bab i eksperimental quasi
TRANSCRIPT
BAB I
LATAR BELAKANG
Eksperimen dapat diartikan sebagai sebuah tes atau pengujian, atau juga
dapat diartikan sebagai sebuah tes yang tidak terlalu tampak penyebabnya dan
dapat diartikan pula sebagai percobaan atau manipulasi secara sengaja (Cook &
Campbell, 1979). Percobaan tersebut dapat dilakukan dengan simulasi atau
dengan tes secara riil. Namun tes secara riil dianggap lebih valid dibandingkan
percobaan yang hanya dilakukan dengan menggunakan teknik simulasi.
Di dalam melakukan percobaan tersebut dibutuhkan adanya efek perlakuan
dengan menggunakan pembandingan dari satu percobaan dengan percobaan yang
lain. Di dalam rancangan eksperimen, langkah yang dianggap terbaik adalah
dengan menggunakan penugasan secara acak yang memiliki konsep penafsiran
ceteris paribus (segala sesuatu yang lain bersifat sama). Tetapi hal tersebut
seringkali sulit diimplementasikan jika obyek penelitian yang dikenai adalah
manusia. Khususnya di bidang pendidikan yang hampir seluruh obyek
penelitiannya adalah pelajar, maka penugasan secara acak sangat sulit
diimplementasikan.
Dengan melihat kepada fenomena tersebut, maka dibutuhkan sebuah teknik
eksperimen lain yang tidak menggunakan penugasan secara acak. Penugasan
secara acak umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik true experiment,
sedangkan alternatif teknik yang tidak menggunakan penugasan secara acak
disebut sebagai quasi experimental design (Scott & Usher, 2011). Teknik
eksperimen ini umumnya dilakukan jika peneliti tidak memiliki kendali penuh
terhadap obyek penelitian sehingga tidak mampu menerapkan penugasan obyek
secara acak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Quasi Experiment
Quasi experiment didefinisikan sebagai eskperimen yang memiliki
perlakuan, pengukuran dampak, unit eksperimen namun tidak menggunakan
penugasan acak untuk menciptakan perbandingan dalam rangka menyimpulkan
perubahan yang disebabkan perlakuan (Cook & Campbell, 1979). Jenis ini juga
seringkali disebut sebagai post-hoc research yang berarti bahwa peneliti dapat
melihat efek yang terjadi dari sebuah variabel setelah kejadian tertentu (Salkind,
2006:234). Quasi experiment sesungguhnya dapat dikatakan mirip dengan true
experiment jika dilihat dari pemanipulasian variabel independen yang dilakukan
(Ary et al, 2010:316).
Beberapa perbedaan yang sangat signifikan dari quasi experiment bila
dibandingkan dengan true experiment adalah jika di dalam true experiment
digunakan untuk menguji sebab-akibat yang sesungguhnya dari sebuah hasil
relasi, sedangkan di dalam quasi experiment hanya melakukan pengujian tanpa
adanya kendali penuh didalamnya (Salkind, 2006:10; Levy & Ellis, 2011). Namun
hal ini bukan berarti bahwa peneliti sama sekali tidak memiliki kendali terhadap
obyek penelitian di dalam quasi experiment, tetapi yang dimaksudkan adalah
kendali yang dimiliki tidak mutlak bisa digunakan.
Beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh desain quasi experiment adalah
terlalu fokus terhadap kejadian yang tidak dapat diperkirakan dan tidak
berkelanjutan sehingga dapat mengaburkan tujuan jika terjadi perubahan yang
tidak terduga akibat faktor fenomena ekonomi atau perkembangan politik. Dan
juga kurang kuatnya pengukuran dalam hal asosiasi yang menjadikan beberapa
efek yang terjadi pengukurannya terbatas. Hal tersebut mengakibatkan beberapa
efek seringkali “tidak terlihat” pada saat pengukuran terjadi (Caporaso, 1973:31-
38).
Di dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, penggunaan quasi
experiment sangat disarankan mengingat kondisi obyek penelitian yang seringkali
tidak memungkinkan adanya penugasan secara acak. Hal tersebut diakibatkan
telah terbentuknya satu kelompok utuh (naturally formed intact group), seperti
kelompok siswa dalam satu kelas. Kelompok-kelompok ini juga sering kali
jumlahnya sangat terbatas. Dalam keadaan seperti ini kaidah-kaidah dalam true
experiment tidak dapat dipenuhi secara utuh, karena pengendalian variabel yang
terkait subjek penelitian tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Sehingga untuk
penelitian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pembelajaran,
direkomendasikan penggunaan teknik quasi experiment di dalam implementasinya
(Azam, Sumarno & Rahmat, 2006).
Tidak adanya pengacakan dalam menentukan subjek penelitian
memungkinkan untuk munculnya masalah-masalah yang terkait dengan validitas
eksperimen, baik validitas internal maupun eksternal. Akibatnya, interpreting and
generalizing hasil penelitian menjadi sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu,
pembatasan hasil penelitian harus diidentifikasi secara jelas dan subjek penelitian
perlu dideskripsikan.
Secara umum, pelaksanaan penelitian dengan menggunakan teknik quasi
experiment dapat berhasil jika strategi berikut diterapkan didalamnya. Strategi
tersebut antara lain (Robson et al, 2001:30): menambahkan kelompok kontrol,
melakukan pengukuran sebelum dan sesudah implementasi yang didalamnya
dilakukan intervensi, secara bertahap memperkenalkan perlakuan terhadap
kelompok obyek, menambahkan prosedur terbalik terhadap tiap perlakuan di tiap
kelompok dan menggunakan pengukuran luaran tambahan.
2.2 Jenis Desain Quasi Experiment
Terdapat beberapa jenis desain di dalam implementasi quasi experiment,
yakni (Ary et al, 2010; Azam, Sumarno & Rahmat, 2006):
1) nonrandomized Control Group, Pretest–Posttest Design
Disebut juga sebagai non eqivalent control group design dan dianggap
sebagai desain yang paling banyak digunakan di dalam teknik quasi experiment
(Salkind, 2006:235). Desain ini mirip dengan pre-test-posttest di dalam true
experiment namun tidak memiliki penugasan acak didalamnya.Karena adanya
pretest, maka pada desain penelitian tingkat kesetaraan kelompok turut
diperhitungkan. Pretest dalam desain penelitian ini juga dapat digunakan untuk
pengontrolan secara statistik (statistical control) serta dapat digunakan untuk
melihat pengaruh perlakuan terhadap capaian skor (gain score).
Hal yang penting diperhatikan di dalam desain ini adalah jika posttest yang
dilakukan ternyata tidak berpengaruh kepada subjek eksperimen akibat adanya
pengaruh dari pretest sebelumnya. Sebab hasil posttest bisa jadi hanya merupakan
pengaruh akibat dari adanya pretest. Misal: jika di dalam pretest terdapat
pertanyaan, “Apakah Anda sering membaca harian Kompas?”, dan setelah terjadi
perlakuan pada subjek eksperimen yang didalamnya mengharuskan mereka sering
melakukan review terhadap artikel di harian Kompas, maka jawaban pada saat
posttest untuk pertanyaan yang sama bisa menjadi bias.
Tetapi bias yang terjadi antara hasil pretest dan posttest umumnya dapat
dihindari jika tes yang dilakukan lebih bersifat sebagai achievement test, karena
didalamnya akan menuntut subjek menjawab posttest berdasarkan hasil perlakuan
eksperimen. Namun jika tes yang dilakukan lebih mengarah ke motivasi atau
sikap, maka disarankan untuk tidak menggunakan desain jenis ini (Ary et al,
2010).
Hasil yang mungkin terjadi di dalam desain ini antara lain (Vockell,
1983:177): :
1. kelompok yang mendapat perlakuan mendapatkan hasil posttest yang lebih
baik (dianggap sebagai hasil yang terbaik dari eksperimen);
2. kelompok yang mendapat perlakuan mendapatkan hasil posttest yang sama
baik atau sama meningkat dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan
(diasumsikan sebagai hasil gagal dalam eksperimen karena perlakuan tidak
memiliki pengaruh).
Secara umum, desain ini cukup memadai untuk dilakukan di dalam situasi
yang tidak memungkinkan bagi peneliti untuk melakukan penugasan secara acak
dan lebih ditekankan kepada hasil posttest yang bersifat achievement sehingga
efek dari eksperimen dapat lebih terlihat secara jelas. Umumnya desain jenis ini
digabungkan dengan desain lain dari quasi experiment agar dapat mendapatkan
hasil yang lebih optimal (Vockell, 1983:178)
2. counterbalanced Design
Desain jenis ini umumnya menggunakan lebih dari satu intact class (kelas
yang sudah terbentuk sebelumnya) lalu dirotasi perlakuannya pada interval waktu
tertentu. Perbedaan utama antara jenis ini dengan jenis sebelumnya adalah bahwa
seluruh kelompok akan mengalami perlakuan yang sama, tetapi dengan urutan
yang berbeda-beda.
Jenis ini lazim digunakan apabila seorang pembelajar ingin melihat
perbandingan efek perlakuan yang sama kepada kelompok yang berbeda. Desain
ini juga dapat digunakan jika perlakuan yang akan diterapkan lebih dari satu jenis.
Kelebihan dari desain ini dibandingkan desain pertama, yakni bahwa seluruh
kelompok mendapat perlakuan yang sama, sehingga mengurangi risiko akan
terjadinya kekecewaan dari satu kelompok karena merasa diperlakukan tidak adil
di dalam proses eksperimen. Tetapi bisa juga terjadi bahwa jika perlakuan yang
dikenakan harus secara berurutan atau sekuensial, maka hasil eksperimen pada
kelompok tertentu (yang terkena perlakuan tidak urut) akan mendapatkan hasil
yang berbeda.
Risiko lain adalah kebosanan dari kelompok yang mendapat perlakuan, jika
perlakuan yang diberikan dianggap terlalu banyak. Di dalam penerapan desain ini,
ancaman terhadap validitas yang mungkin terjadi adalah adanya perubahan yang
radikal yang bisa terjadi hanya pada saat perlakuan pertama dilakukan, sehingga
dapat menimbulkan bias di perlakuan yang sama pada periode berikutnya. Namun
dengan adanya pola data yang dapat dibaca secara mudah, seharusnya ancaman
tersebut dapat dihilangkan dengan mudah (Vockell, 1983).
Desain jenis ini memiliki keuntungan yakni mampu mendeteksi adanya
kelemahan faktor maturasi dan regresi. Tetapi di sisi lain, memiliki kelemahan di
faktor sejarah, misal : di saat eksperimen dilakukan, pada tahapan tertentu (misal
Y5) tiba-tiba terjadi kejadian di luar dugaan seperti perubahan cuaca, perubahan
perilaku akibat peristiwa tertentu dan lainnya.
3. control Group Time-Series Design
Desain jenis ini merupakan pengembangan dari desain jenis sebelumnya
dengan menggabungkan desain jenis ketiga dengan desain jenis pertama.
Penggabungan tersebut diharapkan dapat mengatasi kelemahan di desain jenis
yang ketiga sehingga faktor sejarah dapat dideteksi dan dihilangkan sebagai
ancaman validitas internal.
2.3 Faktor Bias
Faktor Bias Mengukur Perubahan Dalam Eksperimen (Borg& Gall,
1983:720:726), terdapat beberapa faktor tersebut dapat menyebabkan bias di
dalam hasil eksperimen antara lain:
1) ceiling effect
Seringkali jangkauan nilai yang digunakan di dalam pelaksanaan tes sulit
untuk dilakukan. Sebagai contoh jika terdapat skala 0-100 dan seorang siswa
memiliki peningkatan nilai dari 85 ke 90, bukan berarti lebih baik peningkatannya
dibanding seorang siswa yang memiliki peningkatan nilai dari 40 ke 60. Sehingga
seakan-akan bahwa siswa yang mendapatkan nilai 90 memiliki perkembangan
lebih baik dibandingkan siswa yang mendapatkan nilai akhir 60.
2) regression effect
Terdapat kemungkinan bahwa siswa yang mendapatkan nilai lebih rendah
pada saat pre-test nantinya akan mendapatkan nilai lebih tinggi pada saat posttest
dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya faktor
keberuntungan dan kemungkinan besar bahwa keberuntungan tersebut tidak
terulang lagi. Asumsi lain yang terjadi adalah adanya perlakuan yang dianggap
sama rata untuk tiap peningkatan nilai tes, misal : peningkatan dari nilai 90 ke 95
seharusnya tidak dianggap sama dengan peningkatan dari nilai 40 ke 45.
3) simpangan pengukuran
Simpangan pengukuran yang berulang seringkali keefektifan pengukuran
yang dilakukan berulang-ulang dalam rentang waktu tertentu bisa menyebabkan
adanya simpangan yang besar dari satu pengukuran ke pengukuran lainnya. Untuk
mengatasi hal tersebut dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan analisa
kelompok perlakuan dikali dengan waktu pengujian agar didapat rasio yang
signifikan pada perbedaan antara pre-test dengan post-test.
DAFTAR PUSTAKA
Azam, et al. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Penelitian Kuasi Eksperimen dalam PPKP. Jakarta: Direktorat Ketenagaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Setiadi. 2007. Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.Notoatmodjo, S. 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.