bab i
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
PERBEDAAN TINGKAT KECACATAN KLIEN KUSTA YANG AKTIF DAN TIDAK AKTIF MENGIKUTI KELOMPOK PERAWATAN DIRI (KPD) DI KABUPATEN JEMBER
SKRIPSI
oleh:Frandita EldiansyahNIM 112310101014
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat
intraseluler yang terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial
pada dermis atau sel Schwann di jaringan syaraf (Sjamsoe, 2003). Penyakit kusta
merupakan salah satu diantara penyakit menular yang menimbulkan masalah
cukup komplek baik dari masalah fisik, psikologis, sosial, ekonomi, kultural, dan
spiritual. Masalah fisik yang timbul pada pengidap kusta terjadi pada diakibatkan
karena kerusakan atau gangguan terhadap tiga fungsi saraf utama yaitu sensorik
(gangguan sensibilitas berupa anastesi), motorik (kelumpuhan otot), dan otonom
(kulit kering akibat hilangnya fungsi kelenjar keringat, dan kelenjar lemak
(Sjamsoe, 2003).
Masalah fisik yang dialami klien kusta umumnya adalah kecacatan yang
timbul akibat Mycobacterium leprae. Kecacatan akibat kusta terutama terjadi pada
kaki, tangan, dan mata. Pada kaki, ulkus plantar merupakan kecacatan yang sering
ditemukan dengan angka kejadian sekitar 10–20%. Kecacatan yang dialami oleh
kien kusta umumnya dapat berupa laghopthalmus, ulkus pada kaki, jari kriting (claw
hand), dan kaki semper. Kecacatan ini kemudian menimbulkan stigma dan
menyebabkan para penyandang cacat kusta dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh
keluarga, dan sulit mendapatkan pekerjaan.
Secara global, WHO melaporkan bahwa dari 103 negara dari 5 wilayah
WHO pada tahun 2013, jumlah pengidap kusta pada tahun 2013 terdapat pengidap
kusta sebanyak 215.656 orang sedangkan pada awal tahun 2014 menurun
sebanyak 180.618 orang (Weekly Epidemiological Report WHO, 2014). Dari 5
wilayah yang disoroti oleh WHO (Amerika, Afrika, Mediterania Timur, Asia
Tenggara, dan Pasifik Barat), wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah yang
paling banyak mengalami kasus kusta yaitu sebanyak 116.396 orang.
Angka kejadian tahun 2011 di Indonesia ditemukan sekitar 23.169 kasus
baru kusta. Hal ini menempatkan Indonesia pada urutan ketiga jumlah pengidap
kusta terbanyak di dunia setelah India sebanyak 127.295 orang dan Brasil
sebanyak 33.955 orang. Peringkat ini belum berubah sejak 2009, yang waktu itu
tercatat sebanyak 17.260 kasus (Kompas, 2013). Data tersebut menyebutkan
bahwa jumlah pengidap kusta di Indonesia masih terus mengalami peningkatan
dan dilihat dari kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas (Kompas,
2013).
Secara nasional, berdasarkan data yang didapatkan dari Kemenkes RI
tahun 2012, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang paling banyak
ditemukan kasus baru yaitu 3.576 kasus baru yang terdiri dari 518 kategori kusta
PB dan 3.058 kategori kusta MB (Kemenkes RI, 2013). Provinsi Jawa Timur
merupakan penyumbang pengidap kusta terbanyak di antara provinsi lainnya.
Rata-rata penemuan pengidap Kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara
4.000-5.000 orang. Pada tahun 2012, penemuan pengidap baru di Indonesia
sebanyak 18.853 orang, sedangkan penemuan pengidap baru di Provinsi Jawa
Timur sebanyak 4.807 orang (25,5% dari jumlah pengidap baru di Indonesia
(Dinkes Jatim, 2012).
Kabupaten Jember meruapakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
berada di peringkat ketiga dari beberapa kabupaten lainnya. Kabupaten Jember
terdiri dari 31 kecamatan dengan jumlah warga Kabupaten Jember yang terdeteksi
menderita kusta pada tahun tahun 2012 sebanyak 371 orang yang diantaranya
adalah pengidap kusta PB sebanyak 14 orang dan pengidap kusta MB sebanyak
357 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012). Pada tahun 2013,
menurun menjadi 282 orang, tetapi pada tahun 2014 kembali naik menjadi 284
orang. Kabupaten Jember merupakan kabupaten yang kondisi kasus kustanya
sangat mengkhawatirkan karena termasuk dalam kategori warna kuning atau
sedang dalam kasus kusta dan masih tingginya tingkat kecacatan klien kusta
sehingga perlu dilakukan penanganan dan pencegahan yang tepat agar angka
kejadian kasus kusta di Jember tidak semakin meningkat (Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur, 2012).
Studi pendahuluan yang dilakukan, didapatkan data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember bahwa pada tahun 2013, Kecamatan Sumberbaru merupakan
kecamatan dengan jumlah klien kusta tertinggi di Kabupaten Jember dengan
jumlah penderita 38 orang. Pada tahun 2014, peringkat satu dengan jumlah kusta
terbanyak adalah Kecamatan Balung (27 orang) yang didikuti oleh Sumberbaru
(26 orang). Kecamatan Jenggawah sendiri pada tahun 2013 terdapat 15 orang
pengidap kusta yang kemudian meningkat menjadi 21 orang pada tahun 2014.
Kecamatan Tempurejo pada tahun 2013 terdapat 14 orang pengidap kusta yang
kemudian meningkat menjadi 18 orang pada tahun 2014.
Angka kejadian kusta yang masih terbilang cukup tinggi tersebut
menyebabkan banyak permasalahan yang terjadi di masyarakat. Permasalahan
yang dialami klien kusta diantaranya adalah timbulnya kecacatan. Angka kejadian
kusta yang cukup tinggi tersebut ternyata diiringi dengan tingkat kecacatan yang
juga tinggi. Hal itu ditunjukkan oleh data Kemenkes RI (2013) pada tahun 2012,
proporsi cacat tingkat II pada tahun 2012 sebesar 5,8%, sedangkan proporsi anak
di antara pengidap baru pada tahun 2012 sebesar 5,66%. Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2013 berada di peringkat 9 dengan proporsi cacat tingkat II sebesar
13,95% (499 kasus) (Kemenkes RI, 2013). Kabupaten Jember sendiri memiliki
proporsi cacat tingkat II pada tahun 2012 sebesar 19,84% (76 kasus). Hal itu
menempatkan Kabupaten Jember di peringkat ke 9 (Dinkes Kesehatan Provinsi
Jawa Timur, 2012).
Angka kecacatan tingkat 2 klien kusta di Kabupaten Jember dari tahun ke
tahun semakin menurun. Hal ini dibuktikan dari data yang didapatkan dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember pada tahun 2012, klien kusta dengan kecacatan
tingkat 2 sebanyak 76 orang menjadi 58 orang pada tahun 2013 dan kembali turun
menjadi 50 orang pada tahun 2014. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh kebijakan
yang diambil oleh dinas kesehatan untuk mengurangi angka kecacatan dan juga
kejadian kusta di Kabupaten Jember guna mendukung program bebas kusta untuk
Jawa Timur tahun 2017.
Klien yang mengalami penyakit kusta diawali dengan masuknya basil
Mycobacterium leprae ke dalam tubuh. Rendahnya patogenesis dari kuman kusta
menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi yang menunjukkan
gejala penyakit. Setelah masuk ke dalam tubuh, kuman kusta berpindah ke dalam
jaringan saraf dan memasuki sel schwan. Kuman kusta juga dapat ditemukan
dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah. Setelah
memasuki sel schwann/makrofag, nasib kuman kusta bergantung pada perlawanan
dari individu yang terinfeksi kuman kusta. Kuman kusta kemudian mulai
berkembang biak secara perlahan (12-14 hari untuk satu kuman kusta) dalam sel.
Kemudian sel akan hancur dan kuman kusta akan menyerang sel-sel lainnya.
Sampai tahap ini klien yang terinfeksi kuman kusta akan tetap bebas dari tanda
dan gejala kusta (Directorat General of Health Services, 2009).
Kuman kusta yang terus berkembang tentunya akan meningkatkan beban
sistem imun tubuh untuk melawan kuman kusta yang semakin bertambah.
Limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan yang terinfeksi. Pada tahap
ini mungkin akan muncul manifestasi klinis berupa penurunan sensasi (anastesi).
Jika tidak didiagnosis dan diobati secara dini, keparahan kusta akan dipengaruhi
oleh sistem imun individu yang terinfeksi kuman kusta.
Setiap individu memiliki sel spesifik untuk melawan kuman kusta yaitu
CMI (Cell Mediated Leprosy). Seseorang yang memiliki CMI yang kuat akan
terjadi pembentukan granuloma pada saraf kulit. Saraf cutaneous akan
membengkak dan akan hancur. Seringkali hanya beberapa fasikula saraf yang
dimasuki tetapi inflamasi dalam epineurium menyebabkan kompresi dan
kerusakan serabut mielin sensorik dan otonom. Serabut mielin motorik yang
dipengaruhi akan menimbulkan gangguan motorik. Peradangan yang parah akan
menyebabkan nekrosis caseous dalam saraf. Manifestasi klinis gangguan sensorik
akan muncul ketika hampir 30% dari serabut sensorik yang hancur. Ketika CMI
mampu melawan kuman kusta, kuman kusta dapat beralih untuk menginfeksi ke
kulit sehingga akan menyebabkan lesi kulit klasik. Umumnya bagian tubuh yang
memiliki suhu relatif tinggi seperti ketiak, pangkal paha, perineum, dan kulit
kepala biasanya akan terhindar dari kuman kusta. Individu yang memiliki CMI
yang kuat ini akan mengalami kusta jenis PB (Pausibasiller) sedangkan individu
memiliki respon CMI yang rendah maka kuman kusta akan menyebar tak
terkendali dan akan menginfiltrasi sel schwan dan makrofag serta akan menyebar
ke jaringan lain melalui darah, getah bening, atau cairan jaringan. Individu yang
memiliki respons CMI yang rendah ini cenderung akan mengalami kusta tipe MB
(Multibasiller) (Directorat General of Health Services, 2009).
Apabila tidak dilakukan pengobatan dan penanganan secara dini, kuman
kusta akan menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi saraf sensorik, fungsi saraf
motorik maupun saraf otonom. Kerusakan fungsi tersebut yang pada akhirnya
menimbulkan adanya tanda gejala kecacatan pada klien kusta (Putra, 2008).
Kecacatan kusta sendiri dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu tingkat 0, tingkat
1, dan tingkat 2. Klien kusta dengan kecacatan tingkat 0 merupakan klien kusta
yang belum menunjukkan tanda kecacatan. Klien kusta dengan kecacatan tingkat
1 merupakan klien kusta yang telah mengalami gangguan sensoris yang biasanya
ditandai dengan adanya kelemahan otot dan hilangnya rasa raba (anastesi) pada
telapak tangan dan kaki. Klien kusta dengan kecacatan tingkat 2 merupakan klien
kusta yang telah mengalami gangguan pada fungsi mata, tangan, dan kaki yang
ditandai dengan adanya lagofthalmus, gangguan penglihatan atau kebutaan,
luka/ulkus, dan deformitas pada kaki dan tangan (Depkes RI, 2006).
Kecacatan pada klien kusta umumnya diawali dengan adanya kerusakan
saraf yang dialami oleh klien kusta. Kerusakan saraf tersebut akan menyebabkan
terjadinya anastesi pada telapak tangan dan kaki, kekeringan pada kulit, dan
kelemahan otot. Ketiga hal tersebut oleh klien kusta di masyarakat umumnya
tidak disadari dan cenderung diabaikan. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan
oleh Susanto (2010), klien kusta cenderung tidak menggunakan jasa pelayanan
kesehatan karena kurangnya informasi dan keyakinan klien tentang sakit. Hal ini
mengakibatkan klien kusta yang ditemukan di masyarakat sudah dalam kondisi
cacat berupa adanya ulkus pada kaki dan tangan, mutilasi, absorbsi, kebutaan,
kelainan fisik, dan infeksi sekunder pada luka yang dialami.
Salah satu program pemerintah untuk mengurangi kecacatan yang dialami
oleh klien kusta adalah dengan membentuk suatu kelompok untuk rehabilitasi
kusta yang disebut Kelompok Perawatan Diri (KPD). Program KPD ini dibentuk
sebagai upaya guna mewujudkan kemandirian dalam melakukan perawatan diri
bagi klien kusta. KPD beranggotakan mantan dan pengidap kusta yang berkumpul
dalam satu kelompok untuk saling memberikan dukungan satu sama lain dalam
usaha untuk mencegah dan mengurangi keacacatan akibat kusta yang dialami
serta untuk mencari solusi bagi persoalan yang dihadapi klien kusta. Setiap
anggota akan saling mengingatkan satu sama lain untuk melakukan pengobatan
atau perawatan diri hingga sembuh, karena setiap anggota merasa senasib
(Kiswanto, 2010).
Kelompok Perawatan Diri bertujuan untuk menjadikan klien kusta mampu
mengambil tindakan yang tepat untuk mengurangi atau mencegah bertambahnya
kecacatan melalui dukungan kelompok, diskusi, dan perawatan diri (Depkes, 2004
dalam Kiswanto (2010)). Adanya KPD diharapkan mampu membantu klien kusta
untuk menemukan pemecahan masalah serta persoalan-persoalan yang dihadapi
sebagai akibat kusta yang dialami termasuk juga cara untuk mencegah
bertambahnya atau mengurangi kecacatan yang dialami klien kusta. Keuntungan
yang didapatkan dengan adanya KPD ini adalah adanya aktivitas perawatan diri
yang diajarkan pada klien kusta sehingga dapat mencegah dan mengurangi
kecacatan pada klien kusta. Dalam KPD juga dilakukan kegiatan perawatan diri
berupa 3M (merendam, menggosok, dan mengoles), senam kusta untuk klien
kusta, dan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai kusta dan cara
pencegahannya.
Provinsi Jawa Timur telah mendirikan KPD di 14 kabupaten salah satunya
terdapat di Kabupaten Jember. KPD yang didirikan lebih banyak terdapat di
daerah pedesaan. Hal ini disebabakan karena stigma negatif terhadap pengidap
kusta dan mantan pengidap kusta lebih besar daripada perkotaan (Dinkes Jatim,
2012 dalam Cahyani 2014). Bedasarkan data dari dinas Kabupaten Jember pada
wilayah Kabupaten Jember memiliki 2 KPD yaitu KPD Cahaya di wilayah
Jenggawah dan KPD Gotong Royong di wilayah Tempurejo. Pembentukan KPD
yang ada ditujukan untuk menyukseskan upaya eliminasi kecacatan kusta dan
menghilangkan stigma tentang kusta dan dampak yang ditimbulkan secara fisik,
psikologis, maupun ekonomi (Cahyani, 2014).
Manfaat yang dirasakan dari keikutsertaan di dalam KPD ditentukan oleh
keaktifan dari anggota itu sendiri dalam mengikuti setiap kegiatan dalam KPD.
Keaktifan dalam mengikuti kegiatan KPD akan berpengaruh terhadap peningkatan
pengetahuan yang dimiliki oleh klien kusta yang menjadi anggota KPD. Kata aktif
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), istilah aktif diartikan
sebagai suatu sikap giat atau rajin dalam melakukan suatu hal. Sesuai dengan
penelitian Pribadi (2012) didapatkan hasil bahwa dari 2 KPD yang terdapat di
Kabupaten Jember terdapat 20 klien yang aktif mengikuti KPD dan 20 klien yang
tidak aktif mengikuti KPD. Klien yang aktif mengikuti KPD, 75% klien memiliki
aktivitas perawatan diri yang baik dan 25% memiliki aktivitas perawatan dri yang
kurang baik. Sedangkan klien yang tidak aktif mengikuti kegiatan KPD sebanyak
40% memiliki aktivitas perawatan diri yang baik dan 60% memiliki aktivitas
perawatan diri yang kurang baik. Adanya aktivitas perawatan diri yang kurang
baik tersebut baik pada klien yang aktif dan tidak aktif mengikuti KPD akan
berpengaruh terhadap tingkat kecacatan yang dialami klien kusta.
Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ebenso dkk.
(2009) yang berjudul Self Care Groups and Ulcer Prevention in Okegbala,
Nigeria, didapatkan data bahwa 18 dari 24 anggota SCG yang mengalami luka
saat pertama kali mengikuti kegiatan SCG (Self Care Groups) mengalami
perubahan dalam luka yang dialaminya. Dalam 4 tahun terakhir, 18 anggota yang
mengalami luka hanya 5 anggota (20,8%) yang tetap mengalami luka kusta
sedangkan sisanya 13 anggota menyatakan bahwa lukanya sembuh setelah
mengikuti kegiatan SCG. Anggota SCG mengatakan setelah mengikuti kegiatan
SCG ini mereka dapat mencegah timbulnya luka yang lebih efektif dan ketika
luka kecil memang terjadi, mereka mampu melakukan perawatan luka sederhana
dan menyembuhkan luka dengan cepat pada mereka sendiri dengan dukungan
kelompok dan tanpa harus dirujuk ke rumah sakit.
Penelitian Gidado dkk (2010) juga menunjukkan bahwa SCG ini
bermanfaat untuk mengatasi permasalahan luka kusta yang dialami oleh klien
kusta. Gidado dkk (2010) mengumpulkan 26 sampel yang mana mereka diminta
untuk membuat kelompok perawatan diri. Dari 26 orang tersebut 6 orang
mengalami luka kusta di kaki, 2 diantara mereka mengalami luka di kedua
kakinya. Dalam kelompok tersebut setiap bulannya mereka membahas mengenai
pengalaman mereka dalam mencegah terjadinya luka dan saling memberikan
dukungan satu sama lain. Pertemuan tersebut didampingi oleh petugas kesehatan
yang memonitor dan mengobservasi klien kusta. Setelah 6 bulan kemudian
dilakukan pengamatan kembali dan didapatkan hasil 4 luka (50%) telah sembuh
dari 2 orang yang mengalami luka kusta (33,3%). Namun dari hasil pengukuran
dengan skala tingkat kecacatan WHO tidak terdapat perubahan karena sebagian
besar anggota kelompok sudah mengalami cacat tingkat 2 saat mengikuti
kelompok tersebut. Dari hasil pengukuran dengan skala EHF didpatkan data
bahwa 2 klien (15%) yang awalnya memiliki skor EHF 10-4 berubah menjadi
skor 0 dalam 6 bulan terakhir tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa adanya KPD
dapat membantu klien kusta dalam mencegah atau mengatasi kecacatan kusta
yang dialaminya. Maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian mengenai
perbedaan tingkat kecacatan yang dialami klien kusta yang aktif dan tidak aktif
mengikuti kegiatan KPD di Kabupaten Jember.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah apakah ada perbedaan tingkat kecacatan yang
dialami klien kusta yang aktif dan tidak aktif mengikuti kegiatan KPD di
Kabupaten Jember?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis perbedaan tingkat
kecacatan yang dialami klien kusta yang aktif dan tidak aktif mengikuti kegiatan
KPD di Kabupaten Jember.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a. mengidentifikasi karakteristik klien kusta yang aktif mengikuti kegiatan
KPD di Kabupaten Jember, yang terdiri dari usia, jenis kelamin, status
pernikahan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kepemilikan asuransi, tipe
kusta, lama mengalami kusta, lama mengikuti KPD, dan pengobatan yang
dilakukan;
b. mengidentifikasi karakteristik klien kusta yang tidak aktif mengikuti
kegiatan KPD di Kabupaten Jember, yang terdiri dari usia, jenis kelamin,
status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kepemilikan
asuransi, tipe kusta, lama mengalami kusta, lama mengikuti KPD, dan
pengobatan yang dilakukan;
c. mengidentifikasi tingkat kecacatan klien kusta yang aktif dan tidak aktif
mengikuti kegiatan KPD di Kabupaten Jember;
d. menganalisis perbedaan tingkat kecacatan klien kusta yang aktif dan tidak
aktif mengikuti KPD di Kabupaten Jember.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan
mengenai pengaruh keaktifan klien kusta dalam kegiatan KPD terhadap tingkat
kecacatan yang dialami klien kusta.
1.4.2 Manfaat Bagi Instansi Pendidikan
Manfaat yang bisa diperoleh bagi instansi pendidikan adalah sebagai
tambahan referensi dan pengembangan penelitian tentang kusta, sebagai pedoman
untuk melakukan intervensi pada keperawatan komunitas khususnya dalam hal
prevensi primer untuk mencegah terjadinya kecacatan akibat penyakit kusta,
khususnya dalam hal perawatan mata, tangan, dan kaki.
1.4.3 Manfaat bagi Instansi Kesehatan
Manfaat yang diperoleh bagi instansi kesehatan khususnya Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember adalah data dan hasil yang didapatkan dapat
dijadikan bahan acuan untuk membuat kebijakan dalam meningkatkan
penanganan dalam mengurangi angka terjadinya kecacatan pada klien kusta. Bagi
puskesmas, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk tenaga kesehatan
yang bertanggung jawab mengelola KPD untuk mengurangi angka kejadian
kecacatan pada klien kusta.
1.4.4 Manfaat bagi Keperawatan
Manfaat penelitian ini bagi keperawatan yaitu hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan terhadap
bidang ilmu keperawatan untuk nantinya dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan khususnya dalam prevensi primer di wilayah komunitas klien kusta .
1.4.5 Manfaat bagi Masyarakat
Manfaat yang bisa diperoleh bagi masyarakat khususnya kader adalah
sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan bagi kader untuk lebih berperan
aktif dalam kegiatan KPD.
1.5 Keaslian Penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian yang meneliti tentang
perbedaan tingkat kecacatan klien kusta yang aktif dan tidak aktif mengikuti
kegiatan KPD. Penelitian sebelumnya yag mendasari peneliti melakukan
penelitian ini adalah penelitian yang berjudul “Role of Positive Deviants Among
Leprosy Self Care Groups in Leprosy Settlement, Zaria, Nigeria” yang dilakukan
oleh Gidado M., Obasanya J. O., Adesigbe C., Huji J., dan Tahir D. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peran Positive Deviants (PD) dari
Self Care Groups (SCG). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analitik deskriptif dengan rancangan penelitian deskriptif prospektif. Perlakuan
yang diberikan dalam penelitian ini adalah dengan membentuk SCG dari 26 orang
mantan pengidap kusta. Kegiatan pertemuan dilakukan 2 kali dalam seminggu
oleh masing-masing anggota. Kegiatan yang dilakukan adalah diskusi mengenai
perawatan mata, tangan, dan kaki, pemakaian alas kaki, dan saling memotivasi
masing-masing anggota. Kondisi kecacatan yang dialami responden dinilai setiap
bulan oleh tenaga kesehatan yang mendampingi. Hasil yang diperoleh dari
penelitian tersebut adalah PD dalam SCG memiliki peran penting dalam
menyelesaikan permasalahan kusta yang dialami responden dengan saling support
satu sama lain. Hasil lain didapatkan adanya penyembuhan 4 luka yang dialami
responden setelah 6 bulan. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa
sederhana menggunakan software excell dengan cara membandingkan keadaan
awal responden dan pada saat 6 bulan kemudian.
Penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian saat ini. Perbedaan yang
dilakukan peneliti saat ini terletak pada penggunaan variabel independen, variabel
dependen, tempat penelitian, judul penelitian, dan teknik analisa data. Judul
penelitian saat ini adalah “Perbedaan Tingkat Kecacatan Klien Kusta yang Aktif
dan Tidak Aktif Mengikuti Kegiatan KPD di Kabupaten Jember. Tujuan umum
dari penelitian saat ini adalah menganalisis perbedaan tingkat kecacatan yang
dialami klien kusta yang aktif dan tidak aktif mengikuti kegiatan KPD di
Kabupaten Jember. Desain penelitian yang digunakan adalah observational
analitik dengan pendekatan cross sectional. Metode pengambilan sampel
menggunakan total sampling. Uji analisis data yang digunakan penelitian saat ini
adalah mann-whitney u test
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, Yuninda Ayu. 2014. Perbedaan Harga Diri Klien Kusta Antara yang Aktif Mengikuti Kelompok Perawatan Diri (KPD) dan Tidak Aktif mengikuti Kelompok Perawatan Diri (KPD) di Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Universitas Jember
Depkes RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Bakti Husada
Dinkes Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Diakses dari
http://www.dinkespropjatim/org.Tanggal 15 April 2013
Kemenkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta: Kementierian Kesehatan RI. Diakses dari http://depkes.go.id/downloads/Profil%20Kesehatan_2012%20(4%20Sept%202013).pdf Tanggal 15 April 2013
Kiswanto, Agus Rudi. 2010. Kelompok Perawatan Diri “DAROSSALAM” Kegiatan Senam Kusta. http://puskesmasbanyuputih.wordpress.com/2010/09/04/hello-world/
Kompas. 2013. Indonesia Menduduki Peringkat Ketiga Pengidap Kusta Terbesar Di Dunia. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/02/13/21064444/Indonesia.Peringkat.Ke3.Pengidap.Kusta.Terbesar.di.DuniaTanggal 15 April 2013
Pribadi, Dian Wahyu. 2012 Perbedaan Aktifitas Perawatan Diri Klien Kusta Antara yang Aktif Mengikuti KPD dan Tidak Aktif Mengikuti KPD di kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Universitas Jember
Putra, Imam Budi. 2008. Pencegahan kecacatan pada tangan penderita kusta. repository.usu.ac.id./bistream/123456789/3430/1/08E00072.pdf (diakses pada tanggal 11 Februari 2015)
Sjamsoe, Emmy S, dkk. 2003. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Weekly Epidemiological Report WHO. 2012. Global Leprosy Situation Beginning of 2012. Diakses dari http://www.who.int/ Tanggal 6 Juni 2014