bab i pendahuluan a. latar...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan, individu dihadapkan dengan berbagai tugas dalam aktivitas sehari-harinya. Tugas yang dimiliki individu beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dimilikinya. Ada individu yang hanya menjalani satu tugas saja, akan tetapi ada pula individu yang menjalani banyak tugas dalam kehidupannya, seperti menjalani tugas dalam menuntut ilmu, pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring dengan perkembangan usia yang dimiliki. Individu yang memiliki kondisi normal baik dari segi jasmani maupun rohaninya, mungkin akan lebih mudah menjalani berbagai tugas kehidupan dibandingkan dengan individu yang memiliki keterbatasan atau penyandang cacat (cacat penglihatan, komunikasi, mental dan tubuh). Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki oleh para difabel yang memiliki keunikan dalam menjalani aktivitasnya. Difabel merupakan istilah untuk mengganti istilah penyandang cacat. Difabel yang merupakan kepanjangan dari “differently abledyaitu perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki keterbatasan baik pada indera maupun fisik yang dimilikinya (Ro’fah, 2010a). Adanya keterbatasan yang dimiliki, tidak menutup kemungkinan seorang difabel untuk menjalani aktivitas dan memenuhi harapan hidup yang dijalaninya. Para difabel pun dapat menjalani aktivitas yang dilakukan sebagaimana orang pada

Upload: lydat

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupan, individu dihadapkan dengan berbagai tugas

dalam aktivitas sehari-harinya. Tugas yang dimiliki individu beraneka ragam

sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dimilikinya. Ada individu yang hanya

menjalani satu tugas saja, akan tetapi ada pula individu yang menjalani banyak

tugas dalam kehidupannya, seperti menjalani tugas dalam menuntut ilmu,

pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring dengan perkembangan usia yang

dimiliki. Individu yang memiliki kondisi normal baik dari segi jasmani maupun

rohaninya, mungkin akan lebih mudah menjalani berbagai tugas kehidupan

dibandingkan dengan individu yang memiliki keterbatasan atau penyandang

cacat (cacat penglihatan, komunikasi, mental dan tubuh).

Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Begitu pula

dengan kemampuan yang dimiliki oleh para difabel yang memiliki keunikan

dalam menjalani aktivitasnya. Difabel merupakan istilah untuk mengganti istilah

penyandang cacat. Difabel yang merupakan kepanjangan dari “differently abled”

yaitu perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki

keterbatasan baik pada indera maupun fisik yang dimilikinya (Ro’fah, 2010a).

Adanya keterbatasan yang dimiliki, tidak menutup kemungkinan seorang difabel

untuk menjalani aktivitas dan memenuhi harapan hidup yang dijalaninya. Para

difabel pun dapat menjalani aktivitas yang dilakukan sebagaimana orang pada

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

2

umumnya, seperti menuntut ilmu hingga mencapai pendidikan yang tinggi di

tingkat perguruan tinggi, bekerja dan melakukan aktivitas apa saja yang

digemarinya dan ingin ditekuninya sesuai dengan kemampuan dan impian yang

diharapkannya.

Difabel perlu memperoleh pendidikan tinggi telah tercantum dalam

Undang-undang penyandang kecacatan Tahun 2007 dan Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Adanya dua di antara sekian banyak dasar hukum yang dipaparkan tersebut,

Mangunsong (2009) memberikan jaminan sepenuhnya kepada difabel dalam

memperoleh pendidikan sebagaimana orang lain pada umumnya yang tanpa

difabilitas. Difabel dengan keterbatasan indera penglihatan, indera

pendengaran, kecacatan organ tubuh (fisik) dan lain sebagainya dapat

memperoleh pendidikan di perguruan tinggi dan dapat menjalani proses

pembelajaran serta dapat menjadi seorang mahasiswa.

Lifshitz, Hen, dan Weisse (2007) dalam penelitiannya mengungkapkan

bahwa di israel terdapat banyak individu yang mengalami kerusakan

penglihatan bahkan ketunanetraan yaitu sebanyak 80 % individu yang

bersekolah umum, 74 % dengan penglihatan rendah dan 26% dengan

ketunanetraan dan 20% bersekolah di tempat tinggal mereka. Dapat diketahui

dari penelitian tersebut bahwa prevalensi jumlah individu yang mengalami

ketunanteraan lebih banyak bersekolah di sekolah umum dibandingkan di

tempat tinggal mereka sendiri.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

3

Penyebab ketunanetraan salah satunya dapat berasal dari penyakit yang

dialami oleh mata. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kareemsab,

Rachaiah dan Balasubramanya (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan

bahwa penyakit yang dapat merusak sistem penglihatan dapat mengarahkan

pada ketunanetraan dan penglihatan yang rendah. Singabele, Sokolo dan Adio

(2010) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa katarak dapat

mengarahkan pada penyebab ketunanetraan termasuk yang terjadi di salah

satu Rumah Sakit di Nigeria tersebut. Sehingga penting untuk memperhatikan

kondisi mata dan penanganan yang tepat untuk menangani penyakit katarak

tersebut. Pihak Rumah Sakit yang memiliki wewenang dalam penanganan

penyakit katarak sebaiknya senantiasa memberikan pengarahan pada

masyarakat apabila terjadi permasalahan pada mata segera memberikan

penanganan yang tepat seperti melakukan pembedahan katarak sehingga tidak

mengakibatkan pada ketunanetraan.

Lebih lanjut Rahi dan Cable (2003) mengungkapkan bahwa kerusakan

penglihatan dan ketunanetraan pada anak-anak di Inggris merupakan hal yang

umum yang terjadi lebih banyak dikarenakan kerusakan non-ophthalmic yang

kompleks. 10.000 anak-anak di Inggris mengalami kerusakan penglihatan dan

ketunanetraan kebanyakan pada saat kelahiran pertama dan meningkat hingga

usia 16 tahun. Peningkatan berat kelahiran anak yang rendah juga dapat

menyebabkan adanya kerusakan penglihatan dan ketunanetraan pada anak-

anak di Inggris tersebut.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

4

Dupe, Mosunmola dan Tanimola (2010) dalam penelitiannya

mengungkapkan bahwa demografi dan masalah psikososial berpengaruh pada

peningkatan individu yang mengalami buta total. Individu dengan kebutaan total

dapat dipengaruhi dari adanya riwayat keluarga yang telah mengalami kebutaan

total pula atau tidak pernah menjalani penanganan mata, sehingga keluarga

merasa ketakutan jika ada anak mereka yang juga mengalami kerusakan

penglihatan sebagaimana yang mereka alami.

Mosunmola (2011) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa individu

dengan kerusakan penglihatan mayoritas sulit dalam hal penyesuaian dengan

pendidikan, latihan vokasional, pekerjaan, dan mobilitas. Faktor yang

kemungkinan menyebabkan gangguan psikologis adalah rendahnya latar

belakang pendidikan dan adanya gangguan medis lainnya. Banyak dari individu

dengan kerusakan penglihatan tidak memiliki akses pada pendidikan formal dan

sistem rehabilitasi yang dikontribusikan dengan adanya ketidakmampuan dalam

penyesuaian lingkungan yang dihadapinya. Dalam penelitian tersebut pula

diketahui bahwa individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki

pendidikan formal dan latihan vokasional tidak memiliki permasalahan dalam hal

perkawinan dan keluarga serta lebih dapat melakukan penyesuaian sosial dan

psikologis dari adanya ketunanetraan yang dimilikinya dibandingkan dengan

individu yang tidak memiliki pendidikan dan latihan vokasional.

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pentingnya

pendidikan dan latihan vokasional bagi difabel netra agar mampu melakukan

penyesuaian sosial dan psikologis walaupun dengan keterbatasan penglihatan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

5

yang dimilikinya. Sebagaimana dalam penelitian ini, difabel netra yang menjadi

mahasiswa pun memiliki keunikan tersendiri. Tingkat pendidikan yang

dimilikinya dapat menentukan bagaimana karakteristik kognitif, sosial, emosi,

motorik dan kepribadian yang dimilikinya yang pada akhirnya dapat membantu

dalam hal penyesuaian sosial dan psikologis. Sebagaimana Somantri (2007)

mengungkapkan bahwa difabel netra memiliki karakteristik kognitif, sosial,

emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada

sejak kapan difabel netra tersebut mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat

ketajaman penglihatannya, berapa usianya serta bagaimana tingkat

pendidikannya.

Keterbatasan kemampuan penglihatan yang dimiliki difabel netra tidak

menghambat beragam aktivitas dalam kesehariannya. Padahal dapat diketahui

bahwa adanya ketunanetraan yang dialami difabel netra, maka pengenalan atau

pengertian terhadap dunia luar tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh.

Akibatnya perkembangan kognitif difabel netra cenderung terhambat

dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan

perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau

kemampuan intelegensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera

penglihatannya. Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam

menerima informasi yang datang dari luar diri individu. melalui indera

penglihatan, individu mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar,

tidak saja pada bentuknya tetapi juga pengamatan dalam, warna, dan

dinamikanya (Somantri, 2007).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

6

Penerimaan rangsang yang dialami difabel netra hanya dapat dilakukan

melalui pemanfaatan indera-indera lain di luar indera penglihatannya. Difabel

netra biasanya menggantikannya dengan indera pendengaran sebagai saluran

utama penerima informasi. Indera pendengaran yang dimilikinya hanya mampu

menerima informasi dari luar yang berupa suara. Difabel netra juga akan

mengenal bentuk, posisi, ukuran, dan perbedaan permukaan melalui perabaan.

Melalui indera penciumannya pula, difabel netra dapat mengenal seseorang,

lokasi objek, serta membedakan jenis benda. Indera pengecapan juga dapat

digunakannya untuk mengenal objek melalui rasanya walaupun terbatas.

Adanya indera yang masih berfungsi tersebut memiliki potensi dalam

pengembangan kemampuan kognitifnya (Soemantri, 2007). Dapat dipahami

bahwa betapa pentingnya indera penglihatan bagi individu yang pada akhirnya

dapat mempengaruhi perkembangan kognitif individu sehingga mampu

berkembang secara optimal.

Efikasi diri sebagai suatu elemen kognitif penting dalam kehidupan

difabel netra. Bagaimana efikasi diri yang dimiliki difabel netra dapat

menggambarkan seberapa besar keyakinan dan semangat yang dimiliki oleh

difabel netra dalam menjalani kehidupannya, sehingga difabel netra mampu

mengatasi kesulitan dalam hal penyesuaian sosial dan psikologis diakibatkan

dari adanya keterbatasan penglihatan yang dimilikinya. Hal ini dapat diketahui

dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, Dubuc, Wittich,

Robbilard, dan Overbury (2008) bahwa adanya efikasi diri yang tinggi dapat

membantu individu dalam mengatasi depresi yang diakibatkan dari adanya

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

7

kerusakan penglihatan yang dialaminya. Hal tersebut dikarenakan efikasi diri

merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri yang berpengaruh dalam

kehidupan manusia sehari-hari (Bandura, 1986). Hal ini diperkuat pula oleh

pendapat Robbins (2001) bahwa efikasi diri merupakan faktor yang

mempengaruhi kinerja individu dalam mencapai tujuan tertentu.

Efikasi diri merupakan bagian dari kepribadian. Pervin dan John (2001)

mengungkapkan bahwa struktur kepribadian didasarkan pada kompetensi-

ketrampilan, tujuan dan diri (Self). Kepribadian merupakan karakteristik personal

individu yang meliputi diri (Self) dan identitas (identity) (Santrock, 2012).

Berkaitan dengan diri (Self), efikasi diri merupakan salah satu aspek penting

dalam upaya mempersepsikan diri agar dapat mengatasi situasi tertentu dalam

kehidupan individu (Pervin & John, 2001).

Dalam perkembangannya, kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor

internal dan ekternal yang biasa dikenal dengan istilah nature dan nurture.

Nature mengacu pada dampak inheritens genetik individu atau disebut faktor

hereditas (Bawaan), sedangkan Nurture mengacu pada dampak dari

pembelajaran, pelatihan, pendidikan atau secara lebih umum yaitu faktor

lingkungan individu (Berndt, 1992).

Istilah kepribadian digunakan untuk menggambarkan perbedaan individu

pada usia remaja dan dewasa seperti kemampuan emosional, aktivitas dan

sosial, sedangkan pada bayi dan anak-anak digunakan istilah temperamen untuk

mendeskripsikan perbedaan individu (Hetherington & Parke, 2003). Difabel netra

dalam penelitian ini merupakan individu yang berada pada usia dewasa

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

8

sehingga digunakan istilah kepribadian untuk mendeskripsikan perbedaan di

antara difabel netra tersebut.

Hal-hal yang merupakan bagian dari nature (hereditas) antara lain yaitu

maturation dan kondisi fisik. Maturation adalah pola perubahan secara genetik

pada karakteristik fisik seperti ukuran dan bentuk tubuh, pola hormon atau

koordinasi (Bee, 1981). Faktor pribadi yang terdalam (Inner personal factors)

meliputi kognisi,emosi dan peristiwa biologis merupakan bentuk faktor internal

(nature) yang dapat menjadi faktor penentu terbentuknya efikasi diri. Adanya

kemampuan kognitif yang kuat atau kemampuan mensimbolisasi menjadikan

individu dapat mengembangkan ide-ide yang kompleks dan pengalaman pada

orang lain serta dapat berlatih mengendalikan perilaku yang kemudian

berpengaruh tidak hanya pada lingkungan akan tetapi juga pada kognitif, afektif

dan kondisi biologis individu (Snyder & Lopez, 2002).

Galotti (2011) mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif pada usia

dewasa antara lain yaitu penalaran (reasoning), pembelajaran (learning) dan

pemecahan masalah (problem solving), serta pengambilan keputusan (decision

making). Mahasiswa difabel netra dalam penelitian ini berada pada usia dewasa

sehingga mereka dapat melatih dan mengontrol proses kognitifnya dengan cara

melakukan penalaran, pembelajaran dari lingkungan sekitarnya, pemecahan

masalah dan pengambilan keputusan dalam menghadapi permasalahan yang

dihadapi dalam kehidupannya khususnya kondisi ketunanetraan yang

dihadapinya. Sebagaimana Most, Chun, Widders, dan Zald (2005) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa kontrol kognitif dapat membantu individu

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

9

dengan kerusakan penglihatan dalam melakukan seleksi terhadap stimulus

yang ada dihadapannya. Kondisi fisiologis dan afeksi yang merupakan faktor

internal (nature) juga dapat menjadi faktor penentu terbentuknya efikasi diri

(Bandura, 1997).

Feldman (2005) memaparkan bahwa nature sebagai faktor hereditas

yang merupakan faktor genetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan sepanjang kehidupan individu. Hal-hal yang merupakan faktor

genetik yaitu pertama, karakteristik fisik antara lain seperti tinggi badan, berat

badan, intonasi suara, tekanan darah dan lain sebagainya. Kedua yaitu

karakteristik intelektual antara lain seperti memori, kecerdasan, kemampuan

membaca, dan lain sebagainya. Ketiga yaitu karakteristik emosional dan

gangguan antara lain seperti pemalu, terbuka (ekstrovert), neurotis, kecemasan

dan lain sebagainya. Adapun nurture yaitu faktor yang bersumber dari

lingkungan yang berpengaruh pada perilaku individu antara lain pengaruh dari

orang tua, saudara sekandung, keluarga, teman, sekolah, nutrisi, dan segala

pengalaman lainnya yang dapat mempengaruhi individu. .

Sebagaimana ungkapan Feldman (2005) bahwa tipe kepribadian

termasuk dalam faktor nature seperti ekstrovert, neurotis dan lain sebagainya

yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Sebagaimana dapat

diketahui bahwa tipe kepribadian terdiri dari tiga dimensi tipe yaitu ektraversi-

intraversi, neurotisisme, dan psikotisisme (Alwisol, 2009). Tipe kepribadian juga

dapat berpengaruh pada kondisi emosi yang dialami oleh individu yang

mengalami kerusakan penglihatan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

10

Macchiagodena, dkk (2008) bahwa individu dengan kerusakan penglihatan yang

memiliki kepribadian neurotisisme akan mudah mengarah pada emosi-emosi

negatif.

Nevid dan Rathus (2010) mengungkapkan bahwa pengaruh dari faktor

genetik juga dapat berkontribusi pada sebagian besar penyesuaian diri individu

dalam hal menghadapi tuntutan stress seperti masalah emosional yang

melibatkan kecemasan dan depresi, serta gangguan psikologis yang lebih berat.

Adapun faktor eksternal (nurture) dapat berkaitan dengan proses

pembelajaran, transaksi dan interaksi pada lingkungan sekitarnya (Bee, 1981).

Proses pembelajaran, transaksi dan interaksi antara lain dapat dilakukan dengan

cara belajar dari pengalaman keberhasilan sebelumnya, pengalaman orang lain,

persuasi verbal, dan pola asuh orang tua. Individu yang sebelumnya pernah

mencapai pengalaman sukses atau berhasil dalam suatu tugas akan memiliki

keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya sehingga akan meningkatkan

keyakinan saat menghadapi tugas berikutnya (Bandura, 1997).

Individu juga dapat meningkatkan efikasi dirinya dengan cara melihat

atau mencontoh keberhasilan orang lain dalam suatu tugas ataupun kondisi

yang sama. Hal ini dapat diperkuat dari adanya penelitian yang dilakukan oleh

Schunk (1986) bahwa dengan adanya pengalaman melihat dan mencontoh

orang lain maka dapat berpengaruh pada efikasi diri yang dimiliki siswa selama

proses pembelajaran. Dalam penelitian tersebut, siswa melakukan beberapa hal

yaitu kesamaan atribusi, kemampuan yang dirasakan, jumlah model yang

menjadi contoh, strategi yang dilakukan oleh model, informasi tentang beban

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

11

tugas, dan hasil dari tindakan model. Pada aktivitas imitasi (meniru) pada

individu normal dilakukan dengan imitasi visual, maka pada difabel netra harus

dirangsang melalui stimuli pendengaran dan indera-indera lainnya yang masih

berfungsi secara optimal (Somantri, 2007).

Persuasi verbal memiliki peranan penting dalam meningkatkan efikasi diri

individu. Persuasi verbal dapat berupa saran, nasehat atau bimbingan yang

positif dari orang lain dapat meningkatkan keyakinan tentang ketrampilan dan

kemampuan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana

penelitian yang dilakukan oleh Hagen, Gutkin, Caryll, dan Oats (1998) diketahui

bahwa pengalaman orang lain dan persuasi verbal dapat meningkatkan efikasi

diri guru dalam mengatasi kesulitan dalam proses belajar dan mengajar pada

siswa di kelas.

Bentuk interaksi antara anak dengan orang tua pun dapat mempengaruhi

perkembangan kepribadian antara lain yaitu pola asuh yang mendukung dari

orang tua pada anak yang mengalami kerusakan penglihatan dapat membantu

anak dalam hal beradaptasi pada kondisi ketunanetraan yang dialaminya.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ulster dan Antle (2005) bahwa

terdapat suatu temuan yang positif bahwa reaksi emosional orang tua dan

respon yang positif dalam mengarahkan anak dengan keterbatasan penglihatan

dapat meningkatkan perkembangan diri anak dalam segala waktu. Adanya

kepedulian dari lingkungan khususnya dari orang tua merupakan bagian yang

terpenting dalam lingkungan anak berada (Snyder & Lopez, 2002).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

12

Kemampuan regulasi diri dapat bersumber dari proses pembelajaran

dari pengetahuan yang telah lalu dan pengalaman dari adanya kepercayaan

akan kejadian di masa depan yang berkaitan dengan kemampuan dan perilaku

yang dimiiliki individu. Kemampuan regulasi diri ini dapat mengarahkan individu

pada terbentuknya efikasi diri (Snyder & Lopez, 2002). Sebagaimana penelitian

yang dilakukan oleh Eniola (2007) bahwa pelatihan strategi regulasi diri dan

kecerdasan emosional dapat mengatasi perilaku agresif remaja dengan

kerusakan penglihatan yang disebabkan karena ketidakmampuannya dalam

mengontrol emosi dan menyesuaikan diri dengan masalah ketunanetraannya.

Berdasarkan adanya faktor-faktor penentu terbentuknya efikasi diri

tersebut, maka dapat membantu individu demi terwujudnya efikasi diri yang

positif dalam diri individu tersebut. Adanya hal-hal yang mempengaruhi efikasi

diri tersebut juga dapat membantu dan mengarahkan individu dalam mengatasi

permasalahan yang penuh tekanan (stress) ataupun kejadian negatif dalam

pengalaman kehidupannya.

Adanya efikasi diri yang positif dapat mengarahkan mahasiswa difabel

netra dalam upaya menentukan koping yang tepat demi tercapainya tujuan dan

harapan dalam kehidupannya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Rokke, Ficek, Siemens dan Hegstad (2004) diketahui bahwa efikasi diri dan

pemilihan strategi koping yang tinggi dapat mentoleransi rasa sakit akut. Lebih

lanjut Rokke, dkk (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pemilihan

strategi koping dan efikasi diri memiliki hubungan yang signifikan dalam

peningkatan kontrol diri dalam mentoleransi rasa sakit. Yang, Yang, Liu, Tian,

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

13

Zhu dan Miao (2010) juga mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa efikasi

diri sebagai mediator antara masalah psikologis dan dukungan sosial dan

strategi koping.

Difabel netra dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya pada

umumnya cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan

dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang

maupun pekerjaan (Somantri, 2007). Kondisi ketunanetraan yang dialami

difabel netra dapat menjadi stressor dalam aktivitas sehari-hari dalam

kehidupannya. Hal ini dapat diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Lee dan Brennan (2006) bahwa adanya kerusakan penglihatan dapat

mengarahkan pada minimnya kebermaknaan psikososial, meningkatnya gejala

depresi, menurunnya kepuasaan hidup dan minimnya adaptasi akan hilangnya

penglihatan. Adanya permasalahan yang dialami oleh difabel netra tersebut

dapat mengarahkan pada kondisi stress.

Stress dapat berawal dari sumber internal dan eksternal seperti konflik,

kerugian, kehilangan ataupun frustrasi (Davis & Buskist, 2008). Difabel netra

dapat mengalami kondisi stress dikarenakan menurunnya atau bahkan

hilangnya penglihatan sehingga difabel netra mengalami permasalahan

terutama yang bersumber dari lingkungan. Sebagaimana penelitian yang

dilakukan oleh Lifshitz, dkk (2007) mengungkapkan bahwa beberapa remaja

mengalami terisolasi secara sosial, memiliki jaringan sosial yang sedikit, dan

cenderung memiliki aktifitas yang pasif. Remaja dengan kerusakan penglihatan

menjadi merasa tidak berdaya dan merasa rendah dikarenakan adanya

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

14

penolakan dari penerimaan sosial, pencapaian akademik yang rendah, dan

keterbatasan secara fisik.

Kondisi stress dapat diatasi dengan pemilihan strategi koping yang

sesuai. Lee dan Brennan (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa

kondisi stress yang dialami individu yang mengalami kerusakan penglihatan

dapat diatasi dengan melakukan strategi koping antara lain yaitu behavioral

coping, psychological coping dan social coping. Behavioral coping didefinisikan

sebagai suatu yang jelas, tindakan yang dapat diamati seperti menggunakan

alat bantu optik atau adaptasi. Psychological coping didefinisikan sebagai hal

yang melibatkan kognisi dan emosi seperti menerima kerusakan

penglihatannya. Social Coping didefinisikan sebagai hal yang melibatkan bagian

jaringan sosial yang informal dan penyedia layanan umum seperti mengaktifkan

dukungan emosional dan dukungan yang membantu.

Lebih lanjut Asim, Zafar, Batool dan Jamal (2012) dalam penelitiannya

juga menyatakan terdapat enam pendekatan yang dapat dilakukan sebagai

strategi positif bagi individu yang mengalami kerusakan penglihatan antara lain

yaitu penerimaan, kepercayaan, penghindaran yang positif, minimalisasi,

ketidakbergantungan dan kontrol.

Pemaparan tersebut dapat diperkuat dengan hasil wawancara peneliti

pada tanggal 1 - 4 - 2013 dengan salah seorang mahasiswa difabel netra yang

berinisial (F) berusia 22 tahun. Berbagai hambatan yang dialaminya yaitu

hambatan sosial, pendidikan dan sebagainya. Permasalahan lingkungan sosial

merupakan hambatan utama yang dialaminya. Ketunanetraan telah dialaminya

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

15

sejak lahir, akan tetapi ia baru mengetahui kondisinya tersebut ketika ia tamat

dari bangku Taman Kanak-kanak (TK). Di TK, ia sering mengalami ejekan dan

perlakuan negatif dari lingkungannya terutama dari teman sebaya. Ia merasa

tertekan dan tidak nyaman dengan adanya perlakuan tersebut. Adanya

perlakuan negatif tersebut, tidak jarang memicu emosinya bahkan ia pun

berkelahi dengan teman sebayanya. Perlakuan serupa pun juga ia alami ketika

ia duduk di bangku SD, SMP dan SMU. Ia merasa bahwa masih ada individu

yang belum dapat menerima dirinya sepenuhnya, begitu pula selama ia

menjalani studi di Universitas. Walaupun demikian, ia merasa lebih nyaman

berada di lingkungan Universitas. Adanya semangat dan penerimaan diri serta

dukungan khususnya dari orang tua menjadikan dirinya dapat mengatasi

tekanan dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa lingkungan

sosial yang mendukung dan tidak diskriminatif serta sarana fisik yang

mendukung jelas sangat penting dan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan

lingkungan yang ramah bagi difabel. Hal ini dapat diperkuat dari adanya

penelitian yang dilakukan oleh Cimarolli dan Boerner (2005) bahwa dukungan

sosial yang positif dapat berpengaruh pada kebermaknaan hidup dan kepuasan

hidup individu yang mengalami kerusakan penglihatan. Adanya dukungan sosial

dapat membantu individu dalam mengatasi stress dalam kehidupannya

(Feldman, 2010).

Menurut Mangunsong (2009), perkembangan sosial manusia sangat

dipengaruhi oleh kemampuan individu untuk berkomunikasi. Individu yang

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

16

mengalami ketunanetraan sering mengalami kesulitan komunikasi dan interaksi

karena masyarakat memberikan respons yang tidak sesuai kepada mereka.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Correa (2008) diketahui bahwa

siswa yang mengalami ketunanetraan sering untuk lebih dekat dan lebih

tergantung dengan guru untuk berkomunikasi dan tidak memiliki inisiatif untuk

berinteraksi dengan teman sebayanya yang tanpa disabilitas.

Segala permasalahan yang dialami difabel netra perlu diantisipasi

dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan dan

kesempatan yang luas bagi difabel netra sehingga permasalahan yang mungkin

timbul dalam berbagai aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin.

Artinya, perlu dilakukan upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidisipliner

untuk mencegah agar permasalahan tersebut tidak meluas, dan mendalam

yang akhirnya dapat merugikan perkembangan difabel netra (Somantri, 2007).

Keterbatasannya dalam melihat, justru memicu mereka untuk

memaksimalkan indera lain yang masih berfungsi dengan baik seperti, indera

pendengaran, indera peraba dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan

salah satu bentuk koping yang dilakukan oleh individu yang mengalami

kerusakan penglihatan. Difabel netra tetap dapat menjalani aktivitasnya sehari-

hari dan tidak menjadikan keterbatasan penglihatan tersebut sebagai

penghalang dalam mencapai harapan dan impian yang diinginkannya. Adanya

semangat dan keyakinan yang kuat dari dalam diri sehingga difabel netra dapat

menjalani kehidupan dengan baik.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

17

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Studi Layanan Difabel

(PSLD) di Universitas yang menjadi lokasi penelitian dapat diketahui pula

gambaran kehidupan salah satu mahasiswa difabel netra yang berinisial P (25

tahun). P mengalami ketunanetraan sejak masih duduk di kelas 6 SD. Pada

awal mengalami ketunanetraan, ia sempat merasa putus asa dan berfikir bahwa

masa depannya akan suram. Bermodal semangat untuk meraih impiannya

menjadi seorang guru, ia pun mampu mengatasi kekurangan fisiknya. Ia

berusaha mengoptimalkan fungsi indera lainnya yang masih berfungsi dan pada

tahun 2006 ia dapat masuk ke universitas. Ia pun aktif di beberapa organisasi

seperti di PSLD, Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) serta Ikatan

Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Berdasarkan gambaran tersebut dapat

diketahui adanya efikasi diri yang kuat yang dimiliki oleh seorang difabel netra

demi tercapainya harapan walaupun dengan keterbatasan penglihatannya.

Setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda sesuai dengan dimensi

yang berhubungan dengan performa yang dimiliki oleh individu tersebut antara

lain yaitu tingkat kesulitan tugas, luas bidang tugas atau perilaku dan

kemantapan keyakinan yang dimiliki oleh individu tersebut (Bandura, 1997).

Individu yang memiliki keyakinan dan kemampuan akan menghadapi

tugas yang sukar sebagai suatu tantangan dan tidak menghindarinya. Jika

efikasi diri rendah maka akan membuat individu mengurangi upayanya dalam

menghadapi tantangan tersebut atau mendapatkan umpan balik yang negatif

(Robbins, 2001). Dapat dipahami bahwa efikasi diri yang tinggi sangat berperan

penting dalam mendukung kinerja dan performansi seorang difabel netra dalam

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

18

mencapai tujuan dalam kehidupannya tersebut, baik dalam dunia pendidikan,

pekerjaan maupun dalam keluarga.

Dapat diperkuat pula dari penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena,

dkk (2008) bahwa efikasi diri yang tinggi dapat menurunkan kondisi depresi

yang dialami individu dengan kerusakan penglihatan dan sebaliknya efikasi diri

yang rendah dapat meningkatkan kondisi depresi yang dialaminya. Individu

dengan kerusakan penglihatan yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih

dapat mengontrol kondisi emosinya baik sehingga terhindar dari perasaan

tertekan baik yang bersumber dari internal maupun eksternal terutama dari

lingkungan. Adapun individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki

efikasi diri yang rendah tidak dapat mengontrol kondisi emosinya dan terus

menerus berada dalam kondisi yang penuh tekanan dalam kehidupannya.

Adanya efikasi diri yang positif dapat membantu individu agar dapat terus

tumbuh berkembang walaupun mengalami kejadian yang penuh tekanan

(stress) dalam pengalaman kehidupannya atau dapat dikenal dengan istilah

Stress Related Growth yang merupakan perubahan positif yang mengikuti

pengalaman dari kejadian kehidupan yang penuh tekanan (Tedeschi & Calhoun,

1996). Efikasi diri dapat dikaitkan dengan konsep Stress Related Growth

(SRG). Hal tersebut diperkuat sebagaimana ungkapan Santrock (2006) bahwa

efikasi diri merupakan suatu keyakinan bahwa individu dapat menghadapi suatu

kejadian dan menghasilkan suatu hasil (outcome) yang positif. Efikasi diri

berkaitan dengan banyaknya perkembangan yang positif dalam kehidupan

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

19

individu termasuk pemecahan masalah (problem solving), menjadi lebih mudah

bergaul, dan memiliki inisiatif melakukan sesuatu.

Stress Related Growth adalah suatu perubahan positif dari akhir

pengalaman kehidupan yang penuh tekanan (stress) (Park, Cohen & Murch,

1996). Stress related Growth terkadang disebut pula dengan perceived benefits

atau posttraumatic growth yang biasanya diketahui dengan menanyakan pada

individu yang telah mengalami suatu kondisi yang penuh tekanan dengan

perubahan positif yang mereka alami sebagai hasi dari proses koping atas

kejadian yang dihadapi (Park & Fenster, 2004).

Terbentuknya Stress Related Growth dapat dicapai dengan melakukan

beberapa proses yaitu merubah pandangan dunia (Worldview Change),

memproses kognitif (Cognitive Processing) dan menilai dan melakukan proses-

proses koping (Coping Processes). Proses pertama yaitu merubah pandangan

dunia merupakan suatu model yang memiliki tujuan bahwa proses tumbuh

dengan cara mengeluarkan permasalahan dalam memandang dunia yang

dibentuk dari adanya trauma atau stres (Park & Fenster, 2004). Proses kedua

yaitu dengan memproses kognitif. Stress Related Growth dapat terjadi sebagai

hasil dari usaha-usaha ketidaksadan bahwa individu menggabungkan kejadian-

kejadian yang penuh tekanan ke dalam proses kognitif yang ada sebelumnya.

Proses ketiga yaitu proses koping (Coping Processes). Keaslian dari

Stress Related Growth yaitu berdasarkan pada proses koping. Dalam proses

koping ini memiliki tujuan bahwa sumber daya individu (Personal Resources),

penilaian kognitif (Cognitive Appraisals), dan aktivitas koping (Coping Activities)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

20

dapat mempengaruhi hasil dari kejadian yang penuh tekanan (stress) tersebut.

Dapat dipahami bahwa Stress Related Growth merupakan hasil yang positif dari

adanya perubahan yang positif dalam kehidupan individu setelah mengalami

pengalaman traumatis atau penuh tekanan dalam kehidupannya.

Berkaitan dengan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa efikasi diri

dapat menunjukkan seberapa besar keyakinan dan motivasi pada difabel netra

tersebut dalam menjalani beragam tugas dalam kehidupannya dan tetap dapat

tumbuh dan berkembang walaupun adanya pengalaman kehidupan yang penuh

tekanan dan adanya keterbatasan dalam hal penglihatan. Dukungan dari

lingkungan sekitar atau lingkungan sosial khususnya lingkungan akademik dan

keluarga pun juga diperlukan agar senantiasa dapat menunjang keberhasilan

difabel netra demi terbentuknya efikasi diri yang positif pada diri mereka yang

dapat menjadi dasar penentu terbentuknya performansi yang positif dan

tercapainya harapan dalam kehidupannya secara lebih positif.

Sebagaimana adanya pemaparan di atas, maka dalam penelitian ini,

peneliti akan menelaah mengenai gambaran dinamika psikologis efikasi diri

pada mahasiswa difabel netra dalam menjalani aktivitas sehari-harinya selama

perjalanan kehidupannya.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

21

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang tersebut di atas, maka

dapat difokuskan pertanyaan penelitian dalam hal ini yaitu:

1. Bagaimana pandangan mahasiswa difabel netra tentang kemampuan dirinya?

2. Faktor – faktor apa saja yang menjadi dasar terbentuknya efikasi diri pada

mahasiswa difabel netra sehingga merasa mampu menjalani kehidupannya?

3. Bagaimana persepsi lingkungan sosial terhadap mahasiswa difabel netra

tersebut dalam kesehariannya?

4. Bagaimana hasil yang dicapai dari adanya efikasi diri yang dimiliki mahasiswa

difabel netra dalam menjalani kehidupannya?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

dinamika efikasi diri pada mahasiswa difabel netra.

Berdasarkan adanya tujuan penelitian tersebut maka diharapkan

penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait. Manfaat yang

diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan

memperkaya khasanah keilmuan bidang psikologi klinis pada khususnya, juga

kajian tentang perkembangan difabel netra aspek efikasi diri pada khususnya

serta sebagai rujukan bagi penelitian-penelitian berikutnya tentang

permasalahan klinis dan kesehatan lainnya.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

22

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan bagi para

konselor, terapis, psikolog, pendidik ataupun instansi yang berkompeten dalam

menangani penyandang cacat baik instansi kesehatan, dinas sosial dan dinas

pendidikan dalam mengembangkan praktek keilmuannya pada umumnya dan

praktisi psikologi klinis dan kesehatan pada khususnya.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang efikasi diri pada mahasiswa difabel netra ini belum

pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya tentang difabel adalah

penelitian yang dilakukan Perwitasari (2012) tentang pengaruh konseling

kebermaknaan hidup terhadap kesejahteraan psikologis difabel. Metode yang

digunakan adalah eksperimen. Partisipan penelitian ini adalah dua kelompok

difabel pada dua lokasi panti yang berbeda. Hasil penelitian ini adalah konseling

kebermaknaan hidup signifikan mempengaruhi kesejahteraan psikologis difabel.

Penelitian yang dilakukan Kinasih (2010) tentang pelatihan mindfulness

untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja difabel fisik. Metode

yang digunakan adalah berupa pemberian pelatihan pada remaja difabel fisik.

Hasil penelitian ini adalah pelatihan mindfulness secara signifikan dapat

meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja difabel fisik.

Penelitian yang dilakukan Halida (2007) tentang pelatihan berfikir positif

untuk meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel. Metode yang

digunakan adalah berupa desain randomized pre test-post test control group.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

23

Partisipan merupakan klien Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY) Yogyakarta usia

remaja, berpendidikan minimal SMP, dan memperoleh skor rendah pada Skala

Penerimaan Diri. Hasil penelitian ini yaitu pelatihan berpikir positif secara

signifikan meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel.

Penelitian yang dilakukan oleh Lifshitz, dkk (2007) tentang Self Concept,

Adjustment to Blindness, and Quality of Friendship Among Adolescent with

Visual Impairment. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil

penelitian tersebut adalah terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri,

penyesuaian terhadap ketunanetraan, dan kualitas persahabatan pada remaja

dengan kerusakan penglihatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Mosunmola (2011) tentang psychological

and Social Adjustment to Blindness. Metode yang digunakan adalah metode

eksperimen dengan membandingkan dua kelompok tuna netra di Nigeria. Hasil

penelitian tersebut adalah individu dengan kerusakan penglihatan sulit dalam hal

penyesuaian dengan pendidikan, latihan vokasional, pekerjaan, dan mobilitas.

Adapun penelitian sebelumnya tentang efikasi diri adalah penelitian yang

dilakukan Gultom (2012) tentang efikasi diri penyandang tuna daksa dewasa

awal yang dibina dalam panti ditinjau dari dukungan sosial dan persepsi

terhadap rehabilitasi vokasional. Metode yang digunakan adalah pendekatan

kuantitatif yang melibatkan responden yang bertempat tinggal di pusat

rehabilitasi di Solo. Hasil penelitian ini adalah dukungan sosial lebih berkontribusi

daripada rehabilitasi vokasional terhadap efikasi diri penyandang tuna daksa

dewasa awal tersebut.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

24

Penelitian yang dilakukan Raihana (2012) tentang kesejahteraan

psikologis ditinjau dari efikasi diri dan kecerdasan emosi remaja awal.

Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Subyek dalam penelitian

ini adalah 90 remaja awal pada SMP N X RSBI di Surakarta. Hasil penelitian ini

adalah adanya korelasi positif antara efikasi diri dan kecerdasan emosi terhadap

kesejahteraan psikologis pada remaja awal.

Penelitian yang dilakukan Sholichah (2012) tentang pelatihan efikasi diri

untuk mengurangi stress kerja perawat rumah sakit jiwa. Metode yang digunakan

adalah metode eksperimen. Partisipan penelitian ini adalah perawat salah satu

rumah sakit jiwa di Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah pelatihan efikasi diri

secara signifikan mengurangi stress kerja perawat rumah sakit jiwa.

Penelitian yang dilakukan oleh Rokke, dkk (2004) tentang Self Efficacy

and Choice of Coping Strategies for Tolerating Acute Pain. Metode yang

digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah efikasi

diri dan pemilihan strategi koping yang tinggi dapat mentoleransi rasa sakit akut.

Penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, dkk (2008) tentang Self

Efficacy and Depression Among Low Vision Seniors. Metode yang digunakan

adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah efikasi diri yang

tinggi dapat menurunkan kondisi depresi pada individu dengan kerusakan

penglihatan dan efikasi diri yang rendah dapat meningkatkan kondisi depresi

yang dialami inidividu dengan kerusakan penglihatan.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68357/potongan/S2-2014... · A. Latar Belakang Dalam menjalani ... pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring

25

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui terdapat perbedaan

dengan penelitian sebelumnya yang dapat ditinjau dari beberapa hal yaitu:

1. Keaslian Topik

Pada penelitian sebelumnya belum pernah mengkaji tentang mahasiswa

difabel netra secara khusus dan efikasi diri pada difabel netra. Pada penelitian

kali ini peneliti berfokus mengkaji tentang efikasi diri pada mahasiswa difabel

netra sehingga menunjukkan bahwa topik penelitian kali ini memiliki perbedaan

dengan penelitian sebelumnya.

2 . Keaslian Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian kali ini untuk

mengkaji efikasi diri pada mahasiswa difabel netra adalah dengan menggunakan

pendekatan kualitatif. Adapun penelitian sebelumnya tentang difabel dan efikasi

diri menggunakan pendekatan kuantitatif dan eksperimen, sehingga penelitian

kali ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

3. Keaslian informan penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa difabel netra yang

sedang menjalani studi di salah satu universitas di Yogyakarta. Peneliti

berasumsi bahwa difabel netra memiliki keunikan tersendiri dalam menjalani

kesehariannya dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya, terutama

ketika menjalankan perannya sebagai mahasiswa. Berkaitan dengan hal

tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana dinamika efikasi diri yang

dimiliki oleh mahasiswa difabel netra tersebut.