bab i lette
DESCRIPTION
BAB I LetteTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam
dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota
yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat
yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota
itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus
urbanisasi. Urbanisasi telah menyebabkan ledakan jumlah penduduk kota yang sangat
pesat, yang salah satu implikasinya adalah terjadinya penggumpalan tenaga kerja di
kota-kota besar di Indonesia. Dampak lain dari tingginya arus urbanisasi kota adalah
dalam hal permukiman kota. Namun urbanisasi yang terkonsentrasi seperti diuraikan
di atas, disamping merugikan juga mempunyai keuntungan. Perlengkapan
infrastruktur bagi modernisasi ongkosnya menjadi murah. Perkembangan ekonomi
lebih cepat. Tingginya jumlah penduduk di pusat kota mengharuskan terpenuhinya
kebutuhan akan permukiman yang layak huni, khususnya untuk menampung kaum
urbanis yang pekerjaannya terkonsentrasi pada sektor perdagangan dan jasa di
kawasan komersial yang ada di pusat kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang
lengkap di pusat kota ini menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk bermukim
di kawasan tersebut. Mereka membutuhkan tempat hunian lebih banyak berada di
sekitar kawasan komersial kota, hal ini dimungkinkan juga karena mereka mendekati
pusat perdagangan untuk membuka usaha dengan memanfaatkan keramaian dan
padatnya pengunjung yang berdatangan ke pusatpusat perbelanjaan di kota. Selain itu
alasan lain bagi masyarakat tertarik untuk bertempat tinggal di sekitar kawasan pusat
kota karena lebih memudahkan jangkauan tempat kerja bagi mereka yang bekerja di
pusat kota, serta memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat yang banyak
bekerja di kawasan CBD kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap di
pusat kota juga menjadi daya tarik masyarakat untuk tinggal di kawasan tersebut.
Perumahan dan pemukiman adalah dua hal yang tidak dapat kita pisahkan dan
berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan.
Pemukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan segala
unsur serta kegiatan yang berkaitandan yang ada di dalam pemukiman. Pemukiman
dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan
perumahan sesuai dengan standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan
persyaratan rumah sehat. Dalam pengertian yang luas, rumah tinggal bukan hanya
sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi
syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan.
Permukiman kumuh yang terbentuk di Kelurahan Lette, Kec. Mariso merupakan
akibat dari tingginya harga lahan di Kota sehingga masyarakat cenderung bertempat
tinggal di daerah yang padat namun dapat dijangkau. Kondisi sarana prasarana yang
ada di Kelurahan Lette, Kec. Mariso masih sangat minim dan tidak sesuai dengan
standar yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Lette,
Kec. Mariso?
2. Bagaiamana kondisi sarana prsarana yang ada di Kelurahan Lette, Kec.
Mariso?
3. Bagaimana solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
permukiman kumuh Kelurahan Lette, Kec. Mariso?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik permukiman kumuh yang ada di
Kelurahan Lette, Kec. Mariso
2. Untuk mengetahui kondisi sarana prsarana yang ada di Kelurahan Lette,
Kec. Mariso
3. Dapat menerapkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
permukiman kumuh Kelurahan Lette, Kec. Mariso
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Permukiman Kumuh
1. Pengertian
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah.
Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan
golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Menurut kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah yang
kotor yang bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah
slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk dengan
status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan perumahannya tidak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat.
Slum’s merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak
layak huni atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman (Utomo
Is Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah
sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun permukimannya (Herlianto,
1985). Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk
yang berstatus ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi
syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono, 1985).
Permukiman kumuh berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan
permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain
memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak
memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung
membahayakan bagi penghuninya.
Berdasarkan turner (1972) dalam Yuliastuti dkk (2000) pengertian
permukiman kumuh adalah kawasan hunian masyarakat dengan ketersediaan
sarana dan prasarana umum yang buruk, sedangkan Yudhohusodo dalam
mendefinisikan permukiman kumuh sebagai bagian dari lingkungan perumahan
perkotaan yang merupakan tempat tinggal masyarakat berpenghasilan rendah,
dikenal dan dianggap oleh masyarakat di luar daerahnya sebagai daerah yang
kumuh, padat penduduk, sarat pengangguran, serta dikesankan sebagai segala
sesuatu yang bersifat jorok.
Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air
bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka,
serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
2. Ciri Permukiman Kumuh
Ciri permukiman kumuh merupakan permukiman dengan tingkat hunian
dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas
rumah yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan sarana
dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah.
Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Sidang BKPN Nomor 1989/1990
Tanggal 15 Februari 1990 dalam , menyatakan bahwa ciri-ciri lingkungan
permukiman kumuh antara lain:
a) Tanah tempat berdirinya lingkungan kumuh dapat berupa tanah negara, tanah
instansi, tanah perorangan atau badan hukum.
b) Penghuni lingkungan kumuh dapt terdiri atas pemilik tanah bangunan, pemilik
bangunan di atas tanah sewa, penyewa bangunan tanpa termasuk tanahnya,
atau pemilik bangunan yang didirikan tanpa pemegang hak atas tanahnya
c) Penggunaan bangunannya dapat untuk tempat hunian, tempat usaha atau
campuran
d) Peruntukan penggunaan tanahnya menurut rencana kota dapat untuk
perumahan, jalur pengaman, atau keperluan lainnya
e) Fasilitas lingkungan biasanya tidak ada atau tidak lengkap memenuhi
persyaratan teknis dan kesehatan
f) Sarana lingkungan biasanya tidak ada atau tidak lengkap memenuhi
persyaratan teknis dan kesehatan dengan tata letak yang tidak teratur.
Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR.
Parsudi Suparlan adalah :
1) Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2) Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3) Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4) Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu
terwujud sebagai :
a) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu
dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b) Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau
sebuah RW.
c) Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau
RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian
liar.
5) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya..
6) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di
sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informil.
Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa permukiman kumuh
memiliki ciri “kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan
ruang tersebut berada pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya
sehingga berubah menjadi fungsi permukiman, seperti muncul pada daerah
sempadan untuk kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Permukiman tersebut muncul
dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi rumah yang kurang
baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam kondisi kesehatan penghuni.
Dengan begitu, permukiman yang berada pada kawasan SUTET, semapadan
sungai, semapadan rel kereta api, dan sempadan situ/danau merupakan kawasan
permukiman kumuh.
Kawasan permukiman kumuh di perkotaan, sesuai dengan kriteria yang
dibuat Dirjen Cipta Karya terdiri atas:
1) Kepadatan penduduknya tinggi > 200jiwa/ha
2) Kepadatan bangunannya tinggi >110bangunan/ha
3) Kondisi prasarananya buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase,
persampahan) yang terbangun <20% dari luas kawasan
4) Kondisi bangunan rumah tidak permanen atau semi permanen dan tidak
memenuhi persyaratan minimal.
5) Rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit, masalah keamanan dan
kriminalitas
Berdasarkan DPU Cipta Karya tiga kondisi kekumuhan dilihat dari status
tanah antara lain:
a) Kawasan lingkungan kumuh diatas tanah ilegaldengan kondisi tingkat
kekumuhan dan kepadatan tinggi. Penggunaan tanah tidak sesuai dengan
RUTR
b) Kawasan/lingkungan kumuh di atas tanah legal dengan kepadatan tinggi
c) Kawasan/lingkungan kumuh di atas tanah legal, tidak terlalu kumuh/padat
3. Penyebab Permukiman Kumuh
Penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh antara lain urbanisasi dan
migrasi yang tinggi, terutama bagi sekelompok masyarakat tertentu dan
berpenghasilan rendah yang biasanya sudah betah tinggal dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan permukimannya. Secara rinci diuraikan lingkungan
permukiman kumuh mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a) Kondisi lingkungan fisik yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan
kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan
utilitas lingkungan. Kalaupun ada, kondisinya sangat buruk dan disampingitu
tata letak bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat
semi permanen, misalnya triplek
b) Kepadatan bengunan dengan KDB yang lebih besar daripad yang dijanjikan,
dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (>500jiwa/ha)
c) Fungsi-fungsi kota yang bercampur tidak beraturan
Sumalyo (1993) menguraikan klasifikasi kondisi rumah di dalam kampung
dari segi bahan bangunan, yaitu:
a) Konstruksi dari bahan darurat (plastik, kayu, bambu dan bahan-bahan bekas
lainnya
b) Konstruksi sementara (bambu, nipah, lantai tanah dipadatkan dll)
c) Konstruksi semi permanen dengan bahan-bahan yang lebih baik dari yang
disebut sebelumnya (bambu diawetkan, seng, kayu dll)
d) Konstruksi permanen (bata, batu dan bahan-bahan lainnya yang lebih awet)
Sumalyo (1993) juga menguraikan kategori kampung dari segi
letak/geografisnya, yakni:
a) Kampung dalam kota/ pusat kota
b) Kampung setengah kota (semi-urban), terletak antara pusat dan pinggiran
c) Kampung pinggiran kota, berpenduduk kurang padat
d) Kampung di daerah belakang kota (hinterland)
4. Pendekatan penanganan permukiman kumuh
Kekumuhan yang terjadi pada lingkungan pada lingkungan diatas tanah
ilegal dengan kepadatan tinggi merupakan salah satu masalah yang sulit untuk
diatasi. Pada kondisi yang demikian, Pemerintah Daerah dapat memastikan bahwa
perbaikan permukiman adalah salah satu cara untuk mengatasi kondisi seperti itu.
Perbaikan lingkungan permukiman kumuh harus dapat memecahkan
masalah kumuh secara mendasar. Perbaikan permukiman ini menyangkut masalah
fisik dan non fisik. Dalam perbaikan lingkungan permukiman kumuh perlu
dilakukak pemeliharaan tentang sikap, perilaku dan pandangan masyarakat
lingkungan tersebut trhadap usaha perbaikan lingkungan. Perlu penyuluhan yang
terus-menerus sebelumnya selama dan sesudah pekerjaan perbaikan permukiman
dilakukan.
Penilaian masyarakat terhadap kondisi permukiman dan fasilitas-fasilitas
yang ada didalamnya antara lain ditentukan oleh:
a. Tingkat penghasilan
b. Jenis mata pencaharian
c. Tingkat pendidikan
d. Status legalitas lahan
5. Permukiman kumuh di Makassar
Sumalyo (1993) dalam penelitiannya mengenai pola pertumbuhan
permukiman kumuh di Kota Ujung Pandang (Makassar-Red) menerjemahkan
permukiman kumuh sebagai suatu kawasan di perkotaan dimana penduduknya
hidup dalam kondisi sosial – ekonomi rendah. Dari data pengamatannya diketahui
bahwa sebagian besar penduduk yang bermukim di permukiman kumuh
merupakan pendatang atau para migran dari pedesaan. Kedatangan mereka atas
dasar adanya kontak atau hubungan dengan saudara, kerabat yang sudah berada
terlebih dahulu di kota. Selain itu data yang di dapatkan juga mengungkapkan
bahwa sebagian besar migran berpendidikan rendah (dibawah SMA) dan tidak
memiliki keterampilan khusu yang menunjang. Oleh karena itu, penyesuaian pola
hidup para pendatang dengan kehidupan sosial ekonomi perkotaan tidak dapat
berlangsung secara cepat dan gaya hidup pedesaan atau tradisional masih
dijalankan.
Hal tersebut diatas merupakan faktor yang mendorong mereka untuk bekerja
pada sektor informal dengan pendapatan terbatas untuk hidup di daerah
perkotaan, dalam hal ini pekerjaan yang mereka geluti dapat dikategorikan
sebagai setengah menganggur dan sebagian lagi menganggur. Dengan segala
keterbatasan yang ada, mereka juga hanya dapat hidup dan menempati rumah
dengan kondisi kelayakan yang terbatas pula, baik dalam hal konstruksi, bahan
dan fasilitas lainnya, demikian juga dengan infrastruktur yang menunjang
kehidupan sehari-hari mereka.
Sumalyo (1993) memaparkan bahwa kelompok-kelompok rumah yang serba
terbatas membentuk kawasan permukiman kumuh kota yang keadaannya makin
diperburuk oleh tidak tersedianya prasarana lingkungan seperti misalnya jalan
lingkungan, drainase, tempat pembuangan sampah, MCK. Tempat pembuangan
sampah sementara di permukiman kumuh ini merupakan tanah kosong bekas
rawa maupun lahan dimana sebelumnya merupakan pinggiran pantai.
Permukiman kumuh di Kota Ujung Pandang dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu permukiman kumuh di pantai, permukiman kumuh di pinggiran
kota (semi-urban) dan permukiman kumuh di tengah kota.Uraian ketiga kategori
permukiman kumuh tersebut sebagai berikut:
a) Permukiman kumuh pantai
Karena bentuk dan letak kota Ujung Pandang, permukiman kumuh
dalam kategori pantai banyak terdapat di Kecamatan Mariso dan Kecamatan
Tallo dimana sebagian wilayahnya berupa pantai (wunas : 1988) dalam
sumalyo (1993). Namun demikian saat ini wilayah kecamatan mariso yang
dahulunya berupa kawasan pantai telah berubah akibat sedimentasi dan
intervensi manusia.
Masih sama dengan tahun pemaparan laporan akhir penelitian Sumalyo,
permukiman pada daerah tersebut tidak mempunyai fasilitas sanitasi,
kesehatan, air minum maupun drainase. Hampir semua bagian kawasan
permukiman dalam kategori ini, berdiri diatas endapan sampah yang secara
berangsur-angsur memadat.
b) Permukiman kumuh pinggiran kota
Pemukiman kumuh dikategorikan dalam pinggiran kota tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan perkembangan pemukiman baru. Kawasan
kumuh semacam ini banyak terdapat pada sebagian kecamatan pinggiran yaitu
ntara lain : bagian Barat kecamatan Makassar dan Tallo dan bagian Selatan-
Barat kacamatan Tamalate. Lahan dimana permukiman kumuh pinggiran kota
berdiri, sebagian sawah atau kebun cukup subur dan sebagian lagi rawa-rawa.
Bentuk arsitektur rumah-rumahnya kebanyakan mirip dengan yang dipantai,
berupa rumah panggung tradisional Bugis atau Makassar, tetapi bahan
bangunannya rata-rata sedeikit lebih baik. Permukiman kumuh kota tersebut
dalam kecamatan-kecamatan yang secara geografis terletak dalam pusat kota
seperti misalnya Wajo dan Makassar, berkepadatan penduduk rata-rata sekitar
290 jiwa per hektar. Pertumbuhan penduduknya relatif kecil dibanding
dengan lainnya yaitu hanya 4, 23 %. Sekitar 70 % penghuninya adalah
migran, datang sebelum tahun 1977 dan 22 % sesudah 1979. rumah-rumahnya
dalam kondisi relatif labih baik dari kedua jenis permukimankumuh diuraikan
diatas, sebagian besar sudah mempunyai fasilitas air bersih. Karena lokasinya
terletak dekat dengan pusat kota, permasalahannya yang utama adalah banjir,
lalu lintas dan kebakaran. Yang terakhir disebut sering terjadi terutama pada
musim kering dan permasalahannya semakin sulit daitasi kaerna kepadatanya
tinggi dan jalan-jalan atau lorong tidak dapat dilalui oleh mobil pemadam
kebakaran.
II.2 Tinjauan Umum Pemberdayaan
Menurut Pranarka dan Moeljarto (1996:12) dalam Yuliastuti dkk (2000)
menyatakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya terbentuk oleh ide
untuk menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri
Pada saat ini, konsepsi pemberdayaan masyarakat telah dijabarkan dalam lingkup
yang lebih luas yaitu untuk menciptakan kemitraan pembangunan antara pemerintah,
masyarakat dan swasta/pengusaha. Selain itu pembahasan pemberdayaan masyarakat
juga semakin banyak, dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan merata, LSM ini siap untuk
membela dan melindungi masyarakat yang lemah. Keterlibatan LSM menjadikan
pemerintah lebih serius dalam menangani pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat.
II.3 Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat mempunyai dua pengertian yaitu secara luas
maupun sempit. Dalam arti luas pembangunan masyarakat dapat diartikan sebagai
perubahan sosial yang berencana dengan sasaran perbaikan dan peningkatan pada
bidang sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Pembangunan masyarakat dalam arti
sempit adalah perubahan sosial di suatu wilayah tertentu baik di kampung, desa, kota
kecil maupun kota besar (Ndraha.1990:72).
II.4 Peran Serta Masyarakat
Istilah peran serta sering juga disebut dengan partisipasi. Menurut Hanabe
pengertian partisipasi adalah suatu usaha berkelanjutan yang memungkinkan
masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, baik secara aktif maupun pasif.
Partisipasi tersebut dapat dimanfaatkan pula sebagai sarana mengkomunikasikan
keinginan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kegiatan pembangunan
(Hanabe, 1996:11 dalam yuliastuti dkk : 2000)
Partisipasi masyarakat juga dapat di artikan sebagai keterlibatan masyarakat
dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang
dilakukan pemerintah, keterlibatan dalam memikul tanggung jawab dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan, keterlibatan dalam menikmati hasil
pembangunan secara adil dan merata (Tjokroamidjojo,1994:207 dalam Yuliastuti dkk
: 2000).
II.5 Hambatan dalam Peran Serta Masyarakat
Permasalahan umum yang sering terjadi dalam pelaksanaan peran serta
masyarakat baik menurut Diana Conyers dan Slamet dalam yuliastuti dkk (2000)
yaitu apakah masyarakat memang ingin terlibat dan kemudian masyarakat
mengetahui apa yang menjadi keinginan mereka. Sedangkan hambatan yang lain
adalah muncul dari kondisi dan karakteristik masyarakat itu sendiri, misalnya tingkat
perekonomian, tingkat pendidikan dan unsur kepercayaan. Hambatan dari luar
terutama terjadi karena belum adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan
masyarakat. Kondisi ini dapat terjadi karena pemerintah cenderung memaksakan
kebijakan kepada masyarakat, sedangjan di pihak masyarakat sering dicurigai sebagai
penghambat pembangunan (wibisana, 1980 dalam yuliastuti dkk: 2000)
Sedangkan menurut Jorge dalam Swan (1980) pada laporan akhir penelitian
yuliastuti (2000) hambatan untuk berpartisipasi adalah karena sebagai berikut:
Kemiskinan
Pada kondisi masyarakat yang mengalami kemiskinan, relatif kecil kemungkinan
yang diharapkan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Mereka lebih
mengutamakan pemenuhan kebutuhan fisik dasar terlebih dulu, sebelum mereka
menutuskan untuk ikut berpartisipasi.
Pola masyarakat
Dalam komunita smasyarakat, ada kelompok maupun individu masyarakat yang
tidak mau berpartisipasi. Persoalannya adalah sifat heterogenitas suatu
masyarakat yang berwujud pada perbedaan ras, etnik, agama maupun politis.
Berbagai tipe masyarakat ini menimbulkan persaingan dan prasangka yang pada
akhirnya akan mempengaruhi semangat untuk bekerja sama.
Birokrasi
Faktor birokrasi diterangai sebagai salah satu penghambat partisipasi. Kebijakan
dari pusat sering berbeda arah apabila telah sampai di daerah. Hal ini di sebabkan
oleh terlalu panjang dan rumitnya mata rantai birokrasi dari tingkat pusat ke
daerah. Birokrasi sering melampaui standar, terpaku pada prosedur formal dan
kompleks.
Bagan Kerangka Pikir
Terbentuknya Permukiman
Kumuh di perkotaan
Prasarana lingkungan sebagai
Pendukung aktivitas penduduk
Menurunnya kualitas prasarana
Keterbatasan pemerintah Adanya wadah swadaya
masyarakat Aspirasi akan kebutuhan
prasarana
Partisipasi aktif masyarakat mengenai aspirasi kebutuhan
prasarana yang tepat
prasarana permukiman
Patokan Rumah yang Sehat dan Ekologis
Patokan yang dapat digunakan dalam membangun rumah yang ekologis adalah
sebagai berikut:
1. Menciptakan kawasan penghijauan di kawasan pembangunan sebagai paru-paru
hijau.
Sosialisasi dengan tokoh masyarakat
dan aparat setempat
Perlibatan masyarakat dalam perencanaan prasarana permukiman kumuhRengking
kebutuhan prasarana
lingkungan
Rencana Pemenuhan Kebutuhan Prasarana Lingkungan
2. Memilih tapak bangunan yang sebebas mungkin dari gangguan/radiasi geobiologis
dan meminimalkan medan elektromagnetik buatan.
3. Mempertimbangkan rantai bahan dan menggunakan bahan bangunan alamiah.
4. Menggunakan ventilasi alam untuk menyejukkan udara dalam bangunan.
5. Menghindari kelembapan tanah naik ke dalam konstruksi bangunan dan
memajukan sistem bangunan kering.
6. Memilih lapisan permukaan dinding dan langit-langit ruang yang mampu
mengalirkan uap air.
7. Menjamin kesinambungan pada struktur sebagai hubungan antara masa pakai
bahan bangunan dan struktur bangunan.
8. Mempertimbangkan bentuk/proporsi ruang berdasarkan aturan harmonikal.
9. Menjamin bahwa bangunan yang direncanakan tidak menimbulkan masalah
lingkungan dan membutuhkan energi sedikit mungkin (mengutamakan energy
terbarukan).
10. Menciptakan bangunan bebas hambatan sehingga gedung dapat dimanfaatkan
oleh semua penghuni (termasuk anak-anak, orang tua,maupun orang cacat tubuh).
\\
A. PENGERTIAN KUMUH
a. Permukiman Kumuh
Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan
kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta
memiliki sistem sosial yang rentan.
2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal
Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar
minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki:
a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan).
d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun <20% dari luas
persampahan.
e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal
untuk tempat tinggal.
f Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan.
g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non
fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
Kriteria Kawasan Permukiman Kumuh (Lanjutan)
Untuk melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh digunakan kriteria.
Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti kesesuaian peruntukan lokasi
dengan rencana tata ruang, status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi,
tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan, kondisi fisik, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Selain itu digunakan kriteria sebagai kawasan
penyangga kota metropolitan seperti kawasan permukiman kumuh teridentifikasi
yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi bagian dari
kota metropolitan.
Berdasarkan uraian diatas maka untuk menetapkan lokasi kawasan permukiman
kumuh digunakan kriteria-kriteria yang dikelompok kedalam kriteria:
• Vitalitas Non Ekonomi
• Vitalitas Ekonomi Kawasan
• Status Kepemilikan Tanah
• Keadaan Prasarana dan Sarana
• Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota
• Prioritas Penanganan
Kegiatan penilaian kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan sistem
pembobotan pada masing-masing kriteria diatas. Umumnya dimaksudkan bahwa
setiap kriteria memiliki bobot pengaruh yang berbeda-beda. Selanjutnya dalam
penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung pada preferensi individu atau
kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-masing kriteria.
Kriteria Vitalitas Non Ekonomi Kriteria Vitalitas Non Ekonomi dipertimbangkan
sebagai penentuan penilaian kawasan kumuh dengan indikasi terhadap penanganan
peremajaan kawasan kumuh yang dapat memberikan tingkat kelayakan kawasan
permukiman tersebut apakah masih layak sebagai kawasan permukiman atau sudah
tidak sesuai lagi.
Kriteria ini terdiri atas variabel sebagai berikut:
a. Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
atau RDTK, dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.
b. Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi
terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu
hunian berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.
c. Kondisi Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai,
mempunyai indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh
berdasarkan kerapatan dan kepadatan penduduk.
Kriteria Vitalitas Ekonomi
Kriteria Vitalitas Ekonomi dinilai mempunyai kepentingan atas dasar sasaran
program penanganan kawasan permukiman kumuh terutama pada kawasan
kumuh sesuai gerakan city without slum sebagaimana menjadi komitmen
dalam Hari Habitat Internasional. Oleh karenanya kriteria ini akan
mempunyai tingkat kepentingan penanganan kawasan permukiman kumuh
dalam kaitannya dengan indikasi pengelolaan kawasan sehingga peubah
penilai untuk kriteria ini meliputi:
a. Tingkat kepentingan kawasan dalam letak kedudukannya pada wilayah
kota, apakah apakah kawasan itu strategis atau kurang strategis.
b. Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota, dimana keterkaitan
dengan faktor ekonomi memberikan ketertarikan pada investor untuk
dapat menangani kawasan kumuh yang ada. Kawasan yang termasuk
dalam kelompok ini adalah pusat- pusat aktivitas bisnis dan
perdagangan seperti pasar, terminal/stasiun, pertokoan, atau fungsi
lainnya.
Kriteria Status Tanah Kriteria status tanah sebagai mana tertuang dalam
Inpres No. 5 tahun 1990 tentang Peremajan Permukiman Kumuh adalah merupakan
hal penting untuk kelancaran dan kemudahan pengelolaanya. Kemudahan pengurusan
masalah status tanah dapat menjadikan jaminan terhadap ketertarikan investasi dalam
suatu kawasan perkotaan. Perubah penilai dari kriteria ini meliputi:
a. Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman.
b. Status sertifikat tanah yang ada.
Kriteria Kondisi Prasarana dan Sarana
Kriteria Kondisi Prasarana dan sarana yang mempengaruhi suatu kawasan
permukiman menjadi kumuh, paling tidak terdiri atas:
a. Kondisi Jalan
b. Drainase
c. Air bersih
d. Air limbah
Kriteria Komitmen Pemerintah Setempat
Komitmen pemerintah daerah (kabupaten/kota/propinsi) dinilai mempunyai andil
sangat besar untuk terselenggaranya penanganan kawasan permukiman kumuh. Hal
ini mempunyai indikasi bahwa pemerintah daerah menginginkan adanya keteraturan
pembangunan khususnya kawasan yang ada di daerahnya.
Perubah penilai dari kriteria ini akan meliputi:
a. Keinginan pemerintah untuk penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh
dengan indikasi penyediaan dana dan mekanisme kelembagaan
penanganannya.
b. Ketersediaan perangkat dalam penanganan, seperti halnya rencana
penanganan (grand scenario) kawasan, rencana induk (master plan)
kawasan dan lainnya.
Kriteria Prioritas Penanganan
Untuk menentukan lokasi prioritas penanganan, selanjutnya digunakan kriteria lokasi
kawasan permukiman kumuh yang diindikasikan memiliki pengaruh terhadap
(bagian) kawasan perkotaan metropolitan sekaligus sebagai kawasan permukiman
penyangga. Kriteria ini akan menghasilkan lokasi kawasan permukiman yang
prioritas ditangani karena letaknya yang berdekatan dengan kawasan perkotaan.
Penentuan kriteria ini menggunakan variabel sebagai berikut:
a. Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan pusat kota
metropolitan.
b. Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan pusat
pertumbuhan bagian kota metropolitan.
c. Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan lain
(perbatasan) bagian kota metropolitan.
d. Kedekatan lokasi kawasan kumuh dengan letak ibukota daerah yang
bersangkutan.
B. Sesuai Dengan Uu No. 1/2011, Lingkup Penanganan Lingkungan
Permukiman Kumuh Mencakup Hal-Hal Berikut Di Bawah Ini.
1 . Pemugaran
Secara konseptual, implementasi prinsip pemugaran meliputi 1) Revitalisasi,
2)Rehabilitasi, 3) Renovasi, 4) Rekonstruksi, dan 5) Preservasi.
1) Revitalisasi adalah upaya menghidupkan kembali suatu kawasan mati, yang pada
masa silam pernah hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk
menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau seharusnya
dimiliki oleh sebuah kota.
2) Rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan kondisi komponen fisik lingkungan
permukiman yang mengalami degradasi.
3) Renovasi melakukan perubahan sebagian atau beberapa bagian dari komponen
pembentukan lingkungan permukiman.
4) Rekonstruksi merupakan upaya mengembalikan suatu lingkungan permukiman
sedekat mungkin dari asalnya yang diketahui, dengan menggunakan komponen-
komponen baru maupun lama.
5) Preservasi merupakan upaya mempertahankan suatu lingkungan permukiman dari
penurunan kualitas atau kerusakan. Penanganan ini bertujuan untuk memelihara
komponen yang berfungsi baik dan mencegah dari proses penyusutan dini
(kerusakan), misalnya dengan menggunakan instrumen: Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB). Ketentuan atau pengaturan tentang: Koefesien Lantai Bangunan, Koefesien
Dasar Bangunan, Garis Sempadan Bangunan, Garis Sempadan Jalan, Garis
Sempadan Sungai, dan lain sebagainya.
2. Peremajaan
Peremajaan adalah upaya pembongkaran sebagian atau keseluruhan lingkungan
perumahan dan permukiman dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana
dan sarana lingkungan perumahan dan permukiman baru yang lebih layak dan sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk
meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan potensi lahannya.
Di samping itu, diharapkan mampu memberikan nilai tambah secara ekonomis dan
memberi vitalitas baru dari lahan permukiman yang diremajakan. Pada umumnya,
peremajaan ini memberikan konsekuensi bentuk teknis penanganan seperti halnya:
land consolidation, land re-adjustment dan land sharing.
3. Pengelolaan dan Permukiman Kembal i
Pengelolaan adalah upaya-upaya untuk mempertahankan, mengendalikan atau
mengurangi dampak negatif yang timbul, serta meningkatkan dampak positif yang
timbul terhadap lingkungan hunian. Sedangkan permukiman kembali dimaksudkan
untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan dan kawasan permukiman yang lebih
baik guna melindungi keselamatan dan keamanan masyarakat dengan memindahkan
lokasi hunian sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
3. Upaya Mengatasi Permukiman Kumuh
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di
kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan
dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok
miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan
pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi,
penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada
umumnya.
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi
kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan
membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta
menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
Bentuk Bentuk Peremajaan Kota Di Indonesia:
1. Perbaikan lingkungan permukiman.
Disini kekuatan pemerintah/public investment sangat dominan, atau sebagai
faktor tunggal pembangunan kota.
2. Pembangunan rumah susun sebagai pemecahan lingkungan kumuh.
3. Peremajaan yang bersifat progresif oleh kekuatan sektor swasta seperti munculnya
super blok (merupakan fenomena yang menimbulkan banyak kritik dalam aspek
sosial yaitu penggusuran, kurang adanya integrasi jaringan dan aktifitas trafik
yang sering menciptakan problem diluar super blok). Faktor tunggalnya adalah
pihak swasta besar.
Pemerintah juga telah membentuk institusi yaitu Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata
kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut
tercermin dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan
nasional, serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama,
Staf Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi
bidang-bidang tertentu.
Yang di usahakan adalah: perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi,
pembangunan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional
dan sumber daya alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan
administrasi negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan,
pusat data dan informasi perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan
dan pelatihan perencanaan pembangunan (pusbindiklatren), program pembangunan
nasional(propenas), badan koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen
pembangunan nasional, hubungan eksternal.
Patokan Rumah yang Sehat dan Ekologis
Patokan yang dapat digunakan dalam membangun rumah yang ekologis adalah
sebagai berikut:
1. Menciptakan kawasan penghijauan di kawasan pembangunan sebagai paru-paru
hijau.
2. Memilih tapak bangunan yang sebebas mungkin dari gangguan/radiasi geobiologis
dan meminimalkan medan elektromagnetik buatan.
3. Mempertimbangkan rantai bahan dan menggunakan bahan bangunan alamiah.
4. Menggunakan ventilasi alam untuk menyejukkan udara dalam bangunan.
5. Menghindari kelembapan tanah naik ke dalam konstruksi bangunan dan
memajukan sistem bangunan kering.
6. Memilih lapisan permukaan dinding dan langit-langit ruang yang mampu
mengalirkan uap air.
7. Menjamin kesinambungan pada struktur sebagai hubungan antara masa pakai
bahan bangunan dan struktur bangunan.
8. Mempertimbangkan bentuk/proporsi ruang berdasarkan aturan harmonikal.
9. Menjamin bahwa bangunan yang direncanakan tidak menimbulkan masalah
lingkungan dan membutuhkan energi sedikit mungkin (mengutamakan energy
terbarukan).
10. Menciptakan bangunan bebas hambatan sehingga gedung dapat dimanfaatkan
oleh semua penghuni (termasuk anak-anak, orang tua,maupun orang cacat tubuh).
A. PENGERTIAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
1. Pengertian Permukiman
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan
lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal hunian dan tempat kegiatan mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Sifat dan karakter permukiman lebih kompleks, karena permukiman
mencakup suatu batasan wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan luas dan
lingkup perumahan.
2. Pengertian Perumahan
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan.
Tabel. Perbedaan Perumahan dan Permukiman
3. Peluang Pembangunan Perumahan dan Permukiman
a. Meningkatnya pendapatan daerah.
b. Meningkatnya kemampuan dan kepedulian dunia usaha dan masyarakat.
c. Terkendalinya pertumbuhan penduduk.
d. Rencana Tata Ruang yang terlah tersusun dari tingkat propinsi sampai kecamatan.
e. Perkembangan teknologi.
f. Kordinasi yang makin membaik dalam pembangunan permukiman dan
perumahan.
4. Kendala Pembangunan Perumahan dan Permukiman
a. Terbatasnya lahan yang tersedia.
b. Rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat.
c. terbatasnya informasi.
d. terbatasnya kemampuan pemerintah daerah.
B. RUMAH DAN PEMUKIMAN SEHAT
Rumah sehat yakni rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan
atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi
penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan
penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Rumah sehat meliputi
beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Sistem pengadaan air baik.
2. Fasilitas untuk mandi baik.
3. Sistem pembuangan limbah baik.
4. Sistem pembuangan tinja baik.
5. Tidak over crowded.
6. Ventilasi.
7. Pencahayaan.
8. Kebisingan.
9. Kekuatan bangunan.
10. Letak rumah.
Berikut adalah persyaratan letak sebuah rumah yang sehat:
a. Permukaan tanah
1) Tanah rendah
2) Tanah ideal adalah tanah yang kering
3) Tanah timbun yang kurang padat juga tidak baik
4) Letak rumah harus ideal dengan permukaan bangunan lainnya
b. Arah Rumah
1) Matahari terbit
2) Sebaiknya daerah terbuka
3) Jangan menghadap daerah dengan hempasan angin yang kuat
Dalam membuat sebuah rumah pasti dibutuhkan adanya sebuah design,
Adapun manfaat adanya design adalah :
a. Pemilik tahu pasti bentuk rumah yang akan dibangun
b. Kontraktor tahu pasti sesuai dengan persetujuan pemilik
c. Penguasa dapat mencek apakah tidak melanggar peraturan
Adapun Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman
menurut KEPMENKES No 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah :
1. Lokasi
a. Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran
lahar, tanah longsor, gel tsunami, daerah gempa, dll
b. Tidak terletak pada daerah bekas TPA sampah atau bekas tambang
c. Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti
jalur pendaratan penerbangan
2. Kualitas udara
a. Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi
b. Debu dengan diameter kurang dari 10 ug maks 150 ug/m3
c. Debu mak 350 mm3/m2 perhari
3. Kebisingan dan Getaran
a. Kebisingan dianjurkan 45 dB A, mak 55 dB. A
b. Tingkat getaran mak 10 mm/detik
Kualitas Tanah di daerah Perumahan dan Pemukiman harus memenuhi
persyaratan berikut:
1. Kandungan Timah hitam (Pb) mak 300 mg/kg
2. Kandungan Arsenik (As) total mak 100 mg/kg
3. Kandungan Cadmium ( Cd) mak 20 mg/kg
4. Kandungan Benzoa pyrene mak 1 mg/kg
Prasarana dan Sarana Lingkungan Pemukiman:
1. Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi kel dengan konstruksi yang
aman dari kecelakaan.
2. Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit.
3. Memiliki sarana jln lingk dengan ketentuan konstruksi jln tidak menganggu kes,
konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyadang cacat,
jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak
menyilaukan mata.
4. Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi
persyaratan kesehatan.
5. Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat
kesehatan.
6. Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah RT harus memenuhi syarat kesehatan.
7. Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kes, kom, t4 kerja, t4 hiburan, t4
pendidikan, kesenian, dll.
8. Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya.
9. Tempat pengelolaan makanan harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan
yg dapat menimbulkan keracunan.
Adapun Persyaratan Rumah Tinggal Menurut KEPMENKES No. 829/
Menkes/ SK/VII/ 1999 adalah:
1. Bahan Bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepapaskan bahan yang dapat
membahayakan kes, antara lain: debu total kurang dari 150 ug/m2, asbestos
kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan bekembangnya
mikroorganisme patogen
2. Komponen dan Penataan Ruang
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, dikamar mandi dan kamar cuci kedap air
dan mudah dibersihkan.
c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
d. Ada penangkal petir.
e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.
f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan 60 lux dan tidak
menyilaukan mata
4. Kualitas Udara
a. Suhu udara nyamannya 18-300 C.
b. Kelembaban udara 40-70 %
c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam.
d. Pertukaran udara.
5. Vektor Penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.
6. Penyediaan Air
a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/
orang/hari,
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air
minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.
7. Sarana Penyimpanan Makanan
Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
8. Pembuangan Limbah
a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah,
b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak
mencemari permukaan tanah dan air tanah.
9. Kepadatan Hunian
Luas kamar tidur minimal 8m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2
orang tidur. Persyaratan tersebut diatas berlaku juga terhadap kondominium,
rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona
pemukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan
dan lingkungan pemukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau
penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah
tinggal untuk rumah.
Penyelenggara pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak
memenuhi ketentuan tentang persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan
pemukiman dapat dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi administrasi sesuai
dengan UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23/1992
tentang Kesehatan, serta peraturan pelaksanaannya. Bagi pemilik rumah yang
belum memenuhi ketentuan tersebut diatas tidak dapat dikenai sanksi, tetapi
dibina agar segera dapat memenuhi persyaratan kesehatan rumah.
C. KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH
Untuk melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh digunakan
kriteria. Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti kesesuaian
peruntukan lokasi dengan rencana tata ruang, status (kepemilikan) tanah,
letak/kedudukan lokasi, tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan
bangunan, kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Selain
itu digunakan kriteria sebagai kawasan penyangga kota metropolitan seperti
kawasan permukiman kumuh teridentifikasi yang berdekatan atau berbatasan
langsung dengan kawasan yang menjadi bagian dari kota metropolitan.
Berdasarkan uraian diatas maka untuk menetapkan lokasi kawasan
permukiman kumuh digunakan kriteria-kriteria yang dikelompok kedalam
kriteria:
1. Vitalitas Non Ekonomi
2. Vitalitas Ekonomi Kawasan
3. Status Kepemilikan Tanah
4. Keadaan Prasarana dan Sarana
5. Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota
6. Prioritas Penanganan
Kegiatan penilaian kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan sistem
pembobotan padamasing-masing kriteria diatas. Umumnya dimaksudkan bahwa
setiap kriteria memiliki bobotpengaruh yang berbeda-beda. Selanjutnya dalam
penentuan bobot kriteria bersifat relatifdan bergantung pada preferensi individu atau
kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-masing kriteria.
1. Kriteria Vitalitas Non Ekonomi
Kriteria vitalitas non ekonomi dipertimbangkan sebagai penentuan
penilaian kawasan kumuh dengan indikasi terhadap penanganan peremajaan
kawasan kumuh yang dapat memberikan tingkat kelayakan kawasan permukiman
tersebut apakah masih layak sebagai kawasan permukiman atau sudah tidak
sesuai lagi. Kriteria ini terdiri atas variabel sebagai berikut:
a. Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota atau RDTK, dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang
kota.
b. Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki
indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal
kelayakan suatu hunian berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat
didalamnya.
c. Kondisi kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai,
mempunyai indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh
berdasarkan kerapatan dan kepadatan penduduk.
2. Kriteria Vitalitas Ekonomi
Kriteria vitalitas ekonomi dinilai mempunyai kepentingan atas dasar
sasaran program penanganan kawasan permukiman kumuh terutama pada
kawasan kumuh sesuai gerakan city without slum sebagaimana menjadi
komitmen dalam Hari Habitat Internasional. Oleh karenanya kriteria ini akan
mempunyai tingkat kepentingan penanganan kawasan permukiman kumuh dalam
kaitannya dengan indikasi pengelolaan kawasan sehingga peubah penilai untuk
kriteria ini meliputi:
a. Tingkat kepentingan kawasan dalam letak kedudukannya pada wilayah kota,
apakah apakah kawasan itu strategis atau kurang strategis.
b. Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota, dimana keterkaitan dengan
faktor ekonomi memberikan ketertarikan pada investor untuk dapat
menangani kawasan kumuh yang ada. Kawasan yang termasuk dalam
kelompok ini adalah pusat- pusat aktivitas bisnis dan perdagangan seperti
pasar, terminal/stasiun, pertokoan, atau fungsi lainnya.
c. Jarak jangkau kawasan terhadap tempat mata pencaharian penduduk kawasan
permukiman kumuh.
3. Kriteria Status Tanah
Kriteria status tanah sebagai mana tertuang dalam Inpres No. 5 tahun
1990 tentang Peremajan Permukiman Kumuh adalah merupakan hal penting
untuk kelancaran dan kemudahan pengelolaanya. Kemudahan pengurusan
masalah status tanah dapat menjadikan jaminan terhadap ketertarikan investasi
dalam suatu kawasan perkotaan. Perubah penilai dari kriteria ini meliputi:
a. Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman.
b. Status sertifikat tanah yang ada.
4. Kriteria Kondisi Prasarana dan Sarana
Kriteria kondisi prasarana dan sarana yang mempengaruhi suatu kawasan
permukiman menjadi kumuh, paling tidak terdiri atas:
a. Kondisi Jalan
b. Drainase
c. Air bersih
d. Air limbah
5. Kriteria Komitmen Pemerintah Setempat
Komitmen pemerintah daerah (kabupaten/kota/propinsi) dinilai
mempunyai andil sangat besar untuk terselenggaranya penanganan kawasan
permukiman kumuh. Hal ini mempunyai indikasi bahwa pemerintah daerah
menginginkan adanya keteraturan pembangunan khususnya kawasan yang ada di
daerahnya. Perubah penilai dari kriteria ini akan meliputi:
a. Keinginan pemerintah untuk penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh
dengan indikasi penyediaan dana dan mekanisme kelembagaan
penanganannya.
b. Ketersediaan perangkat dalam penanganan, seperti halnya rencana
penanganan (grand scenario) kawasan, rencana induk (master plan) kawasan
dan lainnya.
6. Kriteria Prioritas Penanganan
Untuk menentukan lokasi prioritas penanganan, selanjutnya digunakan
kriteria lokasi kawasan permukiman kumuh yang diindikasikan memiliki
pengaruh terhadap (bagian) kawasan perkotaan metropolitan sekaligus sebagai
kawasan permukiman penyangga. Kriteria ini akan menghasilkan lokasi kawasan
permukiman yang prioritas ditangani karena letaknya yang berdekatan dengan
kawasan perkotaan. Penentuan kriteria ini menggunakan variabel sebagai berikut:
a. Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan pusat kota
metropolitan.
b. Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan pusat
pertumbuhan bagian kota metropolitan.
c. Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan lain
(perbatasan) bagian kota metropolitan.
d. Kedekatan lokasi kawasan kumuh dengan letak ibukota daerah yang
bersangkutan.
Sebab dan Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh
Sebab Terbentuknya Permukiman Kumuh.Dalam perkembangan suatu kota,
sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya. Masyarakat yang mampu,
cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi
masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat
kota, khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan
dikota. Kelompok masyarakat inilah yang karena tidak tersedianya fasilitas
perumahan yang terjangkau oleh kantong mereka serta kebutuhan akan akses ke
tempat usaha, menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di
perkotaan.
Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh.Dimulai dengan dibangunnya
perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan maupun dibangunkan oleh
orang lain. Pada proses pembangunan oleh sektor non-formal tersebut mengakibatkan
munculnya lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak
memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan
kesehatan.
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh
adalah:
1. Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan
layak huni.
2. Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan
akan bahaya kebakaran.
3. Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai.
4. Tidak tersedianya jaringan drainase.
5. Kurangnya suplai air bersih.
6. Jaringan listrik yang semrawut.
7. Fasilitas MCK yang tidak memadai.
D. REVILTALISASI DAN PEREMAJAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN
Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi dan perpindahan penduduk ke
daerah perkotaan, merupakan penyebab utama pesatnya perkembangan kegiatan suatu
kota. Perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap
struktur kota. Perubahan tersebut akan mengarah pada kemerosotan suatu lingkungan
permukiman, tidak efisiennya penggunaan tanah daerah pusat kota, dan
mengungkapkan bahwa penurunan kualitas tersebut bisa terjadi di setiap bagian kota.
Kemerosotan lingkungan seringkali dikaitkan dengan masalah sosial, seperti
kriminalitas, kenakalan remaja, prostitusi sebagainya (Sujarto, 1980:17). Meskipun
sulit untuk bisa diukur, peremajaan kota diyakini akan membawa perbaikan-
perbaikan keadaan sosial pada wilayah-wilayah yang mengalami kemerosotan
lingkungan. Peremajaan kota adalah upaya pembangunan yang terencana untuk
merubah atau memperbaharui suatu kawasan di kota yang mutu lingkungannya
rendah (Yudohusodo, dkk., 1991:332).
Dalam Panudju (1999:181-182), peremajaan lingkungan permukiman
merupakan bagian dari program peremajaan kota. Peremajaan lingkungan
permukiman adalah pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang
sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan selanjutnya ditempat
sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan, rumah susun serta bangunan-
bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan.
Sedangkan menurut Cipta Karya (1996:III-6) peremajaan lingkungan permukiman di
kota merupakan proses penataan kembali kawasan kumuh perkotaan agar dapat
dimanfaatkan secara optimal sebagai ruang kegiatan masyarakatnya. Proses tersebut
terutama diterapkan pada kawasan permukiman yang dihuni oleh kelompok
masyarakat kota berpenghasilan rendah.
Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan lengkap dengan sarana
dan prasarana kebutuhan hidup sehari-hari serta merupakan bagian dari suatu kota
(Dirjend Cipta Karya PU, IAP, 1997:60). Ada beberapa tindakan yang dapat
dilakukan berkaitan dengan upaya peremajaan pada suatu lingkungan
(Danisworo,1988:8-13) yaitu :
1. Redevelopment atau pembangunan kembali, adalah upaya penataan kembali suatu
kawasan kota dengan terlebih dulu melakukan pembongkaran sarana dan
prasarana pada sebagian atau seluruh kawasan tersebut yang telah dinyatakan
tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya. Biasanya, dalam kegiatan ini terjadi
perubahan secara struktural terhadap peruntukan lahan, profil sosial ekonomi,
serta ketentuan-ketentuan pembangunan lainnya yang mengatur intensitas
pembangunan baru.
2. Gentrifikasi adalah upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan kota melalui upaya
peningkatan kualitas bangunan atau lingkungannya tanpa menimbulkan
perubahan berarti terhadap struktur fisik kawasan tersebut. Gentrifikasi bertujuan
memperbaiki nilai ekonomi suatu kawasan kota dengan cara memanfaatkan
berbagai sarana dan prasarana yang ada, meningkatkan kualitas serta
kemampuannya tanpa harus melakukan pembongkaran berarti.
3. Rehabilitasi pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi suatu
bangunan atau unsur-unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan,
kemunduran, atau degradasi, sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana
mestinya.
4. Preservasi merupakan upaya untuk memelihara dan melestarikan lingkungan
pada kondisinya yang ada, dan mencegah terjadinya proses kerusakannya. Metode
ini biasanya diterapkan untuk obyek memiliki arti sejarah atau arti arsitektur
tertentu.
5. Konservasi merupakan upaya untuk melestarikan, melindungi serta
memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti kawasan dengan kehidupan
budaya dan tradisi yang mempunyai arti, kawasan dengan kepadatan penduduk
yang ideal, cagar budaya, hutan lindung, dan sebagainya. Konservasi dengan
demikian, sebenarnya merupakan pula upaya preservasi, namun dengan tetap
memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk menampung dan memberi
wadah bagi kegiatan yang sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang
sama sekalibaru melalui usaha penyesuaiang, sehingga dapat membiayai sendiri
kelansungan eksistensinya.
6. Resettlement adalah proses pemindahan penduduk dari lokasi permukiman yang
sudah tidak sesuai dengan peruntukkannya ke lokasi baru yang sudah disiapkan
sesuai dengan rencana permukiman kota.
Perlu ditekankan di sini bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari usaha
peremajaan yang telah dilakukan dan dari teori tentang manajemen menekankan pada
keuntungan dan pentingnya peran serta masyarakat lokal (Couch,1990:176).
Mengenai peran serta masyarakat dalam peremajaan lingkungan permukiman di kota,
Weaver mengemukakan, bahwa pengertian peran serta bukanlah menerima saja
secara pasif terhadap apa yang akan dilakukan terhadap mereka, tetapi adalah peran
aktif tokoh-tokoh setempat beserta lembaga-lembaga yang ada sebagai usaha untuk
mendorong kegiatan komunitas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, masyarakat perlu
dilibatkan dalam peremajaan lingkungan permukiman dengan maksud agar mereka
tidak melakukan oposisi terhadap program tersebut, karena adanya reaksi menentang
dari masyarakat akan membawa dampak sosial dan politis yang merugikan, terutama
bila menyangkut kelompok atau etnis tertentu (Wilson, 1973:408).
BAB III
Gambaran Umum
A. Letak Geografis
Kecamatan mariso merupakan salah satu dari 14 kecamatan di kota Makassar
yang berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Ujung pandang, di sebelah
timur Kecamatan Mamamjang di sebelah selatan Kecamtan Tamalate dan di
sebelah barat dengan Selat Makassar..
Keadaan Geografis Lokasi Penelitian
Kelurahan Lette merupakan salah satu dari sembilan kelurahan yang
terintegrasi ke dalam wilayah administratif kecamatan Mariso kota Makassar dimana
kelurahan ini terletak di antara kelurahan Panambungan dan kelurahan Mariso. Secara
geografis, ketinggian tanah di daerah ini adalah 0,3m dari permukaan air laut dengan
suhu rata-rata 31°C.
Secara teritorial kelurahan Lette terdiri atas 5 rukun warga (RW) yang dimana
dengan karakteristik topografi wilayah yang datar dan terbagi atas beberapa kawasan
seperti permukiman serta perdagangan. Luas keseluruhan dari kelurahan ini adalah
sebesar 14 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara, berbatasan dengan kelurahan Panambungan
Selatan, berbatasan dengan kelurahan Mariso
Barat, berbatasan dengan pantai
Timur, berbatasan dengan kelurahan Mariso
Kecamatan Mariso merupakan daerah bukab pantai dengan topografi ketinggian
wilayah sampai dengan 500 meter dari permukaan laut. Menurut jaraknya, letak
masing-masing kelurahan ke ibukota Kecamatan berkisar 1-2 km
Orientasi Kelurahan Lette di Kecamatan Mariso
Kelurahan Lette yang terbagi atas 5 rukun warga (RW) ini, maka akan di
deskripsikan tiap-tiap RW terkait dengan kondisi dari RW yang bersangkutan.
Pertama adalah RW I dengan batas lokasi, di sebelah utara kelurahan
Panambungan, sebelah timur RW II kelurahan Lette, sebelah selatan RW V
kelurahan Lette, dan sebelah barat adalah pantai. Pada RW I ini terdiri atas 8
rukun tetangga (RT) dengan luas wilayah 3,5 Ha.
Gambar Peta Kelurahan Lette
B. Kependudukan
Kelurahan Lette merupakan salah satu dari 9 kelurahan yang terintegrasi
dalam wilayah administratif kecamatan Mariso kota Makassar dengan
jumlah kepadatan yang cukup tinggi. Adapun jumlah penduduk secara
keseluruhan yang berdomisili di kelurahan ini dan tersebar ke dalam 5
rukun warga (RW) dan 28 rukun tetangga (RT) adalah sebanyak 8.922 jiwa
tanpa membedakan jenis kelamin dan usia. Untuk lebih jelas keadaan
penduduk berdasarkan jenis kelamin terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel. Penduduk berdasarkan jenis kelamin di kelurahan Lette.
Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persen
Laki-Laki 4.392 48,84
PETA KELURAHAN LETTE
Perempuan 4.600 51,16
Total 8.992 Jiwa 100
Sumber: Data kelurahan Lette tahun 2010 (diolah).
Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa di kelurahan Lette memiliki jumlah
penduduk sebesar 8.992 jiwa. Adapun perincian terdiri atas 4.392 jiwa atau 48,84
persen penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan jumlah penduduk yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 4.600 atau ekuivalen dengan 51,16 persen.
Dari data tersebut, juga menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak bila
dibandingkan dengan jumlah laki-laki yakni selisih 208 jiwa atau 2,31 persen dari
keseluruhan penduduk. Pengelompokkan jumlah penduduk kelurahan Lette dapat
ditentukan berdasarkan kelompok umur. Pengelompokkan tersebut, untuk
mengetahui jumlah usia produktifitas yang ada di kelurahan tersebut, sekaligus
memahami tingkat mortalitas (kematian) yang rendah. Jumlah penduduk kelurahan
Lette berdasarkan kelompok umur terlampir pada tabel berikut:
Tabel Jumlah penduduk kelurahan Lette menurut kelompok umur.
No. Golongan Umur Jumlah (Jiwa) Persen
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
0 - 4 Tahun
5 - 9 Tahun
10 - 14 Tahun
15 - 19 Tahun
20 - 24 Tahun
25 - 29 Tahun
30 - 34 Tahun
35 - 39 Tahun
40 - 44 Tahun
878
821
736
873
821
940
895
685
560
9,76
9,13
8,18
9,70
9,13
10,45
9,95
7,63
6,24
10.
11.
12.
13.
14.
45 - 49 Tahun
50 - 54 Tahun
55 - 59 Tahun
60 - 64 Tahun
65 +
451
371
265
271
374
5,03
4,12
2,94
3,01
4,15
Jumlah 8.992 100
Sumber: Data kelurahan Lette tahun 2010 (diolah).
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa jumlah penduduk menurut kelompok umur di
kelurahan Lettepaling besar berada pada kelompok usia 25-29 tahun yaitu
sebesar 940 jiwa atau dengan persentase sebanyak 10,45 persen, yang kemudian
disusul oleh kelompok usia 30-34 tahun yaitu sebesar 895 atau sebanyak 9,95
persen. Sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit/kecil di kelurahan ini
adalah kelompok usia 60-64 tahun dan 65 tahun ke atas yaitu masing-masing
sebesar 271 jiwa dan 374 jiwa yang dianggap tidak produktif lagi.
Dari segi agama yang dianut di kelurahan Lette, terdapat lima agama yang diyakini
yakni; agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan agama
Budha. Keadaan penduduk berdasarkan agama yang dianut di kelurahan Lette dapat
terlihat pada tabel berikut:
Tabel. Jumlah penduduk berdasarkan agama di kelurahan Lette.
No. Agama Jumlah Penganut Persen
1.
2.
3.
4.
5.
Islam
Kristen Protestan
Kristen Katolik
Hindu
Budha
7.956 Orang
575 Orang
365 Orang
35 Orang
61 Orang
88,48
6,39
4,06
0,38
0,69
Jumlah 8.992 Orang 100
Sumber: Data kelurahan Lette tahun 2010 (diolah).
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa penduduk di kelurahan Lette yang
beragama Islam yaitu sebanyak 7.956 orang atau ekuivalen dengan 88,48 persen,
Kristen (Protestan) sebanyak 575 orang atau sebesar 6,39 persen, Katolik sebanyak
365 orang atau dengan persentase sebanyak 4,06 persen, Hindu sebanyak 35 orang
atau sebesar 0,38 persen dan agama Budha sebanyak 61 orang atau sebesar 0,69
persen.
Tabel Luas Wilayah, Jumlah Rumahtangga, Penduduk Dan Rata-Rata
Anggota Rumah Tangga Menurut Kelurahan Di Kota Makassar
Kelurahan Luas Rumah
Tangga
Penduduk Rata-rata RT
Lette 0.15 2.012 8.603 4,28
Bontorannu 0,18 1.086 5.677 5,23
Tamarunang 0,12 1.337 4.989 3,73
Mattoangin 0,18 1.017 4.074 4,01
Kampung
buyang
0,18 858 3.780 4,40
Mariso 0,18 1.942 8.125 4,18
Mario 0,28 1.112 5.032 4,53
Panambungan 0,31 2.893 10.355 3,58
Kunjungmae 0,26 1.142 4.795 4,20
Mariso 1,82 13.401 55.431 4,14
Sumber: BPS Kota Makassar, 2010
Tabel Jumlah Penduduk Menurut Kelurahan, Jenis Kelamin
Dan Sex Rasio
KelurahanPenduduk
JumlahRasio Jenis
KelaminLaki-Laki Perempuan
Lette 4.173 4.431 ]8.603 94,18
Tabel Jumlah Balita Gizi Buruk, Gizi Kurang, Gizi Lebih Dan Gizi Baik
Menurut Kelurahan Di Kota Makassar
Kelurahan Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk
Lette 2 456 65 23
Bab IV
Pembahasan
A. Indikator Terbentuknya Permukiman Kumuh
B. Faktor-Faktor Penyebab Permukiman kumuh di kelurahan lette
Faktor keterbatasan lahan permukiman (kepadatan bangunan, kepadatan
hunian, ruang terbuka hijau)
Faktor rendahnya ketersediaan sarana dan prasarana permukiman (drainase,
persampahan, kondisi jalan)
Faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat (tingkat pendidikan)
Faktor rendahnya tingkat pendapatan masyarakat (pendapatan dan pekerjaan)
Faktor rendahnya partisipasi masyarakat (tingkat partisipasi masyarakat dan
tingkat keamanan
Daya tarik masyarakat terhadap “Kota Makssar” secara
ekonomis, pendidikan
Urbanisasi “Tidak memiliki keterampilan”
Sulit Mendapat Pekerjaan/
Pekerjaan tidak tetap
Kondisi ekonomi yang sangat
rendah
Sulitnya membeli maupun
menyewa rumah
Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga
tanah
Kurang tegasnya pelaksanaan
perundang-undangan
C. Kondisi Fisik
1. Eksisting
Daerahnya berbatasan langsung dengan pantai yang di mana masyarakatnya
mayoritas menggunakan air PAM untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
kondisi jalannya tidak di aspal melainkan menggunakan paving b1ok. Kondisi
perumahan yang padat dan kotor karena terdapat pasar sehingga sampah pun
berserahkan di mana-mana. Pembuangan sampahnya pun di buang di TPS di
depan kantor kelurahan. Namun warga yang tidak sepakat dengan
diadakannya biaya konstribusi untuk pengangkutan sampah ke TPS mereka
membuang sampah di lahan-lahan kosong di sekitar rumahnya. Selain itu, ada
pula masyarakat yang langsung membakar sampahnya. Drainasenya pun
kurang baik karena sebagian besar ditutupi dan disatukan guna perluasan
jalan. Untuk status kepemilikan tanah rata-rata merupakan berstatus sewa
karena mayoritas penduduknya merupakan penduduk dengan kelas ekonomi
menengah ke bawah.
Lokasi kedua adalah RW II dengan batas wilayah adalah sebelah utara
kelurahan Panambungan, sebelah timur kelurahan Panambungan, sebelah
selatan RW III kelurahan Lette, dan sebelah barat RW I kelurahan Lette. Pada
RW ini terdiri atas 3 RT dengan luas wilayah 2,3 Ha. Daerah ini merupakan
daerah yang lebih kecil diantara 4 RW di kelurahan Lette dengan kriteria
bangunan berupa ruko dan perumahan. Khususnya disekitar jalan Rajawali I
dan II yang sebagian besar merupakan bangunan ruko. Dengan akses jalan
lebar yang terbuat dari aspal. Untuk prasarana air bersih mayoritas
menggunakan air PAM yang banyak menggunakan bak penampungan air di
masing-masing bangunannya. Daerah ini sebagian besar merupakan daerah
perdagangan yang di dalamnya berada sarana dan prasarana berupa ruko, jasa,
1 kantor lurah, 1 dokter praktik, dan 1 mesjid. Pemenuhan akan listrik pun
sudah memadai namun untuk drainase masih kurang baik di mana masih ada
drainase yang tidak berfurngsi sebagaimana mestinya.
Lokasi ketiga adalah RW III dengan batas wilayah sebelah utara RW IV
kelurahan Lette, sebelah timur kelurahan Kunjungmae, sebelah selatan
kelurahan Mariso, dan sebelah barat kelurahan Mariso. Pada RW III terdiri
atas 4 RT dengan ruas wilayah 2,3 Ha. Daerah ini mencakup 2 jalan lokal
dengan lebar 4 meter yang terbuat dari aspal yaitu jalan cendrawasih V dan
Belibis. Daerah RW III ini, pada umumnya merupakan perumahan warga.
sarana yang ada di RW ini diantaranya adalah 1 Mesjid, l asrama mahasiswa,
apotek, dan wartel, serta SMP Swasta. Prasarana air bersih pada daerah ini
mayoritas menggunakan air PAM dan adapula yang menggunakan sumur
pompa dan sumur timba khususnya pada permukiman yang di sewakan/ kos-
kosan. Pemenuhan akan listrik pun sudah mencukupi akan kebutuhan
masyarakat. Drainase yang besar berada pada daerah jalan cendrawasih V
sangat membantu pembuangan air kotor masyarakat di daerah itu walaupun
kebersihan drainasenya masih belum dapat dikatakan baik. Sistem
pembuangan sampahannya pun sudah baik karena sistem angkut oleh truk-
truk pembuang sampah selalu mengontrol agar lingkungan tetap bersih.
Umumnya pengangkutan sampah yang terdapat di RW III ini diangkut dua
kali seminggu.
Lokasi keempat adalah RW IV dengan batas wilayah sebelah utara kelurahan
Panambungan, sebelah timur kelurahan Kunjungmae, sebelah selatan RT III
kelurahan Lette dan sebelah barat RT II kelurahan Lette. Pada RW IV ini
terdiri atas 5 RT dengan luas wilayah 2,3 Ha. Daerah ini mencakup 1 buah
jalan lokal yaitu jalan cendrawasih IV. Kondisi jalan yang terdapat di RW ini
baik serta persampahannya pun cukup baik di mana masing-masing rumah
telah ada tempat sampahnya masing-masing sehingga mempermudah di
angkut oleh truk pengangkut sampah setiap seminggu sekali. Untuk perairan
masyarakatnya mayoritas menggunakan air PAM untuk kehidupan sehari-
hari. Drainasenya pun baik namun masih ada saja sampah yang bearada di
got-got.
Lokasi kelima adalah RW V dengan batas wilayah sebelah utara RW I
kelurahan Lette, sebelah timur RW II kelurahan Lette, sebelah selatan
kelurahan Mariso dan sebelah barat adalah pantai. Pada daerah ini terdiri atas
8 RT dengan luas wilayah 3,5 Ha. Daerah ini merupakan kawasan daerah
perumahan yang sangat padat dengan status tanah kebanyakan adalah sewa
dan kondisi jalan yang masih terbuat dari paving blok serta banyak gang-gang
kecil. Jaringan air menggunakan air PAM untuk kehidupan makan dan
minum. Sumur pun digunakan untuk menopang kehidupan seperti mencuci
dan lain-lain. Sistem drainasenya kurang baik karena lebarnya yang sempit
dan kebanyakan ditutupi oleh jalan untuk perluasan jalan. Pada daerah ini
terdapat 1 mesjid, pos kesehatan, posyandu dan untuk kebutuhan listrik
masyarakat telah dianggap mencukupi.
2. Pola Pengelompokan Bangunan
Sebagian besar bengunan yang terdapat pada kawasan ini adalah rumah tinggal.
Secara umum bangunan yang ada dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Tempat Tinggal
Lokasi Bentuk Struktur
Bangunan
Konstruksi Bangunan
Da
rat
ai
r
men
gap
ung
panggu
ng
berting
kat
Be
ton
baj
a
ka
yu
per
ma
ne
n
Semi
perma
nen
Non
permane
n
1. R.tungg
al
ya y
a
y
a
tdk y
a
tdk ya ya ya ya ya
2. R.susun ya tdk y
a
ya ya
3. R.deret ya y
a
y
a
ya ya
Sumber : Hasil Survei Lapangan
Keterangan :
a. Berdasarkan tipe bangunan yang ada, rumah tinggal dikecamatan Mariso sebagian
terdiri dari rumah panggung dan rumah darat. Selain itu karena berbatasan
langsung dengan laut, sebagian rumah (terutama rumah panggung) berada diatas
air.
b. Pada kawasan ini juga terdapat rumah susun Lette yang terdiri dari 4 blok dan 3
lantai.
c. Sebagian besar rumah panggung yang berada di darat telah mengalami perubahan.
Pada bagian kolong bangunan, digunakan untuk ruangan atau untuk menyimpan
barang-barang. Bahan bangunan yang digunakan untuk dinding biasanya bata,
seng atau papan.
Sarana
Lokasi Bentuk Struktur
Bangunan
Konstruksi Bangunan
dara
t
ai
r
me
ng
ap
un
g
panggu
ng
Berting
kat
bet
on
baj
a
kayu perm
anen
Semi
perma
nen
Non
perma
nen
1. Warung ya y
a
tdk tdk ya ya ya ya
2. Puskes
mas
ya tdk tdk ya ya
3. TPI ya tdk tdk ya ya
4. T.ibada
h
ya tdk tdk ya ya
5. Sekolah ya tdk y
a
tdk ya ya ya
Sumber : Hasil Survei Lapangan
Keterangan :
a. Sarana yang ada dikecamatan Mariso dapat dikatakan lengkap. Mulai dari sarana
pendidikan hingga ibadah.
b. Warung yang ada biasanya menyatu dengan rumah tinggal dan sebagian besar
berada didarat. Untuk Puskesmas, pelayanannya menjadi satu dengan kecamatan
Panambungan dan sekolah (SD negeri) bergabung dengan kecamatan Mariso.
c. Tempat Pelelangan ikan sudah termasuk kelurahan Kunjung Mae, dan rencananya
akan dipindahkan karena sudah tidak memenuhi syarat.
d. Pada kawasan ini terdapat 2 TPS, yang berupa kontainer.
Salah satu sarana Pendidikan yang ada di Kel. Lette, (Madrasah)
Prasarana
n
o
prasarana ada tdk sumber kapasitas keterangan
1. Listrik V PLN Meteran ditiap
rumah
2. Telepon V TELKOM
3. Gas V Menggunakan
tabung gas
4. Air bersih V PDAM
5. Drainase V Sistem terbuka,
bercampur antara
air hujan, laut dan
air kotor.
6. Jalan lingkungan V Lebar 6m
7. Jalan setapak V Lebar 2m
Sumber : Hasil Survei Lapangan
Gambar
Sumber air bersih umum (PDAM)
Gambar
Jalan lingkungan, batas antar kel Lette dan kel. Mariso
Gambar
Jalan lingkungan yang juga digunakan untuk kegitan lain
Tipe-Tipe Adaptasi Terhadap Kenaikan Muka Air Laut
Letak jalan yang lebih tinggi dari bangunan mengakibatkan penduduk
meninggikan lantai bangunannya. Karena tipe rumah tinggal yang ada
kebanyakan rumah panggung yang telah dirubah menjadi rumah non
panggung, dengan memanfaatkan kolong bangunan sebagai ruang, maka jarak
lantai dengan langit-langit menjadi semakin dekat.
Untuk mengurangi masuknya masuknya air ke dalam bangunan maka pada
pintu depan dibuat tanggul setinggi kira-kira 50cm.
Dengan bertambah majunya tingkat ekonomi masyarakat maka banyak rumah
panggung yang berubah bentuk menjadi rumah non panggung. Perubahan ini
adalah selain untuk penambahan ruang juga menunjukan kemapanan pemilik
dengan bentuk rumah non panggung yang lebih permanen.
Gb. 4
Kolong bangunan rumah panggung yang telah mengalami pengembangan
Gb. 3
Salah satu kolong bangunan rumah panggung yang dimanfaatkan sebagai tempat menyimpang barang-barang.
Gb. 13
Salah satu jenis adaptasi masyarakat (MCK)
d. Konstruksi bangunan, untuk rumah panggung adalah kayu dengan dinding papan
atau seng dan atap seng atau daun nipah. Untuk bangunan darat, konstruksi kayu
atau beton, dengan dinding bata atau papan dan atap seng atau genting.
KDB (Koefisien Dasar Bangunan)
Rumah Lantai 1
Kofisien Dasar Bangunan (KDB) = Luas Lahan
Terbangun
Luas Lahan
Luas Lahan Terbangun P= 4,25m , L= 4m
Luas Lahan P= 5m, L= 4m
Kofisien Dasar Bangunan (KDB) = 4,25 X 4
5 x 4
= 17
2
= 0,85 atau 85 %
Rumah Lantai 1
Kofisien Dasar Bangunan (KDB) = Luas Lahan Terbangun
Luas Lahan
Luas Lahan Terbangun P=11 m, L=5,5 m
Luas Lahan P=11m , L=6 m
Kofisien Dasar Bangunan (KDB) = 11 X 5,5
11 X 6
= 60,5
66
= 0,91 atau 91%
Rata-rata luas dari bangunan (rumah lantai 1) berukuran 4,25 m x 4m-11m x 5,5 m
Rata-rata Kepadatan Bangunan Kelurahan Lette
1 Ha = 90 rumah
D. Kelayakan Sosial dan Ekonomi
1. Aspek Sosial kemasyarakatan
Kondisi sosial masyarakat yang ada di lokasi studi tepatnya di Kecamatan
Mariso umumnya masyarakatnya berasal dari suku asli bugis makassar.
Tingkat pendidikan masyarakat yang berbeda-beda, umumnya masyarakat
yang berada di dalam permukiman kumuh memiliki tingkat pendidikan yang
lebih rendah dibandingkan yang bukan di permukiman kumuh, hal itu
dikarenakan oleh tingkat pendapatan masyarakat yang berbeda.
Pendidikan merupakan barometer kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Di sektor ini, pendidikan tidak hanya diarahkan untuk mencetak
manusia pintar saja, tapi yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan mutu moral
bagi manusia yang bersangkutan seperti sikap hidup mandiri, keteguhan dan rasa
tanggung jawab. Kemudian lebih lanjut, mengenai tingkat pendidikan beserta fasilitas
penunjang pendidikan untuk kelurahan Lette harus diakui masih jauh dari kategori
memadai, dimana pada kelurahan ini hanya terdapat beberapa fasilitas pendidikan
saja. Untuk mengetahui tingkat pendidikan penduduk di kelurahan Lette kecamatan
Mariso kota Makassar beserta fasilitas pendidikan yang ada pada wilayah ini
terlampir pada tabel berikut :
Tabel. Tingkat pendidikan penduduk di kelurahan Lette kota Makassar.
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Buta huruf
Tidak Tamat SD/sederajat
Tamat SD/sederajat
Tamat SLTP/sederajat
Tamat SLTA/sederajat
Tamat D1
Tamat D2
Tamat D3
Tamat S1
Tamat S2
Tamat S3
-
495 Orang
839 Orang
490 Orang
1.159 Orang
162 Orang
203 Orang
302 Orang
285 Orang
37 Orang
5 Orang
-
12,44
21,09
12,32
29,14
4,07
5,10
7,59
7,16
0,93
0,12
Jumlah 3.977 Orang 100
Sumber: Data kelurahan Lette tahun 2010 (diolah).
Berdasarkan tabel tersebut, maka tingkat pendidikan penduduk di kelurahan Lette
sebagian besar hanya tamat SLTA/sederajat yakni sebanyak 1.159 orang atau sebesar
29,14 persen dan tamatan SD/sederajat sebanyak 839 orang atau sebesar 21,09
persen. Sedangkan untuk golongan strata satu, strata dua dan srata tiga jumlahnya
sangat kecil bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya, yang masing-
masing jumlahnya adalah sebesar 285 orang (S1) atau sebesar 7,16 persen, 37 orang
(S2) atau sebesar 0,93 persen dan 5 orang (S3) atau dengan persentase sebesar 0,12
persen.
Sarana pendidikan merupakan sarana yang menjadi tempat untuk menimba
ilmu. Adapun sarana/fasilitas pendidikan yang ada di kelurahan Lette ini dapat
dikatakan masih kurang memadai dimana hanya ada 2 Taman Kanak-Kanak (TK
Almadania) yang terletak di jalan Rajawali Lr. I No. 13B serta Taman Kanak-Kanak
(TK Aisyiah Bustanul) yang terletak di jalan Cendrawasih IV kelurahan Lette.
Kemudian untuk SLTP, hanya ada 1 Seklolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
yaitu SMP Katholik Belibis yang terletak di jalan Belibis. Sekolah ini berstatus
swasta dan merupakan yayasan Paulus Kaup dimana mayoritas siswa siswinya
beragama Nasrani. Adapun kondisi fisik dari gedung SMP Katholik tersebut sudah
cukup tua namun masih layak dipakai untuk kegiatan belajar mengajar. Berikut Tabel
4.6 mengenai fasilitas pendidikan yang ada di kelurahan Lette kota Makassar.
Tabel Fasilitas pendidikan di kelurahan Lette kota Makassar.
No. Fasilitas pendidikan Banyaknya Bangunan
1.
2.
3.
TK
SLTP/Sederajat
SD
2 Buah
1 Buah
1 Buah
2 Jumlah 4 Buah
Sumber: Data kelurahan Lette tahun 2010 (diolah).
Berdasarkan tabel tersebut, maka di kelurahan Lette khususnya dalam hal fasilitas
pendidikan masih begitu kurang memadai dimana seperti yang tersaji dalam tabel
hanya terdapat 3 buah fasilitas pendidikan dengan rincian; TK sebanyak 2 unitSD 1
unit dan untuk SLTP hanya terdapat 1 buah bangunan saja.
2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan sektor yang paling penting bagi seseorang
maupun keluarga secara luas agar dapat bertahan hidup dan melanjutkan kehidupan.
Sektor ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi, sebab dari situ akan terlihat
bagaimana tingkat kesejahteraan dari individu maupun kelompok yang bersangkutan.
Pada kelurahan Lette, mata pencaharian penduduk sangat bervariasi. Namun,
pekerjaan sebagai nelayan merupakan yang paling banyak dijadikan sebagai mata
pencaharian oleh penduduk setempat. Untuk lebih jelasnya terlihat pada tabel berikut:
Tabel Mata pencaharian penduduk di kelurahan Lette
No. Mata Pencaharian Jumlah Persen
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Pedagang/Wiraswasta/Pengusaha
Pengrajin
PNS
TNI/POLRI
Montir
Supir
Karyawan Swasta
Tukang Becak
Penjahit
Guru Swasta
Kontraktor
155 Orang
49 Orang
386 Orang
284 Orang
157 Orang
201 Orang
547 Orang
447 Orang
149 Orang
89 Orang
39 Orang
4,50
1,42
11,21
8,25
4,56
5,84
15,89
12,99
4,33
2,58
1,13
12.
13.
Tukang Batu
Nelayan
352 Orang
625 Orang
10,22
18,16
T o t a l 3.441 Orang 100
Sumber: Data kelurahan Lette tahun 2010 (diolah).
Data pada tabel, menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk di kelurahan Lette
kota Makassar secara umum di dominasi oleh profesi sebagai nelayan yaitu sebesar
625 orang atau setara dengan 18,16 persen.Kemudian disusul dengan mata
pencaharian sebagai tukang becak yakni sebanyak 447 orang atau sebesar 12,99
persen serta mata pencaharian sebagai tukang batu sebanyak 352 orang atau dengan
persentase sebesar 10,22 persen. Ketiga mata pencaharian itu mendominasi
kehidupan masyarakat yang berdomisili di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota
Makassar.
E. Teori Lokasi
Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat
besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini
sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah
pengaruh dari potensi tersebut. Model ini dapat digunakan untuk menentukan
lokasi yang optimal.
Dimana kelurahan Lette terletak di pusat kota Makassar, selain itu kelurahan Lette
berdekatan dengan TPI, Laut yang menjadi sumber mata pencaharian utama
penduduknya sebagai nelayan
F. ANALISIS SWOT
Tabel Analisis
STREGHT WEAKNESS OPPORTUNIT THREAT
Y
memiliki daya
tarik sehingga
banyak urban
yang berpindah
ke kota
Lokasi
berbatasan
langsung
dengan pantai
Lokasi dekat
dengan pusat
kota
Mudah
banjir
Banyak
tersedia
lapangan kerja
Rata-rata
akses jalan
menuju
permukiman
“sempit”
hanya dapat
dilalui dengan
berjalan kaki,
dan 1 buah
motor
Lokasi dekat
dengan tempat
bekerja sebagian
besar penduduk
Terjadi
kepadatan
bangunan
Terdapat
sarana
perdagangan,
kesehatan, dan
pendidikan
Pemerintah
tidak tegas
dalam
menangani
pembanguna
n liar
Rata-rata
penduduk
setempat
membuka
warung.
Pertumbuhan
penduduk
“pesat”
Sosial tinggi
antar tetangga
Tidak
terdapat
ruang publik
Sulitnya
akses menuju
permukiman
“RTH” penduduk
dengan
menggunaka
n moda
transportasi
Karakteristik
penduduk:
mata
pencaharianny
a bergerak di
bidang sektor
informal.
Mata
pencaharian
penduduk
tidak tetap
Rawan
tindakan
kriminalitas
G. Permasalahan
Kepadatan penduduk
Kepadatan bangunan
Jalan sempit
Banjir
Drainase tertutp
Disfungsi lahan menjadi tempat pembuangan sampah
Tingkat kriminalitas tinggi
Solusi yang telah dilakukan untuk mengatasi kekumuhan di kelurahan Lette
Solusi yang telah dilakukan yaitu dengan pembangunan rumah susun di dekat
permukiman padat dan memindahkan penghuninya secara bertahap. Sehingga lahan
yang ditinggalkan oleh penghuni rumah horizontal dapat digunakan untuk
membangun rumah susun lagi bagi penduduk lain di sekitarnya. Jika permukiman
vertikal sudah terwujud, terdapat banyak lahan sisa di sekitar gedung rumah susun
yang dapat digunakan sebagai ruang terbuka hijau, taman, dan fasilitas olahraga bagi
masyarakat yang tinggal di kawasan itu
Namun, solusi pembangunan rusun tersebut tidak dapat berjalan secara efektif
karena berberapa faktor diantaranya:
1. Sempitnya kamar pada rusun yang menyebabkan warga tidak berniat untuk
pindah ke rusun
2. Tingginya tingkat kriminalitas di daerah rusun karena tingkah laku warga
rusun itu sendiri
3. Adanya bahaya bagi para anak-anak karena bangunan yang bertingkat
a. Permukiman vertikal di kawasan downtown
studi kasus: Rusunawa Lette, Mariso
Karakter Sosial:
Sebagian besar penduduknya merupakan pendatang, sehingga atau para
migran dari pedesaan yang tidak memiliki keahlian. Kedatangan mereka atas
dasar adanya kontak hubungan dengan saudara, kerabat yang sudah bermukim
di kota.
Sebagai hibura masa senggang, rusunawa lette tidak memiliki
fasilitasbbersama, rumah yang sempit, dan pengap mereka mengelompok di
luar (teras rumah) bahkan di lantai satu digunakan untuk fasilitas bersama,
satu minggu sekali mereka melakukan senam bersama di lantai satu.
Permasalahan sosial: - penggunaan audio yang terlalu keras sehingga kadang
kala menganggu tetangga, mengutamakan kepentingan individu dalam
menggunakan sarana umum, menjemur pakaian di luar jendela, sehingga
merusak pemandangan dan dapat meneteskan air ke jemuran yang ada di
bawahnya, tanpa disadari seringkali warga membuang sampah disembarang
tempat. Bahkan membuang sampah ke bawah.
Karakter ekonomi:
Sebagian besar penduduknya bergerak dalam kehidupan sektor informal
dengan pendapatan terbatas terutama untuk kehidupan kota seperti tukang
becak, nelayan, pedagang kaki lima maupun pedagang asongan, buruh harian.
Keadaan tersebut mengakibatkan sebagian penduduk dikategorikan setengah
menganggur.
Fungsi Lahan:
Rusunawa yang terdapat di kec. Mariso memiliki enam blok, dan fasilitas
peribadatan ( masjid) karena sebagian besar mata pencaharian penduduk
dalam sektor informal seperti pedagang, tukang becak, maupun nelayan.
Karena mata pencaharian penduduk sebagai pedagang kaki lima maka, lantai
pertama digunakan sebagai tempat berjualan bahkan sebagai tempat
memelihara ternak. Selain itu lantai pertama digunakan untuk fasilitas
bersama seperti tempat parkir kendaraan (motor),parkir becak, dan tempat
nelayan menjemur jalanya, lantai kedua, tiga, dan empat digunakan sebagai
fungsi hunian. Rusunawa ini terdiri atas 6 unit twin blok. Setiap unit terdiri 24
unit kamar yang berukuran 21 m2 .
Gambar Rusunawa Mariso
Gambar Foto Udara Rusunawa Mariso
Konsep Perencanaan
Konsep untuk menangani masalah pemukiman kumuh yang terdapat di Kelurahan
Lette, Kecamatan Mariso melalui analisis beberapa faktor yang dijabarkan sebagai
berikut:
1. Kepadatan Penduduk
Untuk menangani masalah kepadatan penduduk yang ada kawasan
pemukiman kumuh di Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso yakni dapat
menggunakan konsep Preventif. Yaitu dengan :
Tertibnya administrasi kependudukan dan pengendalian mobilitas
penduduk.
Menetapkan batas toleransi kawasan pemukiman penduduk guna
mencegah pengrusakan lingkungan.
2. Kemiskinan Secara Ekonomi
Untuk variabel kemiskinan secara Ekonomi (tingkat pendapatan) dapat
diselesaikan dengan cara menerapkan konsep kawasan percontohan.
3. Kemiskinan Secara Sosial
Untuk variabel kemiskinan secara Sosial (jenis mata pencaharian) dapat
diselesaikan dengan cara menerapkan program peningkatan Sumber Daya
Manusia.
4. Budaya/Kultur
Untuk aspek Budaya atau kultur (kebiasaan masyarakat) dapat diatasi dengan
menerapkan konsep dalam hal ini adalah bina sosial. Pembinaan dapat juga
dilakukan dengan cara pemberian penyuluhan kepada masyarakat.
5. Masyarakat
Untuk aspek masyarakat (kepedulian dan kesadaran masyarakat dan
pertisipasi masyarakat) dapat diatasi dengan menerapkan konsep Model
Penanganan Kampung Kumuh Berbasis Potensi Masyarakat.
6. Peran Pemerintah
Untuk aspek peran pemerintah (upaya pemerintah) dapat diatasi dengan
menerapkan konsep Manajemen Perkotaan. Dimana tujuan dari konsep ini
adalah bertujuan menyesuaikan pelayanan publik terhadap kebutuhan
masyarakat.
7. Perumahan
Untuk aspek perumahan dapat diatasi dengan menerapkan konsep Revitalisasi
kampung kota
Maka Konsep Penataan Kawasan Permukiman Kumuh di kelurahan Kelurahan Lette,
Kecamatan Mariso adalah Revitalisasi Kampung Kumuh dengan manajemen
perkotaan yang berbasis masyarakat :
Pemberdayaan masyarakat melalui Konsep Tridaya.
a) Perbaikan kualitas fisik lingkungan, termasuk didalamnya utilitas atau
prasarana lingkungan.
b) Peningkatan kualitas pendidikan, minimal tingkat SMA
melalui peningkatan kualitas guru, penyediaan sarana
prasarana sekolah yang memadai
c) Menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan sosial dalam masyarakat, dari dan
untuk masyarakat, misalnya dengan simpan pinjam.
Konsep Revitalisasi
1) Mengoptimalisasikan fungsi lahan permukiman yang ada dengan membatasi
pembangunan rumah baru yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
untuk mengurangi kepadatan dengan melakukan pendekatan terhadap
partisipasi masyarakat.
2) Peningkatan kualitas lingkungan permukiman dengan penyediaan sarana dan
prasarana sesuai kebutuhan masyarakat dan perbaikan sarana dan prasarana
yang tersedia pada kawasan permukiman.
3) Penyediaan akses informasi kepada masyarakat dan menjalin kerja sama
dengan pihak swasta, akademisi, LSM dan lembaga terkait untuk memberikan
pelatihan dan penyuluhan tentang pengelolaan lingkungan demi peningkatan
pengetahuan masyarakat.
4) Pemberdayaan kualitas sumberdaya manusia dengan menciptakan kemitraan
yang berkelanjutan memberikan bantuan modal usaha bagi masyarakat yang
penggunaannya diawasi oleh masyarakat dan pemerintah.
5) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan melalui
kegiatan pendampingan dari pihak LSM dan akademisi dan
mengoptimalisasikan kesadaranmasyarakatterhadaplingkungansebagai
pendekatan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan
kerja bakti melalui pemberian sanksi adat bagi yang melanggar.
Tujuan mengapa konsep ini diterapkan untuk mengatasi permukiman kumuh di
Kelurahan Lette, Kecamatan Marisso adalah karena revitalisasi dapat:
1. Menghidupkan kembali kawasan pusat kota yang memudar atau menurun
kualitas lingkungannya.
2. Meningkatkan nilai ekonomis kawasan yang strategis.
3. Merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya.
4. Mendorong peningkatan ekonomi lokal dari dunia usaha dan masyarakat.
5. Memperkuat identitas kawasan
6. Mendukung pembentukan citra kota.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dalam pembahasan mengenai konsep penataan kawasan
permukiman Kumuh di kelurahan Lette, Kecamatan Mariso bahwa faktor yang
menyebabkan adanya pemukiman kumuh di di kelurahan Lette, Kecamatan Mariso
adalah
1. Tingginya tingkat kepadatan penduduk
2. Rendahnya tingkat pendapatan
3. Banyaknya penduduk yang bermata pencaharian informal dan pengangguran
4. Aktifas masyarakat sehari-hari yang selalu memproduksi sampah dan
kebiasaan masyarakat setempat
5. Rendahnya tingkat kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
dan
6. Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap penataan pemukiman kumuh
7. Kurang optimalnya peran pemerintah dalam penataan pemukiman kumuh dan
8. Penyediaan sarana prasarana pemukiman
B. Saran
Dari hasil pembahasan maka beberapa saran adalah sebagai berikut:
1. Diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar dapat
berpartisipasi aktif dalam pengembangan pemukiman di Kelurahan Lette,
Kec. Mariso
2. Diperlukan koordinasi yang baik antar tiap stakeholder dalam menjalankan
peranannya sehingga pengembangan wilayah pemukiman dapat optimal
3. Pemerintah harus benar-benar memanfaatkan peluang yang ada sehingga
pengembangan kawasan pemukiman dapat terlaksana secara optimal
4. Persepsi masyarakat yang tinggal di kawasan pemukiman kumuh tentang
kualitas lingkungan perlu diperbaiki dengan memberikan pemahaman yang
benar mengenai rumah dan lingkungan yang sehat
5. Dalam peningkatan kualitas lingkungan permukiman, masyarakat perlu
difasilitasi dengan pembentukan lembaga organisasi/koperasi di tingkat RW
sehingga dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat dan membuka peluang
untuk mendapatkan akses bantuan dari pemerintah atau pihak luar untuk
perbaikan kondisi permukiman
6. Perlu adanya ketegasan dari pemerintah dan koordinasi untuk mengantisipasi
bertambah luasnya kawasan permukiman kumuh
7. Dinas Tata Kota dan instansi terkait perlu menyusun pola pemberdayaan bagi
masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman kumuh yang bertujuan
untuk meningkatkan partisipasi warganya dan memberikan akses kepada
masyarakat selaku pelaku utama dalam pembangunan rumah dan
permukimannya.