bab i pendahuluan 1.1 latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka memasuki milenium ketiga, gereja mengambil peran dalam
merumuskan mandat dan komitmen gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja Indonesia
(PGI) tentang lingkungan hidup sebagai isu sentral tugas gereja dan teologi masa kini.
Peran yang dilakukan oleh gereja merupakan suatu loncatan berpikir tentang sejarah
masa depan melalui ciri globalisasi, informasi komunikasi, lingkungan hidup dan pasar
bebas. Visi tentang alam secara alkitabiah perlu mendapat perenungan kembali agar dapat
memperoleh suatu interpretasi baru tentang pandangan dan sikap dasar terhadap alam
atau lingkungan dengan sejumlah pertanyaan mendasar: Mengapa pohon dan hutan
begitu penting dan membutuhkan perlindungan?, Mengapa air bersih menjadi ukuran
bagi tingkat kesejahteraan manusia?, Mengapa tanah begitu berarti dalam kehidupan
manusia? Beberapa fenomena-fenomena ini menjadi dasar keterpanggilan gereja untuk
turut menggumulinya sebagai mata rantai ekologis yang utuh. Dalam pandangan
ekologis, setiap makhluk hidup tergantung secara simbiosis atau berada dalam satu rantai
kehidupan dengan makhluk lain yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, dalam gerakan
oikumene disebutkan bahwa gereja yang tidak peka dan tidak peduli dengan lingkungan
hidup adalah gereja yang lalai dan kesaksiannya tentang dunia tak lagi mendasar,
kehilangan visi tentang hubungannya dengan alam sebagai ciptaan Allah.1
1 Karel Phil Erari, Tanah Kita Hidup Kita. Kajian Eco-Teologis Perspektif Melanesia, (Jakarta: PT Pustaka
Sinar Harapan, 1999), h.79-80
@UKDW
2
Selain itu, dalam konteks tujuan pembangunan bangsa Indonesia seperti yang
terungkap dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk
mewujudkan tujuan nasional tersebut diselenggarakan pembangunan nasional secara
berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, dan berkesinambungan ke seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga dengan wilayah tanah Papua yang
mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang dimekarkan berdasarkan UU
No. 45 tahun 2007 tanggal 18 April 2007.2
Sejalan dengan percepatan pembangunan nasional di semua sektor kehidupan,
hutan dan air menjadi kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam proses pembangunan.
Namun, dalam konteks pembangunan nasional di tanah Papua, tanah merupakan salah
satu sumber daya alam yang semakin fenomenal dan semakin menjadi krisis kepemilikan
oleh pemilik hak ulayatnya. Di semua sektor, dilakukan pembangunan, baik kantor
pemerintah, kantor swasta, pusat–pusat pengembangan perekonomian termasuk
pemukiman masyarakat, dengan tujuan untuk kesejahteraan hidup masyarakat, namun
telah mengeksploitasi secara berlebihan tanah dan segala isinya demi keberagaman
persatuan dan kesatuan. Fakta saat ini menunjukkan bahwa ijin pembangunan yang
dilakukan tidak diikuti dengan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang baik,
sehingga terjadi kerusakkan lingkungan seperti banjir, erosi, kurangnya kadar air akibat
hutan yang dibabat habis dan gunung diratakan.
2 http://wikipedia.org/wiki/papua-barat, diunduh tanggal 20 Januari 2014
@UKDW
3
Persoalan lingkungan hidup dan bencana alam menjadi ancaman masyarakat
dunia dan menambah daftar panjang persoalan kemiskinan. Perubahan iklim global
bukanlah persoalan alamiah semata tetapi lebih karena perilaku manusia yang tidak
menghargai alam dan menempatkan alam sebagai bagian dalam kehidupannya. Hal ini
nampak dari perilaku mengolah alam dengan cara-cara yang tidak tepat bahkan merusak
alam. Perilaku ini mencerminkan banyak permasalahan antara lain: iklim yang berubah,
kelangkaan dan penurunan kualitas air bersih, bencana kekeringan, banjir, tingkat
pencemaran industri yang tinggi, kerawanan pangan, hingga persoalan keanekaragaman
hayati yang mulai terancam karena krisis global.3
Tanah menjadi inti dan titik sentral pusat ekologi dan basis dari satu kesatuan
ekosistem yang mengatur hubungan antara manusia dan semua makhluk hidup di alam.
Tanah adalah sumber segala kehidupan di bumi. Di atas tanah, di dalam tanah, dan jauh
dalam perut bumi tersimpan sumber mineral, deposit, dan kandungan bumi lainnya yang
dibutuhkan oleh manusia. Dalam hubungan dengan hakikat tanah sebagai sumber daya
alam, maka gereja menghadapi kenyataan tentang rakyat yang tergeser dari tanah
miliknya. Lebih mengerikan, bila rakyat tersingkir dan terpaksa masuk dalam satu
ekosistem baru yang belum tentu menjamin kesinambungan hidupnya.4 Misalnya, dalam
kasus pengalihan perkebunan rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit, telah mengurangi
bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi masyarakat adat, di mana masyarakat
kehilangan binatang buruannya sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api,
rusaknya ekosistem lokal. Hilangnya ekologi sagu sebagai sumber karbohidrat bagi
3 Arianti Ina R. Hunga, Ekofeminisme, Krisis Ekologi dan Pembangunan Berkelanjutan, dalam Dewi
Candraningrum (edt), Ekofeminisme Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan Budaya, (Salatiga:
Pusat Penelitian dan Studi Gender UKSW, 2013), h.ix. 4 Karel Phil Erari, Yubelim dan Pembebasan Menuju Papua Baru. (Jakarta: Aksara Karuni, 2006), h.87
@UKDW
4
kehidupan suku Moi di Katapop Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat. Fakta lain
terjadi pada kasus HPH di sorong, Merauke Serui dan Jayapura. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Kasus Freeport misalnya;
limbah tailing telah mencemari sumber-sumber ekonomi masyarakat Komoro Sempan di
Onawipa. Di Manokwari wilayah hutan berganti dengan areal perkebunan kelapa sawit
yang menyebabkan kerusakan tanah dan kehilangan ekosistem diatas tanah tersebut.
Dengan Pertambahan Penduduk di Manokwari, Daerah resapan air menjadi areal
pemukiman tanpa analisa dampak lingkungan mengakibatkan sering terjadi banjir dan
semakin menipisnya debit air.
Tanah dipahami dan diklasifikasikan oleh kebanyakan masyarakat adat sebagai
tanah itu sendiri beserta dusun sagu, sungai maupun hutan kayu yang berada di atasnya.
Tanah dalam kaitannya dengan kepentingan hidup tidak selalu dipersepsikan dengan
pandangan ekonomi saja, tetapi juga senantiasa dikaitkan dengan beberapa aspek seperti
budaya, religi, dan politik. Persepsi pandangan tanah di atas dapat diuraikan sebagai
berikut. Pertama, secara ekonomis: tanah dan tumbuhan yang ada di atasnya adalah
media yang menyediakan segenap kebutuhan dan keperluan hidupnya, mulai dari
makanan, minuman, obat-obatan, kayu bakar maupun bahan untuk membuat rumah.
Kedua, secara budaya: tanah dipersepsikan sebagai “mama”, yakni pihak yang
melahirkan dan membesarkan; oleh karenanya adalah “sah” bila sang mama menjamin
kehidupan seluruh anak-anaknya dengan kesuburan dan kelimpahan kekayaan alam Di
sisi lain sang anak dituntut untuk senantiasa memperhatikan kondisi sang ”mama” tetap
sempurna melakukan kewajibannya dan memberi hasil, yakni dengan cara menjaga
norma-norma dan melakukan serangkaian seremonial, guna mengharapkan agar sang
@UKDW
5
mama senantiasa memberikan kelimpahan kesuburan terhadap seluruh anak-anak
cucunya. Ketiga, secara religius: tanah senantiasa diasosiasikan dan atau dikaitkan
dengan para leluhur, roh-roh nenek moyangnnya, bahkan keyakinan itu diwujudkan
bahwa kehidupan berasal dari tanah atau tanah adalah warisan yang diberikan leluhur
dalam menjalankan kehidupannnya. Dalam pandangan demikian, maka tanah mendapat
penghargaan yang tinggi, karena menghargai tanah mempunyai makna sebagai bagian
dari penghargaan terhadap para leluhur dan nenek moyangnnya. Keempat, secara politis:
tanah merupakan bagian dari kedaulatan masyarakat. Eksistensi politis masyarakat diukur
dari apakah ia mempunyai kawasan bagi kelompok-kelompok masyarakatnya dan
seberapa besar tanah itu mampu mengakomodir segenap kepentingan kehidupan
masyarakat tersebut. Tanah tersebut memberikan kemungkinan padanya untuk
melaksanakan hubungan dan relasi sosial dengan masyarakat lainnya.5
Fenomena-fenomena inilah yang mengakibatkan konflik dalam masyarakat baik
yang laten maupun manifest; laten yaitu masyarakat menjadi tidak simpati terhadap
pemerintahan yang ada dan tidak turut andil dalam proses pembangunan yang ada karena
melihat kondisi yang ada, sedangkan konflik yang manifest adalah munculnya
perlawanan-perlawanan masyarakat terhadap pemerintah/pengusaha baik lewat peradilan
maupun lewat cara palang (reklaiming) atas aset-aset tanahnya yang dikuasai oleh
mereka guna menuntut ganti rugi. Dalam situasi tersebut, pola pemikiran masyarakat
Papua yang sangat patriakhi, perempuan hanya dapat menatap tanpa bisa berbuat apa –
apa. Di satu sisi perempuan memikirkan masa depan generasi yang dilahirkannya, tetapi
5 F.W. Dillistone, The Power Of Simbol: Daya Kekuatan Simbol, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h.52-54.
bnd Karel Phil Erari, Tanah Kita Hidup Kita. Kajian Eco-Teologis Perspektif Melanesia…, h.80-82
@UKDW
6
di sisi lain mereka tertekan karena tidak bisa bersuara untuk mengambil keputusan atas
tanahnya sendiri.
Setiap komunitas sudah tentu memiliki pengalaman dan fenomena-fenomana yang
sangat unik dan alamiah, dalam mengeksplorasi kekayaan alamnya sebagai sumberdaya
biologis dan untuk melestarikannya guna kebertahanan kelangsungan hidup generasinya.
Fenomena-fenomena inilah yang juga ditemui dalam masyarakat suku Meakh-Arfak
Papua. Suku Meakh merupakan bagian dari komunitas suku besar Arfak yang ada di
tanah Papua, tepatnya kepala burung Pulau Papua yang disebut Doberai.6 Suku Meakh
merupakan salah satu sub suku dari suku besar Arfak yang mendiami Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat. Secara topografi mereka bermukim di dataran dan
pinggiran bukit wilayah Pergunungan Arfak, yang dialiri sungai besar Wariori.
Demikianlah mereka disebut orang Meakh dari kata “me” air dan “akh” tinggal, yang
berarti tinggal dekat air.7
Secara tradisonal, suku Meakh memiliki relasi dengan alam yang begitu kuat, yakni
meyakini bahwa kehadiran atau kelahiran mereka ke dunia (alam) berasal dari benda-
benda alam seperti batu dan anjing yang berwujud manusia Meakh sejati dan jika
meninggal akan berproses atau bermetamofosis seperti tumbuhan yang akan kembali ke
6 Wilayah Papua di bagi menjadi 7 wilayah budaya, yaitu : (1) Budaya Tabi, di daerah Jayapura, (2)
Budaya Saireri, di daerah teluk Cenderawasih, (3) Budaya Lany Paqo, di daerah pegunungan Wamena
dan sekitarnya, (4) Budaya Mee Paqo, di daerah Paniai, (5) Budaya Anim-ha, di daerah Merauke, (6)
Budaya Doberay, di daerah kepala burung, dan (7) Budaya Bomberay di daerah Fak – Fak dan Kaimana.
Pembagian wilayah ini berdasarkan kesamaan budaya. Misalnya, budaya koteka dan honai untuk daerah
Lany Paqo dan Mee Pago. Budaya pantai, rumah panggung dan perahu untuk daerah Saireri. Budaya
kain timur untuk wilayah budaya Doberay. (Karel Phil Erari, Tanah kita…., h.17; bnd Wawancara
dengan Dr.Hugo Warami, M.Hum (Staf Pengajar pada Universitas Negri Papua)). 7 Wawancara dengan DM, 2 Maret 2014.
Wawancara dengan NM, 12 Maret 2014
Wawancara dengan HI, 15 April 2014
@UKDW
7
alam juga.8 Untuk itu, perempuan Meakh dalam menjalani proses melahirkan selalu
berhubungan dengan tanah (alam). Pandangan suku Meakh tradisional di atas, sejalan
dengan pandangan umum sebagian besar suku-suku di Papua bahwa tanah (alam)
merupakan pusat dari segala unsur kehidupan dalam alam ini. Bagitu pentingnya tanah,
maka adalah sangat sulit untuk dibayangkan bagaimana manusia itu dapat hidup tanpa
memiliki tanah. Karena tanah, maka suatu bangsa akan terus berjuang dengan segala
akibatnya, kendati itu harus dibayar dengan darah dan air mata.9
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian “Relasi Perempuan dan Tanah pada Suku Meakh-Arfak”, dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1) Apa makna tanah bagi suku Meakh – Arfak?
2) Bagaimanakah relasi antara perempuan Meakh dan tanah?
3) Apa dampak bagi kehidupan masyarakat suku Meakh dan secara khusus
perempuan Meakh ketika tanah habis terjual.
4) Dapatkah perspektif teologi ekofeminis diupayakan ke dalam makna hubungan
tanah dan perempuan Meakh?
8 Mesak Mandacan dkk, Mahteyi Jeska Mefmen Meimowa : Folktakles From Our Ancestors, (Jayapura:
Universitas Cenderawasih dan Summer Institute of Linguistics, 1991), h. 57-98 9 Karel Phil Erari, Tanah Kita Hidup Kita. Kajian Eco-Teologis Perspektif Melanesia,…h. 19 & 24.
@UKDW
8
1.3 Judul Tesis
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dengan fokus penelitian “Relasi Perempuan dan
Tanah pada suku Meakh - Arfak”, maka tesis ini diberi judul “Perempuan Meakh Dan
Tanah” (Suatu Kajian Teologi Ekofeminis Terhadap Relasi Tanah Dan Perempuan
Pada Suku Meakh Arfak di Papua).
1.4 Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, cakupan masalah dapat dibatasi pada beberapa aspek yang
terkait dengan relasi perempuan dan tanah pada suku Meakh-Arfak saja, mengingat
cakupan relasi dengan sub suku Arfak lainnya yang begitu luas, sehingga penulis
membatasi permasalah dalam konteks suku Meakh – Arfak di Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang diharapkan dapat menjelaskan
hakikat dari penelitian relasi perempuan Meakh dan tanah pada suku Meakh-Arfak.
Tujuan dan manfaat penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
1.5.1 Tujuan Penelitian
Dalam perspektif teologis ekofeminis, penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap relasi perempuan Meakh dan tanah yang mampu menjelaskan masalah–
masalah yang terjadi dalam suku Meakh ketika tanah tidak lagi dipandang dan
diperhatikan dengan aspek teologi ekofeminis yang perlu hati dan kasih, seperti
seorang ibu kepada anaknya, yang dapat dikatakan bagaimana mungkin seorang anak
menjual ibunya hanya untuk makan dan minum?
@UKDW
9
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu teologis di
bidang teologi, ekologi dan feminisme khususnya, serta memperjelas pemahaman
mengenai pemaknaan dan relasi antara perempuan Meakh dan tanah bagi suku
Meakh – Arfak dalam konteks pembangunan masa kini, serta untuk memenuhi syarat
dalam memperoleh gelar Magister Sains Teologi (M.Si. Teol,) atau sama dengan
Master Of Arts in Practical Theology (M.A.P.T) pada program Pascasarjana
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Selain itu, tujuan khusus dari penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis apa makna tanah bagi suku Meakh - Arfak
Provinsi Papua Barat,
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana relasi perempuan Meakh dan
tanah,
3. Untuk mengetahui dampak yang terjadi bagi suku Meakh – Arfak, secara khusus
perempuan Meakh – Arfak, ketika tanah habis terjual.
4. Untuk mengetahui apakah perspektif teologi ekofeminis dapat diupayakan untuk
memberi makna pada hubungan tanah dan perempuan Meakh.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis dari
kajian teologi ekofeminis tentang relasi tanah dan perempuan pada suku Meakh-
Arfak. Manfaat teoritis yang dimaksudkan dari penelitian ini adalah dapat
memperoleh temuan teoritis yang berguna dalam proses pemahaman teologi
kontekstual dan ekofeminis. Sedangkan manfaat praktis adalah kajian ini berdaya
guna dan berhasil guna bagi proses pembentukan dan penguatan nilai iman Kristen,
@UKDW
10
serta diharapkan dapat mengungkap manifestasi nilai-nilai teologi penginjilan sebagai
sumber pengajaran ekofeminis berbasis lokal pada suku Meakh-Arfak itu sendiri.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan dua landasan pijak dalam memahami objek
penelitian, yakni: (1) ekofeminis dan (2) ekoteologi. Kedua landasan pijak ini dapat
diuraikan sebagai berikut.
Pertama, ekofeminis yang merupakan perpaduan dua ilmu, yakni ekologi dan
feminisme menjadi satu istilah yang lebih holistik.10
Istilah Feminis berasal dari kata sifat
dalam bahasa Latin “femina” yang berarti “Perempuan”. Karena itu feminis berarti
pandangan yang bersifat atau yang menaruh perhatian pada masalah – masalah yang
berkaitan dengan keberadaan: status dan peran perempuan.11
Banyak feminis menilai,
laki – laki selalu menindas perempuan, tidak hanya dalam hidup sosial tetapi juga
keagamaan.12
Sedangkan ekologi adalah istilah yang dimunculkan pertama kali tahun
1866 oleh seorang ahli biologi Jerman Earnest Haeckel (1834 – 1919) yang
mendefinisikan ekologi sebagai studi mengenai struktur dan fungsi alam. Secara harfiah
ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata Oikos( Rumah) dan Logos (Ilmu). Jadi
ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup di dalam rumahnya, atau ilmu yang
mempelajari tentang ketergantungan dan hubungan antara binatang, tanaman dan
lingkungannya, yang kemudian telah diperluas mencakup semua makhluk hidup dengan
10
Ekofeminis lahir pada tahun 1974 melalui Francoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la
Mort (Feminisme atau Kematian). Pada tahun 1980-an Ekofeminisme menjadi popular saat munculnya
berbagai protes menetang pengrusakan lingkungan dan bencana ekologis. (Arianti Ina R.Hunga,
Ekofeminisme, Krisis Ekologi dan Pembangunan Berkelanjutan,…, h. xiv). 11
Augustien Kapahang-Kaunang, Berteologi Kontekstual Dari Perspektif Feminis, dalam Asnath N. Natar
(edt), Perempuan Indonesia Berteologi Dalam konteks, (Yogyakarta: Pusat Studi feminnis Fakultas
Theologia Universitas Kristen Duta wacana, 2004), h.27 12
Patricia Wilson-Kastner, Faith, Feminism and The Christ, (Philadelphia: Fotres Press, 1986), h.56
@UKDW
11
semua yang ada di bumi. Dengan kata lain ekologi sebagai ilmu berarti pengetahuan
tentang lingkungan hidup atau planet bumi sebagai keseluruhan. Jadi Lingkungan hidup
selalu dipahami dalam arti oikos, yaitu planet bumi. 13
Ekofeminis dapat membantu kita memahami akar permasalahan krisis
lingkungan, yang berakar pada dominasi.14
Peter C. Aman menyebutkan bahwa salah
satu kekuatan ekofeminisme adalah alam sebagai pisau analisisnya, khususnya saling
keterkaitan dominasi terhadap alam dan perempuan.15
Ekofeminsme sepaham bahwa ada
kaitan penting antara penindasan terhadap alam (naturism) dan penindasan terhadap
kaum perempuan (sexism). Hubungan antara penindasan terhadap perempuan dan
penindasan terhadap alam didasari pada kerangka berpikir patriakhal melalui prinsip-
prinsip ekologi sebagai berikut:
(1) Kehidupan bukanlah sebuah hierarki, melainkan sebuah jejaring yang saling
berkaitan;
(2) semua bagian dari ekosistem memiliki nilai yang sama;
(3) Setiap tindakan yang diambil memiliki resiko yang harus ditanggung;
(4) Sistem yang sehat selalu mempertahankan keberagaman, dan
(5) Kesatuan dalam keberagaman.
13
Robert P. Borong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h.18
Leonard Boff, Ecology & Liberation: A New Paradigma, (Maryknoll New York: Orbis Books, 1995),
h. 9
Haskarlianus Pasang, mengasihi Lingkungan, (Jakarta: Perkantas – Divisi Literatur, 2010), h.83 14
M. Henrika, Panggilan Berhati ibu bagi semua dalam A. Sunarko dan A.Eddy Kristiyanto (edt), Menyapa
Bumi Menyembah Hyang Ilahi, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h.129 15
Peter C. Aman, Iman yang Merangkul Bumi: Mempertanggungjawabkan Iman di hadapan Persoalan
Ekologi, (Jakarta: YOI, 2013), h.143
@UKDW
12
Dengan ekofeminis, manusia menjawab panggilan Allah tentang berkuasa atas alam
semesta dengan bertanggung jawab terhadap alam semesta. Dengan demikian maka
manusia tidak berkuasa atas tanah, tetapi bertanggung jawab atas tanah dengan
memelihara, melindungi dan merawat tanah.
Kedua, ekoteologis atau biasanya disebut juga teologi ekologis berpandangan
bahwa Alkitab merupakan sumber inspirasi sebagai cara hidup yang ramah lingkungan
atau Green Bible.16
Beberapa prinsip dasar ekoteologi menurut Aman adalah:
1. Adanya nilai intrinsik setiap makhluk hidup karena Allah melihat bahwa masing-
masing karya cipta-Nya itu baik (bdk, Kej. 1);
2. Adanya keterkaitan satu sama lain semua makhluk hidup karena Allah yang
membuat segalanya dari materi/tanah yang sama, juga mengikat perjanjian dengan
semua, dengan umat manusia bersama dengan segala makhluk lain (bdk, Kej. 9);
3. Adanya karya pencipta serta roh ilahi yang menghidupkan semua secara bersamaan
(bdk, Maz. 104);
4. Adanya panggilan untuk memuji Allah bukan hanya bagi manusia tetapi bagi
seluruh ciptaan (bdk, Maz. 19:148) dan
5. Karya Allah melalui Kristus bukan hanya untuk keselamatan manusia tetapi untuk
damai sejahtera seluruh ciptaan (bdk, Kol. 1 dan Roma 8).17
16
Istilah untuk menyebut bahwa Alkitab adalah tulisan yang paling berwibawa dan karya penyelamatan
Allah mengarahkan seluruh perhatiannya kepada keselamatan manusia yang mengambil tempat sentral
dan diberikan kuasa atas ciptaan lain. Alkitab dianggap sebagai buku yang ramah lingkungan. (Peter C.
Aman, Iman Yang Merangkul Bumi…., h. 2-3) 17
Peter C. Aman, Iman Yang Merangkul ….., h. 12
@UKDW
13
Dengan prinsip ekoteologi, tanah harus mendapat penghargaan dalam hidup manusia,
sebab ketika manusia tidak menghargai tanah, maka yang terjadi adalah eksploitasi
manusia terhadap tanah.
Tanah dipandang sebagai simbol seluruh proses-hidup ilahi. Menyelewengkan
proses itu atau mengabaikan kesuciannya berarti melakukan dosa. Dalam perspektif
bangsa Israel, dalam masa perjalanan di Padang Gurung atau Tanah Yudea atau tempat
yang ditempati oleh kota Yerusalem, memiliki hubungan bahwa seluruh tanah itu
menjadi milik dan kuasa Yahwe, Allah Israel. Tanah itu adalah tempat-Nya dan di tempat
inilah Ia harus dihormati dan disembah.18
Selain itu, dalam penelitian ini digunakan pula pendekatan yang dapat
mendukung cara kerja landasan teori. Pendekatan yang dimaksudkan adalah pendekatan
teologi Kristen yang merefleksikan hubungan antara iman dan lingkungan hidup yang
dikemukakan oleh Kristoforus Tara, yakni Teologi Penciptaan.19
Dalam konteks krisis
ekologi, ada dua prinsip dasar dalam pendekatan teologi penciptaan yang merefleksikan
kedudukan lingkungan hidup (ekologi) dalam tata penciptaan. Pertama,
Antroposentrisme. Prinsip ini memiliki asumsi dasar bahwa manusia adalah pusat dan
puncak seluruh karya penciptaan Allah yang didasari pada Kejadian 1:26-28 dan
Kejadian 2:9. Dasar ini memberikan legitimasi bahwa manusia adalah mahkota ciptaan
Allah sekaligus yang diberi kuasa penuh untuk menguasai dan memanfaatkan alam
18
Bagi orang Yahudi, tanah adalah simbol, bukan pertama-tama dan terutama simbol persediaan sumber
daya alam yang berlimpah-limpah, melainkan sebagai tempat ketaatan kepada perintah Allah tanpa ada
orang yang merintangi atau mengekangnya. (F.W. Dillistone, The Power Of Simbol……,h.51) 19
Pendekatan teologi penciptaan dimulai dengan prinsip pengakuan iman Kristen bahwa Allah adalah
Pencipta. Iman Kristen mengakui bahwa langit, bumi, dan segala isinya melulu karya ciptaan Allah.
Kisah penciptaan menjadi dasar pengakuan iman. (Kristoforus Tara, Ekologi dan Kristen dan Islam:
Sebuah Perjumpaan Transformasi Menuju Dialog Ekologis, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara,
2008), h. 39-40.)
@UKDW
14
semesta ini. Kedua, Teosentrisme. Prinsip ini memiliki asumsi dasar bahwa alam semesta
berakar kuat pada dirinya sendiri adalah baik karena diciptakan oleh Allah Mahabaik.
Dunia adalah ciptaan Allah dan menjadi rumah bagi manusia, dilindungi, dan ditebus
oleh Allah. Sedangkan tubuh manusia adalah sentuhan Mahakarya Allah. Selain
pendekatan ekoteologi, dalam tesis ini menggunakan pendekatan teologi ekofeminis,
untuk menyatukan antara teori feminis dan teori ekologi, dalam menjawab masalah
rusaknya relasi tanah dan perempuan pada suku Meakh-Arfak.
1.7 Metode Dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian20
yang digunakan dalam mengungkap objek pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif menurut
Sugiyono dimaksudkan untuk mendapatkan data yang mendalam dari wujud data dengan
kandungan maknanya. 21
Metode penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati
seseorang dalam lingkungan hidupnya, aktivitasnya serta interaksinya dengan orang lain.
Atau dengan kata lain melalui metode penelitian kualitatif bertujuan memahami setiap
maksud yang disampaikan tentang persoalan-persoalan yang sedang terjadi di sekitarnya.
Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai di balik
data yang tampak. Dalam beberapa pandangan yang berbeda, metode penelitian kualitatif
20
Istilah metode (methods) dan metodologi (methodolody) atau metode penelitian (research methodology)
sering tumpang tindih digunakan. Metode (Yunani: methodos) adalah cara atau jalan. Metode merupakan
cara yang teratur untuk mencapai suatu maksud yang diinginkan. Sehubungan dengan upaya ilmiah,
metode berkaitan dengan cara-kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, metode dapat diartikan sebagai cara mendekati, mengamati, dan
menjelaskan suatu gejala dengan menggunakan landasan teori. Metode penelitian merupakan cara dan
prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud
mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah tersebut. Metodologi secara
etimologis, terdiri dari kata methodos = metode dan logos = ilmu) yang dimaknai sebagai ilmu tentang
metode (science og method). (Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama,
2010), h.12-13). 21
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alva Beta CV, 2008), h.205
@UKDW
15
dipandang sebagai metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan gejala-gejala yang
terjadi, dengan memaparkan hasil temuan secara sistematik dengan menekankan pada
data faktual.
1.8 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kampung Manggoapi, Kelurahan Amban,
Distrik Manokwari Barat Kabupaten Manokwari. Alasan pemilihan lokasi penelitian di
Kampung Manggoapi didasari pada beberapa pertimbangan, yakni:
Pertimbangan Metodologis:
1. Kampung Manggoapi merupakan salah satu wilayah yang menjadi basis tempat
pemukiman komunitas suku Meakh di Kabupaten Manokwari;
2. Kampung Manggoapi memiliki keterikatan sejarah dengan proses Pekabaran Injil
bagi Suku Arfak;
3. Beberapa anggota masyarakat dari suku Meakh yang secara obyektif sangat dikenal
oleh peneliti, sehingga memudahkan akses dalam memperoleh data penelitian;
Pertimbangan Praktis:
1. Lokasi kampung Manggoapi masih berada atau berdekatan dengan kota
Manokwari, yang memudahkan akses untuk sampai ke lokasi penelitian; dan
2. Peneliti sedang bertugas dan awal mula memulai karier sebagai pelayan Firman
(Vikaris dan Pendeta Jemaat) di Jemaat GKI Efata Manggoapi, Klasis Manokwari
hingga sekarang, yang sebagian besar warga jemaatnya berasal dari suku Meakh-
Arfak.
@UKDW
16
3. Suku Meakh Arfak Memiliki pemahaman kearifan lokal (Local Wisdom) tentang
tanah sebagai mama.
1.9 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan cara wawancara
(interview). Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur
(jurnal ilmiah, buku-buku teks, laporan-laporan penelitian) yang berkaitan dengan pokok
persoalan (relasi perempuan dan tanah).
1.10 Sumber data
Sumber data bersumber dari informasi yang diperoleh dari informan kunci (key
informan).22
Informan kunci yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Tokoh masyarakat suku Meakh-Arfak yang berada di kampung Manggoapi (Kepala
suku/Tokoh adat/Tokoh Masyarakat) ada 3 Orang yaitu kepala suku besar Arfak
(Drs. Dominggus Mandacan),23
Kepala suku Meakh (Samuel Mandacan)24
dan
tokoh masyarakat suku Meakh (Drs. Nataniel. D. Mandacan),25
untuk mendapat
data tentang kondisi demografis dan kondisi sosial budaya dari masyarakat suku
Meakh.
22
Informan kunci sebagai seorang individu yang dapat memberikan gambaran umum yang terjadi dan
memberi penjelasan secara tepat dan benar tentang sebab-sebab munculnya gejala sosial yang terjadi. at
(K. Suwondo, Otonomi Daerah Dan Perkembangan. Civil Society di aras lokal (Salatiga: FISIP
UKSW, 2005), h.191) 23
Drs. D. Mandacan adalah Kepala Suku besar Arfak, yang menjabat sebagai bupati Manokwari tahun
2000 s/d 2010, dan sekarang menjabat sebagai Pejabat Bupati Pegunungan Arfak. 24
Samuel Mandacan adalah kepala suku masyarakat Meakh, adalah juga wakil ketua II DPRD Kabupaten
Manokwari 25
Drs. Nataniel Mandacan adalah Tokoh Masyarakat Meakh, yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah
(SEKDA) Provinsi Papua Barat.
@UKDW
17
2. Anggota komunitas suku Meakh ada 4 orang tua (Bapak Hendrik Igga, Bapak Hans
Lodewyk Mandacan, bapak Lukas Indou dan Bapak Karel Mandacan) yang
dianggap relevan dalam memberikan penjelasan pandangan suku Meakh tentang
tanah dan perempuan suku Meakh, dan beberapa perempuan Meakh ( Ibu Tresya
Mandacan, Ibu Arni Indou, Ibu Blandina Mandacan, Ibu Very Mandacan, Ibu Sarce
Mandacan, Ibu Merry Mandacan, Ibu Susana Mandacan, Ibu Agustina Mandacan,
Ibu Yuli Mandacan, Ibu Rosina Mandacan, Ibu Sopice Mandacan, Ibu Nelce
Mandacan, Ibu Sophia Mandacan dan Ibu Yohana Mandacan ) untuk mengetahui
bagaimana keberadaan mereka sebagai perempuan Meakh.
3. Pihak pemerintah daerah untuk mengetahui tentang kondisi geografis dan topografis
keberadaan masyarakat Meakh di wilayah Manggoapi.
4. Pihak Gereja Pdt. Albert Yoku, STh (Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), Pdt.
Sadrak Simbiak, S.Si Teol (Ketua Pelaksana Harian Majelis Jemaat GKI Efata
Manggoapi) dan Penatua Marthen Major (Sekretaris Pelaksana Harian Majelis
Jemaat GKI Efata Manggoapi ) tuntuk mengetahui peran gereja dalam melihat
masalah tanah dan perempuan pada suku meakh Arfak di wilayah Manggoapi.
1.11 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni teknik
wawancara (interview) 26
dan studi pustaka. Pertama, Wawancara. Teknis pelaksanaan
proses wawancara dilakukan oleh penulis secara langsung (tatap muka) dengan sumber
26
Wawancara dimaksudkan sebagai pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. (Sugiyono, Memahami
Penelitian,…. h.72).
@UKDW
18
informasi mengunakan panduan wawancara yang sebelumnya telah disediakan atau
dirumuskan terlebih dahulu oleh penulis. Selama proses wawancara peneliti
menggunakan alat bantu berupa tape recorder untuk merekam setiap pembicaraan yang
dilakukan dengan informan kunci, yang sebelumnya peneliti sudah menentukan informan
tersebut. Rekaman dari hasil wawancara tersebut selanjutnya ditranskripkan dalam
bentuk tulisan sehingga memudahkan penulis untuk melakukan analisis data.
Kedua, Studi pustaka. Merupakan kegiatan yang dilakukan terhadap pustaka-pustaka
terdahulu yang dilakukan dengan cara pengumpulan dan pencatatan data dan sejumlah
informasi dari dokumen dan data lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
1.12 Analiss Data
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode penelitian
ilmiah dan alamiah yaitu dengan menjawab tujuan dan permasalahan di atas karena
dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna memecahkan
masalah penelitian. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data dalam metode penelitian
kualitatif dilakukan secara terus menerus dari awal hingga akhir penelitian, dengan
induktif, dan mencari pola, model, tema, serta teori. Oleh karena itu penelitian kualitatif
menggunakan logika induktif-absraktif, dimana merupakan logika yang bertitik tolak dari
khusus ke umum.27
Dengan demikian analisis data dalam metode kualitatif merupakan
suatu analisis sistematis yang dilakukan terhadap bagian-bagian dan fenomena serta
hubungan-hubungannya.
27
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Prespektif Rancangan Penelitian, (Yogyakarta :
Arus Media, 2011), h.71
@UKDW
19
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data yang telah dikumpulkan/diperoleh dari temuan-temuan baik dari hasil
wawancara, maupun data dari literatur yang ada.
2. Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan perlu diedit (editing),
kegiatan ini maksudkan sebagai bentuk pemeriksaan kelengkapan data agar tidak
terjadi kesalahan.
3. Setelah kelengkapan data diperoleh, selanjutnya dilakukan suatu analisa kemudian
dibangun sebuah kesimpulan yang mengarah pada rumusan masalah/tujuan
penelitian yang akan dikaji.
1.13 Sistematika Penyajian
Sistem penyajian hasil penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan:
Dalam bab pendahuluan ini memuat tentang beberapa aspek sebagai berikut: (1) latar
belakang, (2) rumusan masalah, (3) judul, (4) pembatasan masalah, (5) tujuan dan
manfaat penelitian, (6) landasan teori, (7) metode dan pendekatan penelitian, (8) lokasi
penelitian, (9) jenis data, (10) sumber data, (11) teknik pengumpulan data, (12) analisa
data, dan (9) sistematika penyajian. Bab ini berfungsi sebagai bab pengantar yang akan
membuka ruang penelusuran lebih lanjut tentang pokok persoalan dalam penelitian ini.
Bab II Relasi Tanah dan Perempuan pada Suku Meakh-Arfak:
Bab ini berisikan tentang beberapa aspek sebagai berikut: (1) gambaran umum Suku
Meakh–Arfak, yang memaparkan tentang kondisi geografis, topografis, sosial budaya
,cirri dan ras, sistem kepemimpinan, sistem kekerabatan, sistem teknologi, sistem
@UKDW
20
kepercayaan, dan sistem warisan, (2) relasi Orang Meakh dan tanah memaparkan makna
tanah bagi orang Meakh, relasi perempuan Meakh dan tanah, dan aktifitas pemicu
rusaknya relasi perempuan Meakh dan tanah, (3) sikap gereja terhadap persoalan tanah,
dengan menguraikan kepedulian dan tantangan yang dihadapi gereja.
Bab III Teologi Ekofeminis dalam upaya Memelihara Relasi Tanah dan Perempuan
Meakh :
Bab ini merefleksikan beberapa aspek sebagai berikut: (1) Relevansi ekofeminis yang
membahas relasi tanah dan perempuan Meakh dari perspektif feminis, ekologi dan
ekofeminis. (2) Perspektif teologi ekofeminis terhadap pandangan suku Meakh tentang
tanah, yang mengungkapkan makna tanah sebagai anugerah Tuhan, sumber hidup dan
penyataan menjual tanah menjual hidup. (3) Gereja Menjawab rusaknya relasi tanah dan
perempuan pada suku Meakh, dengan membahas dari perspektif ekoteologi, kearifan
lokal dan mengasihi tanah sebagai wujud iman dengan menggunakan prinsip
persekutuan, perdamaian dan keadilan.
Bab IV Penutup:
Bab ini terdiri atas kesimpulan dari penelitian ini. Bagian ini merupakan penilaian dan
rekomendasi penulis setelah mengadakan penelusuran tentang pentingnya tanah bagi
suku Meakh, dan relasi tanah dengan perempuan Meakh. Secara khusus, rekomendasi
terdiri atas empat bagian, yakni (1) rekomendasi kepada pihak gereja, (2) rekomendasi
kepada pihak Pemerintah Daerah, dan (3) rekomendasi kepada Suku Meakh-Arfak dan
(4) rekomendasi kepada perempuan Meakh.
@UKDW