bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94891/potongan/s2-2016...2...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra indigenous Australia (Aborigin) semakin berkembang dan terus
diapresiasi di tengah-tengah sastra Australia. Kemunculan sastra indigenous di
Australia memang bukan hal baru. Sekitar tahun 1970 isu tentang konflik sosial di
Australia diangkat oleh Patrick White dalam sebuah karyanya yang berjudul Voss.
Dari konflik sosial yang diangkat tersebut semakin mendorong kemunculan suara
indigenous dalam karya sastra. Sastra indigenous mengangkat isu-isu yang
dialami oleh masyarakat Aborigin seperti indigeneity, hibriditas, kepemilikan
tanah, identitas, maupun marginalisasi. Menurut Whitlock dan Osborne,
berkembangnya sastra indigenous di Australia karena: sastra indigenous (1)
menghadirkan „an emerging story‟: isu yang dimunculkan memang terjadi dan
dialami oleh masyarakat indigenous Australia yang dihadirkan dalam cerita oleh
penulis indigenous; (2) menjadi skala sejarah global: menjadi tolak ukur
akuntabilitas kesejarahan indigenous Australia; (3) sebagai bentuk perhatian lebih
dan aksi terhadap punahnya indigenous di Australia (Whitlock and Osborne,
2013:).
Karya-karya indigenous Australia juga menjadi sebuah bentuk upaya
untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi masyarakat indigenous. Seperti
yang dinyatakan oleh seorang peneliti bahasa dan budaya Aborigin, John Bradely,
bahwa setiap tahun setidaknya ada dua suku Aborigin yang punah (Zable dalam
2
Bradely et al, 2011)1. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi penulis-penulis
keturunan Aborigin seperti Alexis Wright, Maria Munkara, Melissa Lucashenko,
maupun Kim Scott untuk berkontribusi terhadap indigenous melalui karya sastra
dengan mengangkat isu tentang indigenous. Diantara berbagai penulis keturunan
Aborigin, Kim Scott memiliki posisi yang berpengaruh terhadap kesusastraan
indigenous maupun kesustraan Australia. Scott menjadi salah satu penulis yang
ikut memperluas berkembangnya digital humanities dimana informasi tentang
karya sastra Australia (khususnya Aborigin) dan perkembangannya dapat diakses;
yaitu melalui database AusLit dan Blackwords. Selain itu, Scott juga melihat
perlunya menjaga keberlangsungan Aborigin di Australia melalui karya-karyanya.
Seperti pendapat Dixon bahwa karya sastra Aborigin melihat kembali ke dalam
Australia melalui konteks yang lebih lokal sehingga menempatkan posisinya yang
berbeda dengan sastra non-indigenous yang hampir selalu dipengaruhi oleh
konteks internasional (Dixon dalam Whitlock dan Osborne, 2013: 2). Konteks
lokal yang dibawa oleh Scott secara lebih spesifik yaitu kelompok Aborigin
Nyoongar yang menempati wilayah Australia bagian barat. Melalui karyanya,
Scott menjadi penulis yang berdedikasi tinggi terhadap komunitasnya (Nyoongar)
dan terhadap bahasa Nyoongar. Dedikasi Scott ini mampu merevitalisasi bahasa
dan identitas Nyoongar; sehingga banyak kritik sastra Australia menyebutkan
karya Scott ini masuk dalam lingkup sastra regional.
Kehadiran karya Scott, Benang, menyematkan posisi Scott semakin
signifikan di tengah perkembangan sastra Australia. Benang merupakan karya
1 Dikutip dari artikel yang berjudul Language and Politics in Indigenous Writing
(www.overland.org.au 13 Maret 2015)
3
kedua setelah karya perdana Scott yang berjudul True Country. Benang
mendapatkan penghargaan Miles Franklin di tahun 2000 yang merupakan
penghargaan prestisius di kancah sastra Australia. Scott menjadi sastrawan
keturunan Aborigin pertama yang mendapatkan Miles Franklin Literary Award.
Karyanya yang ketiga, That Deadman Dance, juga kembali memperoleh
penghargaan Miles Franklin di tahun 2011. Sebelum That Deadman Dance, Scott
sempat berkolaborasi dengan penulis indigenous, Hazel Brown, yang
menghasilkan karya berjudul Kayang and Me. Akan tetapi pencapaian Scott
bukan sekedar pada penghargaan tersebut. Apresiasi dan atensi terhadap novel
Benang mampu menempatkannya pada posisi yang kuat di dalam maupun luar
Australia. Benang menjadi titik pijak Scott pertama untuk diterima dan dikenal
khalayak secara meluas baik di Australia maupun di luar Australia. Di Australia
sendiri, Benang diakui sebagai karya sastra kanon Australia. Benang tetap
konsisten menjadi acuan artefak literatur Australia, terutama indigenous Australia.
Dari semua karya yang dihasilkan, Benang dan That Deadman Dance
menjadi dua karya yang paling disorot publik. Selain karena penghargaan Miles
Franklin untuk kedua novel tersebut, isu dan pembacaan terhadap kedua novel
tersebut mendapat banyak perhatian dari peneliti dan akademisi sastra. Pada
dasarnya isu yang diangkat oleh Scott selalu berkaitan dengan indigenous. Hanya
saja Scott mampu menciptakan konteks yang lebih kekinian dalam kedua novel
tersebut—meskipun bersetting di pertengahan abad ke-20, novel Scott
mengangkat isu yang kekinian sehingga masih kontekstual untuk dibaca masa
sekarang; yaitu tentang Aborigin di masyarakat pascakolonial Australia. Seperti
4
yang digambarkan dalam True Country, yaitu tentang keturunan Aborigin dan
komunitas Aborigin Kimberly. Cerita dalam True Country sangat dekat dengan
kisah hidup Scott sebagai guru; mengajar untuk masyarakat Aborigin demi
kebaikan masa depan Aborigin; dan juga menampilkan refleksi diri Scott melalui
komunitas Aborigin Kimberly. True Country bisa disebut sebagai novel
autobiografi, sedangkan Kayang and Me lebih mengarah ke sejarah yang ditulis
dalam bentuk novel.
Dalam That Deadman Dance, Scott mengangkat kisah orang Nyoongar
yang juga merupakan bagian dari diri Scott (sebagai keturunan Nyoongar), yang
juga lekat dengan atribut-atribut sebagai Aborigin Nyoongar (seorang shaman,
penari, pencerita, dan juga komedian); yaitu yang bernama Bobby Wabalanginy.
Bobby seorang yang cerdik, imaginatif, menyenagkan, dan terbuka terhadap hal-
hal baru; Bobby yang juga menciptakan tarian „that deadman’ tersebut. Setelah
kedatangan bangsa Eropa di Albany, Bobby tumbuh dan bersahabat baik dengan
orang-orang kulit putih. Akan tetapi lambat laun banyak orang Aborigin yang
tidak suka dengan berkembangnya koloni tersebut; dan muncul berbagai
pertentangan di sisi orang Eropa maupun Aborigin. Ketegangan antara kedua
pihak makin memuncak, dan tetua adat Nyoongar mendorong Bobby untuk
mengambil salah satu sisi, antara dunia yang lama atau yang baru (Aborigin atau
white).
5
Sedangkan dalam karyanya Benang, Scott mengangkat kisah keturunan
Nyoongar yang mengalami „breed out‟2
(pengadaopsian anak-anak Aborigin
untuk dijadikan kulit putih). Novel ini juga menampilkan bagaimana
pemerintahan kulit putih Australia melakukan „breeding out‟ untuk
menghilangkan ke-aborigin-an dalam diri masyarakat Aborigin. Neville sebagai
anggota dari kepemerintahan setempat mencanangkan konsep skema generasi
melalui proses breed out ini. Sedangkan Harley, sebagai tokoh utama, yang
mengalami proses breed out tersebut mencoba untuk kembali melihat dirinya
sebagai bagian dari Aborigin. Novel Benang menampilkan ide-ide untuk
menciptakan dan menghapuskan suatu ras, generasi tertentu; yang kemudian
memunculkan istilah „the first-whiteman born‟. Selain itu Benang juga
menghubungkan ide kolonial melalui representasi „breeding out’ tersebut dengan
efek yang ditimbulkan dari kolonialisme terhadap indigenous Australia.
Di tengah-tengah berkembangnya kesusastraan Australia, Benang sebagai
karya sastra Aborigin yang dirasa masih penting untuk dibahas maupun diteliti.
Novel ini berkembang di masyarakat Australia yang mayoritas adalah kulit putih;
dan di tengah kepunahan masyarakat Aborigin di Australia. Suara Aborigin dalam
Benang bisa diasumsikan sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep kolonial
kulit putih; dan juga sebagai bentuk selebrasi identitas (untuk menjadi bagian dari)
Aborigin. Akan tetapi identitas Aborigin menjadi polemik; benturan antara
kondisi dan pengalaman kultural mempertanyakan kembali akan identitas
Aborigin. Kolonialisme yang pernah dialami masyarakat Aborigin memunculkan
2 Memisahkan anak-anak Aborigin dari orangtuanya untuk menghilangkan keaboriginan mereka
dengan diadopsi orang kulit putih (Webby, hlm.10)
6
persoalan tentang identitas Aborigin. Melalui ruang-ruang alternatif yang
diciptakan dalam Benang, Scott memperlihatkan keberadaan Aborigin dengan
identitasnya yang problematis dalam konteks pascakolonial Australia. Novel ini
juga memberikan ruang untuk keluar dari idealisme identitas Aborigin melalui
bentuk-bentuk pembenaran politis melalui penggambaran yang ada dalam novel.
Kim Scott dapat dikategorikan ke dalam penulis pascakolonial. Hal
tersebut berlandaskan asusmsi bahwa Australia sebagai pascakolonial yaitu
sebagai settler colonies3 dan keterkaitannya dengan kekuatan imperial. Seperti
pendapat Aschroft bahwa Australia sebagai pascakolonial menyingkap adanya
wacana kolonial dan kompleksitas terhadap kekuatan imperial; sehingga
kebanyakan sastra Australia adalah sebuah kritik terhadap masa lalu kolonial
Australia (Aschroft dalam O‟Reilly, 2010: 15). Scott memunculkan isu mengenai
perlawanan terhadap idealisme identitas Aborigin dalam novelnya. Sehingga
novel Benang ini menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian ini berusaha
mengungkapkan ruang pascakolonial yang ada di dalam novel Benang dengan
membongkar ruang kolonial kulit putih dan menawarkan alternatif tentang
identitas Aborigin dalam novel Benang. Dengan teori spatial politics
permasalahan tersebut di atas berusaha untuk dijawab dan diselesaikan dalam
penelitian ini.
3 Dalam diskurs pascakolonial, istilah ini digunakan untuk membedakan antara koloni yang
diinvasi dan yang diduduki. Settler colonies adalah koloni yang diduduki; dimana sekelompok
bangsa Eropa yang menduduki memarginalkan masyarakat indigenous untuk menjadi mayoritas
(Aschroft et al., 2001: 211)
7
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, masalah yang
akan diteliti dalam tesis ini adalah ruang pascakolonial dan hubungannya dengan
identitas indigenous Australia (Aborigin). Sehingga dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a) Bagaimana ruang pascakolonial digambarkan dalam novel Benang?
b) Bagaimana korelasi antara ruang dengan identitas pascakolonial?
c) Bagaimana posisi konstruksi ruang dan identitas dalam konteks pascakolonial
Australia?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ruang pascakolonial yang
digambarkan dalam Benang, menelusuri korelasi antara ruang dengan identitas,
dan menjelaskan posisi konstruksi ruang dan identitas dalam konteks
pascakolonial Australia dengan memberikan analisis argumentatif tentang ruang
dan identitas indigenous Australia dalam konteks pascakolonial Australia melalui
novel karya Kim Scott yang berjudul Benang dengan menggunakan teori spatial
politics dari Sara Upstone.
1.4 Manfaat Penelitian
Implementasi dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menyediakan
manfaat praktik maupun teoritik. Secara praktik, hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi kepada studi sastra Australia, secara khusunya
yaitu studi sastra indigenous Australia. Penelitian ini diharapkan mampu memberi
8
kontribusi kepada sastra indigenous Australia, sebagai medium untuk
menyampaikan isu-isu mengenai indigeneity dan ruang pascakolonial. Studi
tentang indigenous Australia seringkali luput dari cakupan studi sastra Inggris; ini
karena studi sastra Inggris lebih mencakup sastra Inggris dan Amerika saja. Selain
itu, secara teoritik, penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu referensi
untuk kajian sastra indigenous Australia yang menggunakan teori pascakolonial
dengan melihat novel pascakolonial sebagai objek kajian penelitian ini.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai sastra indigenous Australia masih jarang terutama di
Indonesia. Bahkan di negara-negara yang memiliki studi tentang sastra dari
„settler colonies‟, kajiannya lebih mengutamakan sastra dari Canada dan Amerika.
Sampai saat ini penulis belum menemukan adanya penelitian mengenai isu seperti
identitas yang dikaitkan dengan spatial politics dalam novel Kim Scott, Benang.
Penelitian Victoria Reeve yang berjudul Emotion and Narratives of
Heartland: Kim Scott’s Benang and Peter Carey’s Jack Maggs mendiskusikan
tentang bagaimana emosi bisa mendorong naratif atau naratif dapat
mempengaruhi emosi pembaca. Heartland yang diangkat dalam penelitian Reeve
ini adalah sebagai tempat yang dikontestasikan untuk menemukan keterikatan
antara diri dan „tanah‟. Dengan persepektif tersebut menunjukan adanya sudut
pandang dari Aborigin dalam melihat Australia. Berangkat dari sudut pandang
Aborigin tersebut, Reeve menekankan sebuah perlawanan terhadap asumsi besar
tentang tanah Australia sebagai terra nullius atau tanah kosong.
9
Berbeda dengan Reeve, Kristya Harman (2004) dalam penelitian tesisnya
mempertanyakan tentang „whiteness‟ dalam konteks kolonial Australia dari sudut
pandang Aborigin. „Whiteness‟ dilekatkan dengan kekuasaan—penelitian Harman
melihat keterkaitan antara whiteness dengan kekuasaan. Tesis Harman yang
berjudul Reading Whiteness in Kim Scott’s Benang (From The Heart) ini
menyimpulkan bahwa saat whiteness itu „invisible‟ (tidak nampak) dan mampu
merasialialkan ras lain, kekuasaan itu semakin nampak, tetapi saat whiteness itu
dibuat menjadi „visible‟ (nampak) maka kekuasaan menjadi hilang.
Dalam artikel penelitiannya yang berjudul As Australia Decolonizes:
Indigenizing Settler Nationalism And The Challenges Of Settler/Indigenous
Relations, Moran menyelidiki tentang nasionalisme di negara settler colonies;
secara khusus, artikel penelitian Moran ini membahas ide relasional antara
indigenous dan ke-Aboriginianan. Penelitian Moran mempermasalahkan tentang
nasionalisme di settler colonies yang diklaim bahwa nasionalisme itu bukan milik
indigenous; padahal pada kenyataanya hak-hak indigenous terutama terhadap
tanah tidak mengakomodasi masyarakat indigenous sebagai bagian dari Australia
dan nasionalisme Australia. Moran mengikuti perkembangan nasionalisme dalam
konteks historis Australia; dan juga menganggap nasionalisme tersebut masuk
dalam kategori periode kontemporer. Dengan adanya eksklusi baik secara kultural
maupun sosial terhadap masyarakat indigenous, terutama dalam hal kepemilikan
tanah yaitu bahwa Aborigin tidak memiliki kepentingan kepemilikan terhadap
10
tanah; sehingga settle4r kemudian mengklaim kepemilikan tanah tersebut untuk
para settler bukan indigenous. Hubungan dengan kepemilikan tanah ini menjadi
sebuah „orginary‟ (menjadi hal yang pertama, asli atau benar-benar ada untuk
pertama kali) dan difungsikan sebagai kepentingan untuk membangun
nasionalisme settler.
Hasil penelitian ini yaitu bahwa nasionalisme di negara settler colonies ini
dibangun melalui „perampasan‟ masyarakat indigenous (dari segi kepemilikan
maupun kultural). Oleh karena itu, mengenali budaya indigeous dan ke-
Aboriginian memberikan kemungkinan untuk menjaga agar hak-hak indigenous
itu terus dapat diterima. Selain itu, „indigenizing settler nationalism‟ (membuat
nasionalisme settler menjadi indigenous) di sini menekankan bahwa keterkaitan
antara indigenous dengan Australia sebagai nation; bahwa tanah Australia bukan
sepenuhnya milik settler; bahwa settler juga harus berbagi. Artikel penelitian ini
tidak menyebutkan secara jelas objek material yang digunakan untuk meneliti.
Artikel ini mengungkapakan permasalahan begitu saja; yaitu dengan
mempermasalahkan kasus berdasarkan kesejarahan tanpa objek material
penelitian melainkan hanya objek formal saja, yaitu tentang nasionalisme settler.
Meskipun begitu, penelitian ini menggunakan pendekatan historis untuk melihat
secara lebih teliti tentang isu tersebut.
Berbeda dengan penelitian Moran, Simona meneliti tentang ke-Aboriginan
berdasarkan dari bagaimana ke-Aboriginan itu digambarkan, direpresentasikan,
dan diinterpretasikan. Menurut Simona, penggambaran tentang Aborigin hanya
4 Dalam wacana kolonial, settlers merujuk pada orang-orang eropa yang pindah dari negaranya
untuk menempati wilayah tertentu dengan tujuan untuk tetap tinggal di negara yang diinvasi
ataupun diduduki (Aschroft et al., 2005: 210)
11
sedikit yang diungkap berdasarkan budaya Aborigin. Kemudian interpretasi
tentang Aborigin dan ke-Aboriginan mereka juga tidak sedikit yang membentuk
bias (Aborigin ditempatkan dalam konteks „whites‟). Kritik-kritik terhadap
Aborigin dan ke-Aboriginan dalam produksi seni dapat membantu menempatkan
Aborigin dan ke-Aboriginan mereka di luar konteks „whites‟. Simona melihat
permasalahan ini dalam pertunjukan seni seperti drama. Drama yang berjudul
Gulpili mengankat isu tersebut, yaitu seorang Aborigin yang terperangkap dalam
dua dunia. Gulpilil berpakaian dan memakai atribut tradisional untuk menekankan
keterikatan dengan identitas Aborigin. Dalam cerita Gulpilil tersebut, David
Gulpilil menyebutkan bagaimana keterikatannya dengan keturunan Aborigin dan
adanya keterikatan dengan tanah Aborigin. Dalam melihat isu yang diangkat
dalam drama Gulpilil ini, Simona menggunakan kritik dari Acheite yaitu tentang
testimonio critique yang menyebutkan adanya relasi dengan hal politis dan potensi
untuk subversi. Menurut Simona, drama Gulpilil ini mengotentikasi identitas
Aborigin berdasarkan pada budaya dan garis keturunan/silsilah; dan juga
menentang image Aborigin yang stereotipikal (yaitu yang berdasarkan perspektif
„whites‟). Simona mengungkapkan bahwa adanya negosiasi yang kompleks antara
bagaimana Aborigin digambarkan, direpresentasikan, dan diinterpretasikan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap karya
Kim Scott, Benang, masih mengungkapkan persoalan tentang kekuasaan kulit
putih terhadap Aborigin dan dilawan dengan perspektif Aborigin. Meskipun
begitu, kedua penelitian tersebut di atas tentang novel Benang, tidak menjangkau
permasalahan identitas Aborigin maupun kaitannya dengan spatial politics.
12
Penelitian yang lain terhadap sastra indigenous Australia yang mengangkat
permasalahan nasionalisme maupun kaitannya dengan kondisi pascakolonial juga
belum menyentuh pada permasalahan akan identitas Aborigin dan kaitannya
dengan spatial politics. Untuk itu, peneliti mengangkat isu tentang identitas
Aborigin dan melihat kaitannya dengan spatial politics—bahwa Kim Scott dalam
Benang menciptakan ruang untuk resisten terhadap idealisme kolonial terhadap
identitas Aborigin.
1.6 Landasan Teori
Teori yang akan digunakan dalam menjawab rumusan masalah di atas
adalah teori tentang pascakolonial, secara khusus yaitu tentang ruang dan
kaitannya dengan identitas. Teori ruang pascakolonial diuraikan oleh Sara
Upstone dalam bukunya, Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Selain itu,
konteks pascakolonial Australia dan konsep indigeneity juga akan dilihat dalam
kaitannya dengan ruang dan identitas.
1.6.1 Pascakolonialisme
Pada awalnya „pasca‟ dalam pascakolonial merujuk pada periode atau
kronologi, di penghujung 1970-an, „pasca‟ tidak lagi merujuk pada periode
maupun kronologi; tetapi pascakolonialisme ini digunakan oleh para kritikus
sastra untuk mendiskusikan berbagai macam efek yang ditimbulkan dari sebuah
proses kolonialisme, seperti yang disebutkan oleh Aschroft et al. seperti efek
secara kultural maupun secara sosialnya (Aschroft et al., 2001: 189).
13
“From the late 1970s critics have been using the term ‘postcolonial’ to
discuss various cultural/political/linguistic effects and experiences
triggeres off by colonization which gave rise to the so-called colonial
discourse theory.” (Polak, 2005: 136)
Polak juga menegaskan bahwa „pasca‟ dalam pascakolonial tidak berarti
kronologi (periode setelah kolonialisme) tetapi lebih mengarah sebagai produk
dari kolonialisme. Teritikus seperti Said, Bhabha, dan Spivak menekankan pada
„to distinguish postcolonial studies as a field from colonial discourse theory per
se, which formed only one aspect of many approaches and interests that the term
postcolonial sought to embrace‟—„pasca‟ yang berarti untuk menjelaskan
sebagai kajian (studi), membedakannya dari teori wacana kolonial (Aschroft
dalam Polak, 2005: 136). Menurut Mishra, „pascakolonialisme‟ juga bukan berarti
sebuah penanda atau batasan dari sebuah periode, tetapi menunjukan adanya
seperangkat „heterogenous moments‟ yang muncul dari proses kesejarahan yang
berbeda (Mishra dalam Polak, 2005: 137).
Teori pascakolonial ini menginvestigasi adanya kolonialisme Eropa dan
melihat bagaimana respon dari masyarakat yang memiliki pengalaman
kolonialisme tersebut. Berawal dari konsep pemikiran Said tentang wacana Timur,
yaitu adanya keterkaitan pengetahuan Barat dengan kekuasaan kolonial;
kekuasaan beroperasi dalam ilmu pengetahuan dan juga sebaliknya, sehingga
Timur menjadi sebuah produksi ilmu pengetahuan bagi Barat sebagai landasan
untuk menanamkan kekuasaan “the processes by which the West ‘knows’ the
Orient have been a way of exerting power over it (Aschroft dan Ahluwalia, 1999:
8)”. Teori pascakolonial mempertanyakan kembali bagaimana pengalaman
material yang dialami oleh terjajah (Timur) dipahami di luar dari proses-proses
14
representasi tersebut. Keteraturan atau batas yang rigid sebagai warisan kolonial
tidak bisa benar-benar terwujud, hal ini menimbulkan pertentangan yang justru
mengaburkan batas-batas tersebut. Dengan kata lain, teori pascakolonial ini akan
membongkar warisan-warisan kolonialisme.
1.6.2 Ruang Pascakolonial dan Ruang dalam Beberapa Skala
Adapun teori pascakolonial yang akan digunakan dalam penelitian ini
yaitu teori spatial politics dari Upstone. Teori ini menawarkan sebuah pandangan
pascakolonial yang lebih spesifik tentang ruang. Menurut Upstone konsep
pascakolonial dalam politik ruang yaitu sebuah konsep alternatif, bahwa ruang
tidak hanya berakar pada politik sebuah negara tetapi direfleksikan melalui ruang-
ruang yang membentuk pengalaman pascakolonial (Upstone, 2007: 1). Ruang-
ruang yang dipaparkan Upstone ini meliputi ruang bangsa (nation), perjalanan
(journey), kota (city), rumah (home), dan tubuh (body).
Space (ruang) direpresentasikan melalui place (tempat) yang bisa
diidentifikasi; sedangkan ruang menjadi sebuah konsep dari identifikasi tersebut.
Upstone menggunakan ruang untuk menjelaskan fluiditas (kecairan) dan
keterbukaan dari ruang yang dianggap berbeda dengan tempat yang lebih fisikal.
Dengan adanya kolonisasi, ruang dapat dimanifestasikan secara fisik, misalnya
melalui teritori. Manifestasi secara fisik ini memudahkan penguasa kolonial untuk
melakukan pemetaan, sehingga ruang tersebut bisa dibatasi dengan konstruksi
kolonial.
15
Dalam pemahaman pascakolonial, batas kolonial dibaca sebagai myth
(mitos) karena sengaja diciptakan; batas kolonial bukan sesuatu yang natural.
Batas-batas yang dibuat oleh penguasa kolonial tersebut merupakan tindakan yang
dilakukan secara sadar dan sengaja dengan tujuan untuk mengamankan
kekuasaannya. Upstone menggunakan istilah overwriting dalam penjelasan
tentang ruang; yaitu apa yang pernah dituliskan dihapus kemudian digantikan
dengan representasi yang baru—ruang yang sebelumnya digantikan dengan ruang
yang baru (bisa melalui pergeseran skala ataupun ruang alternatif). Dalam
penghapusan tersebut (apa yang pernah ditulis) akan menyisakan jejak.
Dari perlakuan penguasa kolonial justru menampilkan keberagaman
muncul dalam ruang. Keberagaman ini dapat dibaca sebagai pelanggaran terhadap
batas kolonial, yang disebut sebagai chaos. Dalam konteks pascakolonial, chaos
bukan dilihat sebagai sesuatu yang negatif tetapi chaos merupakan konsep yaitu
melepas sesuatu yang sudah tetap dan membuka ruang tersebut dengan beberapa
kemungkinan melalui pola pemahaman dan pengalaman baru ”[…] postspace
must be read as acknowledging the chaos inherent in both conceptual space and
its realization in material place” (Upstone, 2009: 16). Ruang yang memunculkan
chaos melihat adanya keberagaman dalam ruang yang oleh penguasa kolonial
dibatasi dan didefinisikan melalui praktik imperialisme.
Pelanggaran terhadap batas kolonial kemudian akan memunculkan
postspace; yaitu ruang alternatif yang diciptakan oleh penulis-penulis
pascakolonial sebagai ruang yang memungkinkan adanya resistensi dan (atau)
subversi. Karya sastra dipandang sebagai ruang yang mampu memunculkan
16
alternatif dan juga resistensi. Sehingga dalam studi pascakolonial tentang ruang
ini melihat kemungkinan ruang alternatif dan resistensi tersebut dalam sebuah
karya sastra.
Dalam Upstone ruang dijelaskan dalam beberapa skala yaitu skala nation,
perjalanan, kota, rumah, dan yang paling personal adalah skala tubuh. Dalam
nation terdapat sebuah konstruksi kolonial serta tempat dimana kontrol kolonial
terhadap indigenous itu ada. Nation menjadi sebuah perpanjangan hierarki
kolonial yang kehilangan sisi politisnya. Hal ini tercermin dari adanya eksklusi
dan eksploitasi terhadap indigenous. Nation juga menjadi tempat dimana
penyatuan atas nilai-nilai yang diasosiasikan dengan bangsa dijadikan sebuah
nasionalisme—adanya homogenizing (homogenisasi), sehingga nasionalisme
dilihat sebagai alat untuk menghomogenkan nation.
Pandangan tersebut berbeda dengan pascakolonial bahwa batas kolonial
tersebut bisa dioverwrite; yaitu dengan melihat adanya suara-suara heterogen di
dalam ruang nation. Suara heterogen ini dibaca sebagai chaos yang yang bisa
menggeser nation keluar atau melampaui batas kolonial, yaitu postspace yang
mampu memberikan alternatif dalam melihat nation dengan mengangkat
„selfhood‟ (nilai tentang diri) yang bisa menghancurkan image komunal
(homogen). Kemudian, alternatif yang ditawarkan yaitu penggeseran dari nation
menjadi transnation. Bentuk resistensi pada ruang nation berpindah pusat ke
transnation, karena menurut Gilroy dalam Upstone: transnation lebih mewadahi
suara yang heterogen tersebut (Upstone, 2009: 32). Meskipun begitu resistensi
17
memungkinkan adanya pergeseran skala (baik ke yang lebih kecil ataupun lebih
besar) yang dioperasikan secara lebih politis.
Selain nation, perjalanan dilihat sebagai ruang yang lebih chaotic (tidak
teratur) dan tanpa batas. Bagi penulis pascakolonial perjalanan menjadi sangat
penting karena melepaskan banyak ketegangan akan lokasi yang pasti. Ruang
perjalanan menjadi representasi untuk keluar dari batas nation karena adanya
transferal (perpindahan) tubuh dari satu ruang ke ruang yang lain. Perpindahan ini
memanfaatkan chaos sebagai akibat dari adanya aturan dan batas kolonial.
Dalam pandangan ruang pascakolonial, perjalanan dipahami sebagai ruang
yang terus bergerak merepresentasikan adanya perpindahan dengan menolak
konsep waktu dan lokasi yang pasti. Berbeda dengan colonial journey (perjalanan
dalam pandangan kolonial) yang menolak adanya kecairan, pergerakan, ataupun
ketidakteraturan, sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut ini:
“Indeed, while the colonial journey may be seen as the process of travel in
the literal sense, it is not necessarily one of movement in the sense of
representing change, making the colonial journey into paradox centered
around the colonial traveller’s transferal of their own values to new
setting. The colonial traveller is continually denying the fragility of new
constructions of belonging: the tumultuous (chaotic) nature of relocation
is quickly lost. […] in the postcolonial narrative is often a new kind of
journey: one with no final arrival or departure, without the desire for
settlement but instead filled with potential of constant, chaotic movement.”
(Upstone, 2009: 59)
Konsep kolonial memandang yang semula unknown, misterius, dan tidak
teridentifikasi kemudian dipetakan sehingga bisa dikontrol. Padahal perjalanan
menjadi suatu ruang yang melampaui batas—yang lebih besar dari skala nation,
ruang yang mewadahi suara hibrid. Upstone melihat adanya re-play dalam ruang
perjalanan, yaitu pengulangan tidak sempurna ditujukan untuk resistensi atau
18
subversi. Pengulangan diakibatkan dari refleksi masa lampau yang dioverwrite
seiring munculnya chaos. Sehingga menawarkan ruang alternatif yang ditandai
dengan: adanya posisi limbo dan disjunction (keterpisahan). Posisi limbo ini
mengesampingkan teritori dan waktu yang pasti (Upstone, 2009: 80). Upstone
juga menggunakan istilah Spivak yaitu strategic nomadism; bukan hanya sampai
ke tempat tujuan tetapi benar-benar bergerak, menciptakan suatu perjalanan yang
memecah konsep teritori yang pasti, ruang yang cair, dan mewadahi banyak suara
beragam. Sehingga identitas yang muncul adalah the nomad.
Dari skala perjalanan, alternatif lain yang ditawarkan adalah skala yang
lebih kecil yaitu ruang kota. Penulis pascakolonial mempertanyakan keeratan
hubungan antara kota yang imajiner (kota yang diimpikan) dengan realitas
materil. Kota imajiner dilekatkan dengan wacana utopia; bahwa kota
direpresentasikan dengan kesempurnaan, sesuai dengan yang diimajinasikan, dan
diidealkan. Dengan begitu wacana utopia ini mengesampingkan realitas yang ada.
Idealisasi ini memberikan kontrol pada ruang urban tersebut.
Representasi kota pascakolonial tidak semata-mata menolak utopia. Dalam
novel pascakolonial, utopia dihadirkan dalam konsep yang tradisional: yaitu yang
menawarkan „nowhere‟ (tidak berada pada masa lampau maupun bergantung pada
masa depan) sebagai letak dasar realitas yang ditolak dengan menghadirkan
dystopia; “[…] they illuminate the intensly subjective nature of urbanity: the one
person’s utopia is another’s dystopia” (Upstone, 2009: 93). Realitas yang ditolak
itu memunculkan ketimpangan yang ditandai dengan adanya pengotak-kotakan
(labyrinth) di dalam ruang kota. Dengan ketimpangan yang ada dalam ruang kota
19
menjadikan kota sebagai ruang untuk resistensi dan subversi melalui displacement
dan karnivalisasi. Displacement dapat dilihat melalui ekspresi identitas dan
hubungan antar individu di ruang publik atau ruang yang lebih terbuka, yang
menumbuhkan rasa „menjadi bagian‟ dari kota tersebut. Karnivalisasi dapat dilihat
dari hibriditas yang ada dalam ruang kota. Sehingga identitas yang muncul yaitu
identitas heterogen yang bisa melemahkan wacana kekuasaan dalam ruang publik.
Ini merupakan sebuah strategi bahwa identintas yang bersifat heterogen berusaha
dihomogenkan oleh kekuatan kolonial; dalam ruang ini terdapat resistensi
terhadap wacana kolonial tersebut.
Rumah menjadi ruang yang lebih kecil dan lebih fisikal. Berdasarkan
wacana kolonial, rumah difungsikan sebagai: lokasi yang diidealkan dan
diapolitisasi. Contoh: domesticity—ruang domestik yang nilai politisnya ditolak,
digunakan untuk mengkonstruksi ruang. Rumah sebagai ruang kolonial seringkali
tidak dilihat apa adanya sebagai rumah; yaitu dimana ada kontestasi kekuasaan.
Pandangan kolonial tersebut menentukan hierarki ruang rumah seperti misalnya
hierarki gender bahwa laki-laki memegang peranan politis dan publik.
Pascakolonial melihat rumah sebagai ruang dimana ada strategi untuk
resisten dan subversif terhadap wacana kolonial. Sedangkan rumah kolonial
dilihat sebagai sesuatu yang pasti, berakar, dan stabil (George dalam Upstone,
2009: 117); rumah terjaga, rapi dengan tujuan untuk memperthankan batas
kolonial melalui praktek domestik. Kompleksitas yang ada di dalam rumah justru
memberi refleksi akan ketidakteraturan yang terdapat pada ruang rumah;
menggeser apa yang diidealkan ke realitas sehingga ruang menolak wacana
20
kolonial. Rumah pascakolonial melihat adanya konsep deteritorialisasi:
menghilangkan batas yang pasti dan memungkinkan adanya signifikasi baru
terhadap ruang domestik. Rumah sebagai ruang yang lebih cair yang mengungkap
adanya ruang marginalisasi dimana sektor privat terpisah dari yang publik
(Upstone, 2009: 133). Ruang rumah pascakolonial juga merepresentasikan
nostalgia dan juga percampuran berbagai budaya.
“The home is no longer a metaphor for a national ideal, denied in order to
secure its strategic function. Rather, it is now an acknowledged metaphor
for a fluid frame of mind that intends to dissolve solid notions. This is
precisely the distanced and provisional metaphor—the postcolonial—that
I have outlined.” (Upstone, 2009: 134)
Penulis pascakolonial melihat rumah sebagai ruang yang dipolitisasi yang
difungsikan secara metonimi; dan berhubungan dengan tempat dimana
memungkinkan adanya resistensi mensubversi wacana kolonial. Secara singkat,
ruang rumah sebagai cara untuk mempertanyakan adanya perbedaan kelas dalam
masyarakat dan membuka diri menjadi sebuah ruang politis.
Dalam teks pascakolonial, wilayah yang sering dipandang penting untuk
dilihat yaitu dalam skala yang lebih luas dan general; akan tetapi Upstone
memaparkan ke dalam skala yang lebih privat seperti tubuh. Dalam pembacaanya
terhadap teks-teks pascakoloial, Upstone melihat peran yang sangat signifikan
dari „tubuh‟ sebagai ruang dimana dominasi kolonial dan kontrol bisa ditanamkan.
Sebagai ruang kolonial, tubuh dianggap memiliki sejarah kolonial dengan batas-
batas yang pernah dipetakan oleh penguasa kolonial. Upstone melihat bahwa
tubuh itu definitive atau terdefinisikan, seperti dalam kutipan berikut:
“The postcolonial novel can, therefore, one level to be seen to reflect the
centrality of the body to colonial power, the fact that the body is an
21
imperial target and, indeed, bears a legacy of bodies marked and defined
by outside forces” (Upstone, 2009: 151).
Pandangan Upstone tersebut, tubuh yang terkoloni (the colonized body) bisa
ditandai dan didefinisikan melalui kekuatan dari luar, yang berarti kontrol atas
tubuh tersebut menjadi sebuah kekuatan dari luar yang membatasi tubuh yang
terkoloni tersebut. Pandangan Upstone ini dipengaruhi oleh pandangan Foucault
tentang tubuh yaitu tubuh dilihat sebagai produk budaya sehingga bisa
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan dari luar melalui wacana tentang tubuh
(Upstone, 2009: 161-2).
Melalui metafora dan metonimi, tubuh kemudian didefinisikan. Nilai-nilai
kolonial dilekatkan kepada tubuh yang terkoloni. Definisi melalui penandaan
maupun klasifikasi yang manipulatif tersebut sebagai bukti adanya kontrol untuk
menguasai tubuh tersebut, sedangkan definisi dan penandaan yang manipulatif
tersebut menyebabkan tubuh terbatasi seakan batas itu stabil dan homogen. Dari
semua pengalaman kolonial tersebut yang dialami oleh tubuh, dalam pandangan
pascakolonial, jejak-jejak tersebut masih tertinggal. Dalam tubuh yang terkoloni
tersebut ada ruang yang terhubung dengan pengalaman dan waktu dimana jejak-
jejak kolonisasi pernah terjadi. Sehingga tubuh dianggap sebagai ruang
pascakolonial, yaitu ada tautan antara jejak masa lampau dan ada reaksi serta efek
dari jejak kolonial yang pernah ditinggalkan tersebut.
Dalam konteks pascakolonial, tubuh tidak lagi kaku dengan batas-batas
kolonial tetapi mempertanyakan definisi yang sudah tetap tersebut. Dalam hal ini,
penulis-penulis novel pascakolonial memberikan negosiasi yang kompleks
tentang tubuh. Negosiasi tersebut bukan sebuah penolakan terhadap tubuh itu
22
sendiri tetapi lebih melihat bagaimana tubuh tersebut memiliki kemungkinan
diimperialisasi, sehingga menolak apa yang telah didefinisikan oleh penguasa
kolonial tersebut (Upstone, 2009: 162). Tubuh menjadi ruang yang cair, yang bisa
keluar dari batas kolonial. Dalam level ini, Upstone menggunakan istilah „chora‟
yang digagas oleh Ponty. Chora melawan apropriasi ruang kolonial; bagian dari
tubuh atau teritori yang lain (Upstone, 2009: 163). Sehingga chora menjadi ruang
yang cair, yang bukan menjadi salah satu biner yang dioposisikan; keluar dari
kategorisasi yang absolut. Tubuh chora ini dilihat memiliki kemampuan untuk
bertransformasi, karena sifatnya yang cair, “[…] how the body can shift time
frames and how the boundaries of the body may become fluid [...]” (Upstone,
2009: 168).
Dalam istilah yang dikonsepkan oleh Upstone, chora memiliki posisi
seperti postspace, yaitu memiliki kecairan, bahwa tubuh sebagai ruang yang
berada melampaui batas atau bahkan tanpa batas. Batas-batas yang dilanggar ini
menimbulkan chaos, akan tetapi chaos ini dilihat sebagai potensi untuk tubuh
bertransformasi. Lokasi potensial ini juga sebagai strategi spasial yang sering
dilakukan oleh para penulis pascakolonial; yaitu dengan membongkar serta
memungkinkan untuk menanmkan pandangan-pandangan baru terhadap tubuh di
luar dari tradisi kolonial yang pernah membatasi. Strategi ini, oleh Upstone,
dipandang potensial untuk melakukan resistensi dan menyingkap jejak kekuatan
individu. Chora berperan menjadi ambiguitas antara tubuh yang memasuki tubuh
lain dengan penolakan-penolakan atas definisi bentuk fisik; tubuh yang berada
dalam postspace untuk memecah oposisi dialektik (Upstone, 2009: 179).
23
1.6.3 Korelasi Ruang dengan Identitas Pascakolonial
Upstone menyebutkan bahwa puncak dari totalisasi atau keabsolutan yang
diciptakan oleh penguasa kolonial berdampak pada lokalitas dan hak-hak
indigenous; selain itu juga sebagai tindakan dukungan terhadap konstruksi
identitas (Upstone, 2009: 5). Ruang fakta-fakta yang dinegosiasikan melalui ruang
yang dituliskan kembali menjadi penekanan terhadap identitas. Efek material yang
ditimbulkan dari kolonisasi bukan hanya pada teritori tetapi juga pembentukkan
identitas bagi yang dikoloni; sehingga identitas dipandang erat hubungannya
dalam melihat permasalahan pascakolonial.
“The identity created in such a space quite often potrays the indigenous
citizen as an absolute space also, with a body marked by characteristics
that can accorded not on the basis of community, but on the basis of an
imperial perception: a fixed boundary and a foreign language. In the
colonial appropriation of space it is identity that risks being lost, as the
imposition of an absolute threatens to oppress all it subsumes.” (Upstone,
2009: 6)
Kutipan tersebut di atas menjelaskan bahwa identitas dibentuk dalam
sebuah ruang absolut; dan keabsolutan sebagai bentuk kolonial ini dipraktikan
melalui batas-batas seperti apropriasi maupun manipulasi. Pandangan kolonial
yang membentuk identitas tersebut pada akhirnya mengesampingkan pandangan
yang berbasis komunitasnya; seperti contohnya identitas Aborigin yang dibentuk
berdasarkan wacana kolonial adalah tidak berdasar pada pandangan atau persepsi
Aborigin. Perbedaan inilah yang pada akhirnya menimbulkan „chaos‟—bahwa
idealisme atau batas kolonial itu dikacaukan dengan kemungkinan atau pola
pemahaman yang lain.
24
Dari penjelasan di atas, identitas erat hubungannya dengan persoalan
dalam masyarakat pascakolonial. Upstone menegaskan bahwa ruang yang chaotic
atau kacau menjadi sumber penulisan kembali terhadap kondisi masyarakat
pascakolonial dan isu yang diakibatkan oleh kondisi tersebut, yaitu identitas
(Upstone, 2009: 15). Ruang membuka kemungkinan dan potensi adanya
transformasi identitas ataupun adanya identitas yang dioverwrite. Dengan adanya
peran ruang sebgai sumber atau situs untuk menuliskan kembali identitas, maka di
dalam ruang terdapat negosiasi—menawarkan untuk keluar dari batas absolut
yang coba diperlakukan dalam ruang tersebut. Dengan hadirnya chaos dalam
ruang, identitas dalam interpretasi baru menjadi sebuah identitas alternatif, yang
memungkinkan juga adanya penolakan terhadap idealisme atau kategorisasi
absolut terhadap identitas tersebut.
1.6.4 Konteks Pascakolonial Australia dan Konteks Indigenous Australia
Sastra Australia bukan hanya menjadi sebuah produk kolonialisme tetapi
juga sebagai tinjauan tentang akar kesejarahan Australia sebagai nation yang
bukan hanya berdasarkan pada batas geografisnya saja. Sastra Australia, menurut
Huggan, lebih konstitutif daripada reflektif (Huggan, 2007: vi); yang berarti
bahwa sastra Australia menjadi bagian dari relasi sosial di Australia. Melalui
wacana yang diproduksi dalam teks-teks sastra, wacana tentang isu rasial juga
terus diproduksi di dalam ataupun di luar konteks nasional. Secara historis,
Australia sebagai negara settler colonies—negara yang didatangi oleh kulit putih
untuk dihuni; dengan latar kesejarahan sebagai settler colonies ini, Australia
25
mencakup isu tentang relasi sosial. Oleh karena itu, munculnya antagonisme
terhadap ras tertentu menimbulkan isu tentang identitas nasional yang kabur.
Sastra Australia pada akhirnya mencapai titik dimana ada sebuah selebrasi akan
nilai-nilai tertentu mengenai nasional; hal ini bukan berarti selalu merespon
tentang nation tetapi adanya kecenderungan yang disebut dengan Australianness
yang menjadi fokus dalam pembahasan sastra Australia ini.
Pemikiran Huggan tentang Australianness masih terbilang kabur, terutama
dalam cakupan indigenous Australia (Aborigin) dan dalam teks-teks literatur
Aborigin terutama yang ditulis oleh penulis keturunan Aborigin. Berdasarkan apa
yang disampaikan oleh Huggan, sastra Australia telah membantu Australia
menjaga Australianness atau ke-Australiaannya. Australia dalam konteks
pascakolonial tidak dilihat sebagai nation yang tunggal—Australia terdiri dari
banyak nation yang saling bercampur; yang kemudian disebut sebagai
transnasional. Kompleksitas tersebut—transnasional—membongkar adanya batas
yang keluar dari nation. Berhubungan dengan pemikiran yang diangkat oleh
Huggan tentang Australianness dan transnasional, sastra indigenous Australia
(Aborigin) juga mempertanyakan batas nasional tersebut serta hubungannya
dengan konstruksi identitas yang menjadi tema besar dalam sastra Australia.
Konsep-konsep Huggan kurang mewadahi bagi sastra indigenous
Australia (Aborigin), karena (1) sastra Australia yang Huggan sebutkan adalah
sastra yang merespon kepentingan nasional, yaitu nation yang disebut setelah
kedatangan para settlers; cakupan ini kurang merepresentasikan sastra indigenous
Australia. Selain itu, (2) ide tentang Australianness menjelaskan kompleksitas
26
akan perbedaan budaya dan adanya identitas yang tidak tunggal untuk menjadi
bagian dari Australia; sedangkan indigenous Australia (Aborigin) tersebut tidak
termasuk dalam klasifikasi kelompok etnik tertentu. Untuk memasukan
indigenous ke dalam kelompok etnik tertentu adalah terlalu hegemonik;
sebagaimana dijelaskan oleh Van den Berg bahwa kelompok etnik adalah
klasifikasi hegemonik yang konstruktif dari pandangan kulit putih terhadap non-
whites (Van den Berg, 36). Sedangkan Van den Berg menyebutkan bahwa
Aborigin telah tinggal di tanah Australia sekitar 60.000 tahun lebih sebelum
kedatangan settlers.
Pandangan Van den Berg ini didukung oleh pandangan Ashcroft tentang
pembacaan sastra Australia sebagai pascakolonial. Ashcroft berpendapat bahwa
wacana yang ada dalam sastra Australia mengajak diri untuk menolak adanya
wacana dominan yang ditimbulkan dari imperialisme (Ashcroft dalam O‟Reilly,
2010: 18). Munculnya transformasi dan banyak kemungkinan dalam sastra
Australia menjadi salah satu bentuk resistensi terhadap wacana dominan imperial
(Aschroft) atau pandangan hegemonik (Van den Berg). Dalam sastra Australia,
resistensi ini muncul melalui representasi ruang, tempat, bahasa, dan sejarah
(Ashcroft dalam O‟Reilly, 2010: 19). Seperti halnya Upstone juga melihat adanya
kemungkinan untuk resistensi dalam novel pascakolonial melalui ruang-ruang
yang diciptakan oleh penulis pascakolonial dalam representasi yang berbeda-beda.
Huggan lebih menyoroti ruang nation yang bergeser menjadi transnasional
dalam sastra Australia, hal ini kurang mewadahi sastra Aborigin yang kurang bisa
masuk dalam kategori yang disebutkan oleh Huggan. Ruang yang transnasional
27
tersebut memunculkan identitas yang tidak tunggal; tetapi identitas ini lebih
ditujukan pada kelompok imigran yang datang setelah settlers. Hal ini menjadi
problematis dalam cakupan sastra Australia dan dalam melihat isu-isu tentang
indigenous berdasarkan konteks indigenous. Konsep yang ditawarkan oleh
Timperly melalui indigeneity membantu dalam melihat isu-isu indigenous tersebut
dalam konteks indigenous Australia (Aborigin). Indigeneity didasarkan pada
sebuah konstelasi; yaitu melihat objek dengan deskripsi dan eksplanasi yang
komprehensif. Konstelasi yaitu dengan menggabungkan beberapa aspek yang
berbeda untuk melihat suatu objek; yaitu seperti pengalaman dan kesejarahan
pada kelompok Aborigin tertentu. Indigeneity digunakan untuk melihat bagaimana
indigenous dilihat bedasarkan konteks indigenous dan melihat bagaimana menjadi
bagian dari kelompok masyrakat indigenous tersebut—self identification.
Timperly mengungkapkan bahwa beberapa pandangan tentang indigenous masih
opresif, sehingga perlu adanya pemahaman tentang indigenous dengan melihat
ruang lain yang direfleksikan melali pengalaman dan kesejarahan yang berbeda,
“This diverse definition may also reduce the possibility of collective action
and power through deemphasizing shared histories, identities, and
characteristics of indigenous peoples (Timperley, 2014: 11).
Jadi untuk melihat identitas indigenous bukan didasarkan pada aksi kolektif
maupun kekuatan kolektif untuk mendapatkan hak-hak indigenous, tetapi
berdasarkan pada konstelasi seperti yang telah dijelaskan di atas.
Indigeneity yang dijelaskan oleh Timperley ini menunjukan adanya ruang
alternatif untuk melihat identitas indigenous, yaitu bukan berdasarkan pada
konsep Huggan tentang ruang transnasional yang membentuk identitas tidak
28
tunggal, tetapi didasarkan pada ruang yang membentuk pengalaman dan
kesejarahan berbeda di tiap kelompok masyarakat indigenous. Dalam Upstone
dijelaskan bahwa ruang yang membentuk pengalaman adalah ruang yang lebih
personal seperti rumah dan tubuh. Sehingga ruang rumah dan tubuh ini
ditawarkan sebagai alternatif dari ruang nation. Indigeneity yang didasarkan pada
konstelasi ini menolak adanya definisi atau identitas yang opresif; pandangan dari
kulit putih terhadap Aborigin. Sehingga menempatkan identitas Aborigin bukan
dalam ruang nation Australia tetapi pada pengalaman dan kesejarahannya, yaitu
melalui ruang rumah dan tubuh. Identitas indigenous yang muncul bukan lagi
identitas nasional ataupun transnasional, melainkan identitas yang keluar dari
batas tersebut, memecah oposisi dialektik yang ditetapkan oleh kolonial, yaitu
berdasarkan konteks indigenous Australia (Aborigin). Secara khusus, kelompok
Aborigin yang akan dibahas adalah Nyoongar, yang terdapat dalam novel Benang.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara tertentu yang digunakan dalam
suatu penelitian untuk memecahkan atau menjawab masalah yang diajukan.
Terdapat dua metode dalam penelitian, yakni (1) metode pengumpulan data yang
berarti seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan fakta-fakta empirik terkait
dengan masalah penelitian sastra, dan (2) metode analisis data, yakni seperangkat
cara atau teknik untuk menarik relasi antara satu data dan data lain yang bermuara
pada suatu pengetahuan ilmiah (Faruk, 2012:24-5). Di dalam metode tersebut
terdapat cara untuk memperoleh pengetahuan tentang adanya objek sehingga
29
dapat membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang dibuat. Oleh
karena itu, pengetahuan yang benar adalah yang sesuai dengan objek
(Poedjawijatna dalam Faruk, 2012: 23).
Sehingga, sebelum kedua langkah metode tersebut dilaksanakan, maka
perlu ditentukan terlebih dahulu objek dari penelitian ini. Objek penelitian
merupakan fakta emprik yang dimungkinkan adanya penyelidikan ilmiah dan
pemerolehan pengetahuan ilmiah. Objek penelitian ini kemudian bisa
dikategorikan menjadi objek material dan objek formal. Objek material yaitu
objek yang menjadi lapangan penelitian; sedangkan objek formal adalah objek
yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012: 23). Objek material dalam
penelitian ini yaitu novel Benang karya Kim Scott. Dari novel tersebut, peneliti
menentukan objek formal penelitian yaitu ruang pascakolonial serta kaitannya
dengan identitas.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ada dua tahap meneliti,
pengumpulan data dan analisis data. Metode pertama akan diaplikasikan untuk
mengumpulkan data dari objek material dan formal penelitian ini. Setelah data
dikumpulkan, tahap selanjutnya yaitu menganislis data tersebut. Analisis data ini
berdasarkan teori yang digunakan dalam peneletian ini, yaitu teori politik spasial
Sara Upstone untuk mengungkap dan menjawab pertanyaan dari permasalahan
penelitian.
30
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan yaitu terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer didapatkan dari objek material yaitu novel Benang
karya Kim Scott. Kemudian data sekunder diperoleh dari buku, artikel, jurnal,
maupun hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan penelitian. Baik data
primer dan sekunder kemudian akan diseleksi sesuai dengan objek formal
penelitian.
Dalam proses pengumpulan data, yang pertama kali dilakukan yaitu
dengan membaca novel Benang karya Kim Scott. Kemudian mengidentifikasi
narasi dan dialog di dalam novel Benang sesuai dengan aspek kajian penelitian
ini, yaitu tentang bagaimana ruang pascakolonial digambarkan dalam novel,
korelasi ruang dengan identitas, serta konstruksi ruang dan identitas dalam
konteks pascakolonial Australia. Setelah itu, data tersebut diseleksi sesuai aspek-
aspek tersebut. Untuk mendukung proses penyeleksian dan pengelompokan data,
tahap ini didukung oleh sekelompok data sekunder seperti jurnal, artikel
penelitian, dan buku-buku yang berkaitan dengan objek material dan formal
penelitian ini.
1.7.2 Metode Analisis Data
Data yang sudah diseleksi dan dikelompokkan ini kemudian akan
dianalisis dengan menghubungkan satuan-satuan tekstual tersebut sesuai dengan
konsep teoritis yang digunakan, yaitu teori spatial politics. Pertama, penulis akan
menggambarkan ruang yang melanggar batas—yang berisikan chaos dan
31
mengalami overwriting. Selanjutnya peneliti menjelaskan adanya korelasi ruang
dengan identitas Aborigin—konsep mengenai ruang menjadi sumber untuk
penulisan kembali (overwrite) kondisi masyarakat pascakolonial seperti identitas;
menjelaskan posisi ruang dalam konstruksi identitas. Selanjutnya, posisi ruang
dan identitas tersebut dilihat dalam konteks pascakolonial Australia. Proses
menganalisis data ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan permasalahan
penelitian berdasarkan data yang telah dikelompokkan tersebut sesuai dengan
teori politik spasial.
1.8 Hipotesis dan Variabel
Hipotesis merupakan sebuah kesimpulan atau jawaban sementara yang
ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk,
2012: 21). Adapun hipotesis dari pertanyaan masalah yang telah dirusmuskan di
atas adalah sebagai berikut:
a) Ruang pascakolonial dalam novel Benang dapat digambarkan melalui
chaos yang ada pada ruang dalam beberapa skala.
b) Ruang berkorelasi dengan identitas pascakolonial dengan menjadikan
ruang sebagai sumber untuk menuliskan kembali (overwrite) kondisi
masyarakat pascakolonial (seperti identitas).
c) Posisi konstruksi ruang dan identitas dalam konteks pascakolonial
Australia adalah saling mempengaruhi.
Dari hipotesis yang telah disebutkan di atas, maka variabel yang dapat
ditentukan yaitu ruang, chaos, overwriting, identitas, dan konteks pascakolonial.
32
Variabel independen yaitu chaos dan konteks pascakolonial; sedangkan ruang,
identitas, dan overwriting termasuk variabel dependen karena ruang dipengaruhi
oleh chaos, identitas dipengaruhi oleh ruang dan konteks pascakolonial,
sedangkan overwriting terjadi akibat adanya chaos dalam ruang.
1.9 Sistematika Penyajian
Tesis ini terdiri dari empat bab dan tiap bab dibagi ke beberapa subbab.
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari sembilan subbab yaitu latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan variabel, metode penelitian, dan
sistematika penyajian laporan. Bab II yaitu analisis tentang penggambaran ruang
pascakolonial dalam novel Kim Scott, Benang. Bab III merupakan penjelasan
bagaimana keterkaitan ruang dengan identitas indigenous Australia. Bab IV yaitu
analisis tentang posisi ruang dan identitas indigenous Australia dalam konteks
pascakolonial Australia. Bab terakhir berisi kesimpulan dari tesis ini.