bab i pendahuluan 1.1.latar belakang masalah · melaksanakan tugas tni dalam menjaga keamanan...

24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG MASALAH Dalam rangka mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki prajurit yang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).TNI terbagi atas tiga yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, dan TNI Angkatan Laut yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mempertahankan dan melindungi keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Menurut UU No. 34/2004 Bab IV bagian ketiga, pasal 8 tentang Angkatan Darat, TNI-AD wajibuntuk melaksanakan tugas TNI matra darat di bidang pertahanan; melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat; dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat. Ada beberapa wilayah perbatasan NKRI yang sangat vital untuk dijaga, karena langsung berbatasan dengan negara tetangga, seperti NTT yang berbatasan dengan Timor Leste, Kepulauan Sangihe Ujung Utara Sulawesi dan Pulau Natuna di Kepulauan Riau dengan Laut China Selatan, wilayah Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, serta Papua berbatasan langsung dengan Papua Nugini.TNI-AD yang bertugas di daerah perbatasan maupun pergi dalam rangka misi perdamaian ke luar negeri dapat ditempatkan diaerah tersebut sekurang- kurangnya 6 bulan, dan paling lama selama 2 tahun. Kota Bogor adalah kota yang memiliki pusat penugasan prajurit baik yang akan diberangkatkan ke wilayah perbatasan NKRI maupun ke luar negeri dalam rangka misi perdamaian.

Upload: others

Post on 10-Jan-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam rangka mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, Negara Kesatuan

Republik Indonesia memiliki prajurit yang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).TNI

terbagi atas tiga yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, dan TNI Angkatan Laut

yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mempertahankan dan melindungi

keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Menurut UU No. 34/2004 Bab IV bagian ketiga, pasal 8 tentang Angkatan Darat,

TNI-AD wajibuntuk melaksanakan tugas TNI matra darat di bidang pertahanan;

melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara

lain; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat;

dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.

Ada beberapa wilayah perbatasan NKRI yang sangat vital untuk dijaga, karena langsung

berbatasan dengan negara tetangga, seperti NTT yang berbatasan dengan Timor Leste,

Kepulauan Sangihe Ujung Utara Sulawesi dan Pulau Natuna di Kepulauan Riau dengan Laut

China Selatan, wilayah Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, serta Papua berbatasan

langsung dengan Papua Nugini.TNI-AD yang bertugas di daerah perbatasan maupun pergi

dalam rangka misi perdamaian ke luar negeri dapat ditempatkan diaerah tersebut sekurang-

kurangnya 6 bulan, dan paling lama selama 2 tahun. Kota Bogor adalah kota yang memiliki

pusat penugasan prajurit baik yang akan diberangkatkan ke wilayah perbatasan NKRI

maupun ke luar negeri dalam rangka misi perdamaian.

2

Universitas Kristen Maranatha

Istri tentara merupakan sosok penting yang bertugas untuk melayani, mendampingi, dan

mendukung suami selaku TNI-AD untuk melaksanakan pertahanan keamanan maupun

sebagai komponen pembangunan bangsa untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia (dalam

https://asrikirani.wordpress.com/2008/12/16/persit-persatuan-isteri-prajurit).Untuk mencapai

tujuan dan pelaksanaan tugasnya sebagai seorang istri tentara, maka istri TNI-AD

dipersatukan dalam sebuah wadah yang bernama PERSIT.PERSIT atau Persatuan Istri TNI-

AD sebagai wadah para istri TNI-AD untuk bergabung dan saling menyokong untuk

membantu pelaksanaan tugas TNI-AD, kegiatannya meliputi bidang keagamaan, olahraga,

keterampilan, organisasi, ekonomi, pendidikan, budaya dan sosial sesuai dengan persetujuan

pembina PERSIT atau Ibu Komandan Batalyon.Semua istri TNI-AD wajib menjadi anggota

PERSIT dan mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh PERSIT.

Ridenour (dalam Castro Carl, 2006) mengatakan bahwa keluarga militer lebih

mengutamakan misi pekerjaan, sehingga seringkali hubungan antara prajurit dengan teman

sesama militer lebih diutamakan daripada antara dirinya dan pasangan, anak-anak atau

orangtua.Ridenour pun mencatat segi keunikan pada kehidupan keluarga militer, antara lain

sering berpindah-pindah rumah, berpisah dan berkumpul kembali yang diakibatkan oleh

penugasan para prajurit yang pada akhirnya keluarga dituntut untuk terus menerus

menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada TNI-AD di kota Bogor, jenis penugasan

yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penugasan yang bersifat pengamanan di

wilayah perbatasan NKRI dan menjadi prajurit bantuan di daerah yang mengalami konflik

atau negara lain yang sedang berperang. Oleh karena itu, kesiapan keluarga untuk mampu

beradaptasi dan menangani masalah yang dihadapi akan dibutuhkan terlebih bagi keluarga

yang sedang ditinggal untuk bertugas khususnya bagi istri prajurit.

3

Universitas Kristen Maranatha

Ridenour (dalam Castro Carl, 2006)mengungkapkan bahwa suatu keluarga pada

umumnya menginginkan waktu kebersamaan didalam rumah tangga, hal ini berbeda dengan

yang dialami oleh para istri TNI-AD, pelaksanaan tugas menjadi prioritas utama dalam hidup

TNI-AD, sehingga mereka harus selalu siap untuk dikirim dalam misi penugasan maupun

misi perdamaian kapan saja diperintahkan.TNI-AD yang sudah menerima perintah penugasan

harus meninggalkan istri dan keluarganya menuju tempat penugasan dalam kurun waktu yang

telah ditentukan. Oleh karena itu, istri TNI-AD harus siap ditinggalkan dalam suatu misi

ataupun ikut pindah kapan saja dengan suaminya di rumah dinas yang ditentukan sesuai

perintah negara sehingga jauh dari kampung halaman.

Berdasarkan datayang diperoleh dari Dispenad TNI-AD (dalam

https://asrikirani.wordpress.com/2008/12/16/persit-persatuan-isteri-prajurit), perubahan peran

yang dialami istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan dalam penugasan ke wilayah perbatasan

dapat menimbulkan perasaan kehilangan dan terasingkan karena tidakbanyak mendapatkan

dukungan dari lingkungan, dan belum menyiapkan diri untuk menyelesaikan berbagai tugas

yang harus ditanggung istri seorang diri.

Kepergian suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI dalam kurun waktu yang

lamadapat mempengaruhi penghayatan pribadi mengenai kepuasan hidup dan perasaan,

sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dimiliki oleh istri TNI-AD. Dalam

bidang ilmu psikologi, kesejahteraan disebut dengan subjective well-being, yang seringkali

bersinonim dengan happiness.

Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika dia merasa puas

dengan kondisi hidupnya, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif

(Diener,1987).Istri TNI-AD harus mengizinkan suaminya pergi sebagai abdi negara untuk

menjaga wilayah perbatasan NKRI walaupun semua istri ingin memiliki banyak waktu untuk

bersama dengan suaminya.

4

Universitas Kristen Maranatha

Istri TNI-AD jugaharus menanggung beban psikis atas rasa cemas, kehilangan, kesepian,

takut akan kondisi bahkan kematian suami dan rasa curiga saat kepergian suaminya dalam

penugasan, serta perasaan negatif lainnya. Disaat yang sama istri TNI-AD harus bertindak

sebagai kepala keluarga yang wajib mengasuh anak dan menghadiri setiap kegiatan PERSIT

secara rutin, dan mematuhi setiap peraturan dirumah dinas. Hal-hal tersebut dapat

mempengaruhi subjective well-beingistri TNI-AD selama suaminya bertugas ke wilayah

perbatasan.Apabila subjective well-being istri TNI-AD tersebut tinggi, maka mereka mampu

menanggulangi afek negatif yang dimiliki dan menyelesaikan kewajibannya sebagai single

fighter dengan perasaan bahagia.Sebaliknya, istri TNI-AD yang memiliki derajat subjective

well-beingrendah belum mampu menanggulangi afek negatif yang dimiliki dan dapat merasa

kesulitan dalam menyelesaikan kewajibannya sebagai single fighter.

Berdasarkan data yang diperoleh dari psikolog yang bertugas di wilayah Batalyon 315

kota Bogor, dari 60 orang istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suami dalam

penugasan ke wilayah perbatasan NKRI, hanya 19 orang istri yang rutin datang melakukan

konseling ke psikolog hingga seminggu sekali karena sering menampilkan perilaku panik

ketika memiliki masalah selama kepergian suami, gelisah, cemas, banyak mengeluhkan

perasaan takut akan kehilangan suaminya saat tidak ada kontak hingga terbawa mimpi buruk

berulangkali, perilaku murung, tidak bersemangat dalam melakukan aktifitas sehari-hari,

sering menangis, mudah tersinggung dan marah terhadap lingkungan dan anak, dan mengaku

tertekan akan kondisi dan berbagai tuntutan hidupnya saat ini. Sedangkan sisanya tidak

begitu rutin melakukan konsultasi dengan psikolog, dan hanya menceritakan perasaan dan

kondisinya pada saat sesi konseling bulanan yang dilakukan PERSIT karena mengaku merasa

malu dan segan untuk jujur dan masih mampu menahannya sendiri.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang istri TNI-AD, ketika suami

bertugas untuk pergi ke wilayah perbatasan dalam kurun waktu lama istri merasakan beban

5

Universitas Kristen Maranatha

psikis atas kepergian suaminya yang dapat menimbulkan kecemasan, kehilangan, rasa takut

akan kondisi bahkan kematian suami, rasa curiga dan afek negatif lainnya yang dapat

menimbulkan stress. Selain itu istri TNI harus siap mendengar suaminya gugur suatu saat

nanti.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang istri TNI-AD, istri juga

mendapatkan beban fisik untuk menjadi kepala keluarga yang mengurus rumah tangga,

sehingga istri harus bisa melakukan tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh suaminya, seperti

membenarkan peralatan rumah tangga yang rusak. Selain itu, selama suami bertugas, istri

harus tetap tinggal di Batalyon. Hal tersebut dapat membuat istri merasa tidak bebas dan

jenuh.

Selama suami bertugas di wilayah perbatasan, banyak peraturan yang harus ditaati

dirumah dinas. Untuk keluar dari wilayah batalyon diperlukan suatu prosedur, yaitu dengan

menyerahkan kartu identitas istri prajurit kepada petugas piket. Selain itu, waktu yang

diberikan kepada istri TNI-AD tersebut untuk keluar batalyon sangat terbatas. Setiap

Batalyon memiliki aturan yang berbeda-beda. Apabila istri TNI-AD melanggar aturan

tersebut, maka akan dikenakan sanksi berupa teguran atau sanksi lainnya yang diberikan

Kepala Komando Rumah maupun Ibu Komandan Batlyon sebagai penanggung jawab dan

selaku Pembina PERSIT. Adanya aturan tersebut membuat istri TNI-AD tidak bebas untuk

mengikuti aktivitas diluar Batalyon. Selain itu, acara yang diadakan PERSIT terkadang

memiliki jadwal yang tidak bisa ditentukan waktunya membuat istri TNI-AD harus banyak

menghabiskan waktunya didalam asrama.

Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan dengan carawawancara terhadap10

orang istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang ditinggalkan suami untuk bertugas di wilayah

perbatasan NKRI terdapat 3 orang (30%) istri yang memiliki subjective well-being dengan

derajat tinggi, dan 7 orang(70%) istri yang memiliki subjective well-being dengan derajat

6

Universitas Kristen Maranatha

rendah (ill-being).Hanya istri TNI-AD denganlife satisfaction tinggi, afek positif tinggi, dan

afek negatif rendahyang memilikisubjective well-being dengan derajat tinggi, selain kriteria

tersebut maka subjective well-being yang dimiliki akan rendah.Hal ini disebabkan karena

selain istri menghayati kepuasan hidup dari awal kehidupan hingga saat ini dengan positif,

istri juga lebih banyak menghayati perasaan positif daripada perasaan negatif selama

ditinggalkan oleh suami dalam penugasan.Sedangkan diluar kriteria tersebut, maka subjective

well-beingyang dimiliki akan rendah, karena selain istri merasa tidak puas terhadap

kehidupan yang dijalani sejak awal kehidupan hingga saat ini, terutama saat ditinggalkan oleh

suami dalam penugasan, istri juga banyak merasakan perasaan negatif daripada perasaan

positif.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 3 orangistri yang memiliki

subjective well-being dengan derajat tinggi, istri TNI-AD mengaku puas dan merasa bangga

ketika mengetahui suaminya terpilih dalam penugasan ke wilayah perbatasan. Bagi seorang

istri TNI-AD hal ini merupakan suatu kebanggaan karena artinya suaminya dipercaya oleh

negara untuk melindungi wilayah perbatasan NKRI.Istri TNI-AD tersebut merasa tidak ada

yang perlu disesali karena baginya sudah takdirnya untuk mendukung dan ikut berbahagia

untuk suami, termasuk dalam situasi yang sedang dialami.

Istri TNI-AD tidak memungkiri terkadang merasa lelah dan kesal saat harus menanggung

beban fisik seperti keharusan mengurus rumah tangga seorang diri, mengurus anak sendirian,

mentaati semua peraturan di Batalyon, dan adanya kewajiban untuk menghadiri setiap

kegiatan yang diselenggarakan oleh PERSIT tidak peduli apakah istri TNI-AD memiliki

pekerjaan lain yang harus diselesaikan dalam waktu bersamaan. Semua hal tersebut dilakukan

untuk menjaga nama baik suami dan keluarganya dalam lingkup militer.

Istri TNI-AD juga merasakan beban psikis. Istri TNI-AD tersebut tidak memungkiri

bahwa terkadang muncul perasaan negatif seperti rasa cemas, dan takut akan keselamatan

7

Universitas Kristen Maranatha

suami di wilayah perbatasan, terkadang mereka juga merasa sedih apabila suami sulit untuk

dihubungi atau tidak ada kabar mengenai keadaan suami selama ditugaskan, akan tetapi

mereka lebih memilih untuk menghayati hidup dengan banyak berpikiran positif sehingga

mampu untuk perasaan positif didalam dirinya dan lebih menghayati hidup secara mengatasi

berbagai perasaan dan pikiran negatif yang terkadang muncul, sehingga lebih sering

merasakan perasaanpositif.

Disisi lain, berdasarkan hasil wawancara terhadap 7 orang istri TNI-AD yang memiliki

subjective well-being dengan derajat rendah(ill-being) merasa apabila kondisi kehidupannya

saat ini kurang baik, bahkan mereka kurang puas terhadap kehidupannya saat ini, hal ini

disebabkan karena kepergian suami dalam penugasan tersebut memberikan beban fisik dan

psikis bagi mereka.

Istri TNI-AD sering merasakan beban fisik seperti rasa lelah untuk bekerja dan mengurus

rumah tangga seorang diri disamping mengikuti kegiatan wajib PERSIT dan keharusan

mentaati berbagai peraturan didalam Batalyon. Bagi istri TNI, kegiatan PERSIT dirasakan

mampu mengurangi perasaan negatif yang dimiliki, karena adanya kegiatan yang beragam,

dan waktu untuk sharing dengan istri-istri TNI-AD lainnya, akan tetapi para istri tidak

memungkiri bahwa hal tersebut melelahkan karena sering menghabiskan waktu yang cukup

lama.

Istri TNI-AD tersebut juga menanggung beban psikis seperti perasaan takut, sedih, cemas,

dan perasaan negatif lainnya yang terus muncul dipikiran mereka meskipun mereka berusaha

untuk tidak memikirkannya dan berusaha untuk tetap terlihat ceria dihadapan orang lain.

Istri TNI-AD yang memiliki subjective well-being dengan derajat rendah (ill-being)sering

merasakan afek negatif seperti perasaan negatif karena berada jauh dari suami, istri takut

suami berselingkuh di tempat penugasan, karena sampai saat ini perselingkuhan kerap terjadi

baik dilakukan oleh suami maupun istri selama suami pergi dalam penugasan.Menurut data

8

Universitas Kristen Maranatha

yang diungkapkan oleh ibu Komandan Batalyon, hingga saat ini tercatat 10% istri TNI-AD

ataupun TNI-AD yang berselingkuh selama TNI-AD bertugas ke wilayah perbatasan NKRI.

Berdasarkan wawancara, istri juga mengalami perasaan takut apabila terjadi suatu hal

buruk yang dapat melukai atau bahkan merenggut nyawa suaminya seperti perang antar suku,

kerusuhan, atau serangan di wilayah perbatasan, karena hingga saat ini sudah tercatat 3 orang

TNI-AD tewas saat melindungi wilayah perbatasan pada tahun 2011, 13 orang TNI-AD

tewas karena kekerasan di wilayah perbatasan Papua saat dalam penugasan, begitu pula pada

tahun 2015 dan 2016. Istri juga merasa cemas,dan memiliki perasaan buruk, apabila

suaminya tidak kunjung memberikan kabar karena takut hal buruk telah terjadi, atau bahkan

suaminya telah tiada.

Selain beban fisik, beban psikis, serata berbagai tanggung jawab dan aturan yang wajib

untuk dilaksanakan istri TNI-AD, terdapat beberapa faktor yang turut menunjang derajat

tinggi atau rendahnya subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang

ditiggalkan dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI. Faktor tersebut antara lain usia,

pendidikan, penghasilan, agama, aktivitas, dan kesehatan.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, usia turut berpengaruh

terhadap subjective well-being istri TNI-AD. Istri mengaku dengan bertambahnya usia,

secara fisik banyak hal yang tidak bisa dilakukan lagi seperti sediakala, dan cepat merasa

lelah padahal mereka dituntut untuk mengikuti setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh

PERSIT dengan kurun waktu yang tidak sebentar, berbeda dengan istri dengan usia muda

yang masih produktif dan energik.

Disisi lain, dengan bertambahnya usia, istri sudah banyak memiliki pengalaman akan

kepergian suami dalam penugasan, namun tetap saja perasaan negatif terus muncul dan tidak

bisa dipungkiri, terlebih pada istri TNI-AD yang berusia muda. Namun istri dengan usia yang

lebih tua mampu untuk terlihat lebih tenang dalam menyikapi kepergian suaminya dalam

9

Universitas Kristen Maranatha

penugasan. Dengan demikian usia dapat berpengaruh terhadap tinggi maupun rendahnya

derajat subjective well-being yang dimiliki saat ditinggalkan oleh suami.

Berdasarkanhasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, pendidikan juga

merupakan hal yang berpengaruh terhadap subjective well-being.Dengan gelar sarjana yang

dimiliki oleh istri, maka istri dapat melakukan perkerjaan diluar menjadi ibu rumah tangga

sehingga memiliki penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan

memiliki lebih sedikit waktu untuk bersedih atas kepergian suaminya.

Disisi lain, terasa sulit sekali untuk mengatur waktu bekerja dan kewajiban menghadiri

setiap kegiatan PERSIT yang sering diselenggarakan dengan waktu mendadak.

Bagaimanapun juga kegiatan PERSIT turut menentukan kehormatan istri dan pangkat

suaminya dimata anggota PERSIT lainnya.Hal demikian membuat istri TNI-AD merasa lelah

baik secara psikis maupun fisik sehingga subjective well-being yang dimiliki cenderung

rendah.Lain halnya apabila istri TNI-AD dapat bekerja tanpa harus terbatasi oleh kegiatan

PERSIT yang sangat menyita waktu, istri dapat mengisi waktunya dengan pekerjaan yang

disukai sehingga pikiran dan perasaan negatif yang muncul selama ditinggalkan oleh suami

dapat berkurang sehingga subjective well-being yang dimiliki istri TNI-AD cenderung tinggi.

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-ADistri TNI-AD

juga tidak memungkiri bahwa penghasilan yang dimiliki dapat mempengaruhi perasaan yang

dimiliki, terkadang muncul perasaan iri dari profesi lainnya dan merasa tidak senang dengan

penghasilan yang dimiliki sehingga menimbulkan perasaan marah dan emosi negatif.Perasaan

tersebut juga mucul saat suami sedang bertugas di wilayah perbatasan karena seringkali istri

memiliki keperluan dan kebutuhan yang mendadak dan harus segera dipenuhi, seperti saat

anak mendadak sakit, atau harus pulang kampung karena ada keperluan keluarga yang

mendadak.

10

Universitas Kristen Maranatha

Istri TNI-AD sebenarnya diberikan hak untuk bekerja selain menjadi ibu rumah tangga,

akan tetapi hak untuk bekerja tersebut sangat dibatasi oleh kewajiban untuk menghadiri setiap

kegiatan PERSIT, karena kegiatan PERSIT adalah sebuah keharusan dan dapat turut

mempengaruhi kedudukan suami. Dengan adanya berbagai kegiatan PERSIT yang waktunya

sering tidak terjadwal, maka istri menjadi kesulitan untuk menjalankan profesi selain menjadi

ibu rumah tangga.

Dengan adanya kesulitan untuk menjalankan pekerjaan lain diluar batalyon, sedangkan

gaji yang diberikan oleh suami tidak besar, maka istri seringkali merasakan perasaan negatif

dan merasa kurang puas terhadap kehidupannya sehingga cenderung memiliki subjective

well-being dengan derajat rendah. Lain halnya apabila istri TNI-AD memiliki suami dengan

penghasilan tinggi maupun memiliki kesempatan untuk bekerja, maka kebutuhan yang

dimiliki oleh istri TNI-AD dan keluarga dapat terpenuhi dengan lebih baik sehingga mampu

berpikir dan merasakan kepergian suami sebagai hal yang positif, sehingga subjective well-

being istri TNI-AD cenderung tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, kegiatan keagamaan

jugaberpengaruh terhadap subjective well-being. Sebelum berdo’a istri seringkali merasa

tertekan atas segala kewajibannya sebagai seorang istri TNI-AD, juga atas perasaan dan

pikiran negatif selama kepergian suaminya.Tapi dengan adanya kegiatan giat berdo’a istri

mengaku menjadi lebih tenang, rileks, dan merasa memiliki tempat bertumpu setelah

bercerita terhadap Tuhan.Dengan rutin berdo’a istri TNI-AD dapat berpikir dan menghayati

perasaan dengan lebih positif sehingga subjective well-being yang dimiliki oleh istri TNI-AD

cenderung lebih tinggi.Meskipun demikian, istri tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan dari

do’a dan kegiatan keagamaan tersebut hanya menenangkan untuk sementarawaktu.Ketika

istri TNI-AD sudah selesai berdo’a atau sedang tidak melakukan kegiatan keagamaan, maka

11

Universitas Kristen Maranatha

pikiran dan perasaan negatif yang dimiliki kembali muncul sehingga subjective well-being

yang dimiliki cenderung rendah.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD, aktivitas juga berpengaruh

terhadap subjective well-being. Dengan berbagai kegiatan PERSIT, baik keahlian untuk istri,

keagamaan, dan sebagainya, istri menjadi lebih banyak menghabiskan waktu luang selama

kepergian suaminya dengan kegiatan yang bermanfaat, sehingga pikiran dan perasaan negatif

mengenai kepergian suaminya dapat sedikit berkurang dan subjective well-being yang

dimiliki istri TNI-AD cenderung tinggi. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya,

kegiatan PERSIT seringkali mendadak dan menghabiskan waktu dari pagi hingga sore hari,

sehingga mengakibatkan istri merasa kelelahan baik fisik maupun psikis, merasa kesal dan

sulit untuk mencari penghasilan tambahan dengan melakukan pekerjaan lain diluar organisasi

PERSIT, sehingga subjective well-being yang dimiliki istri TNI-AD cenderung rendah.

Berdasarkanwawancara terhadap 10 orang istri TNI-AD kesehatan juga berpengaruh

teerhadap subjective well-being.Sampai saat ini tercatat belum ada istri TNI-AD di Batalyon

315 yang mengidap suatu penyakit.Namun adakalanya mereka mengalami penyakit ringan

seperti demam dan flu.Dalam kondisi sakit, istri lebih banyak berpikiran negatif mengenai

suaminya, dan lebih banyak menghayati kesendiriannya dalam menjalani hidup sebagai

seorang istri tentara, mereka merasa sedih karena sedang saat sakit tidak ada yang bisa

merawat mereka.Tenaga mereka masih sangat dibutuhkan untuk mengurus anak-anak dan

melakukan kegiatan wajib PERSIT.Mereka merasa lelah dan ingin mengeluh namun selalu

menahan diri demi anak-anak dan kelancaran pekerjaan suaminya, sehingga istri TNI-AD

memiliki subjective well-being yang cenderung rendah.Sedangkan dalam kondisi sehat, istri

TNI-AD mampu meredam pikiran dan perasaan negatif mengenai suaminya selama

ditinggalkan dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang wajib untuk diikuti sehingga istri

TNI-AD memiliki subjective well-being yang cenderung tinggi. Namun demikian, meskipun

12

Universitas Kristen Maranatha

tidak menutup kemungkinan bahwa istri dengan kondisi sehat juga dapat merasakan dan

meghayati kondisinya selama ditinggalkan oleh suami secara negatif, karena subjective well-

being yang dimiliki istri TNI-AD tidak bergantung pada satu faktor saja, akan tetapi juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

Setelah mengetahui fakta yang didapatkan dari survey awal yang dilakukan terhadap 10

orang istri TNI-AD dari total 60 orang istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang ditinggalkan

oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI diketahui bahwa sebagian besar

istri memiliki subjective well-being dengan derajat rendah atau dapat disebut juga ill-being,

padahal istri TNI-AD harus menyelesaikan kewajibannya sebagai single fighterselama

ditinggalkan oleh suami dalam penugasan, makapeneliti berminat untuk mengkaji lebih lanjut

dan meneliti permasalahan tersebut. Peniliti berminat untuk meneliti derajat Subjective Well-

Being pada Istri TNI-AD di Kota Bogor yang sedang ditinggalkan dalam penugasan

diwilayah perbatasan NKRI.

1.2.IDENTIFIKASI MASALAH

Dari penelitian ini ingin diketahui derajat subjective well-being pada istri TNI-AD di

Kota Bogor yang sedang ditinggalkan dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI.

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. MAKSUD PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud memperoleh data dan informasimengenai

derajat subjective well-being pada istri TNI-AD di Kota Bogoryang sedang ditinggalkan

dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI.

13

Universitas Kristen Maranatha

1.3.2. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi

mengenaiderajat subjective well-being pada istri TNI-AD di Kota Bogor yang sedang

ditinggalkan dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI dan aspek-aspek yang

menyertainya, yaituaspek kognitif berupakepuasan hidup secara menyeluruh (Life

satisfaction), dan aspek afektif berupa afek positif, dan afek negatif.

1.4.KEGUNAAN PENELITIAN

1.4.1. KEGUNAAN TEORITIS

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

- Mengkaji derajat subjective well-being pada istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan

dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI sebagai bagian dari bidang ilmu

psikologi positif.

- Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian

mengenai derajat subjective well-being pada istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan

dalam penugasan di wilayah perbatasan NKRI.

1.4.2. KEGUNAAN PRAKTIS

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

- Memberikan informasi mengenai derajat subjective well-beingkepada istri TNI-AD

yang sedangditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan

NKRIsebagai bahan pertimbangan dan pembelajaranuntuk memberikan dukungan

pada istri TNI-AD dalam memaknai hidup dengan pikiran dan perasaan positif.

- Memberikaan informasi kepada PERSIT mengenai derajat subjective well-being istri

TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah

14

Universitas Kristen Maranatha

perbatasan NKRI untuk menjadi bahan pertimbangan dalam merancang dan mengatur

kegiatan yang mampu memberikan dukungan kepada istri TNI-AD selaku anggota

PERSIT agar mampu memaknai hidup dan perasaan secara positif.

- Memberikan informasi kepada psikolog yang bertugas didalamTNI-AD mengenai

derajat subjective well-being istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suami

dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRIuntuk pertimbangan dalam

memberikan penyuluhan,sosialisasi, konseling dan kegiatan kepada istri TNI-AD

agarmampu memaknai hidup dan perasaan secara positif.

- Memberikan informasi kepada Pembina PERSIT(Ibu Komandan Batalyon)

mengenaiderajat subjective well-being istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh

suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI sebagai bahan dalam menyusun

rancangan kegiatan yang mampu memberikan dukungan kepada istri TNI-AD selaku

anggota PERSIT sehingga mampu memaknai hidup dan perasaan secara positif.

1.5. KERANGKA PEMIKIRAN

Kesejahteraan erat kaitannya dengan subjective well-being.Subjective well-

beingdidefinisikan sebagai evaluasi subyektif individu atas kehidupannya yang mencakup

penilaian kognitif atas kepuasan hidup secara menyeluruh dan reaksi emosional (afeksi)

terhadap suatu peristiwa menurut Ed. Diener, Richard E. Lucas, & Shigero Oishi (dalam The

Science of Happiness and Life Satisfaction, 2005). Banyaknya beban fisik, dan psikis yang

harus ditanggung oleh istri TNI-AD selama ditinggalkan oleh suami akan mempengaruhi

penilaian kognitif dan menimbulkan berbagai macam emosi.

Subjective well-beingmemiliki dua aspek, yaitu kognitif dan afektif.MenurutEd.

Diener(dalam The Science of Subjective Well-Being, 2007)aspek kognitif terdiri ataskepuasan

15

Universitas Kristen Maranatha

hidup secara menyeluruh (life satisfaction).Aspek afektif dibagi menjadi afek positif dan afek

negatif (Diener dkk, 2004).

Aspek kognitif subjective well-beingadalah aspek yang mencerminkan evaluasi

subyektif berupa penghayatan dalam berbagai aspek kehidupan secara menyeluruh (Myers

dan Diener, 1995).Evaluasi secara menyeluruh ini juga mencakup berbagai facet, yaitu

pengahayatan mengenai kepuasan hidup secara menyeluruh dengan diri sendiri, kelompok

dan teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan dan waktu luang yang dialami sejak awal

kehidupan hingga saat ini (Diener, 1984).Kepergian sosok suami dalam penugasan, berbagai

beban fisik maupun beban psikis dan tanggungjawab yang harus diemban oleh istri seorang

diri akan mempengaruhi penilaian mengenai setiap peristiwa yang dialami oleh istri TNI-

ADbaik berhubungan dengan diri sendiri, hubungannya dengan lingkungan sosial (anak,

suami), hubungannya dengan kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang yang

dimiliki, apakah hal tersebut berjalan dengan baik sehingga menimbulkan kepuasan atau jadi

terhambat karena pengalaman hidup yang sedang dialami sehingga menimbulkan rasa tidak

puas.

Aspek kognitif subjective well-being terdiri atas indikator kepuasan hidup secara

menyeluruh (life satisfaction)yaitu suatu penghayatan kognitif seseorang mengenai

pengalamanhidup yang dijalaninya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan

baik, apakah iamerasa cukup, dan puas dari awal kehidupan hingga saat ini (Ed. Diener,

1984).

Kepergian suami dalam penugasan menjadi salah satu peristiwa hidup yang dialami

oleh istri TNI-AD.Istri TNI-AD yang sedang ditinggalkan oleh suaminya dalam penugasan

ke wilayah perbatasan NKRI memiliki peran sebagai single fighter yang dibebani berbagai

tugas dan tanggung jawab baik didalam rumah tangga, pekerjaan, maupun keorganisasian

PERSIT yang harus dikerjakan seorang diri. Hal ini akan berpengaruh terhadap penghayatan

16

Universitas Kristen Maranatha

mengenai kepuasan hidup secara menyeluruh (life satisfaction) yang dimiliki oleh istri TNI-

AD pada saat tersebut.

Istri TNI-AD yang memiliki penilaian subjektif mengenai kepuasan hidup secara

menyeluruh (life satisfaction) dengan derajat tinggi, maka akan sering memiliki perasaan

puas dalamkehidupannya secara menyeluruh. Sedangkan istri TNI-AD yang memiliki

penilaian subjektif mengenai kepuasan hidup secara menyeluruh (life satisfaction) dengan

derajat rendah, makan akan sering merasakan ketidak puasan, atau kurang puas dalam

kehidupannya secara menyeluruh.

Selanjutnya, terdapat aspek afektifsubjective well-beingmemiliki arti sebagai

suatuemosi yang diperlukan individu untuk menilai peristiwa dalam hidup secara positif

maupun negatif (Diener dan Seligman, 2004).Untuk mendapatkan derajat subjective well-

being yang tinggi, maka individu harus memiliki afek positif yang lebih banyak daripada afek

negatif (Ed. Diener, 1984).Kepergian suami dalam penugasan dan banyaknya tanggungjawab

yang harus dipenuhi, banyaknya beban fisik dan psikis yang menyertai akan berpengaruh

terhadap penghayatan mengenai emosidan perasaan yang dimiliki oleh istri TNI-AD pada

saat tersebut, dan banyaknya emosi yang muncul akan menentukan derajat subjective well-

being yang dimiliki oleh istri TNI-AD (Diener, 1984).

Aspek afektif subjective well-being terdiri atasindikator afek positif dan afek

negatif.Afek positif adalah afek yang membawa kepuasan, komitmen diri, dan penghayatan

mengenai makna kehidupan (Diener dan Seligman, 2004).Afek positif terdiri atas mood dan

emosi yang menyenangkan seperti perasaan baik, nyaman/senang, bahagia, riang, dan

puas.Sedangkan afek negatif terdiri atasmood dan emosi yang tidak menyenangkan seperti

perasaan negatif, buruk, tidak menyenangkan, sedih, takut, dan marah (Ed. Diener 1984).

Istri TNI-AD akan bereaksi dengan emosi positif ketika mereka menganggap sesuatu

yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi negatifketika menganggap

17

Universitas Kristen Maranatha

sesuatu yang buruk terjadi pada mereka sepertiperasaan negatif karena berada jauh dari

suami, takut suami berselingkuh di tempat penugasan, takut terjadi hal buruk yang dapat

melukai atau bahkan merenggut nyawa suaminya seperti perang antar suku, kerusuhan, atau

serangan di wilayah perbatasan.

Selain melihat banyaknya afek positif dan afek negatif yang dimiliki, kita juga harus

melihat keseimbangan afek yang dimiliki oleh istri TNI-AD.Diener (1984) mengungkapkan

bahwa keseimbanganafek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami

dibandingkan dengan perasaan negatif. Dengan jumlah afek positif yang lebih banyak

dibandingkan afek negatif, maka istri TNI-AD memiliki keseimbangan afek yang

tinggi.Sedangkan dengan jumlah afek negatif yang lebih banyak dibandingkan afek positif,

maka istri TNI-AD memiliki keseimbangan afek yang rendah (Diener, 1984).

Istri TNI-AD yang memiliki banyaknya afek positif dengan derajat tinggi maka akan

sering memaknai situasi yang dialami dengan perasaan positif seperti baik, nyaman, riang,

dan puas. Sedangkan istri TNI-AD yang memiliki afek negatif dengan derajat tinggi akan

sering memaknai situasi yang dialami dengan perasaan negatif seperti buruk, takut, sedih,

tidak senang, dan marah.

Dari ketiga indikator yang ada, hanya Istri TNI- AD dengan life satisfaction tinggi,

afek positif tinggi, dan afek negatif rendah memiliki subjective well-being dengan derajat

tinggi (Diener,1984).Derajat subjective well-being istri TNI-AD menjadi tinggi karena istri

TNI-AD merasa puas akan kehidupannya secara menyeluruh termasuk dalam situasi

ditinggalkan oleh suami dalam penugasan, istri juga banyak merasakan perasaan yang

menyenangkan, dan hanya sedikit merasakan perasaan yang tidak menyenangkan selama

ditinggalkan oleh suami.

Disisi lain, istri TNI-AD yang memiliki subjective well-being dengan derajat rendah

(ill-being)merasa tidak puas atau kurang puas terhadap kehidupannya secara menyeluruh,

18

Universitas Kristen Maranatha

banyak merasakan afek negatif seperti perasaan negatif, buruk, tidak menyenangkan, sedih,

takut, dan marah, serta memiliki afek positif seperti positif, baik, nyaman, bahagia, riang, dan

puas yang sedikit selama kepergian suami dalam penugasan(Diener, 1984).

Diantaranya, istri TNI-AD dengan life satisfaction tinggi, afek positif rendah, dan afek

negatif tinggi memiliki subjective well-being dengan derajat rendah(ill-being) (Diener,

1984).Subjective well-being menjadi rendah karena, meskipun istri mengaku puas terhadap

semua aspek kehidupannya sejak awal kehidupan hingga saat ini, tetapi istri lebih banyak

merasakan emosi negatif daripada emosi positif.Lalu, Istri TNI-AD dengan life satisfaction

tinggi, afek positif tinggi, dan afek negatif tinggi memiliki subjective well-being dengan

derajat rendah(ill-being) (Diener, 1984).Subjective well-being menjadi rendah karena,

meskipun istri TNI-AD merasa puas akan kehidupannya secara menyeluruh, banyak

merasakan perasaan menyenangkan, tetapi perasaan tidak menyenangkan yang dialami oleh

istri TNI-AD juga sama banyaknya sehingga tidak happy.Kemudian, istri TNI-AD dengan

life satisfaction rendah, afek positif rendah, dan afek negatif tinggi memiliki subjective well-

being dengan derajat rendah(ill-being)(Diener, 1984).Subjective well-being menjadi rendah

karena selain istri TNI-AD merasa tidak puas akan berbagai aspek kehidupannya dari awal

kehidupan hingga saat ini, istri juga lebih banyak merasakan perasaan tidak menyenangkan

daripada perasaan menyenangkan sehingga.

Menurut Diener terdapat faktor yang mempengaruhi subjective well-being, yaitu usia,

pendidikan, penghasilan, agama, aktivitas,dan kesehatan yang turut mengambil andil dalam

derajat tinggi dan rendahnya subjective well-being pada istri TNI-AD yang sedang

ditinggalkan dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI.Berikut penjabaran faktor-faktor

tersebut.

Usia. Usia mempengaruhi aspek kognitif subjective well-being karena perbedaan

kematangan seseorang sesuai usianya akan mempengaruhi perbedaan pola pikir yang

19

Universitas Kristen Maranatha

dimiliki(Ed. Diener, 1984). Usia juga mempengaruhi aspek afektif, karena dengan perbedaan

kematangan istri TNI-AD sesuai usianya akan mempengaruhi perbedaan gejolak emosi yang

dimiliki(Ed. Diener, 1984).

Istri TNI-AD pada usia dewasa awal(18 - 40 tahun) dapat melakukan berbagai

kegiatan dengan energi yang banyak sesuai dengan tingkat kematangan perkembangannya

dibandingkan istri dengan dewasa madya (41 - 60 tahun)dan usia dewasa akhir (>60 tahun),

akan tetapi istri TNI-AD pada usia masa dewasa madya dan dewasa akhir dapat berpikir lebih

matang dengan emosi yang lebih stabil dan memiliki pengalaman sebagai seorang istri tentara

yang lebih banyak meskipun tidak dapat melakukan banyak aktifitas seperti dewasa awal.

Istri TNI-AD dengan usia yang lebih muda maupun lebih tua mampu memiliki subjective

well-being dengan derajat tinggi sesuai penghayatan dan pengalaman hidup yang dimiliki

(Ed. Diener, 1984).

Pendidikan.Subjective well-being dipengaruhi oleh pendidikan, pendidikan dapat

mempengaruhi aspek kognitif istri TNI-AD karena pendidikan yang dimiliki dapat

mempengaruhi cara berpikir, menghayati, dan memahami suatu kejadian. Pendidikan juga

dapat mempengaruhi aspek afektif karena dengan pendidikan yang dimiliki, maka istri TNI-

ADakan memiliki management ego dan cara menanggulangi emosi yang dimiliki dalam

kejadian yang dialami (Diener, 1984).

Dengan pendidikan yang lebih tinggi, maka istri TNI-AD mampu berpikir lebih

matang, memiliki reaksi emosi yang lebih positif, berperilaku lebih baik, dan mengevaluasi

hidup serta melakukan kegiatan yang lebih positif.Istri TNI-AD dengan pendidikan yang

tinggi juga mampu untuk melakukan pekerjaan lain selain menjadi ibu rumah tangga, seperti

menjadi guru maupun bidan sehingga dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarganya. Sehingga pendidikan dapat mempengaruhi subjective well-being istri TNI-AD.

20

Universitas Kristen Maranatha

Penghasilan.Penghasilan dapat menimbulkan efek terhadap level kemiskinan,

memperlihatkan status dan kekuatan seseorang, dan memberikan efek sosial (Ed. Diener,

1984).Penghasilan dapat mempengaruhi penilaian kognitifistri TNI-AD karenamempengaruhi

persepsi istri TNI-AD terhadap status dan kekuatan yang dimilikinya dan juga orang-orang

disekitarnya seperti adanya status miskin dan kaya(Ed. Diener, 1984).Penghasilan juga dapat

mempengaruhi aspek afektif istri TNI-AD karena keseimbangan antara banyaknya uang yang

dimiliki, serta tingkat kebutuhan yang dimilikimempengaruhi emosi, dan mood(Ed. Diener,

1984).

Istri TNI-AD dengan penghasilan tinggi cenderung memiliki subjective well-being

yang lebih tinggi daripada istri TNI-AD dengan penghasilan rendah.Istri TNI-AD dengan

penghasilan yang lebih tinggi dapat mencukupi kebutuhan hidup dan rumah tangga, sehingga

kepuasan hidup istri TNI-AD akan terpenuhi, sebab kebutuhan untuk menghidupi dirinya,

membesarkan anaknya, dan mengurus suaminya terpenuhi secara finansial. Disisi lain, istri

TNI-AD dengan penghasilan rendah akan merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya dan kemudian muncul ketidakpuasan. Apabila istri TNI-AD memiliki pekerjaan

lain selain menjadi pengurus rumah tangga, istri TNI-AD dapat membantu memenuhi

kebutuhannya dankeluarga dengan penghasilannya sendirisehingga hal ini dapat berpengaruh

terhadap terhadap subjective well-being.

Agama.Agama penting bagi subjective well-being.Diener dan Ryan (2009)

mengungkapkan pada umumnya orang-orang memiliki iman yang tinggi, kedekatan rohani

dengan Tuhan cenderung mengalami kesejahteraan yang lebih tinggi dan lebih

spesifik.Mereka juga mengalami pelayanan agama, kekuatan dari afiliasi dalam organisasi

agama, hubungan dengan Tuhan, dan berdo’a yang berasosiasi dengan tingginya

kesejahteraan.Agama dapat berpengaruh terhadap aspek kognitif, karena agama akan

mempengaruhi keyakinan, keteguhan, dan cara berpikir istri TNI-AD terhadap kejadian yang

21

Universitas Kristen Maranatha

dialami. Agama juga dapat berpengaruh terhadap aspek afektif, karena agama akan

mempengaruhi emosi, ketenangan, dan mood yang dimiliki istri TNI-AD terhadap kejadian

yang dialami, agama juga berpengaruh terhadap afiliasi antara individu dengan Tuhan

(Diener, 1984).

Dengan giat melakukan kegiatan keagamaan dan berdo’amaka istri TNI-AD dapat

melampiaskan segala perasaannya dengan berdo’a dan bercerita kepadan Tuhan. Kegiatan

keagamaan yang dilakukan oleh istri TNI-AD dapat berpengaruh terhadap subjective well-

being pada saat ditinggalkan oleh suami dalam penugasan, meskipun tidak dipungkiri bahwa

setelah selesai mengikuti kegiatan keagamaan, dan sudah tidak berdo’a perasaan negatif dan

pikiran negatif karena kepergian suaminya kembali muncul. Sedangkan dengan jarang

mengikuti kegiatan keagamaan atau berdo’a istri TNI-AD tetap merasa gelisah dan tidak

memiliki pegangan dalam hidup yang dapat menjadikan hidup lebih tenang karena tidak

mengingat Tuhan sebagai tempat memohon dan bercerita akan semua kesusahan yang

dimiliki. Oleh sebab itu, spiritual yang dimiliki oleh istri TNI-AD berpengaruh terhadap

subjective well-being yang dimiliki pada saat tersebut.

Aktivitas.Aktivitas dapat menciptakan suatu perilaku, baik dalam kontak sosial,

aktivitas fisik, hoby, atau partisipasi dalam suatu organisasi dan kegiatan(Ed.Diener, 1984).

Aktifitas dapat berpengaruh terhadap aspek kognitif karena dengan banyaknya aktivitasistri

TNI-ADakan memiliki lebih banyak pengalaman hidup dan pembelajaran sehingga memiliki

cara berpikir, dan penghayatan yang lebih luas (Diener, 1984). Aktivitas juga berpengaruh

terhadap aspek afektif karena istri TNI-ADakan memiliki lebih banyak pengalaman

emosional juga memiliki cara merespon emosi dengan lebih luas (Diener, 1984).

Banyaknya aktivitas yang dimiliki oleh istri TNI-AD dapat membuat mereka

meredam kecemasan, kegelisahan, dan rasa takut yang dimaknai ketika suami mereka pergi

dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI..Sedangkan istri TNI-AD yang jarang

22

Universitas Kristen Maranatha

mengikuti aktivitasakan sering berdiam diri dan semakin tercekam dalam pikiran dan

perasaan negatif yang dimilikinya karena tidak ada kegiatan maupun teman sharing yang

dapat mengurangi pikiran dan perasaaan negatifnya. Sehingga aktivitas yang dimiliki istri

TNI-Ad dapat mempengaruhi subjective well-being yang dimiliki pada saat tersebut.

Kesehatan.Berdasarkan penelitian, orang yang sehat dan kuat akan lebih sejahtera

daripada orang yang sedang sakit dan lemah (Ed. Diener, 1984).Kesehatanberpengaruh

terhadap aspek kognitifistri TNI-AD karena dengan kesehatan yang optimal, maka individu

dapat berpikir lebih baik dan memiliki lebih banyak energi untuk melakukan berbagai

kegiatan dengan lebih baik (Diener, 1984). Kesehatan juga berpengaruh terhadap aspek

afektif istri TNI-AD karena dengan kesehatan yang baik, maka istri TNI-AD dapat berpikir

lebih jernih sehingga dapat merasakan hal-hal yang dialami sebagai sesuatu hal yang positif

(Diener, 1984).

Istri TNI-AD dengan kesehatan optimal akan lebih kuat dalam menjalani beban fisik

dan psikis yang dimiliki ketika sosok suami pergi dalam penugasan ke wilayah perbatasan

NKRI. Istri TNI-AD juga dapat berpikir dan menilai kejadian yang dialaminya sebagai

sesuatu yang positif, mengatasinya dengan cara yang positif, juga merasakannya sebagai hal

yang positif, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa istri TNI-AD dengan kondisi

sehat juga sering berpikir dan merasakan hal negatif selama ditinggalkan oleh suaminya.

Oleh karena itu, kesehatan yang dimiliki oleh istri TNI-AD berpengaruh terhadap subjective

well-being yang dimiliki pada saat tersebut.

Untuk lebih jelasnya, penjabaran diatas dapat diuraikan dalam bentuk bagan kerangka

pemikiran sebagai berikut.

23

Universitas Kristen Maranatha

BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN

Istri TNI-AD di Kota

Bogor yang sedang

ditinggalkan oleh suami

dalam penugasan ke

wiayah perbatasan NKRI.

Subjective well-being

- Aspek Kognitif

Indikator : - Kepuasan

hidup secara menyeluruh

(Life Satisfaction).

- Aspek Afektif

Indikator : - Afek positif.

- Afek negatif.

Tinggi

Rendah

Faktor-Faktor yang

mempengaruhi Subjective

Well-Being :

- Usia

- Pendidikan

- Penghasilan

- Penghayatan Agama

- Aktivitas

- Kesehatan

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

24

Universitas Kristen Maranatha

1.6.ASUMSI PENELITIAN

Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengasumsikan bahwa :

1. Derajat Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogoryang sedang

ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI dapat dikaji

menggunakan dua aspek yaitu kognitif dan afektif.

2. Derajat Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang

ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRIdapat dikaji

berdasarkankepuasan hidup secara menyeluruh, mulai dari awal kehidupan hingga saat

ini(life satisfaction)yang berasal dari aspek kognitif;afek positif, danafek negatif yang

berasal dari aspek afektif.

3. Situasi kehidupan yang dimiliki oleh istri TNI-ADdapat mempengaruhi derajat

well-being dan unwell-being(ill-being) yang dimiliki oleh istri TNI-AD di kota Bogor

yang sedang ditiggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI.

4. Derajat Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang

ditinggalkan oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI ada yang tinggi

dan rendah.

5. Subjective well-being pada istri TNI-AD di kota Bogor yang sedang ditinggalkan

oleh suami dalam penugasan ke wilayah perbatasan NKRI dipengaruhi oleh faktor usia,

pendidikan,penghasilan, agama, aktivitas dan kesehatan.