bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id 1.pdfbab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai pulau.
Dimana di setiap pulau terdapat daerah yang diberikan kewenangan otonomi
daerah berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Pasal 18 ayat (1)
menyatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah -
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan kota yang tiap-
tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu, mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan Undang – Undang”. Di dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa, “Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan
Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan”.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah sebagaimana diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Pemda)
menyatakan bahwa :
1
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip ototnomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Akan tetapi, meskipun Pemerintah Daerah dapat menjalankan
pemerintahannya dengan prinsip otonomi seluas-luasnya terdapat beberapa urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan sebagai urusan
pemerintah pusat. Berdasarkan UU Pemda dijelaskan bahwa pemerintah daerah
memiliki urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Di dalam
Pasal 12 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “ Urusan Pemerintahan Wajib
yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) meliputi :
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;
e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan
f. Sosial.
Selanjutnya di dalam Pasal 13 ayat (4) UU Pemdadijelaskan bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/ kota adalah :
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya
dalam daerah kabupaten/kota;
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah untuk mewujudkan salah satu
urusan pemerintahanyaitu menciptakan ketentraman, ketertiban umum, dan
perlindungan masyarakat maka sangat diperlukannya dibentuk suatu instansi
untuk membantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah. Oleh karena
itu di dalam Pasal 255 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “Satuan polisi
pamong praja dibentuk untuk menegakan Perda dan Perkada, menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman serta menyelenggarakan perlindungan
masyarakat”. Jika sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 148 ayat (1) menyatakan bahwa “ Untuk
membantu kepala daerah dalam menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja”, disini
terdapat beberapa perbedaan dalam hal tujuan dibentuknya Satuan Polisi Pamong
Praja. Di lihat dari Undang-Undang 32 Tahun 2004 bahwa Satuan Polisi Pamong
Prajadibentuk untuk menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat saja, namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tujuan dibentuknya Satpol PP pun bertambah yaitu untuk menegakan Perda
dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman serta
menyelenggarakan perlindungan masyarakat.
Dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja yang untuk selanjutnya
disingkat menjadi “Satpol PP” memiliki tugas untuk membantu kepala daerah
agar dapat mewujudkan ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan
masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan daerah yang aman, tertib dan
teratur sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan
dengan lancar serta menimbulkan rasa aman di dalam masyarakat. Berdasarkan
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP
menyatakan bahwa Satpol PP berwenang melakukan :
a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran
atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
b. Menindak warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
c. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan
masyarakat;
d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau peraturan kepala daerah.
Kabupaten Badung merupakan satu dari delapan Kabupaten yang ada di
Bali, dimana perkembangan Kabupaten Badung sendiri telah mengalami
kemajuan yang sangat signifikan baik dalam hal pembangunan infrastruktur
maupun pertumbuhan penduduk. Dalam hal laju pertumbuhan penduduk yang
terjadi di Kabupaten Badung memiliki dampak tersendiri, terutama untuk tetap
menjaga ketentraman, ketertiban umum, dan menjamin adanya perlindungan
terhadap masyarakat. Salah satu faktor laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten
Badung sebagai pusat pariwisata di Bali yaitu aktifitas emigrasi dan
imigrasi.Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan
pertumbuhan luas pemukiman menimbulkan suatu permasalahan lainnya yakni
adanya bangunan liar yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) untuk
dijadikan tempat tinggal atau usaha oleh masyarakat setempat. Dalam hal ini
peranan Satpol PP sangat diperlukan untuk membantu kepala daerah agar dapat
menertibkan bangunan liar yang tidak memiliki IMB. Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Badung dalam Pasal 4 huruf e
menyebutkan bahwa Satpol PP merupakan lembaga teknis daerah.
Satpol PP sendiri memiliki peranan yang sangat penting dalam hal
penegakan peraturan daerah. Seperti contohnya, jika terdapat pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi dikarenakan bertentangan dengan peraturan daerah maka
dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran
di bidang hukum administrasi yaitu berupa sanksi paksaan pemerintah.Pasal 238
ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “ Perda dapat memuat ketentuan tentang
pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau
sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Di
dalam Pasal 238 ayat (1) UU Pemda sanksi paksaan pemerintah disebut juga
dengan istilah paksaan penegakan atau pelaksanaan Perda dimana kedua istilah ini
memiliki makna yang sama. Sanksi paksaan penegakan atau pelaksanaan Perda
merupakan sanksi administrasi yang diterapkan oleh Pemerintah yang bertujuan
untuk mengurangi atau menindak lanjuti tindakan masyarakat yang melakukan
pelanggaran terhadap norma hukum administrasi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “PERANAN SATUAN POLISI PAMONG
PRAJA DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH BIDANG
PERIZINAN BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan Satuan Polisi Pamong
Praja dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin
bangunan di Kabupaten Badung ?
2. Apakah faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum
Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari dan membatasi supaya jangan sampai suatu
pembahasan keluar dari pokok permasalahannya, terlebih dahulu perlu ditetapkan
mengenai batasan-batasannya. Adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan Satuan Polisi Pamong
Praja dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin
bangunan di Kabupaten Badung.
2. Kemudian pokok permasalahan yang kedua akan membahas mengenai
faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum Peraturan
Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.
1.4 Tujuan Penelitian
Agar penulisan ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus
memiliki tujuan sehingga dapat mencapai target yang dikehendaki. Tujuan dari
penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan
tersebut antara lain :
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan
Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan peraturan daerah di
bidang perizinan bangunan di Kabupaten Badung.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan
Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan hukum Peraturan
Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.
2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi kendala dalam penegakan
hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten
Badung.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis.
Untuk memPerdalam bidang ilmu hukum, khususnya Hukum
Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini mengenai peranan Satuan Polisi
Pamong Praja dalam penegakan Peraturan Daerah bidang perizinan
bangunan di Kabupaten Badung.
b. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kotribusi atau masukan
terhadap kinerja Satuan Polisi Pamong Praja sebagai institusi atau
perangkat pemerintahan daerah dalam menindak pelanggaran Peraturan
Daerah di Kabupaten Badung sehingga dapat mewujudkan supremasi
hukum dengan menegakan Peraturan Daerah tersebut.
1.6 Landasan Teoritis
Dalam upaya pemahaman permasalahan yang berhubungan dengan
penelitian, maka terlebih dahulu perlu dideskripsikan teori-teori, konsep-konsep
ataupun asas-asas hukum yang relevan . Dengan adanya teori-teori yang
menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk
menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.
a. Negara Hukum
Dalam rangka memberikan makna-makna dan hakekat negara
hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
NRITahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.
Indonesia sebagai negara hukum menunjukan bahwa setiap tindakan
penguasa maupun rakyatnya harus berdasarkan hukum dan sekaligus
dicantumkan tujuan negara, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyatnya.
Selain itu rumusan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
merupakan perumusan yang tegas tentang konsep negara hukum yang
memiliki arti hukum adalah panglima dalam suatu negara.
Gagasan negara hukum masih bersifat samar-samar dan tenggelam
dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara
lebih eksplisit pada abad ke-19 yaitu dengan munculnya konsep
rechtstaat yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant yang
dikemukakan oleh Freidrich Julius Stahl. Menurut Sthal, unsur-unsur
negara hukum (rechtstaat) adalah sebagai berikut :
a. Pengakuan adanya hak asasi manusia
b. Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan1
Negara Indonesia juga disebut sebagai negara hukum (rechtsstaat),
bukan negara kekuasaan (matchtsstaat), dan pemerintahan berdasarkan
atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas). Asas negara hukum atau asas the rule of law,
berarti dalam penyelenggaraan negara, tindakan-tindakan penguasanya
1 Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta,
h.3.
harus didasarkan hukum, bukan didasarkan kekuasaan atau kemauan
penguasanya belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan
penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya, yaitu
perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakatnya
dari tindakan sewenang-wenang.2
Supomo dalam bukunya Undang-Undang Sementara Republik
Indonesia, telah mengartikan istilah negara hukum sebagai berikut
“... bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum
artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum
berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara.”3
Pada wilayah Anglosakson, muncul pula konsep negara hukum
(rule of law) dari A.V.Dicey dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Supremasi hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitary power),
dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum;
b. Kedudukan yang sama dalam hukum ( equality before the law).
Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat;
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara
lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan
pengadilan.4
2Joeniarto, 1968, Negara Hukum, YBP Gajah Mada, Yogyakarta, h.53. 3Soepomo, UUD RI, Noordhof, Jakarta, h.21. 4Ridwan HR, loc.cit.
Selanjutnya Muhammad Yaminmenyatakan “Republik Indonesia
ialah suatu negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat
keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara
militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan,
bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata
dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”.5
Negara Indonesia sebagai negara hukum, mengakui bahwa
kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat bukanlah tanggungjawab lembaga hukum semata-mata,
melainkan tanggungjawab kelembagaan dan kepemimpinan atas nama
kedaulatan rakyat. Hal itu merupakan tanggung jawab semua warga
negara yang artinya oleh dan untuk rakyat Indonesia sebagai manusia
Indonesia, sebagaimana ditetapkan oleh filsafat negara Pancasila dan
UUD NRI 1945. Wujud tanggung jawab rakyat sebagai warga negara
menegakkan keadilan itu ialah kualitas kesadaran hukum masyarakat
yang nampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.
Pengertian Negara Hukum dalam konteks Negara Hukum
Indonesia dapat dilihat dari sudut pandang asas religiusitas, asas
kolektifitas dan asas pengayoman. Asas religiusitas nampak bahwa
negara Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian
bermasyarakat”dari status “naturalis”ke status “civil” dengan
perlindungan terhadap “civil right”, melainkan atas berkat rahmat
5Yamin Mohamad, 1952, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan,
Jakarta, h.75.
Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan luhur untuk berkehidupan
kebangsaan yang bebas. Konstruksi tersebut merupakan cerminan
luhur asas kolektifitas yang melahirkan kesepakatan satu tujuan untuk
berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti “merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur” dan pembinaan akhlak luhur berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun tujuan hukum berdasarkan cita
hukum Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman kepada
manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan
mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif)
dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dimana
memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar
sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas
dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya
secara utuh.6
b. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcment,
bahasa Belanda rechtshandhaving.7Penegakan hukum merupakan
bentuk nyata dalam melaksanakan hukum demi mewujudkan keadilan
dan kepastian hukum yang dilaksanakan oleh struktur hukum yakni
aparat penegak hukum terhadap materi atau substansi hukum itu
sendiri bagi para pelanggar hukum.Penegakan hukum adalah suatu
6Kusumaatmadja Mochtar, 1970, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Pajajaran, Jilid III, h. 1. 7AndiHamzah, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, h.48.
proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-
pikiran badan pembuat undang-undang yang di rumusukan dalam
peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.8
Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup
kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik
melalui prosedur peradilan maupun melalui abitrase dan mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya (Alternative despute or conflicts
resolution).9 Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus
diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum
itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum
tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Pada hahikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau
kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan
hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang
sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap
orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik
8Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, h.24. 9Jimly Asshidiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, h.22.
pemerintahlah yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :10
1. Ditinjau dari sudut subyeknya
Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti
sempit, penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dam
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana
seharusnya.
2. Ditinjau dari sudut obyeknya
Dalam arti luas, penegakan hukum yang mencakup pada nilai-
nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan
formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam
bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis.
c. Teori Peraturan Perundang-Undangan
Istilahperundang-undangan(legislation,wetgeving,
atauGetsetzgebung) dalambeberapakepustakaanmempunyaiduapengertian
yang berbeda.Dalamkamusumum yang berlaku, istilah legislation
dapatdiartikandenganperundang-undangandanpembuatanundang-
10Dellyana Shant, 1998, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, h.32.
undang.11PengertianwetgevingdalamJuridischwoordenboekdiartikansebaga
iberikut :
1. Perundang-undanganmerupakan proses pembentukanatau
proses membentukperaturannegara, baik di
tingkatpusatmaupun di tingkatdaerah.
2. Perundang-undanganadalahsegalaperaturannegara, yang
merupakanhasilpembentukanperaturan, baik di
tingkatpusatmaupuntingkatdaerah.12
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan
lingkungannya. Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai akhir ‘regressus’ ini berhenti pada suatu
norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm)
yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau darimana
asalnya.13
Norma dasar yang merupakan norma tertingi dalam suatu sistem
norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi
11John M.EcholsdanHasan Shadily, 1987, KamusInggris-Indonesia, cet. XV,
pt.Gramedia, Jakarta, h.353. 12S.J FockemaAndreae, 1948, Rechtsgeleerdhandwoordenboek, J.B. Wolters, Groningen/
Batavia. 13Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu PerUndang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, h.21.
lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat
sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma
yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan
presupposed.
d. Teori Otonomi Daerah
Di Indonesia otonomi selain mengandung arti “perundangan”
(regelling), juga mengandung arti “pemerintah” (bestuur). Oleh
karena itu, dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak
langsung membahas pula mengenai otonomi.14 Hal ini dikarenakan
kedual hal tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan,
apalagi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengingat kondisi geografis, sistem politik, hukum, sosial dan
budaya, sangat beraneka ragam dan bercorak, di sisi lain NKRI yang
meliputi daerah-daerah kepulauan dan wilayah negara yang sangat
luas. Oleh sebab itu, hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang
dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan
kebijakan otonomi sehingga setiap daerah akan lebih mampu dan
mandiri untuk memberikan pelayanan dan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat di daerah.15
Amrah Muslimin melihat bahwa dalam melakukan pemerintahan
secara luas, pemerintahan (dalam arti luas) berpegang pada dua
macam asas, yaitu asas keaslian dan asas kedaerahan. Asas
14Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, h.22. 15Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, h.6.
kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan , yaitu
dekosentrasi dan desentralisasi.16
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu,
penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian
hubungan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Yang
dimana artinya mampu membangun kerja sama antardaerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan
antardaerah. 17
Didalam sistem pemerintahan daerah berdasarkan UUD 1945
berikut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sendi-sendi atau
asas desentralisasi dan otonomi selalu menjadi dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, meskipun dalam lingkup
substansi dan perwujudannya masih terlihat sedang mencari bentuk
serta mengalami berbagai perkembangan.
e. Teori Kewenangan
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus
berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan
otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk
16Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h.4. 17Siswanto Sunarno, op.cit. h.8.
mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen),
sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal
berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib
ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.18
Wewenang sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam negara. Tanpa adanya
wewenang pemerintah tidak akan bisa melaksanakan kekuasaannya
tersebut. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu
atribusi, delegasi dan mandat.19
1.7 Metode Penelitian
Penelitian dalam bahasa Inggris disebut research, adalah suatu aktivitas
“pencarian kembali” pada kebenaran (truth).20 Pencarian kebenaran yang
dimaksud adalah upaya-upaya manusia untuk memahami dunia dengan segala
rahasia yang terkandung di dalamnya untuk mendapatan solusi atau jalan keluar
dari setiap masalah yang dihadapinya. Selain itu yang dimaksud dengan
pencarian adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena
hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.
Dengan kata lain, penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat
bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak
18Ridwan HR, op.cit, h.99. 19Ibid, h.104. 20Sutandyo Wigyosubroto, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya,
Huma, h.139.
yang tidak kita ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu
tetaplah bukan kebenaran mutlak.21
Soerjono Soekanto menjelaskan penelitian hukum adalah suatu penelitian
ilmiah yang mempelajari suatu gejala hukum tertentu dengan menganalisisnya
atau melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dari
gejala yang bersangkutan.22 Adapun metode penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam membahas masalah ini
adalah berupa penelitian yuridis sosiologis atau sering disebut
penelitian hukum yang sosiologis berdasarkan madzhab sociological
jurisprudenceyaitu penelitian yang berbasis pada ilmu hukum
normatif (peraturan perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai
sistem norma dalam aturan perundangan, namun mengamati
bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu
bekerja di dalam masyarakat.23
21Amiruddin, H.Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.19. 22Soerjono Soekanto dalam Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, h.38. 23Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 47.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini mengunakan penelitian deskriptif yang penelitiannya
secara umum yang menggunakan pendekatan kualitatif yang
mempelajari masalah-masalah yang ada serta tata cara kerja yang
berlaku. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk
mendiskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat
upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan mengintrepetasikan
kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain
penelitiandeskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh
informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.24
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang bersumber dari penelitian
lapangan yaitu baik dari responden maupun informan, sedangkan data
sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan. Bahan hukum tersebut yaitu :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yag bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas yang merupakan hasil dari tindakan
atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
iut.
24Mardalis, 1999, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta,
h.26
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.
3. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat
menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder.
Adapun bahan – bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
penelitian ini adalah :
a. Bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah :
a) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan
Polisi Pamong Praja.
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini
adalah:
a) Berupa literatur – literatur yang memuat mengenai pandangan
dari beberapa ahli yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti;
b) Jurnal – jurnal;
c) Bahan – bahan internet yang relevan dengan masalah yang
diteliti.
c. Adapun bahan hukum tersier yang digunakan adalah :
a) Kamus Hukum
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia
c) Ensiklopedia Hukum
1.7.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum yuridis sosiologis dikenal dengan teknik –
teknik untuk mengumpulkan data dan bahan hukum, yaitu studi
dokumen, wawancara, observasi dan penyebaran quisoner/angket.
Adapun teknik pengumpulan data dan bahan hukum yang digunakan
adalah :
a. Teknik studi dokumen
Teknik ini dilakukan melalui bahan-bahan tertulis yang ada di
instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini khusunya Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung.
b. Teknik wawancara (interview)
Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling
lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan
ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada
seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan
dengan permasalahan-permasalahan penelitian kepada responden.
c. Teknik observasi/pengamatan
Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik
observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung
dimana dalam pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan
secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang
diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang
khusus diadakan.
1.7.4 Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
dan kualitatif. Analisis data kualitatif adalah data yang dikumpulkan
naturalistik yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi
angka-angka, data sukar diukur dengan angka, hubungan antara
variabel tidak jelas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman
wawancara dan observasi serta kuisioner atau mengembangkan data
tersebut dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Sedang pola pikir secara
kualitatif artinya hanya mengecek dan melaporkan apa yang ada
ditempat peneliti yang diselenggarakan penelitian.