bab i pendahuluan a. latar belakang alat bukti berupa...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat baik dari sisi perbuatan
hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya, yang mana salah satu
fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam kehidupan
bermasyarakat. Demi tercapainya alat bukti berupa surat tersebut dibutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau
perbuatan hukum, hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa
notaris, dimana penjelasan mengenai Notaris adalah pejabat yang diangkat oleh
pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan dokumen-dokumen
legal yang sah. Apabila dikaitkan dengan sektor pelayanan jasa, peran Notaris
dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh
negara untuk melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya
pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, (selanjutnya
disingkat dengan UUJN) : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini”.
Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa,
atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu, dan
2
bahwa Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat. Pada Pasal 16 disebutkan pula bahwa
dalam menjalankan jabatannya, seorang Notaris wajib untuk “bertindak
amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
terkait dalam perbuatan hukum”. Seorang Notaris wajib untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
kecuali ada alasan untuk menolaknya.1
Sebagai pejabat umum, seorang Notaris harus memegang teguh
prinsip kehati-hatian, oleh sebab pertanggungjawaban seorang Notaris terhadap
akta yang dibuatnya adalah seumur hidup. Dalam membuat akta otentik
Notaris harus mendahulukan prinsip kehati-hatian utamanya akta mengenai
perjanjian, sebab akta mengenai perjanjian umumnya mempunyai konsekuensi
hukum apabila terjadi wanprestasi (melanggar kesepakatan) oleh para pihak. Akta
sebagai produk yang dibuat oleh Notaris merupakan alat bukti yang sempurna
sesuai dengan asas Presumtio Justea Causa dimana demi kepastian hukum, akta
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat harus dianggap benar dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebelum dibuktikan sebaliknya.
Pada dasarnya sikap kehati-hatian Notaris/PPAT dalam menjalankan
jabatannya berawal dari perbedaaan dan ketidaksamaan kepentingan diantara para
pihak. Dalam hal ini Notaris/PPAT sebagai pihak yang netral hanya sebagai
pejabat pembuat akta yang membingkai dengan perangkat hukum untuk mengikat
1Wawan Setiawan. Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik.
(Jakarta, 2004). hlm. 25.
3
para pihak, sehingga tercapainya perjanjian dari sisi kepastian dan keadilan
diantara para pihak terakomodasi melalui hubungan perjanjian yang bekerja
secara seimbang. Kemudian dari beberapa kasus yang sering menjerat Profesi
Notaris/PPAT adalah contoh Kasus Rosidah, SH. Notaris SIdoarjo, membantu
mengeluarkan Ikatan Jual Beli dan Akte Jual Beli, Tanah Kas Desa (TKD) di
Perumahan Renojoyo Desa Kedungsolo Kecamatan Porong, Sidoarjo. Rosidah
ditetapkan sebagai tersangka karena aktif dan terlibat langsung dalam relokasi dan
pembebasan lahan itu.2 Kemudian Penggelapan yang dilakukan Oleh Luluk
Wafiroh, SH. SPN. Notaris/PPAT Kota Malang terindikasi menggelapkan dana
hasil panen client dan penggelapan uang milik ahli Waris Client nya.3
Akta notariil yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris memiliki
pembuktian formil maupun pembuktian materiil yang mengharuskan Notaris
untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam suatu perjanjian, salah satu
contoh perjanjian yang harus menegakkan prinsip kehati-hatian adalah perjanjian
dalam pemberian kredit perbankan.4
Perjanjian merupakan peristilahan terjemahan dari kata overeenkomst
(Belanda) atau Agreement (Inggris)5. Kontrak pada dasarnya dibuat berdasarkan
kebebasan berkontrak. Setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian
2https://sidoarjo.memo-x.com/2668/notaris-rosidah-dikirim-ke-lapas-medaeng.html 3Putusan PN MALANG Nomor 632/Pid.B/2013/PN Mlg Tahun 2014
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/e8c6d5e6f74e7b68650f8622dbbba6c1 4Dimas Fakhrul Harianto. Peranan Notaris dalam Perjanjian Kredit Guna Memenuhi
Prinsip Kehati-hatian Perbankan, http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/06/01/peranan-notaris-dalam-perjanjian-kredit-guna-memenuhi-prinsip-kehati-hatian-perbankan/, diakses 4 April 2017 Pukul 22.19 WIB.
5Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. (Jakarta, 1993). hlm. 158.
4
baik dari segi bentuk maupun muatan. Kebebasan berkontrak dapat disimpulkan
dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan, bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2)
mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu
tertulis atau lisan.
Hukum Kontrak/Perjanjian di Indonesia mempergunakan sistem terbuka,
artinya adanya kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar hukum,
ketertiban umum dan kesusilaan6. Pembatasan tersebut sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika
sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Perjanjian kredit dimulai dengan adanya permohonan kredit dari debitur,
yang selanjutnya bank selaku kreditur melaksanakan survey kelayakan dan
jaminan debitur, hal ini berkenaan dengan pemeriksaan kebenaran data debitur,
dari hasil survey akan terlihat nilai ideal jumlah kredit yang pantas diberikan
kepada debitur, yang selanjutnya dibuatkan perjanjian kredit oleh kreditur, blanko
6 Subekti. Hukum Perjanjian. (Jakarta, 2005). hlm. 13.
5
perjanjian kredit tersebut telah disiapkan terlebih dahulu tinggal diisi oleh kreditur
dan diberikan kepada debitur untuk dibaca dan ditandatangani.
Dalam beberapa hal, ada bank yang membuat perjanjian dibawah tangan,
tetapi banyak bank yang lebih memilih membuat akta notariil. Mengingat
kedudukan perjanjian kredit sangatlah penting yaitu merupakan perjanjian pokok
bagi perjanjian-perjanjian turutannya dimana perjanjian kredit tersebut merupakan
perjanjian yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perjanjian-perjanjian
turutannya, maka perjanjian kredit perbankan dibuat secara notariil (dibuat
dihadapan notaris) hal ini secara langsung akan memberikan kekuatan pembuktian
yang sempurna, dalam artian baik menyangkut peristiwa dan para pihak yang
membuatnya menurut hukum telah dinyatakan benar, dan pihak yang menyangkal
kebenarannya dibebankan untuk membuktikan keberatannya tersebut. Dalam hal
pembuktian akta dibawah tangan, para pihak dapat menyangkal kebenarannya
sehingga beban pembuktian diperlukan bagi kreditur. Terhadap perjanjian kredit
yang dibuat dibawah tangan yang dilanjuti dengan legalisasi yang kemudian
dibacakan dan dijelaskan oleh Notaris,sebenarnya tidak mengubah perjanjian
dibawah tangan menjadi akta notariil tetapi tindakan demikian telah memberikan
kekuatan pembuktian sendiri terhadap perjanjian tersebut yang lebih baik dari akta
di bawah tangan, hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah :
1. Sebagai seorang Notaris, yang merupakan pejabat umum, kedudukan
notaris tidak berpihak baik kepada kreditur maupun kepada debitur, hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris dan salah satu isi Sumpah Jabatan Notaris yaitu “ bahwa saya
6
akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak
berpihak”.
2. Dengan dibuatnya perjanjian kredit dihadapan Notaris (secara akta
notariil) atau dengan dilakukan legalisasi yang kemudian dibacakan dan
dijelaskan oleh Notaris terhadap Perjanjian Kredit yang dibuat dibawah tangan,
maka akan menghindari/mencegah hilangnya suatu dokumen penting, hal ini
karena Notaris mempunyai arsip terhadap perjanjian kredit yang dilakukan
dihadapannya.
Sebagai seorang Notaris, yang merupakan Pejabat Umum, di dalam
menjalankan profesinya notaris harus dalam keadaan netral atau dengan kata lain
tidak memihak salah satu pihak dalam pembuatan akta perjanjian kredit. Sebagai
seorang pejabat umum Notaris harus memberikan kepastian hak dan kewajiban
bagi para pihak, memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentingan serta meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang
lebih baik bagi masyarakat. Peran Notaris dalam mewujudkan keseimbangan
antara kepentingan kreditur dan debitur serta penerapan kehati-hatian dalam
pembuatan akta perjanjian kredit tercermin di dalam Pasal 16 UU No.30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris.
Peranan Notaris dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang
begitu pentingnya menuntut Notaris sebagai pejabat publik untuk bersikap
profesional dengan menjembatani kepentingan kreditur dan debitur dalam
pembuatan akta perjanjian kredit. Akan tetapi kenyataan sikap profesionalisme
7
tersebut bersinggungan dengan tuntutan dunia perbankan yang mengutamakan
prinsip efisiensi prosedur perbankan, sehingga dalam praktek lembaga perbankan
cenderung menggunakan perjanjian baku dalam pernjanjian kreditnya. Di
samping itu juga terdapat beberapa potensi resiko hukum di antaranya
pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian notariil yang
menurut ketentuan Pasal 3 ayat (14) Kode Etik Notaris hal tersebut dilakukan di
kantor notaris, pada kenyataan umumnya dilakukan di kantor bank untuk
pembacaan dan penandatangan akta perjanjian kredit, dan hanya membawa satu
orang saksi dimana hal tersebut menyimpang dari ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf (m) dan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Revisi UUJN) yang mengatur mengenai kehadiran paling sedikit oleh dua orang
saksi dalam setiap pembacaan akta, dan terkadang pembacaan dan penandatangan
akta perjanjian kredit notariil tersebut tidak dihadiri oleh salah satu pihak yaitu
Pimpinan Cabang yang bertindak mewakili bank.
Berdasarkan uraian dan permasalahan di atas, mendorong penulis untuk
melakukan kajian skripsi dengan judul :
“Prinsip Kehati-Hatian Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian
Kredit (Pelaksanaan Pembacaan dan Penandatanganan) dan Pelaksanaan
Asas Keseimbangan”.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah yang akan di teliti sebagai berikut :
1. Mengapa Notaris wajib memperhatikan Prinsip Kehati-hatian dalam
pembuatan Akta Perjanjian Kredit?
2. Mengapa Notaris wajib melaksanakan Asas Keseimbangan?
3. Apakah akibat hukum jika Pembacaan dan Penandatangan Akta Notariil tidak
sesuai dengan Kode Etik Notaris?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaiman peran notaris dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus memperhatikan segala kelengkapan dokumen dan
kenyataan yang terjadi di lapangan berkaitan dengan akta yang hendak
dibuatnya, sehingga tidak akan menyebabkan kerugian bagi para pihak yang
membuat akta.
2. Untuk lingkup perdagangan ekonomi modern, perjanjian baku sebagai alat
yang sering dipergunakan dalam perjanjian antara Kreditur dan Debitur baik
berupa hak dan kewajiban hingga perjanjian yang hanya menguntungkan satu
pihak saja, sehingga notaris sebagai pihak yang netral haruslah selalu
menerapkan asas keseimbangan demi terwujudnya kesepakatan-kesepakatan
untuk mempersatukan sebuah kepentingan para pihak melalui negosiasi.
3. Untuk mengetahui dan memahami impilikasi yuridis dari pelaksanaan
pembacaan dan penandatangan Akta Notariil yang sesuai dengan Kode Etik
Notaris.
9
D. Kegunaan Penulisan
Penulisan skripsi ini diharapkan akan memiliki kegunaan sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan pembanding secara teori dan fakta atau kenyataan yang
terjadi di lapangan.
b. Sebagai salah satu bahan acuan di bidang penelitian yang sejenis dan
pengembangan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Universitas
Sebagai suatu hasil karya yang dapat menambah pengetahuan
keilmuan tentang prinsip kehati-hatian Notaris dalam melaksanakan
jabatannya sebagai bahan wacana dan pustaka bagi mahasiswa atau pihak
lain yang memiliki ketertarikan di bidang yang sama.
b. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran atas faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan
Kode Etik Jabatan Notaris, khususnya Organisasi Ikatan Notaris
Indonesia (INI).
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru
bagi masyarakat tentang bagaimana sikap seorang Notaris dalam
menjalankan jabatannya berdasarkan Kode Etik.
10
E. Tinjauan Pustaka
1. Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Para
notaris bergabung di dalam suatu organisasi profesi jabatan notaris yang
berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum (Pasal 1 ayat (5) UUJN). Profesi
mengandung pengertian suatu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu, bersifat terus-
menerus mendahulukan pelayanan daripada imbalan, mempunyai rasa tanggung
jawab yang tinggi, dan berkelompok dalam suatu organisasi7. Dengan demikian,
profesi jabatan Notaris adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya oleh mereka yang menajabat
sebagai Notaris sebagaimana dimaksud di dalam UUJN. Jabatan Notaris
merupakan jabatan kepercayaan. Oleh karena itu, Notaris di dalam menjalankan
jabatan luhur tersebut tidak semata-mata hanya dituntut keahlian di bidang ilmu
kenotariatan, tetapi juga perlu dijabat oleh mereka yang berakhlak tinggi.
a. Peran Notaris di Bidang Hukum
Fungsi suatu akta notaris mempunyai peran penting, baik akta sebagai alat
bukti maupun akta sebagai syarat sahnya suatu peristiwa hukum. Untuk
perjanjian-perjanjian formil seperti pendirian perseroan terbatas (Pasal 7 ayat (1)
7Munir Fuady. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator dan Pengurus). (Bandung, 2005), hlm. 5.
11
UUPT 2007) dan perjanjian pembebanan jaminan fidusia (Pasal 5 ayat (1) UUFid)
ada kewajiban agar perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
indonesia. Dengan demikian, peran notaris di dunia hukum dengan sistem
Kontinental pada umumnya dan dunia bisnis pada khusunya sangat penting
terutama dalam kaitannya dengan perjanjian-perjanjian formil selain adanya
keinginan pihak-pihak sendiri untuk membuatkan jenis perjanjian-perjanjian
lainnya di dalam bentuk akta notaris. Akta notaris merupakan alat bukti yang
sempurna sehingga dapat menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum bagi pihak-pihak yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal tersebut
didukung mengingat kedudukan notaris yang mandiri dan tidak berpihak. Oleh
sebab itu, dengan adanya akta notaris sebagai alat bukti dapat membantu di dalam
menyelesaikan sengketa di muka pengadilan, malahan mungkin dapat
menghindarkan para pihak dari suatu sengketa. Jasa notaris dalam dunia bisnis
makin hari makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.
b. Peran Notaris di Bidang Interaksi Sosial
Perilaku sosial seorang notaris di dalam interaksi sebagai salah satu pelaku
dalam dunia sosiologi interpretasi berarti bahwa interaksi sosial tidak akan dapat
dimengerti apabila kita tidak mengenal apa yang sudah biasa dilakukan orang lain
dan dianggap sebagai perilakunya. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan sosial
dari Max Weber, Verstehen, orang mengenal dirinya dan memperkenalkan dirinya
kepada orang lain mengenai dunianya. Pekenalan mengenal “diri” seseorang
adalah dinilai dari perilaku yang hadir di dalam masyarakat. Dengan demikian,
notaris perlu memperkenalkan dirinya dengan secara sadar memberi arti atas
12
perilakunya dan dia juga berorientasi pada arti yang telah diberikan orang lain
mengenal perilakunya itu, yaitu dalam hal ini jabatan notaris dikenal sebagai
jabatan kepercayaan. Arti yang diberikan tentunya mempunyai pengaruh dan
peran tersendiri terhadap perilaku sosial ini yang akan bervariasi pada suatu
masyarakat sesuai dengan waktu dan tempatnya. Perilaku notaris yang bersifat
negatif membawa dampak negatif pula terhadap lembaga kepercayaan ini.
Namun, perilaku positif akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga ini pula. Singkatnya, masyarakat memberi penghargaan kepada notaris
sesuai dengan perilaku dari notaris.
c. Asas Keseimbangan
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari – hari kata “seimbang” (even
wicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagi beban di kedua sisi
berada dalam keadaan seimbang”. Dalam konteks ini keseimbangan dimengerti
sebagai keadaan hening atau keselarasan karena dari berbagai gaya yang bekerja
tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen
menguasai lainnya. Dimana yang dimaksud dengan asas keseimbangan dalam hal
ini adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata
hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata
yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak
dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak. Bahwa kata keseimbangan pada
satu sisi dibatasi oleh kehendak (yang dimunculkan oleh pertimbangan atau
keadaan yang menguntungkan), dan pada sisi lain oleh keyakinan (akan
kemampuan untuk) mengejawantahkan hasil atau akibat yang dikehendaki; dalam
13
batasan kedua sisi ini tercapailah keseimbangan yang dimaknai positif.
Pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan
keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa seimbang dalam kaitannya
dengan kontrak konsumen. Hal tersebut didasari bahwa pada suatu kenyataan
bahwa terdapat ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Dengan terciptanya
keadaan yang seimbang dimana tidak ada satu pihak pun yang posisisnya lebih
tinggi dan menghasilkan hak serta kewajiban yang seimbang membuat perjanjian
tersebut bisa sejalan dengan pandangan P.S Atiyah yang menekankan bahwa
sebuah perjanjian memiliki tiga tujuan dasar yaitu:
1) Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan
melindungi harapan wajar yang muncul darinya;
2) Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya
memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar;
3) Tujuan ketiga ialah to prevent certain kind of harm. Sehingga dapat
diterima secara jelas dimana perjanjian yang didasari dengan asas
keseimbangan tersebut mencegah adanya pemberian harapan yang
diluar batas serta mencegah bentuk upaya memperkaya diri dengan
adanya bentuk ketidakseimbangan isi dari hak serta kewajiban yang
diikatkan kepada pihak dalam perjanjian tersebut.
Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan adalah suatu fakta hukum
atau kejadian nyata tunduk pada hukum kausalitas, dengan itu kita dapat
menelusuri asal mula atau keterjalinan sebab-akibat fakta tersebut dengan gejala-
gejala lainnya. Di dalam suatu perjanjian para pihak mengungkapkan kehendak
14
mereka dalam bentuk janji. Kenyataan bahwa orang menutup kontrak kiranya
dilandasi suatu tujuan atau maksud tertentu. Fakta menunjuk pada adanya
keterjalinan dengan gejala kemunculan suatu perjanjian, yang dibentuk oleh para
pihak, keterikatan atau kekuatan mengikat dan dipenuhinya perikatan. Melalui
suatu perjanjian, maksud dan tujuan para pihak dapat dicapai. Apakah maksud
dan tujuan perjanjian semata-mata adalah memunculkan kekuatan mengikat serta
pemenuhan perikatan. pertanyaan ini memunculkan persoalan lain, yaitu apa
tujuan dari perjanjian yang ditutup para pihak dan apa yang menjadi dasar dari
kekuatan mengikatnya perjanjian secara yuridikal.
d. Asas Kehati-Hatian
Asas ini merupakan asas yang timbul dari hukum kebiasaan yang menjadi
dasar bagi setiap Notaris/PPAT untuk melakukan tindakan dalam setiap perbuatan
hukum dengan seksama, menentukan apakah suatu tindakan dapat dituangkan
dalam akta atau tidak. Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua
dokumen yang diperlihatkan oleh Client nya, meneliti semua dokumen yang
diperlihatkan kepada Notaris, mendengarkan keterangan atau pernyataan para
pihak, meskipun asas ini tidak ditentukan oleh undang-undang namun tetap harus
ditaati oleh seorang Notaris/PPAT, selama masyarakat sanggup menerima kaidah-
kaidah tersebut sebagai hukum dan ternyata kaidah-kaidah hukum tersebut
dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk
lingkup perundang-undangan. Dengan demikian, Asas Kehati-hatian yang biarpun
tidak tertulis dalam aturan perundang-undangan masih juga sama kuatnya dengan
15
hukum tertulis, apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari pihak
pemerintah.
Apabila Asas Kehati-hatian tersebut diterapkan oleh setiap Notaris, dan
asas tersebut diterapkan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga bilamana ada
tindakan yang berlawanan dengan asas ini, maka dirasakan sebagai pelanggaran
hukum, dengan demikian maka terbentuklah suatu Asas Kehati-hatian.
e. Kode Etik Notaris
Kode Etik bagi profesi Notaris sangat diperlukan untuk menjaga
kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat oleh karena hal tersebut, Ikatan
Notaris Indonesia (INI) sebagai satu-satunya organisasi protesi yang diakui
kebenarannya sesuai dengan UU Jabatan Notaris No.30 Tahun 2004, menetapkan
Kode Etik bagi para anggotanya.
Jabatan Notaris adalah merupakan jabatan kepercayaan. Undang-undang telah
memberi kewenangan kepada para Notaris yang begitu besar untuk membuat alat
bukti yang otentik, karenanya ketentuan-ketentuan dalam UU Jabatan Notaris
begitu ketatnya dan penuh dengan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi
pidana tanpa mengurangi kemungkinan diterapkannya sanksi pemberhentian
sementara sampai ke pemecatan.
Kode etik notaris sendiri sebagai suatu ketentuan yang mengatur tingkah
laku Notaris dalam melaksanakan jabatannya, juga mengatur hubungan sesama
rekanNotaris. Pada hakekatnya Kode Etik Notaris merupakan penjabaran lebih lan
jut dari apa yang diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris. Dalam kehidupan
16
bermasayarakat diperlukan suatu profesi dimana seorang dapat menyelesaikan
masalah-masalah hukum yang dihadapinya yaitu salah satunya
dengan menghadap kepada seorang Notaris.
Notaris adalah suatu profesi kepercayaan dan berlainan dengan profesi
pengacara, dimana Notaris dalam menjalankan tidak memihak. Oleh karena itu dalam
jabatannya kepada yang bersangkutan dipercaya untuk membuat alat bukti yang mempunyai
kekuatan otentik. Dengan demikian, peraturan atau undang-undang yang mengatur
tentang jabatan Notaris telah dibuat sedemikian ketatnya sehingga dapa
tmenjamin tentang otentisitasme akta-akta yang dibuat dihadapannya. Untuk
menjaga kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka Asosiasi Profesi Notaris
seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI) membuat Kode Etik yang berlaku terhadap
para anggotanya.
f. Akibat Hukum Notaris Tidak Menerapkan Asas Kehati-Hatian dalam
Pembuatan Akta
Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya, dan jika terjadi pelanggaran
memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali. Penegakkan
hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:
1) Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat
lagi;
2) Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);
3) Penyisihan atau pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu);
17
4) Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati) Dalam
pelaksanaannya tugas penegakan hukum, penegak hukurn wajib menaati
norma-norma yang telah ditetapkan.
Penegakan kode etik Notaris adalah usaha melaksanakan kode etik Notaris
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi
pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan kode etik yang dilanggar
itu supaya ditegakkan kembali.
Penegakan hukum Kode Etik Notaris tercantum dalam Bab IV dan V yaitu
dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 13. Yang meliputi :
Sanksi, Pengawasan, Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi, Pemeriksaan dan
Penjatuhan Sanksi Pada tingkat Pertama, Banding dan Terakhir, Eksekusi atas
sanksi-sanksi dalarn Pelanggaran Kode Etik
Dalam aturan main yang telah ditetapkan oleh Kongres INI, Kode Etik ini
wajib diikuti oleh seluruh anggota maupun seseorang yang menjalankan profesi
Notaris. Hal ini mengingat bahwa profesi notaris sebagai pejabat umum yang
harus memberikan rasa aman serta keadilan bagi para pengguna jasanya. Untuk
memberikan rasa aman bagi para pengguna jasanya, Notaris harus mengikuti
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Jabatan Notaris
maupun Kode Etik Notaris. Notaris harus bertanggung jawab terhadap apa yang ia
lakukan terhadap klien maupun masyarakat.
Kewajiban maupun larangan yang ada merupakan petunjuk moral dan
aturan tingkah laku yang ditetapkan bersama oleh anggota notaris dan menjadi
18
kewajiban bersama oleh seluruh anggota notaris dalam mewujudkan masyarakat
yang tertib.
g. Pengawasan Notaris
Pengawasan Notaris dimaksud diharapkan oleh pembentuk Undang-
undang Jabatan Notaris merupakan lembaga pembinaan agar para Notaris dalam
menjalankan jabatannya dapat leblh meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat. Dalam Pasal 67 ayat (5) UUJN, yang harus diawasi adalah Perilaku
Notaris dan Pelaksanaan Jabatan Notaris.
Pengawasan baik preventif dan represif diperlukan bagi pelaksanaan tug as
Notaris sebagai pejabat umum. Fungsi Preventif dilakukan oleh Negara sebagai
pemberi wewenang yang I dilimpahkan pada instansi pemerintah. Fungsi represif
dilakukan oleh organisasi profesi jabatan Notaris dengan acuan kepada UUJN dan
Kode Etik Notaris.
Pengawasan Notaris diatur dalam Pasal 67-81 UUJN, yang intinya
pengawasan dilakukan oleh Menteri dan dalarn rnelaksanakan pengawasan
tersebut Menteri menunjuk Majelis Pengawas, yang terdiri dari Majelis Pengawas
Oaerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Majelis
Pengawas terdiri dari 3 unsur yaitu unsure dari Pemerintah, organisasi Notaris dan
akademisi.
1) Majelis Pengawas Daerah (MPD)
MPD melakukan pengawasan secara berkala 6 bulan sekali dengan
melakukan pemerikasaan protocol Notaris, memberikan izin cuti selama 6 bulan
dan pemeriksaan adanyalaporan atau pengaduan dari masyarakat terhadap Notaris.
19
Apabila ada pengaduan dari masyarakat terhadap Notaris yang melakukan
pelanggaran kode etik maupun pelanggaran Undang-Undang jabatan Notaris,
maka MPD berwenang menyelenggarakan Sidang tertutup untuk umum, MPD
akan memeriksa dan mendengar keterangan pelapor, tanggapan terlapor,
memeriksa bukti yang diajukan pelapor dan terlapor, kemudian hasil pemeriksaan
dituangkan dalam Berita Acara pemeriksaan (BAP) dan wajib diberikan kepada
MajeJis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 hari dengan tembusan kepada notaris
yang bersangkutan, pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis
Pengawas Pusat
MPD tidak berwenang membenkan penilaian pembuktian terhadap fakta-
fakta hukum dan juga tanpa kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
2) Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
MPW berwenang meberikan cuti untuk 6 bulan sampai 1 tahun.
Berdasarkan BAP yang telah diberikan kepada MPW melalui MPD, MPW
berwenang melakukan Sidang Pemeriksaan Tertutup untuk umum dan Sidang
Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum. Blla dalam sidang
pemeriksaan MPW Netarts tidak terbukti rnelakukan pelanggaran, maka laporan
BAP ditolak dan Notaris direhabilitasi nama baiknya. Bila Notaris terbukti
melanggar, putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup yang
dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan.
MPW membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi, yang
kemudian disampaikan kepada Mennteri, pelapor, teriapor, MPD, MPP dan
pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia.
20
Apabila Notaris terlapor keberatan alas putusan sidang MPW, maka
Notaris dapat mengajukan banding pad a tingkat Majelis Pengawas Pusat
3) Majelis Pengawas Pusat (MPP)
a) Berwenang memberi cuti notaris untuk jangka waktu 1 tahun lebih;
b) Menindaklanjuti Notaris yang melakukan banding yang disampaikan
melalui MPW;
c) MPP wajib melakukan Sidang Pemeriksaan dan Sidang Pengambilan
Putusan yang terbuka untuk umum.
2. Bank
Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara
pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan
dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.
Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa pengertian bank adalah
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas
perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan dimana kegiatan utamanya
adalah menghimpun dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa bank lainnya
atas dasar kepercayaan yang telah diperolehnya.
a. Fungsi Bank
Secara umum fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau
fungsi Financial Intermediary.
Fungsi utama bank secara spesifik dibagi menjadi 3 yaitu:
21
1) Agent of Trust
Kepercayaan adalah kunci dan dasar utama kegiatan perbankan ini (trust).
Kepercayaan disini meliputi kegiatan menghimpun dana dari masyarakat maupun
dalam penyalurannya kembali ke masyarakat atau bank lain. Kunci utama
masyarakat mau menitipkan dana yang mereka miliki kepada bank apabila sudah
dilandasi atas dasar kepercayaan kepada bank tersebut. Masyarakat sudah yakin
dan percaya dana yang mereka titipkan akan aman dan dapat diambil sewaktu-
waktu tanpa adanya ketakutan bank akan bangkrut atau tidak bisa diambil
kembali. Begitu pula bank dalam menyalurkan dana titipan tersebut untuk
dipinjamkan kepada debitur juga atas asas kepercayaan. Dimana bank tidak akan
khawatir debitur akan menyalahgunakan dana yang telah dipinjamkan kepada
mereka karena bank percaya debitur memiliki kemampuan untuk membayar
sesuai perhitungan yang masuk akal. Dan bank percaya bahwa debitur akan
memiliki niat untuk membayar meskipun saat jatuh tempo.
Agar masyarakat mau menyimpan uangnya di bank, maka pihak perbankan
memberikan balas jasa kepada si penyimpan. Balas jasa tersebut dapat berupa
bunga, bagi hasil, hadiah, pelayanan dan lain-lain. Semakin tinggi balas jasa yang
diberikan akan menambah minat masyarakat untuk menyimpan uangnya.
2) Agent of Development
Sektor riil dan sektor moneter adalah dua hal perekonomian yang tidak
dapat dipisahkan, saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Jika salah satunya
bekerja kurang baik maka berpengaruh juga pada kurang baik pada sisi lainnya.
22
Disini bank difungsikan memberikan kegiatan yang memungkinkan masyarakat
melakukan investasi, distribusi serta konsumsi/jasa dimana semua kegiatan
tersebut tidak dapat terpisahkan dari penggunaan uang. Jika semua kegiatan itu
berjalan lancer tentu akan banyak membantu dalam pembangunan perekonomian
masyarakat.
3) Agent of Service
Selain kegiatan utama bank menghimpun dan menyalurkan uang, bank
juga memberikan penawaran jasa perbankan lainnya kepada masyarakat. Jasa
yang ditawarkan bank ini erat dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara
umum. Jasa disini berupa pengiriman uang, barang berharga, pemberian jaminan
bank maupun penyelesaian tagihan.
b. Jenis Bank
Menurut Undang-Undang Perbankan, praktek perbankan di Indonesia dibagi
menjadi beberapa jenis bank yang dilihat dari berbagai segi yaitu jenis bank
dilihat dari segi fungsinya, kepemilikannya, status, dan dari segi cara menentukan
harganya. Kami akan kupas satu-persatu sebagai berikut:
Jenis bank dilihat dari segi fungsinya, antara lain :
Dijelaskan dalam Undang-Undang No 7 tahun 1992 kemudian ditegaskan
dalam Undang-Undang Perbankan No 10 tahun 1998, maka jenis perbankan
terdiri dari tiga jenis yaitu Bank Sentral, Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat.
23
1) Bank Sentral
Sebuah badan keuangan miliki negara yang diberikan tanggung jawab untuk
mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga keuangan dan
menjamin agar kegiatan badan-badan keuangan tersebut akan menciptakan tingkat
kegiatan ekonomi yang stabil.
2) Bank Umum
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan secara konvensional dan
atau berdasar prinsip syariah islam yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Sifat umum disini adalah memberikan seluruh jasa
perbankan yang ada dan beroperasi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bank
Umum kemudian dikenal dengan sebutan bank komersil (commercial bank).
3) Bank Perkreditan Rakyat
Bank yang melaksanakan kegiatan perbankan secara konvensional maupun
prinsip syariah islam dimana dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintasp pembayaran. Kegiatan BPR lebih sempit daripada bank umum dimana
hanya melayani penghimpunan dana dan penyaluran dana saja. Bahkan dalam
menghimpun dana BPR dilarang menerima simpanan giro. Dalam wilayah
operasipun BPR juga dibatasi operasinya pada wilayah tertentu. Larangan lain
yaitu tidak ikut kliring dan transaksi valuta asing.
24
c. Jenis Bank Dilihat Dari Cara Menentukan Harga
1) Bank yang berdasarkan Prinsip Konvensional
Bank ini menerapkan metode penetapan harga sesuai tingkat suku bunga
(spread base) dan metode fee base (menghitung biaya-biaya yang dibutuhkan).
2) Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah
Bank ini menerapkan aturan perjanjian sesuai hukum Islam antara bank
dengan pihak lain dalam menyimpan dana, pembiayaan usaha atau kegiatan
lainnya. Dalam menentukan harga, bank syariah menerapkan prinsip syariah
sebagai berikut:
a) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
b) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah).
c) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah).
d) Pembiyaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan
(ijarah).
e) Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtana).
d. Perjanjian Kredit Bank
Pengertian Perjanjian8 Berdasarkan Pasal 1313 Kuhperdata adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”, dari rumusan yang yang diberikan pasal tersebut
menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan
dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau
8Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend
Recht) dalam Hukum Perdata. (Jakarta, 2006). hlm 248.
25
prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak)
lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus
dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan
tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjjian akan
selalu ada dua pihak, di mana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi
(debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi (kreditur).
Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari suatu atau lebih orang. Bahkan
dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu
atau lebih badan hukum. Namun, dalam perkembangannya pengertian perjanjian
banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari definisi Hofmann yang
menyatakan perikatan adalah: “Suatu hubungan hukum antara sejumlah
terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa
orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas
sikap yang demikian itu”
Pengertian kredit yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-
Undang Perbankan. Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Perbankan, menyatakan
bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
26
Definisi kredit yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-
Undang Perbankan tersebut di atas mencerminkan bahwa dasar dari
perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam KUHPerdata.
Secara sederhana dapat pula dikemukakan bahwa kredit adalah
kepercayaan antara pihak kreditur dan pihak debitur. Jadi apa yang
disepakati wajib untuk ditaati. Dari definisi tersebut tampak bahwa suatu
hubungan hukum antara pihak kreditur dan pihak debitur berawal dari adanya
suatu perjanjian yang dalam praktek lebih dikenal dengan sebutan perjanjian
kredit bank.
e. Asas dan Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Dalam hukum perjanjian dikenal ada beberapa macam asas. Adapun
asas-asas yang melatarbelakangi pembuatan perjanjian kredit, yaitu :
1) Asas Konsensualisme
Konsensualisme merupakan kesepakatan. Perjanjian lahir atau terjadi
dengan adanya kata sepakat dari para pihak yang akan mengadakan suatu
perjanjian. Kesepakatan dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak
yang menjadikan perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak yang
terlibat di dalamnya. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.
2) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
membuat perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan isi yang akan
27
dituangkan dalam perjanjian yang akan dibuat asalkan tidak bertentangan dengan
kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas inilah yang menyebabkan
suatu perjanjian bersifat terbuka. Asas ini termaktub dalam Pasal 1339
KUHPerdata.
3) Asas Kepribadian
Pada umumnya seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan dirinya
sendiri dalam suatu perjanjian. Adapun konsekuensi dari diterapkannya asas
ini adalah tidak dimungkinkannya pihak ketiga untuk turut serta dalam pembuatan
perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian. Asas ini tercantum di
dalam Pasal 1315 KUHPerdata.
4) Asas Itikad Baik
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Para pihak yang
terlibat dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi yang tercantum
di dalam perjanjian yang telah mereka sepakati dengan penuh kejujuran agar
sesuai dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Asas itikad baik
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
5) Asas Keadilan
Asas keadilan menekankan kepada substansi dalam perjanjian yang
dibuat oleh kedua belah pihak harus mencerminkan adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban sehingga perjanjian yang akan dibuat tidak menimbulkan
kesan tumpang tindih yang dapat merugikan salah satu pihak. Asas ini
diatur dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata.
28
6) Asas Kepatutan
Selain memperhatikan ketentuan dalam undang-undang, suatu
perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak hendaknya juga memperhatikan
kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat sehingga
perjanjian itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337
KUHPerdata.
7) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan juga penting untuk diimplementasikan dalam suatu
perjanjian. Kepercayaan mengandung arti bahwa para pihak yang terlibat dalam
suatu perjanjian harus saling percaya satu dengan yang lainnya dalam memenuhi
kewajiban seperti yang tercantum di dalam perjanjian.
f. Bentuk Perjanjian Kredit
Dalam praktek sehari-hari yang dilakukan oleh pihak kreditur dan
debitur tentunya dihadapkan oleh bentuk-bentuk perjanjian kredit. Perjanjian
kredit dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
1) Perjanjian Kredit dengan Akta Otentik
Dalam Black Law Dictionary, yang diartikan dengan akta otentik
atau acte authentique adalah: “A deed executed with certain prescribed
formalities, in the presence, of notary, mayor, greffer, or functionary qualified to
act in the place in which it is drawn up”. (Akta yang dibuat dengan
beberapa formalitas tertentu, dihadapan seorang notaris, walikota, panitera, atau
29
pejabat yang memenuhi syarat sesuai dengan yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan).
Definisi dari akta notariil diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4432), selanjutnya disebut UUJN. Pasal 1 angka
7 UUJN menyatakan bahwa: “Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat
oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
undang undang ini”. Akta notaris sebagaimana diuraikan di dalam UUJN
tersebut di atas mempunyai sifat otentik. Pasal 1870 KUHPerdata,
menentukan bahwa: “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta
ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”.
Selain diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik juga diatur
dalam Pasal 1868 KUHPerdata sehingga kedua pasal ini saling bertalian satu
sama lain. Pasal 1868 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah
suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat
oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat
dimana akta dibuatnya”.
Akta Notaris selain sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya sesuai dengan bunyi Pasal 1337 Jo Pasal 1338 KUHPerdata,
juga merupakan salah satu alat bukti tertulis sebagaimana yang tercantum
30
dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Pasal 1866 tertulis sebagai berikut: “Alat-
alat bukti terdiri atas: Bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-
persangkaan; pengakuan; sumpah. Segala sesuatu dengan mengindahkan
aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab-bab berikut”.
Akta notaris adalah akta otentik yang memiliki kekuatan hukum
dengan jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna
(volledig bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan
hakim terikat karenanya. Grosse akta notaris kedudukannya sama dengan
vonis keputusan hakim yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde) dan
mempunyai kekuatan eksekutorial.
2) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan
Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan antara para pihak yang terlibat
dalam perjanjian kredit tersebut tanpa melibatkan pihak pejabat yang
berwenang/Notaris. Perjanjian Kredit Di bawah tangan ini terdiri dari:
a) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan Biasa;
b) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan yang dicatatkan di Kantor Notaris
(Waarmerking); Suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan
ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada
Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak
dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
c) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan yang ditandatangani di hadapan
Notaris namun bukan merupakan akta notarial (Legalisasi); Suatu akta di
31
bawah tangan yang dibuat oleh para pihak namun
penandatanganannya disaksikan oleh atau di hadapan Notaris,namun
Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan
Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang
bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
F. Landasan Teori
Notaris mempunyai peran yang sangat unik. Bagi masyarakat, Notaris muncul
sebagai sosok yang mempumyai kewenangan publik, penyuluh, dan pemberi
nasihat. Kewenangan publik diperoleh notaris berdasarkan undang-undang
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris dahulu Peraturan Jabatan Notaris, S. 1860-3) untuk memberikan
bantuannya kepada masyarakat dalam bentuk pembuatan akta otentik.
Kewenangan publik yang diberikan pada notaris memberikan suatu kesan bahwa
notaris “penguasa”. Kesan ini ternyata tidaklah demikian halnya. Jabatan notaris
mempunyai dua ciri dan sifat yang essentiil, yaitu ketidakmemihakkan dan
kemandiriannya dalam pelaku-pelaku jabatan ini. Hal ini didukung oleh Pasal 17
Peraturan Jabatan Notaris (S. 1860-3; PJN) jo. Surat Ketetapan Menteri
Kehakiman RIS tanggal 22 mei 1950 Nomor JZ/171/4 (BN 1950-35).
Melihat pada stelsel hukum kita, yaitu stelsel hukum kontinental, maka
lembaga notariat Latin sebagai pelaksana undang-undang dalam bidang hukum
pembuktian memang harus ada, semata-mata untuk melayani permintaan dan
keinginan masyarakat. Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
32
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat di mana akta itu di buatnya.”
Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 1 UUJN bahwa:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya (...).”
Dahulu pasal tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 1 PJN yang
menyatakan bahwa:
“Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
Akta Otentik .....”
Dari bunyi ketentuan tersebut menyebabkan keberadaan lembaga notariat ini
memang merupakan suatu conditio sine quanon. Lain halnya dengan notariat
Anglo-Saxon atau Anglo-Amerika yang mempunyai tugas dan jabatan lain di
dalam sistem hukumnya9. Mereka bersikap pasif dan hanya bertugas untuk
semacam melegalisasi Akta di Bawah Tangan. Di dalam pekerjaan sehari-hari
seorang Notaris baru menjalankan tugasnya apabila mendapat suatu permintaan
atau “perintah” dari kliennya. Atas permintaan atau “perintah” tersebut notaris
menjalankan tugasnya guna mencapai suatu tujuan yang bersifat yuridis idiil,
yaitu tercapainya kepastian hukum, pencegahan, dan penyelesaian pekerjaan yang
sempurna;
9Herlien Budiono. Kumpulan tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
(Bandung. 2013). hlm. 284.
33
1. Kepastian hukum dicapai dengan melaksanakan tugas yang diberikan
kepada notaris sebaik dan sesempurna mungkin dengan menuangkan
keinginan para kliennya di dalam suatu akta otentik.
2. Pencegahan dilakukan sebagai kelanjutan dari pembuatan akta tersebut
agar di kemudian hari tidak terjadi komplikasi atau hal lain yang tidak
diinginkan oleh semua pihak.
3. Penyelesain pekerjaan yang sempurna merupakan tugas seorang Notaris
yang Profesional yang harus diberikan kepada kliennya di dalam bentuk
pelayanan pekerjaan hingga selesai dan tuntas termasuk penyelesaian
segala urusan berkaitan dengan instansi yang bersangkutan dengan
perbuatan hukum yang dilakukan kliennya.
4. Selain tugas tersebut di atas, masih ada tugas yuridis idiil lain dari notaris,
yaitu “pengaruh” notaris hingga dilakukannya tindakan hukum atau
terjadinya perjanjian di antara para pihak, tetapi dengan memegang teguh
ketidakmemihakan dan ketidakbergantungan. Dengan demikian, notaris
terhindar dari tuduhan telah ikut serta menyalahgunakan keadaan (misbruk
van omstandigheden) di dalam pembuatan aktanya sehingga akibatnya
akta notaris tersebut menjadi batal atau dapat dibatalkan. Notaris tidak lagi
dapat bersikap pasif, asal semua formalitas telah dipenuhi, tetapi proaktif
untuk menjaga keseimbangan di antara para pihak.
5. Last but not least, notaris harus dapat memupuk hubungan kepercayaan
dengan para kliennya. Tidak dapat dibayangkan apa jadinya jabatan
notaris apabila telah hilang kepercayaan masyarakat terhadap Notaris.
34
Tugas ini harus secara terus menerus dilakukan, baik secara perorangan
maupun secara kolegial karena jika tidak, akan dapat membawa akibat
buruk terhadap lembaga notariat.
G. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Metode
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approch) yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau penelitian
hukum kepustakaan, dan penelitian dari keadaan yang terjadi dalam kejadian
hukum yang nyata. Penelitian Yuridis Normatif adalah suatu proses untuk
menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.
Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang beranjak dari
penerapan kode etik kenotariatan.
1. Metode Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini
adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach). Pendekatan
Perundang-Undangan dilakukan dengan menelaah Undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
2. Teknik Analisis
Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif atau juga sering
dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif. Keseluruhan bahan-bahan pustaka
35
yang terkumpul, diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan, kemudian
dianalisis dengan teori dan konsep yang relevan, sehingga dapat menjawab
permasalahan yang akan diteliti dan akhirnya data tersebut disajikan secara
deskriptif kualitatif dan sistematis.
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 4 (empat)
bab, dan masing-masing bab terbagi ke dalam sub-sub bab, dengan perincian
sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN, menguraikan latar belakang masalah dan perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
HASIL PENELITIAN, Peran notaris dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus memperhatikan segala kelengkapan dokumen dan kenyataan
yang terjadi di lapangan berkaitan dengan akta yang hendak dibuatnya, sehingga
tidak akan menyebabkan kerugian bagi para pihak yang membuat akta.
BAB III
ANALISIS HASIL PENELITIAN, dari penelitian tersebut dapat dijelaskan
adanya ketidakseimbangan dalam kontrak/perjanjian dapat dicermati dari
beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk
standar/baku yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya cenderung
berat sebelah. Dalam praktek pemberian kredit di lingkungan perbankan, misalnya
36
terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan
peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur dikemudian hari.
Dalam kontrak jual beli, misalnya terdapat klausul barang yang sudah dibeli tidak
dapat dikembalikan. Klausul tersebut pada umumnya merupakan klausul ekstensi
yang isinya terkesan lebih memberatkan salah satu pihak.
Disamping itu juga menjelaskan bagaimana Notaris dalam melaksanakan
prinsip kehati-hatian dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, pelaksanaan
prinsip keseimbangan, hingga akibat hukum bila Notaris dalam melaksanakan
jabatan tidak berdasarkan Kode Etik Notaris.
BAB VI
PENUTUP, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari hasil pembahasan bab-
bab sebelumnya.