bab i

105
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya pencegahan penyakit merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan suatu tingkat kesehatan pada individu dan masyarakat. Ini juga berkaitan dengan tercapainya “The Millennium Development Goals on Health”, salah satunya menurunkan angka kematian anak < 5 tahun menjadi 2/3 pada tahun 2015 dari kematian pada tahun 1990 (WHO,2003) . Kekurangan gizi masih merupakan salah satu isu sentral yang melatarbelakangi kematian anak yang disebabkan oleh penyakit infeksi (Black dkk, 2003) . Pemberian air susu ibu (ASI) merupakan salah satu strategi utama untuk memenuhi kecukupan gizi, mencegah penyakit dan kematian akibat penyakit infeksi (diare) pada tahun-tahun awal kehidupan. Hal ini berhubungan dengan kandungan nutrisi ASI termasuk, adanya faktor imunitas pada ASI baik imunitas nonspesifik (inat) maupun imunitas spesifik (adaptif) (Morrow & Rangel, 2004) . ASI merupakan makanan alamiah utama bayi baru lahir hingga berusia 6 bulan. Kandungan nutrisinya cukup lengkap untuk tumbuh kembang bayi pada usia tersebut (American Academy 1

Upload: berthysoumokil

Post on 12-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

hallo...........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Upaya pencegahan penyakit merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan suatu tingkat kesehatan pada individu dan masyarakat. Ini juga berkaitan dengan tercapainya The Millennium Development Goals on Health, salah satunya menurunkan angka kematian anak < 5 tahun menjadi 2/3 pada tahun 2015 dari kematian pada tahun 1990 (WHO,2003). Kekurangan gizi masih merupakan salah satu isu sentral yang melatarbelakangi kematian anak yang disebabkan oleh penyakit infeksi (Black dkk, 2003). Pemberian air susu ibu (ASI) merupakan salah satu strategi utama untuk memenuhi kecukupan gizi, mencegah penyakit dan kematian akibat penyakit infeksi (diare) pada tahun-tahun awal kehidupan. Hal ini berhubungan dengan kandungan nutrisi ASI termasuk, adanya faktor imunitas pada ASI baik imunitas nonspesifik (inat) maupun imunitas spesifik (adaptif) (Morrow & Rangel, 2004). ASI merupakan makanan alamiah utama bayi baru lahir hingga berusia 6 bulan. Kandungan nutrisinya cukup lengkap untuk tumbuh kembang bayi pada usia tersebut (American Academy of Pediatrics and Work Group on Breastfeeding, 1997). Di negara berkembang pemberian ASI secara eksklusif (hanya memberi ASI sebagai makanan bayi) telah terbukti melindungi bayi dari kematian maupun kesakitan akibat penyakit berat (WHO, 2000). Di negara maju, pemberian ASI-eksklusif dapat menurunkan risiko anak dirawat karena penyakit infeksi pada usia di bawah 1 tahun (Talayero dkk, 2006). Dalam kaitannya dengan penyakit infeksi yang perlu perawatan, pemberian ASI-eksklusif terbukti menurunkan angka kejadian rawat inap sebesar 53 % per bulan. Sedangkan pada pemberian ASI non-eksklusif kejadian rawat inap akibat penyakit infeksi hanya menurun sebanyak 31 %. Efek pencegahan tersebut terlihat lebih nyata pada bayi-bayi yang tinggal di tempat yang penduduknya padat dan tidak terurus (Quigley dkk, 2006). Khususnya terhadap penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi, terlihat adanya hubungan langsung antara pola pemberian ASI dengan menurunnya insiden diare, persentase hari sakit dan lamanya episode diare (Lopez-Alarcon dkk,1997). Suatu studi kohort yang berkaitan dengan pemberian ASI-eksklusif, memperlihatkan adanya hubungan antara penurunan insiden penyakit infeksi pada traktus gastrointestinalis dan traktus respiratorius dengan meningkatnya pemberian ASI-eksklusif di masyarakat (Wright dkk, 1998). Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun (Lukacik dkk, 2007). Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO) mengestimasikan bahwa terdapat lebih dari 1,8 milyard kasus diare di dunia dan 3 juta di antaranya berakhir fatal (WHO, 2001). Dari seluruh kasus diare pada anak, terdapat 125 juta kasus diare infantil yang menyebabkan kematian sebesar 440.000 anak pertahun, dengan tingkat kematian 1205 perhari, 82 % terjadi di 3 negara berkembang, dan sebagian besar disebabkan oleh infeksi rotavirus (Parashar dkk, 2003). Rotavirus merupakan penyebab terbanyak (40 %) dari seluruh penyakit diare pada anak yang disebabkan oleh infeksi, yang menyebar melalui makanan dan atau air yang terkontaminasi maupun dengan cara kontak langsung dengan orang yang sedang terinfeksi rotavirus (Heesemann & Hacker , 2002). Hasil surveillance di beberapa rumah sakit di Vietnam, 56 % dari penyakit diare pada anak di bawah usia 5 tahun yang dirawat disebabkan oleh rotavirus (Mann kk, 2001), sementara di Thailand besar kejadiannya adalah 48 %, meningkat dibandingkan dengan sebelumnya (Intusuma dkk, 2008). Di negara maju, walaupun terdapat perbaikan sanitasi, penyediaan air bersih, dan perawatan pada anak, infeksi rotavirus masih memberi kontribusi terhadap morbiditas dan besarnya biaya pengobatan yang memerlukan perhatian khusus (Parashar dkk, 1999; Parashar dkk, 2006). Pemberian ASI-eksklusif telah dicanangkan oleh WHO sebagai upaya menurunkan kejadian penyakit infeksi di masyarakat. Suatu pertemuan Konsultasi pemberian ASI pada bulan Maret 2001 di Jenewa-Swiss, menghasilkan kesepakatan tentang pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sejak usia 0-6 bulan sebagai upaya untuk menurunkan kejadian infeksi pada traktus gastrointestinalis. Hal ini terutama ditujukan terhadap bayi-bayi yang dibesarkan di dalam masyarakat di mana prevalensi ibu yang menderita kurang gizi maupun bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intra uterin masih tinggi. Di dunia khususnya di negara berkembang , pemberian ASI-eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dapat mengurangi paparan terhadap mikroba patogen, karena terbukti angka morbiditas dan mortalitas penyakit diare akibat infeksi meningkat setelah bayi mendapat makanan tambahan (WHO, 2001). Efek proteksi ASI merupakan hasil interaksi dari berbagai elemen imun ASI, baik yang bersifat antigenik spesifik maupun yang berperan dalam respon imun yang bersifat general (Harsono, 1995). Beberapa dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ASI dapat berfungsi sebagai pembawa kekebalan pasif pada saluran cerna bayi sementara sistem imun lokal maupun sistemik pada bayi masih imatur. Selain itu ASI dapat beradaptasi dengan baik dan tetap utuh hingga tiba di usus halus bayi. Kandungan protein ASI memiliki berbagai aktivitas biologis diantaranya sebagai antimikrobial, imunomodulator dan terdapat asam amino esensial dalam jumlah yang adekuat untuk pertumbuhan bayi (Lonnerdal, 2003). Di awal masa kehidupan bayi, imunoglobulin A sekretorik (sIgA) yang dihasilkan oleh mukosa usus bayi belum dapat berperan secara optimal di dalam sistem pertahanan mukosa usus. Pada bayi yang menyusu, pertahanan imun pada jaringan usus bayi dibantu oleh komponen imun ASI. Salah satunya adalah antibodi sIgA yang merupakan komponen imun utama, yang dapat mengikat mikroba patogen, mencegah perlekatannya pada sel enterosit di usus dan mencegah reaksi imun yang bersifat inflamasi (Jackson & Nazar , 2006; Hanson, 2007). ASI mengandung pula zat-zat yang berfungsi sebagai antiviral dan memiliki sifat bakteriostatik yang diduga ikut berperan menurunkan insiden dan lamanya penyakit infeksi pada bayi yang sedang mendapat ASI. Demikian pula efek-efek komponen ASI lainnya yang secara keseluruhan dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen selama ASI tetap diberikan (Dewey dkk, 1995 ; Hanson dkk, 2002). Keunggulan ASI lainnya adalah perannya di dalam menstimulasi respon imun inat lokal di dalam jaringan usus halus bayi dan sebagai imunomodulator sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh reaksi inflamasi akibat infeksi dapat dibatasi (LeBouder dkk,2006). Kelenjar mammaria ibu merupakan bagian integral dari kelenjar getah bening mukosa. Bila pada masa laktasi terjadi stimulasi sel limfosit di dalam kelenjar getah bening mukosa jaringan usus halus dan saluran nafas ibu oleh suatu antigen, maka sel-sel limfosit yang telah tersensitisasi akan bermigrasi dan masuk ke dalam kelenjar mammaria. Selanjutnya berubah menjadi sel plasma yang dapat menghasilkan antibodi sIgA yang disekresi ke dalam ASI. Antibodi sIgA ASI akan memiliki sifat spesifik terhadap mikroba patogen yang menyerang usus halus bayi (Telemo & Hanson, 1996; Brandtzaeg, 2003; Lawrence dan Pane 2007). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya kertekaitan tersebut, di mana hampir 30 % wanita yang melahirkan di salah satu rumah sakit Umum di New York pernah terinfeksi rotavirus grup C dan kekebalan ini dipindahkan kepada bayinya. Dibuktikan dengan ditemukannya IgG-antirotavirus pada darah talipusat bayi yang dilahirkan (Riepenhoff-Talty dkk, 1997). Peneliti lainnya melaporkan bahwa 40 % kolostrum wanita yang melahirkan di suatu rumah sakit di Jerman mengandung antibodi sIgA-antirotavirus (Brussow dkk, 1991).Dari uraian tersebut di atas, baik berupa temuan para peneliti maupun laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) terbukti bahwa ASI beserta zat imun yang dikandungnya dapat berperan dalam menurunkan kejadian infeksi pada anak yang menyusu. Khususnya pemberian ASI-eksklusif menurunkan insiden penyakit diare akibat infeksi dan memperpendek lamanya episode diare (WHO, 2000; Wright dkk, 1998; Lopez-Alarcon dkk, 1997).Terdapat berbagai pola pemberian ASI, yaitu ASI-eksklusif, dominan ASI, pemberian ASI berimbang dengan makanan bukan ASI, dan lebih sedikit ASI dibandingkan makanan bukan ASI pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan. Temuan di beberapa negara berkembang, pemberian ASI-eksklusif maupun yang dominan ASI memiliki tingkat proteksi yang paling baik terhadap penyakit infeksi, dibandingkan pemberian ASI berimbang dan lebih sedikit ASI (Raisler dkk, 1999). Pada penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri di antaranya kholera, pemberian ASI khususnya yang mengandung antibodi sIgA antikholera dapat mencegah terjadinya penyakit diare (Jason dkk, 2008). Sebaliknya bukti-bukti proteksi ASI terhadap infeksi virus masih kurang bahkan sering kontroversial, kecuali pemberian ASI-eksklusif sampai usia 4 bulan atau lebih dapat mencegah infeksi oleh rotavirus (Lawrence dan Pane, 2007). Pemberian ASI-eksklusif maupun yang dominan ASI dapat menurunkan rasio Odds penyakit diare rotavirus di tahun pertama kehidupan, akan tetapi pada usia di atas 1 tahun di mana jumlah pemberian ASI mulai berkurang, diare rotavirus justru lebih sering terjadi pada bayi yang masih mendapat ASI (Clemens dkk, 1993). Pola pemberian ASI berhubungan dengan volume ASI dan jumlah zat imun yang diterima bayi. Adanya fakta bahwa tingkat proteksi paling tinggi pada pemberian ASI-eksklusif maupun dominan ASI dalam pencegahan penyakit infeksi, kemungkinan terdapat peran antibodi sIgA yang spesifik terhadap jenis mikroba tertentu. Untuk dapat menghasilkan antibodi sIgA yang mengandung antirotavirus, seorang ibu laktasi harus pernah terpapar oleh rotavirus. Akibat dari paparan tersebut, selain sIgA yang bersifat spesifik juga terdapat zat imun non spesifik dan aktivitas imun seluler terhadap rotavirus (Riordan dan Auerbach, 1999). Faktor yang juga berperan adalah jenis antibodi sIgA antirotavirus dengan serotipe tertentu, yang sesuai dengan serotipe yang menginfeksi bayi. Belum jelas apakah ada reaksi silang antara jenis antibodi antirotavirus serotipe tertentu dengan antigen rotavirus tipe lainnya (Ray dan Kelkar, 2004). Masalahnya adalah di Indonesia belum ada data mengenai tingkat paparan para ibu laktasi terhadap rotavirus. Belum ada penelitian yang mengungkap hal serupa di tempat lain yang situasi geografisnya maupun demografinya sesuai dengan tempat penelitian dilakukan (Gianyar dan sekitarnya). Tingkat pemberian ASI-eksklusif di Indonesia pada bayi masih rendah, mencapai 13,9 % untuk bayi yang berusia 4-5 bulan berdasarkan hasil survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI, 2002). Dengan demikian tingkat proteksi ASI untuk melindungi anak dari penyakit diare khususnya diare akibat infeksi rotavirus masih perlu dipertanyakan.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap di dalam latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : a) Apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI non-eksklusif? b) Apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus? c) Apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif rerata lamanya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI non-eksklusif ? d) Apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus rerata lamanya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum : mengetahui hubungan antara pemberian ASI dengan penyakit diare akut rotavirus pada bayi usia 1- 6 bulan1.3.2. Tujuan khusus : a) Mengetahui apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI non-eksklusif b) Mengetahui apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus c) Mengetahui apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif rerata lama diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI non-eksklusif d) Mengetahui apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus rerata lama diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus.1.4. Manfaat Penelitiana. Jika penelitian ini berhasil mengungkap adanya hubungan antara risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus dan lama diare akut rotavirus pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif dan ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus, akan memberi kontribusi keilmuan dalam hal peran imunologi terhadap pencegahan penyakit diare akut rotavirus pada bayi 1-6 bulan. b. Dengan adanya pemahaman akan peran ASI dalam hubungannya dengan risiko terjadinya penyakit diare dan lama diare yang disebabkan oleh infeksi rotavirus,diharapkan berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan pemberian ASI- eksklusif di masyarakat.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA2.1.PendahuluanDi negara yang sedang berkembang, penyakit infeksi pada anak masih merupakan masalah akibat pajanan mikroorganisme patogen yang masih tinggi. Pada masa bayi (0-1 tahun) terdapat kepekaan yang tinggi terhadap infeksi sebagai akibat dari fungsi imunologis yang masih imatur dan klirens patogen intraseluler yang kurang. Pada masa intra uterin, terdapat imunoglobulin G (IgG) transplacental yang memiliki peran penting untuk melindungi bayi hingga usia 6-12 bulan (Chirico dkk, 2008). Imunoglobulin M (IgM) dapat memberi proteksi bayi di usia awal, terhadap invasi mikroba patogen di daerah mukosa sebagai respon nonspesifik (Hanson dkk, 1985). Pada bayi yang menyusu, ASI merupakan perlindungan yang ketiga, identik dengan transplacental blood yaitu sebagai alat transport nutrien, pengaruhnya pada sistim biokemikal, meningkatkan imunitas dan merusak patogen (Riordan dan Auerbach, 1999). Antibodi sIgA yang merupakan salah satu komponen utama ASI, beserta elemen imun lainnya dapat berfungsi sebagai pembawa kekebalan pasif baik yang bersifat inat maupun adaptif (Telemo & Hanson, 1996). Air susu ibu merupakan sumber nutrisi utama yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan bayi untuk tumbuh dan berkembang hingga usia 6 bulan. Di negara berkembang ASI sangat berperan dalam mencegah terjadinya infeksi maupun penyakit diare. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2001, tingkat mortalitas akibat penyakit infeksi menurun secara mencolok pada bayi yang mendapat ASI dibandingkan dengan yang mendapat susu formula. Khususnya bayi yang mendapat ASI-eksklusif sampai dengan usia 6 bulan, memperlihatkan adanya penurunan insiden dan incidence density penyakit infeksi. Terbukti pula bahwa walaupun pemberian ASI-eksklusif hanya sampai usia 3 bulan, ada hubungannya dengan episode diare yang lebih pendek (Baker dkk, 1998) Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defikasi lebih dari biasa (3 kali atau lebih) pada anak yang sebelumnya sehat, konsistensi tinja lebih cair dari biasanya disertai dengan atau tanpa darah dan atau lendir (Suraatmaja dan Soetjiningsih, 2000). Sebagian besar kasus diare terjadi pada anak di bawah 5 tahun, dan sebagai penyebab terbanyak adalah infeksi rotavirus (Parashar dkk, 2003). Di daerah yang penduduknya memiliki pendapatan perkapita rendah, infeksi primer rotavirus yang menimpa anak pada usia di bawah 1 tahun menunjukkan gejala diare yang lebih berat (Mann dkk, 2005). Berdasarkan laporan surveillance rotavirus di rumah sakit Sanglah pada tahun 2007, terdapat peningkatan persentase rawat inap penderita diare pada anak akibat infeksi rotavirus, sejalan dengan menurunnya tingkat pemberian ASI (Surveillance Rotavirus, 2007). Penyakit diare pada anak sebagian besar bersifat akut dan pada sebagian kasus membawa beberapa akibat yaitu dehidrasi, gangguan keseimbangan asam basa, dan renjatan hipovolemik manakala asupan cairan tidak memadai. Dapat pula terjadi gangguan gizi akibat menurunnya nafsu makan selama anak sakit (Suraatmaja & Soetjiningsih ,2000 ; Pusponegoro dkk, 2004).

2.2. EpidemiologiBadan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,8 milyard kasus diare terdapat di dunia, dan 3 juta diantaranya berakhir dengan kematian. Di negara berkembang diare akut masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dengan tingkat kejadian lebih dari 12 episode diare pertahun pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Diare akut pada anak juga menimbulkan kematian sebesar 4,6 juta dan 25-30% dari padanya terjadi pada anak di bawah 5 tahun (Glass dkk, 1991; Lundgren dkk, 2001). Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, diare dapat menyebabkan kematian sebesar 42% pada bayi (Juffrie & Mulyani, 2009). Di Indonesia, terdapat 60 juta kejadian diare pertahun di mana pada setiap anak mengalami lebih dari satu kejadian diare (Suraatmaja, 2002). Rotavirus adalah mikroba penyebab infeksi pada sebagian besar penyakit diare akut pada anak. Di daerah tropis infeksi rotavirus terjadi sepanjang tahun dan kebanyakan menyebar melalui jalur fecal-oral dan sebagian melalui saluran nafas maupun kontak langsung dengan penderita diare. Umumnya menyerang anak berusia di bawah 2 tahun, dan mencapai puncaknya pada usia 6-24 bulan (Elliott, 2007). Dari laporan surveillance di beberapa rumah sakit di Vietnam, prevalensi diare akibat rotavirus pada anak yang berusia di bawah 5 tahun yang dirawat, angkanya tertinggi pada anak di bawah 2 tahun. Dari penelitian tersebut terungkap, infeksi rotavirus menimpa 46,3 % anak usia di bawah 1 tahun dan 34,28 % dari padanya terdiri dari anak yang berusia kurang dari 3 bulan. Ini berarti infeksi rotavirus dapat mengenai anak pada usia dini (Nguyen dkk, 2004). Penyakit diare akut rotavirus yang dilaporkan oleh peneliti lainnya adalah 56 % dari seluruh kasus diare pada anak yang dirawat. Kejadian diare pada anak laki lebih besar dari pada anak perempuan dengan perbandingan dua banding satu, dan sebanyak 12-14 % terdapat pada anak di bawah 6 bulan (Mann dkk, 2001). Hasil Surveillance Rotavirus di rumah sakit sanglah pada tahun 2007, menunjukkan sebaran usia penderita diare rotavirus yang dirawat sebagai berikut, kejadian tertinggi terdapat pada anak usia12-23 bulan (41%), sedangkan yang mengenai bayi kurang dari 6 bulan adalah 15%. Sebanyak 3% terjadi pada bayi usia 0-2 bulan (Surveillance Rotavirus, 2007). Ini memperlihatkan adanya peningkatan kejadian penyakit diare rotavirus sejalan dengan menurunnya tingkat pemberian ASI. Sedangkan data dari beberapa rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan 60% diare akut pada balita yang dirawat dan 41% dari yang tidak dirawat disebabkan oleh rotavirus. Hal ini tak banyak dipengaruhi oleh keadaan sanitasi (Soenarto dkk, 2009). Gejala klinis diare akut yang berhubungan dengan infeksi rotavirus adalah diare dengan tinja cair, disertai dengan panas yang tidak begitu tinggi atau tanpa panas, muntah dan dehidrasi. Pada kasus diare yang pada tinjanya ditemukan rotavirus sebagian besar menampakkan gejala diare cair (81,1%), muntah (66,4%), dehidrasi (89%), dan panas (59,1%). Gambaran ini sangat berbeda dengan kasus diare yang tidak berhubungan dengan infeksi rotavirus. Pada beberapa kasus diare rotavirus menunjukkan adanya infeksi simultan dengan jenis mikroba lain terutama bakteri, tetapi tidak memberi pengaruh kolaboratif terhadap gejala klinis diare rotavirus (Bardhan dkk, 1992; Nguyen dkk, 2004). Tingkat kejadian 15 penyakit diare rotavirus kaitannya dengan anak dirawat dibandingkan dengan penyakit infeksi lainnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini : Gamb.2.1.Tingkat Kejadian Anak usia < 5 th dirawat akibat infeksi rotavirus (dikutip dari Noah & Henderson , 2002).Keterangan gambar : Tingkat kejadian anak usia < 5 th dirawat karena penyakit diare sebagai akibat infeksi rotavirus sebelas kali lebih tinggi dibandingkan oleh karena meningitis yang disebabkan oleh berbagai penyebab.

Penyakit diare rotavirus juga membawa berbagai masalah pada anak usia < 5 th seperti terlihat pada gambar di bawah ini : Gambar.2.2. Gambaran infeksi rotavirus pada anak usia < 5 th (dikutip dari Parashar dkk, 2003 ; Verstraeten dkk, 2005).Keterangan gambar : Infeksi rotavirus yang terjadi pada anak usia < 5 th dapat menimbulkan penyakit yang menyebabkan anak dirawat di rumah sakit dan memiliki risiko mengalami kematian. Risiko tertinggi terjadi pada anak-anak yang berasal dari negara yang berpenghasilan rendah. Pemberian ASI sebagai upaya untuk melindungi bayi dari penyakit infeksi telah direkomendasi oleh WHO pada tahun 2001. Para ahli WHO menyatakan untuk memberi ASIeksklusif pada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan, untuk menurunkan angka morbiditas maupun mortalitas akibat diare pada bayi-bayi di negara berkembang. Selain itu juga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi pada usia tersebut (WHO,2001 ; Heesemann & Hacker , 2002). Penelitian ekologis yang menekankan pada efek ASI-eksklusif yang dilakukan di Amerika 17 Latin memperlihatkan bahwa pemberian ASI-eksklusif walaupun hanya berlangsung 3 bulan dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI bukan eksklusif mempunyai dampak pada penurunan angka kematian bayi (Betran dkk, 2001). Peneltian di Navayo juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu menurunnya kejadian infeksi pada saluran nafas maupun saluran cerna setelah terjadi peningkatan pemberian ASI-eksklusif di masyarakat (Wright dkk, 1998). Tingkat proteksi ASI lebih berhubungan dengan dosis harian (eksklusivitas) pemberian ASI daripada lamanya masa pemberian ASI. Hal ini berkaitan dengan jumlah kandungan zat imun ASI yang ditelan bayi.Tingkat morbiditas paling rendah terdapat pada bayi-bayi yang mendapat ASI-eksklusif, dan ini terjadi pada semua tingkat sosial ekonomi di masyarakat (Sadeharju dkk, 2007; Raisler dkk, 1999). Efek proteksi ASI lebih nyata pada bayi-bayi yang tinggal di permukiman yang padat penduduknya dan berhubungan dengan banyaknya ASI yang diminum. Terbukti setelah pemberian ASI terhenti, tingkat kejadian diare tidak berbeda antara bayi yang pernah mendapat ASI dengan bayi yang tidak pernah mendapat ASI (Quigley dkk, 2006). Kaitan antara tingkat kejadian diare dengan pemberian ASI-eksklusif telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kejadian diare pada bayi yang berusia di bawah 4 bulan yang mendapat susu formula, 4 kali lebih besar dari pada bayi yang mendapat ASI-eksklusif. Kasus diare yang perlu dirawat setiap bulannya dapat dicegah sebanyak 53 % bila seluruh bayi mendapat ASI-eksklusif, dan 31% bila seluruh bayi mendapat ASI non-eksklusif (ASI disertai pemberian makanan lain) (Quigley dkk, 2007). Hal serupa juga ditemukan oleh Talayero dkk (2006), dimana kasus diare yang perlu dirawat dapat dihindari sebanyak 30 % pada setiap penambahan bulan ASI-eksklusif dan dapat dicegah sebanyak 56 % bila seluruh bayi ditempat tersebut mendapat ASI-eksklusif. Tingkat survival kumulatif menurun tajam pada kelompok bayi yang tidak mendapat ASI-eksklusif, dibandingkan dengan kelompok bayi yang mendapat ASI-eksklusif walaupun hanya berlangsung kurang dari 4 bulan. Tingkat survival kumulatif tertinggi terdapat pada kelompok bayi yang mendapat ASI-eksklusif sampai usia 4-6 bulan (Talayero dkk, 2006). Untuk lebih jelasnya hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian infeksi pada usia 0-1 tahun dapat di lihat pada grafik di bawah ini: Gambar 2.3.Kurva cumulative survival bayi dirawat karena infeksi berdasarkan pola pemberian ASI (Talayero dkk, 2006).

Keterangan gambar : Terlihat perbedaan tingkat survival kumulatif antara kelompok bayi yang tidak mendapat ASI-eksklusif dengan yang mendapat ASI-eksklusif (FB= full breastfeeding). Penurunan kurva lebih tajam pada bayi yang tidak mendapat ASI-eksklusif, menunjukkan adanya peningkatan risiko anak dirawat dengan masa menyusu yang lebih lebih singkat. Efek protektif ASI pada anak yang berusia < 1 tahun, kaitannya dengan penyakit infeksi yang memerlukan perawatan dan faktor lainnya adalah jumlah saudara yang lebih banyak yang tinggal serumah, serta memiliki berat lahir kurang dari 3 kilogram. Demikian pula dengan lamanya pemberian ASI-eksklusif, terdapat efek protektif sebesar 4,91 kali lebih besar pada anak yang mendapat ASI-eksklusif dari usia 0 bulan hingga 4-6 bulan, dibandingkan dengan anak yang tak mendapat ASI-eksklusif, dan sebesar 2,45 kali lebih besar dari anak yang mendapat ASI-eksklusif kurang dari 4 bulan (Talayero dkk, 2006). Tingkat pendidikan ibu yang relatif rendah, membawa dampak pada keterkaitan antara kekerapan pemberian ASI dengan tingkat kematian bayi akibat penyakit diare, seperti umumnya terjadi negara yang kurang berkembang (WHO, 2000). Pemberian ASI kaitannya dengan diare akut rotavirus telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kejadian diare rotavirus pada bayi yang mendapat ASI-eksklusif tidak jauh berbeda dengan yang mendapat ASI non-eksklusif yaitu 21,4 % pada bayi ASI-eksklusif, dan 20,4 % pada bayi yang masih mendapat ASI disertai makanan padat. Kemungkinan ASI yang didapat tidak memberi proteksi terhadap diare rotavirus, dan jumlah pemberian ASI yang sangat menurun ketika pemberian makanan padat dimulai (de Wit dkk, 2003; Bucher dan Abei, 2006, Dennehy, 2008). Peneliti lain melaporkan, pemberian ASI-eksklusif dapat melindungi bayi dari penyakit diare rotavirus yang berat, tetapi pada usia di atas 1 tahun ketika pemberian ASI sangat menurun justru diare rotavirus labih banyak terjadi pada bayi yang masih mendapat ASI (Clemens dkk, 1993). 2.3.Mekanisme Terjadinya Diare Akibat Infeksi Rotavirus Rotavirus merupakan salah satu mikroba patogen penyebab infeksi pada traktus gastrointestinalis, dan merupakan penyebab utama penyakit gastroenteritis di dunia (Elliott , 2007). Virus memiliki sifat sebagai parasit yang obligat, di mana virus memerlukan sel inang untuk memproduksi protein, memodifikasi genom dalam proses replikasinya dan dalam propagasi virion agar memiliki sifat infeksius. Akibat dari propagasi tersebut adalah kerusakan sel inang yang menyebabkan terjadinya penyakit. Dalam proses replikasinya beberapa virus dapat menyebabkan infeksi laten sebagai hasil dari interaksi genom virus ke dalam sel inang, dan beberapa jenis virus dapat menimbulkan transformasi pada sel inang (Heesemann & Hacker ,2002).Rotavirus termasuk dalam anggota keluarga virus Reoviridae, memiliki kapsid yang berbentuk icosahedral, berukuran 70 nm, dan tidak memiliki envelope. Tiga kapsid terluar terbagi menjadi sub unit kapsid yang membentuk gambaran seperti roda (rota= wheel). Kapsid tersebut berbentuk konsentris yang mengitari suatu genom dan terdiri atas 11 segmen RNA untai ganda di dalam lapisan inti. Masing-masing segmen mengkode satu jenis polipeptida untuk membentuk 6 struktur protein dan 5 struktur nonprotein (Ludert dkk, 1986). Secara skematis bentuk rotavirus dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.4. Susunan virion dan partikel rotavirus (dikutip dari Cunliffe dkk, 2002 dalam Rotarix, 2006 ; Alan Philips dikutip oleh Elliot, 2007).Rotavirus grup A yang merupakan golongan rotavirus yang paling banyak menginfeksi manusia, dapat dibagi menjadi dua berdasarkan jenis kapsid protein VP7 (viral protein-7) yang disebut sebagai tipe G, dan kapsid protein VP4 (viral protein-4) yang disebut sebagai tipe P. Jadi terdapat 15 tipe G dan 21 tipe P yang secara bersama-sama membentuk suatu kombinasi dan pada manusia yang terbanyak adalah tipe G1P(8), G4P(8) G2P(4), dan G3P(8) (Rahman dkk, 2003). Tipe G2P (4) dan subgrup I berhubungan dengan penyakit diare yang lebih berat dan terjadi pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan tipe G1P(8) / G4P(8) dan subgrup II (Cascio dkk, 2001). Distribusi serotipe rotavirus yang berhubungan dengan penyakit diare pada anak dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.5. Distribusi serotipe rotavirus sebagai penyebab diare pada anak (dikutip dari Parashar dkk,1996).

Keterangan : Berdasarkan serotipe virus, tipe G1P(8), merupakan penyebab terbanyak penyakit diare pada anak. Disusul berikutnya secara berturut-turut yakni tipe G2P(4), G4P(8), dan yang berada diurutan terendah adalah tipe G3P(8). VP4 (viral protein-4) dan VP7 (viral protein-7) adalah bagian dari struktur protein terluar dari rotavirus. VP4 membentuk tonjolan yang menyerupai spike (paku), merupakan bagian dari virus yang nantinya melekat pada sel inang, dipecah oleh ensim tripsin menjadi VP8 (viral protein-8) dan VP5 (viral protein-5).VP7 adalah suatu glikoprotein yang membentuk bagian terbesar kapsid luar dari rotavirus. Baik VP4 maupun VP7 dapat menginduksi terbentuknya antibodi yang bersifat neutralizing maupun protective. Antibodi neutralizing yang diinduksi oleh VP8 berfungsi menghambat perlekatan virus terhadap sel inang, sedangkan antibodi neutralizing terhadap VP7 menghambat virus melalui proses decapsidation (Ludert dkk, 2002). Masuknya rotavirus ke dalam sel epitel melalui suatu proses yang kompleks dan bertahap. Terjadi interaksi antara berbagai molekul protein yang berbeda dibagian permukaan partikel virus dengan berbagai macam molekul yang ada dipermukaan sel inang, yang bekerja sebagai reseptor. Molekul reseptor terdiri dari integrin dan protein heat shock yang berhubungan dengan domain mikro membran lemak dari sel (Lopez & Arias, 2004). Berbagai strain rotavirus bergantung pada adanya asam sialik pada permukaan sel, akan tetapi ini bukan suatu yang esensial. Strain yang lain memerlukan integrin alfa-2 beta-1. Dua interaksi awal dimediasi oleh bagian spike dari VP4, setelah melekat pada sel terdapat interaksi ketiga dengan integrin alfa-5 beta-3 dan protein heat shock 70. Interaksi ini barangkali penting bagi rotavirus untuk dapat menembus ke bagian dalam sel. Molekul dari sel inang yang berfungsi sebagai reseptor fungsionil terdiri atas kolesterol dan glikospingolipid yang kaya dengan domain mikro dari lemak. Pada keadaan di mana terjadi kekacauan dari struktur tersebut akan berpengaruh besar terhadap tingkat infektifitas dari rotavirus, menyebabkan penurunan tingkat infektifitas rotavirus (Arias dkk, 2002). Integrin yang berfungsi sebagai reseptor memiliki beberapa jenis, salah satunya adalah integrin alfa-2 beta-2 menjadi media untuk melekatnya rotavirus strain variant nar3 yang resisten terhadap neuraminidase. Integrin VLA-2 tidak begitu responsible pada proses perlekatan maupun masuknya virus ke dalam sel, tetapi mungkin berperan pada tingkat pasca perlekatan virus pada sel (Zarate dkk, 2000; Ciarlet dkk, 2002). Konsentrasi ion kalsium berpengaruh terhadap keutuhan sruktur rotavirus pada tahap virus memasuki sel inang maupun pada saat replikasi virus di dalam lingkungan mikronya. Dengan menggunakan biakan sel, peningkatan kadar ion kalsium di dalam media biakan yang mencapai limakali lipat menyebabkan peningkatan titer dari semua strain virus yang ditest. Terjadi perubahan lingkungan residu triptofan ketika kadar ion kalsium meningkat, hal ini menyebabkan perubahan konformasi dari partikel virus yang mengindikasikan adanya efek ion kalsium terhadap infektifitas virus (Pando dkk, 2002). Infeksi terjadi bila kapsid bagian luar dari rotavirus mengalami proses destabilisasi dan terurai di dalam sitoplasma. Ludert dan kawan-kawan melaporkan proses destabilisasi justru terjadi pada konsentrasi ion kalsium yang rendah. Demikian pula dengan melekatkan antibodi monoklonal pada kapsid VP7, proses decapsidation dapat dicegah sehingga infeksi tidak terjadi (Ludert dkk, 2002). Temuan dari beberapa peneliti lainnya menunjukkan bahwa melekatnya suatu antibodi monoklonal pada capsid VP7 secara tidak langsung dapat mencegah membran menjadi permeabel melalui inhibisi terlarutnya VP7. Seperti diketahui VP7 adalah kapsid yang paling luar dari rotavirus, yang membentuk bangunan dasar dari virus yang berbentuk trimer. Infeksi dapat dihambat bila kapsid tersebut tetap utuh. Dengan meningkatnya afinitas ion Ca2+, proses disosiasi dari VP7 akan terhambat sehingga struktur kapsid tetap stabil (Dormitzer dkk, 2000; Ludert dkk, 2002). Almela dan kawan-kawan (1991) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap virus polio membuktikan bahwa, suatu partikel virus dapat membentuk suatu susunan yang dapat menghambat terjadinya uncoating block yang membuat membran menjadi permeabel terhadap toksin yang dihasilkan virus. Kedua data itu menguatkan dugaan bahwa disassembly dari virion merupakan tahap yang diperlukan oleh virus yang tidak memiliki envelop seperti rotavirus untuk mencapai membran yang permeabel agar dapat melakukan penetrasi ke dalam sel inang (Cuadras dkk,1997 ; Liprandi dkk, 1997). VP5 yang merupakan salah satu kapsid rotavirus lainya, diduga secara langsung merusak membran sel inang yang di dahului dengan proses uncoating virion, dan karenanya virion dapat masuk ke dalam sitoplasma. Kemungkinan VP5 mengawali efflux ion Ca2+ dari pori endosom awal yang tidak permanen. VP5 memiliki 2 domain yaitu domain hidrophobic, yang diperlukan untuk pembentukan pori pada membran sel agar menjadi permeabel dan berhubungan dengan membran sel di bagian dalam. Sedangkan domain VP5 lainnya adalah N-terminal yang berfungsi sebagai media dalam hubungannya dengan membran sel dibagian ferifer. Jadi 2 domain dari VP5 memilki tempat melekat yang terpisah pada membran sel, yang berfungsi sebagai media, agar endosom (awal) permeabel untuk memfasilitasi pelepasan bungkus virion dan masuknya virus ke dalam sel inang (Golantsova dkk, 2004). Penyakit diare sebagai akibat infeksi rotavirus dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Rotavirus melakukan replikasi pada epitel vilus usus halus, yang menyebabkan hilangnya sel-sel absorptif yang masih viabel. Keadaan ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara fungsi penyerapan dan fungsi sekresi di daerah usus halus. Akan tetapi pada pemeriksaan invitro dengan menggunakan jaringan sel hewan coba menunjukkan, bahwa beratnya gejala diare akibat rotavirus tidak sebanding dengan tingkat replikasi virus dan perubahan histologi jaringan sel yang terinfeksi. Ini menunjukkan bahwa perlekatan virus saja pada sel tanpa adanya replikasi sudah cukup menginduksi timbulnya gejala diare. Penelitian lain yang serupa menunjukkan bahwa bila partikel virus sudah menembus membran sel, akan terjadi aktivasi jalur signal di dalam sel yang menyebabkan sekresi dari beberapa kemokin seperti interferon dan faktor kemotaktik tanpa adanya replikasi virus. Hal ini disebabkan oleh adanya zat yang menyerupai toksin yang diekskresi ketika terjadi kontak antara rotavirus dengan sel inang (Rollo dkk, 1999; Shaw dkk, 1995). Hasil penelitian ini didukung pula oleh hasil peneliti terdahulu, yang memperlihatkan bahwa rotavirus menghasilkan enterotoksin yang dapat merangsang sistem saraf enterik sehingga terjadi peningkatan sekresi air dan garam secara berlebihan ke dalam lumen usus (Mavromichalis dkk, 1977). Mekanisme terjadinya diare rotavirus (secara rinci) dimulai dengan, pertama rusaknya sel epitel yang melapisi permukaan dinding usus halus yang fungsinya sebagai penyerap garam dan air yang berasal dari makanan. Hal ini berakibat buang air besar yang lebih sering atau diare cair tanpa adanya darah dan panas yang tidak begitu tinggi (Elliott , 2007). Sel enterosit yang rusak digantikan oleh sel sekretorik yang berasal dari kripte vilus usus halus yang kemudian mensekresi garam maupun air secara berlebihan ke dalam lumen usus (Mavromichalis dkk, 1977). Secara histologi perubahan pada jaringan sel akibat infeksi rotavirus ditandai dengan adanya akumulasi sel-sel enterosit yang mengalami vakuolisasi, apoptosis dan terjadinya proliferasi yang meningkat pada hari kesatu sampai hari ketujuh pasca infeksi. Semua proses tersebut menyebabkan vilus atrofi, disamping itu juga banyak sel yang hilang akibat proses apoptosis. Terjadi juga percepatan masa penggantian antar sel yang berakibat terbentuknya sel-sel epitel yang kurang terdeferensiasi yang kesemuanya berakibat pada penurunan fungsi absorpsi dari sel epitel intestinal (Boshuizaen dkk, 2003). Sebagian dari sel epitel yang melapisi permukaan dinding usus halus juga bersifat sebagai sel endokrin penghasil ensim disakharidase. Rusaknya sel epitel akibat invasi virus, menyebabkan kadar ensim disakharidase usus juga menurun dan pencernaan disakharida terganggu. Disakharida yang tidak tercerna akan menarik lebih banyak air sehingga terbentuk bolus ketika tiba di kolon dengan akibat diare osmotik (Kerzner dkk, 1977). Lundgren dkk (2000) menyimpulkan bahwa rotavirus menghasilkan enterotoksin yang dapat merangsang sistem saraf enterik sehingga kadar kalsium di dalam sel meningkat dan keadaan ini akan menginduksi terjadinya diare sekretorik. 2.4. Sistem Kekebalan Mukosa Traktus Gastrointestinal Sistem pertahanan tubuh dibentuk, salah satunya adalah untuk melindungi diri dari serangan mikroorganisme patogen. Manusia yang tergolong sebagai organisme multiseluler memiliki sistem pertahanan tubuh yang bersifat non-spesifik yang muncul lebih awal, disebut juga innate immune system (sistem imun inat). Bila paparan mikroorganisme berlanjut, maka berkembang sistem pertahanan tubuh yang bersifat spesifik yang dikenal sebagai adaptive immune system (sistem imun adaptif). Kedua sistem imun tersebut bekerja dengan melibatkan berbagai komponen seluler maupun zat terlarut, komunikasi melalui jaringan kerja suatu substansi pengaturan zat terlarut yaitu sitokin, kemokin dan faktor komplemen serta berhubungan dengan reseptor yang ada pada sel (Heesemann , 2002). Sistem pertahanan mukosa usus menyangkut peran komponen seluler yang terdiri atas sel-sel limfoid maupun mieloid, yang muncul sebagai akibat paparan yang terus menerus oleh mikroba patogen di dalam lumen usus halus dan usus besar. Salah satu di antaranya adalah sel limfoid yang terkumpul di dalam jaringan limfoid mukosa yang disebut MALT (mucosa associated lymphoid tissue), merupakan bagian dari kompartemen sistem imun yang paling tinggi di dalam tubuh dan fungsinya tidak tergantung pada sistem imun sistemik. Secara anatomis MALT terdiri atas kompartemen mikro yaitu Peyers patches, kelenjar getah bening mesenterikum, appendik, tonsil, adenoid dan kelenjar getah bening lainnya (Holmgren & Czekinsky, 2005). Kompartemen sistem imun lainnya adalah yang bersifat alamiah, terdiri atas cairan asam lambung, ensim protease, asam empedu, asam lemak rantai pendek dan laktoferin yang memiliki efek microbicidal. Terdapat pula lapisan musin yang tebal di permukaan membran mukosa epitel usus yang dapat membuat virus terperangkap di dalamnya, dan kemudian dihalau keluar oleh adanya gerakan peristaltik usus yang disebut sebagai proses immune exclusion. Musin juga mengandung zat-zat yang berguna untuk pertumbuhan jaringan usus yaitu pada pergantian sel epitel dan deferensiasi sel epitel usus (Levine-LeMoal & Servin, 2006). Di dalam lumen usus terdapat bakteri komensal (flora normal) yang dapat menghambat kolonisasi maupun invasi berbagai mikroorganisme patogen maupun toksin yang dihasilkannya. Flora normal tersebut memiliki fungsi microbicidal yaitu secara kompetitif mengambil nutrien yang juga dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba patogen yang masuk ke dalam saluran cerna. Flora normal usus juga memegang peran utama dalam menstimulasi perkembangan dan diferensiasi organ limfatik yang membentuk sistem pertahanan spesifik di mukosa traktus gastrointestinal. Khususnya flora normal yang berada di kolon mempunyai fungsi prebiotik yaitu sebagai penghasil vitamin K dan vitamin B-kompleks, dan beberapa sel lemak rantai pendek yang merupakan sumber energi bagi epitel kolon (Heesemann , 2002). 2.4.1. Sistem Imun Non-spesifik Antivirus di Mukosa Usus Secara pilogenetik sistem pertahanan tubuh yang paling purba adalah sistem imun nonspesifik, yang memiliki kemampuan mengenal dan merespon serangan mikroorganisme melalui suatu reseptor (Medzhitov, 2001). Pada mamalia ditemukan 10 anggota reseptor yang disebut sebagai toll like receptors (TLRs), yang dapat mengenal komponen mikroorganisme secara spesifik. Bila terjadi infeksi oleh mikroba patogen, akan terjadi aktivasi terhadap TLRs yang akan menginduksi respon inflamasi dan memicu berkembangnya sistem imun adaptif yang bersifat spesifik (Takeda & Akira , 2003). Jaringan usus adalah salah satu bagian dari saluran cerna yang selalu berhadapan dengan enteromikroflora yang bersifat patogen. Enteromikroflora patogen memiliki PAMPs (pathogen associated molecule patterns), yang merupakan ligand dari mikroba yang dikenal secara spesifik oleh reseptor dari sel inang. Proses pengenalan ini merupakan signal bagi sel-sel di usus yang terlibat dalam sistem kekebalan non spesifik (innate immunity) yaitu sel epitel, sel dendritik maupun sel M (microfold) yang mengekspresi suatu jenis reseptor yang merupakan bagian dari TLRs (Toll-like receptors). TLRs tersebut akan berikatan dengan PAMPs yang merupakan petanda dari suatu jenis patogen dan hal ini merupakan upaya dari sel inang dalam memelihara homeostasis di usus untuk mencegah terjadinya proses inflamasi (Abreu dkk , 2005). ASI merupakan media transmisi imunokompeten dari ibu ke bayi sebagai wujud adanya garis hubungan imunologis antara ibu dan bayi (Chirico dkk, 2008). TLRs dalam bentuk terlarut (soluble TLRs) terdapat di dalam ASI, plasma dan sel monosit. TLRs ASI merupakan protein yang terdiri atas 83 dan 70 k DA sTLR2 yang diduga berasal dari sel epitel kelenjar mammaria yakni sel adiposit yang mengelilingi duktus mammarius maupun alveoli. Sedangkan yang ada di dalam plasma lebih banyak dalam bentuk 66-k DA sTLR2 yang boleh jadi berasal dari sel monosit dan dalam jumlah yang relatif kecil diproduksi oleh sel neutrofil (Kurt-Jones dkk, 2002). Produksi sTLR2 melibatkan beberapa proses yaitu endositosis reseptor pada permukaan sel, proses compartemen asam internal, pelepasan sTLR2 melalui eksositosis dan yang terakhir terkumpulnya sTLR2 di dalam pool intrasel. S-TLR2 dapat menghambat produksi sitokin oleh monosit yang distimulasi oleh lipopeptida, dan terbukti bahwa sensitifitas terhadap lipopeptida meningkat bila terjadi penurunan kadar sTLR2 . Hal ini menunjukkan bahwa sTLR2 memiliki kontribusi dalam pengaturan efesiensi respon imun alamiah terhadap mikroba patogen. Aktivitas inhibisi ini mungkin terjadi melalui interaksi antara sCD14 (molekul koreseptor) ataupun dengan CD14 yang terikat pada membran sel. Kemungkinan yang lain adalah sTLR2 mengalami hemodimerisasi dengan TLR2 di permukaan sel atau melalui terbentuknya decoy receptor yang akhirnya menurunkan efesiensi signal TLR2. Jadi ASI selain mengandung koreseptor sTLR2 tetapi juga sCD14 yang dapat mengatur signal TLR, dengan cara ini inflamasi lokal yang excessive pada usus neonatus akibat kolonisasi bakteri dapat dihindari (LeBouder dkk, 2003). Sistem imun nonspesifik menghambat infeksi virus dengan mencegah berlanjutnya replikasi virus. Pertama-tama virus diidentifikasi sebagai struktur 32 benda asing melalui petanda komponen dinding sel, sitoplasma maupun petanda yang ada di bagian genom dari virus tersebut, kemudian virus dilokalisir. Berbagai zat kemotaktik akan ditarik menuju tempat infeksi yang menyebabkan sel mast terdegranulasi sehingga terjadi pelepasan faktor vasoaktif. Salah satu diantaranya adalah histamin, mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat dan timbulnya reaksi inflamasi ditempat masuknya mikroba tersebut. Sekelompok protein didalam serum yang disebut sebagai komplemen juga berperan di dalam sistem imun nonspesifik, yang terdiri atas 20 macam protein yang bekerja sebagai sebuah cascade. Fungsinya adalah mengenali mikroba patogen pada tahap dini, mengeliminasi mikroba serta meregulasi respon imun selanjutnya yaitu respon imun spesifik (Heesemann , 2002). Antigen virus yang dapat bertahan dari perangkap musin maupun gerakan peristaltik usus, akan ditangkap oleh sel epitel khusus disebut sel microfold (sel M) yang terdapat di bagian lekukan tajam dari vili usus halus. Antigen virus diangkut menyebrangi barier mukosa, kemudian diproses dan dipresentasikan kepada sel dendritik yang ada di jaringan limfoid mukosa (Van Ginkel dkk, 2000). Partikel virus atau virion masuk ke dalam sel M melalui proses endositosis dan diproses di dalam vesikel sel M, setelah itu diambil oleh sel dendritik atau dikeluarkan lagi ke permukaan basolateral dari sel M. Dari sini virion tersebut menginvasi sel epitel usus halus lainnya atau difagositosis oleh makrofag serta dapat pula sampai di daerah saraf otonom usus halus (Nathanson , 2002). Antigen 33 virus dapat langsung diambil oleh sel dendritik melalui tight junctions (celah) antar sel epitel yang terbuka (Rescigno dkk , 2001). Sel dendritik merupakan sel antigen presenting cells (APCs) yang paling poten di dalam tubuh manusia, terdapat terutama di tempat yang potensial terpapar patogen yaitu mukosa. Terdapat beberapa subpopulasi sel dendritik, salah satunya CD11 b+ dapat menyajikan antigen virus pada sel T-CD4+, dan proses ini merupakan hal yang paling penting di dalam menghasilkan respon imun yang diperani oleh sel T-helper 1(Zhao dkk, 2003). Sel dendritik interstitial (sel dendritik yang masih imatur) mengambil antigen di jaringan nonlimfoid melalui reseptor imunoglobulin yaitu Ig-FcR atau reseptor scavenger. Reseptor Fc-alfa (CD89) bagian dari Ig-FcR, akan mengikat antigen secara selektif. Selanjutnya terjadi stimulasi molekul kostimulator CD86 maupun MHC-II (major histocompatibility complex II) di dalam plasma membran dan terjadi peningkatan produksi IL-10. Sel dendritik melalui reseptor Fc-alfa dapat pula mengikat IgA1 dan IgA2, seperti telah diketahui IgA merupakan imunoglobulin utama di dalam mukosa di mana sel dendritik banyak terdapat. Selanjutnya terbentuk IgA polimer kompleks yang mengalami internalisasi ke dalam sel dendritik dan mengaktivasi sel dendritik. Oleh karenanya diduga sel dendritik interstitial menggunakan reseptor Fc-alfa untuk menangkap antigen di daerah subepitel maupun mengikat imunoglobulin A (Geissmann dkk, 2001). Aktivasi sel dendritik juga terjadi dengan mengenal molekul mikroba melalui TLRs. Sel dendritik plasmacytoid (p-DC) memiliki kemampuan menskresi interferon (INF) tipe 1 sebagai respon terhadap infeksi virus pada saat 34 awal infeksi. Untuk mengaktivasi sel dendritik dibutuhkan lebih dari satu signal, yaitu signal yang dapat menstimulasi molekul TLRs, dan juga signal yang berasal dari molekul MYD88. Molekul MYD88 yang merupakan protein adaptor hasil interaksi dengan Toll/ IL-1 receptor (TIR) akan merekrut serin/threonin kinase domain death, IL-1R associated kinase (IRAK) (Medzhitov, 2001 ; Asselin-Pasturel dkk, 2001). TLRs adalah reseptor yang terlibat di dalam sistem imun nonspesifik, dapat berasal dari protein humoral yang beredar di dalam plasma, reseptor endositik yang diekspresikan pada permukaan sel, dan reseptor-reseptor signal yang diekspresikan baik dipermukaan sel maupun di dalam sel. TLRs merupakan protein transmembran tipe 1 yang diberi nama berdasarkan atas pola ekspresi sel terhadap rangsangan mikroba tertentu, TLR3 sebagai salah satunya secara spesifik mengenal RNA virus untai ganda, terdapat pada sel dendritik Struktur TLRs terdiri atas domain ekstrasel dan domain sitoplasma yang berhubungan dengan reseptor IL-1(interleukin1) yang kemudian membentuk komplek signal dengan molekul MYD88, serin/Threonin kinase yang selanjutnya menyebabkan aktivasi faktor transkripsi di antaranya nuclear factor-Kb (NF-Kb) dan c-Jun/ATF2/TCF. Setelah itu akan terjadi transkripsi beberapa gen sitokin dalam waktu yang cepat (Muzio dkk, 2000; Muzio dkk, 1997; Wesche dkk, 1997 ; Cao dkk, 1996). TLRs merupakan alat bagi sel inang untuk mencegah terbentuknya mutan dari mikroba patogen, sebagai sensor terhadap keberadaan patogen dengan memproduksi sitokin yang kemudian mengaktivasi cascade signal yang menghasilkan sintesa berbagai molekul proinflamasi (Medzhitov & Janaway , 35 1999). Pertautan TLRs dengan ligand yang dimiliki mikroba juga memicu sintesa sitokin imunoregulator, kemokin dan molekul stimulator. Salah satunya adalah TLR3, dapat mengenal virus yang memiliki RNA untai ganda melalui struktur poly I:C yang dimiliki oleh virus. TLR3 kemudian berikatan dengan molekul MYD88 untuk selanjutnya menginduksi sintesis IFN (interferon) tipe 1. Jadi yang berperan pada infeksi virus adalah TLR3 selain TLR9 (Lund dkk, 2003). Dalam rangkaian pengenalan ligand melalui TLRs yang dimiliki oleh sel dendritik akan dihasilkan interferon tipe 1 yang akan mengaktivasi sel NK (natural killer), untuk mencegah infeksi virus meluas sebelum respon imun adaptif terjadi. Sel NK mengenali patogen virus melalui suatu interaksi kompleks molekul yang spesifik yang dapat menghambat maupun mengaktivasi reseptor (Lee dkk,2001; Daniels dkk, 2001). Selama infeksi berlangsung, terjadi komunikasi dua arah antara sel dendritik dan sel NK, di mana sel dendritik menghasilkan sitokin (interferon) dan mengenal langsung patogen yang sangat diperlukan agar sel NK teraktivasi. Sel NK sebaliknya berpartisipasi mempertahankan populasi sel dendritik (Andrews dkk, 2003). Sel NK merupakan bagian dari sel limfosit di dalam pembuluh darah perifer. Jumlahnya mencapai 15 % dari seluruh sel limfosit, konsentrasinya terus meningkat dan mencapai kadar tertinggi di tempat masuknya antigen. Telah dibuktikan bahwa pada awal proses infeksi virus, ada subpopulasi sel NK yang dapat memproduksi IFN-gama yang kadarnya meningkat sampai lebih dari 80% dari biasa. Untuk dapat memusnahkan antigen, sel NK harus mampu mengenal secara selektif sel yang terinfeksi melalui NK-cel receptor disamping adanya 36 stimulasi dari sel yang tidak terinfeksi. Selain itu sel NK juga berfungsi sebagai surveillance terhadap sel asing yang tidak mengekspresi reseptor, mengaktivasi reseptor lainnya seperti integrin dan menjadi media bagi fungsi efektor dari sel limfosit melalui pelepasan sitokin (Daniels dkk, 2001). Reseptor sel NK yang disebut sebagai molekul LY49H, merupakan suatu membran protein yang terdiri atas C-type lectin yang mengandung immunoreceptor tirosin associated motif (ITAM). Telah dibuktikan bahwa molekul LY49H dapat mengikat ligand virus sitomegali (MCMV) yang menyebabkan sel NK teraktivasi dengan melepaskan IFN-gama dan perforin. Untuk mengaktivasi sel NK juga diperlukan signal ekstrinsik berupa pelepasan IFN tipe 1 dan IL-12 oleh sel dendritik. Jadi untuk mengaktivasi sel NK dibutuhkan sitokin yang dihasilkan oleh sel dendritik maupun pengenalan PAMPs melalui TLRs yang diekspresi oleh sel imun lainnya (Tabeta dkk, 2004). Sel NK yang telah teraktivasi melalui interferon ( INF ) gama yang dihasilkannya akan mengaktivasi kembali sel dendritik dan sel limfosit T. Pada tahap awal infeksi di mana respon imun spesifik belum terbentuk, sel NK akan membunuh sel yang terinfeksi atau memecah sel yang mengandung patogen, yang telah ditandai oleh antibodi alamiah yang disebut sebagai antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) (Heesemann , 2002). Sel yang terinfeksi virus (sel dendritik) akan mensekresi interferon tipe 1 (INF-1), yang terdiri atas interferon alfa dan beta. Keduanya akan menghambat replikasi virus pada fase awal infeksi dan menimbulkan keadaan antiviral pada sel yang tidak terinfeksi. INF-1 juga meningkatkan ekspresi molekul MHC-I pada sel 37 yang terinfeksi sehingga mudah dikenal oleh sel limfosit tertentu untuk kemudian dihancurkan. INFbeta (dari sel dendritik) bersama INF-gama (dari sel NK) akan memacu sel untuk mengekspresikan molekul MHC-II untuk mencegah berlangsungnya pembelahan sel. Sedangkan INF- alfa (dari sel dendritik) menstimulasi aktivitas sel T dan sel NK-sitotoksik yang akan menghambat terbentuknya antibodi pada awal-awal infeksi (Nathanson , 2002). Pada infeksi virus, antibodi terbentuk setelah infeksi berlangsung lama, di mana sel NK yang telah teraktivasi melalui INF-gama yang telah dihasilkan akan merangsang terbentuknya antibodi. Proses tersebut diawali dengan sel NK mengenali sel yang terinfeksi oleh virus yang sedang mengekspresikan molekul MHC-I. Secara rinci bagaimana sel yang terinfeksi menghasilkan interferon dan mekanisme kerja sistem interferon dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Gambar 2.6. Sistem Kerja Interferon (dikutip dari Nathanson , 2002). 38 Secara rinci produksi interferon oleh sel yang terinfeksi dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.7. Produksi Interferon oleh Sel yang Terinfeksi (bhn kuliah Imunologi klinik S3 tahun 2007, 2004 New Science Press Ltd). 2.4.2. Sistem Imun Spesifik Antivirus di Mukosa Usus.

Sistem imun spesifik akan mulai bekerja setelah respon imun nonspesifik tidak mampu memusnahkan semua antigen yang telah menginfeksi sel. Dikhawatirkan bila proses berlanjut maka gejala penyakit maupun kerusakan yang diakibatkan lebih berat dan dapat menimbulkan kematian. Hal ini terjadi bila jumlah sel yang terinfeksi cukup banyak sebelum respon imun yang spesifik terjadi. Oleh karena itu semua komponen imun bergerak yang dimulai oleh sistem imun nonspesifik, dilanjutkan oleh bekerjanya sistem imun spesifik (Nathanson , 2002). Ketika tubuh manusia terinfeksi oleh virus maka respon pertama yang timbul adalah terbentuknya keadaan antiviral pada sel yang terinfeksi, yang bertujuan mencegah replikasi virus dan memberi signal untuk mengatur respon 39 imun adaptif melalui terbentuknya interferon tipe1 (IFN-1) (Levy & Gracia-Sastre, 2001). Sistem imun adaptif terdiri atas sistem imun humoral dan sistem imun seluler, masing-masing diperankan oleh sel limfosit B dan sel limfosit T. Sistem imun humoral di dalam sistem pertahanan mukosa diperani oleh imunoglobulin A tipe sekretorik (sIgA) dan bekerja lebih awal saat virus masih berada di luar sel. Bila virus berhasil masuk ke dalam sel, komponen imunitas seluler dalam hal ini sel limfosit T dengan dua subpopulasi sel yang dimiliki yaitu sel T-CD4+ dan sel T-CD8+ mulai bekerja. Keduanya dibedakan berdasarkan atas jenis molekul MHC (major histocompatibility complex) yang diekspresikan pada permukaan selnya. Sel T-CD4+ mengekspresikan molekul MHC-II di mana dalam menjalankan fungsinya akan berinteraksi dengan sel limfosit B nave maupun sel T-CD8+. Interaksi ini menimbulkan signal yang menginduksi sel limfosit B dan sel T-CD8+ berploriferasi sebagai respon terhadap antigen yang dipresentasikan oleh sel antigen presenting cells (APCs) (Nathanson, 2002). Sistem pertahanan imun seluler mukosa di jaringan usus halus diperani oleh sel T-CD8+ yang terdapat di jaringan limfoid intraepitel usus halus yang memiliki sifat spesifisitas terbatas. Sel imun yang lainnya berada di daerah lamina propria yang terdiri atas campuran dari berbagai jenis sel imun, tetapi yang terbanyak adalah sel T-CD4+ yang memiliki fenotif sebagai sel yang aktif. Disamping itu terdapat sejumlah besar sel limfosit B yang aktif, sel plasma, makrofag, sel dendritik, eosinofil dan sel mast (Abbas & Lichtman, 2005). 40 Seperti telah diuraikan sebelumnya, antigen virus yang telah berhasil menginfeksi sel-sel di jaringan usus halus akan diproses oleh sel M dan kemudian diambil oleh sel dendritik, dan selanjutnya diolah lagi sebelum akhirnya dipresentasikan kepada sel B. Agar dapat merangsang sistem imun, antigen akan terikat pada reseptor yang ada pada sel limfosit B, yang menyebabkan sel B mengalami maturasi menjadi sel plasma dan akan memproduksi antibodi yang bersifat spesifik. Antigen juga dapat menempel pada reseptor yang dimiliki bersama oleh sel T dan sel antigen-presenting cells (APCs) dalam hal ini sel dendritik yang merupakan rangkaian awal dari reaksi imun seluler. Sel limfosit B dan T yang telah teraktivasi akan memacu ekspansi klonal dari kedua sel tersebut yang sebagian terjadi di tempat masuknya mikroba dan sebagian lagi di jaringan limfatik yang berperan sebagai immunological memory. Sel-sel imun yang dihasilkan oleh kedua sel limfosit tersebut akan bergerak ke lokasi infeksi jika diperlukan (Heesemann, 2002). Sel limfosit B yang sudah berubah menjadi sel plasma akan menghasilkan antibodi yang bersifat neutralizing maupun opsonizing, yang hanya efektif untuk mengeliminasi virus selama berada di luar sel inang. Sifat netralisasi dari antibodi dimaksudkan untuk menetralisir antigen virus yang memiliki sifat merusak sel (efek sitopatik), sedangkan fungsi opsonisasi adalah agar partikel virus mudah dibersihkan oleh sel fagosit. Telah diketahui bahwa proses fagositosis juga didukung oleh sistem komplemen yang mungkin secara langsung berperan dalam memecah envelope yang dimiliki oleh virus (Abbas & Lichtman, 2005). 41 Antibodi sIgA yang dihasilkan oleh sel limfosit merupakan antibodi utama yang berperan di dalam sistem imun lokal di jaringan usus halus. Memiliki kemampuan mengaglutinasi agen infeksi dan memfasilitasi proses klirens mikroba tersebut melalui gerakan peristaltik dan gerakan mukosilier usus halus (Mestecky dkk,1999). Selain itu sIgA juga melekat secara selektif pada sel M, ikut terangkut bersama antigen yang dibawa oleh sel M dan selanjutnya masuk ke dalam sel dendritik (Corthesy, 2007). Sel M adalah sel epitel yang memiliki bentuk berbeda yang melapisi bagian permukaan dari kelejar Peyers patches (PP), fungsinya membawa antigen yang ada di lumen usus ataupun yang melekat pada sel M, terangkut pula sIgA bersamanya yang kemudian mengalami internalisasi ke dalam sel dendritik (DC) yang dimediasi oleh IgA moiety. S-IgA yang terbawa bersama sel M maupun sel DC akan memudahkan pengambilan antigen berikutnya oleh sel M, dan memicu migrasi sel DC ke dalam PP yang kaya akan sel limfosit T.Selanjutnya akan terjadi pengaturan ekspresi sel T-CD80 dan T-CD86 di dalam PP, kelenjar getah bening mesenterikum dan limpa. Ini memperlihatkan fungsi sIgA di dalam penyebaran antigen di dalam jalur efektor dari kompartemen mukosa usus (Rey dkk, 2004 ; Favre dkk, 2005). Untuk lebih jelasnya bagaimana sistem imun di mukosa usus bekerja, dapat dilihat pada gambar di bawah ini : 42 Gambar.2.8. Proses Antigen menginduksi respon imun di usus halus (dikutif dari Corthesy, 2007). Keterangan : 1. Di jaringan GALT (gut associated lymphoid tissue), mikroorganisme ditangkap oleh sel M, disajikan kepada sel DC yang masih imatur di regio sub-epitel dome (SED). 2. Dengan membesarkan ukurannya sel DC langsung menangkap antigen (Ags) yang ada di dalam sel epitel dan selanjutnya antigen tersebut disajikan ke pada sel T yang masih nave di dalam saluran kelenjar getah bening bagian proksimal. 3. Terjadi aktivasi dan migrasi dari sel DC, yang dipengaruhi oleh signal yang berasal dari antigen (makanan, bakteri patogen / komensal, virus, toksin). 43 4. Sel plasma yang berada di dalam lamina propria (LP), akan memproduksi IgA-polimer yang kemudian di sekresi sebagai sIgA. Antibodi antiviral yang paling berperan di mukosa usus adalah IgA. Hal ini terlihat jelas pada penelitian yang menggunakan backpack tumor, di mana IgA (bukan IgG) efektif mencegah diare rotavirus pada hewan coba tikus. IgA yang telah dihasilkan di jaringan mukosa usus akan tersimpan di domain basolateral dari sel epitel, melalui proses transitosis selanjutnya masuk ke domain apical sel epitel usus (Ruggeri dkk, 1991). IgA adalah antibodi yang berbentuk dimer tersimpan di dalam sel basal, diubah menjadi s-IgA melalui penambahan komponen sekretorik yang kemudian disekresi ke dalam lumen usus atau ke bagian apeks dari epitel mukosa usus. S-IgA memiliki sifat resisten terhadap ensim pencernaan sehingga dapat mengikat agen infeksi maupun toksin yang menginvasi lumen maupun mukosa usus. Fungsi sIgA secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut : 44 FUNGSI IgA PADA SISTIM IMUN MUKOSA USUS (Kaetzel CS, dalam Proc.Natl.Sci. USA, 1991; 88: 8796-8800) IgA

IgA polimer oleh sel plasma di Lam.propria mukosa usus + rantai J+ pIgRIgA polimer oleh Sel epitel kelenjar MammariaIgA-monomer oleh Limfosit dlm sumsum tulang disekresi ke sirkulasi darah

sIgA

26

Kapiler Villi usus

di epitel mukosa

Lumen Usus sIgA + AgEpitel mukosa sIgA+Sel M+Ag

halus Difusi ke lamina propria

mukosa usus halus tak dapat masuk ke Peyers Patches. Lumen Usus halus Excresi ke dlm feses Kompleks imun intraseluler Sel APC dlm PP Sel B, sel T Gambar.2.9 Fungsi IgA pada imun lokal di mukosa usus halus (Kaetzel, 1991). 2.5. Mekanisme Kerja ASI Sebagai Pembawa Kekebalan Pasif

Sistem pertahanan imun pada fetus dan neonatus masih imatur sehingga mudah terserang infeksi. Terdapat IgG maternal yang ditransfer lewat plasenta yang bekerja di jaringan (Hanson dkk, 1985). Pemberian ASI merupakan sarana untuk mempertahankan link imunologis antara ibu dengan bayi sesaat setelah bayi lahir (Chirico dkk, 2008). Kelenjar mamaria yang merupakan bagian yang terintegrasi dalam sistem imun mukosa, akan menghasilkan antibodi terutama imunoglobulin sekretorik A(sIgA) sebagai hasil dari stimulasi antigen terhadap jaringan limfoid mukosa 45 pada saluran nafas dan saluran cerna ibu. S-IgA yang dihasilkan memiliki sifat spesifik terhadap patogen yang menginvasi saluran cerna bayi (Telemo & Hanson, 1986). Jadi sIgA bersama komponen imun ASI lainnya ditargetkan untuk mencegah infeksi terutama pada saluran cerna bayi. S-IgA ASI bekerja sebagai immune exclusion, dan membatasi kerusakan jaringan akibat inflamasi yang menguras energi(Kaetzel 1991, LeBouder dkk, 2003). Laktoferin dan oligosakharida yang ada di dalam ASI, berfungsi sebagai reseptor analog terhadap mikroba dan mencegah perlekatannya pada mukosa yang merupakan tahap awal dari proses infeksi (Hanson dkk, 2002; Brandtzaeg, 2003). Terdapat pula zat yang memiliki efek prebiotik yang dapat mendukung kolonisasi flora normal di dalam usus dan oleh karenanya dapat mengurangi koloni bakteri patogen pada jaringan usus (Newburg, 2000). ASI dapat berfungsi sebagai imunomodulator, ini terbukti dari ukuran kelenjar timus bayi yang mendapat ASI (eksklusif) lebih besar dibandingkan dengan yang mendapat ASI (non-eksklusif) maupun yang tidak mendapat ASI (Hasselbach dkk, 1996). Sejumlah protein di dalam ASI memiliki aktivitas sebagai antimikroba dan sebagai imunostimulator, di antaranya dalam bentuk sitokin berpengaruh terhadap menurunnya insiden infeksi pada masa bayi khususnya pada masa neonatus (Chirico dkk, 2008). Juga terdapat miRNA yang dapat meregulasi molekul di dalam sel maupun komunikasi antar sel dan jumlahnya mencapai 1,3 kali 10 pangkat 7 copi/liter ASI pada masa 6 bulan pertama laktasi (Kosaka dkk, 2010). Terdapat berbagai vitamin yang larut dalam lemak maupun asam lemak esensial yang memiliki aktivitas biologis kuat untuk 46 mengatur berbagai proses di dalam sel dan jaringan (Koletzko & Rodriguez-Palmero, 1999). Antibodi sIgA merupakan elemen imun utama ASI bekerja di garis terdepan dalam sistem pertahanan di mukosa usus, dengan menghambat kolonisasi dan ataupun pertumbuhan patogen (Newburg, 2000). Pada bayi baru lahir produksi antibodi sIgA oleh sel Paneth di daerah kripte usus halus belum optimal, demikian pula IgA yang berasal dari serum baru dapat diukur pada minggu ke 2-3 setelah lahir. Bila terjadi infeksi pada jaringan mukosa terdapat aliran IgM-sekretorik dari kelenjar eksokrin membran mukosa (Kesarwala dkk, 1988). S-IgA ASI diproduksi oleh sel sekretorik yang ada di kelenjar mammaria ibu pada masa laktasi. Selama hamil dan masa laktasi, sel limfosit B yang telah tersensitisasi (IgA+B-lymphocyte) akibat paparan antigen sebelumnya mengumpul di kelenjar mammaria dan memproduksi IgA spesifik (Goldman dkk, 1998). Struktur molekulnya berbentuk dimer yang tersusun dari 2 pasang rantai ringan dan rantai berat yang diikat oleh rantai J. Sensitisasi sel limfosit B terutama terjadi di jaringan saluran nafas maupun saluran cerna ibu yang selanjutnya bermigrasi melewati aliran getah bening dan masuk ke dalam sirkulasi darah, dan akhirnya tiba di kelenjar mammaria. Kedua jalur migrasi sel limfosit B disebut sebagai jalur bronchomammaria dan enteromammaria. Sel limfosit B kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma dan siap memproduksi sIgA yang selanjutnya di skresi ke dalam ASI (Telemo & Hanson, 1996; Hanson dkk, 2002). Antibodi jenis lain yang juga dikandung ASI adalah IgM, IgG dan jenis antibodi lainnya, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan sIgA yang mencapai 47 >90 % dari jumlah seluruh imunoglobulin ASI (Rojas & Apodea, 2002).Adanya jalur migrasi IgA+B-lymphocyte seperti tersebut di atas, diduga hal ini sebagai alat transfer zat protektif yang bersifat spesifik dari ibu ke bayi (Goldman dkk, 1998). Kolostrum adalah ASI yang keluar pada saat bayi baru lahir hingga berusia 7-9 hari. Dibandingkan dengan ASI yang keluar sesudah itu (ASI matur), kolostrum memiliki kandungan sIgA paling tinggi dan pada manusia mencapai >1 g/l ASI (Wold & Hanson, 1994). Kadar sIgA ASI berkisar antara 5,0-7,5 mg/dl, dan ibu yang menyusui secara eksklusif maka pada 4 bulan pertama bayi akan mendapat sIgA sebanyak 0,5 g sIgA/hari atau sekitar 75-100 mg/kgBB/hari. Konsentrasi sIgA yang tinggi dipertahankan sampai tahun kedua masa laktasi (Akib dkk, 2008). Terdapat pula sel limfosit B dalam jumlah > 10 % dari jumlah sel lekosit yang telah termedikasi di dalam ASI (Wold & Adlerberth, 1998). Musin yang terkandung di dalam ASI-kolostrum dapat menjadi perangkap bagi virus dan karenanya memberi kontribusi dalam memperpendek masa infeksi maupun menurunkan insiden infeksi (Yolken dkk, 1992; Ikeda dkk, 1998). Salah satu jenis musin yaitu laktaderin merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 46 kDa, akan menempel pada reseptor rotavirus di jaringan usus halus bayi, dapat mengikat dan menghambat replikasi rotavirus dan bersifat dose dependent (Newburg dkk, 1998; Yolken dkk, 1992). Komponen ASI-kolostrum yang juga penting adalah sel neutrofil dengan bentuk molekul CD15+ mengekspresi reseptor IgA-Fc (Fc-alfa R, CD89) yang 48 dapat mengikat sIgA, tetapi tidak memiliki rantai gama sehingga aktivitas mikrobisidalnya lemah. Namun 70% dari sel neutrofil ASI menahan sIgA baik dipermukaan sel maupun di dalam selnya. Terhadap kekurangan ini diduga fungsi neutrofil ASI berperan pada proses non inflamasi dengan berfungsi sebagai alat transport sIgA (Honorio-Franca dkk, 2001). Telah diuraikan di atas bahwa sIgA dari ASI merupakan elemen imun ASI yang paling berperan di dalam garis pertahanan terdepan di saluran cerna pada bayi yang menyusu, karena memiliki efek protektif yang paling kuat. Telah dibuktikan pula bahwa sIgA ASI bersifat efektif dalam sistem pertahanan mukosa baik terhadap bakteri, virus antara lain rotavirus dan respiratory syncitial virus (RSV) (Goldman, 1993). S-IgA dapat menetralisir agen infeksi dan pada waktu yang sama membatasi kerusakan jaringan akibat proses inflamasi (Schandler, 2000 ; Labbok dkk, 2004). Elemen antiinfeksi lainnya pada ASI adalah berbagai jenis protein, di antaranya adalah laktoferin, lisosim, laktaderin, anti protease, dan komplemen. Laktoferin disebut juga iron glycoprotein, dapat megikat zat besi sehingga ketersediaan zat besi untuk pertumbuhan bakteri menjadi berkurang. Dalam bentuk lactoferricin yang merupakan hasil enzymatic cleavage dari laktoferin, dapat meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga dapat mengikat bagian lipid dari lipopolisakharida yang dimilki bakteri. Efek serupa juga ditunjukkan terhadap virus, jamur dan protozoa. Efek antiviral dari laktoferin adalah pada infeksi fase awal yaitu sebagai reseptor virus sehingga perlekatan virus pada sel inang terhalang (Orsi, 2004). 49 Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi ASI, di antaranya adalah usia ibu, paritas, dan status gizi ibu. Seorang ibu yang berusia lebih tua dan atau jumlah paritas yang lebih banyak, memiliki ASI dengan berat jenis yang lebih rendah. Kadar sIgA dipengaruhi oleh berat jenis ASI dan konsentrasi sIgA tetap stabil saat bayi berusia 8-52 minggu. Kondisi lingkungan juga berpengaruh terhadap kadar sIgA-ASI. Pada saat makanan berlimpah kandungan sIgA lebih tinggi dibandingkan ketika musim paceklik. Keadaan ini ditemukan pada ibu-ibu yang tinggal di Gambia (Weaver dkk, 1998). Hal yang berbeda ditemukan pada penelitian sebelumnya, di mana kadar sIgA ASI para ibu di Gambia lebih tinggi pada ibu yang berusia lebih muda dan atau dengan jumlah kehamilan yang lebih sedikit (Prentice dkk, 1983). Henart dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut mungkin dipengaruhi oleh lingkungan setempat. Dilaporkan pula bahwa kadar sIgA-antimikrobial ASI ibu-ibu yang tinggal di Zaire lebih tinggi pada ibu multipara, diduga ini sebagai hasil dari pengalaman kehamilan sebelumnya (Henart dkk, 1991). Tentang produksi ASI yang berkaitan dengan status gizi ibu, akan ada pengaruhnya apabila seorang ibu menderita malnutrisi berat dan berkepanjangan yang dapat mempengaruhi kandungan beberapa zat yang terdapat dalam ASI (Diunduh dari http://familiedyka.multiply.com/journal/item/89/Tulisan Seputar Gizi Ibu Menyusui dan Pe5/13/2008). Perbedaan status gizi antara ibu-ibu di Zaire yang tinggal di perkotaan dengan yang tinggal di pedesaan tidak berpengaruh langsung terhadap kandungan sIgA-antimikrobial di dalam ASI-nya. Kekerapan menyusui pada ibu-ibu yang tinggal di perkotaan lebih tinggi 50 dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan, karena ibu di pedesaan lebih lama bekerja di luar rumah. Ini berakibat terhadap perbedaan jumlah antibodi sIgA-ASI yang ditelan oleh bayi (Hennart dkk, 1991). 2.6. Pemberian ASI, ASI-eksklusif hubungannya dengan diare akut rotavirus.

Seperti telah banyak disinggung sebelumnya bahwa, ASI yang merupakan makanan alamiah utama pada bayi yang berusia 0-6 bulan, juga memberi proteksi terhadap penyakit infeksi utamanya penyakit diare yang masih merupakan masalah kesehatan pada anak di negara berkembang. Pada ASI terdapat elemen imun baik yang bersifat antigenik spesifik maupun perannya pada respon umum secara general (Harsono, 1995; Morrow & Rangel, 2004). Pemberian ASI-eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan seperti dianjurkan oleh WHO, terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas penyakit infeksi terutama pada anak yang berasal dari negara berkembang dan tinggal di permukiman padat (WHO, 2001; Quigley dkk, 2006). Demikian pula kaitannya dengan tingkat survival kumulatif pada penyakit infeksi pada usia < 1 tahun, tertinggi pada bayi yang mendapat ASI-eksklusif sejak berusia 0-4/6 bulan dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI-eksklusif maupun menerima ASI-eksklusif sampai usia kurang dari 4 bulan. Jadi bayi yang masa menyusu eksklusif lebih pendek lebih tinggi risikonya menderita penyakit infeksi (Talayero dkk, 2006). 51 Rotavirus merupakan mikroba penyebab dari 20-80 % penyakit diare pada anak di dunia (Breese dkk, 2004), sedangkan data dari 6 rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan 55 % kasus diare akut pada balita disebabkan oleh rotavirus (Soenarto dkk, 2009). Di rumah sakit Sanglah dari laporan surveillance rotavirus memperlihatkan bahwa sebaran penyakit diare pada bayi meningkat yang sejalan dengan menurunnya tingkat pemberian ASI (Surveillance Rotavirus, 2007). Diare akut rotavirus memberi dampak berupa kematian yang tinggi pada anak usia 4 bulan-6 bulan. Untuk sampel pada studi potong lintang dipilih dari kasus yang memiliki data lama diare, dibedakan menjadi yang mendapat ASI-eksklusif, ASI non-eksklusif, mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus, dan mendapat ASI tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus. Tata cara pemeriksaan pasien. 1. Pasien ditetapkan sebagai subyek penelitian setelah sebelumnya diperoleh persetujuan setelah penjelasan (PSP) dari orang tua, pasien dibaringkan telanjang/ memakai pakaian seminimal mungkin, kemudian ditimbang dan diukur panjang badan. Untuk menimbang badan dipakai timbangan digital untuk bayi merek MISAKI, sedangkan panjang badan diukur memakai meteran kayu. Hasil pengukuran dicatat dalam kuesioner dan dicocokan dengan grafik BB/PB (WHO, 2006) untuk mendapatkan status gizi pasien 2. Dilakukan anamnesis oleh paramedis untuk mendapatkan data riwayat penyakit maupun pola pemberian makanan bayi serta data karakteristik lainnya 3. Dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk menetapkan diagnosis diare dan klarifikasi klinis lainnya 4. Dokter mengisi formulir permintaan laboratorium rutin maupun khusus yang berkaitan dengan penelitian yaitu pemeriksaan feses untuk rotavirus dan ASI 76 Teknik Pemeriksaan Feses : Pemeriksaan antigen rotavirus menggunakan Capture ELISA. 1. Antibodi antirotavirus di coat dalam sumuran plat mikro ELISA selama 2 jam pada suhu kamar 2. Sumuran yang berisi antibodi-antirotavirus dicuci sebanyak tiga kali dengan PBS, kemudian dari setiap sumuran diblok dengan BSA 1% dalam PBS selama 1 jam pada suhu kamar

3. Plat dicuci dengan PBS, selanjutnya ditambahkan sampel feses ke dalam setiap sumuran. Sebagai standar untuk menentukan adanya antigen rotavirus sampel, dipakai antibodi-antirotavirus standar dan diencerkan berkelipatan dua (BMS 603 Viena Austria) 4. Plat mikro diinkubasikan dua jam pada suhu kamar dan dicuci dengan PBS. Ditambahkan antibodi-antirotavirus ke dalam setiap sumuran yang dilabel dengan Biotin lalu diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 jam 5. Plat mikro dicuci dengan PBS , kemudian ditambahkan Avidin HRP dan diinkubasi selama 20 menit. Ditambahkan substrat TMB dan dibaca kepekatan warna yang dihasilkan 6. Dilakukan pembacaan dengan memakai ELISA DA X 80 (Diagnostic Automatic, USA) menggunakan filter dengan panjang gelombang 450 nm 7. Adanya antigen rotavirus pada feses ditentukan berdasarkan perbandingan nilai optical density (OD) setiap sampel tinja dengan nilai OD antigen rotavirus standar menggunakan regresi parameter logistik 77 Pemeriksaan kadar antibodi sIgA-antirotavirus pada ASI : Uji ELISA dengan menggunakan antihuman IgA sebagai konjugat Prosedur Pemeriksaan ASI : 1. Mikroplate ELISA dilapisi dengan Ag-rotavirus selama 1 malam dalam larutan Karbonat-Bikarbonat Buffer pada suhu 4 derajat celcius 2. Setelah itu dicuci dengan PBS ( Phosphorus Buffered Saline ) sebanyak 3 kali, selanjutnya ke dalam setiap sumuran mikroplate ditambahkan sampel ASI dengan berbagai pengenceran. Mikroplate tersebut kembali diinkubasi pada suhu 37 derajat celcius selama 1 jam 3. Mikroplate dicuci kembali dengan larutan PBS dan kedalam setiap sumuran ditambahkan antihuman IgA yang dilabel dengan ensim peroksidase . Setelah itu mikroplate kembali diinkubasi pada suhu 37 derajat celcius selama 1 jam 4. Mikroplate dicuci kembali dengan PBS sebanyak 3 kali dan ke dalam setiap sumuran ditambahkan substrat TMB kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 20 menit 5. Kepekatan warna substrat dibaca dengan Multiscan Spektrofotometer dengan filter 405 nm, kemudian konsentrasi IgA ditentukan dengan membandingkan pada kontrol IgA yang konsentrasinya telah diketahui sebelumnya 78 4.5.3.Alur Penelitian Pasien bayi 0 6 bulan yang berkunjung ke poliklinik, praktek swasta dan atau dirawat di rumah sakit POPULASI TERJANGKAU Diare akut Mendapat ASI Status gizi baik Lahir tunggal Berat lahir > 2500 gr / lebih Tidak menderita kelainan kongenital mayor

KRITERIA INKLUSI Ibu menderita malnutrisi berat

KRITERIA EKSKLUSI Demografi Data pemberian ASI Status nutrisi Data penyakit Obat - obatan Data higiene perorangan

INTENDED SAMPLES Pengisian PSP ASI : ELISA TEST Feses : ELISA Capture Test Anamnesis, pemeriksaan fisik Pengambilan spesimen tinja dan ASI Hasil pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan fisik, diagnosis klinis Antigen rotavirus feses, antibodi sIgA antirotavirus ASI Pemberian ASI (eksklusif, non eksklusif)

Kasus Kontrol Risiko Diare Diare RV Lama Diare Diare non RV Analisis Deskriptip Mantel- Haenzel Uji Chi Square Uji T tak berpasangan

TABULASI DATA, ANALISIS DATA Risiko diare akut rotavirus Lama diare akut rotavirus

K E S I M P U L A N Gambar 4.4 Alur Penelitian 79 4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Penyakit Anak dan Poliklinik Anak RSUD Sanjiwani Gianyar dan di tempat praktek swasta. Pemeriksaan spesimen feses dan ASI dilakukan di Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan universitas Udayana Denpasar. 4.7 Analisis Data 1. Statistik Deskriptif. Teknik statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik data penelitian. Dari penelitian ini didapat data berskala pengukuran katagorik yang terdiri atas skala pengukuran nominal dan skala pengukuran ordinal. Yang termasuk data berskala nominal adalah jenis kelamin bayi, jenis pekerjaan ibu, pola pemberian ASI (eksklusif, non eksklusif). Data yang berukuran skala ordinal adalah tingkat pendidikan ibu, status higiene perorangan (selalu cuci tangan, kadang-kadang cuci tangan, tak pernah cuci tangan), dan adanya antibodi sIgA-antirotavirus di dalam ASI (positif, negatif).Dari data yang berskala katagorik dihitung frekuensi tiap katagori (n) dan persentase tiap katagori (%) disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Berkaitan dengan gambaran karakteristik data dengan skala pengukuran numerik yang terdiri atas skala rasio dan interval, pada penelitian ini didapat data yang berskala rasio yaitu usia bayi, usia ibu, berat badan bayi, dan lama diare.Yang berskala interval adalah jumlah saudara bayi dan paritas. Dari data yang berskala numerik dan berdistribusi normal dilakukan pengukuran terhadap mean,standar deviasi. Data variabel dengan skala 80 pengukuran numerik disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui karakteristik sebaran data disajikan berdasarkan hasil analisis uji Kolmogorov-Smirnov untuk sampel yang jumlahnya >50 (Kountur, 2005; Dahlan, 2009). 2. Statistik analitik. Uji hipotesis merupakan bagian dari penghitungan dalam statistik analitik, yang dipilih berdasarkan sebaran data. Pada data yang memiliki sebaran normal dilakukan uji hipotesis parametrik, sedangkan pada data yang sebarannya tidak normal, dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Jika tetap menghasilkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan uji hipotesis non-parametrik (Dahlan, 2004). Untuk dua kelompok data yang berskala numerik tidak berpasangan dan memenuhi syarat sebaran datanya normal, uji hipotesis yang digunakan adalah uji hipotesis komparatif t tidak berpasangan. Pada data yang berskala pengukuran katagorik dan berpasangan, digunakan Mantel-Haenszael dan penghitungan Chi-Square (Dahlan, 2004). Uji hipotesis analisis bivariat bertujuan untuk mencari hubungan antara satu variabel tergantung yang berskala dikotom dengan satu variabel bebas. Pada penelitian ini dicari hubungan antara: a. Risiko terjadinya diare akut rotavirus yang merupakan variabel tergantung berskala katagorik dan variabel pola pemberian ASI (ASI-eksklusif, ASI non-eksklusif) merupakan variabel bebas berskala katagorik (nominal). Uji statistik yang digunakan adalah uji komparatif Mantel-Haenszel 81

b. Risiko terjadinya diare akut rotavirus dan pemberian ASI yang mengandung antibodi sIgA-antirotavirus yang bersakala katagorik, digunakan uji Mantel-Haenszel c. Rerata lama diare akut rotavirus merupakan variabel tergantung yang berskala numerik dan pola pemberian ASI sebagai variabel bebas yang berskala nominal, termasuk data dari dua kelompok yang tidak berpasangan. Uji hipotesis komparatif t tidak berpasangan dipakai karena memenuhi syarat uji parametrik d. Rerata lama diare akut rotavirus dan pemberian ASI yang mengandung antibodi sIgA-antirotavirus sebagai variabel bebas berskala nominal, termasuk data dari dua kelompok tidak berpasangan. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji t tak berpasangan

Unalisis multivariat digunakan untuk studi kasus kontrol untuk menemukan hubungan antara variabel outcome (terikat) dengan faktor-faktor yang memengaruhi (variabel bebas maupun variabel perancu). Berdasarkan jenis variabel terikatnya dalam hal ini risiko diare akut rotavirus yang merupakan variabel katagorik, yang digunakan adalah analisis regresi logistik. Untuk variabel terikatnya yang merupakan variabel numerik dalam hal ini lama diare, digunakan analisis regresi linier (Dahlan, 2009). Pada penelitian ini, dari hasil analisis bivariat tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara berbagai faktor yang berhubungan dengan risiko dan lama diare akut rotavirus, sehingga tidak memenuhi syarat untuk analisis multivariat. 82 3. Nilai Probabilitas (P) dan Interval Kepercayaan Nilai p dan interval kepercayaan (IK) digunakan untuk inferensi (penarikan kesimpulan). Interpretasi terhadap nilai p adalah untuk menyatakan besarnya kemungkinan hasil yang diperoleh atau hasil yang lebih ekstrim diperoleh karena faktor peluang, bila hipotesis nol benar. Interval kepercayaan (IK) menunjukkan taksiran rentang nilai pada populasi yang dihitung dengan nilai yang diperoleh pada sampel (Dahlan, 2009; Sastroasmoro & Ismael, 2002) Tingkat kemaknaan (alfa) penelitian ini detetapkan pada nilai probabilitas (p) kurang dari 0,05. Nilai variabel utama (main endpoint) dinyatakan dengan interval kepercayaan 95 % (IK 95%), sesuai dengan alfa