bab i pendahuluan 1.1 latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pabrik gula merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah, baik
limbah padat, gas, maupun limbah cair. Limbah yang dihasilkan oleh pabrik gula
ini menjadi salah satu permasalahan karena dapat memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan. Limbah merupakan buangan hasil produksi yang
kehadirannya pada waktu dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan
karena akan memberikan pengaruh yang merugikan (Saeni, 1998 dalam
Adityanto, 2007). Dibandingkan dengan limbah padat dan gas, limbah cair lebih
menjadi sorotan karena limbah cair ini akan dibuang ke sungai yang airnya sering
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menurut keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
51/MENLH/10/1995, limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan
oleh kegiatan industri dan dibuang ke lingkungan. Pada limbah cair terdapat
bahan organik yang dapat bersifat toksik di perairan. Terdapat dua jenis limbah
cair yang dihasilkan oleh pabrik gula, yaitu limbah cair pabrik dan limbah
kondensor atau air pendingin. Air pendingin atau limbah kondensor ini dihasilkan
oleh kondensasi uap dalam kondensor barometrik. Air pendingin ini memiliki
kandungan senyawa organik yang berkisar antara 0 – 1.000 mg/L. Air limbah
pabrik memiliki kandungan senyawa organik yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan air limbah kondensor karena air limbah pabrik ini gabungan dari beberapa
limbah, yaitu air limbah proses, air dari bak penampungan abu boiler, dan air dari
proses pencucian peralatan pabrik serta proses pembuatan susu kapur (Vawada,
2008).
Bahan organik yang terakumulasi ini akan menimbulkan terbentuknya
senyawa metabolit yang toksik terhadap organisme di perairan, seperti amonia,
nitrit, nitrat, dan hidrogen disulfida ( Widiyanto, 2002 dalam Adityanto, 2007).
Hal ini akan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan sehingga
dibutuhkan pengolahan limbah cair untuk mengurangi dampak yang akan
ditimbulkan terhadap lingkungan tersebut.
1
2
Metode pengolahan limbah secara biologi atau dikenal dengan
bioremediasi adalah salah satu cara pengolahan air limbah dengan bantuan agen
biologis untuk menguraikan polutan organik yang biodegradable yang terdapat
dalam air limbah. Senyawa organik yang kurang biodegradable dapat diolah akan
tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama. Mikroorganisme menjadi salah satu
agen yang digunakan dalam teknologi bioremediasi ini. Mikroorganisme tersebut
mendegradasi bahan organik menjadi senyawa lain yang kurang beracun atau
tidak beracun, seperti CO2, CH4, air, garam organik, biomassa, dan hasil samping
lainnya (Gumbira dan Fauzi, 1996 dalam Flowerenti, 2001).
Pada proses bioremediasi ini, mikroba dikondisikan untuk menguraikan
senyawa organik dengan cepat. Pengkondisian tersebut diperlukan fasilitas
pengolahan dan parameter operasi agar mikroba dapat bekerja secara optimal.
Banyak hal yang harus diperhatikan agar mikroba dapat bekerja secara optimal, di
antaranya adalah keseimbangan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba (harus
memperhatikan perbandingan rasio antara C, N, dan P), beban pencemar yang
masuk ke dalam instalasi pengolahan air, aerator, dan fasilitas lainnya yang
dibutuhkan, serta pengkondisian terhadap mikroba itu sendiri.
Masa operasi IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang yang baru
berjalan sekitar tiga tahun, menjadikan IPAL tersebut masih terus melakukan
modifikasi dan mencari metode yang paling tepat untuk menangani limbah cair
pabrik gula yang sesuai dengan kondisi lingkungan IPAL serta secara ekonomis
mendukung. Dengan dilakukannya evaluasi terhadap IPAL pada tahun 2010 ini,
diharapkan dapat membantu untuk memperbaiki dan memberikan solusi agar
ditemukan metode yang tepat untuk mengolah limbah pabrik gula tersebut.
1.2 Tujuan Kerja Praktek
1. Mempelajari proses bioremediasi limbah cair pabrik gula yang dilakukan
di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. PG. Rajawali II Unit PG.
Subang.
2. Mengevaluasi proses bioremediasi dalam pengolahan limbah cair gula PT.
PG. Rajawali II Unit PG. Subang.
3
1.3 Waktu dan Tempat Kerja Praktek
Kerja praktek dilaksanakan di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
yang merupakan bagian dari Unit Pengolahan Limbah (UPL) di PT. PG. Rajawali
II Unit PG. Subang. Kegiatan kerja praktek dilaksanakan selama 31 hari, mulai
tanggal 9 Juni 2010 sampai tanggal 10 Juli 2010.
4
BAB II
PROFIL PT. PG. RAJAWALI II UNIT PG. SUBANG
2.1 Sejarah Singkat PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
Pada awalnya areal perkebunan PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang ini
merupakan areal perkebunan karet yang dikuasi oleh swasta asing (Inggris) sejak
tahun 1812 sampai 1833. Mulai dari 1833 kekuasaan beralih ke perusahaan
Belanda yang bernama “Pamanoekan and Tjiasem land”. Setelah kemerdekaan,
tepatnya tahun 1958, perkebunan ini dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Negara
(PPN).
Pada tahun 1968, berdasarkan PP No. 14 Tahun 1968, berubah menjadi
PTP XXX. Pada tahun 1976, areal perkebunan karet diganti dan diadakan uji coba
penanaman tebu dan hingga sekarang tetap menjadi perkebunan tebu. Pada tahun
1978, dilakukan penanaman tebu pertama seluas 800 Ha dan digiling di PTP XIV,
pabrik gula Tersana Baru. Pada tahun yang sama, berdasarkan SK Mentan
No.681/Mentan/X/1978 pengelolaan perkebunan di daerah Pasir Bungur, Pasir
Muncang, dan Manyingsal diserahkan ke PTP XIV.
Tahun 1981, berdasarkan SK Mentan No. 667/KPTS/ORG/8/1981
dilakukan pembangunan pabrik gula Subang. Pada tahun 1984 dilakukan giling
pertama. Pada tahun 1989 pengelolaan PTP XIV berada di bawah kendali Deptan
dan Depkeu. Pada tahun 1996, berdasarkan keputusan Menkeh No. C2-9432.
HT.0104/1996 PTP XIV diubah menjadi PT. PG. Rajawali II dan pada tahun 2003
PT. PG. Rajawali II resmi menjadi anak perusahaan PT. RNI dan pabrik gula
Subang sebagai salah satu unit produksi PT. PG. Rajawali II.
2.2 Lokasi PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang berlokasi di Desa Pasir bungur,
Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Data keadaan umum
perusahaan adalah sebagai berikut :
Areal (HGU Bruto) : 5.669,4 Ha
Lahan Sewa : 660 Ha
4
5
Tebu Rakyat Bebas : 184 Ha
Ketinggian : 33 m di atas permukaan laut
Topografi : relatif datar tetapi sedikit bergelombang
Jenis Tanah : mayoritas latosol dengan struktur porus
Posisi : ± 25 km dari kota Subang ke arah barat
Sumber Air : saluran induk irigasi Tarum timur
2.3 Visi dan Misi Perusahaan
2.3.1 Visi
"Sebagai perusahaan dengan kinerja terbaik dalam bidang agro industr
berbasis tebu di Indonesia, siap menghadapi tantangan, unggul dalam kompetisi
global dan bertumpu pada kemampuan sendiri ".
2.3.2 Misi
"Sebagai perusahaan yang dikelola secara profesional dan inovatif
dengan orientasi kualitas produk dan pelayanan pelanggan yang prima (excellent
customer service) sebagai karya sumber daya manusia yang handal, mampu
tumbuh dan berkembang memenuhi harapan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders)".
"Turut melaksanakan kebijaksanaan dan menunjang program akselerasi
produksi gula nasional pada umumnya serta pembangunan sektor perkebunan,
pertanian dan industri gula pada khususnya".
2.4 Manajemen PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang merupakan perusahaan yang
bergerak dalam bidang agroindustri berbasis tebu di mana produk utamanya
adalah gula kristal putih. Perusahaan ini dipimpin oleh seorang General Manager
yang dibantu oleh lima orang kepala bagian (SDM dan Umum, Tanaman,
Instalasi, Pabrikasi, dan TUK) dalam melaksanakan tugasnya. Kantor direksi dari
PT. PG. Rajawali II berada di Cirebon.
6
Manajemen PT. PG. Rajawali II dalam kurun waktu 2003 sampai 2005,
seiring dengan kebijakan yang ditetapkan oleh PT. RNI Holding, telah melakukan
berbagai terobosan yang inovatif guna meningkatkan kinerja perusahaan secara
signifikan, yaitu dengan melakukan restrukturisasi organisasi, konsolidasi SDM,
penataan portofolio bisnis, revitalisasi peralatan pabrik dan lain-lain sehingga
mampu meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilkan. Selain
meningkatkan daya saing, upaya ini pun dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
gula nasional yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4 juta tahun yang lalu. Dalam tiga
tahun terakhir PT. PG. Rajawali II telah mencapai kinerja terbaik sejak
perusahaan ini dibentuk.
2.5 Pengelolaan Limbah di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
Limbah yang dihasilkan dari proses produksi gula kristal dibagi menjadi
limbah padat (abu, blotong, dan ampas), limbah cair (limbah cair berat dan limbah
cair ringan), dan gas (gas dari pembakaran listrk dan dari genset listrik). Setiap
jenis limbah ini ditangani dengan cara yang berbeda.
Pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) adalah salah satu
cara yang digunakan untuk mengolah limbah cair. IPAL ini dibangun pada tahun
2006 dan baru beroperasi pada tahun 2007. IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG.
Subang memiliki sebuah laboratorium yang digunakan untuk menganalisis pH
dan COD air limbah yang masuk dan keluar dari IPAL.
IPAL ini beroperasi selama masa giling atau masa produksi gula, yaitu
sekitar bulan Mei sampai September. Pada tahun 2010, masa giling dimulai dari
tanggal 17 Mei dan diperkirakan akan berakhir pada tanggal 15 September 2010.
Di luar masa giling, IPAL melakukan perbaikan-perbaikan fasilitas agar proses
pengolahan limbah di tahun selanjutnya akan lebih baik lagi.
7
Gambar 2.1 Struktur organisasi Unit Pengelolaan Limbah (UPL) PT. PG.
Rajawali II Unit PG. Subang Tahun 2010
Penanggung Jawab
General Manager
Ketua
Sekretaris
Ketua Harian
Pelaksana
Bid. Limbah
Padat & B3
Bid. Limbah
Cair
Bid. Limbah
Udara
Seksi in House Keeping
1. Boiler
2. Gilingan
3. Pemurnian
4. Penguapan
5. Masakan
6. Puteran
Seksi Boiller
Seksi Limbah
Padat
Seksi IPAL
Seksi Power
House
Seksi
Sekrap JH &Evaporator
Seksi
Condensor & Colling Tower
Seksi Limbah B3
8
BAB III
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
3.1 Deskripsi Aktivitas
Aktivitas utama yang dilakukan di bagian IPAL PT. PG. Rajawali II Unit
PG. Subang ini adalah mengamati proses yang berlangsung setiap hari, mulai dari
bagian input hingga output IPAL, serta memeriksa hasil pengukuran terhadap pH
yang dilakukan oleh para pegawai IPAL sehingga tidak diperlukan alat maupun
bahan. Akan tetapi dalam waktu tertentu dilakukan pengukuran terhadap COD. Di
bawah ini dicantumkan alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan
pengukuran COD serta untuk mengukur pH air.
3.1.1 Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan meliputi gelas kimia 100 mL, 200 mL dan 250 mL;
pipet volume ukuran 10 mL, 20 mL, dan 25 mL; labu takar 200 mL dan 1 L;
Erlenmeyer 250 mL dan 1.000 mL; kondensor; penangas; gelas ukur 10 mL dan
50 mL; batang pengaduk; botol semprot, dan pH meter.
b. Bahan
Bahan yang digunakan meliputi urea, gula pasir, TSP, kapur, akuades,
kalium dikromat (K2Cr2O7), perak sulfat (Ag2SO4), asam sulfat (H2SO4) pekat,
Fe(NH4)2(SO4)2. H2O padat, ferroin, dan batu didih.
3.1.2 Tata Kerja
a. Pengamatan Lapangan
Pengamatan dilakukan setiap pagi (antara Pkl.07:00 – 08:00 WIB) serta
pada siang hari ( antara Pkl.11:00 – 12:00 WIB) untuk melihat kondisi fisik ( bau,
warna air, kekentalan, keberadaan buih dan warnanya) dari air limbah, mulai dari
saluran khusus untuk limbah organik, air kondensor, input IPAL, kolam
equalisasi, kolam aerasi I, aerasi II, aerasi III, kolam pengendap akhir dan saluran
output. Selain melihat kondisi fisik air, dilihat juga kinerja dari aerator dan
8
9
pompa-pompa air. Apabila terdapat hal yang tidak normal (bau yang lebih
menusuk, terjadi perubahan warna dan jumlah buih), dilakukan analasis COD
untuk mengetahui beban pencemar yang masuk ke area kolam IPAL.
b. Pembuatan Larutan untuk Pengukuran COD
i. Larutan Kalium Dikromat (K2Cr2O7) 0,1 N
Kalium dikromat (K2Cr2O7) padat sebanyak 4,9 gram dimasukkan ke
dalam labu ukur 1 L dan ditambahkan 100 mL akuades. Kemudian dikocok
hingga larut. Selanjutnya ditambahkan akuades hingga volumenya mencapai 1 L
dan dikocok sampai homogen.
ii. Larutan Perak Sulfat (Ag2SO4) 1,25 %
Perak padat sebanyak 1,25 gram dimasukkan ke dalam gelas kimia 200
mL. kemudian ditambahkan 100 mL asam sulfat (H2SO4) pekat dan diaduk hingga
larut. Larutan perak sulfat didiamkan hingga kurang lebih 24 jam hingga larut
sempurna dan baru dapat digunakan.
iii. Larutan Standar Ferro Ammonium Sulfat (FAS)
Fe(NH4)2(SO4)2. H2O sebanyak 39 gram dimasukkan ke dalam labu ukur 1
L. Kemudian ditambahkan 500 mL akuades dan dikocok hingga larut. Selanjutnya
ditambahkan 20 mL H2SO4 pekat dan dibiarkan hingga dingin. Terakhir,
ditambahkan akuades hingga volumenya mencapai 1 L dan dikocok hingga
homogen.
c. Standardisasi FAS
K2Cr2O7 0,1 N sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250
mL. Kemudian ditambahkan 30 mL H2SO4 pekat dan didinginkan. Setelah dingin,
ditambahkan dengan tiga tetes ferroin. Selanjutnya dititrasi dengan FAS sampai
larutan berwarna kecoklatan. Volume FAS yang diperlukan untuk titrasi
digunakan untuk perhitungan standardisasi FAS dengan persamaan seperti di
bawah ini.
Normalitas FAS =mL K2Cr2O7 × N K2Cr2O7
Volume FAS yang diperlukan
10
d. Pengukuran COD
Sampel air limbah yang diambil dari suatu titik sampel (outlet, inlet, aerasi
I, aerasi II, aerasi III, atau bak pengendap akhir) diencerkan dengan cara sampel
diambil sebanyak 10 mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 200 mL.
Selanjutnya ditambahkan akuades hingga mencapai 200 mL, lalu dikocok hingga
homogen. Sampel yang telah diencerkan ini lah yang diambil dan dianalisis COD
nya. Kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,1 N sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 250 mL. Ditambahkan 20 mL sampel air yang telah diencerkan.
Kemudian dimasukkan 10 mL Ag2SO4 1,25 % dan 30 mL H2SO4 pekat secara
perlahan dan batu didih. Kemudian Erlenmeyer dipasang ke kondensor yang
sudah dirancang untuk refluks. Selanjutnya larutan direfluks dengan cara didihkan
selama 2 jam. Setelah itu, kondensor dibilas dengan akuades sebanyak 50 mL dan
Erlenmeyer dilepas dari kondensor dan didinginkan. Setelah dingin, larutan
ditetesi dengan feorin sebanyak 3 tetes dan dititrasi dengan FAS yang telah
distandardisasi, pada saat titrasi akan terjadi perubahan warna pada larutan mulai
dari kuning, hijau, biru, dan kemudian merah kecoklatan. Titrasi berakhir ketika
warna larutan berubah menjadi warna kecoklatan. Percobaan yang sama dilakukan
terhadap blanko, di mana sampel diganti dengan akuades. Selanjutnya volume
FAS yang diperlukan untuk titrasi dicatat dan digunakan untuk menghitung COD
dari sampel dengan persamaan seperti di bawah ini.
COD (mg/L) = A − B × N x 8000 x P
Volume sampel
Keterangan :
A : Volume FAS yang digunakan untuk blanko.
B : Volume FAS yang digunakan untuk sampel.
N : Normalitas FAS
P : Faktor pengenceran (20 kali)
V : Volume sampel yang digunakan (20 mL)
11
e. Pengukuran pH limbah
Pengukuran pH dilakukan terhadap sampel dari 6 titik, yaitu bagian input
IPAL, kolam equalisasi, kolam aerasi I, aerasi II, aerasi III, dan output IPAL.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara sampel dari setiap titik diambil kemudian
pH dari sampel diukur dengan menggunakan pH meter. Pengukuran pH ini
dilakukan oleh para pegawai IPAL setiap awal dan akhir kerja shift (terdapat tiga
shift kerja, yaitu pagi, siang, dan malam).
f. Penurunan Mikroba
Penurunan mikroba yang dimaksud adalah penambahan mikroba ke dalam
kolam aerasi I atau aerasi II dari bak pembibitan. Mikroba yang berasal dari bak
pembibitan I ( volume 12 m3 ) diturunkan melalui saluran ke dalam kolam aerasi I
atau sebagian ke aerasi II ( jika diperlukan ). Penurunan bibit dihentikan ketika di
ketinggian larutan di bak pembibitan I ± 20 cm. Selanjutnya dilakukan pengisian
air ke dalam bak pembibitan I, ketika sudah hampir penuh, dilakukan penurunan
mikroba dari bak pembibitan II ( volume 1,5 m3) ke dalam bak pembibitan I.
Penurunan bibit dihentikan ketika di ketinggian larutan di bak pembibitan II ± 20
cm. Setelah itu, dilakukan pemberian nutrisi ke bak pembibitan I dan bak
pembibitan II. Penuruan mikroba ini dilakukan oleh para pegawai setiap empat
hari sekali.
g. Pemberian Nutrisi Mikroba
Pemberian nutrisi dilakukan oleh para pegawai IPAL setiap empat hari
sekali ke dalam bak pembibitan I dan bak pembibitan II. Untuk bak pembibitan I,
disiapkan gula pasir sebanyak 15 kg, urea 1 kg, dan TSP 80 gram. Untuk bak
pembibitan II, disiapkan gula pasir sebanyak 3 kg, urea 500 gram, dan TSP 40
gram. Kemudian setiap bahan dimasukkan ke dalam ember dan dilarutkan dengan
air. Setelah larut, setiap bahan dimasukkan ke dalam bak pembibitan.
h. Pemberian Larutan Kapur
Pemberian larutan kapur dilakukan oleh para pegawai IPAL pada kolam
equalisasi. Serbuk kapur dilarutkan dalam suatu bak pembuat larutan kapur.
12
Selanjutnya larutan kapur disalurkan ke dalam bak equalisasi. Banyaknya kapur
yang diberikan ( tergantung dari pH limbah yang masuk) antara 100 kg kapur
hingga 200 kg setiap 8 jam.
2.2 Pengamatan dan Pembahasan
Bioremediasi dengan menggunakan mikroba termasuk metode yang cukup
mudah dan ekonomis untuk mengolah limbah agar sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Tabel 3.1 di bawah ini memperlihatkan standar
baku mutu untuk limbah yang akan menuju ke lingkungan yang ditetapkan oleh
Meneg. LH. No. 05 Tahun 2010.
Tabel 3.1 Standar Baku Mutu Limbah Cair Berdasarkan Meneg LH. No. 05
Tahun 2010
No. Parameter Kadar Maksimal
(mg/L)
Beban Pencemaran
Maksimal (g/ton)
1. pH 6,0 – 9,0
2. TSS 50 25
3. BOD 60 30
4. COD 100 50
5. Minyak-Lemak 5 2,5
6. Sulfida (sebagai S) 0,5 0,25
7. Kuantitas Limbah
Maksimal 0,5 m
3 per ton tebu yang diolah
Walaupun bioremediasi dapat dikategorikan pengolahan limbah yang
mudah dilakukan, akan tetapi banyak hal yang harus diperhatikan agar proses
tersebut berjalan baik dengan hasil yang memuaskan. Pada laporan ini, akan
diulas mengenai metode kerja yang dilakukan di IPAL PT. PG. Rajawali II Unit
PG. Subang serta mengevaluasi metode kerja tersebut. Data-data yang diperoleh
dari hasil pengukuran COD dan pH akan ditampilkan pada lampiran sebagai
pendukung dalam mengevaluasi kinerja IPAL.
13
3.2.1 Metode Kerja yang dilakukan dalam Proses Bioremediasi di IPAL
PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang melakukan bioremediasi
dengan menggunakan bantuan mikroba dari LPP Yogyakarta yang memiliki nama
dagang SPL-02. Dengan memodifikasi alat (seperti aerator) dan memanfaatkan
fasilitas yang ada, proses bioremediasi dapat berlangsung dengan cukup baik.
Berdasarkan hasil pengamatan selama berada di IPAL ini, maka dapat diperoleh
pengetahuan mengenai berbagai proses yang berlangsung.
a. Pemeliharaan Mikroba
Di IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang ini, mikroba yang
digunakan untuk mengolah limbah dikembangbiakkan dalam bak pembibitan.
Terdapat dua bak pembibitan, yaitu bak pembibitan I yang memiliki volume 12
m3 dan bak pembibitan II yang memiliki volume 1,5 m
3.
(a) (b)
Gambar 3.1 Foto bak pembibitan mikroba. (a) bak pembibitan I.
(b). bak pembibitan II
Dapat dilihat pada gambar di atas terdapat buih berwarna putih serta
gelembung udara yang tidak mudah pecah. Buih dan gelembung udara ini menjadi
indikator keberadaan mikroba SPL-02.
Untuk mempertahankan agar mikroba tetap bertahan hidup, maka harus
diberi nutrisi. Pemberian nutrisi tersebut dilakukan secara berkala, yaitu empat
hari sekali. Komposisi dari nutrisi tersebut terdiri atas gula pasir yang merupakan
sumber C, urea sebagai sumber N, dan TSP sebagai sumber P. Dengan
dilakukannya pemberian nutrisi, diharapkan mikroba dapat bertahan hidup.
Pemberian nutrisi ini dilakukan setelah dilakukan penurunan mikroba.
14
Selain dilakukan pemberian nutrisi, pada bak pembibitan juga diberi
tambahan oksigen dengan bantuan pompa. Hal ini dilakukan agar mikroba tidak
kekurangan oksigen.
b. Alur Proses Pengolahan Limbah
Terdapat dua jenis limbah cair yang dihasilkan, yaitu limbah kondensor
dan limbah cair pabrik. Limbah kondensor memiliki konsentrasi senyawa organik
yang rendah, sedangkan limbah cair pabrik (limbah berat organik) memiliki
konsentrasi senyawa organik yang tinggi.
Limbah kondensor dan limbah berat organik memiliki saluran yang
berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan sumber limbah dan kandungan senyawa
organik. Selain itu, limbah kondensor tidak mengalami pengolahan limbah karena
kandungan senyawa organiknya rendah dan tidak akan membahayakan
lingkungan. Hanya saja, limbah kondensor ini memiliki suhu yang cukup tinggi
walaupun sudah mengalami pendinginan.
Limbah kondensor sewaktu-waktu dapat masuk ke area pengolahan
apabila konsentrasi senyawa organik pada limbah berat organik terlalu pekat
sehingga sebelum memasuki area pengolahan, limbah berat organik diencerkan
terlebih dahulu dengan memanfaatkan air kondensor. Untuk lebih jelas aliran
limbah di pabrik gula ini, dapat dilihat pada gambar 3.2 di bawah ini atau pada
lampiran A.
15
Gambar 3.2 Aliran air limbah di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat aliran limbah cair, baik limbah
kondensor maupun limbah berat organik. Lingkaran hijau pada gambar
menunjukkan titik persilangan antara saluran limbah berat organik yang akan
memasuki area pengolahan dengan saluran air kondensor. Pada titik ini, saluran
limbah berat organik berada di atas saluran limbah kondensor. Dalam keadaan
terdesak (limbah berat organik terlalu pekat), limbah kondensor dapat dialirkan ke
saluran limbah berat organik untuk mengencerkan limbah berat organik. Gambar
di 3.3 di bawah ini memperlihatkan persilangan antara saluran kondensor dengan
limbah berat organik.
Gambar 3.3 Foto saluran limbah kondensor dan limbah berat organik
16
Dapat dilihat pada gambar di atas, tanda panah merah menunjukkan
saluran limbah kondensor, tanda panah biru menunjukkan saluran limbah berat
organik, dan bagian lingkaran ungu merupakan terusan saluran limbah berat
organik yang menuju ke area pengolahan. Terusan saluran limbah kondensor
berada di bawah terusan saluran limbah berat organik (di bawah lingkaran ungu).
Tempat pengenceran limbah berat organik terjadi di saluran yang ditandai dengan
lingkaran ungu.
Limbah kondensor yang tidak masuk ke area pengolahan akan mengalir ke
saluran yang akan membawa limbah ke kolam penampungan di luar area pabrik
yang selanjutnya akan disalurkan ke badan penerima, yaitu Sungai Tarum Timur.
Sedangkan limbah berat organik akan disalurkan ke bak tarik yang selanjutnya
akan dipompakan ke dalam bak pengendap awal. Gambar 3.4 di bawah ini
menunjukkan bak tarik dan pompa air di bagian input IPAL. Air yang keluar dari
pompa pada bagian input IPAL merupakan air limbah yang dipompakan dari bak
tarik.
(a) (b)
Gambar 3.4 (a). Foto bak tarik. (b) Foto input IPAL
Gambar 3.5 Foto bak pengendap awal
17
Limbah yang sudah melalui bak pengendap awal selanjutnya akan
dipompakan ke dalam kolam equalisasi. Di kolam equalisasi ini limbah diberi
larutan kapur untuk meningkatkan pH. Selain itu, kolam equalisasi ini pun
dilengkapi dengan satu buah aerator yang berfungsi untuk memberi tambahan
oksigen ke dalam limbah. Dari kolam equalisasi, limbah akan dialirkan ke dalam
kolam aerasi I yang sudah ditambahkan dengan mikroba. Di kolam aerasi I
terdapat tiga buah aerator yang membantu memberikan oksigen. Selanjutnya
limbah akan mengalir ke kolam aerasi II dan aerasi III. Dari kolam aerasi III,
limbah akan masuk ke bak pengendap akhir yang selanjutnya akan mengalir ke
saluran yang merupakan titik temu dari limbah berat organik yang telah diolah
dengan limbah kondensor. Titik temu ini ditunjukkan pada gambar 3.2 yang
ditandai dengan lingkaran berwarna merah. Melalui saluran ini, limbah berat
organik yang sudah diolah akan bersama-sama dengan limbah kondensor akan
mengalir dan masuk ke kolam penampung yang berada di luar area pabrik. Untuk
melihat sketsa lebih jelas dan lengkap, dapat dilihat pada lampiran A.
Dari hasil pengolahan limbah ini, akan terbentuk lumpur. Lumpur yang
dihasilkan dari pengolahan limbah ini dapat disebut juga sebagai lumpur aktif
karena pada lumpur tersebut masih terdapat mikroba yang terbawa oleh arus air.
Lumpur ini tidak segera dibuang, akan tetapi, dari bak pengendap akhir akan
disalurkan ke dalam kolam aerasi I.
18
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3.6 (a) Kolam equalisasi. (b) Kolam aerasi I. (c). Kolam Aerasi II.
(d). Kolam Aerasi III
Untuk mengetahui hasil pengamatan terhadap kondisi fisik air limbah di
area pengolahan limbah, dapat dilihat pada lampiran C.
3.2.2 Evaluasi Metode Kerja IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
Pemilihan cara atau metode yang dilakukan di IPAL PT. PG. Rajawali II
Unit PG. Subang ini secara umum memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
dan kekurangan ini menjadi dasar evaluasi untuk memperbaiki kinerja IPAL
tersebut dalam mengolah limbah cair pabrik gula. Evaluasi tidak hanya dilakukan
terhadap proses pengolahan tetapi juga pada sarana dan prasarana. Selain itu, ada
beberapa data pengujian terhadap limbah cair pabrik gula (pengukuran COD dan
parameter lainnya) yang juga dapat dijadikan sebagai bahan pendukung untuk
evaluasi ini.
19
a. Volume Kolam ( Bak Pengendap, Aerasi I, Aerasi II, Aerasi III, dan Kolam
Cadangan) dan Aerator
IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang ini memiliki kolam-kolam
yang cukup besar. Pada beberapa kolam dilengkapi dengan aerator yang bekerja
di permukaan yang efektif bekerja untuk luas permukaan yang cukup besar akan
tetapi kurang baik untuk kolam yang dalam. Tabel 3.2 di bawah ini akan
memperlihatkan ukuran dari setiap kolam yang berada di IPAL PT. PG. Rajawali
II Unit PG. Subang.
Tabel 3.2 Ukuran Kolam Pada IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
No. Kolam Panjang
(m)
Lebar
(m)
Kedalaman
(m)
Diameter
(m)
1. Pengendap awal 12 5 2,95 -
2. Equalisasi - - 1,5 7
3. Aerasi I - - 2,35 22,5
4. Aerasi II - - 3,6 21
5. Aerasi III - - 3,6 14
6. Cadangan - - 2,35 22,5
Berdasarkan tabel 3.2 di atas, dapat diketahui bahwa ukuran kolam-kolam
yang tersedia di IPAL tersebut memiliki volume yang cukup besar dan
berdasarkan data yang tersedia, IPAL tersebut memiliki kapasitas penampungan
limbah cair sebanyak 600 m3/hari. Akan tetapi, kapasitas yang besar ini tidak
diimbangi dengan banyaknya limbah yang masuk. Banyaknya limbah serta beban
pencemar limbah yang masuk setiap saat berbeda tergantung dari proses produksi
gula. Ketika jumlah limbah yang masuk sedikit, limbah akan tersimpan lebih lama
pada bak pengendap awal dan pH menjadi lebih asam dengan bau yang lebih
menyengat. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya penggunaan
senyawa-senyawa organik yang terdapat pada limbah oleh mikroba-mikroba yang
berada di lingkungan. Senyawa organik pada limbah sebagian besar adalah gula
sukrosa yang mudah dihidrolisis menjadi gula yang lebih sederhana (Gerardi,
20
1994). Pada saat sudah menjadi gula yang sederhana, mikroba akan lebih mudah
menggunakan senyawa organik tersebut dan memproduksi metabolit yang
menyebabkan penurunan pH. Penurunan pH ini akan menambah beban pekerja
untuk menetralkan kembali pH air limbah sebelum memasuki kolam aerasi. Untuk
mencegah adanya penyimpanan limbah yang terlalu lama, sebaiknya kedalaman
dari bak pengendap dikurangi agar air dapat segera dipompakan ke kolam
selanjutnya.
Untuk kolam equalisasi, memiliki volume yang cukup dan tidak
bermasalah dalam kedalaman sehingga air yang berada di kolam equalisasi dapat
dengan cepat mengalir ke kolam selanjutnya ( aerasi I atau kolam cadangan).
Sedangkan kolam cadangan dimaksudkan untuk tempat penampungan limbah
ketika jumlah limbah terlalu banyak. Akan tetapi pada kenyataannya kolam
cadangan tidak terpakai karena jumlah limbah yang tidak terlalu banyak. Selain
itu, volume kolam cadangan yang terlalu besar mengakibatkan air yang berada
pada kolam tersebut menjadi lebih lama tersimpan sebelum dapat mengalir ke
kolam selanjutnya (aerasi I) sehingga pH air tersebut dapat menurun kembali. Hal
ini ditakutkan akan mengganggu kinerja dari mikroba yang berada pada kolam
aerasi I. Sehingga sampai saat ini, keberadaan kolam cadangan tidak terlalu
dibutuhkan dan sebaiknya dikosongkan untuk mengurangi bau karena adanya
penggunaan senyawa organik pada limbah oleh mikroba yang tidak diinginkan.
Pada gambar 3.7 di bawah ini dapat dilihat kondisi kolam cadangan yang berisi air
limbah yang sudah tersimpan lama sehingga memiliki warna yang gelap dan bau
yang menyengat.
Gambar 3.7 Foto kondisi kolam cadangan yang berisi air limbah
21
Kolam aerasi I memiliki kedalaman dan volume yang cukup sehingga
tidak terlalu bermasalah walaupun jumlah limbah tidak terlalu banyak yang
menyebabkan waktu diam air lebih lama. Hal ini dikarenakan pada kolam aerasi I
ini sudah terdapat mikroba yang digunakan untuk mengolah limbah serta terdapat
aerator dalam jumlah yang mencukupi (3 buah) sehingga air limbah memperoleh
tambahan oksigen dan tidak diam (seperti pada kolam cadangan).
Berbeda dengan kolam aerasi I, kolam aerasi II walaupun diameternya
lebih kecil, akan tetapi memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan
dengan kolam aerasi I, yaitu 3,6 m. Kedalaman ini menjadi permasalahan karena
aerator yang digunakan merupakan aerator yang hanya dapat menjangkau daerah
permukaan sehingga daerah yang berada di lapisan bawah tidak terjangkau oleh
aerator. Hal ini menyebabkan pemberian oksigen tidak merata ke seluruh bagian
dan memungkinkan adanya zona anaerob. Zona anaerob ini dapat menghambat
kinerja mikroba bahkan mungkin mengakibatkan kematian. Kematian ini ditandai
dengan tidak terbentuknya lumpur, seperti yang terjadi pada kolam Aerasi II dan
III sejak tanggal 22 Juni 2010 di mana air limbah menjadi berwarna kehitaman
dan tidak adanya lumpur yang dihasilkan. Gambar 3.8 di bawah ini akan
memperlihatkan kondisi di mana pada kolam aerasi II terjadi perubahan warna air
limbah dari kecoklatan menjadi hitam yang kemungkinan diakibatkan oleh kurang
meratanya transfer oksigen dan kondisi ini diperparah dengan meledaknya jumlah
buih (Gambat 3.8 b) yang menghalangan masuknya cahaya matahari ke dalam air.
(a) (b)
Gambar 3.8 Foto kondisi air limbah pada kolam aerasi II (a). air limbah berwarna
hitam (b). ledakan buih pada kolam aerasi II
22
Hal yang sama pun terjadi pada kolam aerasi III dan kondisinya menjadi
semakin parah karena dengan kedalaman kolam yang sama dengan kolam aerasi
II, yaitu 3,6 meter, tetapi aerator yang ada pada kolam aerasi III tersebut hanya
ada satu. Hal ini menyebabkan transfer oksigen menjadi semakin tidak merata dan
memperburuk keadaan. Untuk itu, dibutuhkan penambahan aerator dan mungkin
sebaiknya dilakukan pendangkalan pada kolam aerasi II dan aerasi III agar
transfer oksigen dapat lebih merata. Pendangkalan ini dilakukan sebagai salah satu
cara untuk mempermudah kerja aerator yang bekerja di permukaan.
b. Waktu Tinggal Limbah di Kolam Aerasi (I, II, dan III)
Waktu tinggal limbah di kolam – kolam aerasi akan mempengaruhi hasil
dari proses pengolahan senyawa organik yang berada pada limbah tersebut.
Dengan desain kolam aerasi pada IPAL seperti yang dapat dilihat pada gambar 3.9
di bawah ini. Gambar 3.9 memperlihatkan aliran air limbah dari kolam aerasi I ke
kolam aerasi III. Dalam aliran tersebut, memungkinkan adanya air limbah yang
baru saja masuk dapat langsung mengalir ke kolam selanjutnya dan ke saluran
selanjutnya tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu.
Gambar 3.9 Aliran limbah dari kolam aerasi I hingga aerasi III
Walaupun jumlah air yang tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu
tidak terlalu banyak, akan tetapi akan mempengaruhi hasil akhirnya. Akan tetapi
hal ini tidak dapat dihindari karena sistem pengolahan di IPAL ini terjadi secara
kontinu sehingga tidak dapat dilakukan penghentian sementara untuk
23
memperpanjang masa tinggal air. Untuk meminimalisir hasil akhir yang kurang
baik, pada bagian output harus selalu dipantau kondisi limbahnya, misalnya
dengan pengukuran COD, apabila COD pada limbah tersebut masih tinggi
mungkin dapat dipompakan kembali ke kolam aerasi I untuk dilakukan
pengolahan kembali.
Selain waktu tinggal yang terlalu sebentar, juga perlu diperhatikan limbah
yang berada di kolam aerasi dalam waktu yang cukup lama karena terlalu
dalamnya kolam. Hal ini berkaitan pula dengan kedalaman kolam dan tipe kerja
aerator. Ada dua alternatif yang dapat dipilih, yaitu
Alternatif pertama, tidak dilakukan perubahan tipe kerja dari aerator karena
aerator dengan tipe kerja di permukaan cukup baik dilakukan untuk transfer
oksigen dengan luas permukaan yang cukup besar. Akan tetapi, diperlukan
adanya pendangkalan pada kolam tersebut agar transfer oksigen menjadi lebih
homogen dan tidak adanya limbah yang memiliki masa tinggal yang terlalu
lama.
Alternatif kedua, dilakukan perubahan tipe kerja dari aerator yang dapat
menjangkau hingga ke bagian dasar kolam.
c. Penambahan Larutan Kapur
Penambahan larutan kapur ini bertujuan untuk menetralkan pH air limbah
yang akan memasuki kolam aerasi agar mikroba dapat bekerja secara optimum.
Penambahan larutan kapur dilakukan di kolam equalisasi oleh para pekerja.
Pengaturan pH air limbah dengan larutan kapur ini termasuk salah satu cara yang
cepat dan mudah dilakukan. Akan tetapi, untuk menetralkan limbah dalam jumlah
yang cukup banyak dan tingkat keasaman limbah yang terkadang sangat rendah,
dibutuhkan kapur dalam jumlah yang banyak. Namun perlu diperhatikan apakah
penambahan kapur dalam jumlah yang banyak dapat berdampak buruk atau tidak
pada proses pengolahan limbah tersebut.
Untuk mencegah penambahan kapur secara berlebihan, pada daerah input
dan di kolam equalisasi harus dilakukan pengukuran pH air limbah secara teliti
dan hati-hati. Dengan demikian, penggunaan kapur akan lebih terkontrol dan tidak
terlalu berlebihan.
24
d. Bak Pembibitan, Pemberian Nutrisi Mikroba, dan Penurunan Mikroba ke
Kolam Aerasi I
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk membantu
mempercepat proses biodegradasi atau bioremediasi, yaitu seeding dan feeding.
Seeding merupakan pengoptimalan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (
bioremediasi intrinsik) atau penambahan mikroba exogenous. Sedangkan feeding
merupakan modifikasi terhadap lingkungan dengan penambahan nutrisi
(biostimulasi), aerasi, serta harus memperhatikan faktor-faktor penting untuk
menjamin kondisi mikroba agar dapat tumbuh dan berkembangbiak. Faktor-faktor
tersebut di antaranya adalah oksigen, kandungan nutrisi, pH, dan kelembaban
(Syakti, 2005).
Keberadaan bak pembibitan, pemberian nutrisi dan penurunan mikroba
secara berkala di IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang ini pun merupakan
salah satu upaya untuk mempercepat proses bioremediasi. Pemberian nutrisi
berupa gula pasir (sebagai sumber karbon), urea (sebagai sumber N), dan TSP
(sebagai sumber P) merupakan salah satu pendekatan dengan cara feeding.
Walaupun sebenarnya mikroba telah mendapat nutrisi dari senyawa organik yang
terkandung pada limbah pabrik gula. Akan tetapi, dengan penambahan sumber
nutrisi lain, terutama sumber N dan P, maka pertumbuhan mikroba akan semakin
cepat dan memungkinkan degradasi senyawa organik pada limbah semakin cepat
pula.
Dalam pemberian nutrisi harus diperhatikan perbandingkan komposisi
antara C, N, dan P sehingga sesuai dengan kebutuhan mikroba. Penentuan
perbandingan ini menjadi sedikit sulit karena mikroba yang digunakan di IPAL ini
merupakan kultur campuran yang mungkin kebutuhan C, N, dan P nya akan
berbeda untuk setiap spesies. Dalam penentuan kebutuhan nutrisi ( C, N, dan P)
suatu mikroba, diperlukan adanya pengetahuan mengenai komposisi dari limbah
dan mikrobanya (Gerardi, 1994).
Penurunan mikroba dari bak pembibitan ke dalam kolam aerasi I
merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mempercepat proses
degradasi senyawa organik pada limbah. Dengan dilakukannya penurunan
mikroba, diharapkan adanya penambahan jumlah mikroba sehingga akan
25
membantu mikroba yang sudah ada untuk mendegradasi limbah. Metode
penambahan mikroba ini hampir sama dengan metode seeding. Dalam hal
penambahan mikroba yang langsung dari bak pembibitan ke dalam kolam aerasi
ini harus diperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut.
Masa adaptasi yang diperlukan oleh mikroba. Walaupun mikroba SPL-02
memang digunakan untuk pengolahan limbah, akan tetapi tetap saja mikroba
tersebut memerlukan waktu adaptasi pada suatu lingkungan yang baru.
Apabila mikroba tersebut langsung dimasukkan ke dalam kolam aerasi yang
limbahnya memiliki beban pencemar yang cukup tinggi, dikhawatirkan
mikroba-mikroba tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk
beradaptasi sehingga untuk memanfaatkan kemampuannya dalam
mendegradasi limbah akan lebih lama. Untuk mengatasi permasalahan ini,
sebaiknya disediakan terlebih dahulu kolam yang mengandung limbah yang
kadarnya sudah diketahui (dapat diukur salah satunya dengan COD) atau cara
yang lebih mudah adalah dengan menambahkan limbah ke dalam bak
pembibitan dengan konsentrasi tertentu sehingga mikroba sudah terbiasa
dengan keberadaan limbah dan akan mempermudah adaptasinya.
Perbedaan beban pencemar dari limbah yang diproduksi setiap saat akan
membuat mikroba harus terus beradaptasi, tidak hanya untuk mikroba yang
baru diturunkan tetapi juga bagi mikroba yang sudah ada lebih dulu. Ketika
kandungan senyawa organik meningkat secara drastis, dapat menyebabkan
proses bioremediasi dan sistem menjadi tidak stabil (Gerardi, 1994).
Perbedaan beban pencemar ini tergantung dari proses yang berlangsung di
pabrik.
Umur mikroba dan banyaknya mikroba. Umur mikroba sangat penting karena
setiap mikroba memiliki periode aktif yang berbeda-beda. Pada saat mikroba
memasuki fase aktifnya, mikroba tersebut akan memiliki aktivitas yang paling
baik sehingga sebaiknya mikroba diturunkan pada saat mikroba tersebut
memasuki fase aktifnya (biasanya berada pada fase logaritma). Untuk
menentukan fase aktif dari mikroba, perlu dilakukan pembuatan kurva
pertumbuhan (Madigan, 2009).
26
Bak pembibitan merupakan tempat pengembangbiakkan mikroba SPL-02.
Kelebihan dari keberadaan bak pembibitan ini adalah adanya mikroba cadangan
ketika mikroba yang berada di kolam-kolam aerasi mengalami kematian. Akan
tetapi, sebaiknya bak pembibitan tidak dalam kondisi terbuka. Dengan tertutupnya
bak pembibitan diharapkan dapat meminimalisir kontaminasi oleh mikroba lain
yang tidak menutup kemungkinan dapat mengganggu kinerja dari mikroba
pendegradasi limbah, walaupun pada kenyataanya di lingkungan kontaminasi oleh
mikroba lain tidak dapat dihindari. Selain itu, untuk pengolahan selanjutnya,
sebelum dilakukan pembiakan sebaiknya dilakukan sterilisasi pada bak
pembibitan tersebut. Hal ini pun dilakukan untuk meminimalisir kontaminasi.
e. Pengontrolan Limbah
Limbah yang akan masuk ke dalam IPAL sebaiknya dikontrol agar beban
pencemarnya tidak melebihi batas kemampuan dari IPAL itu sendiri. Untuk
menghindari beban pencemar berlebih yang akan diterima oleh sistem
pengolahan, IPAL berusaha meminimalisir lonjakan beban pencemar tersebut
dengan melakukan pengenceran menggunakan air kondensor. Cara ini cukup
efektif untuk dilakukan karena saluran kondensor dengan saluran limbah berat
organik memiliki titik persimpangan (dapat dilihat pada lampiran A). Data hasil
pengukuran terhadap COD (dapat dilihat pada lampiran B) dapat menjadi salah
satu data yang mendukung adanya perubahan beban pencemar yang masuk ke
dalam IPAL.
f. Penambahan Lumpur Aktif
Lumpur aktif (active sludge) merupakan lumpur yang biasanya masih
mengandung mikroba yang masih dapat dimanfaatkan dalam proses bioremediasi.
Di IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang ini pun, dalam waktu tertentu
ketika lumpur pada bak pengendap akhir sudah banyak, lumpur tersebut dialirkan
kembali ke dalam kolam aerasi I. Hal ini dilakukan dengan harapan pada lumpur
tersebut masih terdapat mikroba yang dapat membantu proses bioremediasi. Akan
tetapi, dalam penambahan lumpur aktif ini, perlu diperhatikan umur dari lumpur
aktif karena apabila lumpur tersebut sudah terlalu lama disimpan, tidak menutup
27
kemungkinan mikroba yang terdapat pada lumpur tersebut sudah mati. Selain itu,
umur lumpur yang terlalu lama atau terlalu tua kurang baik apabila digunakan
untuk proses bioremediasi (Gerardi, 1994).
Secara keseluruhan, proses yang berlangsung di IPAL PT. PG. Rajawali II
Unit PG. Subang ini sudah cukup baik karena IPAL ini sudah mampu mengurangi
beban pencemar yang akan diterima lingkungan ( dapat dilihat perbedaan COD
pada bagian input dan output pada lampiran B) dengan memaksimalkan fasilitas
yang ada.
28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Terdapat dua jenis limbah cair pabrik gula, yaitu limbah berat organik dan
limbah kondensor yang kandungan senyawa organiknya rendah. Limbah
berat organik ini lah yang akan diremediasi dengan mikroba SPL-02.
Mikroba SPL-02 merupakan merk dagang dari suatu kultur campuran
yang berasa dari LPP Yogya.
2. Untuk mempercepat proses bioremediasi, di IPAL PT. PG. Rajawali II
Unit PG. Subang dilakukan dua upaya, yaitu
Pemberian nutrisi tambahan (feeding), dan
Penurunan mikroba (seeding).
Upaya tersebut dilakukan secara berkala setiap empat hari sekali agar
diperoleh hasil yang optimal. Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal
dan meminimalisir masalah ketika proses bioremediasi sedang berjalan,
dapat dilakukan beberapa perbaikan, seperti
Pendangkalan kolam aerasi II dan III, serta bak pengendap dan kolam
cadangan.
Penambahan aerator.
Bak pembibitan yang lebih tertutup.
4.2 Saran
Untuk pengolahan limbah cair di musim giling selanjutnya agar diperoleh
hasil yang lebih baik, sebaiknya dilakukan beberapa perbaikan baik dari sarana
dan prasarana, maupun dari kemampuan para pekerja. Di bawah ini merupakan
beberapa saran yang diharapkan dapat membantu IPAL PT. PG. Rajawali II Unit
PG. Subang ini menjadi lebih baik lagi.
Perlu adanya pengembangan pengetahuan mengenai kandungan senyawa-
senyawa yang terdapat pada limbah cair pabrik gula agar dapat ditentukan
jenis mikroba yang akan digunakan dalam proses bioremediasi.
28
29
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai mikroba yang digunakan,
terutama mengenai karakteristik (baik morfologi maupun fisiologi)
mikroba, masa aktif mikroba, kebutuhan nutrisi mikroba, serta kondisi
lingkungan yang baik untuk mikroba agar proses bioremediasi
berlangsung baik dengan hasil yang optimal.
Dilakukan perbaikan terhadap beberapa fasilitas, seperti kolam-kolam
aerasi dan cadangan, bak pengendap, bak pembibitan (untuk
meminimalisir kontaminasi), serta jumlah aerator harus mencukupi.
Diperlukan tenaga ahli yang dapat mengukur parameter-parameter
kelayakan limbah dengan baik agar tidak ada data yang salah yang akan
berakibat kesalahan penanganan di IPAL tersebut.
28
30
DAFTAR PUSTAKA
Adityanto, Batara Nur. 2007. Aktivitas Isolat Bakteri Aerob dari Lumpur Aktif
Pengolahan Limbah Cair dala Mendegradasi Limbah Organik. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Flowerenti, Herti Trian. 2001. Analisis Residu Metidation dengan Metode KCKT
untuk Menentukan Tingkat Bioremediasi Pestisida Organofosfat
Metidation oleh Mikrob Indigenous. Skripsi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Gerardi, Michael H. 1994. Wastewater Biology : The Life Process. Alexandria :
Water Environtment Federation.
Madigan MT. et al. 2009. Brock: Biology of Microorganism 9th
ed. Benjamin
Cumming, San Fransisco.
Syakti, Agung Dhamar. 2005. Multi-Proses Remediasi didalam Penanganan
Tumpahan Minyak (Oil Spill) di Perairan Laut dan Pesisir. Makalah
Seminar Bioremediasi. Fakultas Pertanian-Universitas Mulawarman. 10
Desember 2005.
Vawda, Ahmed. 2008. Sebuah Tinjauan Pengolahan Air Limbah Konvensional
Proses dalam Industri Gula.
http://www.sucropedia.com/?p=entries&a=read&id=E0076. Diakses
Tanggal : 17 Juli 2010.
30
31
LAMPIRAN
Lampiran A. Skema Alur Pengolahan Limbah Cair di IPAL PT. PG.
Rajawali II Unit PG. Subang
sari
ngan
ba
kta
rik
lim
ba
h b
era
t o
rga
nik
pe
ng
en
da
p
aw
al
bak
pem
bib
itan
III
pengendap
akhir
salu
ran
V-N
OTC
H
sa
lura
n V
-NO
TC
H
air
ko
nd
en
so
r
1
234
5p
en
ya
rin
g
lum
pu
r
Te
mb
ok k
elil
ing p
ab
rik
Tembok keliling pabrik
Gudang g
ula
II
Gudang g
ula
I
Bo
ilin
gh
ou
se
co
oli
ng
to
we
r
lim
ba
h r
ing
an
org
an
ik
gu
da
ng
blo
ton
g
St. g
ilin
ga
nP
ow
er
Ho
use
PROSES PRODUKSI
AL
UR
PR
OS
ES
PE
NG
OL
AH
AN
LIM
BA
H C
AIR
PG
. S
UB
AN
G
Kete
rangan:
1 : K
ola
m e
qualis
asi
(28 m
3)
2 : B
ak
cadangan (
1600 m
3)
3 : K
ola
m a
era
si I (
1400 m
3)
4 : K
ola
m a
era
si II (1
060 m
3)
5 : K
ola
m a
era
si III (
75 m
3)
Ko
lam
pe
na
mp
un
g I
Ko
lam
pe
na
mp
un
g I
IK
ola
mpe
na
mpung II
IK
ola
mp
en
am
pu
ng
IV
Ko
lam
pe
na
mp
un
g V
Ko
lam
pe
na
mp
un
g V
I
Lab.
IP
AL
sungai Tarum Timur
31
32
Lampiran B. Data Hasil Pengujian Air Limbah Pabrik Gula di IPAL PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang
a) Hasil Pengujian Air Limbah Industri Gula Bulan Juli-Desember Tahun 2009 Oleh Perum Jasa Tirta
No. Parameter
Standar
Baku
Mutu*)
Hasil Pengujian Bulan
Metode Uji Jul. Agst. Sept. Okt. Nov. Des.
1. TSS (mg/L) 50 6 24 10 10 62 62 APHA 21st Ed.2540.D
2. pH 6,0 – 9,0 6,7 6,72 7,15 6,4 6,96 6,87 SNI 06-6989.11-2004
3. Minyak & Lemak (mg/L) 5 0,010 0,064 0,197 0,032 0,19 0,68 SNI 06-6989.10-2004
4. Sulfida (mg/L) 0,5 0,046 <0,025 <0,025 <0,025 0,034 <0,025 APHA 21st Ed. 4500-S
2-.D
5. BOD5 (mg/L) 60 3,01 2,92 4,11 2,98 2,53 6,23 APHA 21st Ed. 5210.B
6. COD (mg/L) 100 7,32 6,50 9,52 7,17 6,37 16,33 APHA 21st Ed. 5220.C
Keterangan Umum
Tgl. Pengambilan Sampel - 13 11 8 8 12 10
-
Tgl. Penerimaan Sampel - 13 11 8 8 12 10
Tgl. Pengujian Sampel - 13-17 11-18 8-14 8-12 12-16 10-14
Lokasi Pengambilan Sampel - Outlet IPAL
Kondisi Saat Jam - 10.22 10.38 10.26 10.30 10.07 10.10
33
Pengambilan
Sampel
Suhu (0C) - 32 31 32 33 31,7 33,5
Cuaca - Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah
b). Hasil Pengujian Air Limbah Pabrik Gula Bulan Januari-Mei Tahun 2010 Oleh Perum Jasa Tirta
No. Parameter
Standar
Baku
Mutu*)
Hasil Pengujian Bulan
Metode Uji Jan Feb Mar. Apr. Mei
1. TSS (mg/L) 50 18 46 34 38 20 APHA 21st Ed.2540.D
2. pH 6,0 – 9,0 6,8 7,07 6,61 6,8 6,9 SNI 06-6989.11-2004
3. Minyak & Lemak (mg/L) 5 0,48 0,48 0,86 0,09 0,14 SNI 06-6989.10-2004
4. Sulfida (mg/L) 0,5 0,076 <0,025 <0,025 0,034 0,124 APHA 21st Ed. 4500-S
2-.D
5. BOD5 (mg/L) 60 3,02 19,52 3,44 4,61 6,44 APHA 21st Ed. 5210.B
6. COD (mg/L) 100 9,16 54,18 8,87 6,77 16,34 APHA 21st Ed. 5220.C
Keterangan Umum
Tgl. Pengambilan Sampel - 7 4 4 13 10
-
Tgl. Penerimaan Sampel - 7 4 4 13 10
Tgl. Pengujian Sampel - 7-11 4-8 4-8 13-19 10-17
Lokasi Pengambilan Sampel - Outlet IPAL
Kondisi Saat Jam - 10.50 10.48 10.50 10.48 10.20
34
Pengambilan
Sampel
Suhu (0C) - 31 32 33 32 33
Cuaca - Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah
*) Standar baku mutu menurut Kep-51 / MENLH / 10 / 1995
c). Hasil Pengujian Air Limbah Pabrik Gula Bulan Juni Tahun 2010 Oleh Perum Jasa Tirta
No. Parameter
Standar
Baku
Mutu
**)
Hasil Pengujian
Metode Uji
1 2 3 4
1. TSS (mg/L) 50 44 330 1.090 120 APHA 21st Ed.2540.D
2. pH 6,0-9,0 6,85 6,73 6,70 7,04 SNI 06-6989.11-2004
3. Minyak & Lemak (mg/L) 5 4,14 3,42 4,42 3,72 SNI 06-6989.10-2004
4. Sulfida (mg/L) 0,5 0,078 0,070 0,059 0,026 APHA 21st Ed. 4500-S
2-.D
5. BOD5 (mg/L) 60 5,63 661,96 74,89 34,38 APHA 21st Ed. 5210.B
6. COD (mg/L) 100 14,52 1.818,43 202,00 97,17 APHA 21st Ed. 5220.C
Keterangan Umum
Tgl.Pengambilan Sampel - 8 Juni 2010 -
Tgl. Penerimaan Sampel - 8 Juni 2010
35
Tgl. Pengujian Sampel - 8 Juni – 14 Juni 2010
Lokasi Pengambilan Sampel - Limbah
Gabungan
Proses
IPAL
Konden-
sor
Abu
Ketel
Kondisi Saat
Pengambilan
Sampel
Jam - 11.17 11.02 10.55 10.50
Suhu (0C) - 30
Cuaca - Teduh
*) Standar baku mutu menurut Meneg LH No. 05 Tahun 2010
36
d). Hasil Pengukuran COD di Laboratorium IPAL PT. PG. Rajawali II Unit
PG. Subang
Tgl. Sampel
Waktu
Pengambilan
Sampel
Volume FAS
(mL) Normalitas
FAS (N)
COD
(mg/L) Sampel Blanko
10-06-
2010
Bak
pengendap
akhir
Pkl. 09.30 20,70 23,60 0,097465 2.261,188
15-06-
2010 Aerasi I Pkl. 07.35 19,80 23,60 0,097465 2.962,936
19-06-
2010 Aerasi II Pkl. 08.00 17,85 23,60 0,097465 4.483,39
21-06-
2010
Input Pkl. 08.10 20 23,60 0,097465 5.613,984
Aerasi I Pkl. 08.15 16,30 23,60 0,097465 5.691,956
Aerasi III Pkl. 08.20 20,2 23,60 0,097465 2.573
26-06-
2010 Aerasi I Pkl. 07.45 16,85 20,75 0,099206 3.095,227
2-07-
2010
Limbah
abu boiler Pkl. 07.25 21,85 23,00 0,099206 912,695
Kondensat Pkl. 07.30 23,40 23,00 0,099206
Input IPAL Pkl. 07.40 9,45 23,00 0,099206 10.753,930
Output
Aerasi I
Pkl.07.45-
07.55
18,70 23,00 0,099206 3.412,686
Output
Aerasi II 19,20 23,00 0,099206 3.015,8624
Output
Aerasi III 20,05 23,00 0,099206 2341,2616
7-07-
2010 Output Pkl. 08.00 20,15 23,35 0,099206 2.539,6736
8-07-
2010 output Pkl.07.10 20,05 23,35 0,099206 2.619,0384
37
Lampiran C. Hasil Pengamatan Kondisi Penampakan Fisik dari IPAL di PT.
PG. Rajawali II Unit PG. Subang
Waktu
Pengamatan
Hasil Pengamatan
22 Juni 2010 Lumpur dari pengendap akhir dikembalikan ke kolam aerasi I
untuk diproses. Air kolam aerasi II berbau dan berwarna hitam
pekat. Aerasi II tidak maksimal. Dalam pengendap akhir, limbah
bau dan berwarna hitam pekat.
23 Juni 2010 Dilakukan penurunan bibit ke kolam aerasi I (warna limbah coklat
muda berbuih) dan pemberian nutrisi mikroba ke dalam bak
pembibitan. Lumpur dari bak pengendap akhir dibuang ke saluran
buangan kondensat. Kedalaman bak pengendap akhir 7 m.
Kenampakan air limbah hitam.
24 Juni 2010 Kondisi input hingga kolam aerasi I tidak ada masalah. Namun,
dari kolam aerasi II, warna limbah sangat berbeda dengan kolam
aerasi I yaitu warna hitam pekat berbau. Hal tersebut
mengakibatkan bak pengendap akhir dan saluran buangan akhir
tidak bagus kualitas effluennya. Kemungkinan terjadi kejanggalan
di aearai II. Sampai di kolam pengendap akhir ternyata tidak ada
lumpur aktif yang terdendapkan di dasar kolam.
25 Juni 2010 Off
26 Juni 2010 Pengukuran COD aerasi I
28 Juni 2010 Limbah organik berat dialirkan ke saluran kondensor disebabkan
IPAL sedang bermasalah di kolam aerasi II dan kolam
selanjutnya. Kolam aerasi I agak bau berwarna coklat muda
berbuih putih lembut. Aerasi II berwarna hitam pekat dan bau. Hal
ini dimungkinkan kurangnya suplai oksigen dari aerator.
30 Juni 2010 Input on dengan kondisi limbah cair yang masuk IPAL berwarna
agak bening kehijauan tidak terlalu bau tapi tercium asam.
Kondisi aerasi I banyak buih berwarna putih kecoklatan, warna
limbah coklat. Sebagian buih ikut terbawa ke kolam aerasi II.
38
Aerasi II tetap berwarna hitam buih juga hitam. Bak pengendap
akhir dikuras.
1 Juli 2010 Limbah di bak penerima IPAL berwarna hijau bening panas.
Terdapat buih-buih coklat agak putih lembut menutupi permukaan
kolam. Limbah berwarna coklat muda, buih tidak mudah pecah.
Di aerasi II dilakukan pengapuran untuk menaikkan pH. Warna
limbah hitam pekat kental beserta buihnya. Pengurasan bak
pengendap akhir masih dilakukan.
2 Juli 2010 Limbah berat organik input IPAL dialirkan ke saluran buang
kondensat. Kondisi limbah sama seperti kondisi 1 Juli.
7 Juli 2010 Pintu air limbah berat ditutup. Air injeksi disalurkan ke saluran
buang kondensat. Terjadi pengenceran air injeksi dengan air
limbah yang akan masuk ke bak penerima. Kolam aerasi II, III,
bak pengendap akhir diberi penambahan kapur.