bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i zainal.pdf · perbuatan yang bertentangan dengan...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Indonesia sering terjadi
peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang
dilarang oleh undang undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang
tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani
secara benar sehingga tidak terjadi eigenricthing (main hakim sendiri) seperti
yang sering terjadi dewasa ini. Perbuatan eignricthing sangat tidak
menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum
menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan.
Perbuatan yang mengandung unsur kriminal dapat dipidana atau tidak
dipidana, maka selalu muncul rumus : criminal act (perbuatan yang
dilarang) ditambah criminal responsibilitry (pertanggungjawaban pidana) sama
dengan punishment atau criminal sanction. Sanksi pidana dalam kajian teoritis
dikategorikan sebagai ultimum remedium, sebagai senjata pamungkas terakhir
yang diberikan setelah sanksi lain seperti sanksi perdata maupun sanksi
administrasi dijatuhkan dan tidak efektif. Esensi ini terkait dengan problematika
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang berkaitan dengan
upaya menempatkan nilai sifat melawan hukum pada posisi yang sangat strategis.
Berkembangnya suatu ajaran atau aliran, tidak terlepas dari perjalanan
panjang sejarah yang mempengaruhinya yang mau tidak mau diakui
eksistensinya. Demikian halnya dengan ajaran sifat melawan hukum, secara
teoritis sifat melawan hukum adalah penilaian yang sangat objektif terhadap
perbuatan kriminal yang dilakukan dan tidak saja berorientasi pada hubungan
sinergis faktor akal dan faktor kehendak tetapi juga menilai aspek kesalahan
dalam perilaku orang tersebut. Oleh karena sifat melawan hukum merupakan
persoalan yang bersinggungan dengan aspek psikologis, memang sebaiknya
pemanfaatan ilmu di luar hukum pidana menjadi penting terutama psikologi. Hal
ini untuk menentukan kadar sifat melawan hukum yang menyusuri secara
akademik aspek kesalahan yang dilakukan seseorang.
Munculnya penafsiran dalam pandangan sifat melawan hukum
memberikan perbedaan yang berujung pada tiga hal yaitu mencocoki undang-
undang, mencocoki hukum tidak tertulis atau gabungan keduanya. Sinergis
dengan hal itu adalah timbulnya ajaran sifat melawan hukum formal, sifat
melawan hukum matrerial yang kemudian terbagi dalam fungsi positif dan
negatif. Ajaran ini sesungguhnya terlihat lihat mencoba untuk memetakan
problematika sifat dalam diri manusia yang melakukan kesalahan. Jika
dihubungkan dengan asas-asas yang dikembangkan dalam hukum pidana hal ini
sangat berkaitan erat dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder
schuld), yang menjadi tonggak bagi hukum tidak tertulis dalam menilai
kesalahan.
Perbuatan melawan hukum secara material adalah apabila perbuatan
tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat. Hal ini meliputi perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau
bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup. Menurut Loebby Loqman
ukuran dari perbuatan melawan hukum material ini adalah bukan didasarkan ada
atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang undangan, akan tetapi ditinjau
dari nilai yang ada dalam masyarakat.1 Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ini
sukar untuk diukur secara nyata namun dapat dilihat dengan timbul reaksi dari
masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dianggap tercela misalnya dalam
bentuk demonstrasi dan lain lain.
Hukum pidana bersifat ultimum remidium atau sebagai alat terakhir
apabila usaha usaha lain tidak bisa dilakukan, hal ini disebabkan karena sifat
pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto
mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari
penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan.2 Tetapi tidak semua
orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-
1 Loebby Loqman, 1991, “Beberapa Ihwal dalam UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi,” Jakarta: Datakom, hal.25.
2 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal. 9.
tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung
pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk
menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat
dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam perbuatan pidana adalah sifat melawan
hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit
ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan
eksplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi
bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak
pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntutan dan pembuktian
di pengadilan.
Perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam hukum pidana
dikenal ada dua macam, yaitu perbuatan melawan hukum dalam pengertian
formal dan perbuatan melawan hukum dalam pengertian material.3 Penerapan
ajaran melawan hukum material dalam tindak pidana korupsi sulit untuk
dilakukan, mengingat adanya suatu keterbatasan yang merupakan asas dalam
hukum pidana Indonesia yaitu keberadaan asas legalitas (principle of legality).
Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak
pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat
melawan hukum suatu perbuatan dalam artian formil saja yaitu hanya sekedar
3Muhammad Zainal Abidin & I Wayan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana,
Penerbit Indie Publishlng, Depok, hal. 53.
membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara formil dari
pelaku terhadap peraturan perundang-undangan tertulis.
Unsur melawan hukum dari pelaku aktual sukar untuk dibuktikan, karena
seringkali adanya perbuatan-perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai
tindak pidana korupsi namun tak terjangkau oleh maksud undang-undang karena
kerancuan penempatan unsur melawan hukum. Dalam kenyataannya suatu
perbuatan yang dipandang tercela atau koruptif oleh masyarakat meskipun
perbuatannya tidak melawan hukum secara formil selalu lolos dari jangkauan
hukum karena kesulitan pembuktiannya. Di sini sifat melawan hukum suatu
perbuatan hanya ada dalam artian sempit saja, sehingga hanya sekedar
membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum pada undang-undang
secara normatif dari pelaku.
Kesulitan pembuktian pada tindak pidana korupsi adalah seperti yang
diungkapkan oleh Muladi bahwa perbuatan dari pelaku aktual , seperti halnya
dalam tindak pidana korupsi adalah “low visibility” yaitu perbuatan itu sulit
terlihat karena biasanya tertutup oleh pekerjaan normal yang rutin, melibatkan
keahlian profesional dan sistem organisasi yang komplek. Selanjutnya menurut
Muladi yang mengutip pendapat Don C. Gibbson Tipologi kejahatan dengan
karateristik “Low Visibility“ di lingkungan profesi, pelakunya dinamakan
“Profesional Fringe Violator” yang mencakup berbagai dimensi lapangan kerja
(notaris, wartawan, pengacara dan lain-lain). Contohnya adalah diajukannya
seorang akuntan publik yang berkolusi dengan wajib pajak untuk meringankan
pajak dan merugikan keuangan negara. Karenanya sangat sulit dalam persoalan
pembuktiannya. 4
Hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang
bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan
diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang
tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak
masuk akal. Sekarang soalnya ialah : apakah ukuran keliru atau tidaknya suatu
perbuatan? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Yang pertama ialah apabila
perbuatan telah mencocoki larangan undang undang, maka disitu ada kekeliruan.
Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggar
ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah
ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti
melawan undang undang, sebab hukum adalah undang undang. Pendirian
demikian dinamakan pendirian yang formal. Sebaliknya ada yang berpendapat
bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang
undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum
bukanlah undang undang saja, disamping undang undang (hukum yang tertulis)
ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan
4 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.
69-93.
yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian
yang material.5
Menurut Van Hattum, mengenai wederrechtelijkheid itu terdapat
perbedaan pendapat tentang apa yang disebut orang dengan perkataan formele
wederrechtelijkheid dengan apa yang disebut materieele wederrechtelijkheid atau
tentang apa yang disebut wederrechtelijkheid dalam arti formal dengan apa yang
disebut wederrechtelijkheid dalam arti material.6
Menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal suatu perbuatan
hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan
tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik
menurut undang-undang. Sedang menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti
material, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai
bersifat wederrechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau
menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.7
Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan
bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam
rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Sedangkan
5 Moeljatno. 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Ke-tujuh, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
hal.130-131.
6 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal.350. 7 Ibid, hal.351.
ajaran yang material mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat
formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik,
perbuatan itu harus benar benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang tidak patut atau tercela.8 Sifat melawan hukum formal berarti : semua
bagian (tertulis dalam undang-undang) dari rumusan delik telah terpenuhi.
Sedangkan sifat melawan hukum material berarti : bahwa karena perbuatan itu,
kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu telah dilanggar.9
Sedangkan Satochid Kartanegara, mengatakan bahwa wederrehtelijk
formil bersandar pada undang undang, sedangkan wederrechtelijk material bukan
pada undang undang, namun pada asas asas umum yang terdapat dalam lapangan
hukum atau apa yang dinamakan algemene beginsel.10
Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, menegaskan bahwa pengertian
“secara melawan hukum” adalah dalam pengertian formil maupun material. Hal
mana jelas dinyatakan dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, yang
dikutip berbunyi sebagai berikut : “Agar dapat menjangkau berbagai modus
operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang
8 Komariah Emong Sapardjaja, 2002 , Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung, hal.25.
9 D. Schaffmeister, N. Keijzer, Mr. E. PH. Sutorius, 2003, Hukum Pidana, Cetakan Ke-2, Editor
Penerjemah J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, hal.50.
10 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.45.
semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-
undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ‘melawan
hukum’ dalam pengertian formil dan material.” Selanjutnya penjelasan Pasal 2
ayat (1)-nya sendiri menyatakan bahwa:11
yang dimaksud dengan secara
‘melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti material, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang
sedemikian itu, maka, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, menegaskan
bahwa dalam tindak pidana korupsi, pengertian perbuatan melawan hukum adalah
dalam pengertiannya yang formil mau-pun yang material. Hal tersebut mengingat
pula bahwa tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa (extraordinary crime). Ini ditegaskan pula dalam konsideran Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut bahwa tindak pidana korupsi yang
selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
11 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.12
Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Putusan
Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 dalam amarnya menyatakan
bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tersebut, sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam
arti material, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Dengan demikian, sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, maka
pengertian perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, hanya perbuatan melawan
hukum dalam pengertian formil saja.13
Pandangan sociological jurisprudence, hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai disini berarti
bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.14
12Lihat Konsidran point a menimbang dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 20 Tahun 2001
13 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal
25 Juli 2006
14. Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan X,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, I ) hal.66.
Bahkan sociological jurisprudence yang menganggap pandangan pure science of
law sebagai amat terbatas dikaitkan dengan kehadiran hukum itu, sesungguhnya
berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Menurut pengikut aliran
ini, “We can understand what a thing is only if we examine what is does.”15
Tindak pidana korupsi adalah masalah sosial yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia sejak bertahun-tahun silam. Oleh karena tindak pidana
korupsi sebagai masalah sosial tidak juga dapat ditanggulangi dalam beberapa
dekade tersebut, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, merumuskan pengertian perbuatan
melawan hukum tidak saja dalam pengertian formil, melainkan juga dalam
pengertian material, satu dan lain agar dapat menjangkau berbagai modus
operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit dan canggih. Namun Putusan
Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006 tersebut
diatas, telah mengubah paradigma yang dimaksud dalam Undang undang tentang
pemberantasan korupsi dimaksud, sehingga pengertian perbuatan melawan
hukum dalam tindak pidana korupsi hanya menjadi perbuatan melawan hukum
dalam pengertian formil saja, dalam arti dikatakan telah terjadi perbuatan
melawan hukum hanya apabila telah melanggar peraturan perundang undangan
atau peraturan tertulis saja.
15 Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Ke-lima, C.V.
Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, II) hal.36.
Pendayagunaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai
kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari
masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Didalamnya mencakup kebijakan
hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.16
Perencanaan penanggulangan kejahatan diperlukan agar perundang-
undangan pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana
korupsi dan berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum
pidana, yang merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif,
tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau
eksekutif/administratif.
Tahap kebijakan legislatif yang secara operasional menjadi bagian dari
perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan pada tahap yang awal,
juga merupakan kebijakan perundang-undangan. Dalam pertimbangan Konggres
PBB VIII/1990 dinyatakan antara lain: Newly formulated policies and
legislation should be as dynamic as the modes of criminal behaviour and should
remain abreast of changes in the forms and dimensions of crime. Yang bermakna
“Kebijakan dan undang-undang yang baru dirumuskan harus sebagai dinamis
sebagai moda perilaku kriminal dan harus tetap mengikuti perubahan dalam
16 Sudarto,,1981, Hukum dan Hukum Pidana , Alumni, Bandung, hal.113.
bentuk dan dimensi kejahatan”. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana tahap
formulasi semestinya mampu merespon terhadap perkembangan dan perubahan
tindak kejahatan sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral
menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak
pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana
material kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya,
dalam hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam
hukum pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana,
pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana.17
Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan
perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan men-dasari dan
mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan
hukum pidana inkonkreto. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan
merupakan pernyataan pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda
Nawawi Arief mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena
sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku
memasuki kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa
mendatang. Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan,
17 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Material Indonesia di Masa Mendatang (Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990), hal.2.
melainkan karena adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan
adil.18
Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi
kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang
merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak
pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya,
mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan
tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering
dikategorikan sebagai White Collor crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana
lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan
dengan ini, Barda Nawawi Arief19
menyarankan dalam upaya penanggulangan
kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada
keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan
antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. Pengamatan
Bambang Poernomo,20
kesulitan untuk menanggulangi korupsi itu disebabkan
lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara melainkan sudah
18 Barda Nawawi Arief, 1990, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief I) hal.26.
19 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) hal.4.
20 Bambang Poernomo, 1999, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi.
Seminar Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan Antisipasinya
terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi di Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep.
Kehakiman, Yogyakarta, Tanggal 11 September.hal.3.
cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat untuk memanfaatkan
kesempatan yang menguntungkan, dan/atau lingkungan kelompok bisnis tertentu
untuk mendapatkan keuntungan secara ilegal.
Pada masa Orde Baru banyak terjadi peluang dan kelonggaran melalui
peraturan dan kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat KKN. Hal ini
memunculkan korporasi berperan besar dalam perekonomian di Indonesia,
sejalan dengan kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan
menghasilkan korporasi raksasa dan konglomerat yang menguasai dan
memonopoli ekonomi.21
Sistem pengelolaan yang koruptif mengandalkan kemampuannya untuk
memperbesar dan memperumit KKN, sehingga penanganannya berada di
luar kapasitas individu dan institusi, termasuk hukum, yang akibatnya banyak
kasus KKN gagal ditangani oleh hukum.22
Masalah korupsi di Indonesia bukan
faktor individu belaka, melainkan juga menyangkut pranata sosial dan sistem
nilai yang sedang berada dalam disequilibrium, yang berarti masyarakat sedang
mengalami kondisi anomik. Dengan demikian, penanganannya tidak mungkin
21 Susanto, 1999 Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 12 Oktober), hal.3.
22 Cornelis Lay, 1999, Aspek Politik KKN di Indoensia, Seminar Nasional Menyambut UU Tindak
Pidana Korupsi yang Baru dan Antisipasinya terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi di Fak.
Hukum UGM, KEJATI DIY, Dep. Kehakiman, Yogyakarta, Tanggal 11 September, hal.6.
sporadis tetapi melibatkan seluruh sistem sosial, hukum, dan masyarakat secara
keseluruhan.23
Penanggulangan korupsi hendaklah jangan mengukur tingkat intensitas
dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata, melainkan
harus dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang berpengaruh, seperti: sifat
kepemimpinan dapat menjadi teladan atau tidak, mekanisme pengawasan
dapat berjalan efektif atau tidak.24
Oleh karena itu, penegakan hukum pidana
dengan pendekatan yang legalistik yang berorientasi represif hanya merupakan
pengobatan yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang
ampuh untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, diperlukan pendekatan
komprehensif, meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen
dalam penyelenggaraan negara.25
Perkembangan sifat melawan hukum material dewasa ini, dibutuhkan
perhatian yang cukup mendalam kepada konsep perumusan tentang unsur hukum
tersebut pada peraturan yang mendatang baik pada RUUKUHP (Rancangan
undang undang KUHP), dan RUU KORUPSI (Rancangan undang undang
Korupsi). Yang mana hal ini akan berpengaruh besar pada penegakan hukum di
23 Yasonna H. Laoly, 1996, “Kolusi: Fenomena atau Penyakit Kronis”, dalam Aldentua Siringo-
ringo dan Tumpal Sihite, Menyingkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung ,
Pustaka Forum Adil Sejahtera, Jakarta, hal. 34.
24 Soedjono dirdjosisworo, 1984, Fungsi perundang-undnagan Pidana dalam penanggulangan
korupsi di Indonesia, CV Sinar baru, Bandung, hal.47.
25 Romli Atmasasmita, 1999, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke
XXI : Suatu Orientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fak. Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 25 September), Hal.10 – 14.
Indonesia, yang mana seharusnya hukum di buat dan diciptakan dari rahim rakyat
bukan hanya terbuat dari pemikiran ahli hukum secara arti fisial. Oleh karena itu
penting untuk merumuskan peraturan masa dating (ius constituendum), dengan
matang dan banyak pertimbangan.
Dengan latar belakang seperti yang diuraikan dalam paparan diatas itulah,
skripsi ini mencoba untuk melihat Putusan Mahkamah Konstitusi 2006 Nomor :
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli tersebut sebagai suatu produk hukum yang
hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang mengalami masalah
sosial yang disebut tindak pidana korupsi, selama bertahun-tahun tersebut, dalam
perspektif sociological jurisprudence, bahwa kehadiran hukum adalah untuk
menyelesaikan berbagai masalah sosial.
Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk
membahas dan memilih skripsi dengan judul “KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA MENGENAI SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL DALAM
PERSPEKTIF TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KOSNSTITUSI NOMOR : 03/PUU-IV/2006“
Dimana penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut
tentang perkembangan ajaran sifat melawan hukum ini yang secara terus menerus
mengalami perubahan sikap baik dari pembuat Undang-undang maupun hakim
yang terwujud dalam yurisprudensi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan
masalah yang dianalisa yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sifat melawan hukum di formulasikan dalam kebijakan
perundang-undangan di Indonesia dan dalam Ius Constituendum?
2. Bagaimanakah perkembangan perumusan ajaran sifat melawan hukum
dalam kebijakan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup
masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
1. Yang pertama akan membahas tentang sifat melawan hukum,
perkembangannya dalam per undang undangan di Indonsia.
2. Yang kedua akan membahas perkembangan sifat melawan hukum pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
3. Yang ketiga akan membahas perumusan ajaran sifat melawan hukum
material (materiele wederrechlijkheid) dalam kebijakan perundang-
undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-
IV/2006.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini penulis
menampilkan dua skripsi yang penilitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis.
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia peendidikan di
indonesi, maka mahasiswa di wajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari
penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi
yang terdahuli sebagai pembanding. Seperti judul Analisa Hukum Mengenai
Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, dengan penulis Arrahman
asal Fakultas Hukum USU, dengan permasalahan sebagai berikut, Bagaimana konsep
sifat melawan hukum dalam tindak pidana di Indonesia ? dan, Bagaimana eksistensi
sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006?.
Pembanding kedua dengan judul Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum
Material Dalam Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia atas
nama Fitriati, asal Universitas Adalas, dengan permasalahan, bagaimanakah
perumusan ajaran sifat melawan hokum material dalam kebijakan perundang-
undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan
bagaimanakah penerapan ajaran sifat melawan hokum material dalam proses
pembuktian kasus tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan
penulis terjamin orisinalitasnya, dikarnakan aspek penelitian penulis bertitik pada
kebijakan hukum pidana yang dikaitkan dalam Tindak Pidana Korupsi dan RKUHP.
1.5 Tujuan Penilitian
Tujuan penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun
tujuan tersebut antara lain:
1.5.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian adalah sebagai berikut;
Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana terkait sifat melawan
hukum material, dalam Tindak Pidana Korupsi pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006.
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui perkembangan sifat melawan hukum material dan
Untuk mengetahui apa akibat dari keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006,
terhadap hukum pidana di Indonesia, dan hukum yang berkembang di
masyarakat.
2. Untuk mengetahui perumusan ajaran sifat melawan hukum material
(materiele wederrechlijkheid) dalam kebijakan perundang-undangan
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006
1.6. Manfaat Penilitian
1.6.1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana,
khususnya pemahaman teoritis mengenai perkembangan sifat melawan hukum
material pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor :
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, dan dimana letak urgensi sutau
hukum yang hidup dan lahir dalam masyarakat
1.6.2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi
bagi lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dalam proses
penangan perkara pidana kasusnya terkait dengan unsur melawan hukum
dalam kebijakan peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia dengan
tetap memperhatikan hukum yang berkembang dimasyarakat.
1.7. Landasan Teoritis
1.7.1. Teori kebijakan kriminal (criminal policy)
Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy)
adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik
kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law
enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik sosial (social
policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya.26
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan
kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial”
(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial
(social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat
(social defence policy).27
Marc Ancel merumuskan criminal policy sebagai “rational organization of
the control of crime by society”.28
Sementara itu, G. Peter Hoefnagels mengemukakan
bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.
Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:
a. Criminal policy is the science of responses;
26 Muladi dan Barda Nawawi Arief,I, Op.cit, hal. 1.
27 Barda Nawawi Arief, II, Op.cit hal. 77.
28 Barda Nawawi Arief, II, Op.cit, hal. 209.
b. Criminal policy is the science of crime prevention;
c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;
d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.29
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu sebagai
berikut:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;
b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.30
Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G. Peter
Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and
punishment/mass media).31
29 Barda Nawawi Arief, II op.cit, hal. 2.
30 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto
I), hal.. 113-114.
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “penal” dan “non penal”.32
Dengan demikian, dalam melaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang
tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan
dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk
mencegah dan menanggulangi kejahatan.
1.7.2 Teori kebijakan hukum pidana (penal policy)
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal
(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang
baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana
identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
31 Trini Handayani, Op.cit., hal. 48.
32 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 3-4.
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy).33
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana
mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana
yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.34
Sama halnya dengan pendapat Marc
Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus
seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik.35
Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah
garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.36
33 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 24.
34 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto
II), hal.153.
35 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal.23.
36 Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan
penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau
operasionalisasinya melalui beberapa tahap:
1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas
aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan
tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan
legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.37
1.7.3 Teori pembaruan hukum pidana (penal reform)
Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana.
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang
dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya
pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
37 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hal. 78-79.
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.38
Makna
dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah:
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan
sebagainya).
- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan
penegakan hukum.
b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,
sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai
38 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal.25.
dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja
dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP
Lama atau WvS).39
Atau-pun undang-undang Korupsi dengan RUU
Korupsi.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian
ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya
dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam praktek hukum.40
Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak
dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur, yaitu
kekaburan dalam formulasi unsur sifat melawan hukum Material dalam
Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal ini
dikarnakan pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-
IV/2006, yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dalam prumusannya,
seperti tidak ketidakjelasan tolak ukur penafsiran sifat melawan hukum
39Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 26.
40Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal.13.
matrial dalam UU tersebut. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan
cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.
1.8.2. Jenis pendekatan
Skripsi ini ingin melihat perkembangan sifat melawan hukum material
dalam kebijakan hukum pidana di Indonesia dan bagaimana formulasinya baik
sebelum atau pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Sehingga metode pendekatan yang relevan
dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang
undangan (satutory approach), pendekatan kasus(case approach), dan
pendekatan analitis (analitical approach).
a) Pendekatan Perundang undangan (statutory approach).
Pendekatan perundang-undangan (statutory approach), yang oleh
Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang undang (satute
approach)41
dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legisdan
dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio
legis dan dasar ontologis suatu undang undang, peneliti sebenarnya mampu
menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang undang itu.
41 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Prenada Media Group, Jakarta,
hal. 93.
Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang Undang undang itu,
peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan
filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.42
Pendekatan ini
digunakan in case terhadap Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar NRI 1945.
b) Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang
telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.43
Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio
decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada
suatu putusan.44
Pendekatan ini digunakan in casu terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal
25 Juli 2006 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :
103K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007. Tentang Pemeriksaan Perkara
Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Theodorus Fransisco Toemin.
42 Ibid., hal. 93-94.
43 Ibid., hal. 94.
44 Ibid.
c) Pendekatan Analitis (analitical approach).45
Pendekatan analitis ini diperlukan terutama dikarenakan penelitian skripsi
ini terutama menggunakan data-data sekunder yang berwujud bahan-bahan
hukum, yaitu Undang undang dan putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud diatas, sehingga timbul kebutuhan untuk menganalisis
Undang undang dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
1.8.3. Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :
1. Sumber bahan hukum primer 46
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang
bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang
berkaitan. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :
o Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
o Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Sumber bahan hukum sekunder
45 Johal.ny Ibrahal.im, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ke-dua,
Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, hal. 301.
46 Lihat buku pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, hal. 76.
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum
sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan
topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum (buku-buku hukum
(textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer),
pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita
yang diperoleh via internet.
1.8.4. Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).
Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier
yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian skripsi ini.
1.8.5. Teknik analisis bahan hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi,
teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.
Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam
ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran
teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap
suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin
menunjukkan kedalaman penalaran hukum.