bab i

Upload: de-joe

Post on 09-Mar-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB 1

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Salah satu fokus perhatian publik dan profesional saat ini adalah meningkatnya angka kelahiran melalui seksio sesarea. Meningkatnya angka kelahiran dengan seksio sesarea juga meningkatkan angka ibu yang menjalani persalinan dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya. Angka ini juga jelas akan meningkatkan risiko untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas pada para ibu tersebut.1,2

Salah satu tindakan yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas pada ibu yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea adalah tindakan anestesi. Dalam arti luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa hilangnya kesadaran.3Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.3Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi abdomen bagian bawah.3Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan semakin banyak penggunaannya untuk operasi ortopedi ekstremitas inferior. Anestesi spinal mudah dan murah untuk dilakukan, tetapi resiko yang mungkin dapat ditimbulkan juga tidak sedikit, antara lain hipotensi, blok tinggi (spinal), radiokulopati, abses, hematom, malformasi arterivenosa, sindrom arteri spinal anterior, sindrom hornes, nyeri punggung, pusing, serta defisit neurologis.3Sekarang ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya dibandingkan anestesi umum. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai keuntungan yang ada di antaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Salah satu teknik anestesi regional yang pada umumnya dianggap sebagai salah satu teknik yang paling dapat diandalkan adalah anestesi spinal.3Anestesi spinal juga merupakan salah satu jenis anestesi yang sering dipergunakan dalam bidang obstetric terutama pada tindakan seksio sesarea melihat dari berbagai keuntungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan anestesi lainnya. Pemahaman mendalam mengenai kondisi ibu baik selama perianestesi dapat membantu mengurangi tingkat morbiditas baik pada ibu maupun pada janin yang dikandungnya terutama pada ibu yang memiliki kondisi khusus seperti obesitas.1,2,4BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anestesi Blok Subarakhnoid1. Definisi

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal atau blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.32. Indikasi dan Kontraindikasi:Indikasi :3 Bedah ekstremitas bawah

Bedah panggul

Tindakan sekitar rektum perineum

Bedah obstetrik-ginekologi

Bedah urologi

Bedah abdomen bawah

Kontraindikasi absolut:3 Pasien menolak

Infeksi pada tempat suntikan

Hipovolemia berat, syok

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

Tekanan intrakranial meningkat

Fasilitas resusitasi minim

Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif1:

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

Infeksi sekitar tempat suntikan

Kelainan neurologis

Kelainan psikis

Bedah lama

Penyakit jantung

Hipovolemia ringan

Nyeri punggung kronis3. Persiapan dan peralatan analgesia spinal :Persiapan analgesia spinal:3Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:1. Informed consent (izin dari pasien)

Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated partial thromboplastine time)

Peralatan analgesia spinal:31. Peralatan monitor

Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.

2. Peralatan resusitasi/anestesi umum

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

4. Teknik analgesia spinal:Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.31. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.

5. Komplikasi Anastesi Spinal :Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan komplikasi pasca tindakan.3Komplikasi tindakan :3

1. Hipotensi berat

Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena : (1) Penurunan darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.3

Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri). Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg, atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi harus dicegah.3

Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL) dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor 1, 2, 1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.3

Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10 mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal.32. Bradikardia3Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal. Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.3Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.33. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas1-3

4. Trauma pembuluh saraf

5. Trauma saraf

6. Mual-muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi atau spinal total3Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:

Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.

Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.

Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.Komplikasi pasca tindakan1:

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospina l sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS sebanyak 20 ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :

Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :1-3

Memakai abdominal binder

Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.

Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.

4. Retensio urine5. Meningitis.

6.Persiapan dan Penilaian Pra AnastesiaPersiapan Tindakan Anestesi1 Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.

Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi

(misalnya, lutut kanan).

Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali

Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).

Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur tekanan tekanandarah arteri.

Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).Kelas I: Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas.

Kelas IV: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat Melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat.

Kelas V: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).

2. 2 ObesitasTerdapat berbagai system yang digunakan untuk mendefinisikan obesitas. Salah satu system yang sering digunakan adalah menggunakan perhitungan Boddy Mass Index (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT). Indeks Masa Tubuh dihitung dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter pangkat dua. The National Institute of Health (2000) mengklasifikasikan derajat indeks masa tubuh orang dewasa menjadi:4 Normal (18,5 24,9 kg/m2)

Berat Badan Berlebih (25 29,9 kg/m2)

Obesitas ( 30 kg/m2)

Tingkat 1 (30-34,9 kg/m2)

Tingkat 2 (35-39,9 kg/m2)

Tingkat 3 ( 40 kg/m2)

Kelebihan berat badan atau kegemukan didefinisikan sebagai indeks masa tubuh/Body Mass Index (BMI) berkisar antara 25 sampai 29,9 kg/m2 dan obesitas didefinisikan sebagai nilai BMI 30 kg/m2 atau lebih. Obesitas merupakan salah satu gangguan keseimbangan energy dan sering dikaitkan dengan peningkatan tingkat morbiditas dan mortalitas dan berhubungan dengan masalah medis yang luas. BMI lebih dari 28 kg/m2 dihubungkan dengan peningkatan morbiditas seperti stroke, penyakit jantung, dan diabetes yang sebanyak 3 sampai 4 kali lipat berisiko terjadi pada populasi umum.4,5Pasien dengan obesitas juga cenderung memiliki keterbatasan mobilitas dan mungkin mengalami penurunan kemampuan system respirasi dan kardiovaskular yang asimptomatik. Salah satu gejala gangguan system respirasi pada pasien dengan obesitas adalah obstructive sleep apnea, yaitu pengehtian aliran udara selama lebih dari 10 detik dan dikarakteristikan dengan adanya frekuensi episode apnue atau hipoapneue selama tidur. Adanya obstruksi aliran udara seringkali ditandai dengan mendengkur, somnolen saat sadar berhubungan dengan adanya episode tidur yang sering terganggu pad amalam hari, dan perubahan fisiologi yang meliputi hipoksemia arterial, hiperkarbia arterial, polisitemia, hipertensi sistemik, hipertensi pulmonal, dan gagal jantung kanan. Pada pasien dnegan obesitas, obstructive sleep apnea berhubungan dengan peningkatan jaringan lemak pada leher dan jaringan faring yang merupakan factor predisposisi terjadinya penyempitan aliran udara dan peningkatan angka kejadian apnea saat tidur.6Keadaan obesitas menyebabkan terjadinya defek gangguan pembatasan ventilasi sebagai hasil dari adanya penambahan berat badan yang berdampak pada penambahan tekanan toraks dan abdomen. Penambahan beat badan ini mempengaruhi pergerakan dari diafragma. Penambahan berat badan ini dan hubungannya dengan tekanan pada diafragma menyebabkan adanya penurunan kapasitas residual fungsional paru/fungtional residual capacity (FRC), volume cadangan ekspirasi, dan kapasitas total paru, dengan penurnan FRC berhubungan dnegan peningkatan BMI.6

2.2.1 Manajemen Anestesi

2.2.1.1 Induksi Anestesi

Pemeriksaan mendalam mengenai saluran pernapasan atas pasien dengan obesitas harus dilakukan sebelum dilakukannya induksi anestesi. Kesulitan bantuan ventilasi dengan masker atau dengan intubasi trakeal mungkin dapat terjadi dengan adanya keadaan anatomi pasien dengan obesitas, seperti wajah dan pipi yang gemuk, leher yang pendek, lidah yang besar, kemampuan membuka mulut yang tidak maksimal, adanya keterbatasan pergerakan servikal dan mandibular, dan ukuran dada dan payudara yang besar pada wanita. Berbagai kondisi diatas mengakibatkan pasien dengan obesitas cenderung rentan terhadap risiko terjadinya aspirasi pulmonal. Pemberian terapi farmakologi dengan antagonis reseptor H2 (mis: cimetidine, ranitidine, famotidine), antasida dan penghambat pompa proton (mis: omeprazole, lansoprazole, dll) dapat digunakan untuk menekan volume lambung, keasaman, atau keduanya, yang pada akhirnya akan menekan risiko dan komplikasi aspirasi.4,5Selain itu pada pasien dengan obesitas terjadi peningkatan kesulitan dilakukannya intubasi trakea. Namun, kesulitan dilakukannya intubasi pada pasien obesitas berhubungan dengan lingkar leher dan jika skor malampati 3 atau lebih.4,52.2.1.2 Maintenance Anestesi Dengan SpinalAnestesi spinal mungkin sulit dilakukan pada pasien dengan obesitas terutama jika permukaan tulangnya sulit ditentukan. Efek anestesi pada pasien obesitas mungkin jaug lebih rendah sebesar 20% pada pasien dengan obesitas jika dibandingkan dengan pasien non obesitas. Sebagai hasilnya, akan sulit untuk memperkirakan efek anestesi yang dicapai.4,52.2.1.3 Pertimbangan Anestesi Lainnya

Preoperative3,4 Pasien obesitas pada peningkatan risiko untuk pneumonia aspirasi. Penanganan pre operatif rutin dengan antagonis H2 dan metoklopramid harus dipertimbangkan. Premedikasi dengan obat depresan pernafasan harus dihindari pada pasien dengan bukti hipoksia pra operasi, hiperkapnia, atau slep apnea obstruktif. Suntikan intramuskular sering tidak dapat diandalkan karena ketebalan dari jaringan adiposa. Evaluasi pra operasi pasien sangat gemuk menjalani operasi besar harus dinilai cadangan cardiopulmonary dengan radiograf dada, ECG, analisa gas darah arteri, dan tes fungsi paru. Tanda-tanda fisik klasikgagal jantung (misalnya, edema sakral) mungkin sulit untuk diidentifikasi. tekanan darah harus diperiksa dengan menset sesuai ukuran. Tempat akses Intravena dan intraarterial harus diperiksa untuk mengantisipasi kesulitan teknis. Perhatian khusus harus diberikan pada saluran napas pada pasien obesitas karena mereka sering sulit untuk intubasi sebagai akibat dari mobilitas terbatas sendi temporomandobula dan atlantooccipital, jalan napas bagian atas yang menyempit, dan jarak yang pendek diantara bantalan lemak rahang bawah dan sternum. Intraoperative3,4 Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di intubasi boleh dengan semua agen anestesi umum tetapi dengan durasi yang lebih pendek. Subdiaphragmatic laparotomi abdominal dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari fungsi paru dan penurunan tekanan darah arteri dengan rusaknnya venous return. Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif memperburuk hipertensi paru pada beberapa pasien dengan obesitas ekstrim. Anestetik volatil dapat dimetabolisme lebih luas pada pasien obesitas. Ini adalah perhatian khusus sehubungan dengan defluorination dari halothane. Peingkatkan metabolisme dan kecenderungan untuk hipoksia dapat menjelaskan peningkatan kejadian hepatitis halothane pada pasien obesitas. Anestesi volatil menyebar perlahan-lahan ke lemak yang disimpan yang meningkatkan reservoir lemak memiliki sedikit efek klinis pada waktu bangun, bahkan selama prosedur pembedahan yang lama. Secara teoritis, cadangan lemak yang besar akan miningkatkan volume distribusi obat larut lemak (misalnya, benzodiazepine, opioid). Dengan demikian, loading dosis yang lebih besar akan diperlukan untuk menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Ini adalah alasan rasional untuk mendasarkan beberapa dosis obat pada berat badan pada pasien obesitas. Dengan alasan yang sama, dosis pemeliharaan harus diberikan lebih jarang karena clearance diharapkan akan lebih lambat dengan volume yang lebih besar distribusi. Sebaliknya, obat yang larut dalam air (misalnya, NMBAs) memiliki volume distribusi yang jauh lebih terbatas, yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh cadangan lemak. Dosis obat ini sehingga harus didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari overdosis. Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis persyaratan untuk anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien obesitas biasanya membutuhkan anestesi lokal kurang 20-25% karena lemak epiduraldan distended vena epidural. Tingkat blokade yang tinggi dengan mudah dapat membahayakan pernafasan. Anestesi continous epidural memiliki keuntungan meredakan nyeri dan menurunkan komplikasi pernafasan pada periode pasca operasi. Pascaoperasi3,4 Kegagalan pernafasan adalah masalah utama pasca operasi pasien sangat gemuk. Peningkatan Risiko hipoksia pasca operasi bisa karena hipoksia pra operasi dan operasi yang melibatkan thoraks atau abdomen bagian atas (terutama insisi vertikal). Extubation harus ditunda sampai dampak NMBAs reverse secara komplek dan pasien benar-benar sadar. Seorang pasien gemuk harus tetap terintubasi sampai tidak ada keraguan bahwa udara yang memadai dan volume tidal dapat dipertahankan. Ini tidak berarti bahwa semua pasien obesitas perlu tetap terventilator semalaman di unit perawatan intensif. Jika pasien extubasi di ruang operasi, oksigen tambahan harus disediakan selama transportasi ke ruang pemulihan. Modipikasi posisi duduk 45 akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi dan oksigenasi. Risiko hipoksia meluas selama beberapa hari ke periode pasca operasi, dan oksigen tambahan harus tersedia rutin. Lainnya komplikasi pascaoperasi umum pada pasien obesitas meliputi luka infeksi, trombosis vena dalam dan emboli paru.2.2.2 Obesitas dan ObstetrikPeningkatan angka ibu hamil dengan obesitas terjadi bukan hanya di Negara berkembang namun juga terjadi pada Negara berkembang. Perubahan hormone, akibat adanya efek relaksasi dari hormone progesterone pada otot halus, penurunan resistensi jalan nafas, yang akhirnya akhirnya akn menurunkan efek negative dari obesitas pada system pernapasan. Obstructive sleep apnea jarang terjadi pda wanita dengan obesitas yang sedang hamil. Namun tidak seperti halnya system pernapasan, system kardiovakular secara signifikan tetap terpengaruh pada wanita hamil dengan obesitas.4,5Tabel 1. Perubahan Kardiovaskular Pada Wanita Hamil Dengan Obesitas4,5ParameterPregnancyObesityCombined

Heart rate

Stroke volume

Cardiac output

Cardiac index or or

Hematocrit

Blood volume

Systemic vascular resistance or

Mean arterial pressure

Supine hypotensionPresentPresent

Left ventricular morphologyHypertrophyHypertrophy and dilationHypertrophy and dilation

Sympathetic activity

Systolic function or or

Diastolic function

Central venous pressure

Pulmonary wedge pressure

Pulmonary hypertensionAbsentMay be presentMay be present

Preeclampsian/a

Progesterone level

Sensitivity to CO2

Tidal volume

Respiratory rate or

Minute volume or

Inspiratory capacity

Inspiratory reserve volume

Expiratory reserve volume

Residual volume or

Functional residual capacity

Vital capacity

FEV1 or

FEV1/vital capacity

Total lung capacity

Compliance

Work of breathing

Resistance

V/Q mismatch

DLCO or

PaO2

PaCO2

, increase; , decrease; , no change (multiple arrows represent the degree of intensity); DLCO, diffusion capacity of lung for carbon monoxide; FEV1, forced expiratory volume in 1 second; V/Q, ratio of ventilation to perfusion; PaCO2, partial pressure of carbon dioxide; PaO2, partial pressure of oxygen.

Komplikasi utama yang dilaporkan berhubungan dnegan obesitas selama kehamilan meliputi gangguan hipertensi (hipertensi kronik dan pre eklamsia), diabetes mellitus (pregestasional dan gestasional), gangguan pernafasan (asma dan sleep apnea), penyakit tromboembolik, peningkatan insiden seksio sesarea, dan infeksi, dan endometritis.4,5Pada wanita hamil dengan obesitas juga meningkatkan angka persalinan dengan seksio sesarea. Wanita hamil dengan oebsitas juga mneingkatkan angka komplikasi setelah operasi seperti hipoksemia, atelectasis, dan pneumonia, thrombosis vena dalam, edem pulmonary, kardiomiopati postpartum, endometritir postoperative, dan gangguna penyembuhan luka seperti infeksi dan masalah penyatuan jaringan.4,5

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1 Identitas PasienNama

: Ny. L. R

Umur

: 34 tahun

Alamat

: APO Bengkel

BB

: 95 Kg

TB

: 160 cm

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Kristen Protestan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Suku bangsa

: Jawa Serui

Ruangan

: Verlos Kameer

Tanggal masuk rumah sakit : 3 September 2014

Tanggal operasi

: 3 September 2014

3.2 Anamnesis

Keluhan utama:

Tidak merasakan gerak bayi sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien merupakan kiriman dari tempat praktek dr. Sp.OG dengan IUFD pada BCS 1x. Pasien merasa hamil 7 bulan dengan HPHT tidak diingat oleh pasien dan TP berdasarkan USG 17 Oktober 2014 dengan riwayat ANC 5x di tempat praktek dr. Sp.OG, sudah dilakukan USG dan berdasarkan USG terakhir 1 hari sebelum masuk rumah sakit didapatkan bayi IUFD sehingga dirujuk ke rumah sakit dok 2 untuk dilakukan terminasi kehamilan. Keluhan mules-mules, keluar air dari jalan lahir, dan keluar lender bercampur darah belum dirasakan oleh pasien. Gerak janin sudah tidak dirasakan oleh ibu sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :Hipertensi (-), Asma (-), DM (-), Malaria selama hamil (-), keputihan (-), penyakit jantung (-), riwayat alergi obat (-), infeksi kelamin lainnya disangkal, riwayat operasi sesarea pada 24 Desember 1999.

3.3 Pemeriksaan Fisik (Saat Tiba Diruang Operasi)

Status Generalis

Keadaan Umum: Baik

Kesadaran: Compos MentisTinggi Badan: 160 cm

Berat Badan: 95 kg (Saat Hamil)IMT

: 37,1 kg/m2 Obesitas Grade 2 (Saat Hamil)Berat Badan : 88 kg (Sebelum Hamil)

IMT

: 34,3 kg/m2 Obesitas Grade 1 (Sebelum Hamil)Tanda-tanda vital :

Tekanan darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 72 x/m

Respirasi

: 16 x/m

Suhu badan

: 36.80C

Kepala:Mata:Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Hidung:Deformitas (-)

Telinga:Deformitas (-)

Mulut:Deformitas (-), mallampati II

Leher:Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks:Paru:Suara napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada,

Jantung:Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada

Abdomen:Cembung, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar

Ekstremitas:Akral hangat, edema tidak ada

Refleks:Refleks patella +/+

Status Anestesi

PS. ASA:II

Hari/Tanggal :03/09/2014

Ahli Anestesiologi:dr. D. S. Sp.An, KIC

Ahli Bedah:dr. D. H U. Sp.OG

Diagnosa Pra Bedah:G4P2A1 hamil 28-30 minggu, IUFD pada bekas seksio sesarea 1 kali dengan obesitas

Diagnosa Pasca Bedah:P3A1 hamil 28-30 minggu, IUFD pada bekas seksio sesarea 1 kali dengan obesitas

Makan terakhir

TB

BB

TTV

SpO2:

:

:

:

:12 jam yang lalu

160 cm

95 Kg

TD :130/90 mmHg, N: 80 x/m, SB: 36,8oC

100 %

B1

:Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 16 x/m, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, ronkhi-/-, wheezing -/-, malampati score : II

B2:Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/-

B3:Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15 (E4V5M6), riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)

B4:Terpasang DC, produksi urin pre op 100 cc, warna kuning jernih.

B5:Perut tampak cembung, nyeri tekan (+), BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba membesar

B6:Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-),

Medikasi Pra Bedah:-

Jenis Pembedahan:Seksio Sesarea

Lama Operasi:(10.25 11.25 WIT)

Jenis Anestesi:Blok subaraknoid (blok spinal)

Anestesi Dengan:Decain 0,5% 20 mg

Teknik Anestesi

:Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk, dilakukan aseptic di sekitar daerah tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi Decain 0,5 % 20 mg) dengan jarum spinal No.27 pada regio vertebra antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal keluar (+) jernih, darah (-), dilakukan blok.

Pernafasan :Spontan

Posisi :Tidur terlentang

Infus:Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL

Penyulit pembedahan:-

Tanda vital pada akhir pembedahan:TD: 118/60 mmHg, N:68 x/m, SB: 36,8, RR: 18 x/m

Medikasi :Durante operasi:

Decain 0,5% (20 mg)

Efedrin 10 mg Oxytocin 10 IU Metergin 200 mcg Petidin 30 mg Ondansentron 8 mg Ranitidin 50 mg Antrain 1 amp

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan LaboratoriumDarah Lengkap3 September 2014

Hemoglobin14,7 g/dl

Leukosit10.530/mm3

Trombosit326.000/mm3

CT700

BT430

3.5 Observasi Durante Operasi

Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan NadiBalance Cairan

Waktu InputOutput

Pre operasiRL : 1000 ccIWL : 950 cc

Urin : 100 cc

Durante operasiRL : 1000 ccUrin : 150 cc

Perdarahan : 550 cc

Total1500 cc1750 cc

3.6 RESUMESeorang pasien, wanita, 40 tahun, G4P2A0 hamil 28-30 minggu dan riwayat SC 1x dengan obesitas, dirujuk dari tempat praktek dr. Sp.OG dengan IUFD pada BSC 1x dengan obesitas. Dari anamnesis didapatkan pasien sudah tidak merasakan gerak janin sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, belum ada tanda-tnada inpartu, dan terdapat riwayat seksio sesarea sebelumnya. Dari pengukuran indeks masa tubuh didapatkan IMT=37,1 kg/m2 = obesitas tingkat 2.

Pasien akhirnya menjalani terminasi kehamilan dengan seksio sesarea pada tanggal 03 september 2014 dengan anestesi blok subaraknoid dengan decain 5% dan menjalani operasi selama 1 jam. Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk mencegah hipotensi pasien diberi cairan pre operasi yaitu Ringer Laktat sebanyak 500 ml dan cairan koloid 500 ml dan diberi obat vasopresor Efedrin sebanyak 10 mg.BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien wanita, 40 tahun, dirujuk dari tempat praktek dr. Sp.OG dengan G4P2A1 hamil 28-30 minggu, IUFD pada BSC 1x dengan obesitas. Saat tiba di ruang bersalin RSU Dok II pasien sudah tidak merasakan gerak janin 1 hari sebelum masuk rumah sakit namun belum merasakan adanya tanda-tanda persalinan seperti mules-mules, keluar air dari jalan lahir, dan keluar lendir bercampur darah.

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien sudah tidak merasakan gerak janin kurnag lebih 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan telah dikonfirmasi dengan USG bahwa bayi yang dikandung telah meninggal, belum didapatkan adanya tanda-tanda inpartu, dan mengingat usia dan jumlah anak pasien serta keluarganya telah menyetujui tindakan sterilisasi sehingga diputuskan untuk dilakukan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea.

Dari hasil pemeriksaan fisik saat pasien tiba dirungan didapatkan bahwa pasien mengalami obesitas bahkan sebelum kehamilan. Obesitas sendiri berkaitan dengan berbagai penyakit sistemik terutama penyakit kardiovaskular seperti timbulnya hipertensi, diabetes mellitus, stroke,dan penyakit kardiovaskular lainnya. Namun untuk membuktikan adanya gangguan sistemik yang ditimbulkan akibat dari adanya obesitas pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang lebih jauh.4,5Melihat hal tersebut pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 2 yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang yang tidak mengganggu aktivitas berdasarkan adanya keadaan obesitas pada pasien dan kemungkinan penyakit sistemik yang mungkin ditimbulkan walaupun belum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Pada pasien ini kemudian dilakukan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea dengan anestesi blok subaraknoid dengan decain 5%. Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat karena relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress lebih sempurna.Pada pasien ini, salah satu factor yang harus diperhatikan adalah status gizi pasien dimana setelah dilakukan pengukuran indeks masa tubuh didapatkan pasien mengalami obesitas grade 2. Hal yang ditakutkan dari pasien dengan obesitas adalah masalah pada system respirasi terutama mengenai kebutuhan ventilasi dan perlunya tindakan intubasi untuk mencegah adanya hipoksia akibat kondisi yang mengikuti adanya obesitas seperti leher yang pendek, ketidakmampuan membuka mulut dengan maksimal, dan keadaan mallampati.4 Berbagai kondisi diatas mengakibatkan pasien dengan obesitas cenderung rentan terhadap risiko terjadinya aspirasi pulmonal. Untuk mencegah hal tersebut pada pasien ini diberikan terapi farmakologis dengan antagonis reseptor H2 yaitu ranitidine yang dapat digunakan untuk menekan volume lambung, keasaman, atau keduanya, yang pada akhirnya akan menekan risiko dan komplikasi aspirasi.4,5

Selain itu pada pasien dengan obesitas terjadi peningkatan kesulitan dilakukannya intubasi trakea. Namun, kesulitan dilakukannya intubasi pada pasien obesitas berhubungan dengan lingkar leher dan jika skor malampati 3 atau lebih.4,5 Pada pasien ini kemungkinan kesulitan melakukan intubasi trakea lebih rendah karena dari pemeriksaan saat pasien tiba di ruang operasi didapatkan mallampati 2.Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu hal yang ditakutkan pada penggunaan anestesi blok subarachnoid adalah keadaan hipotensi namun pada pasien ini tidak ditemukan adanya tanda-tanda hipotensi selama observasi selama tindakan operasi. Hipotensi tidak terjadi pada pasien ini karena telah dilakukan pencegahan sebelumnya dengan pemeberian cairan pre operasi yairu RL 1000 ml.Selain itu hal yang mempersulit pada tindakan anestesi pada pasien dengan obesitas adalah jumlah dosis obat yang dibutuhkan untuk mencapai efek yang diinginkan. Pada pasien ini tidak terbukti dibutuhkan dosis tambahan karena dengan dosis yang sama dengan pada pasien lainnya, dapat tercapai effek yang diinginkan yaitu sedasi, analgetik, dan penurunan reflex.

Setelah dilakukan pengamatan post operasi pasien langsung pulih sehingga hal yang ditakutkan yaitu waktu pulih yang lebih lama tidak dibutuhkan

BAB V

PENUTUP5.1 Kesimpulan

Pasien wanita 40 tahun dipilih tindakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea dengan anestesi blok subarachnoid.

Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 2 berdasarkan kondisi obesitas pada pasien yang memungkinkan adanya penyakit sistemik namun belum mengganggu aktivitas pasien.

Keadaan yang peling ditakutkan pada pasien dengan obesitas adalah masalah respirasi berkaitan dengan kondisi anatomi yang berkaitan dengan keadaan obesitas pada pasien, namun pada pasien ini hal-hal yang ditakutkan tidak ditemukan pada pasien.

Efek yang ditakutkan pada pasien dengan obesitas adalah aspirasi dan pada pasien ini dicegah dengan pemberian antagonis reseptor H2. Efek yang ditakutkan pada pemberian anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi namun telah dapat dicegah dengan pemebrian terapi cairan pre operatif edengan cairan kristaloid 500 cc. Pemulihan pasien setelah tindakan pembedahan dan tindakan anestesi dalam batas normal.5.2 Saran

Perlunya pengukuran berat badan pada setiap pasien agar dapat diberikan dosis medikasi yang tepat bukan hanya untuk menentukan dosis anestesi yang dibutuhkan namun juga bagi obat-obat lainnyaDAFTAR PUSTAKA

1. Vama R, Smith CSS. Management of women with previous caesarean section. In: Warren R, Arulkumaran SS, editors. Best practice in labour and delivery. Chapter 22. New York: Cambridge University Press; 2009. h. 241-51.

2. Varma R, Gupta JK, Smith GCS. Birth after previous caesarean birth. Green Top Guideline No. 45 Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. London: RCOG Press; 2007. h. 1-173. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.

4. GE Morgan, MS Mikail. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York5. Cunningham, Leveno, Bloom, Spong, Dashe, Hoffman, et all. Prior cesarean delivery. William Obstetrics. 24th edition. New York: McGraw Hill Publishing; 2014. h.1271-79.6. Hines RL, Marschall KE. Nutritional Diseases and inborn errors of metabolism. In: Anesthesia and co-existing disease. 5th edition. Churchill Livingston: Elsevier Publishing.25

_1472335164.xlsChart1

9811888

9211884

7410856

7810258

7213062

Nadi

Sistole

Diastole

Sheet1

NadiSistoleDiastole

10:159811888

10:309211884

10:457410856

11:007810258

11:157213062