bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · nasionalisme yang penuh huru hara dengan kata-kata...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai
mediumnya (Pradopo, 1995: 121). Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa
sehari-hari pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa khas yang
mengandung nilai estetis. Nilai estetis dalam sebuah karya sastra salah satunya
dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang tepat. Seorang pengaranglah yang
berperan dalam mengolah bahasa tersebut sehingga menghasilkan karya sastra
yang bernilai estetis. Pengarang merupakan asal usul karya sastra (Ratna,
2014: 94), oleh karena itu baik tidaknya sebuah karya sastra tergantung dari
pengarangnya. Pengarang adalah seorang koki dan bahasa adalah bahan
masakannya, setiap koki memiliki cara-cara tersendiri dalam mengolah
masakannya, cara-cara tersebut disebut gaya bahasa.
Gaya bahasa bukan baju, tetapi kulit, bahkan orangnya sendiri, maka
gaya bahasa tidak bisa dipisahkan dengan pengarangnya (2014: 95). Gaya
bahasa merupakan keseluruhan cara pemakaian bahasa oleh seorang
pengarang (Ratna, 2011: 232), atau bagaimana dia mengungkapkan sesuatu
yang akan dikemukakan. Gaya bahasa yang menarik akan menambah nilai
estetis sebuah karya sastra. Nilai estetis karya sastra dapat dilihat dari gaya
bahasa yang digunakan, dan aspek-aspek keindahan tersebut terkandung
dalam pemanfaatan gaya bahasa. Salah satu gaya bahasa yang cukup dikenal
secara umum adalah majas metafora.
1
2
Metafora adalah majas yang mengandung perbandingan tersirat yang
menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain (Zaidan, 2007: 129).
Aristoteles (Ratna, 2011: 258) mendefinisikan metafora sebagai pengalihan
makna melalui analogi, memperbandingkan sekaligus mempersamakan suatu
objek dengan objek lain untuk memperoleh makna yang berbeda. Kekuatan
aspek-aspek metafora dalam karya menandakan kejeniusan, karena dalam
metafora terkandung persepsi intuitif seorang pengarang. Di antara genre
sastra, jelas puisilah yang paling intens dalam menampilkan metafora, dengan
cara menciptakan konsep-konsep yang seolah-olah tidak berhubungan,
tumpang tindih, bahkan membingungkan. Tetapi justru variasi inilah yang
dicari, baik oleh penyair atau pembaca (Ratna, 2014: 183).
Puisi merupakan sebuah seni sastra yang kreatif dan imajinatif
sehingga dianggap umum menunjukkan pemakaian bahasa yang spesial. Puisi
merupakan sebuah ekspresi penyair yang dituangkan ke dalam bait-bait. Puisi
sudah berkembang sejak jaman dahulu di seluruh penjuru dunia, salah satunya
adalah di tanah Arab.
Puisi dalam istilah Arab dikenal dengan istilah Syi’run. ‘Abdul Ba>sith
‘Abdur-Raza>q Badr (1411: 139) mendefinisikan syi’run atau puisi Arab
sebagai sebuah seni sastra yang menggambarkan kehidupan dan perasaan
penyair, serta bertumpu pada khayalan, perasaan, dan kenyataan. Puisi bagi
orang arab merupakan salah satu genre sastra yang menempati posisi
tersendiri di hati mereka. Mereka mengatakan Inna's-syi’ra di >wa>nul ‘Arab,
yang dimaksud diwan di sini adalah catatan. Catatan tersebut mencatat
3
berbagai hal tentang tata krama, adat istiadat, agama dan peribadatan mereka
serta keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang diri
mereka sendiri dalam puisi (Wargadinata, 2008: 90). Puisi Arab terbagi
menjadi berbagai macam bentuk, salah satunya adalah puisi bebas atau
syi’rul-chur.
Syi’rul-chur adalah puisi Arab yang tidak terikat sama sekali dengan
aturan klasik puisi Arab (Muzakki, 2006: 53). Puisi Arab bebas seperti ini
banyak ditemukan pada puisi-puisi Arab modern. Meskipun para penyair Arab
modern melakukan penyimpangan konvensi yang ada, namun pada
kenyataannya mereka tidak melepaskan diri secara total dari konvensi sastra
(Muzakki, 2006: 43). Salah satu dari penyair-penyair modern Arab yang
terkenal adalah Farouk Juwaidah.
Farouk Juwaidah adalah salah satu penyair Arab modern terkenal
yang berasal dari Mesir. Dia lahir pada 10 Februari 1945. Lulus dari Program
Studi Jurnalistik Fakultas Adab Universitas Kairo pada tahun 1968. Setelah itu
dia terjun ke dunia jurnalistik di surat kabar terkenal bernama Al-Ahram.
Farouk telah banyak menyumbangkan tulisannya di surat kabar tersebut, dia
memiliki artikel khusus bernama 'Hawa>misy Churrah' yang menyuguhkan
berbagai pendapatnya (Al-Hasi>n, 2011: forum.islamstrory.com).
Farouk juga dikenal dengan puisi-puisinya yang memiliki kata-kata
indah, dan banyak digandrungi oleh khalayak terutama kalangan muda, karena
puisi-puisinya sarat akan hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Oleh karena itu
Juwaidah dijuluki dengan 'Raja cinta'. Selain itu, dia mampu membuat puisi
4
cinta yang penuh kenikmatan dengan kata-kata indah, serta membuat puisi
nasionalisme yang penuh huru hara dengan kata-kata yang kuat. Dua hal
berlawanan yang dapat dikuasai oleh Farouk (Kharafiyah, 2012: 6oyor-
aljanah.net).
Karena kepiawaiannya, telah banyak karya Farouk Juwidah yang
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa
Prancis, dan Bahasa Cina. Lewat tangan dinginnya telah lahir banyak tulisan-
tulisan, di antaranya adalah antologi puisi, naskah drama, dan tulisan-tulisan
mengenai politik dan budaya. Adapun beberapa antologi puisinya adalah
Chabi>bati> La> Tarchali> (1975), Wa Yabqa>l-Chub (1977), Lil Asywa>qi ‘Audah
(1978), Fi> ‘Ainika ‘Unwa>ni> (1979), Da>iman Anti Biqalbi> (1981), Liannani
Uchibbuka (1982), Syaiun Sayabqa> Bainana> (1983), Lan Abi>‘ Al-‘Umra
(1989), A>khirul-Laya>lil-Chilmi (1993), Alfu Wajhin Lil Qamar (1996), Ka>nat
Lana> Awtha>n (1997), Lau Annana> Lam Naftariq (1998), dan 'Azfun
Munfaridun (2003). Sedangkan karya Juwaidah berupa prosa di antaranya
adalah Amwa>lu Mishra Kaifa Dha>'at: Iqtisha>d (1976), ‘Umrun Min Waraq:
Khawa>thir Nastriyyah (1997). Selain itu dia juga menulis drama, di antaranya
adalah Al-Wazi>r Al‘A>syiq (1981) (Kharafiyah, 2012: 6oyor-aljanah.net).
Dua puisi Farouk Juwaidah dengan judul Lau Annana> Lam Naftariq
dan Lau Tarji‘>n adalah dua di antara puisi-puisi di dalam antalogi puisi Lau
Annana> Lam Naftariq yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Da>r Al-
Ghari>b Lithaba‘ah Wa'n-Nasyr Wa't-tauzi>' pada tahun 1998. Kemudian
diterbitkan kembali oleh Da>ru'sy-Syuru>q pada tahun 2005. Puisi Lau Anna>
5
Lam Naftariq karya Farouk Juwaidah pernah digubah ke dalam lagu oleh
penyayi asal Irak bernama Khadim Al-Sahir.
Kepiawaian Farouk Juwaidah dalam puisinya inilah yang membuat
penulis memilih syair Lau Anna> Lam Naftariq dan Lau Tarji'I>n sebagai objek
penelitian. Kajian stilistika yang dikerucutkan menjadi metafora digunakan
sebagai alat dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil pelacakan penulis, penelitian terhadap karya Farouk
Juwaidah sudah banyak dilakukan. Pertama, ditinjau dari segi pengarang yaitu
Farouk Juwaidah. Penelitian yang mengambil objek dari karya-karya Faoruk
Juwaidah masih sedikit, yaitu skripsi di Universitas Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang berjudul "Qashi>dah Hadza> Bila>d Lam Ta‘ud Kabila>di
Karya Farouk Juwaidah: Analisis Semiotik Charles Morris" oleh Hilman
Abdullah (2015). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dalam
keseluruhan bait puisi, lebih didominasi oleh kalimat-kalimat yang
mengandung tanda yang menunjukkan pada kesan keputusasaan, duka, dan
gambaran penindasan. Oleh karena itu makna puisi tersebut adalah
'keputusasaan'.
Kedua, dari segi teori, Annas (2013) dalam tesis di Universitas Gajah
Mada berjudul “Analisis Metafora dalam Kumpulan Puisi Leaves Of Grass
Karya Wath Whitman”. Dari Penelitian tersebut disimpulkan bahwa telah
ditemukan sembilan jenis metafora berdasarkan medan semantik yang
disampaikan oleh Haley. Kemudian dari metafora tersebut diketahui bahwa
ada korelasi antara metafora yang digunakan dengan pengalaman Walt
6
Whitman pada masa perbudakan, perang saudara, memori Abraham Lincoln,
dan faham spiritualnya. Metafora tersebut memiliki beberapa fungsi yaitu
untuk menyatakan pujian, kesedihan, kebahagiaan, nasehat, ketakutan, dan
hujatan.
Ahmad Khoironi Arianto (2013) dalam tesis di Universitas Gajah
Mada berjudul “Metafora dalam Puisi Imam Syafi'i”. Dalam penelitian
tersebut disimpulkan bahwa terdapat 8 (delapan) jenis metafora sebagaimana
yang telah diterangkan oleh Haley. Bentuk kebahasaan yang terdapat di
dalamnya ditemukan adanya bentuk kata, frasa, dan klausa dalam bahasa
Arab. Adapun hubungan antara metafora Di>wa>n Imam Syafi'i dengan budaya
ditemukan bahwa pembanding dalam buku tersebut banyak berhubungan
dengan kehidupan bangsa Arab pada saat itu dan kehidupan nenek moyang
bangsa Arab yang penuh dengan peperangan.
Ketiga, dari segi objek, berdasarkan hasil penelusuran yang telah
dilakukan, belum pernah ada penelitian yang membahas objek puisi Lau
Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘in dalam antologi Lau Annana> Lam
Naftariq karya Farouk Juwaidah sebagai objek penelitian.
Dengan demikian, penelitian yang membahas dua puisi dalam
antologi puisi Lau Annana> Lam Naftariq karya Farouk Juwaidah dengan
memanfaatkan teori stilistika berdasarkan pengamatan penulis belum pernah
dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu penulis memandang penting dan
tertarik untuk meneliti bentuk gaya bahasa metafora serta maknanya yang
terkandung di dalam puisi tersebut.
7
Adapun manfaat penelitian yang didapatkan adalah, pertama
memperkaya pengetahuan bagi para pembaca tentang kesusasteraan Arab,
khususnya puisi Arab modern. Kedua, memberikan wawasan dan pengetahuan
mengenai metafora, khususnya metafora dalam puisi Arab.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur teks yang membangun puisi arab Lau Annana> Lam
Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah berdasarkan teori
sturuktural ‘Abdul Ba>sith ‘Abdur-Raza>q Badr (1411 H)?
2. Apa saja jenis metafora beserta maknanya dalam puisi Lau Annana> Lam
Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah?
C. Tujuan
Tujuan Penelitian adalah untuk memberikan arah yang jelas pada
penelitian yang dilakukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan struktur teks yang membangun dalam puisi arab Lau
Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah Darwish
berdasarkan teori sturuktural ‘Abdul Ba>sith ‘Abdur-Raza>q Badr (1411 H).
2. Mengungkapkan jenis-jenis metafora beserta maknanya dalam puisi arab
Lau Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah.
8
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian bertujuan menghindari pelebaran
masalah yang dianalisis sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam
pembahasan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Mendeskripsikan struktur teks yang membangun puisi arab Lau Annana>
Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah berdasarkan teori
sturuktural ‘Abdul Ba>sith ‘Abdur-Raza>q Badr (1411 H) yang meliputi
keadaan teks, deskripsi umum teks, tema, emosi, gaya bahasa, imajinasi
dan penilaian umum.
2. Menemukan dan mengungkapkan jenis-jenis metafora beserta maknanya
yang digunakan oleh Farouk Juwaidah dalam puisinya yang berjudul Lau
Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n.
E. Landasan Teori
1. Teori Struktural ‘Abdul Ba>sith ‘Abdur-Raza>q Badr (1411 H)
Strukturalisme adalah paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu
sendiri dengan mekanisme antarhubungannya (Ratna, 2004: 91). Objek
dipandang cukup dan terlepas dari latar belakang sosialnya. Pada penelitian
ini, teori struktural yang digunakan adalah teori struktural ‘Abdul Ba>sith
‘Abdur-Raza>q Badr.
9
Menurut Badr (1411: 207) dalam menganalisis karya sastra ada 7 (tujuh)
aspek yang dibahas, yaitu keadaan teks (Jawwu'n-Nashshi), deskripsi umum
teks (Al-‘ardhul-‘a>m li'n-nashshi), tema (Al-afka>r), emosi (Al-‘awa>thif), gaya
bahasa (Al-uslu>b), imajinasi (Al-khaya>l), dan penilaian umum (Al-Chukmul-
‘a>m li'n-Nashshi).
a. Keadaan Teks (Jawwu'n-Nashshi)
Dalam aspek pertama ini, akan dibahas mengenai keadaan teks secara
umum. Dimulai dari masa teks tersebut dibuat, kejadian-kejadian yang
melatarbelakangi teks tersebut, hingga pengarangnya. Menurut Badr, ada
sebagian teks sastra yang tidak diketahui pengarangnya ataupun tidak terikat
dengan kejadian apapun, oleh karena itu diperbolehkan menghilangkan aspek
pertama ini, dan analisis dimulai dari aspek ke-dua.
b. Deskripsi Umum Teks (Al-‘ardhu Al-‘A>m Li'n-Nashshi)
Pada bagian ini, teks secara keseluruhan akan dideskripsikan, sesuai
dengan apa yang telah dipaparkan oleh pengarangnya. Pendeskripsian teks
berupa puisi dimulai dari bait ke bait, sedangkan prosa dimulai dari paragraf
ke paragraf atau bab ke bab.
c. Tema (Al-Afka>r)
Pada aspek ke-tiga ini, akan dipaparkan mengenai tema-tema yang
terkandung dalam teks sastra secara rinci, kemudian mengaitkannya dengan
tema pokok karya sastra tersebut.
10
d. Emosi (Al-‘Awa>thif)
Emosi merupakan sekumpulan perasaan yang terkandung dalam sebuah
teks sastra, seperti : sedih, marah, gembira dan lain sebagainya. Menurut Badr,
seorang pengarang saat berpindah dari satu pokok pikiran ke pokok pikiran
yang lain, atau dari satu tujuan ke tujuan yang lain, maka emosi yang
digunakan juga akan berubah. Maka dari itu seorang peneliti harus
mengungkapkan emosi-emosi yang terkandung dalam teks sastra.
e. Gaya Bahasa (Al-Uslu>b)
Pada aspek gaya bahasa ini, Badr mengklasifikasikannya menjadi 4
(empat) bagian, yaitu: kosa kata, struktur, kemahiran bersastra, dan irama.
Dalam setiap bagian tersebut, harus dianalisis dengan detail, bagaimana kosa
kata, struktur, dan kemahiran bersastra yang digunakan oleh pengarang.
Sedangkan irama, hanya khusus digunakan dalam analisis puisi.
f. Imajinasi (Al-Khaya>l)
Unsur imajinasi dalam puisi sangat banyak, oleh karena itu pada bagian
ini, peneliti harus mengupas imajinasi-imajinasi yang digunakan oleh
pengarang serta pengaruhnya terhadap kejelasan makna teks puisi.
g. Penilaian Umum (Al-Chukmul-‘A>m Li'n-Nashshi)
Pada bagian ini akan ditunjukkan ciri-ciri teks yang terpenting,
kemudian membandingkannya dengan karya-karya lain yang bertema dan
berobjek sama, sambil menjelaskan hal-hal baru yang disajikannya, nilai-nilai
humanis yang diusungnya, dan kemahiran-kemahiran teknis yang
menjadikannya istimewa.
11
2. Teori Stilistika
Penelitian ini menerapkan teori stilistika, karena metafora yang menjadi
pokok pembahasan penelitian ini berada dalam ruang lingkup kajian stilistika.
Secara sistematis metafora merupakan bagian dari bahasa kiasan, sedangkan
bahasa kiasan merupakan bagian dari gaya bahasa, dan gaya bahasa
merupakan bagian dari stilistika (Huda, 2011: 16). Secara ringkas dapat dilihat
gambar di bawah ini :
Stilistika adalah ilmu tentang gaya (Shipley dalam Ratna, 2014: 8).
Stilistika dalam Kamus Linguistik didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki
bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra (Kridalaksana, 2008: 227).
Menurut Leech dan Short (dalam Nurgiyantoro, 1995: 279) stilistika
merupakan kajian terhadap wujud performasi kebahasaan, khususnya yang
terdapat dalam karya sastra. Sedangkan menurut Slamet Muljana dalam
bukunya berjudul Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956) mengatakan
Stilistika
Gaya bahasa
Bahasa kiasan
Metafora
Gambar 1 : metafora dalam stilistika
12
bahwa bahasa sastra khususnya puisi disebut sebagai 'kata berjiwa', yaitu
bahasa adalah alat untuk mewujudukan pengalaman jiwa yaitu cita dan rasa ke
dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan sendirinya sesuai dengan
tujuan pengarang. Pemahaman menganai kata-kata berjiwa inilah yang disebut
sebagai stilistika (Ratna, 2014: 38-39). Tujuan stilistika adalah untuk
menerangkan bagaimana sastrawan memanipulasi penggunaan bahasa di
dalam karya sastra untuk menghasilkan efek tertentu sesuai dengan prinsip
licentia poetica (Muzakki, 2011: 178).
a. Gaya Bahasa
Berdasarkan penjabaran di atas, stilistika merupakan ilmu tentang gaya
Bahasa atau style. Kata style berasal dari akar kata stilus (latin) yang berarti
alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis
lilin. Benda runcing tersebut dapat diartikan bermacam-macam, di antaranya
adalah menggores dan menusuk. Konotasi lain adalah menggores dan
menusuk pembaca bahkan juga penulis itu sendiri sehingga menimbulkan efek
tertentu. Pada dasarnya di sinilah terletak makna kata stilus sehingga
kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan
bahasa yang khas (Ratna, 2014: 8).
Gaya bahasa menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995: 276) adalah
cara bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan. Ratna (2014: 3) mendefinisikan gaya bahasa sebagai cara-cara
khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga
tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Ratna (2014: 416)
13
juga mengatakan bahwa secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan
majas, dan secara modern meliputi keseluruhan cara penyajian karya sastra,
termasuk bahasa nonsastra. Senada dengan Keraf (1996: 93) yang mengatakan
bahwa tiap pengarang memiliki gaya sendiri, hal ini sesuai dengan sifat dan
kegemaran masing-masing pengarang. Gaya bahasa merupakan cap seorang
pengarang dan merupakan keistimewaan seorang penulis. Sebagaimana gaya
bahasa yang digunakan Tere Liye berbeda dengan gaya bahasa yang
digunakan oleh Andrea Hirata, meskipun keduanya sama-sama menulis novel.
Dengan ini dapat dipahami bahwa gaya bahasa adalah milik setiap
orang, gaya bahasa mencerimkan karakter seseorang, dan gaya bahasa
merupakan ciri khas setiap pemakai bahasa. Penulis A akan memiliki gaya
bahasa yang berbeda dengan penulis B, begitu pula dengan penulis C dan D.
Setiap penulis akan memiliki ciri khas masing-masing dalam mengolah kata.
b. Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan (figurative language) adalah salah satu unsur untuk
mendapatkan kepuitisan. Adanya bahasa kiasan ini menjadikan sajak menjadi
menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama
menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 1987: 62). Bahasa kiasan
dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan. Membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang
menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut (Keraf, 1996: 136). Bahasa
kiasan bermacam-macam. Namun meskipun bermacam-macam, masih
memiliki satu sifat umum, yaitu mempertalikan sesuatu dengan cara
14
menghubungkan dengan sesuatu yang lain (Altenbernd dalam Keraf, 1996:
62). Salah satu macam bahasa kiasan adalah metafora.
c. Metafora
Secara etimologis, metafora berasal dari kata methaphora (Yunani)
yang berati mentransfer, mengalihkan, memindahkan, membawa dari satu
tempat ke tempat yang lain. Kata ini juga dapat ditelusuri melalui akar
katanya, yang terdiri atas meta dan pherein. Meta berarti samping, sesudah,
mengatasi, dan melalui, sedangkan pherein berarti mengandung, memikul dan
memuat. Keduanya dihubungkan oleh kesamaan atau perbandingan secara
implisit (Ratna, 2011:253). Dalam Kamus Istilah Sastra, Zaidan (2007:129)
mendefinisikan metafora sebagai majas yang mengandung perbandingan
tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Metafora
sendiri memiliki dua pengertian, secara sempit dan luas. Pengertian secara
sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan
sebagainya. Sedangkan pengertian secara luas meliputi semua bentuk kiasan
penggunaan bahasa yang menyimpang dari bahasa baku (Ratna, 2014: 181).
Sedangkan Pradopo (1987: 66) mendefinisikan metafora sebagai bahasa
kiasan seperti perbandingan hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding
tetapi dengan melihat sesuatu melalui perantara benda lain.
Menurut Aristoteles (dalam Saifudin, 2012: 92) metafora merupakan
sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep abstrak,
yang dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara
membandingkannya dengan suatu konsep yang lain yang sudah dipahami.
15
Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah
dipahami kepada konsep abstrak. Sebagai contoh seorang anak bertanya
kepada ibunya ‘Apa itu cinta?’. Ibu tersebut tidak akan memberikan jawaban
dengan definisi cinta dari kamus, melainkan memperluas makna konsep cinta
itu sendiri dengan membandingkannya dengan konsep yang lain yang mudah
dipahami. Ibu tersebut kemudian menjawab ‘cinta itu perasaan yang kamu
rasakan saat ibu memelukmu’. Dengan demikian konsep abstrak cinta dapat
dengan mudah dipahami oleh anak.
Beberapa pakar menganggap bahwa metafora merupakan “ratunya”
majas (Zaimar, 2002: 48). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ratna (2011:
253) bahwa sebagian gaya bahasa yang sudah dikenal dapat dikelompokkan
ke dalam metafora. Jakobson (dalam Ratna, 2014: 183) juga mengatakan
bahwa semua bentuk pada dasarnya dapat disebut sebagai metafora. Dengan
demikian, pada hakikatnya sebagian besar majas didasari oleh perbandingan
dua konsep yang disandingkan.
Richards (dalam Ratna, 2014: 185) membagi komponen metafora
menjadi dua, yaitu: tenor dan vehicle. Tenor adalah konsep yang sudah
dipahami atau makna yang secara harfiah sudah dipahami, sedangkan vehicle
adalah konsep yang dibicarakan agar tenor lebih mudah dipahami.
Contohnya: “Rindu adalah duri di hati”. Rindu merupakan tenor sedangkan
duri adalah vehicle. Kemudian, melalui interaksi antara tenor dan vehicle
dihasilkan gagasan baru yaitu titik kesamaan atau disebut ground. Dalam
contoh kalimat di atas misalnya, tidak terjadi pemindahan makna dari kata
16
rindu kepada kata duri, kedua kata tersebut tetap berada pada makna harfiah
masing-masing. Namun sebagian wilayah makna kedua kata tersebut saling
berinteraksi dan menunjukkan adanya sekumpulan komponen makna yang
serupa. Oleh karena itu, titik kesamaan dari kalimat tersebut adalah menyakiti.
Di bawah ini akan dikemukakan wilayah makna metafora, sehingga
akan lebih mudah dalam memahami konsep metafora.
Pada gambar 2 diatas, dapat dideskripsikan bahwa A merupakan makna kata
rindu, sedangkan B merupakan makna kata duri. Sebagian dari kedua wilayah
makna tersebut bertumpang tindih (ditampilkan oleh bagian yang berwarna),
hal itu menunjukkan adanya sekumpulan komponen makna yang sama, yaitu
sama-sama dimiliki oleh kedua wilayah makna. Meskipun kedua wilayah
menyatu salah satu makna tidak akan hilang melainkan berinteraksi. Jadi
dalam metafora tidak terjadi substitusi makna, melainkan interaksi makna
(Richards dalam Zaimar, 2002: 49).
A B
Gambar 2: Proses metafora
17
Dalam kesusasteraan Arab, istilah metafora dapat disepadankan dengan
Isti‘a>rah (Al-Khuli, 1982:168), hal demikian juga diungkapkan oleh Fatchi
(1986:21) dalam Mu‘jam Musthalacha>t Al-'Adabiyyah, Mubarak (1995: 180)
dalam Mu‘jam Musthalacha>t Al-Alsinah, dan Wahbah (1984: 27) dalam
Mu’jam Musthalacha>t Al-‘Arabiyyah Fi Al-Lughah wa Al-Adab.
Isti'a>rah adalah salah satu bagian dari maja>z lughawi, isti'a>rah
merupakan tasybi>h yang dibuang salah satu unsur pokoknya. Maja>z lughawi
adalah lafaz yang digunakan bukan pada makna yang sebenarnya karena
adanya qari>nah yang menghalangi pemahaman makna sebenarnya. Hubungan
antara makna hakiki dan makna maja>zi> terkadang berupa hubungan
penyerupaan dan terkadang bukan penyerupaan, sedangkan qari>nah terkadang
lafdziyyah dan terkadang cha>liyah (Al-Ja>rim, 2007: 77-83).
Adapun tasybi>h adalah penjelasan bahwa suatu hal atau beberapa hal
memiliki kesamaan sifat dengan hal lainnya. Penjelasan tersebut
menggunakan hururf ka>f (seperti) atau sejenisnya, baik tersurat maupun
tersirat (Al-Ja>rim, 2007: 25). Tasybi>h sendiri memiliki unsur-unsurnya, yaitu
musyabbah atau yang diserupakan, musyabbah bih atau atau yang diserupai,
ada>t tasybi>h atau huruf yang menyatakan penyerupaan, dan wajhu syibhi atau
sifat yang ada pada kedua belah pihak. Seperti contoh di bawah ini:
شمس ىف الضياءأَْنَت كال[Anta ka’sy-syamsi fi’dh-dhiya>i]
Engkau bagaikan matahari yang menyinari
'Engkau' pada kalimat di atas merupakan musyabbah, 'Matahari' merupakan
musyabbah bih, 'Seperti' merupakan ada>t tasybi>h, dan 'sinar' adalah wajhu
18
syibhi (Al-Ja>rim, 2007: 23) Di antara keempat unsur tasybi>h tersebut, unsur
pertama dan kedua, yaitu musyabbah dan musyabbah bih adalah unsur
penting yang harus ada dalam kalimat yang mengandung tasybi>h.
Pada dasarnya konsep isti‘a>rah berangkat dan bermuara dari bentuk
gaya bahasa tasybi>h dan pada hakikatnya ungkapan bentuk Isti'a>rah adalah
ungkapan bentuk tasybi>h yang paling tinggi (Muzakki, 2011: 182). Jika
kedua unsur penting yaitu musyabbah dan musyabbah bih dalam tasybi>h
harus disebutkan, maka dalam isti‘a>rah hanya salah satu unsur saja yang
disebutkan. Salah satu unsur tersebut adalah musyabbah atau musyabbah bih
sebagaimana pengertian isti‘a>rah yang telah dipaparkan di atas.
رأيت أسدا ىف املدرسة[Ra'aitu asadan fil-madrasati]
Aku melihat singa di sekolah
Kalimat di atas termasuk contoh isti‘a>rah, hakikat kalimat tersebut
adalah 'aku melihat seorang laki-laki pemberani seperti singa di sekolah'.
Akan tetapi dalam isti‘a>rah hanya salah satu unsur saja yang disebutkan baik
musyabbah maupun musyabbah bih tanpa disebutkan wajhu syibhi dan ada>t
tasybi>h, kemudian dihubungkan dengan qari>nah yang menghalangi kepada
pemahaman makna hakiki. Meskipun wajhu syibhi tidak disebutkan namun,
sebenarnya ia terkandung dalam kalimat isti‘a>rah, karena isti‘a>rah sendiri
berlandaskan pada hubungan penyerupaan. Kata 'al-madrasatu' merupakan
qari>nah yang menunjukkan arti sebenarnya kata 'asadun'. Makna 'singa' pada
kalimat di atas bukan hewan buas yang hidup di hutan melainkan seorang
19
laki-laki yang memiliki keberanian layaknya seekor singa (Al-Ha>syimi, tt:
258).
Meskipun pada hakikatnya unsur-unsur isti‘a>rah sama dengan unsur-
unsur tasybi>h, namun isti‘a>rah memiliki istilah penyebutan tersendiri.
Musyabbah dalam isti‘a>rah disebut dengan musyta‘a>r lahu dan musyabbah
bih disebut dengan musyta‘a>r minhu (Al-Ha>syimi, tt: 258). Selain kedua
unsur pokok tersebut, qari>nah juga memiliki peran dalam memahami makna
sebenarnya yang dimaksudkan.
Qari>nah merupakan petunjuk bahwa sebuah kalimat tidak bisa
dimaknai dengan makna hakiki. Qari>nah harus ada dalam kalimat yang
mengandung isti‘a>rah. Karena jika dikatakan ‘ra'aitu asadan’ dengan maksud
seorang laki-laki pemberani, maka kata ‘al-asadu’ di atas hanya akan
dimaknai dengan singa yang merupakan hewan buas. Tetapi jika terdapat
qari>nah yang menunjukkan bahwa makna kata ‘al-asadu’ adalah laki-laki
pemberani, misalnya ‘ra'aitu asadan fil-madrasati’, maka kalimat tersebut
termasuk isti‘a>rah (Mathlu>b, 1975: 128). Qari>nah ada dua macam,
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu qari>nah lafzdiyyah dan
qari>nah cha>liyah. Qari>nah lafdziyah adalah qarinah yang terletak di lafadz
dalam sebuah kalimat yang mengandung isti‘a>rah, sedangkan qari>nah
cha>liyah adalah qari>nah yang tidak terletak pada kata tertentu (A>mir, 2008:
www.almdares.net).
Melihat teori metafora yang diusung Richard dan metafora dalam
kesusasteraan Arab, maka dapat ditarik benang merah bahwa terdapat
20
kemiripan di antara keduanya. Tenor dapat disepadankan dengan musta‘a>r
lahu atau musyabbah, vehicle dapat disepadankan dengan musta‘a>r minhu
atau musyabbah bih, dan ground dapat disepadankan dengan wajhu syibhi
(Wahbah, 1984: 28).
Dalam menciptakan metafora, manusia tidak dapat melepaskan diri dari
lingkungannya, karena manusia selalu mengadakan interaksi dengan
lingkungannya, dan dari interaksi tersebut terciptalah persepsi. Ruang
persepsi tersebut mempengaruhi daya cipta metafora pada kalangan
sastrawan, dan dimulai dari lingkungan terdekat sampai lingkungan terjauh
(Wahab, 1991: 76). Berdasarkan ruang persepsi manusia Michael C. Haley
(dalam Annas, 2013: 28) membagi metafora menjadi 9 (Sembilan) kategori
bentuk, yaitu :
1) Ke-ada-an (Being) yaitu metafora yang meliputi hal-hal abstrak seperti
kebenaran, kasih sayang, kebencian dan lain sebagainya.
2) Kosmos (Cosmos) yaitu metafora yang meliputi benda-benda kosmos
seperti matahari, bulan dan lain sebagainya.
3) Energi (Energy) yaitu metafora yang berkaitan dengan hal-hal yang
memiliki kekuatan, seperti angin, cahaya, api, air.
4) Substansi (Substance) yaitu metafora yang meliputi jenis-jenis gas
dengan prediksinya dapat memberi kelembutan, bau, tekanan, dan lain
sebagainya.
21
5) Permukaan Bumi (Terrestrial) yaitu metafora yang berkaitan dengan
hal-hal yang terikat atau terbentang di permukaan bumi seperti, sungai,
laut, dan lain sebagainya.
6) Benda Mati (Object) yaitu metafora benda mati yang meliputi benda-
benda tidak bernyawa seperti kursi, gelas, meja, dan lain sebagainya.
7) Flora (Living) yaitu metafora yang berhubungan dengan seluruh jenis
tumbuhan.
8) Fauna (Animate) yaitu metafora yang berhubungan dengan makhluk
organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang dan lain sebagainya,
seperti sapi, anjing, dan kerbau.
9) Manusia (Human) yaitu metafora yang behubungan dengan makhluk
yang dapat berpikir dan berakal.
Pembagian ini menurut Haley mencerminkan ruang persepsi manusia.
Model Haley ini dipakai untuk memetakan hubungan sistematis antara
lambang yang dipakai dalam metafora dan makna yang dimaksudkan. Arianto
(2013) dalam penelitiannya memberikan salah satu contoh aplikasi model
Haley terhadap salah satu potongan puisi Imam Syafi'i yang berbentuk simile
(tasybi>h).
وعيدا وختاف يوم املعاد الذنوب جليدا كنت تغدو يفإن [In kunta taghdu> fi>'dz-dzunu>bi jali>dan]
[wa takha>fu yaumal-mi'a>di wa‘i>dan] Apabila kamu berjalan di atas dosa-dosa seperti salju
Dan kamu khawatir pada dosa-dosa hari nanti
Tenor atau musta‘a>r lahu pada puisi di atas adalah kata 'adz-
dzunu>bi' yang berarti 'dosa' sedangkan salju pada puisi tersebut menjadi
22
vehicle atau musta‘a>r minhu. Dalam perumpamaan tersebut dosa
diumpamakan seperti salju. Bukan karena sifat salju yang dingin ataupun
salju yang indah saat muncul pertama kali, akan tetapi lebih mengarah
pada persamaan bahwa keduanya sama-sama tidak dapat dihitung
jumlahnya. Salju merupakan sebuah partikel kecil dan berwarna putih
yang tidak sanggup untuk dihitung berapa butiran salju yang ada saat kita
mengambil satu genggaman saja. Hal tersebut sama halnya bila kita
menghitung banyakknya jumlah bulu yang terdapat pada seekor kambing,
bila hal tersebut dikerjakan maka setiap orang yang menghitungnya akan
mendapatkan perbedaan jumlah antara yang satu dengan lainnya, begitu
pula dengan dosa seseorang yang telah menumpuk sekian lama. Dosa
tersebut akan menggunung dengan jumlahnya yang sangat banyak hingga
tidak dapat dihitung.
Salju merupakan butiran uap air berwarna putih yang membeku di
udara dan jatuh ke bumi akibat temperatur udara di daerah itu berada di
bawah titik beku. Salju adalah benda mati yang tidak memiliki kekuatan
kecuali ada kekutan dari luar yang mendorongnya. Oleh karena hal
tersebut, salju dikatakan termasuk kategori metafora benda mati (object)
karena tidak memiliki kekuatan yang dapat menggerakkan kecuali
kekuatan dari luar.
Jenis-jenis metafora model Haley tersebut akan dibahas sesuai
dengan objek yang dikaji, dan dengan unsur vehicle atau Musta‘a>r minhu
23
sebagai titik acuannya. Dari paparan di atas, secara ringkas dapat dilihat
dalam bagan di bawah ini :
3. Data dan Sumber Data
1. Objek Penelitian
Objek penelitian sastra adalah pokok atau topik penelitian sastra
(Sangidu, 2001: 61). Objek penelitian ini adalah puisi Arab berjudul Lau
Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah yang yang
diambil dari antalogi puisi Lau Annana> Lam Naftariq karya Farouk Juwaidah.
Gambar 3: Bagan klasifikasi metafora
Metafora
Unsur-Unsur
Jenis
Tenor (Musyabbah bih/Musta‘a>r lahu)
Vehicle (Musta‘a>r minhu/Musyabbah
bih)
Ke-ada-an
Kosmos
Substansi
Permukaan Bumi
Lafdziyyah
Cha>liyah
Qarinah
Energi
Benda Mati
Flora
Fauna
Manusia
24
2. Data
Data penelitian sebagai data formal adalah kata-kata, frasa, dan kalimat.
Data yang terkumpul dalam analisis deskriptif berupa kata-kata dan bukan
angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif
(Moleong, 2010: 16). Bentuk data dalam penelitian ini berupa huruf, kata-
kata, frasa dan kalimat, yang terdapat di pada puisi arab Lau Annana> Lam
Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah.
3. Sumber data
Sumber data adalah naskah (Ratna, 2004: 47). Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data kepustakaan yang berupa buku, e-
book, hasil penelitian dan lain sebagainya yang diuraikan dengan perincian
sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data utama. Sumber data
primer penelitian ini adalah puisi Arab yang berjudul Lau Annana> Lam
Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah diambil dari antologi
puisi Lau Annana> Lam Naftariq karya Farouk Juwaidah yang diterbitkan
oleh Da>ru'sy-Syuru>q di Kairo pada tahun 2005.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang kedua. Sumber
data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang bersumber dari
buku-buku, karya tulis, data penelitian, informasi, dan website yang
berhubungan dan menunjang pembahasan penelitian.
25
4. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif. Penelitian ini cenderung berkembang dan banyak digunakan dalam
ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial manusia, dan
berbagai argumentasi lainnya. Penelitian ini bersifat deskriptif karena data
yang dianalisis tidak untuk menerima atau menolak hipotesis (jika ada),
melainkan hasil analisis tersebut berupa deskripsi berupa gejala-gejala yang
diamati, yang tidak selalu berbentuk angka-angka atau koefisien antar
variabel (Subana, 2011: 17)
2. Teknik Penelitian
Teknik penelitian merupakan serangkaian kegiatan yang terikat dengan
pengumpulan data dan pengolahan data. Dalam teknik pengumpulan data,
data diperoleh dari teknik pustaka, yaitu dengan cara membaca, memahami,
mencatat hal-hal penting, memaknai dan mengkategorikan teks Lau Annana>
Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n, sesuai dengan kebutuhan masalah yang telah
dirumuskan.
Adapun dalam teknik pengolahan data, data yang telah diambil melalui
tahap pengumpulan data dan telah diklasifikasikan selanjutnya akan diolah
melalui tahap analisis struktural dengan menggunakan teori struktural Badr.
Kemudian dilanjutkan dengan analisis unsur-unsur dan jenis-jenis metafora
dalam teks Lau Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n beserta maknanya.
26
Pada tahap akhir, data-data yang telah dianalisis kemudian ditafsirkan dan
dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan.
5. Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu pembahasan yang jelas dan berkesinambungan
antara bab demi bab, maka sistematika penulisan penelitian ini sebagai
berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, data dan
sumber data, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II meliputi pembahasan analisis struktural teks Lau Annana> Lam
Naftariq dan Lau Tarji‘i>n menggunakan teori struktural Badr (1141 H).
Bab III meliputi pembahasan inti dari penelitian ini yaitu jenis-jenis dan
metafora dalam teks Lau Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n beserta
maknanya dengan menggunakan kajian stilistika dalam bentuk deskripitif.
Bab IV merupakan penutup yang meliputi simpulan dan saran
Pada bagian akhir dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran
berupa teks rekap uraian hasil penelitian, biografi Farouk Juwaidah dan data
primer (puisi Lau Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n).
27
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL LAU ANNANA> LAM NAFTARIQ
DAN LAU TARJI‘I>N KARYA FAROUK JUWAIDAH
Strukturalisme adalah paham mengenai unsur-unsur, yang terdiri dari struktur
itu sendiri dan mekanisme antarhubungannya (Ratna, 2004:91). Analisis struktural
dapat disebut sebagai analisis unsur intristik sebuah karya sastra. Objek dapat
dipandang cukup yang terlepas dari unsur-unsur ekstrinsik di luar karya sastra.
Menurut Badr (1411: 207) dalam menganalisis karya sastra ada 7 (tujuh) aspek
yang dibahas, yaitu keadaan teks (Jawwu'n-Nashshi), deskripsi umum teks (Al-
‘Ardhul-‘A>m Li'n-Nashshi), tema (Al-Afka>r), emosi (Al-‘Awa>thif), gaya bahasa
(Al-uslu>b), imajinasi (Al-khaya>l), dan penilaian umum (Al-Chukmul-‘A>m li'n-
Nashshi).
A. Puisi Lau Annana> Lam Naftariq
لو أنّنا .. لم نفترق لو أنّنا .. مل نفرتق
مسائك ساريا لبقيت جنما يف يف هليبك حيرتق يوتركت عمر
سافرت يف قمم السحاب ينلو أنّ ربوعك ينطلق يفوعدت هنرا
املدى ها األحالم تنثرنا سرابا يفلكنّ وتظل سرا.. يف اجلوانح خيتنق
*** نا .. مل نفرتقلو أنّ
ذهول تبتعد كانت خطانا يف وتشدنا أشواقنا
فنعود منسك بالطريق املرتعد تلقي بنا اللحظات
27
28
صخب الزحام كأننا يف جسد جسد تناثر يف
جسد نسري .. وحولنا جسدان يف كانت وجوه الناس جترى كالرياح
فال نرى منهم أحد***
مازلت أذكر عندما جاء الرحيلاألرق عيين وصاح يف
وتعثرت أنفاسنا بني الضلوع وعاد يشطرنا القلق
يديك يف يورأيت عمر رياح صيف عابث
ورماد أحالم .. وشيئا من ورق هذا أنا..
ورق يعمر ورق يحلم
جحيم املوج طفل صغري يف حاصره الغرق
ضوء طريد يف عيون األفق يطويه الشفق
جنم أضاء الكون يوما .. واحرتق***
العني احلزينة ال تسأيل كيف أدمتها املقل؟!
النجم البعيد ال تسأيل بأي سر قد أفل؟!عيين مهما توارى احللم يف
األجل قينوأرّ مازلت أملح يف رماد العمر
شيئا من أمل
29
فغدا ستنبت يف جبني األفق جنمات جديده
وغدا ستورق يف ليايل احلزن أيام سعيده
وغدا أراك على املدى مشسا تضئ ظالم أيامي
وإن كانت بعيده لو أننا مل نفرتق
ضجر الّشوارع فرحيت محلتك يف الطرقات يعل واخلوف يلقيين
تتمايل األحالم بني عيونناصمت الّلقا نبضايت وتغيب يف
واللّيل سّكري يعانق كأسه ويطوف منتشيا على احلانات
العيون بريقهوالضوء يسكب يف خجل على الشرفات ويهيم يف حولناالطريق و يف يكنا نصل
يتنّدر الكّهان بالّضحكاتالّظالم دموعنا نعانق يف كّنا الّدرب منفطر من العرباتو
يوتوّقف الّزمن املسافر ىف دم لوعة خطواتى وتعثرت يف
يالّدقائق ختتفو والوقت يرتع .. فنطارد الّلحظات .. بالّلحظات
كنت أعرف والرحيل يشدناما وحيايت أودّع مهجيت أين
من وداع قد مضى ماكان خويف من فراق آت بل كان خويف
منذ كان وداعنا يءش مل يبق كلمايت غري اجلراح تئن يف
30
لو أننامل نفرتق ..زمن اخلطيئة توبيت لبقيت يف
صاليت.. و وجعلت وجهك قبليت 14-9: 2010)جويدة, (
Lau Annana> .. Lam Naftariq
[Lau annana> lam naftariq]
[Labaqaitu najman fi> sama>'iki sa>riyan]
[Wa taraktu ‘umri> fi> lahi>biki yachtariq]
[Law annani> sa>fartu fi> qimami's-sacha>bi]
[Wa ‘udtu nahran fi> rubu>‘iki yanthaliq]
[Lakinnaha>l-achla<mu tantsuruna> sara>ban fil-mada>]
[Wa tazhullu sirran .. fi>l-jawa>nichi yakhtaniq]
***
[Law annana> lam naftariq ..]
[Ka>nat khutha>na> fi> dzuhu>lin tabta‘id ..]
[Wa tasyudduna> asywa>quna>]
[Fana‘u>du numsiku bi'th-thari>qil-murta‘id]
[Tulqi> bina>'l-lachazha>tu]
[Fi> shakhabi'z-zicha>mi ka'annana>]
[Jasadun tana>tsara fi> jasad ..]
[Jasada>ni fi> jasadin nasi>ru wa chaulana>]
[Ka>nat wuju>hu'n-na>si tajri> ka'r-riya>ch]
[Fala> nara> minhum achad]
***
[Ma> ziltu adzkuru ‘indama> ja>'a'r-rachi>l]
[Wa sha>cha fi> ‘aini>l-'araq]
31
[Wa ta‘atstsarat anfa>suna> baina>'dh-dhulu>‘]
[Wa> ‘a>da yasyturuna>l-qalaq]
[Wa ra'aitu ‘umri> fi> yadaiki]
[Riya>cha> shaifin ‘a>bitsin]
[Wa rama>da achla>min wa sya'ian min waraq]
[Hadza> ana< ..]
[‘umri> waraq ..]
[Chulmi> waraq ..]
[Thiflun shaghi>run fi> jachi>mil-mauj]
[Cha>sharahul-gharaq]
[Dhau'un thari>dun fi> ‘uyu>nil-ufuq]
[Yathwi>hi>'sy-syafaq]
[Najmun adha>'al-kauna yauman wa chtaraq]
***
[La> tas'ali>l-‘ainal-chazi>nata]
[Kaifa admatha>-l-muqal ..]
[La> tas'ali>'n-najma>l-ba‘i>da]
[Bi ayyi sirrin qad afal]
[Mahma> tawa>ra>l-chulmu fi> ‘aini>]
[Wa arraqani>l-ajal]
[Ma>ziltu almachu fi> rama>dil-‘umri]
[Syai'an min amal]
[Faghadan satanbutu fi> jabi>nil-ufuq]
[Najma>tun jadi>dah]
[Wa ghadan satu>riqu fi> laya>lil-chuzni]
[Ayya<mun sa‘i>dah]
[Wa ghadan ara>ki 'ala>l-mada> ]
32
[Syamsan tudhi'u zhala<ma ayya>mi>]
[Wa in ka>nat ba‘i>dah]
[Law annana> lam naftariq ..]
[Chamaltuki fi> dhajari'sy-syawa>ri‘i farchati>]
[Wal-khaufu yulqi>ni> ‘ala>'th-thuruqa>ti]
[Tatama>yalul-achla>mu baina ‘uyu>nina>]
[Wa taghi>bu fi> shamti'l-liqa> nabdha>ti>]
[Wa'l-lailu sikki>run yu‘a<niqu ka'sahu]
[Wa yathu>fu muntasyian ‘ala>l-cha>na>ti]
[Wa'dh-dhaw'u yaskubu fi>l-‘uyu>ni bari>qahu]
[Wa yahi>mu fi> khajalin ‘ala>'sy-syurafa>ti]
[Kunna> nushalli> fi>'th-thari>qi wa chaulana>]
[Yatanaddarul-kuhha>nu bi'dh-dhachaka>ti]
[Kunna nu‘a>niqu fi>'zh-zhala>mi dumu>‘ana>]
[Wa'd-darbu munfatharun minal-‘abara>ti]
[Wa tawaqqafa'z-zamanul-musa>firu fi> dami>]
[Wa ta‘atstsarat fi> lau‘atin khuthuwa>ti>]
[Wal-waqtu yarta‘u .. wa'd-daqa>'iqu takhtafi>]
[Fa nutha>ridu'l-lachazha>ti .. bi'l-lachazha>ti]
[Ma> kuntu a‘rifu wa'r-rachi>l yasyudduna>]
[Anni> uwaddi‘u muhjati> .. wa chaya>ti>]
[Ma> ka>na khaufi> min wada>‘in qad madha>]
[Bal ka>na khaufi> min fira>qin a>ti]
[Lam yabqa> syai'un mundu ka>na wada>‘una>]
[Ghairul-jira>chi ta'innu fi> kalima>ti>]
[Lau annana> lam naftariq ..]
[Labaqaiti fi> zamanil-khathi>'ati taubati>]
33
[Wa ja‘altu wajhaki qiblati> .. wa shala>ti>]
(Juwaidah, 2010: 9-14)
Andai Kita Tidak Berpisah
Andai kita .. tidak berpisah
Aku akan menetap menjadi bintang yang berpijar di langitmu
Dan aku akan membiarkan diriku terbakar sepanjang umurku di bara apimu
Jika aku lintasi puncak awan
Aku akan kembali sebagai sungai yang mengaliri rumahmu
Namun semua hanyalah mimpi-mimpi yang menghampar kita bagai fatamorgana
Tetap rahasia .. yang mencekik tulang belulang
***
Andai kita tidak berpisah
Langkah yang tak menentu kan menjauh
Mencengkram kerinduan kita
Maka kita kembali bersama menggengam di jalan yang menimbulkan gigil
Kenangan itu menghampiri kita
Dalam kebisingan lalu lintas seakan-akan kita adalah
Satu tubuh yang berada dalam tubuh lain
Dua tubuh dalam satu jasad, kita berjalan .. dan disekitar kita
Wajah-wajah manusia yang berjalan hanya seperti angin
Tak kan terlihat satupun dalam pandangan kita
***
Masih ku ingat hari perpisahan itu
Insomnia membentak mataku
Dan nafas kita tergelincir di antara tulang rusuk
Kegelisahan berungakali mencacah kita
34
Aku melihat hidupku ada dalam genggamanmu
Bagai angin musim panas yang berkerut
Mimpi kelabu .. dan sesuatu setipis kertas
Ini aku
Jiwaku bagai kertas
Mimpiku pun bagai kertas
Anak kecil dalam siksa gelombang
Yang mengepungnya dan membuatnya tenggelam
Cahaya terusir dari pandangan cakrawala
Dilipat dan ditutupi oleh cahaya senja
Bintang yang menyinari alam dalam satu hari .. lalu terbakar
***
Jangan kau tanya mata yang tengah bersedih
Bagaimana bola mata bisa mengucurkan darah
Jangan kau tanya bintang yang jauh
Rahasia apa yang membuatnya menghilang
Sepandai apapun sebuah mimpi bersembunyi dalam kedalaman mataku
Kematian membuatku terjaga
Aku masih memiliki sedikit harapan dalam jiwaku yang abu-abu
Esok aku yakin akan tumbuh di kening ufuk
Bintang-bintang baru
Dan esok akan tumbuh di malam-malam kelamku
Hari-hari bahagia
Esok aku melihatmu
Bagai matahari yang menyinari kegelapan hari-hariku
Meskipun jauh
Andai kita tidak berpisah
35
Akan ku bawa engkau ke dalam kegelisahan jalanan kegembiraanku
Sedang ketakutan menemui di jalanan
Mimpi-mimpi di mata kita
Menghilang dalam kebisuan pertemuan detak jantungku
Malam mabuk yang memeluk gelasnya
Berputar sempoyongan diatas bar
Cahaya menuangkan sinarnya pada mata
Dan mengangguk malu diatas balkon
Tatkala kita sholat di jalanan sedang disekitar kita
Para peramal bercanda dalam tawa yang panjang
Tatkala kita saling memeluk air mata kita dalam kegelapan
Jalanan terbelah dari air mata
Waktu yang bepergian berhenti di aliran darahku
Langkah-langkahku tergelincir dalam rasa sakit
Kala waktu bersenang-senang, sementara menit menghilang
Maka kita memburu kenangan demi kenangan
Aku tak pernah tau jika kepergian itu menarik kita
Hingga harus kuucap selamat tinggal kepada hatiku kepada hidupku
Meski ketakutan akan perpisahan belum berlalu
Namun, ketakutan itu justru datang
Tidak ada yang tersisa semenjak perpisahan kita
Selain luka yang merintih di tiap kataku
Andai kita tidak berpisah
Kau tetap menjadi taubatku dari kesalahan
Kan ku jadikan wajahmu sebagai kiblatku dan sholatku
(Juwaidah, 2010: 9-14).
36
1. Keadaan Teks (Jawwu'n-Nashshi)
Puisi Arab berjudul Lau Annana> Lam Naftariq adalah puisi pertama dari
antologi puisi dengan judul yang sama. Puisi tersebut diterbitkan pertama kali
pada tahun 1998 oleh Da>r Al-Ghari>b li'n-Nasyr wa't-Tauzi’, dan diterbitkan
kembali oleh Da>ru'sy-Syuru>q pada tahun 2005. Puisi Arab ini ditulis oleh
penyair Arab modern asal Mesir bernama Farouk Juwaidah.
Dia lahir tahun 1945 di kegubernuran Kafr Asy-Syaikh yang terletak di
sebelah utara Mesir. Semasa hidupnya banyak dia habiskan bekerja di majalah
Al-Ahram Mesir. Pekerjaannya bermula ketika menjadi anggota di bagian
rubrik ekonomi majalah Al-Ahram pada tahun 1968. Ia bekerja setelah lulus
dari universitas Kairo hingga akhirnya menjadi pembantu direktur majalah Al-
Ahram pada tahun 2002. Sejak kecil Farouk sudah tenggelam dalam dunia
sastra. Dia gemar membaca kitab-kitab kuno termasuk puisi-puisi Arab jahily
hingga dapat menghafalnya, meskipun tidak memahami artinya. Farouk diajari
dan dikenalkan oleh ayahnyamengenai puisi arab dan penyairnya. Kemudian
dia mulai membaca beragam puisi Arab. Kegemarannya itulah yang
mengantarkannya pada program studi jurnalistik fakultas Adab Universitas
Kairo. Dia juga mengasah bakat menulisnya ketika di bangku kuliah (Jaburi,
2008: diwanalarab.com)
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, tidak banyak referensi yang
ditemukan mengenai kehidupan pribadi Farouk Juwaidah yang berkaitan
dengan puisi-puisi cintanya. Dalam sebuah artikel berjudul Al-chub fi> Syi’ri
Farouk Juwaidah yang ditulis oleh Ibrahim Khalil Ibrahim dikatakan bahwa
37
cinta dalam puisi Farouk meliputi cinta tanah air dan kaum Arab. Hal ini
seperti sejumlah puisi yang telah ditulis oleh farouk mengenai Mesir,
Palestina, dan Libanon. Selain itu, cinta menurut Farouk juga berupa cinta
manusia yang diliputi oleh rasa emosi, kerapuhan, keindahan, dan
kegelisahan. Farouk juga mengatakan bahwa puisinya menyuguhkan apa yang
mayoritas orang inginkan, dan apa yang dapat menyentuh perasaan pembaca
(Ibrahim, 2009: diwanalarab.com). Menurut Farouk cinta dianggap dapat
melakukan kedua hal tersebut. Oleh karena itu, puisi arab berjudul Lau
Annana> Lam Naftariq berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tidak
terikat dengan peristiwa tertentu. Puisi tersebut merupakan refleksi
pengalaman-pengalaman yang dialami oleh Farouk atas kegemarannya dalam
menekuni puisi.
2. Deskripsi Umum teks (Al-‘Ardhul-‘A>m li'n-Nashshi)
Puisi Arab berjudul Lau Annana> Lam Naftariq ini terdiri dari empat
bagian yang saling berurutan dan berkaitan satu sama lain. Puisi arab ini
merupakan puisi Arab bebas dan dapat disebut dengan syi‘rul-chur. Syi‘rul-
chur ini secara bentuk mendekati gaya prosa sastra dan enjambemen.
Enjambemen adalah larik sambung (Zaidan, 20007: 69).
Bagian pertama puisi ini terdiri dari 7 (tujuh) baris puisi. Pada baris ke-1
hingga ke-5, penyair melalui tokoh Aku mengandai-andai mengenai
perpisahan dengan kekasihnya. Gambaran tersebut mengisahkan jika
perpisahan di antara keduanya tidak terjadi, maka hal-hal indah yang disajikan
dengan balutan metafora akan terjadi dalam kehidupan mereka. Kemudian
38
pada baris ke-6 hingga ke-7 si Aku mengungkapkan harapan dalam puisinya
dengan fatamorgana. Fatamorgana adalah hal yang bersifat khayal dan tidak
mungkin dicapai (KBBI, 2008:405). Fatamorgana dapat terjadi karena adanya
pembiasan cahaya melalui kepadatan yang berbeda sehingga bisa membuat
sesuatu yang tidak ada seolah menjadi ada. Kata 'fatamorgana' adalah nama
saudari Raja Arthur Faye Le Morgana, seorang peri yang bisa berubah-ubah
rupa (Sudaryadi, 2013:3). Fatamorgana merupakan bayangan yang menipu.
Suatu hal yang terlihat nyata dari jarak jauh tetapi akan menghilang saat
didekati. Hal demikian selaras dengan mimpi si Aku yang terlihat nyata tapi
sebenarnya hanya bayangan yang menipu.
Pada bagian kedua, terdiri dari 10 (sepuluh) baris puisi. Baris ke-1 hingga
ke-4, tokoh Aku masih mengungkapkan pengandaian mengenai keindahan-
keindahan yang akan dia dialami apabila perpisahan tersebut tidak terjadi.
Adapun pada baris ke-5 hingga ke-10 penyair melalui si Aku memaparkan
kerinduannya terhadap momen-momen saat dia dan kekasihnya masih
bersama. Momen-momen tersebut menggambarkan mengenai dunia yang
terasa seperti milik mereka berdua. Pada keramaian yang mereka lihat hanya
ada dirinya dan kekasihnya saja. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa bagian
pertama dan kedua sarat akan pengandaian keindahan oleh si Aku jika
perpisahan tidak terjadi antara dirinya dan sang kekasih.
Adapun pada bagian ketiga, puisi ini terdiri dari 15 (lima belas) baris. Pada
baris ke-1 hingga ke-4, si Aku mengungkapkan ingatannya ketika perpisahan
terjadi pada dirinya. Dia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan untuk tidur
39
saja dia merasa kesulitan. Hal itu dikarenakan perasaan gundah gulana yang
sedang membalut seluruh perasaannya. Kemudian pada baris ke-5 hingga
baris ke-10, si Aku menggambarkan ketidakberartian kehidupan tanpa
kehadiran kekasihnya melalui ungkapan metaforis. Ungkapan tersebut
menjelaskan mengenai kehidupan tanpa kekasihnya hanyalah seperti angin
musim panas yang tidak berguna, mimpi yang tidak jelas dan sesuatu yang
tipis dan rapuh. Pada baris selanjutnya, yaitu baris ke-11 hingga ke-14, si Aku
menyuguhkan gambaran keputusasaan untuk melanjutkan kehidupan tanpa
kekasihnya. Gambaran tersebut juga diungkapkan dalam bentuk metafora,
yaitu seperti seorang anak kecil yang berdiri di dekat ombak dan hampir
tenggelam, serta seperti cahaya matahari yang hampir hilang disaat senja.
Pada baris terakhir, yaitu baris ke-15 diungkapkan kesedihan sekaligus rasa
terimakasih melalui ungkapan metaforis, yaitu meskipun saat ini kekasihnya
telah pergi, tetapi kehadirannya pernah mengisi hari-hari si Aku dengan
kebahagiaan.
Pada bagian terakhir puisi ini, yaitu bagian keempat, terdiri dari 41(empat
puluh satu) baris puisi. Pada baris ke-1 hingga ke-15, si Aku mengungkapkan
harapan akan kebahagiaannya di masa mendatang tanpa kehadiran sang
kekasih. Kemudian pada baris selanjutnya, yaitu baris ke-16, si Aku kembali
mengungkapkan pengandaian. Pengandaian itu diikuti dengan ungkapan yang
menggambarkan keragu-raguan dalam hubungan asmaranya, yaitu pada baris
ke-17 hingga ke-26. Selanjutnya, pada baris ke-27 hingga ke-32 si Aku
menyuguhkan gambaran kesedihan yang mendalam dan keputusasaan,
40
sebagaimana berkaitan dengan baris-baris sebelumnya, bahwa sisa umurnya
sudah tidak berarti lagi tanpa kehadiran sang kekasih. Pada baris ke-33 hingga
ke-38, penyair menggambarkan penyesalan dan kesedihan. Si Aku menyesal
bahwa dia sungguh telah berpisah dengan kekasihnya. Si Aku sangat
mencintai kekasihnya, sehingga kehidupan tanpanya seperti menghadapi
kematian. Puncak kesedihan digambarkan dengan ketidakmampuan si Aku
dalam melupakan kekasihnya yang pada kenyataannya telah pergi. Hal ini
diungkapkan oleh penyair dengan tidak adanya rasa bahagia dan senyuman
dalam kehidupan si Aku setelah perpisahan tersebut terjadi. Dia hanya
merasakan kessedihan yang mendalam setelah perpisahan tersebut terjadi.
Pada baris ke-29 hingga ke-41, si Aku kembali mengungkapkan pengandaian
seperti pada baris-baris sebelumnya. Pengandaian yang dia ungkapkan yaitu
jika perpisahan tersebut tidak terjadi dalam hubungannya dengan sang
kekasih, maka kekasihnya akan selalu menjadi kerinduannya dan tujuannya.
3. Tema (Al-Afka>r)
Tema adalah gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di
dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dengan kalimat pernyataan
(Zaidan, 2007: 204). Seperti yang telah dipaparkan oleh Badr (1411 H), yaitu
berupa tema-tema yang tersebar dalam puisi, yang kemudian dikaitkan dengan
tema pokok puisi tersebut. Pada penelitian ini akan dipaparkan mengenai
tema-tema tersebut berasarkan bagian-bagian dalam puisi. Adapun pada
bagian keempat memiliki lebih banyak baris. Sehingga akan diulas lebih rinci
lagi. Kemudian mengaitkannya dengan tema pokok puisi tersebut.
41
Bagian pertama pada puisi tersebut memiliki tema khayalan masa depan
oleh si Aku bersama dengan kekasihnya. Tetapi dia menyadari khayalan
tersebut adalah harapan kosong. Pada bagian kedua memiliki tema nostalgia
memori-memori indah masa lalu bersama kekasihnya. Nostalgia adalah
kerinduan pada sesuatu yang sudah tidak ada (KBBI, 2008: 1008). Kata
nostalgia diambil dari Bahasa Yunani yaitu 'Nostos' yang artinya kembali dan
'Algos' yang artinya kesusahan artinya menderita kesusahan karena ingin
kembali ke suatu tempat, waktu, atau kejadian masa lalu. Tanadi Santoso
seorang entrepreneur mengatakan bahwa berdasarkan percobaan di Inggris
orang lebih sering bernoslagia ketika dia sedih, dan yang selalu diingat adalah
hal-hal positif (Tanadi, 2016: tanadisantoso.com). Hal demikian juga terjadi
pada si Aku yang merindukan kebahagiaannya di masa lalu.
Selanjutnya pada bagian ketiga puisi tersebut memiliki tema keputusasaan
dalam menjalani sisa hidupnya tanpa sang kekasih. Pada bagian bagian
keempat, puisi ini memiliki beberapa tema, yaitu baris ke-1 hingga ke-15
memiliki tema harapan terhadap masa depan yang bahagia meskipun tanpa
kehadiran sang kekasih. Kemudian baris ke-16 hingga ke-28 bertemakan
keraguan yang dirasakan oleh si Aku terhadap mimpi-mimpi indah masa
depan bersama sang kekasih. Selanjutnya baris ke-29 hingga ke-38 memiliki
tema keputusasaan dan kesedihan mendalam. Adapun pada 3 (tiga) baris
terakhir, penyair terlihat mengembalikan puisi tersebut pada temaawal yaitu
pengandaian dan khayalan si Aku terhadap masa depan tanpa perpisahan
dengan sang kekasih. Seluruh tema pada setiap bagian tersebut saling
42
berkaitan satu sama lain dan membentuk sebuah tema pokok. Tema pokok
tersebut yaitu 'kesedihan perpisahan'. Secara ringkas penjelasan mengenai
tema-tema di atas dapat dilihat pada bagan berikut ini:
4. Emosi (Al-'Awa>thif)
Emosi adalah keadaan dan reaksi antara psikologis dan fisiologis (KBBI,
2008: 387), kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali
Tema Puisi arab Lau Annana> Lam Naftariq
Bagian I
Khayalan masa depan oleh si Aku bersama dengan
sang kekasih
Bagian II
Nostalgia memori-memori indah masa lalu
bersama kekasihnya
Bagian III
Keputusasaan dalam menjalani sisa hidup tanpa
kekasihnya
Bagian IV
a. Harapan memiliki masa depan bahagia tanpa
kehadiran sang kekasih (baris ke-1 hingga ke-
15)
b. Ragu terhadap mimpi indah di masa depan
bersama sang kekasih (baris ke-16 hingga ke-
28)
c. Putus asa dan kesedihan yang mendalam (baris
ke-29 hingga ke-38)
d. Khayalan masa depan tanpa perpisahan dengan
sang kekasih (baris ke-39 hingga ke-41)
Kesedihan
perpisahan
Gambar 4 : Rincian tema puisi arab Lau Annana> Lam Naftariq
43
dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Puisi di
atas mencurahkan bentuk emosi seorang kekasih yang dirundung kesedihan
karena berpisah dengan kekasihnya. Kesedihan atau dukacita berhubungan
dengan kehilangan sesuatu yang penting dan bernilai, biasanya rasa sedih
yang sangat dalam ketika kehilangan seseorang yang dicintai, dan pada
akhirnya mengakibatkan kekecewaan dan penyesalan hingga insomnia
(Minderop, 2011: 44). Kesedihan dalam puisi tersebut dituangkan dalam
berbagai bentuk ungkapan metaforis sehingga bentuk kesedihan tersebut
terasa begitu kental.
Emosi berupa kesedihan dalam puisi tersebut, dapat dikerucutkan kembali
menjadi 3 (tiga) sebab kesedihan, yaitu (1) kesedihan karena mengingat masa
lalu yang indah bersama kekasihnya. Salah satunya terdapat pada puisi bagian
kedua baris ke-5 sampai ke-10 di bawah ini:
تلقى بنا اللحظاتصخب الزحام كأننا يف
جسد جسد تناثر يف جسد نسري.. وحولنا سدان يفج
كالرياح يكانت وجوه الناس جتر فال نرى منهم أحد
)جويدة, 2010:10)
[Tulqi> bina>'l-lachazha>tu]
[Fi> shakhabi'z-zicha>mi ka'annana>]
[Jasadun tana>tsara fi> jasad ..]
[Jasada>ni fi> jasadin nasi>ru wa chaulana>]
[Ka>nat wuju>hu'n-na>si tajri> ka'r-riya>h]
[Fala> nara> minhum achad]
44
Kenangan itu menghampiri kita
Dalam kebisingan lalu lintas seakan-akan kita adalah
Satu tubuh yang berada dalam tubuh lain
Dua tubuh dalam satu jasad, kita berjalan .. dan di sekitar kita
Wajah-wajah manusia yang berjalan hanya seperti angin
Tak kan terlihat satu pun dalam pandangan kita
(Juwaidah, 2010: 10)
(2) Kesedihan karena khayalan-khayalan indah masa depan yang akan dia
lalui dengan kekasihnya jika perpisahan tidak terjadi di antara mereka. Salah
satunya terdapat pada puisi bagian keempat baris ke-29 sampai ke-41 berikut
ini:
لو أننا مل نفرتقزمن اخلطيئة توبيت لبقيت يف
.. وصاليت وجعلت وجهك قبليت ( 14 :2010)جويدة,
[Law annana> lam naftariq ..]
[Labaqaiti fi> zamanil-khathi>'ati taubati>]
[Wa ja‘altu wajhaki qiblati> .. wa shala>ti>]
Andai kita tidak berpisah
Kau tetap akan menjadi taubatku dari kesalahan
Kan ku jadikan wajahmu sebagai kiblatku dan sholatku
(Juwaidah, 2010: 14)
(3) Kesedihan yang disebabkan oleh ketiadaan sang kekasih dalam
kehidupannya sehingga menjadikan semangatnya meredup dalam menjalani
sisa umurnya, sebagaimana kutipan di bawah ini:
يديك يف يورأيت عمر رياح صيف عابث
ورماد أحالم .. وشيئا من ورق
45
هذا أناورق يعمر
(10 :2010 )جويدة, حلمى ورق
[Wa ra'aitu ‘umri> fi> yadaiki]
[Riya>cha> shaifin ‘a>bitsin]
[Wa rama>da achla>min wa sya'ian min waraq]
[Hadza> ana< ..]
[‘umri> waraq ..]
[Chulmi> waraq ..]
Aku melihat hidupku dalam genggamanmu
Bagai angin musim panas yang berkerut
Mimpi kelabu .. dan sesuatu setipis kertas
Ini aku
Jiwaku bagai kertas
Mimpiku bagai kertas
(Juwaidah, 2010: 10)
Selain kesedihan-kesedihan tersebut, si Aku juga mengungkapkan emosi
berupa rasa gembira. Kegembiraan tersebut dia rasakan karena pernah
menghabiskan sebagian umurnya bersama sang kekasih. Si Aku juga berharap
meskipun suatu hari nanti kekasihnya telah pergi, kekasihnya akan tetap bisa
membuatnya bahagia meskipun jauh.
5. Gaya Bahasa (Al-Uslu>b)
a. Kosakata
Pada puisi tersebut, kosakata-kosakata yang digunakan cukup
sederhana dan lazim digunakan. Kosakata-kosakata tersebut bukan kosa
kata asing yang sulit ditemui di kamus. Bahasa dalam karya sastra
terutama puisi dituntut agar bersifat bebas, tegas, jauh dari istilah-istilah
ilmiah dan kata-kata asing. Hal ini disebabkan istilah-istilah tersebut hanya
46
dipergunakan dalam kajian ilmiah dan penelitian yang tentunya tidak
cocok untuk mengekspresikan rasa sastra (Muzakki, 2011: 86). Sedangkan
dalam puisi arab berjudul Lau Annana> Lam Naftariq ini tidak ditemukan
adanya istilah-istilah ilmiah dan kata-kata asing yang digunakan.
Penyair juga memperjelas makna puisinya melalui uangkapan
metaforis. Ungkapan-ungkapan tersebut sebagian besar menggunakan
kosa kata yang berkaitan dengan alam, seperti najmun (bintang), sacha>bun
(awan), riya>chun (angin), shaifun (musim panas), maujun (ombak), dan
ufqun (kaki langit). Penggunaan kosakata-kosakata tersebut dikarenakan
apabila melalui hal-hal yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari, maka akan mempermudah dalam menangkap makna dari puisi
tersebut.
b. Struktur
Pada puisi arab tersebut, struktur kalimat yang digunakan tergolong
fashi>ch dan bersih dari kesalahan sintaksis. Pada buku Al-Bala>ghah Al-
Wadhi>chah dijelaskan bahwa untuk mencapai predikat fasha>chah, suatu
kalimat harus tersusun dari kata-kata yang sesuai dengan kaidah sharaf,
tidak terdiri dari kata-kata yang tana>fur, susunannya tidak rancu, dan
terbebas dari kerancuan makna (Ja>rim, 2007: 4). Tana>fur adalah kalimat
yang tersusun dari kata-kata yang sulit diucapkan dan sulit didengar
karena tersusun dari huruf-huruf yang berdekatan makha>rij-nya. Demikian
juga dengan puisi karya Farouk Juwaidah ini, puisi tersebut telah
mencapai syarat-syarat fasha>chah tersebut.
47
Kata-kata dalam puisi Arab tesebut terbebas dari cacat morfologi dan
sintaksis. Susunan kalimat di dalamnya juga tidak rancu sehingga mudah
untuk mengetahui letak fa>‘il, cha>l, maf‘u>l bih dan lain sebagainya. Begitu
pula dalam pengucapannya, kata-kata dalam puisi Arab tersebut terbebas
dari tana>fur.
c. Kemahiran bersastra
Kepiawaian penyair terlihat pada pemilihan kosakata sederhana dan
tidak tana>fur untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaannya. Selain itu, penyair juga piawai dalam mengolah bumbu-
bumbu retorikal dalam susunan kalimatnya. Tujuan retorika sendiri untuk
mendapatkan efek estetis yang diperoleh dari kreativitas pengungkapan
bahasa. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 296) retorika
meliputi bahasa figuratif dan pencitraan. Adapun dalam puisi arab berjudul
Lau Annana> Lam Naftariq, bahasa yang digunakan sarat akan metafora
yang merupakan bahasa figuratif, sedangkan kesan mental yang
ditimbulkan oleh susunan kalimat terkesan sangat mendalam. Bumbu-
bumbu retoris tersebut memberi kesan indah dalam puisinya, karena pada
dasarnya keindahan sastra bukan dari segi pengelihatan, dan tidak
terkandung dalam keindahan bentuk huruf, melainkan terkandung dibalik
huruf-huruf yang tampak (Ratna, 2011: 143).
Selain itu, imajinasi juga berperan dalam menilai kepiawaian penyair,
karena rasa sastra akan tumbuh dari daya khayal penyair yang baik
(Muzakki, 2011: 76). Daya khayal yang baik tersebut akan menciptakan
48
cita rasa sastra yang baik pula. Pada karya sastra khususnya puisi rasa
sastra sangat diperlukan, karena dari rasa sastra itulah pembaca dapat
membedakan antara karya sastra dengan tulisan ilmiah. Farouk Juwaidah
piawai dalam mengolah imajinasinya sehingga rasa sastra dalam puisinya
sangat terasa ketika dibaca. Sebagaimana dalam kutipan puisi bagian
kedua baris ke-9 sampai ke-10 di bawah ini:
كانت وجوه الناس جترى كالرياح فال نرى منهم أحد
)جويدة, 2010: 10 )
[Ka>nat wuju>hu'n-na>si tajri> ka'r-riya>h]
[Fala> nara> minhum achad]
Wajah-wajah manusia yang berjalan hanya seperti angin
Tak akan terlihat satupun dalam pandangan kita
(Juwaidah, 2010: 10)
Kutipan puisi di atas menggambarkan wajah-wajah manusia yang
simpang siur di keramaian. Wajah-wajah itu diserupakan dengan angin
yang pada umumnya tidak dipedulikan oleh manusia saat sedang
berhembus. Hal ini terjadi karena si Aku dan sang kekasih sedang
berbahagia, dan keduanya menganggap bahwa tidak ada orang lain selain
diri mereka.
Kutipan di atas menunjukkan kepiawian penyair dalam mengolah
imajinasi dan susunan kata sehingga menghasilkan kesan indah yang dapat
mempengaruhi pembaca.
49
d. Irama (Al-I>qa‘ )
Dalam Mu'jamul-Musthalacha>til-Adabiyyah istilah I>qa'‘disepadankan
dengan istilah ritme (Fathchi, 1986: 57). Adapun ritme adalah istilah lain
dari irama yakni alunan bunyi dalam pembacaan puisi atau tembang yang
ditimbulkan oleh peraturan rima dan satuan sintaksis yang dapat
diwujudkan dalam tekanan yang mengeras lembut, tempo yang mencepat-
melambat, dan nada yang meninggi-rendah di antara batas-batas yang
diwujudkan dalam jeda (Zaidan, 2007: 90). Dalam Mu‘jamul-
Mushthalacha>til-Adabiyyah fil-Lughah wal-Adab dijelaskan bahwa irama
tedapat dalam setiap karya seni, seperti prosa, puisi, musik, dan tarian.
Adapun irama dalam puisi arab terdiri dari 2 (dua) pembahasan
penting yakni (1) qa>fiyah yang dapat disepadankan dengan rima, dan (2)
bachr yang dapat disepadankan dengan metrum. Ghazi Yammut (dalam
Arifuddin, 2015: 10) mendefinisikan bachr sebagai sederet pola kata
dalam syair Arab. Bachr tersusun dari beberapa satuan nada atau titian
nada. Imam Khalil telah menciptakan 15 bachr, kemudian muridnya al-
Akhfasy menambahkan satu bachr. Sedangkan Qa>fiyah didefinisikan oleh
Imam Khalil (dalam Arifuddin, 2015: 112) sebagai huruf yang berada
diantara dua huruf yang bersukun di akhir bait ditambah satu huruf
bersukun pertama.
Kedua unsur tersebut harus terdapat dalam puisi Arab, namun dalam
perkembangannya, sudah banyak penyair Arab modern yang mulai
meninggalkan aturan tersebut. Puisi Arab yang sama sekali tidak terikat
50
dengan aturan-aturan tersebut disebut dengan syi‘rul-chur atau puisi Arab
bebas.
Puisi arab yang berjudul Lau Annana> Lam Naftariq tersebut
merupakan puisi Arab bebas yang tidak terikat dengan wazan maupun
qa>fiyah. Thaha Husein (dalam Muzakki, 2011: 57) mendefinisikan syi‘rul-
chur sebagai puisi Arab yang sama sekali tidak terikat oleh aturan wazan,
qa>fiyah, maupun taf‘i>lat (kaki sajak), tetapi masih terikat dengan satuan
irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai tinggi.
6. Imajinasi (Al-khayya>l)
Imajinasi adalah kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau
pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh panca indra, atau belum pernah
dialami dalam kenyataan (Panuti Sudjiman dalam Muzakki, 2011: 81).
Meskipun demikian, imajinasi tetap berpangkal dari kenyataan dan
pengalaman. Imajinasi dalam sastra Arab, tampak pada ungkapan yang
berbentuk tasybi>h, majaz, isti‘a>rah, kina>yah dan lain sebagainya, karena itu
semua merupakan sarana untuk meningkatkan kreativitas daya imajinasi
(Muzakki, 2011: 82).
Puisi arab berjudul Lau Annana> Lam Naftariq ini sarat akan ungkapan
metaforis. Penggunaan metafora dalam puisi tersebut adalah bukti bahwa
penyair piawai dalam mengolah imajinasinya. Membandingkan antara suatu
objek dengan objek lainnya membutuhkan kepiawaian tersendiri yang
melibatkan imajinasi, dan Farouk Juwaidah berhasil melakukannya. Hal ini
51
dikarenakan imajiasi dapat memberikan nilai estetika lebih dalam sebuah
karya sastra (Muzakki, 2011: 82).
Penyair mengungkapkan imajinasinya melalui ungkapan metaforis, salah
satunya terdapat dalam baris ke-15 bagian pertama sebagai berikut:
جنم أضاء الكون يوما .. واحرتق (11 :2010)جويدة,
[Najmun adha>'al-kauna yauman wa' chtaraq]
Bintang yang menyinari alam dalam satu hari .. lalu terbakar
(Juwaidah, 2010: 11)
Penyair menyerupakan sosok perempuan dalam puisi tersebut dengan sebuah
bintang yang terbakar setelah menyinari tata surya. Hal ini serupa dengan
sosok perempuan yang pernah membuat hari-hari si Aku bahagia kemudian
pergi. Pemilihan perbandingan antara kedua objek tersebut juga melalui proses
pengolahan imajinasi yang kuat sehingga menghasilkan ungkapan metaforis
yang sesuai.
Sementara itu, dalam mendeskripsikan kesedihan, penyair
mengungkapkannya dengan indah dengan menggunakan matafora. Hal itu
menjadikan makna kesedihan perpisahan tersebut terasa begitu kental oleh
pembaca, sebagaimana kutipan puisi bagian keempat baris ke-33 sampai ke-34
berikut:
ماكنت أعرف والرحيل يشدناوحيايت أىن أودع مهجيت )جويدة, 2010: 13 )
[Ma> kuntu a‘rifu wa'r-rachi>l yasyudduna>]
52
[Anni uwaddi‘u muhjati> wa chaya>ti>]
Aku tidak pernah tahu jika kepergian itu menarik kita
Hingga harus kuucap selamat tinggal kepada hatiku kepada hidupku
(Juwaidah, 2010: 13)
Penyair menyerupakan perempuan dalam puisinya dengan hati dan hidup
si Aku. Persamaannya terletak pada berharganya hati dan hidup si Aku
sebagaimana berharganya sang kekasih baginya. Berpisah dengan hal yang
berharga akan membuat semua orang bersedih, termasuk si Aku.
7. Penilaian Umum (Al-Chukmul-‘a>>m)
Berdasarkan Analisis unsur-unsur diatas dapat ditarik benang merah
bahwa puisi Arab Lau Annana> Lam Naftariq karya Farouk Juwaidah memiliki
tema umum yang sudah banyak digunakan oleh penyair-penyair Arab modern
saat ini, yaitu ghazal (cinta) pada umumnya dan kesedihan perpisahan pada
khususnya. Tema ini sudah banyak digunakan oleh para penyair, akan tetapi
Farouk mampu memberikan nilai lebih dalam puisinya. Salah satu nilai
lebihnya yaitu gaya bahasa yang sarat akan metafora serta imajinasinya yang
mampu membuat puisi menjadi lebih hidup. Di samping itu, dalam
mengungkapkan metafora, penyair menggunakan kosakata yang sederhana
dan tidak asing serta struktur kalimat yang mudah dimengerti, sehingga
mudah dipahami oleh pembaca.
53
B. Puisi Lau Tarji'i>n
..؟لو ترجعين .. ما عدت أعرف
يأين أنت اآلن يا قدر ؟احلدائق تزهرين يأ ويف
فضاء الكون ركن يف يأ يف صرت حتلقني؟
حبر تسبحني؟ يلؤلؤة سكنت .. بأ يأ يف أرض .. يأ يف
بني أحداق اجلداول تنبتني؟الضلوع قد احتوتك يأ ؟تسكنني قلب بعد قلىب يوأ
*** عيون الشمس ما زلت أنظر يف
ضياها تشرقني علك يف وأطل للبدر احلزين لعلين
حب يوما تعربينألقاك بني السّ ليل من الشك الطويل أحاطين
عينيك هنرا من يقني أطل الفجر يفحّت عينيك ساعات أهفو إىل
فيبدو فيهماسجني .. ورعاصفة .. عصفقيد .. و
أنا مل أزل فوق الشواطىء أرقب األمواج أحيانا
حنني العاشقني يراودين ***
ىموكب األحالم أملح ما تبقّ يف ..من رماد عهودنا
أشالئها ترتحنني فأراك يف
54
مل يبق منكرتعاشة حلظةاسوى
ذابت على وجه السننيصمت احلقائبمل يبق من
والكئوس الفارغات سوى األنني مل يبق من ضوء النوافذ ..
فيتغري أطياف تعانق هل وتعيد ذكرى الراحلني
مازلت أسأل : ما الذى جعل الفراشة تشعل النريان
الغصن الوديع املستكني؟! يف ما زلت أسأل : ما الذى
وكارهاأمن جعل الطيور تفرّ .. وسط الظالم
الطني؟! يف يترمتو ***
ما عدت أعرف ..يأين أنت اآلن يا قدر
املدائن ترحلني؟ يإىل أ أراك أين
.. على جبني املوجصخب النوارس تلعبني يف
وأرى على األفق البعيديجناحك املنقوش من عمر حيلق فوق أشرعة احلنني
صمت اخلريف وأراك يف ..شجرية خضراء
صحراء عمرى تكربين يف يويظل شعر
عيون الناس أحداقا يف
55
جنىب سرا .. ال يبني ويف مل يبق من صوت النوارس
غري أصداء تبعثرها الرياح فتنزوىاحلزين يأسفا على املاض
أنا مل أزل بني النوارس أرقب الليل الطويل
ضوء السفني يوأشته ما زلت أنتظر النوارس كلما عادت مواكبها
فوق العائدين فراحوراحت تنثر األ ***
عدت أعرف .. ما يأين أنت اآلن يا قدر
األماكن تسهرين؟! يوىف أ يالعام يهرب من يد
ىف الشوارع .. يما زال جير زحام الناس منكسر اجلبني يف
طفل على الطرقات مغسول بلون احلب
ىف زمن ضنني قد ظل يسأل عنك كل دقيقة عند الوداع .. وأنت ال تدرين
يديه .. أىن قليال يفباألمس خبّ وقال .. ىف صوت حزين :
لو ترجعني لو ترجعني لو ترجعني
.( 2010: 15-20 )جويدة,
56
[Lau Tarji'i>n .. ?]
[Ma> ‘udtu a‘rifu]
[Aina anti-la>n ya> qadari>]
[Wa fi> ayyil-chada>'iqi tuzhiri>n]
[Fi> ayyi ruknin fi> fadha>il-kaun]
[Shirti tuchalliqi>n]
[Fi> ayyi lu'luatin sakanti bi ayyi bachrin tasbachi>n]
[Fi> ayyi ardhin]
[Baina achda>qil-jada>wili tanbuti>n]
[Ayyu'dh-dhulu>‘in qad ichtawatki]
[Wa ayyu qalbin ba‘da qalbi> taskuni>n]
***
[Ma> ziltu anzhuru fi> ‘uyu>ni'sy-syamsi]
[‘allaki fi> dhiya>ha> tusyriqi>n]
[Wa uthillu lil-badril-chazi>n la‘allani>]
[Alqa>ki baina's-suchbi yauman ta‘buri>n]
[Lailun mina'sy-syakki'th-thawi>l acha>thani>]
[Chatta> athallal-fajru fi> ‘ainaiki nahran min yaqi>n]
[Ahfu> ila> ‘ainaiki sa>‘a>tin]
[Fayabdu> fi>hima>]
[Qaidun .. wa ‘a>shifatun .. wa ‘usyfu>run saji>n]
[Ana> lam azal fauqa'sy-syawa>thi'i]
[Arqubul-amwa>ja achya>nan]
[Yura>widuni> chani>nul-‘a>syiqi>n]
***
[Fi> maukibil-achla>mi almachu ma> tabaqqa>]
57
[Min rama>di ‘uhu>dina>]
[Fa ara>ki fi> asyla>'iha> tatarannachi>n]
[Lam yabqa> minki]
[Siwar-ti‘a>syati lachzhatin]
[Dza>bat ‘ala> wajhi's-sini>n]
[Lam yabqa min shamtil-chaqa>'ibi]
[Wal-ku'u>sil-fa>righa>ti siwa>l-ani>n]
[Lam yabqa min dhau'i'n-nawa>fidzi]
[Ghairu athya>fin tu‘a>niqu lahfati>]
[Wa tu‘i>du dzikra>'r-ra>chili>n]
[Ma> ziltu as'alu ma> alladzi>]
[Ja‘alal-fara>syata tusy‘ilu'n-ni>ra>na]
[Fil-ghusnil-wadi>'l-mustaki>n]
[Ma>ziltu as'alu ma> alladzi>]
[Ja‘ala'th-thuyu>ra tafirru min auka>riha>]
[Wasathazh-zhala>m]
[Wa tartami> fi'th-thi>n]
***
[Ma> ‘udtu a‘rifu]
[Aina antil-'a>n ya> qadari>]
[ila> ayyil-mada>'ini tarchali>n]
[inni> ara>ki]
[‘ala> jabi>nil-mauji ..]
[Fi> shakhabi'n-nawa>risi tal‘abi>n ..]
[Wa ara> ‘ala>l-ufuqil-ba‘i>di]
[Jana>chakil-manqu>sya min ‘umri>]
[Yukhalliqu fauqa asyri‘atil-chani>n]
58
[Wa ara>ki fi> shamtil-khari>fi]
[Syujairatan khadhra>' ..]
[Fi> shachra>'i ‘umri> takburi>n]
[Wa yazhallu syi‘ri>]
[Fi> ‘uyu>ni'n-na>si achda>qan]
[Wa fi> janbayya sirran la> yabi>n]
[Lam yabqa min shauti'n-nawa>risi]
[Ghaira ashda>'in tuba‘tsiruha>'r-riya>chu fatanzawi>]
[Asafan ‘ala>l-madhi>l-chazi>n ..]
[Ana> lam azal baina'n-nawa>risi]
[Arqubu'l-laila'th-thawi>la]
[Wa asytahi> dhau'a's-safi>n]
[Ma> ziltu antazhiru'n-nawa>risi]
[Kullama> ‘a>dat mawa>kibuha>]
[Wa ra>chat tantsurul-afra>ch fauqal-‘a>'idi>n ..]
***
[Ma> ‘udtu a‘rifu]
[Aini antil-'a>n ya> qadari>]
[Wa fi> ayyil-'ama>kini tashuri>n]
[Al-‘a>mu yahrubu> min yadi> ..]
[Ma> zala> yajri> fi>'sy-syawa>ri‘]
[Fi> zicha>mi'n-na>si munkasiral-jabi>n]
[Thiflun ‘ala> thuruqa>ti maghsu>lun bi launil-chubbi]
[Fi> zamanin dhani>n .. ]
[Qad zhalla yas'alu ‘anki kulla daqi>qatin]
['indal-wada>‘i .. wa anti la> tadri>n]
[Bil-amsi khabba'ani> qali>lan fi> yadaihi]
59
[Wa qa>la .. fi> shautin chazi>n..]
[Lau tarji‘i>n ..]
[Lau tarji‘i>n..]
[Lau tarji‘i>n..]
(Juwaidah, 2010: 15-20).
Andai Kau Kembali ..?
Aku masih tidak tau
Di mana kau sekarang, wahai takdirku
Di taman mana kau berbunga
Di bagian mana belahan dunia ini kau melingkar
Di rumah mutiara mana kau tinggal, di laut mana kau tinggal
Di bumi mana
Di antara pupil anak sungai kau tumbuh
Tulang mana yang telah memelukmu
Di hati mana kau tinggal setelah hatiku
***
Aku masih menatap mata-mata matahari
Berharap kau terbit dari cahayanya
Aku tatap bulan yang bersedih berharap aku dapat
Berjumpa denganmu di antara awan yang suatu hari kau lintasi
Malam penuh keraguan panjang mengelilingiku
Hingga ku tatap fajar yang terbit di kedua matamu bagai sungai keyakinan
Aku menginginkan matamu untuk beberapa saat
Hingga nampak disana
Batasan .. badai .. dan burung yang terperangkap
Aku masih jua berada di tepi pantai
60
Aku perhatikan ombak terkadang merayuku yang tengah merindukan kekasih
***
Dalam arakan mimpi aku melihat sekilas apa yang tersisa
Dari abu sisa janji kita …
Kulihat kau diselanya berjalan mengaduh
Tidak ada yang tersisa darimu
Selain gemetar sejenak
Yang meleleh diatas wajah tahun-tahun
Tidak ada yang tersisa dari kebisuan tas-tas itu
Juga gelas-gelas kosong selain rintihan
Tidak ada yang tersisa dari cahaya jendela
Selain khayalan yang memeluk dukaku
Mengembalikan kenangan mereka yang telah pergi
Masih jua aku bertanya
Apa yang membuat kupu-kupu menyalakan api
Di ranting yang mereka tinggalkan
Masih jua aku bertanya apa yang
Membuat burung-burung itu melarikan diri dari sarangnya
Di tengah kegelapan
Lalu membuang dirinya sendiri di tanah
***
Aku tak tau
Dimana kau sekarang wahai takqdirku
Di kota mana kau pergi
Aku sungguh melihatmu
Di dahi ombak ..
Dalam teriakan burung camar kau bermain
61
Aku lihat di atas ufuk jauh sayapmu yang ku urkir dengan hidupku
Membumbung tinggi diatas layar kerinduan
Aku melihatmu dalam kebisuan musim gugur
Sebagai semak-semak hijau
Di padang pasir hidupku bertumbuh
Syairku masih jua
Menjadi pupil di mata orang
Dan menjadi rahasia yang tak bisa dijelaskan di sisiku
Tidak ada yang tersisa dari suara burung camar
Selain gema yang dikacaukan oleh angin lalu ia menyendiri
Menyesali masa lau yang menyedihkan
Aku masih berada di antara burung-burung camar
menatap malam yang panjang
menginginkan cahaya dari kapal-kapal
aku masih jua menunggu burung-burung camar
setiap kali arakan mereka kembali
saat mereka beristirahat mereka akan menyebarkan kegembiraan orang-orang
yang kembali
***
Aku masih juga tak tau
Dimana kau sekarang wahai taqdirku
Di tempat mana kau terjaga
Tahun melarikan diri dari tanganku
Ia masih berlari di jalanan
Di keramaian manusia yang berdahi pecah
Seorang anak kecil di jalanan
Dicuci dengan warna cinta
62
Dalam waktu yang tak lama
Masih bertanya tentangmu di setiap detiknya
Ketika berpisah .. dan kau tidak tau
Kemarin sejenak ia menyembunyikanku dalam genggaman tangannya
Berkata dalam suara sedih
Andai kau kembali
Andai kau kembali
Andai kau kembali
(Juwaidah, 2010: 15-20).
1. Keadaan Teks (Jawwu'n-Nashshi)
Puisi arab berjudul Lau Tarji‘i>n adalah puisi kedua dari antologi puisi
dengan penyair yang sama dengan puisi Lau Annana> Lam Naftariq.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, tidak banyak referensi mengenai
kehidupan pribadi Farouk Juwaidah yang berkaitan dengan puisi-puisi
cintanya, yaitu puisi Lau Tarji‘i>n. Oleh karena itu puisi Arab berjudul Lau
Tarji‘i>n berdasarkan pengamatan penulis tidak terikat dengan peristiwa
tertentu, melainkan merupakan sebuah refleksi pengalaman-pengalaman yang
dialami atas kegemarannya menekuni puisi.
2. Deskripsi Umum teks (Al-‘Ardhul-‘A>m li'n-Nashi)
Puisi Arab kedua yang berjudul Lau Tarji‘i>n ini terdiri dari 5 (lima)
bagian. Kelima bagian tersebut saling berurutan dan berkaitan satu dan lain.
Puisi Arab ini merupakan puisi Arab bebas atau disebut dengan syi‘rul-chur,
yang secara bentuk mendekati gaya prosa sastra dan berbentuk enjambemen.
63
Pada bagian pertama, terdiri dari 10 (sepuluh) baris puisi. Bagian ini
adalah awal dari keseluruhan puisi, penyair melaui tokoh si Aku
mengungkapkan kesedihan berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai
keberadaan sang kekasih yang telah pergi. Si Aku tidak mengetahui
keberadaan kekasihnya sekarang, kesibukan apa yang dia lakukan, dan siapa
yang berada di sampingnya sekarang untuk mengasihinya. Pertanyaan-
pertanyaan pada bagian pertama tersebut tidak diungkapkan dengan jelas,
melainkan diungkapkan secara metaforis oleh si Aku.
Kemudian pada bagian kedua, puisi ini terdiri dari 12 (dua belas) baris.
Pada baris ke-1 hingga ke-4 masih memiliki keterkaitan dengan bagian
pertama yaitu pencarian keberadaan sang kekasih. Tetapi tidak diungkapkan
dengan kalimat interogatif seperti pada bagian pertama. Kalimat interogatif
adalah bentuk verba atau kalimat yang digunakan untuk pertanyaan (KBBI,
2008: 561). Jenis kalimat ini mengandung kalimat tanya dan diakhiri dengan
tanda tanya. Bentuk kalimat yang lain adalah kalimat deklaratif yaitu kalimat
yang bersifat pernyataan singkat dan jelas (KBBI, 2008: 333). Selain itu, si
Aku juga mengungkapkan mengenai kerinduan dan harapannya. Dia berharap
setiap pagi dan malam dapat bertemu kekasihnya melalui matahari di pagi hari
dan bulan di malam hari. Pada baris selanjutnya yaitu baris ke-5 hingga ke-9,
si Aku menyuguhkan gambaran flashback tentang ketidakpastian perasaan
kekasihnya melalui metafora. Kata flashback merupakan kata populer yang
digunakan kalangan remaja saat ini. Kata tersebut diambil dari bahasa Inggris
yang artinya 'sorot kembali'. Arti kata ini sering digunakan dalam penyebutan
64
alur mundur dalam karya sastra. Flash-back dalam alur karya sastra diartikan
sebagai alur sorot balik, yaitu apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan
tidak bersifat kronologis (Kamil, 2009: 46). Sebuah cerita yang memiliki alur
flash-back pada umumnya menceritakan kejadian yang sudah terjadi di masa
lampau. Adapun kata flash-back di kalangan remaja diartikan sebagai proses
mengingat sebuah kenangan di masa lalu.
Pada akhirnya si Aku mendapati bahwa kekasihnya merasa seperti
burung terperangkap yang butuh untuk dibebaskan. Kemudian pada tiga baris
terakhir si aku menggambarkan dirinya yang sedang sedih diterjang kerinduan
dengan latar pantai yang identik dengan kesedihan.
Bagian ketiga puisi ini terdiri dari 18 (delapan belas) baris. Bagian ini
diawali dengan kesedihan si Aku atas kandasnya janji-janji yang dia buat
bersama kekasihnya. Dia masih berharap dari janji yang telah kandas
tersebut, bahwa kekasihnya suatu saat akan kembali. Kemudian diikuti dengan
perasaan kosong yang dialami oleh si Aku, yaitu pada baris ke-4 hingga ke-18.
Tas-tas, gelas-gelas, dan cahaya-cahaya di jendela hanya menyisakan rindu
dan menghadirkan kenangan masa lalu, bahkan sisa-sisa perasaan yang
dimiliki kekasihnya juga ikut hilang seiring berjalannya waktu.
Pada bagian keempat terdiri dari 24 (dua puluh empat) baris. Bagian ini
diawali dengan pengulangan yang serupa dengan bagian pertama, yaitu:
ما عدت أعرف يأين أنت اآلن يا قدر
( 14 :2010)جويدة,
[Ma> ‘udtu a‘rifu]
65
[Aina antil-'a>n ya> qadari>]
Aku masih tidak tau
Dimana kau sekarang wahai takdirku
(Juwaidah, 2010: 14)
Pengulangan demikian disebut dengan repetisi. Repetisi adalah gaya ulang
dalam setiap puisi atau prosa, dan menentukan unsur stilistik yang sangat
penting dalam menciptakan kesatuan (Zaidan, 2007: 169). Kemudian diikuti
dengan kalimat interogatif yang berbeda. Pada baris ke-4 hingga ke-15, si Aku
mengungkapkan kerinduan mendalam dengan menjadikan pantai, suara debur
ombak dan suara burung-burung camar sebagai latar ekspresinya. Si Aku
berkhayal dapat melihat kekasihnya berada di ombak-ombak, bermain-main di
antara suara-suara burung camar dan berada di jauhnya langit cakrawala.
Dalam buku 'Tujuh Meditasi Penyegar Hidup' karya M. Sardjono (2011: 54)
dikatakan bahwa suara debur ombak ditambah kicauan burung camar adalah
salah satu media untuk menghilangkan kekalutan pikiran. Oleh karena itu,
pada umumnya orang yang sedang bersedih akan datang ke pantai untuk
menenangkan pikirannya. Hal demikian juga terjadi pada si Aku yang merasa
sedih lalu pergi ke pantai untuk menenangkan pikiran dan menuangkan
khayalan-khayalannya terkait dengan pantai. Selain itu melalui ungkapan
metaforis juga, si Aku mengungkapkan bahwa sang kekasih adalah bagian
dari kehidupannya.
Selanjutnya, pada baris ke-16 hingga ke-24 si Aku masih juga
menggunakan pantai sebagai latar ekspresinya. Dia berharap segera datang
sebuah kapal untuk membawa kembali kekasihnya. Selain itu, dia juga
66
menunggu rombongan burung-burung camar yang dapat membawa
kebahagiaan. Bahkan sisa gema dari suara burung camar juga ikut bersedih
karena merasakan kesedihan yang dialami si Aku.
Pada bagian terakhir yaitu bagian kelima, terdiri dari 16 (enam belas)
baris. Sebagaimana pada bagian pertama dan keempat, bagian ini juga diawali
dengan bentuk repetisi seperti pada bagian sebelumnya, kemudian diikuti
dengan kalimat interogatif yang berbeda. Selanjutnya si Aku mengungkapkan
bahwa hidupnya tidak berarti lagi tanpa kehadiran sang kekasih, dan
dilanjutkan dengan harapan akan kembalinya sang kekasih.
3. Tema (Al-Afka>r)
Tema merupakan patokan utama untuk mengetahui karya sastra. Sebuah
karya sastra yang tidak memiliki gagasan adalah sastra yang mati, tidak
dikenal, dan lemah. Karya sastra sesungguhnya bukan susunan bahasa dan
ungkapan semata, tetapi dia juga harus memberikan informasi baru tentang
alam dan kehidupan, eksistensi, dan manusia (Muzakki, 2011: 84). Seperti
yang telah dipaparkan di atas bahwa menurut Badr (1411 H) yang akan
dipaparkan dalam poin tema adalah tema-tema yang tersebar dalam puisi,
kemudian mengaitkannya dengan tema pokok puisi tersebut. Penulis akan
memaparkan tema-tema tersebut berdasarkan bagian-bagian dalam puisi
kemudian mengaitkannya dengan tema pokok puisi tersebut.
Bagian pertama puisi tersebut memiliki tema si Aku tidak mengetahui
keberadaan sang kekasih. Kemudian pada bagian kedua memiliki 2 (dua)
tema puisi yang saling berkaitan, yaitu (1) harapan bertemu kekasihnya, dan
67
(2) ketidakpastian perasaan kekasihnya. Adapun pada bagian ketiga, puisi
tersebut memiliki tema perasaan kosong yang menciptakan kerinduan.
Sedangkan pada bagian keempat memiliki tema harapan bertemu dengan
kekasihnya. Pada bagian terakhir puisi tersebut memiliki tema kehidupan yang
tidak berarti tanpa sang kekasih serta harapan akan kembalinya sang kekasih.
Seluruh tema pada bagian-bagian tersebut saling berkaitan satu sama lain
sehingga membentuk tema pokok yaitu 'ratapan kehilangan'. Kata 'ratapan'
diambil dari kata dasar 'ratap' yang berarti menangis dengan mengucapkan
kata-kata yang menyedihkan atau mengeluh dengan menangis. sedangkan
'ratapan' adalah tangisan dengan mengucapkan kata-kata yang menyedihkan
(KBBI, 2008:1175). Pada konteks ini yang dimaksudkan dengan 'ratapan
kesedihan' adalah perasaan sedih si Aku atas kehilangan kekasihnya yang
diungkapkan dalam bentuk ratapan.
Tema-tema dalam karya sastra Arab mengalami perubahan seiring dengan
perubahan jaman, khususnya tema-tema dalam puisi Arab. Pada masa
kebangkitan ini, secara bertahap puisi banyak dipengaruhi oleh orang-orang
Eropa baru. Meskipun perubahan ini mendapat tantangan dari para penyair
tradisionalis yang tetap ingin menjaga tradisi klasik. Puisi Lau Tarji‘i>n secara
umum memiliki tema Ghazal (cinta). Pada masa dahulu tema ini digunakan
penyair untuk mengungkapkan kecantikan seseorang secara fisik. Akan tetapi
sekarang lebih terfokus kepada nyanyian-nyanyian cinta yang melukiskan
gelora jiwa meliputi putus cinta atau sedih karena cinta (Muzakki, 2011: 132-
135).
68
Secara ringkas pembahasan tema diatas dapat dilihat pada bagan berikut:
4. Emosi (Al-'Awa>thif)
Emosi merupakan sesuatu yang mendorong untuk berbuat dan berekspresi.
Emosi dianggap sebagai perasaan yang lebih luas karena di dalam emosi
terkandung unsur-unsur haru, sedih, rindu, senang, pilu, iba, marah, benci,
dendam dan sebagainya, berkat emosi, lahirlah ekspresi (Ratna, 2011: 14).
Adapun puisi kedua dengan judul Lau Tarji‘i>n di atas menggelorakan emosi
seseorang yang merindukan kekasihnya. Diungkapkan secara metaforis
sehingga menghasilkan kesan mental yang kuat. Kesan mental atau dapat
Tema Puisi arab Lau Tarji‘i>n
Bagian I
Ketidaktahuan si Aku atas keberadaan kekasih
Bagian II
a. Harapan bertemu kekasih
b. Ketidakpastian perasaan kekasih
Bagian III
Perasaan kosong yang menciptakan kerinduan
Bagian IV
Harapan bertemu dengan kekasih
Bagian V
a. Kehidupan yang tidak berarti tanpa
kekasih
b. Harapan akan kembalinya kekasih
Ratapan
Kehilangan
Gambar 5 : Rincian tema puisi Arab Lau Tarji‘i>n
69
disebut dengan citraan dalam puisi tersebut dapat membangkitkan emosi
pembaca dalam mengungkapkan pengalaman emosi pembaca. Sebagaimana
kutipan puisi bagian ketiga baris ke-9 sampai ke-10 di bawah ini:
مل يبق من ضوء النوافذياف تعانق هلفيتطغري أ
وتعيد ذكرى الراحلني)جويدة, 2010: 18 )
[Lam yabqa min dhau'i'n-nawa>fidzi]
[Ghairu athya>fin tu‘a>niqu lahfati>]
[Wa tu'i‘du dzikra>'r-ra>chili>n]
Tidak ada yang tersisa dari cahaya jendela
Selain khayalan yang memeluk dukaku
Dan mengembalikan kenangan mereka yang telah pergi
(Juwaidah, 2010: 18)
Perasaan rindu dalam puisi Lau Tarji‘i>n tersebut dituangkan dalam bentuk
harapan-harapan pertemuan, cerita-cerita masa lalu, dan kesedihan-kesedihan
yang mendalam. Penyair berhasil membangkitkan emosi pembaca melalui
ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis tentang keadaan alam yang akrab.
5. Gaya Bahasa (Al-Uslu>b)
a. Kosakata
Puisi berjudul Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah ini memiliki
kosakata yang cukup sederhana, lazim digunakan, dan mudah ditemukan
di kamus-kamus. Kosakata-kosakata tersebut juga bukan kosakata asing
dan sulit dimengerti oleh pembaca. Untuk memperkuat kesedihan merindu
yang merupakan pembahasan pokok puisi tersebut, penyair menggunakan
70
kosakata yang berkaitan dengan pantai. Karena pantai dianggap memiliki
kesan melankolis, diantaranya adalah bachrun (laut), maujun (ombak),
naurusun (burung camar), afi>natun (kapal), dan riya>chun (angin).
Melankolis adalah keadaan mental yang ditandai oleh rasa sangat tertekan,
murung, keluhan-keluhan sakit, dan pelbagai khayalan (KBBI, 2008:935).
Penggunaan kosakata yang akrab di telinga akan mudah dalam
membangkitkan kesan mental pembaca.
b. Struktur
Pada puisi Arab kedua yang berjudul Lau Tarji‘i>n karya Farouk
Juwaidah sebagaimana pada puisi Arab pertama, juga memiliki struktur
kalimat yang tergolong fashi>ch dan bersih dari kesalahan sintaksis. Kata-
kata dalam puisi arab tesebut terbebas dari cacat morfologi dan sintaksis.
Susunan kalimat di dalamnya juga tidak rancu sehingga mudah untuk
mengetahui letak fa>‘il, cha>l, maf‘u>l bih dan lain sebagainya. Begitu pula
dalam pengucapannya, kata-kata dalam puisi Arab tersebut terbebas dari
tana>fur.
Jenis kalimat berupa kalimat interogatif terlihat menonjol dalam puisi
Arab tersebut. Hal ini dikarenakan bagian pertama puisi tersebut
seluruhnya tersusun dari kalimat interogatif, kemudian pada bagian
keempat dan kelima diawali dengan kalimat interogatif. Sebagaimana pada
kutipan puisi bagian pertama baris ke-1 sampai ke-6 berikut:
.. ما عدت أعرف ين يا قدر أين أنت اآل
71
؟احلدائق تزهرين يأ ويف فضاء الكون ركن يف يأ يف
صرت حتلقني؟ حبر تسبحني؟ يلؤلؤة سكنت .. بأ يأ يف
( 15 :2010)جويدة,
[Ma> ‘udtu a‘rifu ..]
[Aina anti-la>n ya> qadari>]
[Wa fi> ayyil-chada>'iqi tuzhiri>n?]
[Fi> ayyi ruknin fi> fadha>il-kauni]
[Shirti tuchalliqi>n?]
[Fi> ayyi lu'luatin sakanti .. bi ayyi bachrin tasbachi>n?]
Aku masih tidak tau
Dimana kau sekarang wahai takdirku
Di taman mana kau berbunga?
Di bagian mana belahan bumi ini kau melingkar?
Di rumah mutiara mana kau tinggal .. di laut mana kau berenang? \
(Juwaidah, 2010: 15)
Selain itu, kalimat interogatif juga terlihat dari judul yang digunakan
oleh penyair. Meskipun struktur kalimatnya bukan kalimat interogatif,
tetapi penyair menggunakan tanda 'tanya' di akhir kalimat. Ciri-ciri
kalimat interogatif dalam bahasa Arab diawali dengan kata istifham, yakni
man, mata>, 'aina, kam, kaifa, ayyu (Ni'mah, 1988:126) . Hal ini
menunjukkan bahwa penyair mampu mengolah penggunaan kalimat
dengan baik, dengan mencampurkan antara kalimat interogatif dan kalimat
deklaratif.
c. Kemahiran bersastra
Pada puisi Arab kedua yang berjudul Lau Tarji‘i>n, kosakata yang
digunakan dalam mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan
72
cukup sederhana dan tidak asing serta memiliki susunan kalimat yang
tidak tana>fur. Hal demikian menjadi salah satu bukti kepiawaian penyair.
Selain itu, penyair juga mampu menambahkan bumbu-bumbu retorikal
yang dapat menambah efek estetis dalam puisinya. Imajinasi dilibatkan
oleh penyair dalam menambahkan efek estetis tersebut, karena imajinasi
sendiri dapat memberikan nilai estetika lebih dalam sebuah karya sastra
(Muzakki, 2011: 82). Sarana untuk menuangkan imajinasi tersebut
terdapat dalam gaya bahasa yang digunakan oleh penyair, salah satunya
adalah metafora yang merupakan bahasa figuratif. Sebagaimana pada
bagian kedua baris ke-1 sampai ke-4 berikut:
عيون الشمس مازلت أنظر يف ضياها تشرقني علك يف
وأطل للبد احلزين لعلين ألقاك بني السحب يوما تعربين
)جويدة, 2010: 16 )
[Ma> ziltu anzhuru fi> ‘uyu>ni'sy-syamsi]
[‘allaki fi> dhiya>ha> tusyriqi>n]
[Wa uthillu lil-badril-chazi>n la‘allani>]
[Alqa>ki baina's-suchbi yauman ta‘buri>n]
Aku masih menatap mata-mata matahari
Berharap kau terbit dari cahayanya
Aku tatap bulan yang bersedih berharap aku dapat
Berjumpa denganmu di antara awan yang suatu hari kau lintasi
(Juwaidah, 2010: 16)
Kutipan puisi di atas menunjukkan kepiawaian penyair dalam
mengolah imajinasi dengan susunan kalimat yang tidak tana>fur. Selain itu,
73
pada puisi tersebut menunjukkan adanya penggunaan kosakata sehari-hari
sehingga mudah untuk dipahami.
Puisi Lau Tarji‘i>n sarat akan metafora. Setiap bagian puisi dibalut
dengan metafora oleh panyair sehingga nilai estetis terasa kental. Selain
itu, kesan mental yang ditimbulkan dari susunan kalimat dalam puisi
tersebut terasa kuat dan mendalam sehingga mampu membangkitkan
emosi pembaca. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kepiawaian penyair
dalam memilih kosa kata dan susunan kalimat yang digunakan.
d. Irama (I>qa‘)
Puisi Arab kedua dengan judul Lau Tarji‘i>n merupakan puisi Arab
yang lahir pada periode kesusasteraan Arab modern. Pada masa modern,
secara bertahap puisi banyak dipengaruhi oleh orang-orang Eropa baru
sehingga terjadi perubahan-perubahan salah satunya perubahan dalam
irama puisi. Pada kesusasteraan Arab klasik, puisi Arab harus memiliki
bachr dan qafi>yah. Tetapi dalam perkembangannya sudah banyak
sastrawan Arab modern yang tidak lagi menggunakan syarat klasik
tersebut. Hal demikian juga terjadi pada Farouk Juwaidah dalam puisinya
yang berjudul Lau Tarji‘i>n ini. Puisi Arab yang tidak mengikuti ketentuan
klasik tersebut disebut dengan syi‘rul-chur. Tetapi masih terikat dengan
satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai
tinggi.
74
6. Imajinasi (Al-khayya>l)
Imajinasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:546)
didefinisikan sebagai daya pikir untuk membayangkan dalam angan-angan.
Imajinasi bukan sebuah kebohongan, dia tercipta berdasarkan kenyataan,
meskipun terkadang imajinasi menyimpang dari rasionalitas. Imajinasi-
imajinasi tersebut tertuang dalam ungkapan metaforis.
Penggunaan metafora dalam puisi kedua yang berjudul Lau Tarji‘i>n adalah
bukti dari penyair yang piawai dalam mengolah imajinasinya, karena dalam
menciptakan metafora membutuhkan keterlibatan imajinasi. Penyair berhasil
menciptakan metafora dengan menggunakan sesuatu yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti pada bagian pertama baris ke-3 dan ke-6,
penyair menyerupakan seorang perempuan dengan sebuah tanaman yang
indah berbunga.
.. ما عدت أعرف يأين أنت اآلن يا قدر
؟احلدائق تزهرين يأ ويف جويدة,) 2010: 15 )
[Ma> ‘udtu a‘rifu ..]
[Aina anti-la>n ya> qadari>]
[Wa fi> ayyil-chada>'iqi tuzhiri>n?]
Aku masih tidak tau
Dimana kau sekarang wahai takdirku
Di taman mana kau berbunga?
(Juwaidah, 2010: 15)
75
Selain itu, pada bagian keempat baris ke-4 hingga ke-6, penyair dengan
piawai menyerupakan sosok perempuan tersebut dengan keindahan pantai.
Imajinasi-imajinasi penyair inilah yang menghidupkan puisi tersebut.
أراك إين على جبني املوج ..
صخب النوارس تلعبني يف ,)جويدة 2010: 18 )
[Inni> ara>ki]
[‘ala< jabi>nil-mauji ..]
[fi shakhabi'n-nawa>risi tal‘abi>n]
Aku sungguh melihatmu
Di dahi ombak ..
Dalam teriakan burung camar kau bermain
(Juwaidah, 2010: 18)
7. Penilaian Umum (Al-Chukmul-'A>m)
Berdasarkan analisis unsur-unsur diatas dapat ditarik benang merah bahwa
puisi Arab Lau Tarji‘>in karya Farouk Juwaidah memiliki tema umum yang
sudah banyak digunakan oleh penyair-penyair Arab modern saat ini, yaitu
ghazal (cinta) pada umumnya, dan ratapan kehilangan pada khususnya. Tema
ini sudah banyak digunakan akan tetapi penyair mampu memberikan nilai
lebih dalam puisinya. Salah satu nilai lebih tersebut yaitu gaya bahasa yang
sarat akan metafora serta imajinasi penyair yang mampu membuat puisi
menjadi lebih hidup. Di samping itu dalam mengungkapkan metafora, penyair
menggunakan kosakata yang sederhana dan tidak asing serta struktur kalimat
yang mudah dimengerti sehingga mudah dipahami oleh pembaca.
76
BAB III
JENIS-JENIS METAFORA DALAM PUISI LAU ANNANA> LAM NAFTARIQ
DAN LAU TARJI‘I>N KARYA FAROUK JUWAIDAH
Pada bab ini penulis mengklasifikasikan jenis metafora yang terdapat dalam
puisi Lau Annana> Lam Naftariq dan Lau Tarji‘i>n karya Farouk Juwaidah. Jenis
metafora tersebut dikelompokkan berdasarkan katagori vehicle atau musyta‘a>r
minhu sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Haley. Haley membagi
metafora menjadi 9 (sembilan) jenis, yaitu ke-ada-an (being), kosmos (cosmos),
energi (energy), substansi (substance), permukaan bumi (terrestrial), benda mati
(object), flora (living), fauna (animate), dan manusia (human).
Dalam penelitian ini jenis-jenis metafora tersebut akan dibahas sesuai dengan
objek yang dikaji. Selanjutnya akan ditentukan letak unsur metafora yaitu
musyta‘a>r lahu atau tenor (selanjutnya disingkat ML/T) dan musyta‘a>r minhu
atau vehicle (selanjutnya disingkat MM/V). Kemudian dilanjutkan dengan
menentukan letak qari>nah baik berupa qari>nah lafdziyyah maupun qari>nah
cha>liyah, dan diikuti oleh makna yang terkandung dalam metafora.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, ditemukan 34 (tiga puluh empat)
metafora dalam Puisi Law Annana> Lam Naftariq (selanjutnya disingkat LALN)
dan Puisi Law Tarji‘i>n (selanjutnya disingkat LT). Metafora-metafora tersebut
yaitu 4 (empat) data metafora ke-ada-an (being), 3 (tiga) data metafora kosmos
(cosmos), 2 (dua) data metafora energi (energy), 2 (dua) data metafora substansi
(substance), 1 (satu) data metafora permukaan bumi (terrestrial), 3 (tiga) data
76
77
metafora benda mati (object), 2 (dua) data metafora flora (living), 1 (satu) data
metafora fauna (animate), dan 16 (enam belas) data metafora manusia (human).
1. Ke-ada-an (Being)
Metafora ke-ada-an adalah metafora yang meliputi hal-hal abstrak seperti
kebenaran, kasih sayang, kebencian dan lain sebagainya (Haley dan Lunsford
dalam Annas, 2013: 28). Metafora ini mencakup konsep atau pengalaman
manusia yang abstrak. Ciri kategori ini adalah prediksi 'ada', walaupun tidak
dihayati langsung oleh indra manusia (Wahab, 1991:78). Berikut metafora
ke-ada-an yang penulis temukan dalam puisi LALN dan LT karya Farouk
Juwaidah :
الرحيل يشدناما كنت أعرف و (1 حياتىأىن أودع مهجت و
(13 :2010)جويدة,
(LALN)
[Ma> kuntu a‘rifu wa'r-rachi>l yasyudduna>]
[Anni> uwaddi‘u muhjati> .. wa chaya>ti>]
Aku tak pernah tau jika kepergian itu menarik kita
Hingga harus kuucap selamat tinggal kepada hatiku kepada
hidupku
(Juwaidah, 2010: 13)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora.‘Al-chabi>bah’ (sang kekasih) sebagai ML/T yang pada metafora di
atas tidak disebutkan dan ‘muhjati>’ (hatiku) ‘chaya>ti’ (hidupku) sebagai
MM/V. Kata ‘'uwaddi'u’ (ku ucap selamat tinggal) merupakan qari>nah yang
menunjukkan kepada makna yang dimaksudkan. Karena, pertama, jika
digunakan pemahaman makna harfiah maka akan terjadi kerancuan makna.
78
Kedua, ucapan selamat tinggal pada dasarnya terjadi antara satu manusia
dengan manusia lainnya, bukan kepada ‘hidup’ maupun ‘hati’ yang
merupakan konsep abstrak.
Perpisahan adalah hal menyakitkan yang setiap orang tidak
menginginkannya. Perpisahan juga tidak meninggalkan jejak apapun kecuali
penderitaan yang berkepanjangan (Gibran, 2010: 29). Bahkan ada sebuah
kutipan percakapan dalam drama Korea berjudul 49 days (49 hari) berbunyi
‘aku akan menunggu hingga perpisahan menjadi hal yang tidak menyakitkan,
baru kita boleh berpisah’. Meskipun semua orang tidak menginginkan adanya
perpisahan, namun kehidupan manusia tidak akan pernah terlepas dari
perpisahan, termasuk si Aku. Si Aku berpisah dengan kekasihnya yang telah
mengisi hatinya dan mengisi hari-harinya, serta menjadi bagian dari
kehidupannya. Sang kekasih diserupakan dengan hati dan hidup si Aku,
karena bagi si Aku kekasihnya seperti bagian dari kehidupannya yang sulit
untuk dia tinggalkan. Meninggalkan kehidupannya berarti menghadapi
kematiannya sendiri dan berpisah dengan sang kekasih berarti berpisah
dengan kehidupan dan hatinya. Hati dan hidup merupakan konsep abstrak dan
juga merupakan MM/V pada metafora di atas, oleh karena itu metafora di atas
termasuk jenis metafora ke-ada-an (being).
عينيك ساعاتأهفو إىل (2 فيبدو فيهما
عاصفة .. عصفر سجني ..قيد .. و (16 :2010)جويدة,
(LT)
[Ahfu> ila> ‘ainaiki sa>‘a>t]
79
[Fayabdu> fi>hima>]
[Qaidun .. wa ‘a>shifatun .. wa ‘usyfu>run saji>n]
Aku menginginkan matamu beberapa saat
Maka terlihat disana
Ikatan .. badai .. dan burung yang terperangkap
(Juwaidah, 2010: 16)
Kutipan diatas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora.‘‘Ainaiki’ (matamu) sebagai ML/T, dan ‘ad-dunya>’ (dunia) sebagai
MM/V yang pada metafora diatas tidak disebutkan, namun diisyaratkan
dengan beberapa hal yang berkaitan dengan keadaan dunia yaitu ikatan, badai,
dan burung yang terperangkap. Sedangkan qari>nah pada metafora di atas
berupa qari>nah lafdziyyah. Karena kata-kata pada metafora di atas jika
dimakai dengan makna harfiah akan terjadi kerancuan makna.
Dunia adalah bumi dengan segala apa yang ada di atasnya (KBBI, 2008:
369). Dunia merupakan konsep abstrak untuk menunjukkan alam kehidupan
manusia di atas bumi. Selain itu, dunia juga memperlihatkan pada manusia
tentang rahasia keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan.
Sebagaimana mata yang merupakan jendela dunia. Mata memungkinkan
seseorang dapat mengintip ke dalam keadaan jiwa orang lain (Prasetyono,
2008: 42). Bahkan Ralph Waldo Emerson (dalam Nierenberg, 2006: 24)
mengatakan 'mata seseorang berbicara banyak hal seperti lidah,
keuntungannya adalah bahasa mata tidak membutuhkan kamus, namun bisa
dipahami di seluruh dunia'. Hal demikian juga terjadi pada sang kekasih, dia
memperlihatkan pesan ketidakbahagiaannya saat bersama si Aku. Pesan
tersebut tidak diungkapkan dengan bahasa verbal, melainkan dengan sorotan
80
matanya. Dalam puisi LT tersebut mata sang kekasih diserupakan dengan
sebuah dunia yang dapat memperlihatkan rahasianya, dalam hal ini rahasia
tersebut adalah rahasia ketidakbahagiaan sang kekasih. Dunia yang
diperlihatkan oleh mata sang kekasih adalah dunia yang berisi badai, burung-
burung terperangkap, dan ikatan.
Ikatan adalah yang telah diikat atau rangkaian atau hubungan (KBBI,
2008: 541). Burung terperangkap merupakan burung yang tidak bisa terbang
bebas di angkasa. Keduanya menunjukkan ketidakbebasan. Sedangkan badai
adalah angin kencang yang menyertai cuaca buruk (KBBI, 2008: 114) yang
menunjukan buruknya cuaca di atas bumi. Dengan demikian ketiganya
menunjukkan keadaan buruk dan tidak bahagia.
.. لؤلؤة سكنت يىف أ (3 )جويدة, 2010: 15)
(LT)
[Fi> ayyi lu'luatin sakanti .. ]
Di mutiara mana kau tinggal
..(Juwaidah, 2010: 15)
Kutipan di atas termasuk metafora karena memiliki unsur-unsur metafora.
‘Al-chabi>bah’ (sang kekasih) sebagai ML/T dan ‘jama>lul-lu'lu'ah’ (keindahan
mutiara) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun
diisyaratkan dengan hal yang berkaitan dengan keindahan mutiara yaitu
‘lu'luatin’ (mutiara). Kata ‘sakanti’ (kau tinggal) merupakan qari>nah yang
menunjukkan kepada makna yang dimaksudkan. Karena jika digunakan
pemahaman makna harfiah maka akan terjadi kerancuan makna.
81
Mutiara merupakan salah satu perhiasan mahal dan langka. Mutiara
merupakan bagian terpenting dari sejarah perhiasan, karena digunakan
sebelum batu permata yang mendapatkannya lebih mudah dibandingkan
dengan mutiara. Orang Romawi, Persia, Cina, dan India menyemarakkan
keindahan dan kecantikan dengan mutiara. Selain itu mutiara juga merupakan
salah satu simbol dari kekuasaan dan keaguangan yang dipakai oleh
bangsawan (Internet, 2015: mutiaralombok.net). Sampai saat ini mutiara
sudah banyak digunakan oleh masyarakat terutama kaum menengah keatas,
dan sebagai simbol keindahan dan kecantikan, mutiara banyak dipakai oleh
wanita sebagai perhiasan.
Keindahan mutiara juga dinikmati oleh si Aku. Pada metafora di atas sang
kekasih diserupakan dengan keindahan yang dimiliki dalam mutiara. Bagi si
Aku keindahan yang dimiliki dalam mutiara serupa dengan kecantikan yang
ada dalam diri sang kekasih. Oleh sebab itu saat si Aku sedang mencari
keberadaan sang kekasih, melalui imajinasi penyair dia mencari sang kekasih
di dalam mutiara dan berharap kekasihnya berada di dalam mutiara.
Keindahan mutiara adalah konsep abstrak yang tidak dapat dihayati oleh indra
manusia, dan juga merupakan MM/V pada metafora di atas. Oleh karena itu
metafora di atas termasuk jenis metafora ke-ada-an (being).
أراك إين (4 على جبني املوج ..
صخب النوارس تلعبني يف )جويدة, 2010: 18)
(LT)
[inni> ara>ki]
82
[‘ala> jabi>nil-mauji ..]
[Fi> shakhabi'n-nawa>risi tal‘abi>n ..]
Aku sungguh melihat mu
Di atas dahi ombak
Dalam teriakan burung camar kau bermain
(Juwiadah, 2010: 18)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora.‘Al-chabi>bah’ (sang kekasih) sebagai ML/T dan ‘jama>lu'sy-sya>thi'i’
(keindahan pantai) sebagai MM/V yang pada metafora diatas tidak disebutkan,
namun diisyaratkan dengan dua hal yang identik dengan pantai yaitu ‘mauji’
(ombak) dan ‘nawa>risi’ (burung-burung camar). Sedangkan qari>nah yang
menghalangi kepada makna harfiah pada metafora di atas adalah qari>nah
lafdziyyah. Karena kata-kata pada metafora di atas jika digunakan pemahaman
makna harfiah akan mengalami kerancuan makna.
Pantai adalah salah satu tempat indah yang banyak dicari orang.
Keindahannya menjadi salah satu daya tarik mayoritas masyarakat, terbukti
pulau Bali yang dikelilingi pantai-pantai indah menjadi tujuan berlibur para
pelancong dalam dan luar negeri. Birunya air laut, hembusan angin segar,
suara debur ombak membuat suasana pantai banyak diinginkan orang sebagai
tujuan liburan. Tidak hanya sekedar berwisata, berkunjung ke pantai mampu
membuat suasana hati menjadi gembira dan meningkatkan kesehatan emosi.
Hal ini dibuktikan lewat penelitian dari European Centre for Environment and
Human Health di Truro, Cornwall yang menyatakan bahwa bersantai di pantai
baik bagi kesehatan emosional dibandingkan berjalan-jalan di kebun. Selain
83
itu suasana pantai juga dapat melepaskan emosi negatif seperti marah, sedih,
kecewa, dan bingung (Desideria, 2015: health.liputan6.com)
Keindahan pantai tersebut juga dirasakan oleh si Aku yang sedang
meratapi perpisahan dengan sang kekasih. Akibat kerinduan dan keinginan
untuk bertemu sang kekasih, khayalan tentangnya memenuhi pikiran si Aku.
Sehingga apa yang dia lihat bukanlah keindahan pantai di setiap sisinya,
melainkan keindahan sang kekasih di setiap sisi pantai. Suara debur ombak
dan suara burung camar adalah salah satu sisi pantai yang indah. Kemudian
saat si Aku sedang memandangnya, yang dia lihat bukanlah keindahannya,
melainkan keindahan sang kekasih. Sang kekasih diserupakan dengan
keindahan pantai, karena bagi si Aku pantai dan sang kekasih memiliki
keindahan yang sama. Penyerupaan dengan konsep abstrak yaitu keindahan
pantai merupakan alasan dalam mengkatagorikan metafora di atas sebagai
salah satu jenis metafora ke-ada-an (being).
2. Kosmos (Cosmos)
Metafora kosmos (cosmos) adalah metafora yang meliputi benda-benda
kosmos seperti matahari, bulan, bumi dan lain sebagainya (Haley dan
Lunsford dalam Annas, 2013: 29). Kosmos (Cosmos) tidak hanya ada seperti
being, namun juga bisa diamati oleh indra mata dan menepati ruang di jagad
raya (Wahab, 1991: 78). Berikut metafora kosmos (cosmos) yang penulis
temukan dalam puisi LALN dan LT karya Farouk Juwaidah :
الكون يوما .. واحرتقجنم أضاء (1 )جويدة, 2010: 11)
(LALN)
84
[Najmun adha>'al-kauna yauman wa'chtaraq]
Bintang yang menyinari alam dalam satu hari ...
terbakar (Juwaidah, 2010: 11)
Kutipan di atas termasuk metafora karena memiliki unsur-unsur metafora.
‘Al-chabi>bah’ (sang kekasih) sebagai ML/T yang pada metafora di atas tidak
disebutkan, namun diisyaratkan dengan konteks puisi LALN dan ‘najmun’
(bintang) sebagai MM/V. Sedangkan qari>nah yang menunjukkan kepada
makna yang dimaksudkan berupa qari>nah cha>liyah. Qari>nah tersebut terletak
pada konteks kutipan di atas. Konteks adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau
sosial yang kait-mengait dengan ujuaran tertentu (Kridalaksana, 2011: 134).
Adapun konteks syair tersebut yang dapat mendukung pemahaman kutipan di
atas adalah sang kekasih yang pergi meninggalkan si Aku setelah memberinya
kebahagiaan singkat. Konteks tersebut memiliki titik persamaan dengan
keadaan bintang pada kutipan di atas yang terbakar setelah menyinari alam
dalam waktu singkat.
Dalam metafora di atas sang kekasih diserupakan dengan bintang. Dia
membuat kebahagian singkat dalam kehidupan si Aku yang diserupakan
dengan menyinari alam dalam sehari. Kemudian setelah memberikan
kebahagian singkat dia pergi meninggalkan si Aku. Hal itu diserupakan dengan
bintang yang terbakar, karena bintang yang sudah terbakar tidak lagi dapat
menyinari alam, sebagaimana sang kekasih yang sudah pergi tidak lagi dapat
memberikan kebahagiaan bagi si Aku. Penyerupaan dengan salah satu benda
85
langit inilah yang merupakan alasan dalam mengkatagorikan metafora di atas
sebagai salah satu jenis metafora kosmos (cosmos).
عيون الشمس مازلت أنظر يف (2 ضياها تشرقني علك يف
وأطل للبدر احلزين لعلين ألقاك بني السحب يوما تعربين
(15 :2010)جويدة,
(LT)
[Ma> ziltu anzhuru fi> ‘uyu>ni'sy-syamsi]
[‘allaki fi> dhiya>ha> tusyriqi>n]
[Wa uthillu lil-badril-chazi>n la‘allani>]
[Alqa>ki baina's-suchbi yauman ta‘buri>n]
Aku masih menatap mata-mata matahari
Berharap kau terbit dari cahayanya
Dan aku tatap bulan yang bersedih berharap
Aku dapat berjumpa denganmu di antara awan yang
suatu hari kau lintasi
(Juwaidah, 2010: 15)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora.‘Al-chabi>bah’ (sang kekasih) sebagai ML/T dan ‘al-kaukabu’ (benda
langit) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan salah satu sifat benda langit yaitu berada di ketinggian.
Qari>nah yang menunjukkan kepada makna yang dimaksudkan pada metafora
di atas adalah berupa qari>nah lafdziyyah. Karena kata-kata pada metafora di
atas jika digunakan pemahaman makna harfiah akan terjadi kerancuan makna.
Langit adalah ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya
bulan, bintang, matahari dan planet lain (KBBI, 2008: 810). Diantara benda
langit adalah semua jenis planet, bintang, bulan, matahari, satelit, meteroid,
86
komet, asteroid (Internet, 2015: pendidikanmu.com). Untuk dapat melihatnya,
manusia membutuhkan alat bantu seperti teleskop dan teropong. Akan tetapi
ada beberapa benda langit yang mudah dilihat oleh manusia dengan mata
telanjang yaitu bulan, bintang, dan matahari.
Benda-benda langit tersebut dapat dengan mudah dilihat oleh manusia. Di
pagi hari manusia dapat melihat matahari dan di malam hari manusia dapat
dengan mudah melihat bulan dan bintang. Sebagaimana sang kekasih yang
pada metafora di atas diserupakan dengan benda langit yang dapat dengan
mudah dilihat oleh si Aku, baik di pagi hari maupun di malam hari. Bagi si
Aku sang kekasih adalah salah satu benda langit yang mudah dilihat oleh
manusia. Keinginan si Aku untuk dapat bertemu setiap saat dengan sang
kekasih membuatnya berkhayal demikian. Di pagi dan malam hari si Aku
ingin selalu melihat kekasihnya, bukan seperti matahari yang hanya dapat
dilihat di siang hari atau bukan seperti bulan yang hanya ada di malam hari,
tapi seperti keduanya. Penyerupaan dengan benda langit inilah yang
merupakan alasan dalam mengkatagorikan metafora di atas sebagai salah satu
jenis metafora kosmos (cosmos).
الطويل أحاطينليل من الشك (3 عينيك هنرا من اليقني حت أطل الفجر يف
(16 :2010)جويدة,
(LT)
[Lailun mina'sy-syakki'th-thawi>l acha>thani>] [Chatta> athallal-fajru fi> ‘ainaiki nahran minal-yaqi>n]
Malam yang terbuat dari keragu-raguan panjang
mengelilingiku
Hingga fajar terbit di matamu sebagai sungai
87
keyakinan
(Juwaidah, 2010: 16)
Kutipan syair di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘‘Ainaiki’ (matamu) sebagai ML/T dan ‘as-sama>'u’ (langit) sebagai
MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun diisyaratkan
dengan salah satu ciri khas langit yaitu ‘athallal-fajru’ (fajar terbit). Qari>nah
pada metafora di atas berupa qari>nah lafdziyyah. Qari>nah tersebut
menunjukkan kepada makna yang dimaksudkan karena jika digunakan
pemahaman makna harfiah akan terjadi kerancuan makna.
Fajar adalah cahaya kemerah-merahan yang tampak beberapa saat,
kemudian menghilng sebelum fajar sidik. Fajar sidik adalah dini hari atau
menjelang pagi (KBBI, 2008: 401). Waktu fajar ditandai dengan cahaya
terang yang memancar secara horizontal pada garis cakrawala (Internet, 2016:
id.wikipedia.org). Fajar menandai telah berlalunya waktu malam dan akan
masuk waktu siang dengan langit yang terang.
Saat malam hari, manusia akan sulit melihat keadaan sekitarnya karena
gelap, tetapi saat fajar terbit di pagi hari, keadaan tersebut akan mulai terlihat.
Sebagaimana si Aku yang sulit melihat kepastian perasaan sang kekasih.
Kemudian mata sang kekasih memberikan jawabannya, karena mata adalah
jendela jiwa seseorang yang dapat memperlihatkan keadaan jiwa orang
tersebut (Prasetyono, 2011: 42). Mata sang kekasih dalam puisi LT ini
diserupakan dengan langit yang dapat memunculkan fajar yang menandai
telah berlalunya kegelapan malam, sebagaimana mata sang kekasih yang dapat
menghapus keraguan si Aku. Langit merupakan tempat dimana benda-benda
88
langit berada dan merupakan MB/V pada metafora di atas, oleh karena itu
metafora di atas termasuk jenis metafora kosmos (cosmos).
3. Substansi (Substance)
Metafora substansi (substance) adalah metafora yang berkaitan dengan
jenis-jenis gas dengan prediksinya yang dapat memberi kelembutan, bau,
tekanan, dan lain sebagainya (Haley dan Lunsford dalam Annas, 2013: 29). Di
samping ada, membutuhkan ruang, dan bergerak, jenis metafora ini juga
mempunyai sifat lembam. Berikut adalah metafora substansi (substance) yang
penulis temukan dalam puisi LALN dan LT:
يدم وتوقف الزمن املسافر يف (1 (13 :2010)جويدة,
(LALN)
[wa tawaqqafa’z-zamanul-musa>firu fi dami>]
Waktu yang berpergian berhenti di aliran
darahku
(Juwaidah, 2010: 13)
Kutipan puisi LALN di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-
unsur metafora. ‘Az-zama>n’ (waktu) sebagai ML/T dan ‘uksiji>n’ (oksigen)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun
diisyaratkan dengan salah satu hal yang berkaitan denganya yaitu ‘dami>’
(darah). Kata ‘dami>’ merupakan qari>nah yang menghalangi kepada
pemahaman makna harfiahnya, dengan demikian qari>nah metafora di atas
adalah berupa qari>nah lafdziyyah.
Pada metafora di atas, waktu diserupakan dengan oksigen dalam darah.
Darah adalah cairan berwarna merah yang mengalir dalam pembuluh darah
89
manusia atau binatang (KBBI, 2008: 317). Ada beberapa fungsi darah, salah
satunya mengangkut oksigen (Sari, 2011: dosenbiologi.com). Oksigen adalah
zat ringan yang terdapat dalam atmosfer, tidak berwarna, tidak berbau, dan
tidak ada rasanya yang diperlukan untuk hidup dan pembakaran (KBBI, 2008:
1016). Oksigen merupakan kebutuhan primer manusia, jika oksigen tidak
beredar dalam tubuh manusia, maka dia dianggap sudah meninggal.
Pada metafora di atas waktu diserupakan seperti oksigen yang mengalir
dalam darah si Aku. waktu adalah keseluruhan rangkaian saat ketika proses;
perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung (KBBI, 2008: 1614).
Terdapat titik persamaan di antara keduanya, yaitu sama-sama berjalan.
Oksigen berjalan mengikuti aliran darah manusia, jika oksigen berhenti
mengalir maka darah juga akan berhenti mengalir, dengan demikian manusia
tersebut akan meninggal. Serupa dengan waktu yang senantiasa berjalan, jika
pada suatu hari waktu berhenti, maka berakhirlah kehidupan di alam ini.
Dalam imajinasi penyair, si Aku mengalami keputusasaan setelah berpisah
dengan sang kekasih. Bagi si Aku menjalani kehidupan tanpa sang kekasih
seperti menghadapi kematian. Sehingga waktu yang biasanya berjalan dia
anggap berhenti dan berhentinya waktu merupakan kematian untuk si Aku.
Penyerupaan dengan oksigen yang mengalir dalam darah merupakan alasan
dalam mengkatagorikan metafora di atas ke dalam salah satu jenis metafora
substansi (substance).
مل يبق منك (2
سوى إرتعاشة حلظة ذابت على وجه السنني
(LT)
90
(16 :2010)جويدة,
[Lam yabqa minki]
[Siwa>r-ti‘a>syati lachzhah]
[Dza>bat ‘ala> wajhi's-sini>n]
Tidak ada yang tersisa darimu
Selain gemetar sejenak
Yang meleleh diatas wajah tahun
(Juwiadah, 2010: 16)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena memiliki unsur-unsur
metafora. ‘Irti‘a>syati lachdzah’ (gemetar sejenak) sebagai ML/T dan ‘adz-
dza>ibu’ (yang meleleh) sebagai MM/V. Sedangkan qari>nah yang menghalangi
kepada pemahaman makna harfiahnya adalah berupa qari>nah lafdziyyah.
Karena kata-kata pada metafora di atas jika digunakan pemahaman makna
harfiah akan terjadi kerancuan makna.
Kata ‘irti’a>syah’ berasal dari kata kata dasar ‘ra’asya’ yang bermakna
‘gemetar’ (Munawwir, 1997:508), sedangkan dalam Mu’jam Al-Wasith
(2004: 354) dimaknai dengan ‘irta’ada’ ‘irtajafa’ dan ‘idhtharaba’. Kata
‘irta’ada’ bermakna gemetar atau menggigil (Munawwir, 1997:508), kata
‘irtajafa’ bermakna gemetar atau menggigil (Munawwir, 1997:477), dan kata
‘idhtharaba’ bermakna bingung atau bimbang atau ragu-ragu (Munawwir,
1997:816). Maka berdasarkan keseluruhan isi puisi Law Tarji’i>n, penulis
menentukan sebab gemetar pada kutipan di atas adalah karena keraguan.
Mencair adalah menjadi cair, sedangkan pencairan adalah perubahan fase
dari zat padat menjadi cair (KBBI, 2008: 254). Saat terjadi proses pencairan
energi internal zat padat meningkat mencapai temperatur tertentu yang disebut
91
titik leleh (Internet, 2016: id.wikipedia.org). Proses ini hanya terjadi kepada
benda. Akan tetapi dalam puisi LT, proses ini dapat terjadi kepada konsep
abstrak yang tidak memiliki fisik. Pada metafora di atas gemetar diserupakan
dengan benda yang dapat mengalami proses pencairan. Gemetar pada
metafora di atas merupakan gemetar karena keraguan. Ragu adalah bimbang
atau bingung (KBBI, 2008: 1154). Ragu merupakan sifat manusiawai yang
dapat dirasakan oleh setiap orang, termasuk sang kekasih dalam puisi LT ini.
Perasaan cinta yang dimiliki sang kekasih kepada si Aku sudah
menghilang. Tetapi bagi si Aku sang kekasih masih memiliki rasa ragu, antara
kembali kepada si Aku atau pergi meninggalkannya. Rasa ragu tersebut pada
akhirnya juga ikut menghilang seiring dengan berjalannya waktu, dengan ini
si Aku telah kehilangan sang kekasih. Dalam mengungkapkannya penyair
menyerupakan rasa ragu tersebut dengan benda yang mencair. Benda akan
mencair seiring dengan berjalannya waktu sebagaimana rasa ragu sang
kekasih yang pada akhirnya mencair setelah beberapa tahun. Jarak akan
membuat intensitas bertemu seseorang menjadi berkurang, dan akhirnya
kedekatan akan berkurang, baik kedekatan fisik maupun kedekatan hati.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Nizar Qabbani (As-Shafada>, 2014:
mawdoo3.com) :
إذا مل يزدك البعد حبا فأنت مل حتب حقا![Idza> lam yazidka chubban fa anta lam tuchibbu haqqan!]
Jika jarak tidak menambah rasa cinta maka kamu belum benar-benar
mencintai
92
Penyerupaan dengan sifat benda yang dapat mencair merupakan alasan dalam
mengkatagorikan metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora substansi
(substance).
4. Permukaan Bumi (Terrestrial)
Metafora terhampar (terrestrial) adalah metafora yang berkaitan dengan
hal-hal yang terikat atau terbentang dengan permukaan bumi (Haley dan
Lunsford dalam Annas, 2013: 29). Berikut metafora permukaan bumi
(terrestrial) yang penulis temukan dalam puisi LALN dan LT karya Farouk
Juwaidah :
محلتك يف ضجر الشوارع فرحيت (1 (12 :2010)جويدة,
(LALN)
[Chamaltuki fi> dhajari'sy-syawa>ri‘i farchati>]
Akan ku bawa engkau ke dalam kegelisahan jalanan
kegembiraanku
(Juwaidah, 2010: 12)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora yaitu, ‘al-qalbu’ (hati) sebagai ML/T yang pada metafora di atas
tidak disebutkan namun diisyaratkan dengan hal yang berkaitan dengan hati
yaitu ‘dhajar’ (kegelisahan) ‘farchah’ (kegembiraan), dan ‘asy-syawa>ri‘i’
(jalan) sebagai MM/V. Kata ‘dhajarun’ (kegelisahan) dan ‘farchatun’
(kegembiraan) merupakan qari>nah lafdziyyah yang menunjukkan kepada
makna yang dimaksudkan, karena jika digunakan pemahaman makna
harfiahnya akan terjadi kerancuan makna.
93
Perasaan adalah suatu keadaan kejiwaan pada organisme atau individu
sebagai akibat adanya peristiwa atau presepsi yang dialami. Sedangkan
menurut Chaplin (1972) yang dimaksud dengan perasaan adalah keadaan
individu sebagai akibat dari presepsi terhadap stimulus baik eksternal maupun
internal (Walgito, 2004: 202). Dalam masyarakat umum perasaan dianggap
berasal dari hati, sebagaimana definisi yang dipaparkan oleh KBBI (2008:
514) bahwa hati adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang
dianggap sebagai tempat menyimpan perasaan-perasaan, pengertian-
pengertian dan lain sebagainya. Hal senada juga disampaikan oleh Nafiah
(2014: kompasiana.com) bahwa pada umumnya masyarakat sering
menghubung-hubungkan antara hati dengan perasaan. Oleh karena itu penulis
menentukan ‘hati’ sebagai tenor, karena kegelisahan dan kegembiraan
merupakan perasaan yang berasal dari dalam hati.
Dalam puisi LALN ini, si Aku ingin memperlihatkan cintanya yang dalam
kepada sang kekasih. Cinta tersebut membuat si Aku tengelam dalam
kebahagiaan hingga dia takut kehilangan kebahagiaan tersebut. Rasa cemas
dan bahagia merupakan perasaan yang terletak di dalam hati. Di dalam hati si
Aku yang penuh dengan kegembiraan terdapat secuil kegelisahan. Pada
metafora di atas hati si Aku diserupakan dengan jalan-jalan. Kata ‘jalan-jalan’
berarti jalan yang banyak, hal ini diperlihatkan dari kata ‘syawa>ri’u’ yang
merupakan bentuk jama’ dari kata ‘sya>ri’un’ (Munawir, 1984:714). Titik
persamaan di antara kedunya didasari pada sifat jalan-jalan yang banyak dan
sifat hati yang memiliki berbagai macam perasaan di dalamnya, dalam hal ini
94
perasaan yang memenuhi hati si Aku adalah perasaan bahagia. Jalan
merupakan sesuatu yang terikat dan terhampar di bumi, oleh karena itu
metafora di atas termasuk jenis metafora permukaan bumi (terrestrial).
5. Energi (Energy)
Metafora energi (energy) adalah metafora yang berkaitan dengan benda-
benda yang memiliki kekuatan seperti angin, cahaya, api, air, dan lain
sebagainya (Haley dan Lunsford dalam Annas, 2013: 29). Prediksi khusus
yang dipakai oleh katagori ini adalah bahwa energi tidak saja ada dan
menempati ruang, melainkan juga adanya perilaku gerak (Wahab, 1991: 79).
Berikut metafora energi (energy) yang penulis temukan dalam puisi LALN
dan LT karya Farouk Juwaidah :
قمم السحاب سافرت يف لو أنين (1 ربووعك ينطلق وعدت هنرا يف
(19 :2010)جويدة,
(LALN)
[Law annani> sa>fartu fi> qimami's-sacha>bi]
[Wa ‘udtu nahran fi> rubu>‘iki yanthaliq]
Jika ku lintasi puncak awan
aku akan kembali sebagai sungai yang mengaliri
rumahmu
(Juwaidah, 2010: 19)
Kutipan diatas memiliki unsur metafora, yaitu ‘ana>’ (si Aku) sebagai
ML/T, dan ‘al-ma>'u’ (air) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak
disebutkan, namun diisyaratkan dengan kata ‘nahran’ (sungai). Qari>nah yang
menunjukkan kepada makna yang dimaksudkan adalah qari>nah ladziyyah.
Karena jika digunakan makna harfiahnya akan terjadi kerancuan makna.
95
Air adalah benda cair seperti yang biasa terdapat di sumur, sungai, danau
yang mendidih pada suhu 100 ̊ C dan membeku pada suhu 0 ̊ C (KBBI, 2008:
22). Air sangat penting bagi kehidupan, tanpa air makhuk di bumi akan mati
(Jamil, 2015: kompasiana.com). Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa air
adalah sumber kehidupan, dan dari air segala makhluk diciptakan. ‘Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa meraka
tidak beriman’ (Q.S Al-Anbiya>’: 30).
Selain bersumber dari pegunungan, air juga berasal dari hujan. Hujan
terjadi karena siklus perputaran air. Pada mulanya air hujan berasal dari air di
bumi. Air-air tersebut mengalami proses penguapan oleh panas matahari. Air
yang menguap kemudian menjadi uap di langit dan membentuk awan. Awan
yang sudah banyak menampung air akhirnya turun menjadi hujan (Malingkas,
2015: kompasiana.com) dan mengairi sawah-sawah, sungai-sungai hingga
rumah-rumah manusia sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Siklus
air tersebutlah yang membuat penulis menentukan ‘air’ sebagai vehicle pada
metafora di atas.
Terdapat titik kesamaan di antara air dan si Aku yaitu sumber kehidupan.
Dalam khayalan si Aku, dia ingin menjadi sumber kehidupan bagi kekasihnya
seperti air yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Air
merupakan kebutuhan pokok manusia, tanpa air manusia akan sulit untuk
bertahan hidup. Seperti itulah keinginan si Aku terhadap kekasihnya, dia
ingin menjadi seseorang yang selalu dibutuhkan oleh kekasihnya dan tanpa
kehadiran si Aku kekasihnya akan sulit untuk menjalani hidup. Tetapi pada
96
kenyataannya semuanya hanyalah khayalan belaka si Aku, dan sang kekasih
sudah pergi meninggalkannya. Penyerupaan terhadap air adalah alasan dalam
mengkatagorikan metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora energi
(energy).
عيون األفق ضوء طريد يف (2 يطويه الشفق
(11 :2010)جويدة,
(LALN)
[Dhau'un thari>dun fi> ‘uyu>nil-ufqi]
[Yathwi>hi>'sy-syafaq]
Cahaya yang terusir dari pandangan cakrawala
dilipat dan dititupi oleh cahaya senja
(Juwaidah, 2010: 11)
Kutipan puisi di atas termasuk metafora karena memiliki unsur-unsur
metafora. ‘Al-chubbu’ (cinta) sebagai ML/T yang pada metafora di atas tidak
disebutkan, namun diisyaratkan dengan konteks puisi LALN dan ‘dhau‘un’
(cahaya) sebagai MM/V. Sedangkan qari>nah yang menunjukkan kepada
makna yang dimaksudkan berupa qari>nah cha>liyah yaitu konteks kutipan
tersebut. Adapun konteks yang dapat mendukung pemahaman metafora di atas
adalah seorang kekasih yang pergi meninggalkan kekasihnya.
Dalam metafora di atas perasaan cinta sang kekasih diserupakan dengan
cahaya langit. Titik persamaan antara keduannya terletak pada keadaan
masing-masing yang sama-sama akan menghilang. Cahaya di langit akan
menghilang ketika sore hari tiba, begitu juga perasaan cinta sang kekasih yang
juga akan menghilang. Penyerupaan serupa juga digunakan oleh Nizami
97
Ganjavi (2010: 23) dalam bukunya berjudul Layla Majnun yang
menyerupakan hati dan hidup Qasy setelah berpisah dengan Layla seperti
matahari yang tertelan kegelapan. Matahari tenggelam menandakan bahwa
terangnya langit telah berlalu digantikan dengan malam yang gelap. Hilangnya
cahaya dilangit inilah yang digunakan penyair dalam menyerupakan perasaan
cinta sang kekasih kepada si Aku. Cahaya merupakan salah satu benda yang
memiliki kekuatan dan juga merupakan MM/V pada metafora di atas, oleh
karena itu metafora di atas termasuk jenis metafora energi (energy).
6. Benda Mati (Object)
Metafora benda mati (object) adalah metafora yang meliputi benda-benda
tidak bernyawa seperti gelas, kursi, meja, piring, dan lain sebagainya (Haley
dan Lunsford dalam Annas, 2013: 30). Berikut metafora object yang penulis
temukan dalam puisi LALN dan LT karya Farouk Juwaidah :
ىف هليبك حيرتق يوتركت عمر (1 (9 :2010)جويدة,
(LALN)
[Wa taraktu ‘umri> fi> lahi>biki yachtariq]
Dan aku akan membiarkan diriku terbakar sepanjang
umurku di bara apimu
(Juwaidah, 2010: 9)
Kutipan termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur metafora.
‘‘Umri>’(umur) sebagai ML/T dan ‘al-muchraq’ (yang terbakar) sebagai
MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun diisyaratkan
dengan kata ‘lahi>bi’ (bara api). Sedangkan qari>nah yang menunjukkan kepada
makna yang dimaksudkan adalah qari>nah lafdziyyah. Karena kata-kata pada
98
metafora di atas jika dimaknai dengan makna yang harfiyahnya akan
menghasilkan kerancuan makna.
Pada umumnya semua benda di alam dapat dibakar. Di antara bahan-bahan
itu ada yang lebih mudah dibakar dan ada yang sulit dibakar. Hal tersebut
disebabkan karena masing-masing bahan memiliki titik nyala yang berbeda-
beda. Titik nyala adalah suatu temperatur terendah dari suatu bahan untuk
dapat berubah menjadi uap, dan akan menyala bila tersentuh api. Semakin
rendah titik nyala suatu bahan, maka bahan tersebut semakin mudah dibakar,
begitupun sebaliknya (Internet, 2013: pmdlk.blogspot.com). Sedangkan umur
adalah lama hidup sejak dilahirkan (KBBI, 2008: 1588). Umur merupakan
konsep abstrak untuk menandai lama hidup seseorang. Sebagai sebuah
konsep abstrak umur bukanlah benda yang memiliki fisik sehingga dapat
dibakar. Tetapi dalam puisi LALN umur dapat terbakar seperti benda. Hal ini
terjadi karena seorang penyair memiliki licentia poetica. Licentia poetica
adalah kebebasan penyair dan seniman pada umumnya untuk ‘meyimpang’
dari norma tertentu. Secara tradisional dianggap sebagai kesalahan,
sebaliknya secara modern merupakan keunggulan (Ratna, 2014: 424).
Pada metafora di atas, umur si Aku diserupakan seperti benda yang dapat
terbakar. Titik persamaan di antara keduanya didasari oleh sifat keduanya
yang dapat habis, umur manusia akan abis dan benda yang terbakar juga akan
habis. Benda yang dibakar akan melebur habis bersama batu bara dan
kobaran api. Hal itu sama dengan si Aku yang ingin menghabiskan umurnya
bersama kekasihnya dan seluruh hidupnya ingin dia isi dengan kebersamaan
99
bersama kekasihnya. Keinginan si Aku ini hanyalah merupakan khayalan
kosong yang pada sulit menjadi kenyataan, karena si Aku dan kekasihnya
telah berpisah. Penyerupaan terhadap benda inilah yang merupakan alasan
mengkatagorikan metafora di atas sebagai saah satu jenis metafora objek
(object).
وعاد يشطرنا القلق (2 (10 :2010)جويدة,
(LALN)
[Wa> ‘a>da yasyturuna>l-qalaq]
Kegelisahan berulangkali mencacah kita
(Juwaidah, 2010: 10)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-qalaq’ (kegelisahan) sebagai ML/T dan ‘as-sikki>n’ (pisau)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak sebutkan, namun
diisyaratkan dengan salah satu sifat pisau yaitu 'dapat mencacah'. Qari>nah
yang menunjukkan kepada makna yang dimaksudkan pada metafora di atas
adalah berupa qari>nah lafdziyyah yaitu kata 'al-qalaqu' (kegelisahan). Karena
jika kutipan di atas digunakan pemahaman makna harfiahnya akan terjadi
kerancuan makna.
Gelisah adalah tidak tentram hati dan selalu merasa khawatir (KBBI, 2008:
455). Kegelisahan juga merupakan suasana jiwa berhubungan dengan sesuatu
yang belum diketahui kepastiannya, ketidak-tentuan mengenai suatu hak,
ketidak-tegasan dan lain sebagainya (Ahmadi, 2009: 72). Bila kegelisahan
terjadi berlebih maka akan berdampak terhadap jasmani dan rohani. Jantung
100
akan berdebar lebih cepat sehingga menyebabkan pernapasan tidak teratur
kemudian akan keluar keringat yang berlebih. Sedangkan jiwa akan
terganggu bila terjadi kegelisahan yang berlebih dan dapat berpengaruh
terhadap pikiran (Danasary, 2015: kompasinana.com).
Kegelisahan merupakan perasaan manusiawi yang dapat dirasakan oleh
semua orang. Tidak ada satu pun manusia yang luput dari perasaan ini.
Kegelisahan dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah harapan
yang tidak tercapai, ancaman, takut terhadap dosa-dosa yang telah diperbuat,
takut terhadap hasil kerja, dan takut kehilangan (Abriansyah, 2012:
kompasiana.com). Hal demikian juga terjadi pada si Aku, yang merasakan
perpisahan sehingga membuatnya sedih dan gelisah. Takut kehilangan sang
kekasih yang dirasakan si Aku merupakan alasan utama kegelisahannya.
Penyair melalui si Aku mengungkapkan perasaan gelisah yang menyiksanya
melalui balutan metafora. Kegelisahan tersebut diibaratkan seperti pisau yang
dapat melukai dan mencacah. Pisau adalah belah besi tipis yang bertangkai
sebagai alat pengiris dan sebagainya (KBBI, 2008: 1451). Pisau dapat
melukai seseorang yang tidak hati-hati dalam menggunakannya, seperti
kegelisahan yang dapat membuat pikiran seseorang kalut jika tidak bisa
mengontrolnya dengan baik. Dalam hal inilah titik persamaan antara pisau
dengan kegelisahan yaitu keduanya sama-sama dapat membuat terluka. Pisau
merupakan salah satu jenis benda mati dan juga merupakan MM/V pada
metafora di atas, oleh karena itu metafora di atas termasuk jenis metafora
objek (object).
101
تسكنني وأي قلب بعد قليب (3 (15 :2010)جويدة,
(LT)
[Wa ayyu qalbin ba‘da qalbi> taskuni>n]
Di hati mana kau tinggal setelah hatiku
(Juwaidah, 2010: 15)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-qalbu’ sebagai ML/T dan ‘al-baitu’ sebagai MM/V yang pada
metafora di atas tidak disebutkan, namun diisyaratkan dengan salah satu verba
yang berkaitan dengan rumah yaitu ‘sakana’ (tinggal). Sedangkan qari>nah
pada metafora di atas berupa qari>nah ladziyyah. Karena jika digunakan
pemahaman makna harfiahnya maka akan terjadi kerancuan makna.
Hati adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap
sebagai tempat menyimpan perasaan-perasaan, pengertian-pengertian dan lain
sebagainya (KBBI, 2008: 514). Sebagai tempat penyimpanan, hati dalam puisi
LT diibaratkan seperti rumah. Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal
(KBBI, 2008: 1226) yang berfungsi sebagai tempat berlindung. Titik
persamaan di antara keduanya adalah sama-sama merupakan tempat
menyimpan sesuatu yang berharga, rumah adalah tempat untuk menyimpan
benda-benda berharga dan melindungi orang-orang terkasih, sedangkan hati
adalah tempat untuk menyimpan perasaan-perasaan berharga. Penyerupaan
serupa juga dilakukan oleh Moammar Emka (2011: 126) yang berbunyi
‘Rumah itu kamu. Semesta nyaman yang menjalar dan teduh yang berjajar.
Menguar rindu yang tak terbilang. Mengejar cinta tanpa tanda tanya,
berulang-ulang. Rumah itu hatimu’. Dalam metafora di atas si Aku secara
102
umum mengungkapkan pertanyaan atas keberadaan sang kekasih, dan secara
khusus bertanya mengenai seseorang yang telah mengasihi sang kekasih.
Rumah merupakan salah satu jenis benda dan juga merupakan MM/V pada
metafora di atas, oleh karena itu metafora di atas termasuk jenis metafora
benda mati (object).
7. Flora (Living)
Metafora Flora (living) adalah metafora yang berhubungan dengan seluruh
jenis-jenis tumbuhan (Haley dan Lunsford dalam Annas, 2013: 30). Salah satu
tanda adanya metafora ini adalah bahwa flora memiliki sifat tumbuh (Wahab,
1991:81). Berikut metafora flora (living) yang penulis temukan dalam puisi
LALN dan LT karya Farouk Juwaidah :
ما عدت أعرف .. (1 أين أنت اآلن يا قدري
أي احلدائق تزهرين؟ ويف (15 :2010)جويدة,
(LT)
[Ma> ‘udtu a‘rifu ..]
[Aina anti-la>n ya> qadari>]
[Wa fi> ayyil-chada>'iqi tuzhiri>n?]
Aku masih tidak tau ..
Dimana kau sekarang, wahai takdirku
Di taman mana kau berbunga?
(Juwaidah, 2010: 15)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-chabi>bah’ (kekasih) sebagai ML/T dan ‘az-zahrah’ (bunga)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun
103
diisyaratkan dengan salah satu sifat bunga, yaitu ‘tuzhiri>n’ (berbunga).
Qari>nah pada metafora di atas adalah qari>nah lafdziyyah. Karena kata-kata
pada metafora di atas jika dimaknai dengan makna harfiahnya akan terjadi
kerancuan makna.
Bunga adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok
warnanya dan harum baunya (KBBI, 2008: 235). Di masyarakat bunga
menjadi simbol kecantikan dan keindahan, dan tidak jarang menjadi simbol
kecantikan wanita. Pada metafora di atas sang kekasih diserupakan dengan
bunga, karena keduanya memiliki keindahan yang sama bagi si Aku.
Penyerupaan yang serupa juga dilakukan oleh Nizami Ganjavi (2010: 12)
dalam bukunya berjudul Layla Majnun yang menyerupakan pesona kecantikan
Layla dengan keindahan bunga.
Dalam puisi LT ini, si Aku tidak mengetahui keberadaan sang kekasih
yang sudah pergi meninggalkannya. Dalam mengungapkan pertanyaan,
penyair melalui si Aku membalutnya dengan metafora. Penyair menyerupakan
sang kekasih dengan bunga yang tumbuh di taman. Dia tidak mengetahui di
taman mana bunga yang dia sukai tumbuh dan berbunga, sebagaimana dia
tidak mengetahui tempat dimana sang kekasih menghabiskan umur dan
kebahagiaanya. Penyerupaan dengan salah satu jenis tumbuhan merupakan
alasan dalam mengkatagorikan metafora di atas sebagai salah satu jenis
metafora flora (living).
أي أرض.. يف (2 بني أحداق اجلداول تنبتني؟
(LT)
104
(15 :2010)جويدة,
[Fi ayyi ardhin ..]
[Baina achda>qil-jada>wili tanbuti>n?]
Di bumi mana ..
di antara pupil anak sungai kau
tumbuh?
(Juwaidah, 2010: 15)
Kutipan puisi di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘al-chabi>bah’ (kekasih) sebagai ML/T dan ‘an-nabtah’ (tumbuhan)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan dengan 2 (dua) hal yang berkaitan dengannya yaitu
‘tanbutu’ (tumbuh) dan ‘jada>wili’ (sungai). Qari>nah yang menghalangi
terhadap pemahaman makna harfiahnya pada metafora di atas berupa qari>nah
lafdziyyah. Karana jika digunakan pemahaman makna aslinya akan terjadi
kerancuan makna.
Sungai adalah aliran air yang besar dan bisanya merupakan buatan alam
(KBBI, 2008: 1390), sedangkan anak sungai adalah cabang dari sungai
(KBBI, 2008:59). Sungai merupakan sumber kehidupan bagi sebuah
pemukiman, sebagimana sungai Nil menjadi sumber kehidupan bagi
masyarakat Mesir, sehingga Mesir dijuluki sebagai hadiah sungai Nil
(Internet, 2016: id.wikipedia.com). Dengan adanya sumber air, masyarakat
dalam sebuah pemukiman akan dapat melangsungkan kehidupan mereka.
Dalam puisi LT sang kekasih diserupakan seperti tumbuhan yang hidup
disekitar anak sungai. Tumbuhan adalah sesuatu yang tumbuh dan merupakan
105
makhluk hidup berinti sel mengandung klorofil (KBBI, 2008: 1559). Titik
kesamaan di antara kedunya didasari pada perilaku sang kekasih yang
merupakan bagian dari sebuah masyarakat dan membutuhkan sumber air
untuk melangsungan kehidupan. Hal itu sama dengan tumbuhan yang
merupakan bagian dari makhluk hidup dan membutuhkan sumber air untuk
melangsungkan kehidupannya. Pada puisi ini si Aku tidak mengetahui
keberadaan tempat tinggal sang kekasih. Perpisahan telah membuatnya tidak
mengatahui kabar tentang sang kekasih, termasuk tentang tempat tinggalnya.
Kemudian dalam mengungkapkannya penyair melalui si Aku menggunakan
jalan memutar berupa metafora, karena jalan memutar merupakan watak
bahasa sastra (Laksana, 2015) yang dapat menambah nilai estetis sebuah karya
sastra. Penyerupaan terhadap tumbuhan merupakan alasan dalam
mengkatagorikan metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora flora
(living).
8. Fauna (Animate)
Metafora Animate adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk
organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang, dan lain sebagainya (Haley
dan Lunsford dalam Annas, 2013:30). Berikut metafora fauna (animate) yang
penulis temukan dalam puisi LALN dan LT karya Farouk Juwaidah :
وأرى على األفق البعيد (1حك املنقوش من عمرياجن
حيلق فوق أشرعة احلنني (18 :2010)جويدة,
(LT)
[Wa ara> ‘ala>l-ufuqil-ba‘i>di]
106
[Jana>chakil-manqu>sya min ‘umri>]
[Yuchalliqu fauqa asyri'atil-chani>n]
Dan aku melihat di atas kaki langit yang jauh
Sayap-sayapmu yang terukir dari umurku
Membumbung tinggi di atas layar-layar
kerinduan
(Juwaidah, 2010: 18)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-chabi>bah’ sebagai ML/T dan ‘ath-thairu’ (burung) sebagai
MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun diisyaratkan
dengan beberapa hal yang berkaitan dengan burung yaitu ‘jana>cha’ (sayap)
dan ‘yuchalliqu’ (membumbung tinggi). Sedangkan qari>nah pada metafora di
atas adalah qari>nah ladziyyah. Karena kata-kata pada metafora di atas jika
dimaknai dengan makna harfiahnya akan terjadi kerancuan makna. Kata
‘sayap’ sangat identik dengan burung, oleh karena itulah penulis menentukan
‘burung’ sebagai MM/V pada metafora di atas.
Sayap adalah bagian tubuh beberapa binatang seperti burung dan
sebagainya yang digunakan untuk terbang (KBBI, 2008: 1276). Dalam
metafora ini penulis memilih ‘burung’ sebagai MM/V karena pada baris syair
sebelumnya telah ditemukan kata ‘burung camar’. Pada metafora di atas sang
kekasih diserupakan seperti burung yang terbang menjauh dari si Aku.
Sayap burung terdiri dari tulang-tulang yang ringan dan otot-otot sehingga
burung dapat terbang lebih mudah. Otot-otot dalam sayap burung merupakan
otot terbesar yang berada dalam tubuh burung (Internet, 2016:
id.wikipedia.com). Namun dalam imajinasi penyair, burung yang merupakan
107
sang kekasih memiliki sayap yang terbuat dari umur si Aku. Umur adalah
lama untuk hidup sejak dilahirkan (KBBI, 2008: 1588). Umur merupakan
kehidupan seseorang, jika umur sudah tidak ada maka kehidupan seseorang
juga sudah tidak ada atau sudah meninggal. Akibat kesedihan mendalam yang
dia rasakan, si Aku menganggap umurnya telah pergi bersama kepergian sang
kekasih sehingga dia seperti merasakan kematian sebelum kematian yang
sebenarnya. Perasaan kehilangan tersebut akhirnya menciptakan kerinduan
akan kehadiran sang kekasih. Penyerupaan terhadap salah satu ciri sesekor
burung inilah yang menjadi dasar dalam mengkatagorikan metafora di atas
sebagai jenis metafora fauna (animate).
9. Manusia (Human)
Metafora manusia (human) adalah metafora yang berhubungan dengan
makhluk yang dapat berpikir dan berakal (Haley dan Lunsford dalam Annas,
2013: 30). Berikut metafora manusia (human) yang penulis temukan dalam
puisi LALN dan LT karya Farouk Juwaidah :
تلقى بنا اللحظات (1.... صخب الزحام يف
(2010:15)جويدة,
(LALN)
[Tulqi> bina>'l-lachazha>tu]
[Fi> shakhabi'z-zicha>m ….]
Kenangan itu menghampiri kita
Dalam kebisingan lalu lintas ….
(Juwaidah, 2010:15)
108
Kutipan diatas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-lachazha>tu’ (kenangan) sebagai ML/T dan ‘al-insa>n’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada kutipan puisi diatas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan salah satu sifat manusia yaitu ‘menghampiri dalam
kebisingan lalu lintas’. Kata 'al-lachazha>tu' (kenangan) merupakan qari>nah
yang menghalangi kepada pemahaman makna harfiahnya. Pertama, jika
digunakan pemahaman makna harfiahnya akan terjadi kerancuan makna,
kedua, kenangan adalah konsep abstrak yang tidak memiliki fisik sehingga
bisa menghampiri di keramaian jalan selayaknya manusia.
Kenangan adalah sesuatu yang membekas dalam ingatan (KBBI,
2008 :685), baik kenangan sedih maupun kenangan bahagia. Kenangan baik
dan buruk dalam kehidupan manusia akan terus tercipta seiring dengan
berjalannya waktu. Bagi si Aku kenangan bersama kekasihnya adalah
kenangan bahagia yang selalu ingin dia ulang setiap saat. Saat seseorang telah
berpisah dengan orang yang dikasihi, maka yang tersisa adalah kenangan
kebersamaan. Sebagaimana yang ditulis oleh Candra Malik (2014: 244)
dalam bukunya berjudul Cinta 1001 Rindu yang berbunyi ‘yang berdatangan
setelah perpisahan adalah kenangan tentang perjumpaan’. Sang kekasih
telah memberi si Aku kenangan indah yang sulit dia lupakan, sehingga
kenangan tentang sang kekasih dapat muncul tiba-tiba di waktu yang tidak
dia duga. Kemunculan kenangan secara tiba-tiba tersebut dalam psikologi
disebut dengan Involuntary memory. Involuntary memory adalah komponen
ingatan yang muncul secara tiba-tiba dan membangitkan kenangan masa lalu
109
tanpa adanya upaya sadar (Internet, 2016: id.wikipedia.com). Kemunculan
kenangan tersebut dalam puisi LALN diserupakan dengan seseorang yang
tiba-tiba mengahampiri dalam keramaian. Keramaian jalanan yang penuh
dengan manusia membuat si Aku tidak mengetahui bahwa seseorang akan
menghampirinya, dan seseorang tersebut diserupakan seperti kenangan.
Kenangan indah bersama sang kekasih telah membuat hidup si Aku bahagia
di masa lalu dan dia selalu ingin mengulang kenangan tersebut. Penyerupaan
dengan salah satu perilaku manusia adalah alasan dalam mengkatagorikan
metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora manusia (human).
مازلت أذكر عندما جاء الرحيل .. (2عيىن األرق وصاح يف
(2010:15)جويدة,
(LALN)
[Ma> ziltu adzkuru ‘indama> ja>'a'r-rachi>l]
[Wa sha>cha fi> ‘aini>l-'araq]
Masih ku ingat hari perpisahan itu
Insomnia membentak mataku
(Juwaidah, 2010: 15)
Kutipan diatas termasuk metafora kerena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-'araq’ (insomnia) sebagai ML/T dan ‘al-'insa>n’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada kutipan puisi diatas dihilangkan kemudian
diisyaratkan oleh salah satu sifat khas manusia yaitu berupa kata ‘sha>cha’
(membentak). Kata ‘sha>cha’ (membentak) merupakan qari>nah yang
menghalangi kepada makna yang harfiah, karena ‘insomnia’ bukanlah
makhluk hidup yang dapat berteriak seperti manusia.
110
Insomnia adalah keadaan tidak dapat tidur (KBBI, 2008: 558). Ada
beberapa penyebab insomnia, salah satunya adalah duka cita. Kesedihan atau
duka cita yang berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting dan
bernilai akhirnya mengakibatkan kecemasan dan penyesalan hingga insomnia
(Minderop, 2011: 44). Senada dengan Saputro (2015: kompasiana.com) yang
mengatakan bahwa kecemasan dan depresi merupakan salah satu faktor
penyebab insomnia. Insomnia dapat terjadi kepada siapapun, termasuk
kepada si Aku.
Dilihat dari maknanya, kata ‘insomnia’ merupakan konsep abstrak yang
tidak memiliki fisik dan akal seperti manusia. Tetapi dalam puisi LALN
insomnia diserupakan seperti manusia yang memiliki perilaku seperti
manusia yaitu dapat membentak. Kata ‘membentak’ berasal dari kata ‘bentak’
yang berarti memarahi dengan suara keras (KBBI, 2008: 178).
Si Aku mengalami insomnia karena mengingat kenangan perpisahan yang
menyakitkan. Perpisahan adalah hal yang menyakitkan dan tidak diinginkan
oleh semua orang. Perpisahan akan menyisakan kenangan pahit yang sulit
dilupakan. Sebagaimana kutipan dalam halaman sastra berjudul As-Syita>'
yang berbunyi :
الوداع ... يتطلب دقائق معدودة
(2015)الشتاء, عابه يتطلب عمرا بأكمالهيلكن است [al-wada>’u ...]
[Yatathallabu daqa>iqa ma’du>datin]
[Lakin isti’a>buhu yatathallabu ‘umran bi akma>lihi] Perpisahan …
Membutuhkan waktu yang singkat
111
Tetapi melupakannya membutuhkan waktu seumur hidup
(Asy-Syita>', 2015)
Saat mengingat kenangan perpisahan tersebut, kegelisahan dan gundah
gulana memenuhi hari-hari si Aku siang dan malam, sehingga si Aku
mengalami kesulitan tidur. Dalam mengungakan insomnia yang dialami si
Aku inilah diungkapkan oleh penyair melalui ungkapan metaforis, yaitu
dengan menyerupakan insomnia dengan manusia yang dapat membentak.
Penyerupaan terhadap salah satu sifat manusia inilah yang merupakan dasar
dalam mengkatagorikan metafora diatas sebagai jenis metafora manusia
(human).
وتعثّرت أنفاسنا بني الضلوع (3 (10 :2010)جويدة,
(LALN)
[Wa ta‘atstsarat anfa>suna> baina>'dh-dhulu>‘]
Dan napas kita tersandung di antara tulang rusuk
(Juwaidah, 2010: 10)
Kutipan puisi diatas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Anfa>suna>’ (napas kita) sebagai ML/T dan ‘al-insa>n’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada metafora diatas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan salah satu sifat khasnya yaitu ‘ta‘atstsara’ (tersandung).
Kata ta'atstsarat merupakan qari>nah yang menghalangi kepada makna
harfiahnya, karena napas merupakan objek yang tidak berwujud dan tidak
mungkin dapat tersandung seperti manusia.
Bagi setiap orang, perpisahan adalah hal menyakitkan, terlebih berpisah
dengan orang yang dicintai. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nizami
112
Ganjavi (2010: 23) saat mendeskripsikan keadaan Qasy setelah berpisah
dengan Layla yang berbunyi ‘wahai, kini pecinta yang berpisah jauh dari
kekasihnya itu, hidup dengan hati hancur dan tubuh binasa, seperti matahari
tertelah kegelapan, laksana Khosru tanpa singgasana, atau bagai orang buta
kehilangan tongkat. Berpisah dengan Layla membuat Qasy kehilangan
semangat, bahkan dia tidak mengenali dirinya sendiri’.
Begitu juga yang dirasakan oleh si Aku dan kekasihnya. Saat perpisahan
terjadi, tidak ada yang bisa dilakukan oleh selain bersedih. Kesedihan
berlebih dapat berdampak pada fisik, seperti mengalami nyeri dada, sesak
napas, dan rasa lelah akut (Prihantanto, 2015: kompasiana.com). Rasa sakit
perpisahan itu juga dirasakan oleh si Aku hingga berakibat pada sesak napas.
Dalam puisi LALN kesulitan bernapas tersebut diungkapkan oleh penyair
melalui si Aku dengan ungkapan metaforis yaitu, napas diserupakan dengan
manusia yang dapat tersandung. Demikianlah watak bahasa sastra yang lebih
memilih jalan memutar (Laksana, 2015). Pada umumnya manusia jatuh
tersandung oleh batu, dan akhirnya sulit melanjutkan perjalannya. Namun
dalam puisi LALN ini karena napas bukanlah manusia, maka melalui
imajinasi penyair napas bukan tersandung batu melainkan tulang rusuk.
Sehingga membuat proses pernapasan menjadi tidak lancar, dan akhirnya
menimbulkan kesulitan si Aku dalam bernapas. Penyerupaan dengan salah
satu sikap manusia inilah yang menjadi alasan dalam mengkatagorikan
metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora manusia (human).
جحيم املوج طفل صغري يف (4 (LALN)
113
رقحاصره الغ (11 :2010)جويدة,
[Thiflun shaghi>run fi> jachi>mil-mauji]
[Cha>sharahul-'gharaq]
Anak kecil dalam siksa gelombang
yang mengepungnya dan membuatnya tenggelam
(Juwaidah, 2010: 11)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-chubbu’ (cinta) sebagai ML/T yang pada metafora di atas tidak
disebutkan namun diisyaratkan dengan konteks puisi LALN dan ‘thiflun’
(anak kecil) sebagai MM/V. Qari>nah pada metafora di atas adalah qari>nah
cha>liyah yang hanya dapat dipahami dengan konteks kutipan tersebut.
Adapun Konteks metafora di atas yang dapat mendukung pemahaman makna
yang dimaksudkan adalah kekasih yang pergi meninggalkan pasangannya.
Tenggelam adalah masuk terbenam ke dalam air (KBBI, 2008: 1496).
Tenggelam memiliki konotasi yang negatif dan cenderung dianggap sebuah
bencana. Pada umumnya sesuatu yang tenggelam akan hilang, pada metafora
di atas perasaan cintalah yang akan menghilang. Hal demikian diserupakan
dengan seorang anak kecil yang terkepung oleh ombak dan akan membuatnya
tenggelam. Konteks puisi LALN merupakan alasan bagi penulis dalam
menjadikan kutipan di atas sebagai metafora, dan penyerupaan terhadap anak
kecil yang merupakan seorang manusia adalah dasar bagi penulis dalam
mengklasifikasikan metafora di atas sebagai metafora manusia (human).
على الطرقات واخلوف يلقيين (5 (LALN)
114
(12 :2010)جويدة,
[Wal-khaufu yulqi>ni> ‘ala>'th-thuruqa>t]
Dan ketakutan menemuiku di jalanan
(Juwaidah, 2010: 12)
Kutipan puisi di atas merupakan metafora karena mengandung unsur-
unsur metafora. ‘Al-khaufu’ (ketakutan) sebagai ML/T dan ‘al-insa>n’
(manusia) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan,
namun diisyaratkan dengan salah satu sifat manusia yaitu ‘yulqi>ni>’
(menemuiku). Kata ‘yulqi>ni>’ (menemuiku) merupakan qari>nah yang
menghalangi kepada pemaknaan makna harfiah. Hal itu dikarenakan
‘ketakutan’ merupakan konsep abstrak yang tidak dapat melakukan hal-hal
selayaknya manusia.
Takut adalah perasaan lemah atau tidak berani menghadapi suatu keadaan
(Ahmadi, 2009: 72). Rasa takut adalah self defense yang ada dalam otak
manusia agar hal buruk tidak terjadi, ini berasal dari asumsi dan masukan dari
luar yang secara tidak langsung mempengaruhi alam sadar agar menjauhi hal
tersebut (gapcer, 2012: galaucerdas.com).
Dalam puisi LALN Aku mengalami ketakutan. Dia takut kebahagiaan
bersama sang kekasih berakhir. Si Aku ingin selalu merasakan kebahagiaan
bersama sang kekasih. Tetapi kehidupan akan selalu berputar, kebahagiaan
akan berganti dengan kesedihan sebagimana siang akan berganti dengan
malam. Dalam mengungkapkan ketakutan tersebut penyair menggunakan
jalan memutar dengan memanfaatkan metafora. Jalan memutar merupakan
115
watak bahasa sastra yang digunakan untuk menambah nilai estetis sebuah
karya sastra (Laksana, 2015). Ketakutan diserupakan dengan manusia yang
dapat melintas di jalanan dan dapat menemui seseorang. Ketakutan adalah
konsep abstrak yang tidak dapat dihayati oleh indra manusia, ketakutan tidak
memiliki fisik sehingga dapat berjalan seperti manusia. Oleh karena itu
metafora di atas termasuk jenis metafora manusia (human), karena manusia
merupakan MM/V metafora di atas.
تتمايل األحال بني عيوننا (6 وتغيب يف صمت اللقا نبضايت
(12 :2010)جويدة,
(LALN)
[Tatama>yalul-achla>mu baina ‘uyu>nina>]
[Wa taghi>bu fi> shamti'l-liqa> nabdha>ti>]
Mimpi-mimpi di mata kita berjalan terhuyung-
huyung
Dan menghilang dalam kebisuan detak
jantungku
(Juwaidah, 2010: 12)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-Achla>mu’ (mimpi) sebagai ML/T dan ‘al-insa>n’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan salah satu sifat menusia yaitu ‘tatama>yalu’ (terhuyun-
huyun). Qari>nah yang menghalangi kepada pemahaman makna harfiahnya
pada metafora di atas berupa qari>nah lafdziyyah. Karena, pertama, jika
digunakan pemahaman makna harfiah akan terjadi kerancuan makna. Kedua,
116
mimpi adalah konsep abstrak yang tidak memiliki fisik dan dapat berjalan
terhuyung-huyung selayaknya manusia.
Mimpi adalah angan-angan atau khayalan (KBBI, 2008: 957). Setiap orang
memiliki mimpi, mimpi memiliki karir yang sukes, memiliki rumah mewah,
termasuk memiliki kehidupan bahagia bersama orang yang dicintai. Tidak
semua mimpi setiap orang tercapai, adakalanya Tuhan mengabulkan mimpi
seseorang bukan berdasarkan apa yang dia inginkan, tetapi bedasarkan apa
yang dia butuhkan. Menurut Kartono (dalam Istirohah, 2015:5) dalam ilmu
kesehatan mental, menyebutkan bahwa seseorang bisa dikatakan frustasi
apabila seseorang mengalami suatu keadaan, dimana suatu kebutuhan tidak
bisa terpenuhi, dan tujuan tidak bisa tercapai, sehingga orang menjadi
kecewa.
Si Aku salah satunya, dia bermimpi memiliki kehidupan bahagia bersama
sang kekasih, diliputi rasa cinta tanpa adanya perpisahan. Tetapi mimpi-
mimpi itu seolah sulit menjadi kenyataan, saat keduanya berpisah. Dalam
mengungkapkannya pernyair menyerupakan mimpi dengan manusia yang
tidak bisa berjalan tegap penuh keyakinan, dia berjalan ke kanan dan ke kiri,
dan akhirnya terjatuh. Hal demikian sama dengan mimpi si Aku yang dalam
mencapainya dipenuhi keraguan dan akhirnya gagal tercapai. Salah satu sikap
manusia yang dapat berjalan ke kanan dan ke kiri merupakan titik persamaan
antara mimpi pada metafora di atas dengan manusia. Oleh karena itu metafora
di atas termasuk metafora human.
(LALN) والليل سكري يعانق كأسه (7
117
ويطوف منتشيا على احلانات (12 :2010)جويدة,
[Wa'l-lailu sikki>run yu‘a<niqu ka'sahu]
[Wa yathu>fu muntasyian ‘ala>l-cha>na>ti]
Malam mabuk yang memeluk gelasnya
Berputar sempoyongan di atas bar
(Juwaidah, 2010: 12)
Kutipan di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-Lailu’ (malam) sebagai ML/T dan ‘al-insa>n’ (manusia) sebagai
MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun diisyaratkan
dengan salah satu perilaku manusia yaitu ‘sikki>run’ (mabuk). Qari>nah yang
menghalangi kepada pemahaman makna harfiahnya pada metafora di atas
berupa qari>nah lafdziyyah. Karena jika digunakan pemahaman makna harfiah
akan terjadi kerancuan makna.
Mabuk adalah berasa pening atau hilang kesadaran karena terlalu banyak
minum-minuman keras (KBBI, 2008: 890). Pada umumnya orang
memutuskan meminum minuman keras untuk melarikan diri dari masalah
yang sulit, stress, dan persoalan hidup lainnya, meskipun perasaan bahagia itu
hanya sesaat (Arafah, 2010: beautifuldawn-lina.blogspot.co.id). Keadaan ini
hanya bisa terjadi pada manusia, akan tetapi dalam puisi LALN keadaan
tersebut dapat terjadi kepada selain manusia yang tidak memiliki perasaan
maupun akal. Seperti inilah licentia poetica itu bekerja, penyair bebas
mengekspresikan imajinasinya tanpa perlu khawatir atas penyimpangan
norma tertentu.
118
Dalam puisi LALN, malam diserupakan seperti manusia yang dapat pergi
ke bar dan mabuk karena pengaruh minuman keras. Hal demikian terjadi
karena malam diserupakan seperti manusia yang ikut bersedih atas kesedihan
si Aku yang kehilangan mimpi-mipi indah bersama kekasihnya. Kesedihan
mendalam si Aku menjadikannya berkhayal bahwa keadaan di sekitarnya
juga ikut merasakan sedih, termasuk malam. Penyerupaan malam dengan
salah satu sikap manusia inilah yang menjadi alasan dalam mengelompokkan
metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora manusia (human).
العيون بريقه والضوء يسكب يف (8 خجل على الشرفات ويهيم يف
(13 :2010)جويدة,
(LALN)
[Wa'dh-dhau'u yaskubu fi>l-‘uyu>ni bari>qahu]
[Wa yahi>mu fi> khajalin ‘ala>'sy-syurafa>ti]
Cahaya menuangkan sinarnya di mata
Mengangguk malu di atas balkon
(Juwaidah, 2010: 13)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Adh-Dhau'u’ (cahaya) sebagai ML/T dan ‘al-insa>nu’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan salah satu perilaku manusia yaitu ‘yaskubu’
(menuangkan) dan ‘yahi>mu’ (mengangguk). Qari>nah yang menghalangi
kepada pemahaman makna harfiahnya adalah berupa qari>nah lafzdiyyah.
Karena kata-kata pada metafora di atas jika dimaknai dengan makna
harfiahnya akan terjadi kerancuan makna.
119
Cahaya adalah sinar atau terang dari sesuatu yang bersinar seperti
matahari, bulan, dan lampu (KBBI, 2008: 251). Kekuatan cahaya terletak di
sinarnya.Sinar adalah pancaran terang atau cahaya (KBBI, 2008: 1353).
Tidak ada cahaya yang tidak memiliki sinar, karena sinar adalah pancaran
dari cahaya. Cahaya bermanfaat dalam kehidupan manusia, salah satunya
dalam proses melihat.
Pada metafora di atas proses melihat tersebut diserupakan seperti
seseorang yang menuangkan sesuatu. Menuang berasal dari kata dasar 'tuang'
yang berarti curah atau tumpah tentang benda cair, sedangkan 'menuang'
adalah mencurahkan atau mengisikan benda cair ke dalam cangkir, mangkuk
atau lain sebagainya (KBBI, 2008: 1550). Cahaya diibaratkan memberikan
sinarnya kepada mata manusia agar mereka dapat melihat, hingga cahaya
diibaratkan kehabisan sinarnya dan membuat dirinya tidak lagi memiliki
sinar. Hal demikian terjadi karena cahaya seolah ikut bersedih atas kesedihan
si Aku yang kehilangan mimpi-mimpi indah bersama kekasihnya.
Penyerupaan dengan salah satu sifat manusia inilah yang merupakan alasan
dalam mengklasifikasikan metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora
manusia (human).
الظالم دموعنا كنا نعانق يف (9 والدرب منفطر من العربات
(13 :2010)جويدة,
(LALN)
[Kunna nu‘a>niqu fi>'dh-dhala>mi dumu>‘ana>]
[Wa'd-darbu munfathirun minal-‘abara>ti]
Tatkala kita saling memeluk air mata kita dalam
120
kegelapan
Jalanan terbelah dari air mata
(Juwaidah, 2010: 13)
Kutipan syair di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Dumu‘ana’ (air mata kita) sebagai ML/T dan ‘al-chabi>bah’
(kekasih) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan kata ‘nu‘a>niqu’ (saling memeluk). Qari>nah yang
menghalangi kepada pemahaman makna harfiahnya pada metafora di atas
berupa qari>nah lafdziyyah. Karena jika digunakan pemahaman makna harfiah
akan terjadi kerancuan makna.
Metafora di atas mengungkapkan tentang kesedihan yang dialami oleh si
Aku dan kekasihnya. Kesedihan tersebut akhirnya membuat hubungan
keduanya kandas. Penyair dalam mengungkapkan bahwa si Aku dan
kekasihnya sedang bersedih tidak menggunakan bahasa yang mudah
dipahami, melainkan dengan menggunakan jalan memutar. Jalan memutar
inilah yang merupakan watak bahasa sastra. Dalam sebuah artikel di surat
kabar Jawa Pos yang di tulis oleh A.S. Laksana (2015) dikatakan bahwa
kekuatan karya sastra terlihat dari pengungkapan sesuatu secara tidak lurus
dan tidak langsung. Sebagaimana Farouk dalam mengungkapkan makna syair
di atas tidak secara langsung, melainkan menggunkan metafora, yaitu
menyerupakan air mata dengan kekasih.
Air mata adalah air yang keluar dari mata saat menangis (KBBI, 2008: 22).
Air mata juga merupakan salah satu indikasi seseorang sedang dalam keadaan
bersedih. Faktanya air mata adalah benda mati yang tidak dapat dipeluk, dan
121
pada umumnya sesuatu yang dipeluk adalah orang dikasihi. Sebagaimana
yang ditulis oleh Bararah (2015: health.detik.com) bahwa berpelukan dengan
orang yang dicintai akan membuat seseorang menjadi lebih baik dari pada
berpelukan dengan orang lain, oleh karena itulah penulis menentukan
‘kekasih’ sebagai MM/V pada metafora di atas. Penyerupaan air mata dengan
salah satu ciri khas manusia merupakan alasan dalam mengkatagorikan
metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora manusia (human).
والوقت يرتع .. والدقائق ختتفي (10 فنطارد اللحظات .. باللحظات ..
(13 :2010)جويدة,
(LALN)
[Wal-waqtu yarta‘u .. wa'd-daqa>'iqu takhtafi>]
[Fa nutha>ridu'l-lachazha>ti .. bi'l-lachazha>ti]
Kala waktu bersenang senang .. sementara
menit menghilang
Maka kita memburu kenangan demi kenangan
(Juwaidah, 2010: 13)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-waqtu’ (waktu) ‘ad-daq>iqu’ (detik) sebagai ML/T dan ‘al-
insa>nu’ (manusia) sebagai MM/V yang pada metafora diatas tidak disebutkan,
namun diisyaratkan dengan salah satu sifat manusia yaitu ‘yarta‘u’
(bersenang-senang) dan ‘takhtafi>’ (bersembunyi). Kata ‘al-waqtu’ (waktu)
dan ‘ad-daqa>iqu’ (detik) merupakan qari>nah dalam metafora tersebut yang
menghalangi kepada pemahaman makna harfiahnya. Karena, pertama, jika
digunakan pemahaman makna harfiah maka makna akan menjadi rancu.
122
Kedua, ‘waktu’ dan ‘menit’ merupakan konsep abstrak yang tidak bisa
bersenang-senang dan menghilang seperti manusia.
Waktu adalah kehidupan. Waktu merupakan seluruh rangkaian saat ketika
proses; perbuatan keadaan berada atau berlangsung (KBBI, 2008: 1614).
Waktu akan tetap berjalan, sebagimana dalam kalimat mutiara arab terkenal
berikut :
الوقت كالسيف إن مل تقطعه قطعك[Al-waqtu ka’s-saifi in lam taqtha’uhu qatha’aka]
Waktu seperti pedang, jika kamu tidak bisa memotongnya maka waktu
akan memotongmu
Waktu juga merupakan bagian dari struktur dasar alam semesta, tanpa
waktu tidak akan ada kehidupan, tidak akan ada peristiwa-peristiwa, dan tidak
akan ada kenangan. Dalam puisi LALN, waktu diserupakan seperti manusia,
yang lalai terhadap tugasnya. Tugas waktu adalah terus berjalan, akan tetapi
dalam puisi LALN waktu seperti manusia yang dapat melalaikan tugasnya,
pergi bersenang-senang dan menghilang. Oleh karena itu kehidupan pun ikut
berhenti dan tidak lagi terjadi peristiwa-peristiwa baru dalam kehidupan.
Dalam imajinasi penyair, waktu berhenti karena si Aku sudah tidak lagi
bersama kekasihnya. Bagi si Aku hidup tidak akan berarti tanpa sang kekasih
dan hidup tanpanya seperti menghadapi kematian. Kemudian saat semua
peristiwa baru yang menyakitkan sudah tidak bisa lagi terjadi, si Aku mulai
mengingat-ngingat peristiwa-peristiwa masa lalu yang indah bersama
kekasihnya. Dia hanya ingin memiliki kenangan indah masa lalu tanpa
memiliki kenangan pahit di masa sekarang. Menghilang dan bersenang-
123
senang adalah salah satu sikap manusia, oleh karena itu metafora di atas
termasuk jenis metafora manusia (human).
أنا مل أزل فوق الشواطئ (11 أرقب األمواج أحيانا
حنني العاشقني يراودين (16 :2010)جويدة,
(LT)
[Ana> lam azal fauqa'sy-syawa>thi'i]
[Arqubul-amwa>ja achya>nan]
[Yura>widuni> chani>nul-‘a>syiqi>n]
Aku masih berada di tepi pantai
Aku memperhatikan ombak terkadang
Kerinduan kekasih merayuku
(Juwaidah, 2010:16)
Kutipan syair di atas termasuk metafora, karena memiliki unsur-unsur
metafora. ‘Chani>nul-‘a>syiqi>n’ (kerinduan kekasih) sebagai ML/T dan ‘al-
insa>nu’ (manusia) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan
namun diisyaratkan dengan salah satu sikap manusia yaitu‘yura>widu’
(merayu). Frasa ‘Chani>nul-‘a>syiqi>n’ (kerinduan kekasih) merupakan qari>nah
pada metafora di atas yang menghalangi kepada pemahaman makna
harfiahnya dan dapat disebut sebagai qari>nah lafdziyyah.
Rindu adalah perasaan ingin dan berharap terhadap sesuatu (KBBI, 2008:
1210). Rindu merupakan perasaan manusiawi yang dapat dirasakan oleh
setiap orang. Perasaan ini muncul setelah adanya perpisahan yang akhirnya
menciptakan perasaan kehilangan, sebagaimana yang ditulis oleh Candra
Malik (2014: 39) berbunyi ‘bukankah kerinduan justru tiada jika tanpa
124
perpisahan?’. Selain itu rindu juga muncul dari kenangan-kenangan indah di
masa lalu, sebagimana yang ditulis oleh Mahmoud Darwish (2006: 123)
dalam bukunya berjudul Fi> Chadhratil-ghiya>b yang berbunyi :
ة مجيلةثهكذا يولد احلنني من كل حاد وال يولد من جرح
[Hakadza yu>ladul-chani>nu min kulli cha>distin jami>latin]
[Wa la> yu>ladu min jarchin]
Seperti inilah rindu itu lahir dari setiap kenangan indah
Bukan terlahir dari luka
Rindu juga dirasakan oleh si Aku setelah berpisah dengan sang kekasih.
Kenangan-kenangan indah yang dimiliki si Aku dengan sang kekasih di masa
lalu menciptakan kerinduan mendalam bagi si Aku. Kerinduan tersebut dalam
puisi TL diserupakan seperti seseorang yang dapat merayu. Merayu adalah
membujuk atau memikat dengan kata-kata manis (KBBI, 2008: 1178). Si Aku
tidak mengiginkan adanya rindu karena merindukan sesuatu secara berlebihan
akan menyebabkan kegelisahan yang sulit hilang (Al-Qarni, 2012: 294).
Akan tetapi kerinduan seperti manusia yang tetap merayu. Salah satu sikap
manusia tersebut pada metafora di atas merupakan titik kesamaannya, oleh
karena itu metafora di atas termasuk metafora manusia (human).
موكب األحالم ماتبقى يف (12 من رماد عهودنا ..
أشالئها ترتحنني فأراك يف (16 :2010)جويدة,
(LT)
[Fi> maukibil-achla>mi almachu ma> tabaqqa>]
[Min rama>di ‘uhu>dina>]
[Fa ara>ki fi> asyla>'iha> tatarannachi>n]
125
Di pawai mimpi-mimpi aku melihat sekilas apa
yang tersisa
Dari keabu-abuan janji-janji kita ..
Maka dibagian-bagiannya aku melihatmu
berjalan sempoyongan
(Juwaidah, 2010: 16)
Kutipan syair di atas termasuk metafora karena mengandung unsur-usnur
metafora. ‘‘Uhu>dina>’ (janji-janji kita) sebagai ML/T dan ‘al-insa>n’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun
diisyaratkan dengan salah satu ciri khas manusia yaitu pada kata ‘asyla>'un’
yang berarti bagian-bagian tubuh (Munawwir, 1997:738). Qari>nah pada
metafora di atas berupa qari>nah lafdziyyah yang menghalangi kepada
pemahaman makna harfiahnya. Karena, pertama, jika digunakan pemahaman
makna harfiah akan terjadi kerancuan makna. Kedua, janji merupakan konsep
abstrak yang tidak memiliki bagian-bagian tubuh selayaknya manusia.
Janji adalah persetujuan antara kedua pihak dan masing-masing
menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu (KBBI, 2008: 579). Janji dapat terjadi kepada siapapun, termasuk
kepada sepasang kekasih. Setiap pasangan pasti memiliki janji-janji indah
dalam hubungan mereka. Memegang janji sama dengan mempertahankan
hubungan keduanya, jika janji sudah tidak ada maka hubungan antara
keduanya pun juga akan dianggap tidak ada. Hal demikian terjadi dalam kisah
si Aku, keduanya tidak bisa mempertahankan janjinya, sehingga hubungan
asmara mereka berakhir. Tetapi dibalik kegagalan janji tersebut, si Aku masih
memiliki harapan bahwa keksihnya akan kembali. Janji adalah konsep abstrak
126
yang pada metafora diatas diserupakan dengan salah satu ciri manusia, yaitu
memiliki bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu metafora di atas termasuk
jenis metafora manusia (human).
من صمت احلقائب مل يبق (13 والكئوس الفارغات سوى األنني
(17 :2010)جويدة,
(LT)
[Lam yabqa min shamtil-chaqa>'ibi]
[Wal-ku'u>sil-fa>righa>ti siwa>l-ani>n]
Tidak ada yang tersisa dari kebisuan tas-tas itu
Dan gelas-gelas kosong itu selain rintihan
(Juwaidah, 2010: 17)
Kutipan di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Al-Chaqa>ibi’ (tas-tas) ‘ku'u>sil-fa>righa>ti’ (gelas-gelas kosong)
sebagai ML/T dan ‘al-insa>nu’ (manusia) sebagai ML/V yang pada metafora
di atas tidak disebutkan, namun diisyaratkan dengan salah satu perilaku
manusia yaitu ‘ani>n’ (rintihan). Sedangkan qari>nah yang menghalangi kepada
pemahaman makna harfiahnya pada metafora di atas berupa qari>nah
lafdziyyah. Karena, pertama, jika digunakan pemahaman makna harfiah akan
terjadi kerancuan makna. Kedua, benda-benda mati seperti tas dan gelas
adalah benda mati yang tidak bisa merasakan sakit dan merintih seperti
manusia.
Rintihan adalah pertanda bahwa seseorang sedang sakit. Kata ‘merintih’
berasal dari kata dasar ‘rintih’ yang berarti mengerang karena sakit (KBBI,
2008: 1212). Pada umumnya manusialah yang merintih karena merasakan
127
sakit. Tetapi pada metafora di atas benda-benda mati pun juga dapat
melakukannya. Berdasarkan imajinasi penyair, tas-tas dan gelas-gelas
merintih karena merasakan sakit, rasa sakit tersebut ada lantaran ikut
merasakan rasa sakit si Aku yang kehilangan sang kekasih. Tas-tas yang pada
kesehariannya menemani si Aku dan sang kekasih pergi bertamasya dan
gelas-gelas yang juga pada kesehariannya menemani si Aku dan sang kekasih
makan bersama, sekarang hanya terdiam tanpa kegiatan yang biasa mereka
lakukan. Titik persamaan di antara keduanya terletak pada perilakunya, yaitu
perilaku manusia yang dapat merintih. Oleh sebab itu metafora di atas
termasuk jenis metafora manusia (human).
من ضوء النوافذ مل يبق (14 غري أطياف تعانق هلفيت
وتعيد ذكرى الراحلني (17 :2010)جويدة,
(LT)
[Lam yabqa min dhau'i'n-nawa>fidzi]
[Ghairu athya>fin tu‘a>niqu lahfati>]
[Wa tu’i>du dzikrar’r-ra>chilin]
Tidak ada yang tersisa dari cahaya di jendela
Selain khayalan yang memeluk kesedihanku
Dan membawa kembali kenangan-kenangan orang
yang telah pergi
(Juwaidah, 2010: 17)
Kutipan syair di atas termasuk metafora, karena mengandung unsur-unsur
metafora. ‘Athya>fin’ (khayalan) sebagai ML/T dan ‘al-insa>nu’ (manusia)
sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan, namun
diisyaratkan dengan salah satu perilaku manusia yaitu ‘tu‘a>niqu’ (memeluk).
128
Qari>nah metafora di atas berupa qari>nah lafdziyyah yang menghalangi
kepada pemahaman maknaharfiahnya. Karena, pertama, jika digunakan
pemahaman makna harfiah akan terjadi kerancuan makna. Kedua, khayalan
adalah konsep abstrak yang tidak bisa dihayati oleh indra manusia,dan juga
bukan benda atau makhluk hidup yang memiliki fisik dan dapat memeluk
seperti manusia.
Khayalan adalah angan-angan (KBBI, 2008: 718). Dalam ilmu psikologi
khayalan didefinisikan sebagai kekuatan jiwa untuk menciptakan tanggapan
baru dalam jiwa manusia dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang
telah dimiliki (Ahmadi, 2009: 47). Seseorang yang terlalu sering berkhayal
akan berpotensi tidak bahagia, karena seseorang akan jauh merasa lebih
bahagia pada saat dia mampu menerima kondisi yang tengah berlangsung
pada masa yang sedang dijalani (Internet, 2016: doktersehat.com).
Pada puisi LT si Aku tidak bahagia karena khayalan-khayalan yang dia
ciptakan dalam kepalanya memunculkan kenangan-kenangan masa lalu
bersama sang kekasih dan dia tahu bahwa khayalan-khayalan tersebut tidak
akan menjadi kenyataan. Dalam mengungkapkan hal tersebut penyair
menggunaan ungkapan metaforis, yaitu menyerupakan khayalan dengan
seorang manusia yang dapat memeluk. Memeluk adalah meraih seseorang ke
dalam dekapan kedua tangan yang dilingkarkan (KBBI, 2008: 1137). Pada
umumnya kegiatan memeluk dilakukan antara satu orang kepada orang lain.
Akan tetapi dalam imajinasi penyair hal ini dapat terjadi antara sesuatu yang
bukan manusia, bahkan konsep abstrak yang tidak memiliki fisik, yaitu
129
khayalan diibaratkan memeluk kesedihan. Keleluasaan penyair ini disebut
dengan licentia poetica. Licentia poetica adalah kebebasan penyair untuk
‘menyimpang’ dari hukum tata bahasa secara formal dalam rangka
mengemukakan perasaan sebebas-bebasnya dengan sendirinya untuk
memperoleh nilai estetis secara maksimal. Licentia poetica justru merupakan
ketrampilan berbahasa (Ratna, 2011:452). Penyerupaan ‘khayalan’ dengan
salah satu perilaku manusia inilah yang menjadi alasan dalam
mengkatagorikan metafora di atas sebagai metafora manusia (human).
من صوت النوارس مل يبق (15 غري أصداء تبعثرها الرياح فتنزوى
احلزين أسفا على املاضي (18 :2010)جويدة,
(LT)
[Lam yabqa min shauti'n-nawa>risi]
[Ghaira ashda>'in tuba‘tsiruha>'r-riya>ch
fatanzawi>]
[Asafan ‘ala>l-madhi>l-chazi>n ..]
Tidak ada yang tersisa dari suara burung camar
Selain gema yang dikacaukan oleh angin lalu ia
menyendiri
Menyesali masa lalu yang menyedihkan
(Juwaidah, 2010:18)
Potongan puisi di atas termasuk metafora karena memiliki unsur-unsur
metafora. ‘Shauti'n-nawa>risi’ (suara burung camar) sebagai ML/T dan ‘al-
ins>nu’ (manusia) sebagai MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan,
namun diisyaratkan dengan salah satu perilaku manusia yaitu menyendiri dan
menyesali masa lalu. Qari>nah yang menghalangi pembaca dalam memahami
130
makna harfiah pada metafora di atas berupa qari>nah lafdziyyah. Karena
pertama, jika dipahami dengan makna harfiah akan terjadi kerancuan makna.
Kedua, gema adalah bunyi suara pantulan yang tidak memiliki fisik,
perasaan, dan akal sehingga tidak dapat bersedih layaknya manusia.
Gema adalah bunyi atau suara yang memantul (KBBI, 2008: 457). Gema
diterima oleh pendengar beberapa saat setelah bunyi langsung (Internet, 2016:
id.wikipwdia.org). Setiap suara dapat menghasilkan gema jika suara tersebut
memantul, termasuk suara burung camar. Gema pada puisi LT merupakan
gema suara burung camar. Faktanya, gema hanya dapat dihayati oleh indra
pendengaran manusia. Gema merupakan suara yang tidak memiliki fisik
maupun perasaan seperti manusia. Tetapi dengan menggunakan hak licentia
poetica, penyair melalui imajinasinya menyerupakan gema seperti manusia
yang dapat bersedih. Kesedihan tersebut terjadi karena gema turut bersedih
bersama si Aku yang kehilangan sang kekasih. Penyerupaan gema dengan
salah satu sifat manusia yaitu bersedih merupakan alasan dalam
mengkatagorikan metafora di atas sebagai salah satu jenis metafora manusia
(human).
العام يهرب من يدى.. (16الشوارع ما زال جيرى يف
زحام الناس منكسر اجلبني يف 19 :2010)جويدة, )
(LT)
[Al-‘a>mu yahrubu> min yadi> ..]
[Ma> zala> yajri> fi>'sy-syawa>ri‘i]
[Fi> zicha>mi'n-na>si munkasiral-jabi>n]
131
Tahun melarikan diri dari tanganku
Ia masih berlari di jalanan
Di keramaian orang-orang dengan dahi yang
terluka
(Juwaidah, 2010: 19)
Kutipan syair di atas termasuk metafora karena memiliki unsur-unsur
metafora. ‘Al-‘a>mu’ (tahun) sebagai ML/T dan ‘al-ins>nu’ (manusia) sebagai
MM/V yang pada metafora di atas tidak disebutkan namun diisyaratkan
dengan salah satu perilaku manusia, yaitu ‘yajri> fi>'sy-syawa>ri‘i’ (berlari di
jalanan). Qari>nah pada metafora di atas adalah qari>nah lafdziyyah yang
menghalangi kepada pemahaman makna harfiahnya. Karena, pertama, jika
dipahami dengan makna harfiah maka akan terjadi kerancuan makna. Kedua,
'tahun' adalah konsep abstrak yang yang tidak memiliki fisik dan dapat berlari
dengan dahi terluka selayaknya manusia.
Tahun adalah bilangan yang menyatakan tarikh (KBBI, 2008: 1414).
Tahun berkaitan erat dengan watu. Tahun merupakan konsep abstrak yang
menandai lamanya waktu berjalan. Manusia dapat mengetahui usianya
dengan cara menghitung tahun yang telah dia lewati. Tahun harus terus
berjalan, karena tahun adalah bentuk lain dari waktu. Jika tidak ada waktu
maka tidak akan ada kehidupan. Pada metafora di atas tahun diserupakan
dengan manusia yang memiliki perilaku ‘dapat melarikan diri’, ‘dapat berlari
di keramaian’ dan ‘memiliki dahi yang terluka’. Pada umumnya perilaku
tersebut hanya dimiliki oleh manusia, namun berdasarkan imajinasi penyair
132
hal demikian dapat berlaku untuk selain manusia, bahkan untuk konsep
abstrak yang tidak memiliki fisik.
Bagi si Aku, kehidupannya tidak berarti setelah kehilangan sang kekasih.
Sebagimana Qasy yang hati dan hidupnya hancur setelah kehilangan Layla,
bahkan dia tidak lagi mengenali dirinya sendiri (Ganjavi, 2010: 23). Akibat
kesedihan mendalam si Aku seperti merasakan kematian. Sebagaimana kisah
Romeo dan Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare, karena tidak bisa
menanggung rasa kehilangan setelah kematian Juliet, akhirnya Romeo bunuh
diri, demikian juga dengan Juliet. Karena kesedihan mendalam, si Aku
menganggap dirinya seperti menghadapi kematian dan waktu telah berhenti
setelah dia kehilangan kekasih. Akibatnya tahun dalam kehidupan si Aku
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kemudian seperti manusia, tahun
melarikan diri dari kehidupan si Aku dengan keadaan terluka. Tahun adalah
konsep abstrak yang pada metafora diatas diserupakan memiliki perilaku
manusia, oleh sebab itu metafora di atas termasuk jenis metafora manusia
(human).