bab i pendahuluan 1.1. latar belakang i.pdf · penertiban, penerbit prestasi ... hak belum memiliki...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Di atas tanah
manusia mencari nafkah, di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai
tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan untuk perkantoran dan
sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan manusia.1
Secara hakiki makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek sosial,
ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek hukum. Tanah bagi
masyarakat memiliki makna multidimensi. Dari sisi ekonomi, tanah merupakan
sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Secara politis tanah
dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat dan
sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial
pemiliknya.2
Sebagai negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu
yang memiliki nilai yang sangat penting didalam kehidupan masyarakat di
Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat
1Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I) h. 45. 2Husein Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Lembaga Penerbitan
Universitas Khairun, Ternate, h. 6
2
dimana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan
penghidupan baginya.3
Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya
alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Ketersediaan tanah yang relatif
tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan
penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga
pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Prinsip dasar itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD
NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
yang selanjutnya disebut UUPA, disebutkan, bahwa : “Atas dasar ketentuan dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat”.
Hak menguasai negara tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA,
memberikan wewenang kepada negara untuk tiga hal :
3Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.172
3
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. 4
Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA,
maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam
Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan
beberapa macam hak atas tanah. Hak-hak tersebut antara lain hak milik, hak guna
usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, hak membuka
tanah dan hak memungut hasil hutan serta hak-hak lainnya yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas dan hak-hak yang sifatnya sementara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar
penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu
hak atas tanah yang harus sesuai dengan ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 16 UUPA.
Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain,
memperoleh penunjukan dari pemegang hak pengelolaan, karena memperoleh izin
lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban
memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya,
4Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi revisi, Djambatan, Jakarta, h. 220
4
serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang
bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya
maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan
ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Fungsi
ini pada intinya memberikan pengaturan tentang larangan penggunaan tanah untuk
semata-mata kepentingan perseorangan tanpa mengindahkan kepentingan
masyarakat dan negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan
haruslah saling mengimbangi hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok yaitu
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Perlu ditegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya agraria sebagaimana
tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat. Dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut
maka UUPA juga mengatur berakhirnya hak-hak atas tanah yang antara lain
karena ditelantarkan. Hak Milik berakhir karena ditelantarkan pada Pasal 27
UUPA, HGU Pasal 34 UUPA dan HGB Pasal 40 UUPA. Artinya, setiap
pemberian hak oleh negara kepada perorangan atau badan-badan hukum haruslah
bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemegang hak sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian haknya.5
Dalam perkembangannya hak-hak atas tanah yang telah diberikan untuk
berbagai keperluan sebagaimana tersebut di atas, tidak selalu diikuti dengan
5Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar : Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju
Penertiban, Penerbit Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, h. 14
5
kegiatan fisik penggunaan tanah tersebut sesuai dengan sifat dan tujuan haknya
atau rencana tata ruang dari penggunaan dan peruntukkan tanah, baik karena
pemegang hak belum merasa perlu menggunakan tanah tersebut atau pemegang
hak belum memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan pembangunan atau
penggunaan tanah atau karena hal-hal lainnya.6 Akibat belum terlaksananya
pembangunan atau penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peruntukkannya,
maka tanah yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tanah yang ditelantarkan
oleh pemegang hak.7
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2012, dari total
7.196 kasus penelantaran tanah sebanyak 4.291 kasus telah diselesaikan yang
menyatakan 51.976 Hektar merupakan tanah terlantar.8 Sedangkan menurut
menteri pertanian Suswono, tanah yang terindikasi terlantar di Indonesia
mencapai 4.8 Juta Hektar.9 Di Bali, dapat diambil contoh dua buah kasus indikasi
penelantaran tanah yaitu indikasi penelantaran tanah hak guna bangunan yang
dilakukan oleh PT. Citra Tama Selaras seluas 174 Hektar di Jimbaran Kabupaten
Badung dan indikasi penelantaran tanah hak guna usaha yang dilakukan oleh PT.
Margarana seluas 642 Hektar di Sumberklampok Kabupaten Buleleng.
Tanah PT. Citra Tama Selaras terindikasi terlantar karena sejak
dikuasainya tanah tersebut tidak dipergunakan, dikelola dan diusahakan sesuai
6Maria S.W. Sumardjono. 2001, Kebijakan Tanah: Antara Regulasi dan Implementasi,
cetakan 1, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono I) h. 50
7Ibid, h. 52
8BPN Nyatakan 51976 hektar tanah di Indonesia sebagai tanah terlantar
http://news.detik.com/read/2013/02/16/174657/2171970/10/bpn-nyatakan-51976-hektar-tanah-di-
indonesia-sebagai-tanah-terlantar diakses pada tanggal 31 agustus 2014 pukul 16.00 wita.
9Dari 4,8 juta Hektar Lahan Terlantar Baru 13.000 Hektar yang dipakai
http://finance.detik.com/read/2013/07/02/210025/2290788/4/dari-48-juta-hektar-lahan-terlantar-
baru-13000-hektar-yang-dipakai diakses pada tanggal 31 agustus 2014 pukul 16.10 wita.
6
izin prinsip membangun usaha kawasan pariwisata yang diberikan melalui Surat
Gubernur Bali Nomor 556.2/11308/Bina Ek tertanggal 28 agustus 1999. Tanah
yang dikuasai oleh PT. Citra Tama Selaras tersebut sama sekali tidak terdapat
pembangunan yang menunjukan tanah tersebut dipergunakan sesuai izin
prinsipnya.10
Pada tahun 2011 Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali
juga telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 0929/1651.100/14/2011 yang
menyatakan tanah yang dikuasai oleh PT. Citra Tama Selaras terindikasi
terlantar.11
Walaupun sudah ada surat keputusan tersebut, sampai sekarang tanah
yang terindikasi ditelantarkan tersebut belum jelas statusnya.
Sedangkan tanah PT. Margarana terindikasi terlantar karena Hak Guna
Usaha yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Bali tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya sehingga warga Sumberklampok kabupaten Buleleng
menuntut Badan Pertanahan Nasional menetapkan tanah yang selama ini
ditempati oleh warga sebagai tanah terlantar. Awalnya Badan Pertanahan
Nasional telah menyatakan bahwa tanah di Sumberklampok tersebut terindikasi
terlantar sesuai surat keputusan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali
tertanggal 14 juli 2011. Berdasarkan surat tersebut Badan Pertanahan telah
melakukan tindakan sampai tahapannya menuju proses penetapan sebagai tanah
terlantar dengan membentuk panitia C hingga mengirimkan surat peringatan
kepada perusahaan pemegang hak guna usaha yaitu PT. Margarana. Namun
sampai saat ini sama seperti kasus indikasi penelantaran tanah yang dilakukan
10
Walhi Minta DPRD tinjau ulang lahan BIP http://www.balebengong.net/kabar-
anyar/2011/07/14/walhi-minta-dprd-tinjau-ulang-lahan-bip.html diakses pada tanggal 1 september
2014 pukul 16.30 wita. 11
Pos Bali, 2014, PT Jimbaran Hijau Intimidasi Petani Dompe, http://posbali.com/pt-
jimbaran-hijau-intimidasi-petani-dompe/ diakses pada tanggal 1 september 2014 pukul 16.20 wita
7
oleh PT. Citra Tamas Selaras, indikasi penelataran tanah oleh PT. Margarana juga
tidak jelas kelanjutan kasusnya.12
Pengaturan mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar diatur
secara khusus kedalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 1998 yang kemudian
digantikan oleh Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang
selanjutnya disebut PP No. 11 Tahun 2010 menyatakan objek penertiban tanah
terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara. Hak-hak tersebut
dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak
pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Sedangkan Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 menyatakan, tidak termasuk
objek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a. tanah hak milik atau hak guna bangunan atas nama perseorangan yang
secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan pemberian haknya; dan
b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak
langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik
12
Status Tanah Sumberklampok Bali Semakin Kabur, Komitmen BPN RI dan DPRD Bali
Dipertanyakan, diakses dari http://www.kpa.or.id/?p=2894 pada tanggal 1 september 2014 pada
pukul 16.30 wita
8
Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Menurut penjelasan Pasal 3 huruf a PP No. 11 Tahun 2010 yang dimaksud dengan
tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya dalam ketentuan ini adalah karena pemegang hak perseorangan
dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan,
mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian haknya. Sedangkan penjelasan Pasal 3 huruf b menyatakan yang
dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan pemberian haknya dalam ketentuan ini adalah karena keterbatasan
anggaran negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan, atau
memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Dalam melakukan penertiban tanah terlantar melibatkan berbagai pihak
yaitu Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa identifikasi dan penelitian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.
Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan susunan keanggotaan Panitia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional
dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala.
Penelitian ini beranjak dari kekaburan norma yang penulis temukan dalam
Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar khususnya huruf a karena tidak mencantumkan secara jelas kualifikasi
pengecualian objek tanah dari segi ekonomi. Dengan adanya kekaburan norma
9
tersebut ditakutkan nantinya para pemegang hak atas tanah yang secara nyata
tanahnya telah terindikasi terlantar dapat mengelak dengan alasan segi ekonomi
tersebut. Selain itu dalam Pasal 5 masih belum jelas siapa saja unsur instansi
terkait yang mempunyai kewenangan untuk ikut serta melakukan penertiban tanah
terlantar.
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk menulis tentang Wewenang
Badan Pertanahan Dalam Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dari
penelusuran kepustakaan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan Tanah
terlantar yaitu:
1. Tesis atas nama Luh Putu Suryani, NIM 0890561039, mahasiswa Program
Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan judul
“Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka
Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar”. Adapun yang menjadi pokok
permasalahannya adalah bagaimanakah kewenangan dan mekanisme
penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai instansi baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan bagaimanakah
Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota
Denpasar.
Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan, kewenangan penertiban
tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dimana pemerintah
(Presiden) mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban
tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010.
10
Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah tanah Negara
bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan
masyarakat disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Denpasar yang diatur dalam Perda No.10 Tahun 1999.
2. Tesis atas nama Ardi Suryadin, mahasiswa Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Padjajaran dengan judul “Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar Terhadap Lahan Berstatus Hak Guna
Bangunan Di Kota Bandung Dikaitkan Dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar”. Adapun yang menjadi pokok permasalahannya adalah
Bagaimanakah pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
berstatus Hak Guna Bangunan Di Kota Bandung serta Kendala-kendala
apa yang dihadapi Kantor Pertanahan Kota Bandung dalam menetapkan
tanah terlantar berstatus tanah Hak Guna Bangunan di Kota Bandung dan
bagaimana upaya untuk mengatasi masalah tersebut.
Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan, pelaksanaan penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar berstatus Hak Guna Bangunan di Kota
Bandung belum berjalan sepenuhnya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor
11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Adapun kendala-kendala yang ditemui oleh pihak kantor pertanahan kota
Bandung dalam proses identifikasi dan penelitian lapangan adalah pemilik
hak guna bangunan tidak mengakui tanahnya sebagai tanah terlantar dan
11
upaya yang dilakukan adalah memberikan peringatan kepada pemegang
Hak Guna Bangunan.
3. Tesis atas nama Alifnu Pangripta Damai, NIM B4B004063, mahasiswa
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponogoro dengan
judul “Peranan Kantor Pertanahan Terhadap Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar Di Kabupaten Pekalongan”. Adapun
pokok permasalahannya adalah Mengapa terdapat tanah terlantar dan
bagaimana peran Kantor Pertanahan di dalam melaksanakan penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar di wilayah Kabupaten Pekalongan serta
Kendala apakah yang timbul dan bagaimana penyelesaiannya di dalam
pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di wilayah
Kabupaten Pekalongan.
Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan, faktor-faktor penyebab
penelantaran tanah di wilayah Kabupaten Pekalongan disebabkan oleh
faktor intern antara lain seperti kondisi manajemen perusahaaan yang
kurang baik dan dari faktor ekstern seperti keadaan alam yang tidak
memungkinkan, sedangkan peran Kantor Pertanahan Kabupaten
Pekalongan terhadap Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di
wilayah Kabupaten Pekalongan antara lain adalah melakukan kegiatan
sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Kendala-kendala di
dalam melaksanakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di
wilayah Kabupaten Pekalongan antara lain adalah sulitnya mengetahui
12
domisili ataupun keberadaan dari Pemegang Hak Atas Tanah yang
diindikasikan sebagai tanah terlantar.
Apabila disimak ketiga hasil penelitian tersebut tidak dijumpai penelitian
yang sama dengan penelitian ini. Selain itu, penelitian ini mengambil
permasalahan yang berbeda dari ketiga penelitian tersebut di atas, yang artinya
penelitian ini mengangkat sebuah topik permasalahan dengan mengupas sisi lain
dari suatu objek penelitian yang memang belum tereksplorasi, sehingga penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya atau keasliannya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi
pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu:
1. Apakah yang menjadi kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar
ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan?
2. Bagaimanakah kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-
undangan?
1.3. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka
dapat dikemukakan tujuan penelitian yang dikualifikasikan menjadi tujuan umum
dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya di bidang hukum pertanahan yaitu untuk memecahkan permasalahan
13
terkait dengan kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar dan
kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
menjawab rumusan masalah yakni:
a. Untuk mengetahui dan menganalisa yang menjadi kriteria, objek dan
subjek penertiban tanah terlantar menurut Peraturan Perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui dan menganalisa kewenangan yang dimiliki oleh Badan
Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
ditinjau Peraturan Perundang-undangan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis
maupun secara praktis, sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum
pertanahan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu dengan
memberikan gambaran atau informasi yang jelas kepada masyarakat, pengusaha,
dan pemerintah tentang kriteria, objek dan subjek tanah terlantar serta
14
kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban tanah terlantar ditinjau
dari Peraturan Perundang-undangan.
1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.5.1. Landasan Teoritis
Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh
karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan
pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta konstruksi data.13
Dengan
demikian, landasan teoritis merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian. Hal itu dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu
hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran
(controleur baar). Berhubungan dengan itu maka harus dihindari teori-teori
(ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan satu sama lain. Semakin
banyak teori, konsep, asas yang berhasil diidentifikasi semakin tinggi derajat
kebenaran (konsensus) yang bisa dicapai.
Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik
suatu proses tertentu yang terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.
Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), yang
terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun
13
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, h.58.
15
secara sistematis.14
Sementara itu, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang
menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.15
Oleh
karena itu, perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.
Otje Salman dan Anton F. Susanto dalam hal ini menyimpulkan teori
adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara
maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meskipun hanya memberikan
kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.16
Suatu kerangka teori
bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan
mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil terdahulu.17
Sedangkan dalam kerangka konsepsional diungkapkan
beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar
penelitian hukum.18
Landasan teoritis yang dijadikan dasar dalam mengkaji secara teoritis atas
permasalahan penelitian ini adalah seperti berikut ini :
1. Teori Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan Indonesia adalah negara
hukum (rechtstaat).19
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak
14
J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 194 15
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 80 16
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.
29. 17
Burhan Ashsofa, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 23 18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 19
Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di
Indonesia,Cetakan Ketiga, Alumni Bandung, h. 2
16
asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga
semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum.20
Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal,
melainkan dalam artian material yang juga diistilahkan dengan negara
kesejahteraan (Welfare State).21
Ada beberapa konsekuensi yang muncul dalam
suatu negara hukum material atau negara kesejahteraan, diantaranya adalah :22
a. Semakin banyak tindakan pemerintahan yang dilakukan organ-organ
pemerintah;
b. Tugas-tugas negara menjadi semakin kompleks;
c. Badan pembuat undang-undang mempunyai kecendrungan kurang mampu
mempertimbangkan situasi-situasi konkrit yang akan terjadi;
d. Badan-badan legislatif akan memberikan lebih banyak kebebasan kepada
pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan;
e. Dikaitkan dengan aspek perlindungan hukum bagi rakyat akan
memungkinkan lahirnya sengketa antara rakyat dan pemerintah sebagai
akibat kekosongan aturan hukum.
Untuk mewujudkan adanya kesejahteraan rakyat, negara dan pemerintah
Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi
dituntut untuk turut serta secara aktif dalam semua aspek kehidupan dan
penghidupan rakyat. Konsekuensinya, lapangan pemerintahan yang diemban
pemerintah menjadi sangat luas. Lemaire mengemukakan Pemerintah mengemban
tugas “Bestuurszorg” yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan kesejahteraan
umum. 23
20
Adnan Buyung Nasution, 2007, Bantuan Hukum, Akses Masyarakat Marginal Terhadap
Keadilan (Tinjauan, Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan di Berbagai
Negara), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, h. 97. 21
Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta,
h. 21-22. 22
Ibid. h. 28. 23
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 40.
17
Semakin banyaknya campur tangan pemerintah dalam kehidupan
masyarakat, bagi negara hukum modern seperti Indonesia tindakan pemerintah
tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan pemerintah
tersebut tidak menimbulkan konflik dikemudian hari. John Austin menyatakan
bahwa : “The most essential characteristic of positive law, consists in it’s
imperative character. Law is conceived as a command of the sovereign”.24
Bahwa
hukum adalah perintah dari penguasa negara dimana hakikat dari hukum itu
sendiri terletak pada unsur perintah.
Secara normatif, campur tangan pemerintah dimaksud dituangkan kedalam
berbagai peraturan perundang-undangan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat
daerah. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut maka kekuasaan
pemerintah menjadi dibatasi didalam bertindak dan sekaligus memberi pedoman
bagi masyarakat didalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Fungsi dari
peraturan perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Sudargo Gautama
sebagai berikut : “Peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah diadakan
lebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. Undang-Undang Dasar
yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga
oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri”. 25
Teori tentang negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke 17 dan 18
untuk menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa. Para pemikir
mencoba menjawab persoalan yang berkaitan dengan hakekat, asal dan tujuan
negara, khususnya adalah berkaitan dengan dari mana negara mendapat
24
H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press
Limited, London, Page.14. 25
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 3.
18
kekuasaan, karena itulah muncul 2 teori besar tentang negara dan hukum yaitu
Teori Kedaulatan (Souverenete) dan Teori Asal Mula Negara, yang menghasilkan
2 pola negara yaitu negara kekuasaan (machstaat) dan negara hukum
(rechstaat).26
Dalam negara hukum, apa yang menjadi dasar pembentukan suatu
pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Sampai saat ini ada dua cara
yang dapat dipergunakan untuk menelusuri suatu negara dikatakan sebagai negara
hukum, yaitu yang pertama melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh K.C. Wheare yang menyatakan “what should a
constitution contains? The very minimum, and minimum to be rules of law” (isi
minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum)27
. Kedua berdasarkan
pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan
unsur-unsur/ciri-ciri dari suatu negara hukum. 28
Philipus M Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum
yakni: rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila.29
Secara
konseptual ide negara hukum lahir pada abad ke 19 dan abad ke 20 yang ditandai
dengan dikemukakannya istilah Recht Staat, oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat
Kontinental atau oleh kalangan ahli Anglo Saxon menyebutnya dengan istilah
Rule Of Law (negara berdasarkan kekuasaan hukum). Friedrich Julius Stahl
mengemukakan ciri-ciri negara hukum yaitu :
26
Mukthi Fajar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang,
h. 11.
27
K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page.
33-34 28
Juniarto, Op.cit., h. 36 29
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya h. 69.
19
1. Adanya pengakuan akan hak asasi manusia;
2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia
berdasarkan trias politika;
3. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kepada Undang-Undang; dan
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.30
Saat yang bersamaan muncul pula teori negara hukum (rule of law) dari
A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo-saxon. Dicey
mengemukakan unsur-unsur rule of law yang mencakup: 31
1. Supremasi aturan-aturan hukum, yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-
wenang dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum. Dalil ini berlaku baik untuk orang
biasa maupun untuk pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan-
keputusan pengadilan.
Teori negara hukum digunakan dalam penelitian ini, karena unsur pertama, kedua,
dan ketiga dari teori negara hukum tersebut tepat digunakan sebagai pisau analisa
permasalahan pertama dan permasalahan kedua penelitian tesis ini yaitu
mensyaratkan setiap tindakan pemerintah dalam hal untuk menetapkan dan
menertibkan tanah terlantar harus berdasarkan atas hukum.
30
Mukthi Fajar, Op.Cit. h. 42. 31
Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge,
London and New York, h. 52
20
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).32
Teori kepastian hukum dihubungkan dengan penelitian ini
digunakan sebagai pisau analisa permasalahan yang pertama yaitu apakah yang
menjadi objek dan seperti apa kriteria tanah terlantar ditinjau dari Peraturan
Perundang-undangan sehingga nantinya dapat diketahui secara pasti objek dan
kriteria tanah seperti apa yang dapat dikatakan tanah terlantar.
Menurut Radbruch sebagaimana dikutip oleh Theo Huijbers Teori
kepastian hukum adalah : Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu
diperhatikan. Oleh sebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan
negara. Hukum positif harus selalu ditaati, walaupun isinya kurang adil, atau juga
kurang sesuai dengan tujuan hukum. Namun terdapat pengecualian, yakni
bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar,
sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh
dilepaskan.33
Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
32
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT.
Gunung Agung Tbk, Jakarta, h. 85. 33
Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, h.
163.
21
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
Pasal-Pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah diputuskan.34
Tujuan utama dari hukum itu ada ialah kepastian hukum, keadilan bagi
sebagian besar masyarakat, dan yang terakhir memberi manfaat bagi masyarakat
itu sendiri. Hukum diciptakan bukan untuk memperburuk keadaan, melainkan
memberikan ketiga poin dari tujuan hukum di atas. Ada empat hal yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu :
1. Hukum itu positif yaitu bahwa telah ada peraturan perundangan-undangan
yang mengatur tentang suatu hal tertentu;
2. Hukum tersebut harus berdasarkan fakta, bukan suatu rumusan tentang
penilaian yang nanti akan dilakukan oleh seseorang;
3. Hukum itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan; dan
4. Hukum Positif tidak boleh sering diubah-ubah.35
3. Teori Kewenangan
Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisis
permasalahan yang kedua yaitu bagaimanakah kewenangan Badan Pertanahan
Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari
Peraturan Perundang-undangan. Istilah kewenangan dan wewenang dalam Hukum
Administrasi Negara terdapat perbedaan pandangan dari beberapa literatur yang
34
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h. 158. 35
Achmad Ali, Op.Cit., h. 180
22
ada. Secara konseptual istilah kewenangan sering disebut authority, gezag atau
yuridiksi dan istilah wewenang disebut dengan competence atau bevoegdheid.36
Juanda menyatakan bahwa “kewenangan adalah kekuasaan formal yang
berasal dari atau diberikan oleh Undang-Undang misalnya kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan
terdapat kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang”.37
Sedangkan
menurut pendapat Philipus M. Hadjon memakai istilah wewenang yang dapat
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, kedua istilah itu sering disejajarkan
dengan istilah bevoegheid dalam bahasa belanda.38
Menurut Atmosudirdjo antara
kewenangan (authority) dan wewenang (bevoegheid) perlu dibedakan, walaupun
dalam praktik pembedaanya tidak selalu dirasakan perlu.39
Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda
pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung Hak dan Kewajiban
dalam suatu hubungan hukum publik. Menurut H.D Stout yang mengatakan
bahwa:
Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan
worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de
verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer.40
(wewenang merupakan pengertian yang berasal dari organisasi
pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai sebagai keseluruhan aturan-
36
SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
cet. V, Liberty, Yogyakarta, h. 153 37
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan
Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumnni, Bandung, h. 265. 38
Philipus M. Hadjon, dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Introduction to
the Indonesia Administrative Law), Cet. Kesepuluh, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
(untuk selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon, dkk I) h. 74. 39
Prajudi Atmosudirjo,1994, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h.78 40
Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.101.
23
aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik).
Pemerintah dalam mengambil suatu tindakan, harus didasarkan pada
hukum yang berlaku, oleh karena itu agar suatu tindakan pemerintah dikatakan
sah, maka hukum memberikan suatu kewenangan kepada pemerintah untuk
bertindak maupun tidak. Menurut Philipus M. Hadjon, Kewenangan membuat
keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau
dengan delegasi.41
Senada dengan hal tersebut, menurut pendapat F.A.M Stroink
dan J.G Steenbeek yang dikutip oleh Sajidjono, mengatakan bahwa hanya ada dua
cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yakni atribusi berkenaan dengan
penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi adalah menyangkut
pelimpahan wewenang yang telah ada, untuk wewenang mandat dikatakan tidak
terjadi perubahan wewenang apapun, yang ada hanyalah hubungan internal.42
Namun secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga
sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat. Menurut H.D Van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
a. Atrtibutie: toekenning van een bestursbevoegheid door een wetgever
aan een bestursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah).
b. Delegatie:overdracht van een bevoegheid van het ene het
bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat: een bestuursorgaan ;aat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lainnya).43
41
Philipus M. Hadjon, dkk I, Op.Cit., h. 130. 42
Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan ke II, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, h. 65. 43
Ridwan HR, Op.cit, h.104-105.
24
Kewenangan yang diperoleh secara atribusi menunjukkan pada
kewenangan asli yaitu bahwa adanya pemberian kewenangan oleh pembuat
Undang-Undang kepada suatu organ pemerintah. Suatu atribusi merupakan
wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada
suatu peraturan Perundang-Undangan. Delegasi dapat diartikan adanya
penyerahan/ pelimpahan wewenang oleh pejabat pemerintah (delegans) kepada
pihak lain yang menerima wewenang tersebut (delegatoris). Dan kewenangan
yang diperoleh secara mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi antara pemberi
mandat dengan penerima mandat.
Dalam kajian hukum Administrasi Negara, sumber wewenang bagi
pemerintah dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan sangatlah penting. Hal
ini disebabkan karena dalam penggunaan wewenang tersebut selalu berkaitan
dengan pertanggungjawaban hukum. Dalam pemberian kewenangan kepada setiap
organ atau pejabat pemerintahan tertentu tidak terlepas dari pertanggungjawaban
yang ditimbulkan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan
wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan
tanggungjawab intern ekstern pelaksaanaan wewenang yang distribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).44
Dalam wewenang delegasi sifat wewenanganya adalah penyerahan atau
pelimpahan wewenang yang bersumber dari wewenang atribusi. Akibat hukum
ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi
(delegataris).45
Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tetapi tidak
44
Ibid, h.108 45
Sadjijono, Op. cit, h. 66.
25
sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat) dalam melaksanakan
kekuasaannya tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi
kuasa, karenanya yang bertanggungjawab adalah si pemberi kuasa.46
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintahan
Nonkementrian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden,
serta dipimpin oleh seorang Kepala, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan
Nasional. Selanjutnya dalam Pasal 2 menetapkan bahwa “Badan Pertanahan
Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut, maka hal-hal yang berkaitan
dengan pertanahan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan
Nasional, yang kewenangannya diperoleh dari adanya pendelegasian wewenang
dari Presiden. Begitu juga berkaitan dengan produk hukum yang dihasilkan oleh
Badan Pertanahan Nasional adalah dalam bentuk regulasi, yaitu salah satu dalam
bentuk Peraturan Kepala Badan. Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat
dari; (a) pendelegasian Undang-Undang; (b) Peraturan kebijaksanaan.47
Dalam kaitannya dengan penertiban tanah terlantar Badan Pertanahan
Nasional sebagaimana disebut dalam Pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 mempunyai
kewenangan untuk mengindentifikasi serta menetapkan tanah terlantar.
Berdasarkan hal tersebut, Peraturan Kepala Badan merupakan salah satu bentuk
46
Jum Anggriani, 2012, Hukum Adminsitrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 92. 47
Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum campuran (gemeenscapelijkrecht) Dalam
Konsolidasi Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Yudhi Setiawan I), h.
25.
26
Peraturan Kebijakan, dimana dalam hal kewenangan untuk membuat Peraturan
Kebijakan berupa Peraturan Kepala Badan diperoleh berdasarkan adanya delegasi
wewenang salah satunya dikeluarkanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 yang mengatur tentang tata
cara penertiban tanah terlantar
4. Konsep Tanah Terlantar
Dasar pijakan merumuskan konsep hukum tanah terlantar adalah
menggunakan konsep hukum tanah adat yang mempunyai sifat komunalistik,
yang mengenal hak bersama anggota masyarakat adat. A.P. Parlindungan
mengemukakan konsep tanah terlantar dengan merujuk pada hukum adat yaitu
sesuai dengan karakter tanah terlantar (kondisi fisik) yang telah berubah dalam
waktu tertentu (3,5 sampai 10 tahun) maka haknya gugur, tanah kembali pada hak
ulayat, istilah ditelantarkan diartikan sebagai keadaan jika tanah yang tak dipakai
sesuai dengan keadaannya, sifat atau tujuannya.48
Berdasarkan pendapat tersebut
maka tanah terlantar lebih mengarah pada kondisi fisik tanah yang sudah tidak
produktif dan tidak bertuan (ditinggalkan oleh pemegang haknya).
Melalui penjelasan dalam Pasal 27 UUPA dapat ditemukan pengertian
tanah terlantar yaitu tanah yang sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya. Hal tersebut dapat disebut konsep
hukum tanah terlantar tetapi berdasarkan kajian atas terbentuknya konsep hukum
yang jelas, pengertian tersebut di atas belum menggambarkan makna konsep tanah
terlantar, karena secara nyata tanah tidak dikerjakan sesuai dengan peruntukannya.
48
A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah (Menurut Sistem UUPA),
Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), h. 7.
27
Menurut PP No. 11 tahun 2010 pasal 2 menyatakan Objek penertiban
tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,
atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaannya. Guna memperoleh kejelasan pengertian dengan
menganalisa terhadap persamaan dan perbedaan unsur-unsur tanah terlantar
menurut hukum adat dan peraturan perundang-undangan, Suhariningsih
memberikan rumusan konsep tanah terlantar, yaitu : Tanah yang dengan sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya
dalam waktu tertentu dan kepada pemegang hak akan kehilangan hak atas
tanahnya, karena pencabutan hak atas tanah dan selanjutnya tanah dikuasai
kembali oleh negara.49
Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat
dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat.
Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga
bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun
bagi masyarakat dan negara. 50
Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburan serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang
49
Suhariningsih, Op.Cit., h. 252. 50
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah Edisi pertama, Prenada
Media, Jakarta, h. 60.
28
haknya melainkan menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi
yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu.
5. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De
Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen
Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan
hukum bagi rakyat terhadap pemerintah.51
Asas-asas ini harus diperhatikan oleh
pemerintah karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni
setelah adanya Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Serta terdapat juga
dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menyatakan “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas
umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas
tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, asas
efektivitas dan asas keadilan”.
Crince Le Roy mengemukakan sebelas (11) butir asas-asas umum
pemerintahan yang baik yaitu :52
51
Amrah Muslimin, 1982, Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok
Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, h. 140. 52
SF. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 386
29
1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)
asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha
negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum
dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang
bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi.
2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)
asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau
kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan sehingga
memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada.
3. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)
asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan
aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga negaranya.
4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation )
asas ini menghendaki setiap keputusan badan pemerintahan harus
mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam
menerbitkan keputusan.
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse
of competence )
dalam asas ini aspek wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang
sudah ditentukan dalam undang-undang artinya pejabat tata usaha negara
tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang
ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang
melampaui batas.
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality)
asas ini menghendaki badan pemerintah mengambil tindakan yang sama
atas kasus yang faktanya sama
7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play)
asas ini menghendaki agar setiap warga diberikan kesempatan seluas-
luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta membela diri sebelum
dijatuhkan putusan.
8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of
arbitrariness)
asas ini menghendaki pejabat tata usaha negara harus proporsional, sesuai,
seimbang, selaras dengan hak setiap orang dengan memperhatikan nilai-
nilai yang berlaku ditengah masyarakat.
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar (Principle of meeting raised
expectation )
asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
harus mengabulkan harapan wargaNegara walaupun tidak menguntungkan
bagi pemerintah.
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the
consequences of unneled decision )
asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka
yang bersangkutan atau yang terkena keputusan haru diberikan ganti rugi
atau kompensasi atau pengembalian nama baik.
30
11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting
the personal way of life )
asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak setiap warga negara
yang merupakan konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung
tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara.
Selain kesebelas asas yang telah dikemukan oleh Crince Le Roy tersebut,
Kuntjoro Purbopranoto menambahkan dua (2) asas lagi yaitu :53
1. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently)
asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan
kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan
formal atau hukum tertulis.
2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )
asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
selalu mengutamakan kepentingan umum.
Tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar harus
memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga tindakan
pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat
atau pihak-pihak yang terkena tindakan tersebut.
53
Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, h. 75.
31
1.5.2. Kerangka Berpikir
WEWENANG BPN DALAM PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN
TANAH TERLANTAR
KONSEP TINDAK
PEMERINTAHAN
TEORI
KEWENANGAN
ASAS-ASAS UMUM
PEMERINTAHAN
YANG BAIK
Latar
Belakang
Rumusan Masalah
1. Jenis Penelitian :
Normatif
2. Jenis Pendekatan :
Pendekatan Perundang-
undangan dan Pendekatan
Konsep
3. Sumber Bahan Hukum
:
Bahan Hukum Primer ,
Bahan Hukum Sekunder,
Bahan Hukum Tertier.
4. Teknik Pengumpulan
Bahan Hukum : Studi Dokumen
5. Teknik Analisis Bahan Hukum :
Teknik Deskriptif dan
Teknik Interpretasi
1. Apakah yang menjadi
kriteria, objek dan
subjek tanah terlantar
ditinjau dari Peraturan
Perundang-undangan?
Konsep Tanah
Terlantar
2. Bagaimanakah
kewenangan Badan
Pertanahan Nasional
dalam penertiban dan
pendayagunaan tanah
terlantar ditijau dari
Peraturan Perundang-
undangan?
Teori Negara
Hukum
Teori Kepastian
Hukum
Landasan
Teoritis
Metode Penelitian
Kekaburan
Norma pada
Pasal 3 PP No.
11 Tahun 2010
terkait dengan
kriteria, objek
dan subjek
tanah terlantar
dan Pasal 5 PP
No. 11 Tahun
2010 terkait
dengan
kewenangan
BPN dalam
penertiban
tanah terlantar
Teori
Kewenangan
Kesimpulan
1. Kriteria tanah yang dapat diidentifikasi tanah terlantar adalah pemegang hak atas tanah dengan
sengaja tidak memelihara hak atas tanah tersebut dengan baik dalam jangka waktu tertentu
sehingga kualitas kesuburan tanahnya menjadi menurun dan tidak produktif lagi. Sedangkan
Objek penertiban tanah terlantar adalah Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan atau yang telah memiliki dasar penguasaan atas
tanah dan subjeknya adalah Perseorangan, Badan Hukum Privat maupun Badan Hukum Publik.
2. Kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban tanah terlantar merupakan
kewenangan delegasi dari pemerintah (Presiden), sedangkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan
peruntukan tanah yang tergabung dalam panitia C adalah memperoleh kewenangan subdelegasi
dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia . Adapun mekanisme dalam
penertiban tanah terlantar dengan melakukan inventarisasi tanah yang terindikasi terlantar,
melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, memberikan peringatan
terhadap pemegang hak, dan terakhir apabila pemegang hak tidak mengindahkan peringatan
yang diberikan akan mengeluarkan penetapan tanah terlantar.
Asas-Asas
Umum
Pemerintahan
Yang Baik
32
Adapun dari bagan kerangka berpikir tersebut di atas dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Penelitian dengan judul Wewenang Badan Pertanahan Nasional Dalam
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ini beranjak dari kekaburan
norma yang penulis temukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 PP Nomor 11 Tahun
2010. Dalam penelitian ini mengambil dua rumusan masalah yaitu apakah yang
menjadi kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar serta bagaimana
kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini
digunakan tiga teori hukum sebagai pisau analisa untuk menjawab dari dua
permasalahan tersebut, yaitu Pertama Teori Negara Hukum dalam penelitian ini
digunakan sebagai pisau analisa permasalahan pertama dan permasalahan kedua
yaitu mensyaratkan setiap tindakan pemerintah dalam hal untuk menetapkan dan
menertiban tanah terlantar harus berdasarkan atas hukum; Kedua yaitu Teori
Kepastian Hukum dihubungkan dengan penelitian ini digunakan sebagai pisau
analisa permasalahan yang pertama yaitu apakah yang menjadi kriteria, objek dan
subjek penertiban tanah terlantar ditinjau dari peraturan perundang-undangan.
Ketiga Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisis
permasalahan yang kedua yaitu tindakan yang dapat dilakukan oleh Badan
Pertanahan Nasional terhadap tanah yang ditelantarkan, terkait dengan
kewenangannya untuk menetapkan dan menertibkan tanah terlantar. Selain
menggunakan ketiga teori tersebut, dalam penelitian ini juga memakai konsep
tanah terlantar serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.
33
1.6. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi
terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah.54
Oleh karena penelitian merupakan suatu saran (ilmiah) bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang
ditetapkan harus senantiasa di sesuikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi
induknya dan hal ini tidaklah selalu berarti metodologi yang dipergunakan
berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu
yang merupakan identitasnya, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu-
ilmu pengetahuan lainnya. Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang
terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data
baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau
hipotesa yang ada.55
Secara khusus menurut jenis, sifat, dan tujuannya suatu penelitian hukum
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris.56
Penelitian hukum normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut
sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum
doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 11. 55
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta, h. 6. 56
Ibid. h. 13.
34
peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian
ataupun studi dokumen, penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap bahan
hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Dalam penelitian hukum
yang normatif biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber bahan hukum
sekunder saja, yaitu buku-buku, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan
pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.57
Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah
satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin methodus,
Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu jalan, suatu
cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula
metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan
atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.58
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian
hukum normatif karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma
dalam Pasal 3 PP Nomor 11 Tahun 2010 berkaitan dengan kriteria, objek dan
subjek penertiban tanah terlantar serta Pasal 5 PP Nomor 11 Tahun 2010 berkaitan
dengan kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban tanah terlatar.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan
dan bahan lain dari berbagai literatur.59
57
Ibid. h. 14. 58
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publishing, Malang, h. 26. 59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 93.
35
1.6.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan, yaitu :
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan fakta (fact
approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analisis
(analitical approach), pendekatan frasa (words and pharase approach),
pendekatan perbandingan (comperative approach), pendekatan sejarah
(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan
pendekatan kasus (case approach).60
Dalam membahas permasalahan yang
dikemukakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang
berdasar pada pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan
Pendekatan konseptual (conseptual approach).
Pendekatan peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini digunakan
untuk menelaah aspek pengaturan hukum tentang identifikasi, penelitian dan
penetapan sebagai tanah terlantar. Sedangkan pendekatan Konseptual (conceptual
approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menemukan konsep-konsep
yang berkaitan dengan tanah terlantar, kriteria tanah terlantar, kewenangan dan
tindakan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, bahan hukum tertier serta data penunjang. Bahan hukum primer
sebagai bahan penelitian dalam penelitian ini antara lain :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
60
Johny Ibrahim, Op.Cit., h. 93-95.
36
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
3. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;
4. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
5. Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar;
6. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan
Nasional;
7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
Sedangkan bahan hukum sekunder yang dipakai adalah buku-buku hukum
termasuk tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan
hukum pertanahan. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam
penelitian ini digunakan kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia dalam
rangka mencari definisi operasional.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan studi dokumen yaitu bahan hukum dikumpulkan melalui studi
dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan
dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder ataupun bahan hukum tertier.
37
1.6.5. Teknik Analisis Bahan hukum
Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah
terkumpul untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah dilakukan dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai
berikut :
1. Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam
menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang
tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa
adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
2. Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan
penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup
kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa
hukum tertentu.61
Teknik interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
interpretasi gramatikal dan inteprestasi sistematis. Interpretasi gramatikal
yaitu dengan menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah
bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Bahasa merupakan sarana yang
dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya, oleh
karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan
tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda.
61
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 61.