bab i - pendahuluan

8
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan area klinis di mana komunikasi yang efektif sangat penting digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien. IGD memainkan peran penting dalam sistem kesehatan, merupakan titik masuk utama ke rumah sakit untuk klien rawat inap yang tidak direncanakan dari berbagai tingkat kejadian (Spencer, Logan, & Coeira, 2002). Burley, (2011) menyebutkan, kondisi ruang IGD menuntut perawat IGD memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian efektif kondisi klien, hal ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas penilaian, komunikasi yang tidak efektif dapat menyebabkan pengumpulan riwayat kesehatan klien yang tidak akurat dan sebagai akibatnya adalah diagnosis yang tidak akurat, sehingga demikian akan meningkatkan risiko klinis bagi klien (Burley, 2011). Komunikasi yang efektif dan keterampilan interpersonal telah lama dikenal sebagai dasar pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kenyataan yang ditemukan membuktikan bahwa tekanan untuk berkomunikasi di area kerja dengan stressor yang tinggi seperti di ruang gawat darurat menimbulkan tantangan tersendiri dalam peningkatan pelayanan kualitas perawatan. Sebuah laporan tentang manajemen insiden di New South Wales mengutip bahwa komunikasi yang buruk dan tidak memadai dengan pasien menjadi penyebab utama terjadinya insiden kritis. Komunikasi di ruang perawatan darurat sangat kompleks, sehingga bekerja dalam tim dengan komunikasi yang baik sangat diharapkan (Scheeres, Slade, Manidis, McGregor, & Matthiessen, 2008 ).

Upload: bangjays

Post on 29-Oct-2015

25 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I - Pendahuluan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan area klinis di mana

komunikasi yang efektif sangat penting digunakan dalam pemberian

asuhan keperawatan kepada klien. IGD memainkan peran penting dalam

sistem kesehatan, merupakan titik masuk utama ke rumah sakit untuk klien

rawat inap yang tidak direncanakan dari berbagai tingkat kejadian

(Spencer, Logan, & Coeira, 2002). Burley, (2011) menyebutkan, kondisi

ruang IGD menuntut perawat IGD memiliki kemampuan untuk melakukan

penilaian efektif kondisi klien, hal ini pada gilirannya mempengaruhi

kualitas penilaian, komunikasi yang tidak efektif dapat menyebabkan

pengumpulan riwayat kesehatan klien yang tidak akurat dan sebagai

akibatnya adalah diagnosis yang tidak akurat, sehingga demikian akan

meningkatkan risiko klinis bagi klien (Burley, 2011).

Komunikasi yang efektif dan keterampilan interpersonal telah lama

dikenal sebagai dasar pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kenyataan yang ditemukan membuktikan bahwa tekanan untuk

berkomunikasi di area kerja dengan stressor yang tinggi seperti di ruang

gawat darurat menimbulkan tantangan tersendiri dalam peningkatan

pelayanan kualitas perawatan. Sebuah laporan tentang manajemen insiden

di New South Wales mengutip bahwa komunikasi yang buruk dan tidak

memadai dengan pasien menjadi penyebab utama terjadinya insiden kritis.

Komunikasi di ruang perawatan darurat sangat kompleks, sehingga bekerja

dalam tim dengan komunikasi yang baik sangat diharapkan (Scheeres,

Slade, Manidis, McGregor, & Matthiessen, 2008 ).

Page 2: BAB I - Pendahuluan

2

Perawat IGD menghadapi tantangan yang semakin meningkat dalam

merawat klien. Sementara kondisi ruang perawatan telah membatasi dan

menurunkan waktu yang digunakan untuk berkomunikasi dengan klien.

(Fortin, 2002). Informasi yang didapatkan dari komunikasi dengan klien

memberikan perawat petunjuk tentang kondisi klien, serta setiap penyakit

yang berkembang (Rosenberg, 2009). Interaksi ini dapat berlangsung

hanya beberapa menit dalam kondisi akut akibat kecelakaan dan

penanganan di ruang IGD atau praktek perawatan primer (Webb, 2010).

Pada fase perawatan akut di IGD, klien membutuhkan pelayanan

asuhan keperawatan yang sesuai dengan kondisi kedaruratan klien.

Klasifikasi tingkat perawatan klien memiliki implikasi besar bagi

pelaksanaan asuhan keperawatan. Perawat memerlukan keterampilan

untuk menilai tingkat perawatan klien dan memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan tingkat ketergantungannya (Crouch &

Williams, 2006) Pengetahuan, keterampilan dan kompetensi perawat

diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai tingkat

kebutuhan klien, dimana keparahan dan kompleksitas kondisi kritis mereka

menjadi acuan dalam interaksi antara perawat dan klien (Galley &

O’Riordan, 2003).

Pengklasifikasian tingkat keparahan klien memerlukan alat penilaian

yang digunakan untuk stratifikasi klien menurut tingkat keparahan penyakit

dan kemudian dilanjutkan penggunaannya untuk memberikan informasi

yang obyektif dalam meningkatkan manajemen klien. Sistem klasifikasi

klien juga dapat berfungsi sebagai alat untuk membandingkan efisiensi

perawatan sehigga perawat dapat menyesuaikan bentuk pendekatan dan

interaksi yang akan dilakukan kepada klien (Oh & Seo, 2005).

Page 3: BAB I - Pendahuluan

3

Perawat IGD membutuhkan struktur komunikasi yang mendukung

dalam memfasilitasi kebutuhan klien dalam pelaksanaan perawatan pada

fase darurat (Spencer, Logan, & Coeira, 2002). IGD memiliki keterbatasan

dalam pemanfaatan waktu efisien yang digunakan perawat untuk

berkomunikasi dengan klien. Komunikasi klien dan tenaga medis yang

kompeten berhubungan dengan akurasi diagnostik yang akurat dan

kepuasan klien sedangkan Keterampilan komunikasi yang buruk terkait

dengan risiko malpraktek (Fortin, 2002). Kondisi tersebut menuntut perawat

IGD memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan keterampilan dalam

pengambilan riwayat kesehatan klien, perawat IGD juga secara penuh

berkontribusi agar klien mendapatkan hasil yang diharapkan dalam asuhan

keperawatan serta mencapai tujuan untuk kesejahteraan klien (Burley,

2011).

Komunikasi merupakan salah satu alat yang berharga bagi perawat

untuk membangun hubungan yang berdasar pada kepercayaan.

Kepercayaan ini memungkinkan perawat untuk memberikan klien rasa

aman untuk berbagi informasi, perasaan, sakit, kebahagiaan, atau

kesembuhan. Informasi yang didapatkan dari komunikasi memberikan

perawat petunjuk penting tentang kondisi kesehatan klien (Rosenberg,

2009). McMahon (2002) dalam Webb (2010) menyatakan hubungan antara

perawat dan klien sering dilihat sebagai hubungan terapeutik itu sendiri

dimana hal itu didasarkan pada kemitraan, keintiman, dan timbal balik.

Tujuannya memiliki fokus pada kesejahteraan klien sebagai prioritas,

hubungan ini dapat berlangsung hanya beberapa menit dalam kondisi

darurat dan penanganan di ruang emergensi atau perawatan primer

lanjutan (Webb, 2010).

Page 4: BAB I - Pendahuluan

4

Perawat dapat berkomunikasi efektif dengan klien ketika mereka

menggunakan pendekatan yang berpusat pada klien (McCabe, 2004).

Komunikasi efektif menjadi tantangan bagi perawat ketika klien berada

dalam kondisi negatif karena perasaan sakit, ketidaknyamanan atau

kehilangan, sehingga komunikasi akan efektif bila perawat mengerti kondisi

yang dihadapi oleh klien (Jasmine, 2009). Komunikasi efektif perawat dan

klien melibatkan totalitas kondisi klien - lingkungan, spiritual, psikologis,

serta elemen fisiologis. Tujuan utamanya adalah pembentukan

kepercayaan untuk menciptakan pertukaran informasi antara perawat dan

klien. Komunikasi efektif akan memberikan pemahaman perawat tentang

pengalaman klien berkomunikasi untuk mengobservasi ekspresi, pikiran,

perasaan dan kebutuhan fisik yang holistik. Idealnya hasil dari pertukaran

timbal balik adalah formulasi rencana, diagnosa, pengobatan yang

dirancang untuk kesembuhan klien. (Rosenberg, 2009).

Komunikasi yang efektif dalam beberapa menit pertama pertemuan

dengan klien dapat dengan cepat berdampak pada efektivitas untuk

mengumpulkan informasi penting diagnosis dan pengobatan (Rhodes, et

al., 2004). Lindhardt dkk (2008) dalam Brinkert (2010) menjelaskan bahwa

sebuah penelitian kualitatif di rumah sakit perawatan akut Denmark

mengemukakan bahwa kemampuan perawat dalam berkomunikasi

mempengaruhi penghargaan terhadap hubungan antara perawat dengan

klien (Brinkert, 2010). Studi literatur Finke, Light, & Kitko (2008)

melaporkan hasil yang didapatkan menunjukkan pentingnya komunikasi

antara perawat dan klien. Salah satu perspektif yang paling konsisten

adalah didapatkan dampak potensial terhadap kualitas pelayanan jika

komunikasi antara perawat dan klien terhambat (Finke, Light, & Kitko,

2008).

Page 5: BAB I - Pendahuluan

5

Komunikasi memainkan peran penting bagaimana pengalaman

pasien pulih dari pengalaman sakit. Komunikasi yang buruk merupakan

salah satu penyebab yang mempengaruhi keselamatan dan kepuasan

pasien di ruang gawat darurat (Pytel, Fielden, Meyer, Albert, & Cleveland,

2009). Studi di Australia memberikan gambaran bagaimana peran

komunikasi dengan pasien di unit gawat darurat. Studi ini mengungkapkan

sejumlah isu yang menunjukan adanya potensi kesulitan komunikasi antara

pasien dan tenaga kesehatan. Temuan ini mencerminkan bagaimana

pengalaman pasien dipengaruhi oleh cara-cara yang tidak disadari atau

jarang dilakukan selama berkomunikasi di ruang gawat darurat (Scheeres,

Slade, Manidis, McGregor, & Matthiessen, 2008 ).

Beberapa penelitian tentang kualitas asuhan keperawatan

menempatkan komunikasi efektif sebagai bagian dari survey kepuasan

klien. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perawat tercatat jarang

mendengarkan keluhan klien dan tidak selalu menjelaskan kondisi

kesehatan klien (Otani, Herrmann, & Kurz, 2011).Ryan dan Rahman

(2012), melaporkan bahwa komunikasi dan hubungan yang dibangun

perawat dan klien secara langsung mempengaruhi tingkat kepuasan klien,

terdapat hipotesa yang menunjukkan bahwa komunikasi perawat

berpengaruh terhadap kepuasan klien (Ryan & Rahman, 2012).Tujuan

terpenuhinya asuhan keperawatan yang baik adalah untuk kepuasan

pasien,yang merupakan indikator penting dari kualitas asuhan

keperawatan. Elder dkk. (2004), Laschinger dkk (2005), Yellen (2003),

Lynn dkk (2007) dalam Rosenberg (2009) menjelaskan diperlukan

pengembangan instrumen untuk menilai kepuasan klien dalam rangka

Page 6: BAB I - Pendahuluan

6

untuk meningkatkan asuhan keperawatan serta untuk mempelajari

dampaknya terhadap kesehatan (Rosenberg, 2009).

Elder dkk. (2004), Laschinger dkk(2005) dalam Wagner dan Bear

(2009) menyebutkan kepuasan klien merupakan indikator penting dari

kualitas asuhan keperawatan, kepuasan terhadap pelayanan perawat

diidentifikasikan rumah sakit memiliki hubungan langsung dengan

kepuasan klien (Wagner & Bear, 2009). Merriam-Webster (2009) dalam

Ryan dan Rahman (2012) mendefinisikan kepuasan sebagai pemenuhan

keinginan atau kemauan klien. Kepuasan terkadang sulit diukur karena

merupakan hal yang subjektif, rumit dan terdiri dari berbagai aspek. Sidani

(2008) dalam Ryan dan Rahman (2012) menjelaskan bahwa klien merasa

mendapatkan pelayanan yang baik jika mereka medapatkan kepuasan

dalam pelayanan yang diberikan kepada mereka. Konsep ini menjelaskan

bahwa terdapat hubungan antara kualitas pelayanan dengan kepuasan

yang diterima klien (Ryan & Rahman, 2012).

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya adalah rumah sakit tipe B

non pendidikan, merupakan rumah sakit terbesar dan menjadi pusat

rujukan untuk regional Kalimantan Tengah. IGD RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya dalam pelaksanaannya memberikan pelayanan dengan

standar minimal tipe II untuk rumah sakit dengan tipe B. Pelaksanaan

komunikasi efektif antara perawat dan klien yang menjalani perawatan

gawat darurat di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya menjadi

perhatian mengingat adanya keterbatasan waktu dan kondisi lingkungan

ruang perawatan IGD dengan kesibukannya sehingga terdapat

keterbatasan pelaksanaan komunikasi anatara perawat dan klien.

Page 7: BAB I - Pendahuluan

7

1.2. Perumusan Masalah

Ruang IGD merupakan area klinis dimana klien masuk dengan

berbagai tingkat kegawatdaruratan dan ketergantungan terhadap

perawatan. Perawat IGD memiliki waktu yang terbatas dalam berinteraksi

dengan klien karena lingkungan ruang perawatan yang menuntut perawat

bekerja dengan efektif dan efisien dalam melakukan penilaian dan tindakan

keperawatan kepada klien. Komunikasi antara perawat dan klien

memegang peranan penting dalam proses pemberian asuhan

keperawatan, komunikasi efektif merupakan sarana bagi perawat

membangun hubungan yang terapeutik dengan klien dalam upaya

meningkatkan kualitas pelayanan dan memberikan asuhan keperawatan

untuk kepuasan klien.

Dari uraian tersebut dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah

penerapan komunikasi perawat pada klien dipengaruhi tingkat perawatan

klien dan mempengaruhi persepsi kepuasan klien di ruang IGD RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penerapan komunikasi

perawat dengan tingkat perawatan dan pengaruhnya terhadap persepsi

kepuasan klien diruang IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan tingkat perawatan dengan komunikasi

perawat pada klien di ruang IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya.

Page 8: BAB I - Pendahuluan

8

b. Untuk mengetahui pengaruh penerapan komunikasi perawat di IGD

terhadap persepsi kepuasan klien RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya.

c. Untuk mengetahui persepsi kepuasan klien terhadap penerapan

komunikasi perawat yang dipengaruhi tingkat perawatan klien di IGD

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi profesi

a. Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi perawat IGD dalam

hubungannya memberikan asuhan keperawatan kepada klien.

b. Untuk meningkatkan kemampuan perawat IGD dalam menjalin

hubungan terapeutik dan komunikasi efektif dengan klien diruang IGD.

1.4.2. Manfaat Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran bagi pelaksanaan dan

peningkatan mutu pelayanan rumah sakit khususnya di ruang IGD.

1.4.3. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan

a. Mengembangkan ilmu keperawatan dalam hal komunikasi efektif

perawat dengan klien diruang IGD.

b. Sumbangan ilmiah bagi pengetahuan dan informasi kepada peneliti

selanjutnya.