bab i pendahuluan 1. 1 latar...

24
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan terkait pencabangan masih kerap terjadi terutama pengelompokan terhadap bahasa Austronesia rumpun bahasa Melayu batasan nya masih belum jelas (Collins, 1983: 83). Hal ini kemudian dirumitkan lagi dengan belum terbitnya sebuah buku pun yang menyajikan sejarah bahasa Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura secara komprehensif dan ilmiah. Itulah kemudian klasifikasi dan pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia menjadi sangat penting dan mendesak dilakukan. Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir abad ke-19, yang ditandai oleh unculnya dua penelitian yang dilakukan pada dua tempat (negara) yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan. Penelitian yang pertama dilakukan di Jerman oleh Gustav Wenker pada tahun 1876 dan yang kedua dilakukan di Perancis oleh Jules Louis Gillieron pada tahun 1880 ( Moulton, 1969: 59). Kedua penelitian yang menjadi tonggak awal munculnya studi dialektologi tersebut secara umum bersifat diakronis (historis). Namun, oleh karena kedua penelitian itu disasarkan pada upaya pembuktian hukum perubahan bunyi yang dikemukakan kaum Neogrammarian, yang disebut dengan hukum bunyi tanpa kekecualian, maka segala kajian yang bersifat diakronis seperti hubungan dialekdialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya; hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu satu

Upload: buidieu

Post on 10-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik

sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan

pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan

terkait pencabangan masih kerap terjadi terutama pengelompokan terhadap bahasa Austronesia

rumpun bahasa Melayu batasan nya masih belum jelas (Collins, 1983: 83). Hal ini kemudian

dirumitkan lagi dengan belum terbitnya sebuah buku pun yang menyajikan sejarah bahasa

Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura secara komprehensif dan ilmiah. Itulah kemudian

klasifikasi dan pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia menjadi sangat penting

dan mendesak dilakukan.

Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

abad ke-19, yang ditandai oleh unculnya dua penelitian yang dilakukan pada dua tempat (negara)

yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan. Penelitian yang pertama dilakukan di Jerman

oleh Gustav Wenker pada tahun 1876 dan yang kedua dilakukan di Perancis oleh Jules Louis

Gillieron pada tahun 1880 ( Moulton, 1969: 59). Kedua penelitian yang menjadi tonggak awal

munculnya studi dialektologi tersebut secara umum bersifat diakronis (historis). Namun, oleh

karena kedua penelitian itu disasarkan pada upaya pembuktian hukum perubahan bunyi yang

dikemukakan kaum Neogrammarian, yang disebut dengan hukum bunyi tanpa kekecualian, maka

segala kajian yang bersifat diakronis seperti hubungan dialekdialek/subdialek-subdialek dengan

bahasa induk yang menurunkannya; hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu satu

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

sama lain, serta hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu dengan dialek-

dialek/subdialek-subdialek dari bahasa lain yang diduga ikut pula membentuk kejatian dialek-

dialek/subdialek-subdialek dari bahasa yang dteliti itu belum mendapat perhatian. Hal yang sama,

yang juga belum mendapat perhatian yang memadai dalam kedua kajian dialektologi di atas adalah

hal yang berkaitan dengan aspek sinkronis. Dalam hal ini yang dimaksudkan berkaitan dengan

bidang kajian linguistic yang dijadikan dasar kajiannya lebih ditekankan pada perbedaan bidang

fonologi daripada bidang linguistic lainnya, seperti bidang morfologi, sintaksis, leksikon, dan

semantic. Hal ini dapat dimaklumi karena sasarannya diutamakan pada pembuktian kebenaran

hukum perubahan bunyi yang diajukan kaum neogrammarian. Dalam pada itu pula , penentuan

status isolek sebagai dialek atau subdialek sepenuhnya tidak didasarkan pada perbedaan yang

terdapat pada semua bidang kajian linguistik di atas.

Selanjutnya, perkembangan penelitian dialektologi pasca Wenker dan Gillieron

memperlihatkan kecenderungan ke arah terbentuknya dua pola penelitian yang berbeda satu sama

lain. Yang pertama, penelitian yang hanya menekannkan aspek sinkronis dan yang kedua

penelitian yang tidak hanya menekankan aspek sinkronis, tetapi juga aspek diakronis. Penelitian

dialektologi dilakukan oleh Teew (1958) untuk bahasa Sasak di pulau Lombok yang menjadi

tonggak awal munculnya penelitian dialektologi di Indonesia merupakan contoh penelitian

dialektologi yang bersifat sinkronis. Tampaknya, dalam perkembangan selanjutnya penelitian

dialek geografis jenis ini mendapat tempat yang subur dalam penelitian dialektologi di Indonesia.

Hal ini berkat munculnya seorang ahli dialektologi yang berkebangsaan Indonesia yaitu

Ayatrohaedi dengan bukunya yang cukup dikenal pada kalangan dialektolog Indonesia adalah

Dialektologi: Sebuah Pengantar (1983)

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Jika merujuk ke hasil pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat

Bahasa, kini Badan Pembinaan, Pengembangan dan Perlindungan Bahasa (2008), dan oleh Grimes

(2000) dalam The Languages of The World, di Indonesia terdapat tidak kurang 698 buah bahasa

daerah dan dialeknya (dalam Masinambow dan Haenen: 2000). Bahasa daerah dan dialeknya itu

memiliki jumlah pemakai dan luas daerah pemakaian yang berbeda-beda. Ada yang jumlah

pemakainya sedikit misalnya bahasa Irian Jaya (Papua) dan Nusa Tenggara Timur (lihat

Ayatrohaedi, 1985:1)

Bahasa Muna (BM) adalah salah satu dari 698 bahasa daerah di Indonesia yang disebutkan

di atas yang pemakaian nya tidak hanya terdapat di Kabupaten Muna di Pulau Muna tetapi juga

tersebar/terdapat di Pulau Buton. Kajian geografi dialek terhadap bahasa Muna sama sekali belum

pernah dilakukan. Hal yang sama terjadi pula pada pemakaian bahasa Muna yang ada sebagai

daerah kantong (enclave) di pulau buton tidak pernah pula dilakukan penelitian sebelumnya.

Sejauh ini kerja penelitian terkait bahasa Muna hanya menjangkau identifikasi dan

pengklasifikasiannya saja yang sudah dilakukan oleh Summer Institute of Linguistik (SIL) pada

2006, dan Pusat Bahasa 2008. Menurut Van den Berg (1989), bahasa Muna terdiri atas tiga dialek

yaitu, (1) dialek Muna standar, (2) dialek Tiworo Kepulauan, dan (3) dialek selatan (daerah

Siompu dan Gulamas). Bahasa Muna juga terdapat di kabupaten/pulau Buton. Daerah-daerah

seperti Kamaru, Liabuku, Batauga, Siompu, Gu, Lakudo, Mawasangka, sebagian Lasalimu, Bungi,

sebagian Sampolawa adalah daerah-daerah di Buton yang bahasanya adalah merupakan varian

bahasa Muna. Daerah-daerah enklave Muna di Buton itu mengidentifikasi diri mereka sebagai

Pancana. Pancana adalah komunitas Muna yang tinggal di daerah periveral, daerah pinggiran

Muna, dan di pulau Buton bagian barat. statusPancana karena pengaruh bahasa Wolio yang lebih

berprestise dianggap sebagai bahasa minoritas. Dinamika Muna lebih diberi peluang untuk hidup

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

daripada bahasa lain disamping bahasa Wolio, karena peranan Muna sebagai benteng penjaga dan

penopang (Barata) kesultanan adalah hal lain yang mungkin bisa menunjang .

Menarik dicermati bahwa jika ditarik mundur kebelakang, pada masa dahulu, Muna adalah

sebuah kerajaan yang tunduk dan di bawah kontrol Kesultanan Buton. Dalam perspektif

Kesultanan Buton, Muna adalah sebuah Barata bersama-sama dengan Kulisusu di Utara, Tiworo

di Barat, dan Kaledupa di Timur. Barata adalah daerah penopang yang bertanggung jawab

menjaga keamanan dan melindungi Kesultanan dari gangguan bajak laut ataupun serangan musuh.

(lihat Zuhdi dalam labu rope labu wana, Sejarah Buton yang Terabaikan. 2005). Sebagai

Kesultanan, Buton mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Wolio, tetapi dapat dilihat kini pada

daerah-daerah di Buton, bahasa Muna justru banyak sekali ditemukan khususnya pada daerah

pesisir pantai barat dan selatan pulau Buton serta pulau-pulau kecil di sekitar lepas pantai pulau

Buton seperti pulau Siompu, Kadatua, dan Talaga.

Charles E. Grimes and Barbara D. Grimes dalam Languages of South Sulawesi (1987: 59)

menyatakan bahwa rumpun Muna-Buton masuk dalam rumpun bahasa-bahasa di Sulawesi

Selatan. Sedangkan La Ode Sidu dkk menyebut bahasa Muna-Buton masuk dalam rumpun

Sulawesi tenggara. Penelitian lain yang dilakukan oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) 2006

tidak menyebutkan adanya enklave Muna di Buton. SIL hanya mengidentfikasi dan kemudian

mengklasifikasi bahasa Muna dalam empat dialek, yaitu Muna Utara (daerah Tongkuno, Kabawo,

Lawa), Muna Selatan (daerah Gulamas), Muna Barat (daerah Lohia) Muna Timur (daerah Tiworo

Kepulauan).

Relasi historis menunjukan sangat dekatnya Enklave Muna di Pulau Muna, khususnya di

Muna Selatan (daerah Gu, Lakudo, Mawasangka atau diakronimkan Gulamas) dengan Siompu,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Talaga, Batauga, Kapontori, Todanga, sebagian Kamaru, Lipu, Liabuku, sebagian Sampolawa, dan

sebagian Lasalimu di Pulau Buton.

Untuk melihat hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada prinsipnya

dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa. Secara

genetis pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan keterangan tentang

hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus.

Cara kerja komparatif yang digunakan adalah bersifat kualitatif maupun kuantitatif.

Prosedur metode komparatif yang bersifat kuantitatif ditempuh mengawali tahap rekonstruksi

protobahasa dengan menerapkan metode komparatif yang bersifat kualitatif.

Penelitian secara mendalam mengenai enklave bahasa Muna di Buton belum pernah

sebelumnya dilakukan, padahal tema mengenai ini sangat penting diteliti untuk mengetahui dan

memetakan secara visual daerah mana saja di kabupaten/pulau Buton yang masyarakatnya

memiliki bahasa yang merupakan varian bahasa Muna dan sekaligus malanjutkannya pada analisis

secara diakronis. Penelitian yang dilakukan oleh Summer Istitute Linguistic (SIL) 2006 dan Kantor

Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara 2008 hanya menyentuh sedikit saja mengenai ini, tidak masuk

menjangkau hal yang substansial. penelitian kedua lembaga itu baru sebatas pada pemetaan secara

visual saja atau baru secara sinkronis belum mencapai kajian secara diakronis.

Oleh karena itu, kajian terhadap sejumlah enklave Muna yang ada di pulau Buton dari

aspek dialektologi diakronis perlu dilakukan, selain untuk memperkaya pemahaman tentang

variasi bahasa Muna, diharapkan juga tersedianya kajian bahasa Muna secara komprehensif.

Dengan demikian, enclave-enklave Muna yang ada di Pulau Buton dapat turut diperhitungkan

dalam kajian linguistic diakronis (bandingkan dengan Collins, 1983 & 1994; Nothofer, 1995, dan

Fernandez, 1998).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Selain itu, yang menarik adalah penyebab perpindahan orang-orang Muna di pulau Buton

yang berbeda-beda tujuan kedatangan mereka. Ada beberapa bukti yang memperlihatkan secara

signifikan bahwa bahasa Muna juga digunakan di Pulau Buton terutama di Buton bagian Barat

dan Selatan. Sebenarnya kedatangan orang-orang Muna di Pulau Buton itu tidak terjadi secara

serentak, tetapi terjadi secara bertahap. Ditinjau dari perspektif sejarah, perpindahan orang Muna

ke pulau Buton melalui fase sejarah yang berbeda, disebabkan sejumlah faktor yang berbeda pula.

Jauh sebelum Mia Patamiana (si empat orang) datang di Pulau Buton yang kemudian

mendirikan kerajaan Wolio pada sekitar tahun 1300-an, pulau Buton telah berpenghuni manusia.

Adalah manusia-manusia asli tertua yang pernah hidup di dalam goa di daratan pulau Muna pada

sekitar 4000 SM melakukan migrasi ke Pulau Buton. Manusia-manusia yang pernah hidup dalam

goa ini kemudian berdiam tinggal di pulau Buton bagian barat dan selatan. Mereka inilah yang

kemudian menjadi muasal moyang leluhur dan menurunkan suku Wakaokili, suku Kalende, suku

Lipu, suku Lambusango, suku Kolagana, suku Lowu-Lowu, suku Wapancana, dan suku Todanga.

Belakangan suku-suku ini kemudian mengidentifiaksi diri mereka sebagai Pancana. (Mudjur,

2009:60)

Informasi historis yang lain menyebutkan bahwa berdasarkan teori mutakhir tentang

migrasi mahluk Homo Sapiens, dapat diperkirakan bahwa pulau Buton dan Muna sudah pernah

dihuni, atau paling tidak disinggahi oleh mahluk manusia sejak sekitar 50—30 ribu tahun yang

lalu. Kelompok Homo Sapiens yang bermigrasi keluar dari Afrika dan pergi menuju Asia Selatan,

Asia tenggara, dan lalu Australia inilah, dapat diperkirakan yang juga menjadi mahluk manusia

pertama yang ada di pulau Buton dan Muna. Namun migrasi manusia modern ini bukan merupakan

gelombang pertama dan terakhir dari persebaran mahluk manusia di permukaan bumi ini. Ini

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

merupakan gelombang terawal dan paling kuno dari persebaran mahluk manusia di kawasan asia

Tenggara dan benua Australia termasuk Pulau Buton dan Muna (lihat Maula dkk, 2011:11)

Pada sekitar 2500 SM (Zaman Neolitikum), gelombang migrasi berikutnya datang dari

Cina Selatan melalui Taiwan dan kepulauan Filipina, menuju kepulauan Indo-Melayu. Para migran

ini, yang berasal dari orang Mongoloid Selatan, umumnya dikenal sebagai orang-orang

Austronesia; mereka yang bermukim di kepulauan ini dan Pasifik juga dikenal sebagai Malayo-

Polynesian, untuk membedakan mereka dari kelompok Austronesia lain nya, orang-orang

Formosa, yang bermukim di Taiwan dan bahasanya telah berkembang secara berbeda.

Gelombang-gelombang migrasi Austronesia ini bermigrasi ke arah selatan dari Taiwan melalui

Filipina, dimana mereka kemudian terbagi menjadi dua cabang, (1) cabang yang pertama

meneruskan perjalanan ke arah selatan dan bermukim di Sulawesi dan Kalimantan. Dari

Kalimantan Utara, beberapa kelompok menyeberangi Laut Cina Selatan untuk bermukim di

Vietnam Selatan. Kelompok-kelompok lain melanjutkan perjalanan sampai ke Bali, Jawa,

Sumatera, dan Semenanjung Malaysia. Belakangan migrasi juga terjadi ke Madagaskar. (2) cabang

kedua bermigrasi ke timur dan bermukim di Maluku, dimana mereka terbagi menjadi dua

kelompok lagi, yang pertama terus ke Tonga, Samoa, dan Polinesia, sementara kelompok yang

kedua pergi ke barat dan bermukim di kepulauan Sunda Kecil. Cabang ini jugalah yang sangat

mungkin singgah dan bermukim di Pulau Buton dan Muna (Maula, 2011:14)

Dalam hal arus pergerakan migrasi ini, menarik memperhatikan kesimpulan para ahli,

sebagaimana ditulis oleh Christian Pelras berdasarkan analisis linguistik bahwa penghuni pertama

Austronesia di Sulawesi Selatan memiliki hubungan dengan mereka yang saat ini menghuni bagian

tengah dan tenggara Sulawesi. Mereka itu menggunakan bahasa yang tergolong ke dalam

kelompok bahasa Kaili-Pamona, Bungku-Mori, dan Muna-Wolio (Buton). Bahwa bahasa tersebut

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

merupaka substratum bagi bahasa-bahasa yang kini digunakan oleh penduduk Sulawesi Selatan

dapat dilihat dari analisis terhadap kata-kata tertentu yang masih ditemukan dalam bahasa

Makassar dan Toraja, serta bahasa Bugis kuno serta bahasa Bugis para pendeta bissu. (lihat Pelras

dalam Manusia Bugis).

Lebih lanjut Pelras menulis bahwa sebelum tarikh masehi, mereka yang tergolong ke dalam

kelompok penutur bahasa Muna-Buton yang keturunannya dewasa ini dapat ditemukan di daerah

Wotu (Luwu), Layolo (Selayar), Kalao (dekat Selayar), Muna, dan Wolio agaknya bermukim di

sekeliling pantai teluk Bone. Sedangkan kelompok penutur bahasa Pamona hidup berpencar di

pedalaman Semenanjung Sulawesi Selatan (Pelras, 2005:42—43)

Berdasarkan tinjauan sejarah dan linguistik di atas, dapat diasumsikan bahwa orang Muna

yang terdapat di beberapa enklave Muna di Pulau Buton menggunakan bahasa Muna dengan dialek

yang berbeda-beda. Sehubungan dengan itu, ada peluang untuk melakukan kajian yang mendalam

terhadap isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton. Alasannya, karena selain belum adanya

kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap isolek-isolek itu melalui pendekatan linguistic

diakronis, sampai saat ini belum ditetapkan bahasa atau dialek apa sebenarnya yang dipakai oleh

desa-desa berpenutur bahasa Muna itu. Walaupun berdasarkan pengakuan sebagian besar penutur

di masing-masing enclave itu bahwa mereka adalah orang-orang Pancana yang muasalnya

datangnya dari pulau Muna. Perlu ditelusuri melalui kajian linguistik (dialektologi diakronis)

muasal mereka ketika terjadi migrasi dari daerah asalnya. Berdasarkan bukti dari uraian sejarah

seperti yang diungkapkan di atas, patron untuk menyimpulkan bahwa suatu bahasa berasal dari

satu bahasa atau kelompok bahasa belum dapat diandalkan dan dipakai sebagai pegangan karena

masih perlu dikaji eksistensi isolek-isolek tersebut melalui penelitian. Penelitian ini akan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

memperjelas tidak hanya status bahasa daerah enklave Muna di pulau Buton tetapi juga bagaimana

awal mula mereka bermigrasi serta alasan-alasan mereka melakukan perpindahan itu.

1.2 Rumusan Masalah

Oleh karena alat komunikasi yang digunakan oleh penutur isolek di enckave-enklave Muna

di Pulau Buton diasumsikan bervariasi, maka sebelum pembicaraan terhadap hubungan isolek-

isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna terlebih dahulu perlu dilakukan

identifikasi hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek itu dengan bahasa Muna dialek

Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara. Untuk memudahkan pembicaraan

dalam kajian ini penulis menggunakan istilah isolek yang lebih bersifat netral, karena status media

komunikasi yang digunakan oleh sejumlah enklave tersebut masih belum jelas apakah bahasa

ataukah dialek.

Pembicaraan terhadap sejumlah isolek-isolek tersebut harus diarahkan pada upaya

pembuktian secara linguistis dalam hal ini keeratan hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-

isolek Muna di Pulau Buton dengan bahasa Muna dialek selatan atau Gu Mawasangka, dan bahasa

Muna di daerah Tongkuno (Muna tinggi). Hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa

Muna, dan pengaruh bahasa Muna dialek selatan di Pulau Muna. Dengan demikian permasalahn

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton dengan

dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara?

2. Bagaimana hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan dialek-dialek

bahasa Muna di Pulau Muna?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

3. Bagaimanakah pengaruh bahasa Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) terhadap isolek-

isolek Muna di Pulau Buton?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hubungan isolek Muna di pulau Buton dengan

bahasa Muna, hubungan isolek-isolek Muna itu dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan

pengaruh bahasa Muna terhadap isolek-isolek Muna di pulau Buton. Jadi tujuan penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton

dengan dialek Selatan (Gu Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara

2. Mendeskripsikan hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan

dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna; dan

3. Mendeskripsikan pengaruh bahasa Muna, dialek Selatan (Gu-Mawasangka), terhadap

isolek-isolek Muna di pulau Buton.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan teoritis dan praktis. Kegunaaan teoritis adalah adanya

gambaran yang memadai tentang hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna di Pulau Buton

dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara, hubungan isolek-isolek

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Muna dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan pengaruh dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan

bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek-isolek itu.

Kegunaan praktis penelitian ini adalah dengan pengetahuan mengenai keadaan bahasa

yang diteliti, hubungan dengan bahasa-bahasa lain yang sekerabat dengannya diharapkan dapat

memberikan arah bagi penentuan kebijakan politik bahasa nasional khususnya dalam proses

pengembangan dan pembinaan bahasa. Dengan kata lain, menjadi bahan masukan bagi

pembangunan kebinekaantunggalikaan ke kebudayaan nasional Indonesia (lihat Danie, 1991: 8,

dalam Mahsun, 1994:9). Dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu upaya ikut

memelihara bahasa daerah tersebut sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional. Hal lainnya

adalah sebagai bahan informasi bahwa bahasa-bahasa di Muna-Buton sekerabat yang itu kemudian

dapat menumbuhkan solidaritas bersama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

kedua daerah tersebut dengan membentuk satu provinsi baru tersendiri sebagaimana yang kini

sedang diupayakan yakni Provinsi Buton Raya, atau Provinsi Muna-Buton, atau Provinsi Sulawesi

Tenggara Kepulauan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan pendahuluan

dipahami bahwa di pulau Buton terutama di daerah pesisir barat dan selatan ditemukan beberapa

enklave Muna yaitu di Batauga, Lipu, Liabuku, Lowu-Lowu (ketiganya terdapat di Kota Bau-Bau,

wilayah pesisir barat pulau Buton), Kapontori, Barangka, Kamaru, Todanga, Matanauwe, dan

Kakenauwe (daerah di Barat Pulau Buton). Dari sekian banyak daerah enklave Muna tersebut

hanya enklave Liabuku, Lipu, dan Laompo yang dijadikan sasaran dalam penelitian ini. Mengenai

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

tidak diambilnya beberapa enklave lainnya, disebabkan enklave-enklave itu berasal/pindah dari

salah satu enklave yang telah dijadikan sasaran penelitian.

Penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa

Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara mencakup penentuan

keeratan dan tingkat kekerabatan antara ketiganya. Penentuan keeratan hubungan dimaksudkan

untuk mendapatkan bukti secara linguistik-kualitatif keeratan hubungan isolek-isolek Muna di

pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara melalui

pendekatan Top Down Reconstruction. Hubungan kekerabatan ini diamati melalui sejumlah kata

kerabat yang ditemukan dalam ketiganya dan adanya keterwarisan dari bahasa awal yang lebih

tinggi darinya, baik yang berupa retensi maupun inovasi. Bahasa awal yang dimaksud adalah

Proto-Austronesia (PAN) pada tingkat yang lebih tinggi dan proto Muna-Buton pada tingkat yang

lebih rendah. Adapun penentuan tingkat kekerabatan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran

apakah isolek Muna di pulau Buton lebih dekat hubungannya dengan dialek Selatan (Gu-

Mawasangka), ataukah bahasa Muna dialek Utara. Selanjutnya dalam penentuan itu dapat

dikatakan apakah hubungan isolek-isolek itu dengan kedua bahasa itu bersifat sebagai bahasa

(yang berbeda) atau hanya merupakan variasi (dialek) dari satu bahasa. Secara kuantitatif

penentuan tingkat kekerabatan menggunakan teknik leksikostatistik (lexsicostatistic), sedangkan

secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan metode inovasi bersama (shared innovation) dan

retensi bersama (shared retention).

Selanjutnya kegiatan penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan

bahasa Muna di pulau Muna selain mendapatkan gambaran yang memadai secara kualitatif yang

menjelaskan hubungannya dengan prabahasa Muna yang diasumsikan telah menurunkan dialek-

dialek bahasa Muna juga untuk mendapatkan gambaran baik secara kuantitatif maupun kualitatif

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna. Dalam hubungan ini Prabahasa

Muna dan klasifikasi dialek-dialek bahasa Muna yang dibuat oleh Berg lah yang akan

dimanfaatkan, karena selain penelitian ini merupakan penelitian terakhir, juga menggunakan teori

maupun metodologi mutakhir dibidang kajian dialektologi diakronis yang mencakup aspek

sinkronis dan aspek diakronis dalam bahasa Muna. Pembuktian secara kualitatif atas kedua

persoalan di atas ditekankan pada bidang fonologi dan leksikon.

Adapun pembicaraan tentang pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa

Muna dialek Utara terhadap enclave-enklave itu difokuskan pada pembicaraan unsur-unsur

kebahasaan dan penentuan tingkat pengaruh bahasa-bahasa itu terhadap masing-masing enklave

Muna tersebut.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai bahasa Muna sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik

secara kolektif maupun secara individu. Pada umumnya penelitian bahasa Muna yang sudah

dilakukan itu bersifat sinkronis, sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah telah dilakukan

penelitian secara diakronis. Penelitian sinkronis terkait bahasa Muna sudh dilakukan oleh (1) Rene

van den Berg (1989) dengan judul A Grammar of the Muna Language. (2) J. A. Sande dkk (1986)

dengan judul Morfosintaksis Bahasa Muna. (3) Nurdin Yatim, dkk. (1986) dengan judul Morfologi

Kata Kerja Bahasa Muna.(4) La Ode Sidu Marafad (1986) dengan judul Hubungan Kata Ganti

Diri Bahasa Muna dengan Kata Ganti Diri Bahasa Indonesia. (5) La Ode Sidu Marafad, (1990)

dengan judul Fonologi Generatif Bahasa Muna. (6) La Ode Halaidi, (1986) dengan judul A Study

of Muna Language Affixes.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Di antara penelitian yang sudah dilakukan sebagaimana dituliskan di atas, penelitian

sinkronis yang agak relevan dengan tesis ini adalah penelitian yang dilakukan Sidu (1990) yang

berjudul Fonologi Generatif Bahasa Muna. Dalam temuan hasil penelitian nya, Sidu

menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fonologis yang diperlukan dalam menerangkan perubahan

realisasi fonologis menjadi realisasi fonetis dalam bahasa Muna sebanyak tujuh belas kaidah yang

terdiri atas kaidah bersifat wajib dan tak wajib. Kaidah-kaidah itu ialah kaidah alofon istrilisasi

(tak wajib), dekonsonantal, kaidah alofonis peninggian konsonan, kaidah bayangan cermin

penegangan vocal, prenasalisasi konsonan (tak wajib) kaidah minor pengawasuaraan konsonan,

penyelarasan vocal, pelesapan konsonan m pada –mo, penyelarasan pemanjangan vocal u atau o,

pelesapan vocal u dan o pada akhir kata, asimilasi vocal (tak wajib), asimilasi nasal, degeminasi,

pelesapan infiks, penambahan hambat glottal (tak wajib), dan pelesapan o pada –Kao (wajib/tak

wajib)

Sudah seperti yang dituliskan di atas bahwa penelitian secara diakronis bahasa Muna

sangatlah jarang dilakukan. Hanya ada sangat sedikit penelitian yang khusus fokus meneliti bahasa

Muna secara diakronis. Pada tahun 1987, Syahruddin Kaseng dkk, memulai penelitian memetakan

bahasa-bahasa di daerah Sulawesi Tenggara tetapi hasil penelitian tersebut tak cukup memberi

uraian detail yang jelas perihal eksistensi dan relasi bahasa Muna dengan bahasa-bahasa lain di

Sulawesi Tenggara. Dalam penelitian itu, Kaseng dkk menemukan dua puluh bahasa di Sulawesi

Tenggara. Dari dua puluh bahasa itu, terdapat beberapa bahasa yang memperlihatkan hubungan

sangat dekat, dan di antara beberapa bahasa yang memperlihatkan hubungan sangat dekat itu,

bahasa Muna tidak memiliki kedekatan dengan bahasa-bahasa lain nya.

Temuan Kaseng dkk itu berkontras dan tak sejalan dengan apa yang dihasilkan oleh

Summer Institut Linguistic SIL dan Pusat Bahasa. SIL, (2006) meskipun tak tegas mengatakan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

adanya relasi Muna dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Tenggara tetapi mereka tak pula

menafikan adanya relasi itu. Pusat Bahasa, (2008) sedikit lebih tegas dalam melihat relasi bahasa

Muna dengan bahasa-bahasa daerah lain nya di Sulawesi Tenggara, ada pertalian kerabat sangat

dekat antara bahasa Muna dengan beberapa bahasa daerah lain nya di Sulawesi Tenggara, terutama

di Pulau Buton bagian barat, selatan, dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Siompu,

Kadatua, dan Talaga.

Dengan mempelajari dan menyimak hasil penelitian terdahulu, baik yang secara sinkronis

maupun diakronis, dapat dianggap bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan

secara sinkronis dan diakronis yang mengkaji Enklave Muna di Pulau Buton.

1.7 Kerangka Teori

Setiap bahasa berubah dengan polanya sendiri yang berbeda dengan pola perubahan bahasa

kerabat yang lain (Bynon, 1979:22 dalam Mbete, 1990:27). Dalam perjalanan sejarahnya, suatu

bahasa memiliki kemandirian itu, karena factor-faktor tertentu, bercabang menjadi dua atau lebih

(Jefers dan Lehiste, 1979:27 dalam Mbete 1990:27). Bahasa-bahasa turunan itu mewarisi pula

unsur-unsur bahasa asalnya, baik unsur-unsur yang berubah maupun unsur-unsur yang tidak

berubah. Dengan demikian maka struktur bahasa-bahasa turunan itu berunsur retensi dan inovasi

. Retensi dan inovasi yang dimaksud itu dapat berwujud fonologis leksikal, semantik, dan unsur-

unsur gramatikal (Mbete, 1990:27)

Pemikiran di atas terkait dengan studi komparatif yang pada dasarnya mengkaji hubungan

antara bahasa kerabat. Hal ini didasarkan pula pada pandangan, bahwa dialektologi itu

diasumsikan sebagai alat untuk merekonstruksi sejarah suatu bahasa. Dengan kata lain, bahwa

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

segmentasi dialektal merupakan akibat dari perkembangan historis (Nothofer, 1990:5 dalam

Mahsun 1994:25).

Hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan

berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau proto bahasa (proto-language) (Fernandez,

1996:21). Melalui pengamatan terhadap perangkat kognat yang mempunyai relevansi historis

dapat diformulasikan kaidah-kaidah perubahan bunyi yang teratur atau korenspondensi fonem

antar bahasa sekerabat. Dengan demikian, berdasarkan pemahaman terhadap kaidah perubahan

bunyi yang teratur dapat dilakukan pemilihan kata-kata bahasa sekarang yang merupakan

kelanjutan dari bahasa asalnya (Dyen, 1978:34 dalam Fernandez, 1996:21)

Secara genetis, pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan

keterangan tentang hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus. Pengelompokan

bahasa sekerabat dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif disamping kualitatif melalui

prosedur yang sesuai dengan persentase leksikostatistik (Dyen, 1978:50 dan Nothofer, 1986:1

dalam Fernandes, 1996:23). Pendekatan ini menggunakan alat utama berupa daftar Swadesh (dua

ratus kosa dasar yang baku) untuk menelusur padanan perangkat bahasa-bahasa yang diteliti.

Setelah daftar diisi, persentase kognat ditetapkan dengan mengandalkan pemahaman tentang

hukum perubahan bunyi yang teratur antarbahasa tersebut. Garis silsilah kekerabatan atau pohon

kekerabatan (family tree) yang dihasilkan pendekatan kuantitatif menggambarkan kekerabatan

yang lebih erat atau tidak antarbahasa sekerabat dalam usaha pengelompokan tersebut. Gambaran

mengenai kekerabatan antarbahasa yang dicapai berdasarkan perhitungan persentase

leksikostatistik dapat diuji secara lebih seksama dan mendalam melalui pendekatan kualitatif

melalui pengamatan terhadap ciri-ciri inovasi bersama. Dalam kaitannya dengan itu, ada

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

kecenderungan beberapa sarjana untuk menerapkan pendekatan kuantitatif sebelum pendekatan

kualitatif dilakukan (Dyen, 1978:51-52 dalam Fernandez, 1996:23).

Pengelompokan pendekatan kualitatif harus berdasarkan bukti-bukti berupa inovasi

bersama secara ekslusif (exlusive shared innovation) (Brugmann, 1884 dalam Fernandez, 1996)

sejumlah inovasi yang ditemukan pada bahasa-bahasa turunan, senantiasa memperlihatkan pula

kesamaan pola dan ciri-ciri perubahan .diantara perubahan itu, ada yang hanya ditemukan pada

bahasa atau bahasa-bahasa tertentu, dan perubahan itu bersifat ekslusif. Ciri-ciri perubahan

bersama yang ekslusif baik yang teratur maupun yang tidak teratur ada tataran fonologi dan

perangkat leksikon yang hanya ditemukan pada bahasa-bahasa tertentu, atau juga unsur-unsur

morfologis, dapat dijadikan bukti keeratan hubungan bahasa-bahasa kerabat (Jeffers dan Lehiste,

1979:31; Blust, 1974:39 dalam Mbete, 1990). Dengan demikian semakin banyak kaidah perubahan

yang ditemukan dan dimiliki bersama, maka semakin kuat pula bukti-bukti keeratan hubungan

ke(sub-)kelompokkan bahasa kerabat (Bynon, 1979:64 dalam Mbete, 1990)

Hubungan kekerabatan dan keseasalan bahasa-bahasa dapat dibuktikan melalui fakta-fakta

kebahasaan berupa keteraturan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa sekerabat.

Kesepadanan-kesepadanan yang teratur melihatkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris

dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri warisan yang sama, maka keeratan

hubungan keasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan.

Menurut Bynon (1979:178 bandingkan dengan Laas, 1991:357) bahwa sebuah perubahan

bunyi itu tidak mempengaruhi kata-kata dalam leksikon secara sekaligus, melainkan satu persatu,

sehingga pada saat perubahan itu terjadi ada kata-kata tertentu yang lain yang belum mengalami

perubahan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa-bahasa yang berkerabat atau pada dialek-

dialek/subdialek-subdialek dari suatu bahasa ada yang muncul secara teratur da nada pula yang

muncul secara sporadic atau tidak teratur. Selanjutnya ihwal perubahan yang muncul secara teratur

itu disebut korespondensi, sedangkan untuk perubahan yang muncul secara sporadik atau tidak

tetap disebut variasi (Mahsun, 1994:27)

Kekorespondensian dan kevariasian suatu kaidah berkaitan dengan dua aspek yaitu aspek

linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, perubahan itu disebut korespondensi, jika

perubahan itu terjadi karena persyaratan linguistic tertentu; sebaliknya perubahan itu disebut

variasi jika kemunculan perubahan bunyi itu tidak disyarati oleh lingkungan yang bersifat

linguistiktertentu, maka data tentang kaidah yang berupa korespondensi itu tidak terbatas

jumlahnya; sedangkan data tentang kaidah yang berupa variasi hanya terbatas pada satu atau dua

contoh saja. Adapun dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi disebut korespondensi, jika

daerah sebaran kaidah itu terjadi pada daerah pengamatan yang sama, sebaliknya disebut variasi

jika daerah sebarannya tidak sama. Namun demikian, dapat saja terjadi kaidah korespondensi itu

untuk beberapa contoh memperlihat daerah sebaran tidak sama. Hal itu mungkin disebabkan

adanya pengaruh antar daerah pengamatan dank arena proses pinjaman (Mahsun, 1994:28)

Perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur (berupa variasi) antara lain adalah: (1)

lenisi (pelemahan), (2) epentesis, (3) apokop, (4) sinkop, (5) apheresis, (6) kompresi (perampatan),

(7) asimilasi, (8) disimilasi, (9) metatesis, (10) kontraksi (Lehman, 1973:153-168 dan Hock,

1986:62-110 dalam Mahsun, 1994:29)

Namun demikian, perubahan bunyi yang dikategorikan sebagai perubahan yang muncul

secara tidak teratur di atas, kadang-kadang dalam bahasa tertentu muncul sebagai perubahan yang

teratur (Hock, 1986:11-112 dalam Mahsun, 1994:29). Dalam analisis penentuan bentuk asli atau

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

inovasi baik inetranal maupun eksternal dari satu makna yang memiliki makna ganda, dilakukan

dengan cara:

a. mengetahui struktur bahasa purba;

b. mengetahui kaidah perubahan bunyi dalam bahasa yang diteliti; dan

c. mengetahui sejarah dan kebudayaan masyarakat, yang bahasanya diteliti. (Mahsun,

1990).

1.8 Hipotesis

1. Isolek-isolek Muna di Pulau Buton dan bahasa Muna di Pulau Muna diturunkan dari satu

bahasa purba yang sama karena keeratan hubungan kekerabatan kedua bahasa tersebut

2. Secara garis besar hubungan keeratan tersebut berdasarkan hipotesis para peneliti

memiliki hubungan dwipilah, artinya bahasa Muna di pulau Muna dan isolek-isolek Muna

di pulau Buton pada masa lampau merupakan bahasa yang sama

1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode yang pernah diterapkan

oleh Nothofer (1981), yaitu peneliti langsung mewawancarai informan disetiap titik pengamatan.

Karena daftar pertanyaan berupa kosa kata dasar, maka pertanyan dilaksanakan secara lisan

dengan menggunakan daftar pertanyaan. Dalam menanyakan sebuah bentuk untuk suatu makna,

oleh Nothofer (1981:13) ditetapkan syarat bahwa pertanyaan itu dilakukan dengan menggunakan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

bahasa Indonesia, dapat pula dilakukan dengan bahasa daerah atau bahasa ibu informan. Namun,

untuk penelitian ini, pertanyaan dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini

didasarkan pada pengalaman, bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Nothofer akan banyaknya

bentuk baku. Jika pertanyaan menggunakan bahasa daerah benar-benar dialami.Namun demikian,

bukan berarti bahwa peggunaan bahasa daerah dihindari samasekali.Pada tahap awal pertemuan

dengan para informan peneliti menggunakan bahasa daerah untuk memperkenalkan diri.Hal ini

dimaksudkan agar suasana santai, penuh keakraban, dan kekeluargaan, dan tanpa kecurigaan para

informan pada peneliti dapat tercipta.

Kemudian dalam bertanya peneliti menggunakan pula bentuk parafrasa. Seperti yang

dicontohkan Nothofer (1981), jika kita bertanya tentang makna ‘telur’, maka dapat dilakukan

dengan parafrasa: “apa yang dihasilkan oleh ayam betina?”.

Dalam melakukan wawancara faktor kesiapan informan sangat diperhatikan, dalam arti

menjaga jangan sampai terjadi kejenuhan. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa satu kali

wawancara dilakukan dalam selang waktu maksimal dua jam.

Jadi, secara eksplisit dalam penelitian ini digunakan metode cakap, teknik dasar pancingan

dengan teknik lanjutan teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam (Sudaryanto,

1993:137).Teknik cakap semuka, peneliti langsung mendatangi setiap daerah pengamatan dan

melakukan percakapan dengan informan.Teknik ini disejajarkan dengan metode pupuan lapangan

(Ayatrohaedi, 1983:34).Teknik catat dilakukan oleh peneliti sendiri, terutama untuk mengingatkan

bagaimana bunyi dihasilkan. Apapun teknik rekam hanya untuk melengkap teknik catat. Artinya

apa yang dicatat dapat dicek kembali dengan rekaman yang dihasilkan.

1.9.2 Daftar Pertanyaan

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Daftar pertanyaan disusun berdasarkan maknanya agar informan berada pada suasana yang

memungkinkannya memberikan jawaban yang langsung dan spontan. Untuk keperluan tersebut

daftar tanyaan disusun berdasarkan tautan arti sesuai dengan bidang masing-masing. Hal-hal yang

mempunyai tautan arti tertentu dikelompokkan sesamanya, seperti pertanyaan tentang bagian

tubuh, bagian alam, system kekerabatan, tanaman, pohon-pohonan, dan pembagian waktu

(Ayatrohaedi, 1979:41). Daftar pertanyaan tidak hanya berisi 200 kosa kata dasar Swadesh yang

direvisi Blust yang dikutip dalam penelitian Fernandez (1996), tetapi diperluas dengan daftar

Nothofer yang disesuaikan dengan kebutuhan data untuk penetapan kaidah bahasa pada isolek-

isolek itu. Dalam hal ini telah dikutip karya Ayatrohaedi (1997) dan Mahsun (1995).

1.9.3 Informan

Jumlah informan yang diambil adalah tiga orang untuk setiap titik pengamatan. Dari tiga

orang ditentukan satu orang sebagai informan utama, sedangkan dua orang informan lainnya

dijadikan sebagai informan pembantu (Samarin, 1988:28). Dalam pemilihan informan digunakan

kriteria:

a. berjenis kelamin pria atau wanita

b. berusia antara 25—45 tahun

c. orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa tersebut

d. berpendidikan maksimal sekolah dasar

e. berstatus sosial menengah (tidak rendah dan tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu

tinggi mobilitasnya

f. pekerjaannya petani atau buruh

g. dapat berbahasa Indonesia (Nothofer, 1981:5) dan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

h. sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani maksudnya tidak cacat organ bicaranya,

sedangkan sehat rohani, maksudnya waras, tidak gila (Mahsun, 1995:106)

1.9.4 Penentuan Titik Pengamatan

Karena penelitian ini bertujuan mendeskripsikan isolek Muna di Pulau Buton dari aspek

diakronis, maka titik pengamatan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah daerah yang

diandaikan berpenutur bahasa Muna. Pengandaian berdasarkan informasi awal perihal keberadaan

orang-orang Muna di pulau Buton, misalnya berdasarkan informasi sejarah, hasil penelitian

sebelumnya, instansi pemerintah, ataupun informasi dari masyarakat.

Berdasarkan informasi berbagai pihak tersebut, untuk sementara ditetapkan daerah

pemukiman Muna di pulau Buton terdapat di, Liabuku dan Lipu (di Kota Bau-Bau), Laompo (di

Kabupaten Buton Selatan). Dengan demikian , titik pengamatan yang ditentukan untuk dikunjungi

dalam penelitian ini berjumlah tiga daerah.

1.9.5 Perihal Analisis Data

Metode analisis yang dimasud menyangkut metode analisis yang digunakan dalam

penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan Dialek Selatan

(Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara; penentuan hubungan isolek-isolek itu dengan

dialek-dialek bahasa Muna, dan penentuan pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan

bahasa Muna dialek Utara terhadap masing-masing isolek itu.

Penentuan hubungan kekerabatan, dalam hal ini keeratan hubungan antara isolek Muna

dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara secara kualitatif

menggunakan metode inovasi bersama secara eksklusif (exclusively shared innovation) melalui

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

pendekatan dari atas ke bawah (top down reconstruction). Sedangkan penentuan tingkat

kekerabatan antara masing-masing isolek itu dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan

bahasa Muna dialek Utara dilakukan selain secara kuantitatif juga secara kualitatif. Secara

kuantitatif memanfaatkan metode leksikostatistik (lexicostatistic), sedangkan secara kualitatif

digunakan untuk menopang simpulan kuantitatif melalui metode inovasi bersama secara eksklusif

(exclusively shared innovation).

Begitu juga penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan dialek-dialek

bahasa Muna, penetapan awal dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode

leksikostatistik, selanjutnya dilakukan pembuktin secara kualitatif melalui metode inovasi

bersama.Penetapan metode leksikostatistik dilakukan dengan teknik mengumpulkan kosa kata

dasar bahasa (Muna, Gu-Mawasangka, dan isolek Muna di pulau Buton); menetapkan dan

menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat; dan menghubungkan hasil

perhitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Setelah kosa kata

dasar diperoleh kemudian dilakukan perhitungan jumlah kosa kata yang berkerabat dengan

memperhatikan pedoman (1) mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan yaitu kata-kata kosong

dan kata-kata pinjaman; dan (2) menetapkan kata kerabat, yang dapat berupa kata yang identik

(yaitu kata yang sama makna dan formatifnya); dan kata yang memiliki korespondensi bunyi.

Penerapan metode inovasi bersama bersifat eksklusif untuk mengetahui bentuk-bentuk

kebahasaan yang mengelompokan bahasa turunan ke dalam satu kelompok yang lebih dekat

hubungannya, karena memperlihatkan inovasi yang berciri linguistik eksklusif yang menyebar

pada bahasa-bahasa yang diperbandingkan, termasuk penentuan hubungan kedekatan antardialek

yang ada dalam satu bahasa (periksa Mahsun, 2000)

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir

Sedangkan pembicaraan pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna

dialek Utara terhadap masing-masing isolek Muna di pulau Buton dilakukan dengan analisis yang

bersifat kualitatif dan analisisi yang bersifat kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk

mengetahui apakah bentuk-bentuk yang terdapat pada dialek, subdialek, atau daerah pengamatan

itu sebagai bentuk-bentuk inovasi atau bentuk yang diwarisi bahasa awal. Analisis kualitatif ini

menggunakan metode padan intralingual dengan teknik hubung banding menyamakan (HBM)

dan teknik hubung banding membedakan (HBB). Adapun analisis kuantitatif, digunakan untuk

melihat frekuensi munculnya bentuk-bentuk pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan

bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek Muna di pulau Buton, yang pada gilirannya digunakan

sebagai dasar untuk mengkategorisasikannya sebagai isolek yang mendapat pengaruh kuat,

sedang, atau rendah (Mahsun, 1995:142-143)

1.10. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian disajikan dalam empat bab, dengan rincian sebagai berikut.

Bab 1 Pendahuluan, berisi: Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan penelitian,

Manfaat penelitian, Ruang Lingkup penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Sekilas tentang daerah Pengamatan, Berisi

Gambaran Singkat Daerah Penelitian. Bab III Enklave Muna di Pulau Buton Kajian Dialektologi

Diakronis, memuat analisis hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek Muna di pulau Buton

dengan bahasa Bahasa Muna Dialek Gu-Mawasangka dan bahasa Muna; Hubungan Isolek-Isolek

Muna di Pulau Buton dengan Dialek-Dialek Bahasa Muna; dan Pengaruh Dialek Gu-Mawasangka

Tehadap isolek-Isolek Muna di Pulau Buton.