bab i pendahuluan 1.1.latar belakang masalah · melaksanakan tugas tni dalam menjaga keamanan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam rangka mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki prajurit yang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).TNI
terbagi atas tiga yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, dan TNI Angkatan Laut
yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mempertahankan dan melindungi
keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Menurut UU No. 34/2004 Bab IV bagian ketiga, pasal 8 tentang Angkatan Darat,
TNI-AD wajibuntuk melaksanakan tugas TNI matra darat di bidang pertahanan;
melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara
lain; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat;
dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.
Ada beberapa wilayah perbatasan NKRI yang sangat vital untuk dijaga, karena langsung
berbatasan dengan negara tetangga, seperti NTT yang berbatasan dengan Timor Leste,
Kepulauan Sangihe Ujung Utara Sulawesi dan Pulau Natuna di Kepulauan Riau dengan Laut
China Selatan, wilayah Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, serta Papua berbatasan
langsung dengan Papua Nugini.TNI-AD yang bertugas di daerah perbatasan maupun pergi
dalam rangka misi perdamaian ke luar negeri dapat ditempatkan diaerah tersebut sekurang-
kurangnya 6 bulan, dan paling lama selama 2 tahun. Kota Bogor adalah kota yang memiliki
pusat penugasan prajurit baik yang akan diberangkatkan ke wilayah perbatasan NKRI
maupun ke luar negeri dalam rangka misi perdamaian.
2
Universitas Kristen Maranatha
Istri tentara merupakan sosok penting yang bertugas untuk melayani, mendampingi, dan
mendukung suami selaku TNI-AD untuk melaksanakan pertahanan keamanan maupun
sebagai komponen pembangunan bangsa untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia (dalam
https://asrikirani.wordpress.com/2008/12/16/persit-persatuan-isteri-prajurit).Untuk mencapai
tujuan dan pelaksanaan tugasnya sebagai seorang istri tentara, maka istri TNI-AD
dipersatukan dalam sebuah wadah yang bernama PERSIT.PERSIT atau Persatuan Istri TNI-
AD sebagai wadah para istri TNI-AD untuk bergabung dan saling menyokong untuk
membantu pelaksanaan tugas TNI-AD, kegiatannya meliputi bidang keagamaan, olahraga,
keterampilan, organisasi, ekonomi, pendidikan, budaya dan sosial sesuai dengan persetujuan
pembina PERSIT atau Ibu Komandan Batalyon.Semua istri TNI-AD wajib menjadi anggota
PERSIT dan mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh PERSIT.
Ridenour (dalam Castro Carl, 2006) mengatakan bahwa keluarga militer lebih
mengutamakan misi pekerjaan, sehingga seringkali hubungan antara prajurit dengan teman
sesama militer lebih diutamakan daripada antara dirinya dan pasangan, anak-anak atau
orangtua.Ridenour pun mencatat segi keunikan pada kehidupan keluarga militer, antara lain
sering berpindah-pindah rumah, berpisah dan berkumpul kembali yang diakibatkan oleh
penugasan para prajurit yang pada akhirnya keluarga dituntut untuk terus menerus
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada TNI-AD di kota Bogor, jenis penugasan
yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penugasan yang bersifat pengamanan di
wilayah perbatasan NKRI dan menjadi prajurit bantuan di daerah yang mengalami konflik
atau negara lain yang sedang berperang. Oleh karena itu, kesiapan keluarga untuk mampu
beradaptasi dan menangani masalah yang dihadapi akan dibutuhkan terlebih bagi keluarga
yang sedang ditinggal untuk bertugas khususnya bagi istri prajurit.
3
Universitas Kristen Maranatha
Ridenour (dalam Castro Carl, 2006)mengungkapkan bahwa suatu keluarga pada
umumnya menginginkan waktu kebersamaan didalam rumah tangga, hal ini berbeda dengan
yang dialami oleh para istri TNI-AD, pelaksanaan tugas menjadi prioritas utama dalam hidup
TNI-AD, sehingga mereka harus selalu siap untuk dikirim dalam misi penugasan maupun
misi perdamaian kapan saja diperintahkan.TNI-AD yang sudah menerima perintah penugasan
harus meninggalkan istri dan keluarganya menuju tempat penugasan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan. Oleh karena itu, istri TNI-AD harus siap ditinggalkan dalam suatu misi
ataupun ikut pindah kapan saja dengan suaminya di rumah dinas yang ditentukan sesuai
perintah negara sehingga jauh dari kampung halaman.
Berdasarkan datayang diperoleh dari Dispenad TNI-AD (dalam
https://asrikirani.wordpress.com/2008/12/16/persit-persatuan-isteri-prajurit), perubahan peran
yang dialami istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan dalam penugasan ke wilayah perbatasan
dapat menimbulkan perasaan kehilangan dan terasingkan karena tidakbanyak mendapatkan
dukungan dari lingkungan, dan belum menyiapkan diri untuk menyelesaikan berbagai tugas
yang harus ditanggung istri seorang diri.
Kepergian suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI dalam kurun waktu yang
lamadapat mempengaruhi penghayatan pribadi mengenai kepuasan hidup dan perasaan,
sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dimiliki oleh istri TNI-AD. Dalam
bidang ilmu psikologi, kesejahteraan disebut dengan subjective well-being, yang seringkali
bersinonim dengan happiness.
Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika dia merasa puas
dengan kondisi hidupnya, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif
(Diener,1987).Istri TNI-AD harus mengizinkan suaminya pergi sebagai abdi negara untuk
menjaga wilayah perbatasan NKRI walaupun semua istri ingin memiliki banyak waktu untuk
bersama dengan suaminya.
4
Universitas Kristen Maranatha
Istri TNI-AD jugaharus menanggung beban psikis atas rasa cemas, kehilangan, kesepian,
takut akan kondisi bahkan kematian suami dan rasa curiga saat kepergian suaminya dalam
penugasan, serta perasaan negatif lainnya. Disaat yang sama istri TNI-AD harus bertindak
sebagai kepala keluarga yang wajib mengasuh anak dan menghadiri setiap kegiatan PERSIT
secara rutin, dan mematuhi setiap peraturan dirumah dinas. Hal-hal tersebut dapat
mempengaruhi subjective well-beingistri TNI-AD selama suaminya bertugas ke wilayah
perbatasan.Apabila subjective well-being istri TNI-AD tersebut tinggi, maka mereka mampu
menanggulangi afek negatif yang dimiliki dan menyelesaikan kewajibannya sebagai single
fighter dengan perasaan bahagia.Sebaliknya, istri TNI-AD yang memiliki derajat subjective
well-beingrendah belum mampu menanggulangi afek negatif yang dimiliki dan dapat merasa
kesulitan dalam menyelesaikan kewajibannya sebagai single fighter.
Berdasarkan data yang diperoleh dari psikolog yang bertugas di wilayah Batalyon 315
kota Bogor, dari 60 orang istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suami dalam
penugasan ke wilayah perbatasan NKRI, hanya 19 orang istri yang rutin datang melakukan
konseling ke psikolog hingga seminggu sekali karena sering menampilkan perilaku panik
ketika memiliki masalah selama kepergian suami, gelisah, cemas, banyak mengeluhkan
perasaan takut akan kehilangan suaminya saat tidak ada kontak hingga terbawa mimpi buruk
berulangkali, perilaku murung, tidak bersemangat dalam melakukan aktifitas sehari-hari,
sering menangis, mudah tersinggung dan marah terhadap lingkungan dan anak, dan mengaku
tertekan akan kondisi dan berbagai tuntutan hidupnya saat ini. Sedangkan sisanya tidak
begitu rutin melakukan konsultasi dengan psikolog, dan hanya menceritakan perasaan dan
kondisinya pada saat sesi konseling bulanan yang dilakukan PERSIT karena mengaku merasa
malu dan segan untuk jujur dan masih mampu menahannya sendiri.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang istri TNI-AD, ketika suami
bertugas untuk pergi ke wilayah perbatasan dalam kurun waktu lama istri merasakan beban
5
Universitas Kristen Maranatha
psikis atas kepergian suaminya yang dapat menimbulkan kecemasan, kehilangan, rasa takut
akan kondisi bahkan kematian suami, rasa curiga dan afek negatif lainnya yang dapat
menimbulkan stress. Selain itu istri TNI harus siap mendengar suaminya gugur suatu saat
nanti.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang istri TNI-AD, istri juga
mendapatkan beban fisik untuk menjadi kepala keluarga yang mengurus rumah tangga,
sehingga istri harus bisa melakukan tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh suaminya, seperti
membenarkan peralatan rumah tangga yang rusak. Selain itu, selama suami bertugas, istri
harus tetap tinggal di Batalyon. Hal tersebut dapat membuat istri merasa tidak bebas dan
jenuh.
Selama suami bertugas di wilayah perbatasan, banyak peraturan yang harus ditaati
dirumah dinas. Untuk keluar dari wilayah batalyon diperlukan suatu prosedur, yaitu dengan
menyerahkan kartu identitas istri prajurit kepada petugas piket. Selain itu, waktu yang
diberikan kepada istri TNI-AD tersebut untuk keluar batalyon sangat terbatas. Setiap
Batalyon memiliki aturan yang berbeda-beda. Apabila istri TNI-AD melanggar aturan
tersebut, maka akan dikenakan sanksi berupa teguran atau sanksi lainnya yang diberikan
Kepala Komando Rumah maupun Ibu Komandan Batlyon sebagai penanggung jawab dan
selaku Pembina PERSIT. Adanya aturan tersebut membuat istri TNI-AD tidak bebas untuk
mengikuti aktivitas diluar Batalyon. Selain itu, acara yang diadakan PERSIT terkadang
memiliki jadwal yang tidak bisa ditentukan waktunya membuat istri TNI-AD harus banyak
menghabiskan waktunya didalam asrama.
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan dengan carawawancara terhadap10
orang istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang ditinggalkan suami untuk bertugas di wilayah
perbatasan NKRI terdapat 3 orang (30%) istri yang memiliki subjective well-being dengan
derajat tinggi, dan 7 orang(70%) istri yang memiliki subjective well-being dengan derajat
6
Universitas Kristen Maranatha
rendah (ill-being).Hanya istri TNI-AD denganlife satisfaction tinggi, afek positif tinggi, dan
afek negatif rendahyang memilikisubjective well-being dengan derajat tinggi, selain kriteria
tersebut maka subjective well-being yang dimiliki akan rendah.Hal ini disebabkan karena
selain istri menghayati kepuasan hidup dari awal kehidupan hingga saat ini dengan positif,
istri juga lebih banyak menghayati perasaan positif daripada perasaan negatif selama
ditinggalkan oleh suami dalam penugasan.Sedangkan diluar kriteria tersebut, maka subjective
well-beingyang dimiliki akan rendah, karena selain istri merasa tidak puas terhadap
kehidupan yang dijalani sejak awal kehidupan hingga saat ini, terutama saat ditinggalkan oleh
suami dalam penugasan, istri juga banyak merasakan perasaan negatif daripada perasaan
positif.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 3 orangistri yang memiliki
subjective well-being dengan derajat tinggi, istri TNI-AD mengaku puas dan merasa bangga
ketika mengetahui suaminya terpilih dalam penugasan ke wilayah perbatasan. Bagi seorang
istri TNI-AD hal ini merupakan suatu kebanggaan karena artinya suaminya dipercaya oleh
negara untuk melindungi wilayah perbatasan NKRI.Istri TNI-AD tersebut merasa tidak ada
yang perlu disesali karena baginya sudah takdirnya untuk mendukung dan ikut berbahagia
untuk suami, termasuk dalam situasi yang sedang dialami.
Istri TNI-AD tidak memungkiri terkadang merasa lelah dan kesal saat harus menanggung
beban fisik seperti keharusan mengurus rumah tangga seorang diri, mengurus anak sendirian,
mentaati semua peraturan di Batalyon, dan adanya kewajiban untuk menghadiri setiap
kegiatan yang diselenggarakan oleh PERSIT tidak peduli apakah istri TNI-AD memiliki
pekerjaan lain yang harus diselesaikan dalam waktu bersamaan. Semua hal tersebut dilakukan
untuk menjaga nama baik suami dan keluarganya dalam lingkup militer.
Istri TNI-AD juga merasakan beban psikis. Istri TNI-AD tersebut tidak memungkiri
bahwa terkadang muncul perasaan negatif seperti rasa cemas, dan takut akan keselamatan
7
Universitas Kristen Maranatha
suami di wilayah perbatasan, terkadang mereka juga merasa sedih apabila suami sulit untuk
dihubungi atau tidak ada kabar mengenai keadaan suami selama ditugaskan, akan tetapi
mereka lebih memilih untuk menghayati hidup dengan banyak berpikiran positif sehingga
mampu untuk perasaan positif didalam dirinya dan lebih menghayati hidup secara mengatasi
berbagai perasaan dan pikiran negatif yang terkadang muncul, sehingga lebih sering
merasakan perasaanpositif.
Disisi lain, berdasarkan hasil wawancara terhadap 7 orang istri TNI-AD yang memiliki
subjective well-being dengan derajat rendah(ill-being) merasa apabila kondisi kehidupannya
saat ini kurang baik, bahkan mereka kurang puas terhadap kehidupannya saat ini, hal ini
disebabkan karena kepergian suami dalam penugasan tersebut memberikan beban fisik dan
psikis bagi mereka.
Istri TNI-AD sering merasakan beban fisik seperti rasa lelah untuk bekerja dan mengurus
rumah tangga seorang diri disamping mengikuti kegiatan wajib PERSIT dan keharusan
mentaati berbagai peraturan didalam Batalyon. Bagi istri TNI, kegiatan PERSIT dirasakan
mampu mengurangi perasaan negatif yang dimiliki, karena adanya kegiatan yang beragam,
dan waktu untuk sharing dengan istri-istri TNI-AD lainnya, akan tetapi para istri tidak
memungkiri bahwa hal tersebut melelahkan karena sering menghabiskan waktu yang cukup
lama.
Istri TNI-AD tersebut juga menanggung beban psikis seperti perasaan takut, sedih, cemas,
dan perasaan negatif lainnya yang terus muncul dipikiran mereka meskipun mereka berusaha
untuk tidak memikirkannya dan berusaha untuk tetap terlihat ceria dihadapan orang lain.
Istri TNI-AD yang memiliki subjective well-being dengan derajat rendah (ill-being)sering
merasakan afek negatif seperti perasaan negatif karena berada jauh dari suami, istri takut
suami berselingkuh di tempat penugasan, karena sampai saat ini perselingkuhan kerap terjadi
baik dilakukan oleh suami maupun istri selama suami pergi dalam penugasan.Menurut data
8
Universitas Kristen Maranatha
yang diungkapkan oleh ibu Komandan Batalyon, hingga saat ini tercatat 10% istri TNI-AD
ataupun TNI-AD yang berselingkuh selama TNI-AD bertugas ke wilayah perbatasan NKRI.
Berdasarkan wawancara, istri juga mengalami perasaan takut apabila terjadi suatu hal
buruk yang dapat melukai atau bahkan merenggut nyawa suaminya seperti perang antar suku,
kerusuhan, atau serangan di wilayah perbatasan, karena hingga saat ini sudah tercatat 3 orang
TNI-AD tewas saat melindungi wilayah perbatasan pada tahun 2011, 13 orang TNI-AD
tewas karena kekerasan di wilayah perbatasan Papua saat dalam penugasan, begitu pula pada
tahun 2015 dan 2016. Istri juga merasa cemas,dan memiliki perasaan buruk, apabila
suaminya tidak kunjung memberikan kabar karena takut hal buruk telah terjadi, atau bahkan
suaminya telah tiada.
Selain beban fisik, beban psikis, serata berbagai tanggung jawab dan aturan yang wajib
untuk dilaksanakan istri TNI-AD, terdapat beberapa faktor yang turut menunjang derajat
tinggi atau rendahnya subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang
ditiggalkan dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI. Faktor tersebut antara lain usia,
pendidikan, penghasilan, agama, aktivitas, dan kesehatan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, usia turut berpengaruh
terhadap subjective well-being istri TNI-AD. Istri mengaku dengan bertambahnya usia,
secara fisik banyak hal yang tidak bisa dilakukan lagi seperti sediakala, dan cepat merasa
lelah padahal mereka dituntut untuk mengikuti setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh
PERSIT dengan kurun waktu yang tidak sebentar, berbeda dengan istri dengan usia muda
yang masih produktif dan energik.
Disisi lain, dengan bertambahnya usia, istri sudah banyak memiliki pengalaman akan
kepergian suami dalam penugasan, namun tetap saja perasaan negatif terus muncul dan tidak
bisa dipungkiri, terlebih pada istri TNI-AD yang berusia muda. Namun istri dengan usia yang
lebih tua mampu untuk terlihat lebih tenang dalam menyikapi kepergian suaminya dalam
9
Universitas Kristen Maranatha
penugasan. Dengan demikian usia dapat berpengaruh terhadap tinggi maupun rendahnya
derajat subjective well-being yang dimiliki saat ditinggalkan oleh suami.
Berdasarkanhasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, pendidikan juga
merupakan hal yang berpengaruh terhadap subjective well-being.Dengan gelar sarjana yang
dimiliki oleh istri, maka istri dapat melakukan perkerjaan diluar menjadi ibu rumah tangga
sehingga memiliki penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan
memiliki lebih sedikit waktu untuk bersedih atas kepergian suaminya.
Disisi lain, terasa sulit sekali untuk mengatur waktu bekerja dan kewajiban menghadiri
setiap kegiatan PERSIT yang sering diselenggarakan dengan waktu mendadak.
Bagaimanapun juga kegiatan PERSIT turut menentukan kehormatan istri dan pangkat
suaminya dimata anggota PERSIT lainnya.Hal demikian membuat istri TNI-AD merasa lelah
baik secara psikis maupun fisik sehingga subjective well-being yang dimiliki cenderung
rendah.Lain halnya apabila istri TNI-AD dapat bekerja tanpa harus terbatasi oleh kegiatan
PERSIT yang sangat menyita waktu, istri dapat mengisi waktunya dengan pekerjaan yang
disukai sehingga pikiran dan perasaan negatif yang muncul selama ditinggalkan oleh suami
dapat berkurang sehingga subjective well-being yang dimiliki istri TNI-AD cenderung tinggi.
Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-ADistri TNI-AD
juga tidak memungkiri bahwa penghasilan yang dimiliki dapat mempengaruhi perasaan yang
dimiliki, terkadang muncul perasaan iri dari profesi lainnya dan merasa tidak senang dengan
penghasilan yang dimiliki sehingga menimbulkan perasaan marah dan emosi negatif.Perasaan
tersebut juga mucul saat suami sedang bertugas di wilayah perbatasan karena seringkali istri
memiliki keperluan dan kebutuhan yang mendadak dan harus segera dipenuhi, seperti saat
anak mendadak sakit, atau harus pulang kampung karena ada keperluan keluarga yang
mendadak.
10
Universitas Kristen Maranatha
Istri TNI-AD sebenarnya diberikan hak untuk bekerja selain menjadi ibu rumah tangga,
akan tetapi hak untuk bekerja tersebut sangat dibatasi oleh kewajiban untuk menghadiri setiap
kegiatan PERSIT, karena kegiatan PERSIT adalah sebuah keharusan dan dapat turut
mempengaruhi kedudukan suami. Dengan adanya berbagai kegiatan PERSIT yang waktunya
sering tidak terjadwal, maka istri menjadi kesulitan untuk menjalankan profesi selain menjadi
ibu rumah tangga.
Dengan adanya kesulitan untuk menjalankan pekerjaan lain diluar batalyon, sedangkan
gaji yang diberikan oleh suami tidak besar, maka istri seringkali merasakan perasaan negatif
dan merasa kurang puas terhadap kehidupannya sehingga cenderung memiliki subjective
well-being dengan derajat rendah. Lain halnya apabila istri TNI-AD memiliki suami dengan
penghasilan tinggi maupun memiliki kesempatan untuk bekerja, maka kebutuhan yang
dimiliki oleh istri TNI-AD dan keluarga dapat terpenuhi dengan lebih baik sehingga mampu
berpikir dan merasakan kepergian suami sebagai hal yang positif, sehingga subjective well-
being istri TNI-AD cenderung tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, kegiatan keagamaan
jugaberpengaruh terhadap subjective well-being. Sebelum berdo’a istri seringkali merasa
tertekan atas segala kewajibannya sebagai seorang istri TNI-AD, juga atas perasaan dan
pikiran negatif selama kepergian suaminya.Tapi dengan adanya kegiatan giat berdo’a istri
mengaku menjadi lebih tenang, rileks, dan merasa memiliki tempat bertumpu setelah
bercerita terhadap Tuhan.Dengan rutin berdo’a istri TNI-AD dapat berpikir dan menghayati
perasaan dengan lebih positif sehingga subjective well-being yang dimiliki oleh istri TNI-AD
cenderung lebih tinggi.Meskipun demikian, istri tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan dari
do’a dan kegiatan keagamaan tersebut hanya menenangkan untuk sementarawaktu.Ketika
istri TNI-AD sudah selesai berdo’a atau sedang tidak melakukan kegiatan keagamaan, maka
11
Universitas Kristen Maranatha
pikiran dan perasaan negatif yang dimiliki kembali muncul sehingga subjective well-being
yang dimiliki cenderung rendah.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, aktivitas juga berpengaruh
terhadap subjective well-being. Dengan berbagai kegiatan PERSIT, baik keahlian untuk istri,
keagamaan, dan sebagainya, istri menjadi lebih banyak menghabiskan waktu luang selama
kepergian suaminya dengan kegiatan yang bermanfaat, sehingga pikiran dan perasaan negatif
mengenai kepergian suaminya dapat sedikit berkurang dan subjective well-being yang
dimiliki istri TNI-AD cenderung tinggi. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya,
kegiatan PERSIT seringkali mendadak dan menghabiskan waktu dari pagi hingga sore hari,
sehingga mengakibatkan istri merasa kelelahan baik fisik maupun psikis, merasa kesal dan
sulit untuk mencari penghasilan tambahan dengan melakukan pekerjaan lain diluar organisasi
PERSIT, sehingga subjective well-being yang dimiliki istri TNI-AD cenderung rendah.
Berdasarkanwawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD kesehatan juga berpengaruh
teerhadap subjective well-being.Sampai saat ini tercatat belum ada istri TNI-AD di Batalyon
315 yang mengidap suatu penyakit.Namun adakalanya mereka mengalami penyakit ringan
seperti demam dan flu.Dalam kondisi sakit, istri lebih banyak berpikiran negatif mengenai
suaminya, dan lebih banyak menghayati kesendiriannya dalam menjalani hidup sebagai
seorang istri tentara, mereka merasa sedih karena sedang saat sakit tidak ada yang bisa
merawat mereka.Tenaga mereka masih sangat dibutuhkan untuk mengurus anak-anak dan
melakukan kegiatan wajib PERSIT.Mereka merasa lelah dan ingin mengeluh namun selalu
menahan diri demi anak-anak dan kelancaran pekerjaan suaminya, sehingga istri TNI-AD
memiliki subjective well-being yang cenderung rendah.Sedangkan dalam kondisi sehat, istri
TNI-AD mampu meredam pikiran dan perasaan negatif mengenai suaminya selama
ditinggalkan dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang wajib untuk diikuti sehingga istri
TNI-AD memiliki subjective well-being yang cenderung tinggi. Namun demikian, meskipun
12
Universitas Kristen Maranatha
tidak menutup kemungkinan bahwa istri dengan kondisi sehat juga dapat merasakan dan
meghayati kondisinya selama ditinggalkan oleh suami secara negatif, karena subjective well-
being yang dimiliki istri TNI-AD tidak bergantung pada satu faktor saja, akan tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.
Setelah mengetahui fakta yang didapatkan dari survey awal yang dilakukan terhadap 10
orang istri TNI-AD dari total 60 orang istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang ditinggalkan
oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI diketahui bahwa sebagian besar
istri memiliki subjective well-being dengan derajat rendah atau dapat disebut juga ill-being,
padahal istri TNI-AD harus menyelesaikan kewajibannya sebagai single fighterselama
ditinggalkan oleh suami dalam penugasan, makapeneliti berminat untuk mengkaji lebih lanjut
dan meneliti permasalahan tersebut. Peniliti berminat untuk meneliti derajat Subjective Well-
Being pada Istri TNI-AD di Kota Bogor yang sedang ditinggalkan dalam penugasan
diwilayah perbatasan NKRI.
1.2.IDENTIFIKASI MASALAH
Dari penelitian ini ingin diketahui derajat subjective well-being pada istri TNI-AD di
Kota Bogor yang sedang ditinggalkan dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI.
1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. MAKSUD PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud memperoleh data dan informasimengenai
derajat subjective well-being pada istri TNI-AD di Kota Bogoryang sedang ditinggalkan
dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI.
13
Universitas Kristen Maranatha
1.3.2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi
mengenaiderajat subjective well-being pada istri TNI-AD di Kota Bogor yang sedang
ditinggalkan dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI dan aspek-aspek yang
menyertainya, yaituaspek kognitif berupakepuasan hidup secara menyeluruh (Life
satisfaction), dan aspek afektif berupa afek positif, dan afek negatif.
1.4.KEGUNAAN PENELITIAN
1.4.1. KEGUNAAN TEORITIS
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
- Mengkaji derajat subjective well-being pada istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan
dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI sebagai bagian dari bidang ilmu
psikologi positif.
- Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian
mengenai derajat subjective well-being pada istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan
dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI.
1.4.2. KEGUNAAN PRAKTIS
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
- Memberikan informasi mengenai derajat subjective well-beingkepada istri TNI-AD
yang sedangditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan
NKRIsebagai bahan pertimbangan dan pembelajaranuntuk memberikan dukungan
pada istri TNI-AD dalam memaknai hidup dengan pikiran dan perasaan positif.
- Memberikaan informasi kepada PERSIT mengenai derajat subjective well-being istri
TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah
14
Universitas Kristen Maranatha
perbatasan NKRI untuk menjadi bahan pertimbangan dalam merancang dan mengatur
kegiatan yang mampu memberikan dukungan kepada istri TNI-AD selaku anggota
PERSIT agar mampu memaknai hidup dan perasaan secara positif.
- Memberikan informasi kepada psikolog yang bertugas didalamTNI-AD mengenai
derajat subjective well-being istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suami
dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRIuntuk pertimbangan dalam
memberikan penyuluhan,sosialisasi, konseling dan kegiatan kepada istri TNI-AD
agarmampu memaknai hidup dan perasaan secara positif.
- Memberikan informasi kepada Pembina PERSIT(Ibu Komandan Batalyon)
mengenaiderajat subjective well-being istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh
suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI sebagai bahan dalam menyusun
rancangan kegiatan yang mampu memberikan dukungan kepada istri TNI-AD selaku
anggota PERSIT sehingga mampu memaknai hidup dan perasaan secara positif.
1.5. KERANGKA PEMIKIRAN
Kesejahteraan erat kaitannya dengan subjective well-being.Subjective well-
beingdidefinisikan sebagai evaluasi subyektif individu atas kehidupannya yang mencakup
penilaian kognitif atas kepuasan hidup secara menyeluruh dan reaksi emosional (afeksi)
terhadap suatu peristiwa menurut Ed. Diener, Richard E. Lucas, & Shigero Oishi (dalam The
Science of Happiness and Life Satisfaction, 2005). Banyaknya beban fisik, dan psikis yang
harus ditanggung oleh istri TNI-AD selama ditinggalkan oleh suami akan mempengaruhi
penilaian kognitif dan menimbulkan berbagai macam emosi.
Subjective well-beingmemiliki dua aspek, yaitu kognitif dan afektif.MenurutEd.
Diener(dalam The Science of Subjective Well-Being, 2007)aspek kognitif terdiri ataskepuasan
15
Universitas Kristen Maranatha
hidup secara menyeluruh (life satisfaction).Aspek afektif dibagi menjadi afek positif dan afek
negatif (Diener dkk, 2004).
Aspek kognitif subjective well-beingadalah aspek yang mencerminkan evaluasi
subyektif berupa penghayatan dalam berbagai aspek kehidupan secara menyeluruh (Myers
dan Diener, 1995).Evaluasi secara menyeluruh ini juga mencakup berbagai facet, yaitu
pengahayatan mengenai kepuasan hidup secara menyeluruh dengan diri sendiri, kelompok
dan teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan dan waktu luang yang dialami sejak awal
kehidupan hingga saat ini (Diener, 1984).Kepergian sosok suami dalam penugasan, berbagai
beban fisik maupun beban psikis dan tanggungjawab yang harus diemban oleh istri seorang
diri akan mempengaruhi penilaian mengenai setiap peristiwa yang dialami oleh istri TNI-
ADbaik berhubungan dengan diri sendiri, hubungannya dengan lingkungan sosial (anak,
suami), hubungannya dengan kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang yang
dimiliki, apakah hal tersebut berjalan dengan baik sehingga menimbulkan kepuasan atau jadi
terhambat karena pengalaman hidup yang sedang dialami sehingga menimbulkan rasa tidak
puas.
Aspek kognitif subjective well-being terdiri atas indikator kepuasan hidup secara
menyeluruh (life satisfaction)yaitu suatu penghayatan kognitif seseorang mengenai
pengalamanhidup yang dijalaninya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan
baik, apakah iamerasa cukup, dan puas dari awal kehidupan hingga saat ini (Ed. Diener,
1984).
Kepergian suami dalam penugasan menjadi salah satu peristiwa hidup yang dialami
oleh istri TNI-AD.Istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suaminya dalam penugasan
ke wilayah perbatasan NKRI memiliki peran sebagai single fighter yang dibebani berbagai
tugas dan tanggung jawab baik didalam rumah tangga, pekerjaan, maupun keorganisasian
PERSIT yang harus dikerjakan seorang diri. Hal ini akan berpengaruh terhadap penghayatan
16
Universitas Kristen Maranatha
mengenai kepuasan hidup secara menyeluruh (life satisfaction) yang dimiliki oleh istri TNI-
AD pada saat tersebut.
Istri TNI-AD yang memiliki penilaian subjektif mengenai kepuasan hidup secara
menyeluruh (life satisfaction) dengan derajat tinggi, maka akan sering memiliki perasaan
puas dalamkehidupannya secara menyeluruh. Sedangkan istri TNI-AD yang memiliki
penilaian subjektif mengenai kepuasan hidup secara menyeluruh (life satisfaction) dengan
derajat rendah, makan akan sering merasakan ketidak puasan, atau kurang puas dalam
kehidupannya secara menyeluruh.
Selanjutnya, terdapat aspek afektifsubjective well-beingmemiliki arti sebagai
suatuemosi yang diperlukan individu untuk menilai peristiwa dalam hidup secara positif
maupun negatif (Diener dan Seligman, 2004).Untuk mendapatkan derajat subjective well-
being yang tinggi, maka individu harus memiliki afek positif yang lebih banyak daripada afek
negatif (Ed. Diener, 1984).Kepergian suami dalam penugasan dan banyaknya tanggungjawab
yang harus dipenuhi, banyaknya beban fisik dan psikis yang menyertai akan berpengaruh
terhadap penghayatan mengenai emosidan perasaan yang dimiliki oleh istri TNI-AD pada
saat tersebut, dan banyaknya emosi yang muncul akan menentukan derajat subjective well-
being yang dimiliki oleh istri TNI-AD (Diener, 1984).
Aspek afektif subjective well-being terdiri atasindikator afek positif dan afek
negatif.Afek positif adalah afek yang membawa kepuasan, komitmen diri, dan penghayatan
mengenai makna kehidupan (Diener dan Seligman, 2004).Afek positif terdiri atas mood dan
emosi yang menyenangkan seperti perasaan baik, nyaman/senang, bahagia, riang, dan
puas.Sedangkan afek negatif terdiri atasmood dan emosi yang tidak menyenangkan seperti
perasaan negatif, buruk, tidak menyenangkan, sedih, takut, dan marah (Ed. Diener 1984).
Istri TNI-AD akan bereaksi dengan emosi positif ketika mereka menganggap sesuatu
yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi negatifketika menganggap
17
Universitas Kristen Maranatha
sesuatu yang buruk terjadi pada mereka sepertiperasaan negatif karena berada jauh dari
suami, takut suami berselingkuh di tempat penugasan, takut terjadi hal buruk yang dapat
melukai atau bahkan merenggut nyawa suaminya seperti perang antar suku, kerusuhan, atau
serangan di wilayah perbatasan.
Selain melihat banyaknya afek positif dan afek negatif yang dimiliki, kita juga harus
melihat keseimbangan afek yang dimiliki oleh istri TNI-AD.Diener (1984) mengungkapkan
bahwa keseimbanganafek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami
dibandingkan dengan perasaan negatif. Dengan jumlah afek positif yang lebih banyak
dibandingkan afek negatif, maka istri TNI-AD memiliki keseimbangan afek yang
tinggi.Sedangkan dengan jumlah afek negatif yang lebih banyak dibandingkan afek positif,
maka istri TNI-AD memiliki keseimbangan afek yang rendah (Diener, 1984).
Istri TNI-AD yang memiliki banyaknya afek positif dengan derajat tinggi maka akan
sering memaknai situasi yang dialami dengan perasaan positif seperti baik, nyaman, riang,
dan puas. Sedangkan istri TNI-AD yang memiliki afek negatif dengan derajat tinggi akan
sering memaknai situasi yang dialami dengan perasaan negatif seperti buruk, takut, sedih,
tidak senang, dan marah.
Dari ketiga indikator yang ada, hanya Istri TNI- AD dengan life satisfaction tinggi,
afek positif tinggi, dan afek negatif rendah memiliki subjective well-being dengan derajat
tinggi (Diener,1984).Derajat subjective well-being istri TNI-AD menjadi tinggi karena istri
TNI-AD merasa puas akan kehidupannya secara menyeluruh termasuk dalam situasi
ditinggalkan oleh suami dalam penugasan, istri juga banyak merasakan perasaan yang
menyenangkan, dan hanya sedikit merasakan perasaan yang tidak menyenangkan selama
ditinggalkan oleh suami.
Disisi lain, istri TNI-AD yang memiliki subjective well-being dengan derajat rendah
(ill-being)merasa tidak puas atau kurang puas terhadap kehidupannya secara menyeluruh,
18
Universitas Kristen Maranatha
banyak merasakan afek negatif seperti perasaan negatif, buruk, tidak menyenangkan, sedih,
takut, dan marah, serta memiliki afek positif seperti positif, baik, nyaman, bahagia, riang, dan
puas yang sedikit selama kepergian suami dalam penugasan(Diener, 1984).
Diantaranya, istri TNI-AD dengan life satisfaction tinggi, afek positif rendah, dan afek
negatif tinggi memiliki subjective well-being dengan derajat rendah(ill-being) (Diener,
1984).Subjective well-being menjadi rendah karena, meskipun istri mengaku puas terhadap
semua aspek kehidupannya sejak awal kehidupan hingga saat ini, tetapi istri lebih banyak
merasakan emosi negatif daripada emosi positif.Lalu, Istri TNI-AD dengan life satisfaction
tinggi, afek positif tinggi, dan afek negatif tinggi memiliki subjective well-being dengan
derajat rendah(ill-being) (Diener, 1984).Subjective well-being menjadi rendah karena,
meskipun istri TNI-AD merasa puas akan kehidupannya secara menyeluruh, banyak
merasakan perasaan menyenangkan, tetapi perasaan tidak menyenangkan yang dialami oleh
istri TNI-AD juga sama banyaknya sehingga tidak happy.Kemudian, istri TNI-AD dengan
life satisfaction rendah, afek positif rendah, dan afek negatif tinggi memiliki subjective well-
being dengan derajat rendah(ill-being)(Diener, 1984).Subjective well-being menjadi rendah
karena selain istri TNI-AD merasa tidak puas akan berbagai aspek kehidupannya dari awal
kehidupan hingga saat ini, istri juga lebih banyak merasakan perasaan tidak menyenangkan
daripada perasaan menyenangkan sehingga.
Menurut Diener terdapat faktor yang mempengaruhi subjective well-being, yaitu usia,
pendidikan, penghasilan, agama, aktivitas,dan kesehatan yang turut mengambil andil dalam
derajat tinggi dan rendahnya subjective well-being pada istri TNI-AD yang sedang
ditinggalkan dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI.Berikut penjabaran faktor-faktor
tersebut.
Usia. Usia mempengaruhi aspek kognitif subjective well-being karena perbedaan
kematangan seseorang sesuai usianya akan mempengaruhi perbedaan pola pikir yang
19
Universitas Kristen Maranatha
dimiliki(Ed. Diener, 1984). Usia juga mempengaruhi aspek afektif, karena dengan perbedaan
kematangan istri TNI-AD sesuai usianya akan mempengaruhi perbedaan gejolak emosi yang
dimiliki(Ed. Diener, 1984).
Istri TNI-AD pada usia dewasa awal(18 - 40 tahun) dapat melakukan berbagai
kegiatan dengan energi yang banyak sesuai dengan tingkat kematangan perkembangannya
dibandingkan istri dengan dewasa madya (41 - 60 tahun)dan usia dewasa akhir (>60 tahun),
akan tetapi istri TNI-AD pada usia masa dewasa madya dan dewasa akhir dapat berpikir lebih
matang dengan emosi yang lebih stabil dan memiliki pengalaman sebagai seorang istri tentara
yang lebih banyak meskipun tidak dapat melakukan banyak aktifitas seperti dewasa awal.
Istri TNI-AD dengan usia yang lebih muda maupun lebih tua mampu memiliki subjective
well-being dengan derajat tinggi sesuai penghayatan dan pengalaman hidup yang dimiliki
(Ed. Diener, 1984).
Pendidikan.Subjective well-being dipengaruhi oleh pendidikan, pendidikan dapat
mempengaruhi aspek kognitif istri TNI-AD karena pendidikan yang dimiliki dapat
mempengaruhi cara berpikir, menghayati, dan memahami suatu kejadian. Pendidikan juga
dapat mempengaruhi aspek afektif karena dengan pendidikan yang dimiliki, maka istri TNI-
ADakan memiliki management ego dan cara menanggulangi emosi yang dimiliki dalam
kejadian yang dialami (Diener, 1984).
Dengan pendidikan yang lebih tinggi, maka istri TNI-AD mampu berpikir lebih
matang, memiliki reaksi emosi yang lebih positif, berperilaku lebih baik, dan mengevaluasi
hidup serta melakukan kegiatan yang lebih positif.Istri TNI-AD dengan pendidikan yang
tinggi juga mampu untuk melakukan pekerjaan lain selain menjadi ibu rumah tangga, seperti
menjadi guru maupun bidan sehingga dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Sehingga pendidikan dapat mempengaruhi subjective well-being istri TNI-AD.
20
Universitas Kristen Maranatha
Penghasilan.Penghasilan dapat menimbulkan efek terhadap level kemiskinan,
memperlihatkan status dan kekuatan seseorang, dan memberikan efek sosial (Ed. Diener,
1984).Penghasilan dapat mempengaruhi penilaian kognitifistri TNI-AD karenamempengaruhi
persepsi istri TNI-AD terhadap status dan kekuatan yang dimilikinya dan juga orang-orang
disekitarnya seperti adanya status miskin dan kaya(Ed. Diener, 1984).Penghasilan juga dapat
mempengaruhi aspek afektif istri TNI-AD karena keseimbangan antara banyaknya uang yang
dimiliki, serta tingkat kebutuhan yang dimilikimempengaruhi emosi, dan mood(Ed. Diener,
1984).
Istri TNI-AD dengan penghasilan tinggi cenderung memiliki subjective well-being
yang lebih tinggi daripada istri TNI-AD dengan penghasilan rendah.Istri TNI-AD dengan
penghasilan yang lebih tinggi dapat mencukupi kebutuhan hidup dan rumah tangga, sehingga
kepuasan hidup istri TNI-AD akan terpenuhi, sebab kebutuhan untuk menghidupi dirinya,
membesarkan anaknya, dan mengurus suaminya terpenuhi secara finansial. Disisi lain, istri
TNI-AD dengan penghasilan rendah akan merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan kemudian muncul ketidakpuasan. Apabila istri TNI-AD memiliki pekerjaan
lain selain menjadi pengurus rumah tangga, istri TNI-AD dapat membantu memenuhi
kebutuhannya dankeluarga dengan penghasilannya sendirisehingga hal ini dapat berpengaruh
terhadap terhadap subjective well-being.
Agama.Agama penting bagi subjective well-being.Diener dan Ryan (2009)
mengungkapkan pada umumnya orang-orang memiliki iman yang tinggi, kedekatan rohani
dengan Tuhan cenderung mengalami kesejahteraan yang lebih tinggi dan lebih
spesifik.Mereka juga mengalami pelayanan agama, kekuatan dari afiliasi dalam organisasi
agama, hubungan dengan Tuhan, dan berdo’a yang berasosiasi dengan tingginya
kesejahteraan.Agama dapat berpengaruh terhadap aspek kognitif, karena agama akan
mempengaruhi keyakinan, keteguhan, dan cara berpikir istri TNI-AD terhadap kejadian yang
21
Universitas Kristen Maranatha
dialami. Agama juga dapat berpengaruh terhadap aspek afektif, karena agama akan
mempengaruhi emosi, ketenangan, dan mood yang dimiliki istri TNI-AD terhadap kejadian
yang dialami, agama juga berpengaruh terhadap afiliasi antara individu dengan Tuhan
(Diener, 1984).
Dengan giat melakukan kegiatan keagamaan dan berdo’amaka istri TNI-AD dapat
melampiaskan segala perasaannya dengan berdo’a dan bercerita kepadan Tuhan. Kegiatan
keagamaan yang dilakukan oleh istri TNI-AD dapat berpengaruh terhadap subjective well-
being pada saat ditinggalkan oleh suami dalam penugasan, meskipun tidak dipungkiri bahwa
setelah selesai mengikuti kegiatan keagamaan, dan sudah tidak berdo’a perasaan negatif dan
pikiran negatif karena kepergian suaminya kembali muncul. Sedangkan dengan jarang
mengikuti kegiatan keagamaan atau berdo’a istri TNI-AD tetap merasa gelisah dan tidak
memiliki pegangan dalam hidup yang dapat menjadikan hidup lebih tenang karena tidak
mengingat Tuhan sebagai tempat memohon dan bercerita akan semua kesusahan yang
dimiliki. Oleh sebab itu, spiritual yang dimiliki oleh istri TNI-AD berpengaruh terhadap
subjective well-being yang dimiliki pada saat tersebut.
Aktivitas.Aktivitas dapat menciptakan suatu perilaku, baik dalam kontak sosial,
aktivitas fisik, hoby, atau partisipasi dalam suatu organisasi dan kegiatan(Ed.Diener, 1984).
Aktifitas dapat berpengaruh terhadap aspek kognitif karena dengan banyaknya aktivitasistri
TNI-ADakan memiliki lebih banyak pengalaman hidup dan pembelajaran sehingga memiliki
cara berpikir, dan penghayatan yang lebih luas (Diener, 1984). Aktivitas juga berpengaruh
terhadap aspek afektif karena istri TNI-ADakan memiliki lebih banyak pengalaman
emosional juga memiliki cara merespon emosi dengan lebih luas (Diener, 1984).
Banyaknya aktivitas yang dimiliki oleh istri TNI-AD dapat membuat mereka
meredam kecemasan, kegelisahan, dan rasa takut yang dimaknai ketika suami mereka pergi
dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI..Sedangkan istri TNI-AD yang jarang
22
Universitas Kristen Maranatha
mengikuti aktivitasakan sering berdiam diri dan semakin tercekam dalam pikiran dan
perasaan negatif yang dimilikinya karena tidak ada kegiatan maupun teman sharing yang
dapat mengurangi pikiran dan perasaaan negatifnya. Sehingga aktivitas yang dimiliki istri
TNI-Ad dapat mempengaruhi subjective well-being yang dimiliki pada saat tersebut.
Kesehatan.Berdasarkan penelitian, orang yang sehat dan kuat akan lebih sejahtera
daripada orang yang sedang sakit dan lemah (Ed. Diener, 1984).Kesehatanberpengaruh
terhadap aspek kognitifistri TNI-AD karena dengan kesehatan yang optimal, maka individu
dapat berpikir lebih baik dan memiliki lebih banyak energi untuk melakukan berbagai
kegiatan dengan lebih baik (Diener, 1984). Kesehatan juga berpengaruh terhadap aspek
afektif istri TNI-AD karena dengan kesehatan yang baik, maka istri TNI-AD dapat berpikir
lebih jernih sehingga dapat merasakan hal-hal yang dialami sebagai sesuatu hal yang positif
(Diener, 1984).
Istri TNI-AD dengan kesehatan optimal akan lebih kuat dalam menjalani beban fisik
dan psikis yang dimiliki ketika sosok suami pergi dalam penugasan ke wilayah perbatasan
NKRI. Istri TNI-AD juga dapat berpikir dan menilai kejadian yang dialaminya sebagai
sesuatu yang positif, mengatasinya dengan cara yang positif, juga merasakannya sebagai hal
yang positif, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa istri TNI-AD dengan kondisi
sehat juga sering berpikir dan merasakan hal negatif selama ditinggalkan oleh suaminya.
Oleh karena itu, kesehatan yang dimiliki oleh istri TNI-AD berpengaruh terhadap subjective
well-being yang dimiliki pada saat tersebut.
Untuk lebih jelasnya, penjabaran diatas dapat diuraikan dalam bentuk bagan kerangka
pemikiran sebagai berikut.
23
Universitas Kristen Maranatha
BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN
Istri TNI-AD di Kota
Bogor yang sedang
ditinggalkan oleh suami
dalam penugasan ke
wiayah perbatasan NKRI.
Subjective well-being
- Aspek Kognitif
Indikator : - Kepuasan
hidup secara menyeluruh
(Life Satisfaction).
- Aspek Afektif
Indikator : - Afek positif.
- Afek negatif.
Tinggi
Rendah
Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Subjective
Well-Being :
- Usia
- Pendidikan
- Penghasilan
- Penghayatan Agama
- Aktivitas
- Kesehatan
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
24
Universitas Kristen Maranatha
1.6.ASUMSI PENELITIAN
Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengasumsikan bahwa :
1. Derajat Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogoryang sedang
ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI dapat dikaji
menggunakan dua aspek yaitu kognitif dan afektif.
2. Derajat Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang
ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRIdapat dikaji
berdasarkankepuasan hidup secara menyeluruh, mulai dari awal kehidupan hingga saat
ini(life satisfaction)yang berasal dari aspek kognitif;afek positif, danafek negatif yang
berasal dari aspek afektif.
3. Situasi kehidupan yang dimiliki oleh istri TNI-ADdapat mempengaruhi derajat
well-being dan unwell-being(ill-being) yang dimiliki oleh istri TNI-AD di kota Bogor
yang sedang ditiggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI.
4. Derajat Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang
ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI ada yang tinggi
dan rendah.
5. Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang ditinggalkan
oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI dipengaruhi oleh faktor usia,
pendidikan,penghasilan, agama, aktivitas dan kesehatan.