anak yang sudah
mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian
24
ulama, mereka membolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena
kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran.
Sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang
mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya. (Sulaiman Rasyid,
1994:279)
c. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
d. Tidak mubazir (pemborosan), sebab harta orang yang mubazir itu ditangan
walinya. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaamu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berialah meraka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik”. (Soenarjo dkk, 1989:115)
e. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda
tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama
Islam sebab besar kemungkinan pembeli akan merendahkan abid yang
beragama Islam.
2. Syarat Barang Yang Diakadkan
a. Bersihnya Barang
Objek jual beli harus suci. Untuk ini, berdalilkan kepada hadis Jabir
bahwasanya Rasullah SAW bersabda:
واا لاص نا ن زي را ي تاةلواال رواال ما اهللاحاراماب اي علال ام اما.إنا
25
“Sesungguhnya Allah mengharamkan menjula belikan khamar, bangkai,
patung-patung”.
Tidak sah menjual belikan barang najis atau barang haram seperti
darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda tesebut menurut
syari‟at tidak dapat digunakan.
b. Dapat Dimanfaatkan/Harus Manfaat
Objek jula beli (barang) dapat diambil mamfaatnya menurut ketentuan
syara‟. Tidak sah jual beli binatang-binatang kecil yang tidak bisa diambil
mamfaatnya, begitu pula juga jual beli binatang liar, atau burung liar
seperti singa, srigala, burung elang, dan burung gagak yang tidak boleh
dimakan.
c. Milik Orang Yang Melakukan Akad
Yang bertindak adalah pemilik barang itu sendiri, atau yang diberikan izin
oleh pemilik. Jika jual beli berlangsung sebelum ada izin dari pihak
pemilik barang, maka jual beli seperti ini dinamakan bai’ ul fudhul.
d. Mampu Menyerahkannya
Bahwa yang diakadkan dapat dihitung waktu penyerahannya secara syara‟
dan rasa. Sesuatu yang tidak dapat dihitung pada waktu penyerahannya
tidak sah dijual, seperti ikan yang berada di dalam air.
e. Barang Yang Dibeli Harganya Diketahui
Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu keduanya tidak
diketahui, jual beli tidak sah, karena mengandung unsur penipuan.
Mengenai syarat bahwa yang dijual, cukup dengan penyaksian barang
26
sekalipun tidak diketahui jumlahnya, seperti pada jual beli barang yang
kadarnya tidak diketahui (jazaf). Untuk barang zimmah (barang yang
dihitung, ditakar dan timbang), maka kadar kuantitas dan sifat-sifatnya
harus diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Demikian
pula harganya harus diketahui, baik itu sifat (jenis pembayaran), jumlah
maupun masanya.
f. Barang Yang Diakadkan Ada Ditangan
Boleh juga bagi seseorang yang membeli sesuatu, menjualnya atau
menghibahkan atau menggunakannya sesuai dengan hukum, sesudah
barang tersebut ada di tangan.
3. Syarat Shighat Akad
Diisyaratkan dalam ijab dan kabul yang keduanya disebut shighat akad,
sebagai berikut:
a. Satu sama lainnya berhubungan di satu tempat tanpa ada pemisahan yang
merusak.
b. Ada kesepakatn ijab dengan kabul pada barang yang saling mereka rela
berupa yang dijual dan harga barang. Jika sekiranya kedua belah pihak
tidak sepakat, jual beli (akad) dinyatakan tidak sah. Seperti jika si penjual
mengatakan: “Aku jual kepadamu baju ini harga lima pound,” dan si
pembeli mengatakan: “Saya terima barang tersebut dengan harga empat
pound.” Maka jual beli dinyatakan tidak sah, karena ijab dan kabul
berbeda.
27
c. Tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain dan tidak dibatasi dengan
periode waktu tertentu.
d. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
e. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda
tersebut, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama
Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar
kemungkinan pembeli tersebut akan merendahakan abid yang beragama
Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan
kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin (Hendi Suhendi,
2005:71).
Rukun Murabahah ada lima, yaitu: (1) penjual (Bai), (2) pembeli
(Musytari), (3) objek/barang (Mabi’), (4) harga (Tsaman), (5) ijab qabul
(Shighat) (Jaih Mubarak, 2004:306).
Adapun syarat dari jual beli murabahah (Syafi‟I Antonio,2003:105) adalah
sebagai berikut:
1. Penjual memberitahukan biaya modal kepada nasabah.
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3. Kontrak harus bebas riba
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian.
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembeli dilakukan secara hutang.
28
Secara prinsip jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak terpenuhi, pembeli
memiliki pilihan:
1. Melanjutkan pembelian seperti adanya.
2. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang
yang dijual.
3. Membatalkan kontrak.
Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islam wa Adilatuhu memberikan
lima syarat jual beli murabahah: (Wahbah al-Zuhaili, 1984:705-706)
1. Kedua belah pihak harus mengetahui harga pokok barang yang akan diperjual
belikan.
Diisyaratkan pembeli mengetahui modal pembelian barang yang akan
diperjual belikan karena mengetahui harga pokok modal barang merupakan
salah satu syarat syahnya jual beli murabahah. Syarat ini juga merupakan
salah satu syarat untuk jual beli amanah lainnya yaitu, tauliyah, israk, dan
wadiah. Diisyaratkan demikian karena dalam jual beli amanah penentuan
harganya akan mengacu kepada modal awal pembelian barang berikut biaya
yang lain yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Jika pembeli sampai
tidak mengetahui harga awal pembelian barang tersebut maka jual belinya
fasid sampai dia mengetahui harganya di tempat transaksi, jika tidak
diketahui sampai keduanya meninggalkan tempat transaksi, maka jual beli
tersebut batal.
2. Pihak pembeli mengetahui keuntungan yang akan diperjual belikan.
29
Pihak pembeli mengetahui dan menyepakati keuntungan yang akan diperoleh
penjual, karena keuntungan tesebut nanti akan masuk sebagai salah satu
komponen harga jual murabahah, sehingga mengetahui keuntungan penjual
merupakan syarat sahnya jual beli murabahah.
3. Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis,
seperti benda-benda yang ditakar, ditimbang, dan dihitung.
Syarat ini diperlukan dalam murabahah dan tauliyah, baik ketika jual beli ini
dilakukan dengan penjual pertama atau dengan yang lain. Serta baik dari
keuntungan jenis harga pertama atau bukan. Setelah jenis keuntungan
disepakati berupa sesuatu yang diketahui ketentuannya, misalkan dirham atau
uang lainya. Jika modal berupa benda-benda yang tidak memiliki kesamaan
selain barang dagangan selain dinar dan dirham tidak boleh diperjual belikan
dengan cara murabahah atau tauliyah oleh orang tidak memiliki barang
dagangan.Hal ini karena murabahah atau tauliyah adalah jual beli dengan
harga yang sama dengan harga pertama. Dengan adanya tambahan
keuntungan dalam sistem murabahah.
Yang dimaksud benda-benda yang tidak memiliki kesamaan itu ialah benda
yang tidak secara satuan atau tidak dengan takaran dan ukuran tertentu tetapi
secara acak dan taksiran. Barang yang kadang dibeli dengan cara seperti ini
misalnya semangka, delima, atau sejenis sayuran tertentu. Tapi sesungguhnya
pelarangan itu tidaklah secara mutlak. Larangan ini berlaku jika barang yang
akan diperjual belikan tersebut tidak berada dalam hal ini tidak boleh
dilakukan dengan memperhatikan dual hal: Pertama, jika kentungan yang
30
disepakati dari jual beli murabahah tidak terpisah dari pokok modal hal itu
boleh dilakukan, karena pokok modal jelas dan keuntungan jelas, seperti
orang mengatakan: “Saya menjual kepadamu dengan sepuluh dirham”.
Kedua, jika keuntungan tidak terpisah dari pokok modal maka hal itu tidak
boleh seperti orang mengatakan “ Setiap keuntungannya satu pembeli
sepuluh”. Hal ini dilarang karena keuntungan masih merupakan bagian dari
barang, sementara barangnya merupakan barang yang tidak dibeli secara
satuan atau dengan ukuran tertentu tapi dengan prediksi dan spekulasi.
4. Sistem murabahah dalam harta riba hendaklah tidak menisbahkan riba
tersebut terhadap harga pertama.
Seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang sejenis
dengan ukuran yang sama, maka tidak boleh menjualnya dengan sistem
murabahah. Hal semacam ini tidak diperbolehkan karena murabahah adalah
jual beli dengan harga pertama dengan adanya tambahan, sedang akan
tambahan terhadap harta riba hukumnya adalah riba dan bukan keuntungan.
5. Transaksi pertama harus sah secara syara‟.
Jika transaksi pertama tidak sah, maka tidak boleh dilakukan jual beli
murabahah, karena murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai
tambahan keuntungan dan hak milik jual beli yang tidak sah ditetapkan
dengan nilai barang atau dengan barang yang semisal dengan harga, karena
tidak benarnya penamaan.
31
C. Jenis-jenis Murabahah
Murabahah dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Murabahah tanpa pesanan
Yaitu; jual beli Murabahah yang dilakukan tanpa adanya pesanan,
sehingga penyediaan barang dilakukan sendri oleh Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) dan dilakukan tidak terkait. Proses pengadaan barang
dilakukan sebelum transaksi jual beli Murabahah dilakukan. Proses
pengadaan barang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) ini
dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
a. Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip murabahah).
b. Memesan kepada pembuat barang dengan pembayaran dilakukan secara
keseluruhan setelah akad (prinsip akad).
c. Memesan kepada pembuat (produsen) dengan pembayaran yang bisa
dilakukan di depan, selama dalam proses pembuatan, atau setelah
penyerahan barang (prinsip istishna).
d. Merupakan barang-barang dari persediaan mudharabah atau musyarakah.
2. Murabahah berdasarkan pesanan
Murabahah berdasarkan pesanan, LKS melakukan pembelian barang
setelah adanya pemesanan barang dari nasabah. Dalam murabahah melalui
pemesanan LKS / penjual dapat meminta pembayaran khomsyah ghadiyah,,
yaitu tanda ijab kabul. Dalam murabahah melalui pesanan si penjual boleh
meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi ketika ijab
kabul. Hal ini sekedar hanya untuk menunjukan keseriusan dari si pembeli.
32
Dalam murabahah yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan
pesanannya.
Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai (al ba’i naqdan atau
cicilan (bitsman ajil/ muajjal). Dalam murabahah juga diperkenankan adanya
perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda.
Murabahah Muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang diawal akad
dan pembayaran kemudian (setelah awal akad), baik dalam bentuk angsuran
maupun dalam bentuk lumpsum (sekaligus). (Adiwarman A. Karim,
2008:115).
Proses transaksi jual beli murabahah tanpa pesanan, dapat dilakukan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan nasabah dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1. Nasabah melakukan proses negoisasi atau tawar- menawar keuntungan dan
menentukan syarat pembayaran dan barang sudah berada ditangan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai penjual harus memberitahukan
dengan jujur perolehan barang yang diperjual belikan beserta keadaan
barangnya.
2. Apabila kedua belah pihak sepakat, tahap selanjutnya dilakukan akad
untuk transaksi jual beli murabahah tesebut.
3. Tahap berikutnya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menyerahkan barang
yang diperjual belikan barang ini, hendaknya diperhatikan syarat
penyerahan barang, misalnya sampai tempat pembeli atau sampai tempat
penjual saja. Hal ini akan mempengaruhi harga perolehan barang.
33
4. Setelah penyerahan barang, pembeli atau nasabah melakukan pembayaran
harga jual barang dan dapat dilakukan secara tunai atau tangguh.
Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang meliputi harga pokok
ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan uang
muka (jika ada).
5. Tahap berikutnya adalah penyerahan barang dari penjual yaitu Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) kepada pembeli yaitu nasabah. Dalam
penyerahan barang ini harus diperhatikan syarat penyerahan barangnya,
misalnya penyerahan sampai ke tempat pembelian atau sampai tempat
penjual saja, karena hal ini akan mempengaruhi harga perolehan barang.
6. Tahap akhir adalah dilakukan pembayaran yang dapat dilakukan dengan
nasabah. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang meliputi
harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan
uang muka (jika ada).
D. Ketentuan Jual Beli Murabahah
Ketentuan tentang jual beli Murabahah tercantum dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional, antara lain:
Fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000, yaitu:
Pertama: Ketentuan Umum Murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah
1. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan nasabah harus melakukan
akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
34
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
berlaku telah disepakati kualifikasinya.
4. LKS membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembeli ini harus sah dan bebas riba.
5. LKS harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara hutang.
6. LKS kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan
ini Bank memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada
nasabah berikut biaya –biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atas kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
9. Jika LKS hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua: Ketentuan Murabahah Kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu
barang atau aset kepada bank.
2. Jika LKS menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih
dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
35
3. LKS kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan
nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati, karena secara hukum perjanjian tersebut
mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual
beli.
4. Dalam jual beli LKS dibolehkan meminta nasabah untuk membayar
uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil
bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uanng muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung
oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugian kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang
muka, maka: 1) jika nasabah memutuskan untuk membeli barang
tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. 2) Jika nasabah batal
membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian
yang ditanggung oleh bank akibat pemabtalan tersebut, dan jika uang
muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga: Jaminan Dalam Murabahah
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang.
36
Keempat: Hutang Dalam Murabahah
1. Secara prinsip, penyelesaikan hutang nasabah dalam transaksi
murabahah tidah ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan
nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah
menjual kemabli barang tersebut dengan ketentuan atau kerugian, ia
tetap berkewajiaban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjual barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap
harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepatan awal. Ia tidak boleh
memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian ini
diperhitungkan.
Kelima: Penundaan Pembayaran Dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda
penyelesaian hutangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa DSN Nomor 13/DSN-MUI/VI/2000 tanggal 16 September
2000, Tentang Uang Muka Dalam Murabahah, yaitu:
37
Pertama: Ketentuan Umum Uang Muka
1. Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah
pihak bersepakat.
2. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
3. Jika jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dar kerugian, LKS meminta
tambahan kepada nasabah.
5. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus
mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.
Kedua: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa DSN Nomor 16/DSN-MUI/IX/2000 Tanggal 16 September 2000
tentang Diskon dalam Murabahah, yang mengatur ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh
kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang menjadi
objek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.
2. Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang
diperlukan, ditambah dengan keuntungan sesuai dengan kesepatan.
38
3. Jika dalam jual beli murabahah LKS mendaptkan diskon dari supplier,
maka harga sebenarnya adalah harga setelah diskon, karena itu diskon
adalah hak nasabah.
4. Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut
dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad.
5. Dalam akad, pembagian diskon akad hendaklah diperjanjikan dan
ditandatangani.
6. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Fatwa DSN Nomor 23/DSN-MUI/III/2002 Tanggal 28 Maret 2002
Tentang Potongan Pelunasaan Dalam Murabahah yang mengatur ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran
tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh
memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat
tidak diperjanjikan dalam akad.
2. Besar potongan sebagaimana dimaksud diatas diserahkan pada kebijakan dan
pertimbangan LKS.
39
E. Aplikasi Jual Beli Murabahah Di Pegadaian Syariah
Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Murabahah merupakan akad
jual beli antara Pegadaian Syariah selaku penyedia barang, dengan nasabah yang
memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut Pegadaian Syariah
mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama.
Murabahah adalah jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli
dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini Pegadaian Syariah membiayai
pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang tersebut
dari pemasok kemudian menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan
keuntungan (cost- plus profit). Dan hal ini dilakukan dengan perundingan terlebih
dahulu antara Pegadaian Syariah dengan nsabah yang bersangkutan (Habib Nazir
& Muhammad Hasanuddin, 2004: 403-404). Dengan cara ini pembeli dapat
mengetahui harga sebenarnya dari barang yang dibeli dan dikehendaki penjual.
Mekanisme Murabahah ini bermanfaat bagi seseorang yang membutuhkan suatu
barang/logam MULIA tetapi belum mempunyai uang yang diperlukan.
Syarat prinsip murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
meliputi:
1. Harga jual pada nasabah adalah harga pokok ditambah keuntungan yang
disetujui penerima kredit;
2. Selama utang berupa barang/logam MULIA ditambah keuntungan belum
lunas, maka barang tersebut menjadi milik Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
walaupun pembeli bisa langsung menggunakan barang/logam MULIA tersebut
40
dan surat tanda bukti kepemilikan dipegang oleh Lembaga Keuangan Syariah
(LKS), sebelum semua anggsuran lunas;
3. Cicilan utang dimulai pada saat jatuh tempo dan usaha proyek sudah
menunjukan hasil (Yadi Janwari, 2005:158).
Salah satu Skim Fiqh yang paling populer digunakan oleh Lembaga
Keuangan Syariah (LKS), adalah Skim Jual Beli Murabahah. Beberapa alasan
transaksi jual murabahah mendominasi penyaluran dana Lembaga Keuangan
Syariah (LKS), antara lain :
1. Mudah Diimplementasikan
Jual beli murabahah dengan cepat, mudah diimplementasikan dan
dipahami, karena para pelaku bank syariah menyamakan murabahah ini
sama dengan kredit investasi konsumtif seperti misalnya kredit kendaraan
motor, kredit pemilik rumah, dan kredit lainnya. Walaupun kedua jenis
transaksi tersebut sangat berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat
ini banyak Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang menjalankan transaksi
murabahah dengan pola tidak jauh berbeda dengan pemberian kredit pada
bank.
2. Pendapatan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Dapat Diprediksi
Dalam transaksi murabahah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS), sudah
dapat melakukan estimasi pendapatan yang akan diterima, karena dalam
transaksi murabahah hutang nasabah adalah harga jual sedangkan dalam
harga jual terkandung porsi pokok dan porsi keuntungan. Sehingga dalam
41
keadaan yang normal, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat
memprediksi pendapatan yang diterima.
3. Tidak Perlu Mengenal Nasabah Secara Mendalam
Dengan adanya murabahah yang pembayarannya dilakukan dengan
tangguh, maka akan timbul hutang oleh nasabah. Dalam hal ini hubungan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS), dengan nasabah adalah hubungan
hutang piutang. Sehingga dalam keadaan bagaimanapun nasabah harus
membayar hutang harga barang/logam MULIA yang diperjual belikan.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS), tidak perlu menganalisa dan mencari
sumber pengembalian secara khusu, tetapi cukup secara singkat dan global.
4. Mengadakan Murabahah Dengan Pembiayaan Konsumtif
Jika diperhatikan, sepintas memang terdapt persamaan antara jual beli
murabahah dengan pembiyaan konsumitf. Misalnya saja pembiayaan yang
diberikan adalah komoditi (barang) bukan uang, dan pembayarannya dapat
dilakukan dengan cara tangguh atau cicilan maupun cara lainnya. Namun
jika diperhatikan ketentuan Fatwa yang ada dijalankan dengan konsep
Syariahnya, keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda.
Adapun kelebihan kontrak murabahah dengan pembayaran tangguh
(ditunda) adalah sebagai berikut:
1. Pembeli mengetahui semua biaya (cost) yang semestinya serta
mengetahui harga pokok barang dan keuntungan (mark-up).
2. Subjek penjualan adalah barang dan komoditas.
42
3. Subjek penjualan hendaknya dimiliki penjualan dan ia harus mampu
mengirimkan kepada pembeli.
4. Pembayaran ditunda.
Aplikasi murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat
diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi,
baik domestik maupun luar negeri, seperti letter of credit (L/C). Praktek ini paling
banyak digunakan karena sangat sederhana dan tidak di pandang asing bagi orang
yang sudah terbiasa bertransakksi di bank umum (Muhammad Syafi‟I Antonio,
2006:106).
Kalangan perbankan syariah di Indonesia banyak menggunakan
murabahah secara berkelanjutan (rool over/evergreen) seperti untuk modal kerja,
padahal sebenarnya, murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad
(one short deal). Murabahah tidak dapt diterapkan untuk skema modal kerja.
Akad mudharabah lebih sesuai untuk skema tersebut.
Secara umum, aplikasi murabahah dalam praktek Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) dapat digambarkan sebagai berikut: (Habib Nazir & Muhammad
Hasanudin, 2004:405).
Gambar 2.1 Aplikasi Murabahah Dalam lembaga keuangan syariah
Nasabah Bank Supplier
43
Skema di atas menjelaskan bagaimana proses transaksi murabahah antara
lembaga keuangan syariah dengan nasabah, dimana (1) Nasabah yang
memerlukan barang/ logam MULIA kebutuhan melakukan transaksi dengan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan akad murabahah, (2)
Barang/kebutuhan nasabah, dijelaskan spesifikasinya secara mendetail kepada
Lembaga Keuangan Syariah (LKS), (3) Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
melakukan pemesanan kepada Supplier/Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat
menyerahkan secara barang yang dipesan oleh nasabah, (6) Nasabah melakukan
pembayaran secara tunai kepada Lembaga Keuangan dengan keuntungan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang sudah disepakati sebelumnya.
44
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Objektif Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi
1. Latar Belakang Pendirian Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan
Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya kolonial Belanda, yaitu
sekitar abad XIX oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut
memberi jada pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga
bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal abad 20-an
pemerintah Hindia Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan
memonopolinya dengan cara mengeluarkan staatsblaad No.131 tahun 1901.
Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah
dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya staatsblaad No.
226 tahun 1960.
Pemerintah pertama kali mendirikan gadai di Sukabumi Jawa Barat, pada
tanggal 1 April dengan Wolf Von Westerode sebagai kepala Pegadaian Negeri
pertama. Dengan ini membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui
pinjaman uang pinjaman dengan hukum gadai. Dinas Pegadaian mengalami
beberapa kali bentuk badan hukum sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi
perusahaan umum. Pada tahun 1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi
Perusahaan Negara (PN) Pegadaian. Pada tahun 1969 Perusahaan Negara
Pegadaian berubah bentuk menjadi Perusahaan Perusahaan Negara Jawatan
45
(Perjan) Pegadaian dan pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum)
Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tanggal 10 April 1990. Pada waktu
Pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi sosial dari Pegadaian
merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemen dalam mengelola
Pegadaian. Misi ini tidak berubah hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
103 tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Pegadaian yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. (Heri Sudarsono,
2008:165).
Konsep operasi Pegadaian Syariah mengacu sistem admininstrasi modern
yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai
Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor
cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit
organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian Syariah. ULGS
ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara stuktural terpisah pengelolaannya
dari usaha gadai konvensioanal. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta
dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulam
Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabya, Makasar,
Semarang, Surakarta, dan Yogjakarta di tahun yang sama hingga September 2003.
Masih di tahun yang sama pula 4 kanor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi
menjadi Pegadaian Syariah.
Saat ini pegadaian sudah berbentuk sebagai sebuah lembaga, pembentukan
Pegadaian Syariah selain tuntutan idealisme juga dikarenakan keberhasilan
terlembaganya Bank dan Asuransi Syariah. Setelah terbentuknya Bank, BMT,
46
BPR, dan asuransi syariah maka Pegadaian mendapatkan perhatian oleh beberapa
praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri
Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi beroperasi pada tahun 2007 yang
bertempat di Jalan Zaenal Zakse No.38 Kebon Jati Cikole Telp (0266) 219235
Sukabumi sampai sekarang.
2.Visi dan Misi
Sebagai salah satu bentuk lembaga yang sejak dulu konsisten dan setia
pada pemberdayaan ekonomi rakyat kecil maka Pegadaian ke depan pun akan
tetap memperkokoh citra tersebut yaitu memberi solusi keuangan bagi masyarkat
golongan ekomoni menengah ke bawah yang membutuhkan dana cepat.
Selanjutnya dengan tatanan bisnis yang berubah akibat lingkungan yang penuh
ketidakpastian, Pegadaian ke depan harus tetap tumbuh berkembang dan
dipercaya sebagai tempat yang aman berinvestasi.
Visi:
Pada tahun 2013 pegadaian menadi”Champion” dalam pembiayaan mikro
dan kecil berbasis gadai dan fiducia bagi masyarakat menengah ke bawah.
Misi:
1. Membantu program pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya
golongan menengah ke bawah dengan memberikan solusi keuangan terbaik
melalui penyaluran pinjaman skala mikro, kecil dan menengah atas dasar
hukum gadai fiducia.
2. Memberikan mamfaat kepada pemangku kepentingan dan mekanisme tata
kelola perusaaahn yang terbaik secara konsisten.
47
3. Melaksanakan usaha lain dalam rangka optimalisasi sumber daya.
Bertolak dari misi Pegadaian tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya
Pegadaian adalah sebuah lembaga dibidang keuangan yang mempunyai visi
dan misi bagaimana masyarakat mendapat perlakuan dan kesempatan yang adil
dalam perekonomian (Buku Saku Pengenalan Produk Perum Pegadaian,
2009:8)
3.Struktur Organisasi Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi
4. Deskripsi Jabatan Pegadaian Syariah
Adapun kantor cabang Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi ditinjau dari
segi keanggotaan dan stuktu organisasi terdiri dari:
a. Pimpinan cabang
Pimpinan cabang menjalankan fungsi sebagai pemimpin pelaksana teknis dari
perusahaan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Secara organisator
pimpinan cabanag bertanggung jawab kepada Pimpinan Wilayah (Pinwil).
Pimpinan Cabang
Petugas Fungsional
Pengelola UPC
Penaksir Penjaga Gudang Kasir
48
Selanjutnya Pinwil akan mendapatkan lapor hasil kegiatan binaannya kepada
Direksi, sedangkan Direksi akan membuat kebijakan pengelola Cabang
Pegadaian Syariah dan memberikan respon atau tindak lanjut atas laporan
Pinwil.
b. Penaksir
Penaksir bertugas menerima, menguji, dan menaksir keabsahan marhun
(barang jaminan) yang diserahakan rahin (nasabah), apakah dapat digunakan
sebagai barang jaminan atau tidak, kemudian menetapkan uang taksiran dan
uang pinjaman.
c. Kasir
Bagian ini akan malakukan tugas penerimaan, penyimpanan dan pembayaran
serta pembukuan sesuai deangan ketetntuan yang berlaku, untuk kelancaran
pelaksanaan operasioanl kantor cabang dan bertugas untuk memasukan data
rahin, taksiran dan uang pinjaman ke dalam SBR (Surat Bukti Rahn).
d. Penjagaan gudang
Bagian gudang bertugas melakukan pemeriksaan, pemeliharaan, pengeluaran
serta pembukuan marhun, selain barnag kantor sesuai peraturan yang berlaku
dalam rangka ketertiban dan keamanan serta keutuhan marhun, bagian ini juga
bertugas mengelola gudang marhun emas dengan menerima, penyimpanan,
merawat, mengeluarkan dan mengadministrasi serta menjaga keuntuhan barang
milik rahin.
49
4. Tujuan Perum Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi
Secara singkat tujuan perusahaan adalah meningkatkan kesejahteraan
masyrakat sekaligus memupuk keuntungan melalui pemberian pinjaman skala
mikro kecil, dan menengah serta melaksanakan usaha lainnya berdasarkan
ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan tujuan tersebut
maka pegadaian menyelenggarakan kegiatan usaha pemberian pinjaman atas dasar
hukum gadai, pemberian pinjaman atas dasar hukum yang menerapkan prinsip-
prinsip fiducia dan menjalankan usaha lainnya yang menunjang terwujudnya visi
dan misi perusahaan.
5. Produk-Produk Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah sebagai lembaga keuangan non bank yang memiliki
wewanang untuk memberikan pinjaman atas dasar hukum gadai mempunyai
peranan yang besar dalam rangka kehidupan masyarakat yang dituangkan dengan
memberikan pelayanaan terbaik berupa prosduk-produk yang berbasis syariah.
Adapau produk-produk pegadaian syariah, diantaranya:
a. Gadai syariah (ar-rahn)
Rah adalah produk jasa gadai yang berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah
dengan mengacu pada sistem administrasi modern.
b. Arrum (Ar-rrahn untuk usaha mikro kecil )
Ar-rrahn untuk usaha mikro kecil selanjutnya disebut Skim ar-ar-rum adalah
skim pemberian pembiayaan berprinsip syariah bagi para pangusaha mikro
dan kecil untuk keperluan atas kelayakan usaha. Pembiayaan diberikan
dalam jangka waktu tertentu dengan pengembalian pinjaman dilakukan secara
50
angsuran dengan menggunkan kontruksi pinjaman secara gadai maupun
fidusia. Skim Arum ini merupaka pinjaman kepada individual pengusaha
mikro kecil. Pengajuan pinjaman untuk kelompok yang memenuhi
persyaratan dan lolos uji kelayakan usaha. Pengujian pinjaman atas dasar
nama kelompok usaha tidak dibenarkan .
c. MULIA (Murabahah Logam Mulia Untuk Investasi )
Logam MULIA atau emas mempunyai berbagai aspek yang menyentuh
kebutuahn manusia disamping nilai estetii yang tinggi juga merupakan jenis
investasi yang nilainya stabil, likuid dan aman secara riil. Mulia adalah
(Murabahah Emas Logam Mulia Untuk Investasi Abadi) adalah penjualan
emas oleh kepada masyarakat dengan secara tunai ataupu pola angsuran
dalam jangka waktu tertentu.
d. Kucica (Kiriman Uang Cara Instan, Cepat, Aman)
Adalah suatu poduk pengiriman uang dalam dan luar negeri yang
bekerjasama dengan Western Union.
B. Mekanisme Pembiayaan Murabahah Logam MULIA di Perum Pegadaian
Cabang Sukabumi
Murabahah merupakan akad yang digunakan dalam transaksi jual beli
emas batangan Logam Mulia yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah dengan
nasabah. Dalam mekanismenya Pegadaian bekerjasama dengan PT Antam, Tbk
sebagai penjual, nasabah sebagai pembeli dan PT Antam sebagai pemasok emas
batangan Logam Mulia.
51
Mekanisme pembiayaan Murabahah Logam Mulia dapat dilakukan secara
tunai maupun dengan cara angsuran sesuai dengan jangka waktu yag telah
disepakati sebelumnya. Penyerahan fisk emas dilakukan setelah masa angsuran
lunas. Prosedur pembelian emas batangan Logam Mulia dengan menggunakan
akad Murabahah yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi
melalui beberapa proses, yaitu :
1. Proses pemesanan Mulia
Sebelum dilakukan pemesanan Logam Mulia nasabah terlebih dahulu
memenuhi syarat-syarat pembiayaan Mulia yaitu ;
a. Syarat-syarat Untuk Memperoleh Logam Mulia
1) Calon nasabah Mulia adalah perorangan ataupun institusi/perusahaan
yang mempuyai identitas jelas.
a) Calon nasabah perseorangan
(1) WNI, dibuktikan dengan fotokopi KTP/identitas lainnya dan
menunjukan asli bukti identitas.
(2) Memiliki tempat tinggal tetap
(3) Fotokopi KTP
(4) Menyerahkan uang muka
b) Calon nasabah perusahaan
(1) Adanya surat order pembelian emas MULIA yang ditandatangani
oleh manajemen perusahaan yang sah.
(2) Menyedaikan fotokopi KTP /identitas lainnya yang
menandatangani surat order pembelian emas MULIA
52
(3) Menyediakan fotolopi AD/ART akte pendirian badan usaha
(4) Fotokopi NPWP perusahaan jika ada
(5) Munyerahkan uang muka
2) Nasabah MULIA tidak diperkenakan untuk melakukan spekulasi atas
emas yang dibelinya ataupun melakuka hal-hal yang dilarang oleh
pemerintah seperti melakukan Money Laundry atau hal-hal lainnya yang
dilakukan oleh pemerintah RI.
3) Pembayaran uang muka sesuai dengan ketentuan pegadaian uang muka
(urbun) merupakan bagain dari pelunasan piutang Mulia.
4) Mendapatkan persetujuan pembayaran mulai dari pimpinan cabang
5) Mengisi dan menandatangi aplikasi form mulia -1(formulir pembayaran
uang muka Mulia)
6) Menandatangi akad pembayaran Mulia
b. Tahap pemesanan logam Mulia
Setelah nasabah memenuhi persyaratan pembiayaan Mulia, langkah
selanjutnya nasabah melakukan pemesanan Logam Mulia melalui Kantor Cabang
Pelaksana Mulia (KCMP) misalnya Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi, adapun
langkah-langkah terebut adalah:
1. Nasabah
a. Mengisi form MULIA-1 dan melampirkan persyaratan yang
ditentukan.
b. Menandatangi dan menyerahkan form MULIA-1 dan form MULIA -
2 kepada petugas MULIA untuk diproses
53
c. Nasabah melakukan pembayaran uang muka ke kasir
d. Menerima dan menandatangi form MULIA-3 (bukti pembayaran
uang muka MULIA ) dan form MULIA -2
2. Petugas MULIA
a. Memverifikasi pengisian form MULIA-1 dan memverifikasi
kelengkapan persyaratan MULIA.
b. Jika kelengkapan sudah selesai, maka form MULIA-1 dan
kelengkapannya diajukan ke Pimpinan Cabang
c. Menerima form MULIA-2 dan form MULIA-3 yang telah
ditandatangani oleh Pimpinan Cabang.
d. Mengirim berita pemesanan emas melalui fax ataupu melalui
website berdasarkan form MULIA-3 ke KCDM (Kantor Cabang
Distribusi MULIA)
3. Kasir
a. Menerima uang muka pembayaran MULIA dari nasabah
b. Mencetak form MULIA-2 dan form MULIA-3 ke Pimpinan Cabang.
4. Pimpinan cabang
a. Menerima form MULIA-1 dan memverifikasi kelengkapannya.
b. Melakukan stempel kelayakan MULIA pada form MULIA-1 yang
menandakan pembayaran MULIA layak.
c. Memberikan form MULIA-1 yang sudah stempel layak ke nasabah.
d. Menerima dan menandatangani form MULIA-2 dan form MULIA-3.
54
e. Menyerahkan form MULIA-2 dan form MULIA-3 lembar ke 2 ke
Petugas MULIA.
5. KCDMN (Kantor Cabang Distribusi MULIA )
a. Menerima pemesanan pembelian emas dari KCPM. Penerima
pemesanan bsia melalui website ataupun offline menggunaka fax
form MULIA-3.
b. Mengirim form MULIA 4 by fax atau by website ke KCPM (Kantor
Cabang Pelaksana MULIA) paling lambat dua hari setelah fax form
MULIA-3 diterima.
c. Melakukan pemesanan kepada pemasok PT. Antam Tbk, dengan
menggunakan form MULIA-5 (form pemesanan emas Logam
MULIA)
d. Setealah KCDM menerima fisik emas dari pemasok, KCDM
langsung mengirim fisik emas melalui perusahaan pengirman barang
berharga yag tidak ditentukan ke KCPM beserta form MULIA- 6
(berita acara serah terima Logam MULIA dan ongkos kirim ) dan
form MULIA-10 (form pengiriman emas Logam MULIA).
c. Tarif Biaya Administrasi dan Uang Muka
1. Sebagai salah satu bentuk kehati-hatian dalam pengelolaan pembiayaan
MULIA serta untuk menjamin keseriusan nasabah dalam bertransaksi
MULIA maka nasabah diwajibkan membayar uang muka pembiayaan
minimal 30% dari harga jual objek pembiayaan.
55
2. Harga objek pembiayaa yang berlaku adalah harga pada saat
dilakukanya pemesanan objek pembiayaan dengan menggunakan form
MULIA-3
3. Atas realisasi pembaiyaan MULIA yang timbul biaya-biaya yang harus
ditanggung nasabah (rahin, antara lain biaya admisntrasi, biaya
distribusi objek pembiayaan serta biaya asuransi pengiriman objek
pembiayaan.
4. Biaya administrasi atas pembiayaan MULIA sebesar Rp50.000,00
untuk setiap transaksi
5. Sambil menunggu proses kerjaasama dengan pihak ekspedisi, untuk
sementara watku pengiriman (distribusi ) objek pembiyaan dari KCDM
ke KCPM dikirim via PT. POS Indonesia by order. Dalam upaya
mencegah resiko barang rusak ataupun hilang selama proses pengiriamn
maka perlu diasuransikan dengan tarif 0.24% dari nilai objek
pembiayaan
6. Biaya-biaya sebagaimana disebutkan dalam point 4 dan 5 dibayarkan
pada saat penandatanganan akad pembiayaan MULIA bersama dengan
pembayaran uang muka.
2. Proses Pemberian/Pembuatan Akad MULIA
Setelah adanya form MULIA 3 diterima KCDM langkah selanjutnya
adalah proses\pemberian atau pembuatan akad MULIA. Sebelum
penandatanganan akad mulai terlebih dahulu petugas MULIA menjelaskan
56
mengenai jumlah pembaiyaan MULIA, jangka watku yang harus di bayar oleh
nasabah MULIA. Adapun langkah-langkah penandatangannan akad mulai yaitu:
a. Petugas MULIA
1. Berdasarka form MULIA 3 (Bukti Pembayaran Uang Muka MULIA)
petugas MULIA melakukan pembuatan akad Mulia.
2. Verifikasi variable-variabel/item-item dalam form akad MULIA
sehingga tidak terjadi kesalahan penulisan akad MULIA.
3. Menyerahkan akad mulai kepada nasabah dan pimpinan cabang
menerima kembali akad MULIA dan mendistribusikan akad mulai ke
nasabah.
4. Mengeluarkan form MULAI-9 (Buku Pembayaran Uang Muka) dan
menyerahkan ke nasabah.
b. Nasabah
1. Menerima form akad MULIA dan menandatanganinya
2. Menerima salinan form akad MULIA untuk arsip nasabah
3. Menerima form MULIA
c. Pimpinan cabang
1. Menerima form MULIA akad mulai dan menverifikasi item-iterm akad
MULIA dan mengarsipkan.
2. Menandatangi akad Mulia.
3. Meyerahkan akad MULIA ke petugas MULIA
57
3. Proses pembiayaam MULIA
Pelaksanaan pembayaran mulai secara angsuran (cicilan) setiap bulan
sampai tanggal jatuh tempo dengan pelunasan sekaligus sebelum jatuh tempo.
a. Prosedur pembayaran secara tunai
1. Nasabah
a. Menyerahkan uang sebesar harga pokok emas ditambah dengan margin
3% biaya administrasi Rp 50.000,00 dan biaya-biaya lainya seperti biaya
ongkos kirim asuransi.
b. Menerima form MULIA-8 (Form Pelunasan MULIA dan
menandatanganinya).
2. Kasir
a. Menerima uang pembayaran tunai dari nasabah
b. Menghitung yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah
c. Membuat form MULIA-8 dan menandatanganinya.
d. MULIA-8 ke manajer cabang untuk di tandatanganinya.
e. Menerima kembali form MULIA-8 untuk diserahkan ke nasabah
3. Pimpinan cabang
a. Meneriam form MULIA-8
b. Menadatangi form MULIA dan menyerahkan kembali ke kasir dan
penyimpanan
4. Penyimpanan
a. Menerima form MULIA-1.
b. Menyerahkan form MULIA-8 bagian administarasi.
58
c. Menyerahkan fisik emas ke nasabah.
d. Membukukukan pengeluaran barang pada buku gudang.
5. Bagian adminsartrasi keuangan
a. Menerima form MULIA-8 dari penyimpanan dan membuatkan bukti
penerimaa kas (Kas Debet).
b. Membukukan pada buku kas.
6. Prosedur pembayaran angsuran bulanan
1. Nasabah
a. Menyerahkan uang angsuran dan buku pembayaran (Form MULIA-8)
ke loket kasir.
b. Menerima form MULIA-7 (Form Angsuran MULIA) dan
menandatangannya.
2. Kasir
a. Menerima uang angsuran dan form MULIA-9.
b. Menghitung uang yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah.
c. Membuat form MULIA-7 dan menandatanginya
d. Menyerahkan form MULIA-7 dan form MULAI-9 ke pimpinan
cabang untuk di tandatanngani.
e. Menerima kembali form MULIA-7 dan form MULIA-9 untuk
diserahkan ke nasabah.
3. Pimpinan cabang
a. Menerima dan menverifikasi form MULIA-7 dan form MULIA-9
(Buku Pembayaran MULIA)
59
b. Menandatangani form MULIA-7 dan form MULIA-9 dan
menyerahkan kembali ke kasir.
4. Bagian adminstrasi keuangan
a. Menerima form MULIA-7 dan membuat bukti penerimaan kas (Kas
Debet).
b. Membukukan pada buku kas.
Pembayaran MULIA bisa dilakukan secara tunai maupun dengan angsuran
misalnya: nasabah membeli 1 keping emas Logam MULIA (LM) seberat 25 gram
dengan kadar 99.99% (asumsi harga 255 gram = Rp 7.813.500) maka
Tabel 1
Contoh pembayaran MULIA
Jika nasabah melakukan pembayaran secara tunai, maka:
Harga+ margin+ administrasi
= Rp 7.813.500 +( Rp 7.813.500 x 3 %) + Rp 50.000 = Rp 7.813.500 +234.405 + Rp 50.000
= Rp 8.097.905
Jika nasabah melakuka pembelian angsuran tuani 6 bulanan Harga +% margin +administrasi
= Rp 7.813.500 +(Rp 7.813.500 x 6 %)
= Rp 7.813.500+ Rp 468.810 = Rp 8.283.310
Uang muka 25 % = Rp 2.070.578 Administrasi = Rp 50.000 +
Pembayaran awal = Rp 2.120.578
Sisa = Rp 8.282.310 – Rp 2.210.578 = Rp 6.211.732
Angsuran/bulanan = Rp 6.211.732 : 6 = Rp 1.035.289/ bulan
Sumber : Brosur MULIA Pegadaian Syari‟ah
60
Berdasarkan tabel 1 maka pembelian emas batangan logam MULIA secara
tunai, margin keuntungan yang diharapkan oleh pihak Pegadaian Syariah mulai
sebesar 3% dari harga emas batangan logam MULIA dan nasabah yang membeli
di kantor cabang dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 50.000 sedangkan
apabila membeli dengan mengangsur misalnya selama 6 bulan, maka harga jual
sama dengan harga asal ditambah degan margin (6% dari harga emas batangan
logam MULIA ) dan di tambah dengan biaya admisntrasi besarnya uang muka
yang harus dibayar oleh nasabah 25% dari harga yang telah ditambah dengan
margin dan biaya adminstrasi.
Batas akhir tanggal pembayaran angsuran ditentukan berdasarkan tanggal
transaksi apabila nasabah terlambat dalam pembayaran angsuran dari tanggal yang
telah ditetapkan maka nasabah tersebut dikenakan denda yang besarya 2% dari
jumlah angsuran tiap bulan untuk keterlambatan selama 7 hari dengan maksimal
denda 100%.
c. Mekanisme Menghitungan Margin
Pada prinsipnya pengambilan keuntungan dari jual beli itu hukumnya
boleh yang terpenting dalam tata cara tidak mengandung hal-hal sebagai berikut:
adanya unsur penipuan, adanya unsur perjudian, adanya unsur riba persaingan
tidak sehat, curang dan saling menjatuhkan.
Margin adalah selisih antara harga perolehan dengan harga penjualan
objek pembiayaan yang merupakan keuntungan perusahaan atas operasional
pembiayaan MULIA penetapan besarnya margin pembiayaan MULIA dibedakan
berdasarkan jangka waktu pembiayaan. Persentase margin dihitung dari harga
61
perolehan objek pembiayaan. Persentase margin dilakukan dengan cara diangsur
bersamaan dengan pembayaran angsuran hutang murabahah, (Buku Saku Produk
Perum Pegadaian (2009:123-124).
Tabel 2 Penetapan Margin Pembiayaan Mulia
Jangka Waktu Uang muka Margin
1 bulan 20%-100% 3.00%
3 bulan 25%-30% 3.50%
30%-400% 3.25%
40%-50% 3.25%
50%-600% 3.00%
60%-700% 3.00%
70%-800% 2.90%
80%-90% 2.80%
90%-100% 2.25%
6 bulan 25%-30% 6.00%
30%-40% 5.90%
40%-50% 5.80%
50%-60% 5.70%
60%-70% 5.60%
70%-80% 5.50%
80%-90% 5.00%
90%-100% 4.00%
12 bulan 30%-40% 12.00%
40%-50% 11.50%
50%-60% 11.00%
60%-70% 10.50%
70%-80% 10.00%
80%-90% 11.00%
90%-100% 7.00%
18 bulan 35%-40% 18.00%
40%-50% 17.00%
50%-60% 16.00%
60%-70% 15.00%
70%-80% 13.50%
80%-90% 11.00%
90%-100% 7.00%
24 bulan 40%-50% 22.00%
50%-60% 20.50%
60%-70 18.50%
70%-80% 16.00%
62
80%-90% 12.5%
90%-100% 7.80%
36 bulan 45%-50% 29.00%
50%-60% 28.50%
60%-70% 24.00%
70%-80% 20.00%
80%-90% 15.00%
90%-100% 8.60%
Sumber : Diklat Penaksir Muda Perum Pegadaian 2009, Divisi Syariah
Berdasarkan Tabel 2, maka margin keuntungan yang ditetapkan oleh pihak
pegadaian syariah pada prakteknya ditetapkan berdasarkan besarnya uang muka
yang diberikan oleh nasabah, serta lamanya angsuran pembayaran MULIA.
Besarnya uang muka minimal 20% sedangkan jangka waktu pembayaran
maksimal 36 bulan.
4. Prosedur pelunasan MULIA
Seorang nasabah yang melakukan transaksi pembelian MULIA di Perum
Pegadaian Syariah, ia berhak untuk melakukan pembelian dengan proses
pelunasaan secara angsuran atau tunai. Di bawah ini digambarkan mengenai
proses pelunasan pembelian MULIA.
a. Nasabah
1. Menyerahkan uang angsuran atau uang pelunasan dan buku pembiayaan
MULIA (form MULIA-9 ke loket kasir)
2. Menerimaan form MULIA-8 (form pelunasan MULIA) dan
menandatanganannya.
3. Menerimaan form MULIA-8 dan form MULIA-9 dan fisik emas logam
MULIA.
63
b. Kasir
1. Menerima uang angsuran dan form MULIA-9
2. Menghitung uang yang seharusnya dibayar oleh nasabah
3. Membuat form MULIA-8 dan menandatanganinya
4. Menyerahkan form MULIA-9 dan form MULIA-8 ke pimpinan cabang
untuk ditandatanganinya.
5. Menerima kembali form MULIA-9 dan form MULIA-8 untuk
diserahkan ke nasabah.
c. Pimpinan cabang
1. Menerima dan memverifikasi form MULIA-9 dan form MULIA-8
2. Menandatanganinya form MULIA-8 dan form MULIA-9 dan
menyerahkan kembali ke kasir dan penyimpanan.
d. Penyimpanan
1. Menerima form MULIA-1
2. Menyerahkan form MULIA-8 ke bagian adminstrasi
3. Menyerahkan fisik emas ke nasabah
4. Membukukan pengeluaran barang pada buku gudang
e. Bagian adminstrasi keuangan
1. Menerima form MULIA-8 dari penyimpanan dan membuat bukti
penerimaan kas (Kas Debet)
2. Membukukan pada buku kas
Nasabah yang telah memenuhi seluruh kewajiaban didalam pembayaran
mulai akan memperoleh form berita acara pengiriman barang dari kurir barang
64
jaminan MULIA. Penyerahan fisk emas logam MULIA dari Pegadaian Syariah
Cabang Sukabumi diserahkan setelah nasabah memenuhi seluruh kewajiban atau
setelah masa angsuaran MULIA lunas disebabkan logam MULIA dijadikan
jaminanan gadai oleh pihak pegadaian syariah dengan menggunakan akad rahn.
Sedangakn nasabah yang membeli secara tunai di KCMP akan memperoleh logam
MULIA beserta sertifikatnya setelah dua miggu dari penandatanganan akad.
Keterlambatan penyerahan logam MULIA beserta sertifiaktnya tersebut
disebabkan pihak Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi selaku KCPM harus
menunggu kiriman logam MULIA dari KCDM yang prosesnya membutuhkan
waktu kurang lebih hingga 2 minggu. Dalam mekanisme KCDM harus mengikuti
prosedur pembelian emas logam mulai PT. ANTAM dimana pihak KCDM
terlebih dahulu harus menyerahkan uang muka logam MULIA ke Unit Balai
Pengolahan dan Pemurnian (UBPP) logam MULIA setelah emas berada di KCPM
maka no sertikatnya diinput dan nasabah akan dihubungi via telepon (Wawancara
dengan Ibu Putri).
Apabila nasabah membatalakan transaksi pembiayaan MULIA secara
sepihak sebelum objek pembiayaan sampai kantor cabang pelaksana mulia, maka:
1. Biaya-biaya adminstrasi, biaya distribusi maupun biaya asurasi pengiriman
yang telah dibayarkan tidak dapat diminta kembali oleh nasabah.
2. Nasabah harus menunggu datangnya objek pembiayaan samapi di KCPM,
selanjutnya nsabah yang bersangkutan mencari pembeli objek pembiayaan
dan dijual ke KCPM
65
3. Hasil penjualan objek pembiayaan digunakan untuk melunasi seluruh
kewajiban nasabah (melunasi sisa hutang murabahah). Sisanya
dikembalikan kepada nasabah.
B. Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Pelaksanaan Murabahah Logam
MULIA di Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi
Transaksi jual beli sangat banyak sekali macamnya, pada umumnya
mekanisme pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau mengangsur. Jual beli
logam MULIA di Pegadaian Syariah menggunakan akad murabahah dapat
terlaksana apabila sudah ada pemesanan dalam transaksi ini ba’i murabahah dapat
dilaksanakan apabila sudah ada pemesanan salah datu bentuk transaksi (aqad).
Semua transaksi/akad dalam bidang muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil
yang melarang sebagaimana kaidah fiqh menyebutkan:
ةلإلاأا لفال ملعااماالاتاإلبااحا ا.الاص ها عالاىتا ري لي دا يادللا ن “Hukum asal dalam bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.” (A.Djajuli, 2006:130).
1. Analisis Fiqh Muamalah Terhadap Akad Murabahah Logam MULIA
Akad dalam bahasa arab العقد atau perikatan, perjanjian dan pemufakatan.
Akad dalam pertalian Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan
menerima ikatan) (M. Ali Hasan, 2003:101). Dalam terminologi hukum Islam
akad didefisinikan sebagai pertalian antara ijab dan qobul yang dibenarkan oleh
syara yang menimbulkan akibat hukum (Ghufro A. Mas‟adi, 2002:76).
66
Ijab adalah ungkapan atas pernyataan kehendak melakukan perikatan
(akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagi pihak pertama, sedangkan qobul
adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain,
biasanya dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab.
Akad yang dilakukan baik pelaksanaan akad, tujuan akad objek akad tidak boleh
bertentangan dengan syariat. Jika berbertentangan akan mengakibatkan akad itu
tidak syah. Sebagai contoh suatu perikatan yang mengandung unsur riba atau
objek perikatan yang tidak halal mengakibatkan tidak sah nya suatu perkara
menurut hukum Islam. Selain itu, akad merupakan salah satu objek hukum yang
diperjanjikan oleh pihak dan juga mempunyai konsekuensi hak dan kewajiban
yang mengikat para pihak (Gemal Dewi ,dkk, 2005:48).
Menurut Hendi Suhendi (2008:46), secara terminologi akad adalah
ارتباطالجيابيقبولعلىوجومشروعيتبتالثراضى
“Perikatan Ijab dan Qobul yang dibenarkan syara yang menetapakan
keridhoan kedua belah pihak “
An Taradin merupakan salah satu prinsip bermuamalah yang berlaku
untuk semua muamalah antar individu atau antar kelompok, oleh kerena itu dalam
menjalankan aktivitas muamalah harus didasarkan kepada kerelaan masing-
masing. (Juhaya S .Praja, 1998:114).
Suatu akad baru dapat diakatakan sah apabila rukun dan syaratnya
terpenuhi. Pelaksanaan pembiayaan murabahah pada produk MULIA di
Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi. Merupakan akad dengan prinsip jual beli,
67
akad jual beli antara pihak nasabah dengan Pegadaian baru dapat dikatakan sah
apabila rukun dan syaratnya terpenuhi.
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam transaksi sedangkan syarat
adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Akan tetapi syarat tidak
boleh menghalalkan yang haram, mengaharamkan yang halal, menggugurkan
rukun, bertentangan dengan rukun dan mencegah berlakunya rukun. Menurut
Madzhab Hanafi apabila rukun telah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, maka
rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut rusak atau fasid
(Adiwarman A. Karim, 2008:47). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Maidah yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”
Menurut jumhur ulama rukun dan syarat yang terdapat dalam ba’i
murabahah sama dengan rukun dan syarat dalam jual beli, dan hal itu identik
dengan rukun dan syarat yang harus ada ada dalam akad, yaitu aqid (orang yang
yang bertransaksi dalam hal ini penjual dan pembeli ), sighat (ijab dan qobul), dan
ma’qud alaih (objek transaksi) yakni harga dan barang). Menurut Hanafiyah
rukun dan syarat terdapat dalam jual beli hanya satu yaitu sighat (ijab dan kabul )
(Dimyati Djuwaini, 2008:111)
68
Sedangkan menurut Ahmad Ifham Solihi (2009:1010 rukun Murabahah
ada lima yaitu: penjula (ba’i) yaitu pihak yang memilki barang, pembeli
(mustasri) yaitu pihak yang membeli barang, objek, barag (mabi’) yaitu barang
yang diperjualbelikan, harga (tsaman) dan ijab kabul (shigat) yaitu pernyataan
serah terima.
Jual beli katakan sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat yaitu pelaku
akad, barang yang diakadkan atau tempat berakad, artinya yang akan dipindahkan
kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau
barang yang ditentukan dengan nilai harga. Bagi pelaku akad diisyaratkan berakal
dan memilki kemampuan memilih serta melakukan akad sesuai kehendak atau
tidak ada paksaaan. Sedangkan syarat barang yang diakadkan diantaraya suci,
bermanfaat, milik orang yang melakukan akad mampu diserahkan oleh pemilik
akad, mengetahui status barang (kualitas, kuantitas, jenis dan lain-lain) barang
tersebut dapat diterima oleh pihak yang melakukan akad. (Sayyid Sabiq,
2006:123).
Sighat akad merupakan unsur terpenting di dalam akad, bahkan dalam
pandangan Fuqaha Hanafiyah satu akad identik dengan sighat. Sighat akad terdiri
dari ijab dan kabul merupakan ekspresi kehendak yang menggambarkan
kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang
melakukan ikatan dari si penjual dan kabul adalah pernyataan penerimaan ikatan
dari si pembeli. Seluruh madzhab sepakat bahwa ijab dan kabul harus
dilaksanakan dalam satu majlis, antara keduaya terdapat persesuaian dan tidak
terputus, tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain dan tidak dibatasi dengan
69
periode waktu tertentu. Pertanyaan ijab dan kabul selain dilakukan dengan lisan
dapat pula dilakukan dengan tulisan dalam fungsinya yang sama dengan lisan.
Artinya kehendak, tulisan dipandang mempunyai fungsi yang sama dengan lisan.
Artinya kehendak yang dinyatakan dengan ungkapan langsung melalui tulisan
yang jelas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ungkapan langsung
melalui lisan. (Gufran A.Mas‟adi, 2002:90-91) sebuah kaidah fiqh menyebutkan:
كلخطابة الكتاب
“Tulisan adalah sama dengan lisan” (A.Djajuli, 2006:23)
Sedangkan menurut Hendi Suhendi (2008:49-50) syarat-syarat terjadinya
akad ada dua macam yaitu :
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad yaitu
1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak syah
akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang
berada di bawah pengampunan karena boros atau yang lainnya. Dan
melakukan transaksi tanpa adanya paksaan atau atas kehendak sendiri
2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3. Akad itu diijinkan oleh syara, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukan walaupun dia bukan aqid yang memilki barang.
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara seperti jual beli
mulasamah
5. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap
sebagai imbalan amanah.
70
6. Ijab itu berjalan terus,tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka batallah
ijabnya.
7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab
sudah terpisah sebelum adanya kabul maka ijab tersebut menajdi batal.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada
dalam sebagian akad.syarat khusus ini disebut syarat idhafi (tambahan) yang
harus ada disamping syarat-syarat yang umum.
Adapun syarat-syarat khusus yang harus ada di dalam bai’murabahah
diantaranya adalah :
a. Harga awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak (penjual dan
pembeli). Dalam akad ba’i murabahah penjual wajib menyampaikan
secara transparan harga beli pertama dari barang yang akan ia jual kepada
pembeli.
b. Besarnya keutungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah
pihak, penjual wajib menyampaikan keutungan yang diinginkkan dan
pembeli mempunyai hak untuk mengetahui bahkan menyampaikan
keutungan yang diperoleh penjual.
c. Harga pokok dapt diketahui secara pasti satuannya.
d. Murabahah tidak boleh mencampurkan dengan transaksi ribawi
e. Akad pertama dalam murabahah harus shahih, jika pada pembeli pertama
tidak dilakukan denga cara yang shahih, maka transaksi murabahah
dianggap batal (M. Yazid Afandi, 2009:91)
71
Sedangkan Syafi‟i Antonio (2001:102) menetapkan persyaratan
murabahah sebagai berikut:
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah
b. Kotrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c. Kontrak harus bebas riba
d. Penjual harus menjelaskan kepada nasabah apabila terjadi cacat barang
sesudah pembelian
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
Pada prinsipnya beberapa persyaratan tersebut harus ditetapakan agar
transaksi dianggap sah jika persyaratan (a), (b), dan (e) tersebut tidak terpenuhi,
pembelian mempunyai pilihan; yaitu melanjutkan pembelian apa adanya, kembali
kepada penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang ia jual atau
membatalkan kontrak. Hak memilih tersebut merupakan jaminan kepada pembeli.
Jika dikaitkan dengan ketentuan rukun dan syarat tersebut, maka ketentuan
murabahah yang dilaksanakan di Pegadaian Syariah dan nasabah MULIA
Pegadaian Syariah dan nasabah merupakan pihak-pihak yang telah jelas baligh
dan berakal serta melakukan kad jual beli murabahah tersebut diatas kehendak
sendiri tanpa ada paksaaan dari pihak manapun dimana sebelum pembeli/nasabah
mengajukan pembiayaan MULIA terlebih dahulu harus memenuhi beberapa
persyaratan salah satunya harus cakap hukum atau secara hukum sudah mampu
untuk melakukan suatu transaksi hal tersebut dibuktikan dengan harus adanya
KTP (Kartu Tanda Penduduk).
72
Kedua sighat akad pembiayaan murabahah pada produk MULIA antara
pihak Pegadaian Syariah dan nasabah dilaksanakan dalam satu majelis/tempat
yaitu Kantor Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi, kedua belah pihak berhadapan
langsung, kesepakatan akad ini berbentuk persetujuan tertulis antara kedua belah
pihak yang meliputi harga emas, besarnya pembiayaan dan jumlah margin
keuntungan, jangka waktu angsuran, besarnya angsuran, cara pembayaran dan
syarat lainnya (seperti agunan dan sebagainya sesusi kesepakatan). Kesepakatan
ini dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa ada paksaan dari pihak manapun
dan siapapun, dilakukan dengan lisan dan di akhiri dengan tulisan
(penandatanganan perjanjian pembiayaan MULIA oleh kedua belah pihak).
Ketiga objek barang (mabi‟) yang diperjualbelikan pada produk MULIA di
Pegadaian Syaraih Cabang Sukabumi yaitu emas batangan logam MULIA yang
berkaratase 99.99% dan bersertifikat merupakan harta yang jelas dan dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk investasi jangka panjang baik untuk
tabungan haji, tabungan hari tua, biaya sekolah dan sebagainya.
Keempat tsaman atau harga yang disepakati dalam pembiayaan
murabahah logam MULIA antara pihak pegadaian adalah harga pokok ditambah
dengan margin keuntungan di dalam produk MULIA ditetapakan berdasarkan
besarnya jumlah uang muka yang diberikan nasabah dalam akad pembiayaan
muarabahah ini tsaman diketahui oleh kedua belah pihak, karena tertulis jenis di
dalam akad. Fatwa Dewan Syariah No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah
menyebutkan bahwa‟harga jual murabahah adalah harga beli plus dengan
keuntungan “ Menurut hemat penulis berdasarkan tinjaun fqh Mumalah terhadap
73
akad ba’i murabahah yang ditetapkan oleh Pegadaian Syariah pada produk
MULIA telAh sesuai dengan konsep murabahah yang ada dalam prisip Islam
yaitu menjaul suatu barang dengan menegaskan harga beli kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba, adanya penambahan
terhadap harga pokok pada pembiayaan murabahah logam MULIA tidak dapat
dikategorikan sebagai bunga (riba yang diharamkan dalam Al-Qur‟an dan Hadist),
karena di sini transaksasinya jual beli barang bukan peminjam dana (uang), maka
otomatis pihak Pegadaian Syariah selaku penjual akan mengambil keuntungan.
Harga yang telah disepakati tetap dan tidak berubah selama masa angsuran.
2. Analisa Fiqih Mumalah Terhadap Objek Murabahah Logam MULIA
Mahalul’ aqdi atau al mau’qud a’alaih adalah sesuatu yang dijadikan
objek akad menimbulkn akibat hukum. Menurut Dimyaudin Djuwaini (2008)
mau’qud a’alaihi harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: pertama,
objek transasksi harus ada ketika akad/kontrak dilaksanakan, tidak diperbolehkan
melakukan transaksi atas objek yang belum jelas dan tidak hadir dalam akad.
Kedua objek transaksi harus berupa mal muttaqowin (harta yang diperbolehkan
oleh syara‟) dan memiliki penuh oleh pemiliknya. Ketiga objek transaksi bisa
diserah terimakan waktu terjadinya akad atau dimungkinkan di kemudian hari,
jika walaupun barang tersebut ada dan dimiliki akid, maka transaksi dinyatakan
batal. Keempat adanya kejelasan tentang objek, dalam arti barang tersebut
diketahui dengan sejelas-jelasnya oleh kedua belah, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari tejadinya perselisihan dikemudian hari. Objek transaksi tidak boleh
74
bersifat mazhul dan mengandung unsur gharar. Kelima objek tersebut harus suci,
tidak najis dan bukan barang-barang najis.
Objek murabahah pada produk MULIA di Pegadaian Syariah Cabang
Sukabumi merupakan emas batangan yang berkaratase 99,9% serta bersertifikat
merupakan barang yang jelas suci, tidak najis, dan bukan barang najis serta
diperbolehkan oleh syara. Menurut Al-Magribi di dalam syarah Bulugul Maram
menyebutkan bahwa menjual barang ribawi dengan barang ribawi lainnya yang
tidak memiliki kesamaan ilat, baik dengan berlebih maupun dengan tempo, seperti
menjual emas dengan gandum dan perak dengan syair dan lainnya dari barang
biasa dijual dengan takaran. (Dikutip kembali oleh A. Kodir Hasan, dkk,
2001:1732). Emas yang diperjualbelikan bukan merupakan alat tukar, akan tetapi
suatu komoditas yang digunakan untuk investasi jangka panjang, seperti biaya
hari tua, biaya sekolah, biaya ibadah haji, dan biaya lainnya.
Mekanisme penyerahan barang dalam akad murabahah diserahkan diawal
akad baik pembayaran dilakukan secara tunai maupun angsuran. Murabahah
merupakan jual beli yang bersifat amanah. Jual beli ini berbeda dengan jual beli
musyawwamah (tawar-menawar). Dan jual beli murabahah pembeli mengetahui
harga asli barang dan keuntungan yang diperoleh oleh penjual. Sedangkan dalam
jual beli musyawwamah penjual tidak memberitahukan harga asli dari barang
yang dijual dan keuntungannya. Syarat utama dalam murabahah adalah adanya
pemberitahuan harga asal barang, mark-up atau margin keuntungan yang
diperoleh penjual dan penjelasan secara pembayaran. Sehingga pembeli dapat
membatalkan atau menyetujui jual beli murabahah yang dimaksudkan. Dalam
75
transaksi ini barang diserahkan setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan
secara tanguh. (Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, 2008:24).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Alenia Putri, penyerahan fisik
emas dan sertifikatnya pada produk MULIA di Pegadaian Syariah diserahkan
diakhir akad. Setelah nasabah memenuhi kewajibannya atau setelah masa
angsuran lunas disebabkan, fisik emas dijadikan marhum atau jaminan gadai
dengan menggunakan akad rahn sebagaimana yang tertulis dalam pembiayaan
akad MULIA. Sedangkan nasabah yang membayar secara tunai di kantor cabang
Pegadaian Syariah akan memperoleh Logam MULIA beserta sertifikatnya setelah
dua minggu dari akad.
Menurut hemat penulis berdasarkan ketentuan fiqh muamalah pelaksanaan
akad rahn pada produk MULIA diperbolehkan sebagaimana pendapat Adiwarman
A. Karim (2008:106). Pelaksanaan akad pelengkap seperti rahn dan lain
sebagainya dalam pembiayaan diperbolehkan selama digunakan untuk
mempermudah suatu transaksi atau jual beli seperti murabahah. Akad pelengkap
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan naun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan walaupun demikian Lembaga Keuangan Syariah bisa
meminta pengganti biaya-biaya yang digunakan untuk melaksanakan akad ini.
Menurut bahasa rahn atau gadai adalah tetap dan berkesinambungan.
Mnurut syariat Islam, gadai berarti menjadi barang yang dimiliki nilai menurut
syariat sebagai jaminan hutang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut.
Jika berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya bergerak
atau tidak bergerak untuk diberikan kepada debitor sehingga ia melunasi
76
utangnya. (Syaid Sabiq, 2006:187). Mengenai jaminan telah diatur dalam Al-
Quran surat Al-Baqarah ayat 283:
QS Al-Baqarah (2) ayat 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikan-
nya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Soenarjo dkk,
1989:71)
Memberikan barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan
kata lain menggadaikan dalam Al-Quran diperbolehkan. Barang yang dijaminkan
dapat berupa barang yang dibiayai karena kepemilikannya telah berpindah ke
tangan nasabah. Dalam pelaksanaannya pembiayaan murabahah pada produk
MULIA nasabah harus memberikan jaminan/agunan berupa fisik emas batangan
logam MULIA yang dibiayai oleh pegadaian syariah dengan menggunakan akad
rahn.
Penyerahan fisik emas beserta sertifikatnya diakhir akad merupakan salah
satu bentuk kehati-hatian yang dilakukan oleh pihak Pegadaian Syariah apabila
nasabah melakukan wanprestasi, karena emas merupakan komoditas yang
77
memiliki nilai tinggi serta merupakan salah satu investasi jangka panjang
(wawancara dengan Ibu Alenia Putri tanggal 20 Mei 2011).
Prinsip kehati-hatian yang diterapkan pihak Pegadaian Syariah sesuai
dengan pasal 21 bab II Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (2009:20) mengenai
asas, salah satunya ikhtiati/kehati-hatian; bahwa setiap akad dilakukan dengan
mempertimbangkan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat, serta
setiap akad dilakukan dengan cara memberi kemudahan kepada masing-masing
pihak sehinga dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan dalam rangka
menegakan kemaslahatan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk
lainnya.
Menurut penulis pelaksanaan akad rahn pada produk Mulia merupakan
akad pelengkap yang bertujuan untuk memberikan jaminan pembayaran MULIA
kepada pihak pegadaian syariah. Fatwa no.4/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April
2000 tentang murabahah poin ketiga menyebutkan bahwa jaminan dalam
murabahah diperbolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Sedangkan
pelaksanaan fisik emas logam MULIA dan sertifikat dijadikan sebagai jaminan
hutang sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn emas bahwa “rahn emas diperbolehkan berdasarkan prinsip rahn dan Fatwa
Dewan Syariah No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tafsili yaitu jaminan
dalam bentuk barang atas utang tetapi jaminan tersebut (marhun) tetap berada
dalam penguasaan (pemanfaatan) rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan
kepada murtahin.
78
Pada intinya jaminan barang yang diberlakukan pada produk MULIA
bukan sebaga jaminan murni, yaitu dapat digadaikan seandainya nasabah
mengalami kerugian. Akan tetapi memberlakukan jaminan tersebut sebagai upaya
untuk lebih meningkatkan dan mengingatkan nasabah agar serius dalam
pinjaamannya. Hal tersebut diberlakukan agar terciptanya kemaslahatan umat.
Menurut M. Yazid Afandi (2009:94-95) murabahah dapat diberlakukan dengan
barang yang belum ada sebagaimana jual beli pada umumnya. Akad murabahah
dapat berlangsung apabila objek barang sudah ada ditangan penjual. akan tetapi
dalam perkembangannya murabahah dilakukan dengan kondisi barang belum
dapat di tangan penjual maka cara yang ditempuh adalah penjual
memesan/mencari barang yang diinginkan oleh pembeli, Ulama fiqh modern
menetapkan bahwa seorang pembeli yang sudah membeli sebuah barang
sementara penjual masih mencari barang karena belum ada di tangan penjual saat
pembeli datang dengan bersifat mengikat. Hal ini semata untuk menghindari
mudharat, jika sewaktu-waktu pembeli meninggalkan barang begitu saja tanpa ada
alasan, perkembangan tersebut indikasi bahwa fiqh muamalah, transaksi bisa
sangat dinamis sesuai dengan dinamika zaman. Hal tersebut sesuai dengan kaidah
fiqh.
تغريالحكامبتغريالزمنةوالمكنةوالحوال“Perubahan hukum itu berdasrkan perubahan zaman, tempat dan
keadaan” (Muhlis Usman, 1999:145).
Kaidah tersebut menunjukan bahwa hukm dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman, temapt dan keadaan hal tersebut dilakukan untuk
79
memperoleh kemaslahatan. Begitupula dengan penyerahan objek mrabahah
berupa fisik emas batangan pada produk MULIA yang diserahkan di akhir akad
untuk dijadikan jaminan gadai adalah untuk memperoleh kemaslahatan dan
menghindari kemudorotan sehingga nasabah serius dalam pesanannya dan tidak
melakukan wanprestasi sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan
sebagaimana asas muamalah salah satunya asas tadabul manafi bahwa setiap
transaksi harus memberikan manfaat agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
Selain itu keadaan menjadi faktor penyerahan fisik emas setelah dua minggu dari
penandatanganan akad kepada nasabah yang membeli secara tunai di KCPM
disebabkan KCPM harus menunggu kiriman emas dari KCDM. Berdasarkan
uraian tersebut, maka penulis melaksanakan murabahah logam MULIA di
Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi telah sesuai dengan murabahah di dalam
prinsip Islam dengan terpenuhinya rukun dan syarat adapun penyerahan fisik
emas di akhir akad disebabkan dijadikan jaminan dengan menggunakan akad rahn
diperbolehkan sebagai bentuk kehati-hatian dari pihak Pegadaian Syariah
menghadapi resiko wanprestasi nasabah mengingat barang yang dijadikan objek
murabahah merupakan barang yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi yaitu
emas logam MULIA yang berkaratase 99,9% sedangkan pelaksanaan akad rahn
dan murabahah pada produk MULIA bukanlah pelaksanaan dua akad dalam satu
transaksi dengan dua harga yang menyebabkan ketidakpastian misalnya menjual
barang dengan harga seribu secara kontan atau dengan dua ribu dengan secara
tempo. Akan tetapi akad rahn merupakan akad pelengkap yang digunakan untuk
memperlancar pembiayaan murabahah di Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi.
80
Serta selama masih dalam ketentuan yang wajar dan kedua belah pihak telah
menyepakati perjanjian yang mereka buat pada awal transaksi (saling rela) maka
hukum jual beli menjadi sah sebagaimana yang disebutkan dalam asas muamalah
bahwa setiap bentuk muamalat harus berdasarkan kerelaan.
81
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis fiqh muamalah mengenai jual
beli murabahah logam MULIA di pegadaian syariah cabang Sukabumi dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Murabahah Logam MULIA di Pegadaian Syariah Cabang
Sukabumi menggunakan murabahah menggunkan pesanan. Pelaksanaan
MULIA dilakukan dengan beberapa proses yaitu: proses pertama
pemesanan logam MULIA. Proses pemesanan dilaksanakan setelah
nasabah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam pembiayaan
MULIA dan membayar uang muka MULIA. Kedua proses pemberian atau
pembuatan akad MULIA memuat mengenai hak dan kewajiban kedua
belah pihak baik pihak pegadaian syariah maupun pihak nasabah serta
mengenai jumlah pembiayaan MULIA jangka waktu pembayaran, jumlah
unit emas batangan logam MULIA dan jumlah angsuran MULIA. Ketigas
pembayaran MULIA dapat dilakukan dengan tunai atau mengangsur. Dan
keempat proses pelunasan MULIA akan tetapi penyerahaan fisik emas
diserahkan diakhir akad setelah nasabah memenuhi seluruh kewajibannya
atau setelah masa angsuran lunas. Nasabah yang melakukan pembayaran
secara tunai di KCPM akan memperoleh fisik emas setelah dua minggu
setelah penandatangannan akad MULIA.
82
2. Dalam tinjauan Fiqh Muamalah Mekanisme Bi Murabahah Logam
MULIA di Pegadaian Syariah Cabang Sukabumi telah memenuhi rukun
dan syarat murabahah sesuai dengan prinsip Islam, diantaranya pihak
pegadaian syariah melakukan pembiayaan dalam bentuk pengadaan emas
batangan logam MULIA memberitahukan harga pokok, dan keuntungan
yang ingin diperoleh kepada nasabah, komuditi yang dijual berupa emas
batangan berkaratase 99,9% dan bersertifikat merupakan barang yang sah
dan halal menurut syariat semua syarat-syarat tersebut tertuang jelas dalam
akad. Sedangkan mekanisme penyerahan objek murabahah diakhir akad
disebabkan dijadikan jaminan gadai dengan menggunakan akad rahn
diperbolehkan sesuai dengan ketentuan fatwa Dewan Syariah No.4/DSN-
MUI/IV/2000 tentang murabahah poin ketiga dan pelaksanaan emas
beserta sertifikatnya sebagai jaminan hutang diperbolehkan sebagamana
fatwa Dewan Syariah No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn tafsili.
pelaksanaan akad rahn pada produk MULIA merupakan akad pelengkap
yang bertujuan untuk memperlancar pembiayaan murabahah bukan
merupakan dua akad dalam dalam satu transaksi yang menimbulkan
ketidakpastian. Dengan demikian akad murabahah yang dilaksanak npada
produk MULIA di pegadaian syariah cabang Sukabumi telah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan fiqh murabahah.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim
2007 Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ahmad Rodoni
2008 Lembaga Keuangan Syariah. Zikrul Hakim, Jakarta
Al-Hafid Ibnu Hajar Al-Asy Qolani
1995 Terjemahan Bulgul Maram (H. Mahrus Ali). Mutiara Ilmu, Surabaya
Ahmad ifham soloihin
2008 Lembaga Keuangan Syariah.Zikrul Hakim.Jakarta
A.Djajuli 2006 Kaidah-Kaidah Fiqh. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Cik Hasan Bisri 2006 Penuntutn Penyusunan Skripsi. PT. Grafindo Persada. Jakarta
Buku Saku Pengenalan Prosuk Perum Pegadaian Tahun 2009
Dimyaudin Djuwaini 2007 Fiqh Muamalah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Dewan Syariah Nasioanal Majelis Ulama Indonesia
2006 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Mui Ed 4 DSN MUI Dan
Bank Indonesia, Jakarta.
Gemala Dewi,Dkk. 2003 Hukum Perikatan Islam. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Ghufron A. Mas‟adi 2002 Fiqh Muamalah Konstektual. PT. Grafindo Persada, Jakarta
Hendi Suhendi
2008 Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
H.Muhlis Usman
1999 Kaidah-Kaidahh Ushuliyah Dan Fiqhiyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Juhaya S.Praja 1995 Filsafat Hukum Islam. LPM Universitas Islam Bandung, Bandung
Heri Sudarsono
2009 Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah. Ekonisia. Yogyakarta
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
2010 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008.Fokus Media Jakarta.
M.Ali Hasan
2003 Berbagi Macam Transaksi Dalam Islam. PT. Grafindo Persada
Jakarta.
Lexi j. Moleong,M.A. 2008 Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosada Karya, Bandung
M.Syafi‟i Antonio 2001 Bank Syariah dari Teori ke Praktek . Gema Insani, Jakarta.
M.Yazid Afandi
2009 Fiqih Muamalah.Agung Pustaka,Yogjakarta
Rahmat Syafe‟i.
2004 Fiqih Muamalah.Pustaka Setia,Bandung
Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000
2000 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
Suharsimi Arikunto 1992 Prosedur Penelitian.Rineka Cipta, Jakarta
Sayyid Sabiq 2006 Fiqih Sunah (Terjemahan Fiqih Sunah,Jilid Iv)(Nor Hasanudin).
Pena Pundi Aksara, Jakarta Selatan
Sasli Rais
2008 Pegadaian Syariah. Ui-Press, Jakarta.
Wiiliam Tanuwidjadja 2009 Cerdas Investasi Emas. PT. Buku Kita. Jakarta.
Zainudin Bin Abdul Aziz Al-Mimbari Al-Fanani 2008 Terjemahan Fathul Muin (Diterjemahkan oleh K.H Moch
Anwar,dkk). Sinar Baru Algensindo, Bandung
Zainudin Ali
2008 Hukum Gadai Syariah. Sinar Gafika.Jakarta.