bab i 3197163 -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
GLOBALISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
( STUDI KASUS DI PERGURUAN TINGGI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG )
A. Latar Belakang
Globalisasi telah menjadi mantra yang memukau dan
menghipnotis banyak orang. Kecuali doktrin sangat jarang ditemukan
perdebatan ilmiah dan kritis terhadapnya.
Kalimat paling akrab ditelinga masyarakat mulai dari siswa
SLTP hingga mahasiswa, bahkan para dosennya adalah " mau tidak mau,
suka tidak suka, kita tidak bisa menghindar dari arus globalisasi.
Masalahnya bagaimana menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar dapat
memetik manfaat dari arus besar itu".
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh James Petras
menunjukkan kebangkitan "ideologi globalisme" pada awalnya ditemukan
dalam jurnal-jurnal bisnis di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.
Secara perlahan istilah ini diambil alih oleh dunia arus besar akademik
(ekonomi, sosiologi, kebudayaan dan politik internasional) dan menjadi
sebuah kerangka kerja yang diterima luas ketika berbicara tentang perluasan
pasar modalis internasional tanpa perlu membahas asal-usulnya,
hubungannya dengan kekuasaan dan hasil-hasilnya yang eksploitatif.1
Sejak istilah ini diserap oleh dunia akademik, produksi dan
reproduksi maknanya semakin intensif. Produksi dan reproduksi terhadap
makna globalisasi oleh dunia akademik telah membentuk benang kusut yang
1 James Petras, “Globalisasi Sebuah Perspektif Sosialis”, dalam buku Mcglobal Gombal Globalisasi Dalam Persepektif Sosialis, (Yogyakarta: Cubuc kerja sama dengan Sumbu, 2001), hlm. 56.
2
sulit diurai. Bagi Peter Marcuse, hal tersebut sangat berbahaya, karena
didalamnya tersembunyi kepentingan ideologi tertentu. Membiarkan satu
kata kabur maknanya memungkinkan pengalihan kata itu menjadi sesuatu
yang memiliki kehidupannya sendiri, memiliki kekuatan,
memberhalakannya menjadi sesuatu yang memiliki keberadaan yang bebas
dari kehendak manusia, niscaya dan tidak terlawan.2
Globalisasi sebenarnya memilki sebuah konsep yang berwajah
banyak. Selain memiliki wajah geopolitik dan teknologi, ia juga memiliki
wajah ekonomi dan budaya. Sepintas, terutama jika dilihat dari sudut
pandang geopolitik dan teknologi, globalisasi tampak sangat masuk akal.
Sebagaimana dikemukakan Akbar S. Ahmad dan Hastings Donan, memberi
batasan bahwa globalisasi “ pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-
perkembangan yg cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi,
informasi yg bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal-hal
yang bisa dijangkau dengan mudah dan cepat.3
Berkat kemajuan teknologi komunikasi, kendala ruang dan waktu
kini praktis bukan merupakan hambatan besar bagi umat manusia. sebuah
peristiwa yang terjadi di sebuah pelosok dalam suatu negara dapat dengan
mudah dan cepat diikuti secara langsung dari wilayah manapun di seluruh
dunia. Pendek kata dari segi kelancaran dan penghilangan sekat-sekat
komunikasi, globalisasi memang tampil mencengangkan dan patut di sambut
dengan penuh antusias.
Justru persoalan muncul ketika globalisasi dilihat dari sudut
ekonomi dan budaya. Walaupun globalisasi menjanjikan percepatan
pertumbuhan ekonomi dunia, pertanyaan siapa, mendapat apa, dan berapa
banyak, serta merta menyentakkan kita dari kekaguman yang berlebihan
terhadap manfaat globalisasi. Penipisan batas-batas kenegaraan dan
2 Peter Marcuse, "Bahasa Globalisasi”, dalam buku Mc-Global Gombal, (Yogyakarta :
Cubuc dan Sumbu, 2001), hlm. 2. 3 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 19.
3
keampuhan media komunikasi ternyata membuka peluang bagi beberapa
kelompok masyarakat lapisan atas yang sebagian besar dari negara-negara
kaya untuk mengepakkan sayap dominasi ekonomi mereka ke seluruh
penjuru dunia. Globalisasi juga nampak seperti jalan bebas hambatan bagi
mereka untuk menguasai ekonomi dunia dalam rangka akumulasi modal
yang sebesar-besarnya.
Akibatnya, walaupun sebuah negara diberkahi dengan kekayaan
sumber daya alam yang berlimpah, dalam era globalisasi berkah tersebut
dapat dengan mudah jatuh ke tangan dan dieksploitasi oleh para pemodal
yang berasal dari negara-negara kaya tertentu. Sedangkan penduduk yang
secara turun temurun tinggal dan memiliki sumber daya alam, hanya
menjadi penonton dan tetap terbelakang, seolah-olah mereka tidak memiliki
hak untuk menikmati berkah alam yang terbentang di hadapannya.
Dilihat dari sudut budaya, dominasi dan eksploitasi ekonomi
segelintir kaum berpunya tentu memiliki dampak serius terhadap
perkembangan budaya masyarakat negara-negara miskin di seluruh dunia.
Sejalan dengan semakin meningkatnya dominasi para pemodal yang berasal
dari negara-negara kaya tertentu terhadap perkembangan ekonomi dunia,
perkembangan budaya di seluruh dunia pun ikut terseret mengikuti selera
dan kepentingan ekonomi kaum pemodal.
Produk-produk kebudayaan yang semula mengandung nilai-nilai
sakral, seperti nilai magis, dan nilai spiritual, oleh pemodal internasional
kini dipilah dan dikemas menjadi komoditi agar dapat dikomersialkan.
Kegiatan ritual kebudayaan tertentu diubah dan diolah menjadi objek
tontonan. Sedangkan produk-produk budaya yang tidak dapat dijadikan
sebagai dasar untuk melakukan akumulasi modal digusur ke belakang,
sehingga kehilangan tempat dalam ranah kehidupan sehari-hari kelompok
masyarakat yang menciptakan produk kebudayaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, jika dikaji secara cermat, secara ekonomi dan
budaya, globalisasi tidak dapat begitu saja dipandang sebagai sebuah gejala
alamiah yang netral. Ia sarat dengan kepentingan tipu muslihat, khususnya
4
yang mendatangkan keuntungan bagi para pemodal yang berasal dari
negara-negara tertentu. Kaum petani, pekerja, nelayan, masyarakat miskin
kota, kaum perempuan menghadapi ancaman yang sangat serius dari
perkembangan globalisasi yang tidak manusiawi.
Oleh karena itu bisa dipahami, jika sejumlah kalangan cenderung
menentang globalisasi dengan sengit. Sebagaimana dilakukan oleh Petras
dan Veltmeyer (2000), konsep globalisasi dalam pandangan mereka tidak
lebih dari sebuah tipu muslihat untuk menguburkan maksud sesungguhnya
yang ingin diwujudkan melalui penyebarluasan dan konsep tersebut. Dalam
pandangan mereka, konsep imperialisme jauh lebih mampu menjelaskan
fenomena yang berlangsung dibalik konsep globalisasi itu.4
Kaitannya dengan dunia pendidikan, proses globalisasi
mempunyai kepentingan langsung terhadapnya, yaitu sebagai investasi
ideologi untuk mengkampanyekan konsep globalisasi melalui riset-riset dan
seminar yang mereka lakukan, penyuplay (pencetak) buruh industri yang
patuh, pencetak kader-kader globalisasi yang setia mengabdi kepada
kepentingan modal, serta menjadi sumber legitimasi proses globalisasi.
Kemenangan globalisasi dan neo-liberal merupakan hasil kerja
kaum intelektual selama puluhan tahun. Lewat lembaga-lembaga perguruan
tinggi kaum neo-liberal telah berhasil menyusun strategi mereka yang
sukses, merekrut dan memberikan hadiah kepada para pemikir dan penulis
yang pro kepada konsep dan kebijakan ekonomi neo-liberal, mengumpulkan
dana untuk mendirikan dan menyokong luas dari lembaga-lembaga di garis
depan, sehingga menyebar dan mempengaruhi politik diseluruh dunia.5
Bahkan selama 50 tahun di mulai setelah perang dunia II,
ratusan juta dollar telah dikeluarkan untuk mengembangkan institusi-
institusi neo-liberal agar tetap hidup dengan baik. Sebagai contohnya adalah
Yayasan seperti Coors (tempat pembuatan bir), Scaife atau Mellon (baja),
4 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21,( Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2002), hlm. 9. 5 Susan George, Republik Pasar Bebas, ( Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), hlm. 82.
5
dan khususnya Olin (bahan kimia, mesius) yang telah membiayai para
pemimpin dari beberapa Universitas di Amerika yang bergengsi. Mereka
dipilih secara berhati-hati, untuk memperkuat institusi ekonomi, politik dan
kultural dimana perusahaan swasta dilandaskan. Dan daftar para penerima
hibah tersebut terdiri dari akademisi berhaluan kanan.6
Berbagai respon lembaga-lembaga pendidikan dilakukan salah
satunya adalah dengan menggeser fokus kurikulum mereka. Dalam
kebanyakan lembaga pendidikan tinggi para administrator senang
mengembangkan program-program studi yang bersifat praktis. Jurusan-
jurusan sosiologi dan antropologi misalnya mulai memberi penekanan yang
besar pada "sosiologi terapan" dan "antropologi terapan" agar dapat
mengakses pasar kerja (kebutuhan industri akan tenaga kerja ahli) dan untuk
mengatasi menurunnya minat masyarakat pada lembaga pendidikan tertentu
dan bidang-bidang disiplin ilmu tertentu.
Akibatnya para mahasiswa ditekan untuk belajar dengan baik
agar dapat bersaing di pasar kerja setelah tamat. Kondisi ini menjurus
kepada diabaikannya bidang-bidang pengatahuan yang sebenarnya menjadi
indikator (menandai) seseorang yang berpendidikan. Jadi pendidikan yang
berlebihan pada dirinya merupakan paradoks yang mendalam, karena
pendidikan berlebihan di satu pihak sesungguhnya menjurus kepada "kurang
pendidikan" (under-educated) di pihak lain yang justru lebih banyak
berpaling pada bidang-bidang mata kuliah yang lebih praktis yang
dibutuhkan pasar kerja (industri), misalnya administrasi bisnis, ilmu
komputer, teknik mesin, kedokteran dan lain-lain, yang mereka pikir dapat
memberi pekerjaan yang lebih besar. Bahkan banyak mahasiswa yang
semula berorientasi intelektual beralih ke bidang-bidang yang praktis untuk
memenuhi pasar kerja.
Dan ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa justru lebih
banyak berpaling pada bidang-bidang mata kuliah yang lebih praktis yang
6 Ibid., hlm. 88.
6
dibutuhkan pasar kerja (industri), misalnya administrasi bisnis, ilmu
komputer, teknik mesin, kedokteran dan lain-lain, yang mereka pikir dapat
memberi pekerjaan yang lebih besar. Bahkan banyak mahasiswa yang
semula berorientasi intelektual beralih ke bidang-bidang yang praktis untuk
memenuhi pasar kerja.
Dalam kaitanya dengan proses globalisasi yang telah berafiliasi
dan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga pendidikan sebagai bagian
sistem pendidikan, maka arus global diatas juga akan berpengaruh atau
setidaknya mempengaruhi sistem pendidikan di IAIN Walisongo. Dampak
paling buruk dapat terjadi seperti , memudarnya ciri khas lembaga
pendidikan ini yang secara khusus memfokuskan diri pada bidang ilmu yang
selama ini disebut "studi Islam".Sebab lembaga pendidikan ini juga terpaksa
atau dipaksa harus merespon perubahan kecederungan mahasiswa, serta
masyarakat umumnya sebagai akibat dari proses globalisasi terutama untuk
bersaing di pasar kerja. Skripsi ini berusaha menghadirkan sebuah analisa
kritis terhadap dampak-dampak atau pengaruh globalisasi terhadap
pendidikan Islam. Penulis dalam hal ini mengambil setting penelitian di
lembaga pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam yaitu IAIN Walisongo
Semarang. Satu hal yang menarik dari obyek penelitian ini adalah bahwa
IAIN Walisongo berada dalam setting wilayah sosial yang diorientasikan
menuju wilayah atau daerah industri yakni Kota Semarang yang tentunya
akan banyak ditemukan dialektika perguruan tinggi Islam ini terkait dengan
perubahan sosial, politik dan budaya di Kota Semarang.
B. Ruang Lingkup
Agar pembahasan skripsi ini dapat terfokus pada pokok
permasalahan, maka penulis telah merumuskan beberapa pokok
permasalahan yang perlu mendapat pembahasan dan pemecahan dalam
penelitian skripsi ini.
7
Adapun pokok permasalahan dalam pembahasan penelitian
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pandangan dosen di Perguruan Tinggi IAIN Walisongo
Semarang terhadap globalisasi yang sedang berlangsung ?.
2. Bagaiamanakah respon dosen Perguruan Tinggi IAIN Walisongo
Semarang dalam pendidikan di IAIN Walisongo Semarang terkait
dengan globalisasi yang sedang berlangsung ?.
3. Bagaimanakah dampak globalisasi terhadap pendidikan Islam di
Indonesia (Studi Kasus di IAIN Walisongo)?.
C. Tujuan Penelitian /Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah :
1. Tujuan Formal ;
Untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar
sarjana strata 1 dalam ilmu Tarbiyah pada Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang
2. Tujuan Fungsional
a. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan jelas terhadap
substansi politik globalisasi.
b. Untuk menunjukkan kepada publik adanya keterkaitan kuat antara
imperialisme dan kolonialisme dengan substansi politik globalisasi
yang berakibat pada munculnya ketidakadilan sosial dan krisis
kemanusiaan dunia.
c. Untuk mengetahui sejauhmana dampak atau implikasi globalisasi
terhadap pendidikan Islam di Indonseia (studi kasus di Perguruan
Tinggi Agama Islam IAIN Walisongo Semarang).
D. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas maksud yang penulis kehendaki dan untuk
menghindari berbagai kesalahpahaman yang dimaksud dalam penulisan
8
skripsi ini, maka perlu kiranya penulis jelaskan kata-kata yang tercantum
dalam judul Implikasi Globalisasi terhadap Pendidikan Islam (Studi Kasus
IAIN Walisongo Semarang), antara lain ;
Globalisasi ;
Globalisasi adalah pemaksaan hegemoni politik, ekonomi, sosial dan
budaya, dari Amerika Serikat kepada dunia, khususnya dunia timur atau
dunia ketiga, khususnya dunia Islam ; negara manapun yang berani
menentang, akan dihukum dengan embargo atau ancaman militer, atau
bahkan agresi militer langsung sebagaimana terjadi pada Irak, Sudan
Iran, Libya dan Afganistan. Juga pemaksaan ekonomi yang diinginkan
Amerika Serikat melalui organisasi-organisasi internasional yang telah
banyak dikuasainya seperti Bank Dunia, IMF, WTO dan lain-lain. Bisa
juga sebagai pemaksaan budaya Amerika yang khas, yang tegak diatas
filsafat materialisme dan utilitarianisme, menjustifikasi kebebasan hingga
kebatas permisifme, mempergunakan badan-badan PBB untuk
meloloskan proyek itu melalui berbagai konferensi internasional ;
berbagai bangsa digiringnya untuk menyetujui dengan ancaman yang
menakutkan atau dengan janji yang menggiurkan. Globalisasi tidak bisa
diartikan sebagai seorang dengan saudaranya sebagaimana yang
dikehendaki Islam, bukan pula interaksi antara kelompok dengan
mitranya, melainkan ia adalah interaksi antara tuan dengan budaknya,
antara raksasa dengan orang biasa, antara orang kuat dengan orang
tertindas. Globalisasi dalam persepsi yang digaungkan sekarang,
akhirnya direkayasa demi kepentingan negara-negara kuat melawan
negara-negara lemah, negara-negara kaya melawan negara-negara
miskin, negara-negara dalam blok NATO yang perkasa melawan negara-
negara selatan yang papa. Ini wajar belaka karena tidak ada
keseimbangan dalam ring globalisasi, ibarat petinju kelas berat melawan
petinju kelas ringan, bahkan antara petinju yang terlatih dan profesional
melawan petinju yang lemah yang pasti akan jatuh pada pukulan pertama
di ronde pertama. Jadi bagi Qardhawi, globalisasi dalam konsep utuhnya
9
berarti “westernisasi dunia” atau dengan kata lain “Amerikanisasi dunia”.
Ini merupakan istilah santun bagi imperialisme gaya baru yang telah
menanggalkan globalisasi.7
Kemudian bentuk globalisasi dapat diketegorikan menjadi tujuh jenis,
yaitu ;
1. Globalisasi keuangan dan pemilikan modal melalui deregulasi pasar
modal, mobilitas pasar modal internasional, dan merjer serta akuisisi.
2. Globalisasi pasar dan strategi ekonomi melalui integrasi kegiatan
usaha skala internasional, aliansi strategis, dan pembangunan usaha
terpadu di negara lain.
3. Globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan
pengembangan.
4. Globaliasi sikap hidup dan pola konsumsi atau globalisasi budaya.
5. Globalisasi aturan-aturan pemerintah.
6. Globalisasi politik internasional.
7. Globalisasi persepsi dan sosial budaya internasonal.8
Pendidikan Islam ;
Pengertian pendidikan Islam adalah ;
“ Segala usaha memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta
potensi yang ada pada dirinya menuju terbentuknya manusia seutuhnya
sesuai dengan norma Islam (insan kamil).”9
Kemudian dalam buku Konsep Pendidikan Islam, karya Muhaimin, MA.
Menjelaskan bahwa ;
“ Pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar, tujuan –
tujuannya dan prinsip-prinsip dalam melaksanakan pendidikan
7 Mahmud Toha, Globalisasi, Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan,
(Jakarta : Pustaka Quantum, 2003), hlm. 82 8 Ibid., hlm. 4. 9 Ahmadi, Islam sebegai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Salatiga ; Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 1991), hlm. 60-61.
10
didasarkan atas nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an,
Al-Hadist dan ijtihad. “ 10
Ini sejalan dengan hasil Konperensi Internasional Pertama tentang
Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 yang merumuskan tujuan
pendidikan Islam sebagai berikut :
“ Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia
yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri
manusia yang rasional ; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan
harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya ;
spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara
individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke
arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir
pendidikan Muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang
sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh ummat manusia”.11
E. Telaah Pustaka
Hingga sekarang tidak ada suatu pedoman baku dan terstandar
mengenai bagaimana melakukan telaah pustaka. Dalam penelitian kualitatif,
tinjauan pustaka atau tinjauan teori harus digunakan sedemikian rupa
sehingga konsisten dengan asumsi metodologis penelitian kualitatif, yakni
secara induktif, dan tidak mengarahkan secara kaku pertanyaan yang akan
diajukan. 12
Dalam penelitian akademik ini, tinjauan pustaka dan teori akan
memberikan kerangka mengenai bagaimana peneliti akan melihat dan berpikir
10 Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, (Solo : Ramadhani, 1991), hlm. 15. 11 Azyumardi Azra. MA., Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 57. 12 Kristi Purwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Jakarta:
Lembaga Pengembagan Sarana dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001), hlm. 40.
11
tentang topik. Dalam hal ini, kerangka tidak diartikan dalam konsepsi
positivistik sebagai teori yang memberikan batasan kaku. Teori-teori yang
telah ada dan telaah kritis atasnya membantu peneliti menemukan kerangka
pemahaman umum mengenai semua aspek terkait dengan topik penelitian ini.
Teori akan memberikan konsep-konsep, menyediakan asumsi-asumsi dasar,
mengarahkan peneliti pada pertanyaan-pertanyaan pokok, dan memberikan
usulan mengenai bagaimana peneliti memberikan makna pada data. Teori
memungkinkan peneliti menghubungkan studi yang akan, atau sedang
dilakukan dengan tumpukan pengetahuan yang disumbangkan peneliti-
peneliti lain. Analoginya adalah, teori memungkinkan peneliti melihat "hutan"
dari pada sekedar melihat sebatang pohon. Dalam penelitian akademik ini,
teori akan meningkatkan kepekaan peneliti mengenai interkoneksi dan
keberartian lebih luas dari data.
Realitas empirik, penelitian dan penulisan tentang politik
globalisasi telah banyak dilakukan, baik yang dilakukan oleh para akademisi,
jurnalis, maupun LSM. Latar belakang dan kepentingan telah menghasilkan
hasil penelitian dan penulisan yang berbeda. Free market ideas, tak lagi
benar-benar free, sebab perdebatan globalisasi yang ada justru mengarah pada
pemihakan dan penghambaan terhadap proses global tersebut. Sehingga yang
terjadi hanyalah pembelokan-pembelokan terhadap realitas sosial yang tak
terbantahkan. Beberapa hasil penelitian dan penulisan justru menjadi sumber
legitimasi dan justifikasi terhadap proses global atau globalisasi itu. Menurut
hemat peneliti, inilah yang disebut dengan kejahatan intelektual (intelectual
crime) atau perbudakan inteletual, atau proses pembodohan oleh kaum
intelektual.
Dalam bisingnya bisnis ide-ide sumbang itu tak banyak diungkap
tentang relasi ideoligis dan fungsional antara faham neo-liberal (kepentingan
dibalik globalisasi) dengan pendidikan. Dalam latar belakang penelitian ini,
peneliti telah sedikit menguraikan bagaimana relasi yang kuat antara
keduanya, dimana dalam proses globalisasi sistem pendidikan berhasil
ditempatkan sebagai basis ideologi dan sekaligus berfungsi sebagai justifikasi
12
dan legitimasi dari proses global, human resources dari industrialisasi dan
sekaligus sebagai corong campaign dari ideologi neo-leberal. Proses sejarah
politik globalisasi itulah yang sangat jarang di tampakkan oleh para peneliti
dan penulis untuk mengungkap tabir politik globalisasi.
Di Indonesia pun, tidak banyak muncul gagasan kritis, tajam, luas
dan mendalam tentang perubahan yang terjadi dalam pendidikan Islam di
Indonesia yang semakin mendekati kearah kapitalisasi pendidikan. Perlahan
namun pasti sistem pandidikan Islam di Indonesia akan kehilangan wataknya
sebagai suatu kekuatan sosial-kultural (transformasi sosial). Pada zaman
kolonial kita pernah mempunyai sistem pendidikan Islam yang memiliki
nasionalisme dan patriotisme yang sangat tinggi, bahkan menjadi basis
sentral dalam gerakan perlawanan terhadap kolonialis Belanda dan Jepang.
Namun sekarang disadari atau tidak dalam sistem pendidikan Islam di
Indonesia telah mengalami dekadensi. Semangat kritis dan perlawanan
masyarakat perlahan-lahan mulai hilang dan berganti dengan semangat
hedonis - matrealistik (keduaniawiaan). Semua orang menyerah dan merasa
tidak berdaya terhadap realitas ketidakadilan sebagai salah satu dampak dari
globalisasi. Pencapaian pemahaman yang utuh terhadap realitas sosial
masyarakat Indonesia pada masa kolonial telah menghasilkan kesadaran yang
sempurna bagi sistem pendidikan Islam di Indonesia untuk berperan sebagai
agent of change menuju sistem kehidupan yang berkeadilan sosial. Lantas
pertanyaanya adalah sudah sampaikah sistem pendidikan Islam di Indonesia
pada kesadarannya terhadap realitas sosial sebagaimana pada masa kolonial,
atau justru malah gagap dalam memahami realitas sosial untuk mencapai
kesadaran penuh.
Ada beberapa literatur atau telaah pustaka untuk membagikan atau
menginformasikan hasil-hasil penelitian lain yang terkait dengan topik
penelitian ini, untuk memperluas temuan dari penelitian sebelumnya, dan juga
untuk memungkinkan upaya-upaya pembandingan hasil penelitian dengan
temuan-temuan lain.
13
Pertama, Globalisasi Adalah Mitos (terjemahan buku dengan judul
asli Globalitation in Qustion), yang ditulis oleh Paul Hirts dan Grahame
Thompson pada tahun 1996 dan diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia
pada tahun 2001. Buku ini mengungkap dengan sangat vulgar tentang politik
globalisasi. Argumen-argumen yang disampaikan oleh kedua penulis ini
serentak membuka kesadaran baru tentang realitas globalisasi. Menurut
pandangan kedua penulis, bahwa globalisasi hanyalah sebuah mitos, sebab
globalisasi sebenarnya tidak terjadi dalam arti yang sesungguhnya yaitu
sebagai proses pengintegrasian secara global dari aspek-aspek nasional atau
lokal yang berjalan secara alamiah. Sebab dalam proses globalisasi, justru
banyak negara-negara maju atau kapital yang menerapkan hambatan-
hambatan dalam pengintegrasian global untuk mencapai sistem tunggal dan
mereka tetap tunduk pada peraturan-peraturan nasional dinegaranya.
Sementara mereka terus menekan negara-negera berkembang untuk
menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan proses globalisasi. Sehingga
proses global yang terjadi itu dalam kontrol dan tekanan negara-negara
kapital. Maka globalisasi tidak lebih dari upaya menjerumuskan negara-
negara berkembang yang notabene bekas daerah jajahan negara kapital
kedalam hubungan sub-ordinat dan mereka akan kalah dalam persaingan yang
eksploitatif.
Kedua, Imprealisme Abad 21, yang ditulis oleh James Petrans dan
Henry Veltmeyer tahun 2001. Buku ini merupakan terjemahan dari buku yang
berjudul Globalization Unmasked, yang diterbitkan oleh Kreasi Wacana
Yogyakarta pada tahun 2002. Dalam membedah globalisasi, kedua penulis ini
menggunakan imperialisme sebagai sebuah konsep yang mendekati realitas
dalam mendiskripsikan apa yang terjadi di dunia saat ini (globalisasi). Kedua
penulis dalam buku ini mampu menjelaskan relevansi proses globalisasi
dengan sejarah kolonialisme yang berakhir dengan perang dunia I dan II. Di
uraikannya pula bahwa globalisasi merupakan media bagi kaum kolonial
untuk kembali mengulang ambisinya menguasahi dunia. Politik imperialisme
dalam globalisasi di tunjukkan secara gamblang dalam perbedaan penikmatan
14
antara negara kapital /maju dengan negara berkembang. Arah keuntungan
dari relasi yang tercipta dari proses globalisasi terpusat pada negara-negara
maju, sementara negara-negara berkembanga hanya menguasahi sektor-sektor
non strategis dan tidak menguntungkan. Keberadaan negara telah dilucuti
kekuasaanya untuk kemudian di kontrolnya. Privatisasi adalah cara untuk
menguasahi dan melucuti kekuasaan negara. Sehingga sistem globalisasi
dalam hal ini tidak ada bedanya dengan sistem imperialisme pada era
kolonialisme. Proses penundukan, penguasaan serta perampasan potensi
kemampuan suatu bangsa atau negara dalam sistem globalisasi begitu jelas
dipaparkan dalam buku ini. Terdapat pesan yang kuat, yang ingin
disampaikan ke khalayak dunia oleh kedua penulis ini, bahwa globalisasi
adalah neo-imperialisme atau imperialisme.
Ketiga, Menggugat Globalisasi, karya Bonnie Setiawan, yang
ditulis pada tahun 2001 dan diterbitkan oleh INFID (International NGO
Forum Indonesa Development) dengan IGJ (Institut for Global Justice). Buku
ini banyak mengungkap praktek-praktek culas globalisasi di Indonesia lewat
jeratan hutang, yang berakhir dengan bencana kemanusiaan (kemiskinan) dan
bencana lingkungan (akibat praktek eksploitatif) dengan informasi data yang
memadahi. Dalam buku ini, penulis juga memaparkan sejarah globalisasi dan
kaitanya dengan neo-liberalisme. Juga disinggung bagaimana peran
pendidikan dalam rekayasa virus neo-liberalisme hingga berhasil melakukan
kloning antara demokrasi dengan imperealisme. Hasil kloning itu adalah
globalisasi.
Keempat, Tabir Politik Globalisasi, karya William K. Tabb,
diterbitkan New York Press Tahun 2001 dan diterjemahkan Uzair Fauzan
dkk, dan diterbitkan oleh Lafadl Pustaka pada tahun 2003. Buku aslinya
berjudul The Amoral Elephant, Globalitation and The Struggle for Social
Justice in The Twenty-First Century. Buku karangan Willian K. Tabb ini
sangat provokatif dan luar biasa, dengan penjelasan yang ringkas, gampang
dipahami namun tetap rinci. Tabir Globalisasi menggambarkan apa yang
diperbincangkan dalam wacana globalisasi. Bill K. Tabb menyatakan bahwa
15
globalisasi tidak diilhami oleh tujuan kepentingan perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh strategi politik yang didukung oleh aktor-
aktor yang kasat mata dan tujuan militer dalam pembukaan pasar untuk
mencapai keuntungan atas ekspansi modal negara-negara kapital. Bahkan
menurut William K. Tabb, dunia telah digiring menuju krisis lebih lanjut,
lebih rentan, serta menuju kemunculan resistensi yang lebih luas terhadap
globalisasi. Pengajar ilmu ekonomi di Queens College dan Pengajar ilmu
politik di Program Pasca Sarjana Universitas New York ini juga tak mengelak
bahwa praktek globaliasi tidak ubahnya dengan praktek imperialisme. Dia
menegaskan, bahwa kebangsaan para penjajah mungkin berbeda, namun ada
kesamaan pola dominasi dan operasi kuasa. Sehingga ada kontinuitas antara
sistem imperialisme-kolonial dengan sistem imperialisme - neoliberal dalam
wujud globalisasi. Dalam buku ini juga diterangkan bagaimana peran
intelektual dalam memperluas kontrol kekuasaan oleh kaum kapital.
Kelima, Ideologi-Ideologi Pendidikan, yang ditulis oleh William
F.O'neil. buku ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul
Educational Ideologis ; Contemporary Expressions of Educational
Philosophies yang ditulis pengarangnya pada tahun 1981, diterjemahkan oleh
Omi Intan Naomi dan diterbitkan oleh Pustaka Belajar pada tahun 2001.
Buku ini banyak memberikan gambaran analisis terjadinya pergeseran konsep
filosofis suatu pendidikan ke konsep yang lebih ideologis dan mekanis.
Diskripsi yang sekaligus kritik terhadap pendidikan modern sarat dengan
fakta-fakta empirik pendidikan sekarang yang menyedihkan. Diungkapkan
bahwa proses pendidikan modern lebih dekat ke praktek-praktek
dehumanisasi oleh karena ideologi dan kepentingan ekonomi telah menjadi
orientasi. Sehingga pendidikan tidak lain sebagai proses mekanisasi untuk
menciptakan robot-robot dalam memenuhi kebutuhan industrialisasi - proses
ini yang disebut oleh William sebagai anarkisme pendidikan, karena
pendidikan telah merusak potensi kemampuan manusia hingga terjadi
kanalisasi potensi. Kritik tajam dalam buku ini mengajak kita untuk
merefleksikan kembali pendidikan modern yang melepaskan akar sosio-
16
filosofisnya, sehingga buku ini mempunyai relevansi untuk " menjewer "
sistem pendidikan modern di Indonesia.
Keenam, The Post Coorporate World (Kehidupan Setelah
Kapitalisme), ditulis oleh David C. Korten, diterjemahkan oleh A. Rahman
Zaenuddin dari judul aslinya The Post-Corporate World : Life After
Capitalisme dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2002.
Buku ini memberikan sinyal tentang tanda bahaya dari globaliasasi dan
sistem ekonomi neo-liberal, bahwa jika kita tidak ingin hancur dalam
perangkap kapitalisme - krisis Asia pada tahun 1997 dan hutang yang makin
bertumpuk, maka bersegeralah mengubah gaya hidup dan nilai-nilai yang
hedonis - materealistik ke dalam nilai-nilai hidup yang sederhana dan
bermakna. Penulis dalam buku ini juga memberikan pilihan-pilihan sikap
hidup dimulai dari sikap pribadi, keluarga dan masyarakat untuk melawan
atau menangkal dominasi dan hegemoni nilai-nilai kapitalistik dalam relasi
antar manusia dan relasi internasional. Dengan banyak menyajikan
perumpamaan, penulis sangat cakap menggabungkan analisis ekonomi
dengan suatu pandangan realitas yang menggugah rasa kerohaniaan kita
yang terdalam, sehingga buku ini merupakan sebuah peristiwa intelektual
dan moral tingkat tinggi. Penulis mendapatkan kesadaran ini terinspirasi oleh
praktek pertanian masyarakat yang ia jumpai dalam perjalanan kereta api
dari Jakarta ke Bandung. Buku ini menuntun peneliti untuk mendeteksi sikap
paradigmatik pendidikan Islam di Indonesia (studi kasus di IAIN Walisongo
Semarang) terhadap globalisasi yang sebenarnya adalah rezim jahiliyah.
Bagi peneliti buku ini sungguh sangat luar biasa. Kelebihan buku ini banyak
diakui dan dikagumi di kalangan intelektual. Buku ini mampu meghadirkan
perspektif yang komprehensif-holistik dan integral dalam mengurai realitas
ditengah keringnya nilai sipiritual dan keilahian (transedent) dalam hasanah
intelektual sekarang.
F. Tipe dan Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian yang dipakai ;
17
Membahas tipe-tipe penelitian sebenarnya cukup sulit dan
dapat memunculkan perdebatan. Sebab antara buku yang satu dengan
buku yang lain memberikan penggolongan yang berbeda - beda
mengenai tipe penelitian. Ada penulis yang nampaknya menyamakan
antara tipe dengan metode, sementara ada juga penulis yang
membedakan antara tipe dengan metode.
Dalam penelitian ini peneliti lebih sependapat dengan para
penulis yang membedakan antara tipe dengan metode. Menurut Kristi
Purwandarai (2001), istilah ' tipe ' mengacu pada pendekatan, sedangkan
istilah 'metode' mengacu pada cara kongkrit pengumpulan data.13
Adapun penelitian skripsi ini menggunakan tipe (pendekatan) sebagai
berikut :
a. Studi Kasus ;
Yang didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena khusus yang
hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski
batas-batas antara fenomen-fenomena dan konteks tidak
sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran,
kelompok kecil organisasi, komunitas atau bahkan suatu bangsa.
Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu
persitiwa khusus tertentu. Beberapa unit yang dapat diteliti dalam
bentuk studi kasus adalah individu-individu, karakteristik, atau
atribut dari individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau
artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu. 14
Pendekatan studi kasus ini akan membuat peneliti dapat
memperoleh pemahaman utuh dan terintergrasi mengenai inter-
relasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus-kasus tersebut. dalam
13 Ibid., hlm. 64. 14 Ibid., hlm 65.
18
kaitan penelitian ini, tipe studi kasus yang dipilih oleh penulis
adalah tipe studi kasus instrumental.15
b. Etnografi ;
Istilah etnografi, secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu
tentang etnos / 'folk' (kelompok /bangsa /masyarakat /budaya).
Etnografi adalah diskripsi tentang kelompok manusia, berkembang
dari penelitian antrolopologis mengenai kelompok masyarakat
'primitif /eksotis'. Yang dipentingkan dari etnografi adalah peran
sentral budaya dalam memahami hidup kelompok yang diteliti.
Budaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah
laku sosial yang dipelajari anggota kelompok, yang pada
gilirannya menyediakan ;
1. Standar sistem untuk mempersepsi, meyakini, mengevaluai,
dan bertindak.
2. Aturan-aturan dan simbol-simbol dalam pola hubungan dan
interpretasi. Yang diyakini adalah bahwa tindakan, kata,
produk budaya merupakan tanda, mempresentasikan makna
tertentu.16
2. Metode yang digunakan :
Dalam penelitian skripsi ini penulis akan menggunakan
beberapa metode untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan serta dimaksudkan agar hasil penelitian skripsi
ini memenuhi karya ilmiah yang bermutu mengarah pada objek kajian
ilmiah. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah sebagai berikut :
1. Metode Pengumpulan Data;
15 Studi Kasus Instrumental adalah ; penelitian pada suatu kasus unik tertentu yang
dilakukan untuk memhami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan dan memperhalus teori. Ibid.
16 Ibid.
19
a. Dokumentasi
Pengumpulan data lebih mendasarkan diri pada studi dokumen
atau metode untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, arsip dan
sebagainya.17 Dalam hal ini peneliti memakai metode ini untuk
mendapatkan informasi sejarah IAIN Walisongo Semarang dan
perkembangannya, sejarah globalisasi dan perkembangannya,
infomasi tentang kebijakan-kebijakan di IAIN Walisongo
Semarang terkait dengan pandangannya terhadap globalisasi
yang sedang berlangsung.
IAIN Walisongo Semarang dipilih sebagai wilayah penelitian
karena wilayah ini merupakan bagian dari sub sistem
pendidikan Islam di Indonesia. Sejarah kelahirannya
mempunyai hubungan emosi yang kuat terhadap lembaga
pendidikan pesantren dan merupakan bagian strategi untuk
mencegah dan membatasi pertumbuhan komunisme di
Indonesia terutama di Jawa Tengah. Lembaga pendidikan
pondok pesantren inilah pada jaman kolonialisme dan
imprealisme menjadi basis-basis perlawanan dengan semangat
kemanusiaan yang sangat heroik. Ajaran Islam telah
mengajarkan kepada mereka betapa pentingnya nilai-nilai
keadilan dan kemanusiaan bagi seluruh umat manusia dan
harus ditegakkan di muka bumi serta harus diletakkan sebagai
dasar untuk membangun peradaban manusia yang merupakan
kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi.
Selain itu, di IAIN Walisongo Semarang juga belum pernah
dilakukan suatu penelitian sosiologis, terutama berkaitan
dengan tema penelitian ini. Disamping itu peneliti sendiri juga
merupakan mahasiswa Perguruan Tinggi tersebut. Oleh karena
17 Ibid.
20
itu sedikit banyak peneliti telah mempunyai pengetahuan
tentang beberapa hal sehubungan dengan sejarah dan
perkembangannya.
Studi kasus merupakan pilihan metode untuk penelitian
masalah ini. Untuk sasaran materi penelitian ini adalah pada
upaya pembongkaran substansi politik globalisasi dan
prosesnya hingga pengaruhnya terhadap pendidikan islam di
Indonesia. Sedangkan sasaran wilayah penelitian ini adalah
Perguruan Tinggi Agama Islam IAIN Walisongo Semarang.
b. Metode Observasi (pengamatan) ;
Observasi barangkali menjadi metode yang paling dasar dan
paling tua dari ilmu-ilmu sosial, karena dalam cara-cara
tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua
bentuk penelitian kualitatif maupun kuatitatif mengandung
aspek observasi didalamnya.
Istilah observasi diturunkan dari bahasa latin yang berarti
"melihat". Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul,
dan mempertimbangkan hubungan yang muncul dalam
fenomena tersebut. 18
Metode ini dilakukan untuk mendapatkan informasi-informasi
tentang ;
- Kejadian /peristiwa,
- Nilai dan norma,
- Perilaku,
- Kultur atau budaya,
yang pernah dan atau sedang terjadi dalam pendidikan di
IAIN Walisongo Semarang.
18 Ibid., hlm 70.
21
Metode observasi yang dipilih oleh peneliti adalah oservasi
partisipatif, yaitu, metode observasi dengan pelibatan aktif
sasaran obyek penelitian.
c. Metode Purposive Sample (Sampel bertujuan) ;
Adalah sampel diambil berdasarkan pertimbangan subyektif
peneliti, dimana persyaratan yang dibuat sebagai kriteria harus
dipenuhi sebagai sampel. Jadi dasar pertimbangan ditentukan
tersendiri oleh peneliti, dan sampel yang diambil secara
purposive ini peneliti harus :
1. mempunyai pengetahuan yang cukup tentang populasinya.
2. Tepat menentukan sasaran.
3. Menguasai benar-benar materi penelitian dengan segala
permasalahannya.19
Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan,
misalnya alasan, keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga
tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh.20
Pengambilan sampel dengan teknik bertujuan ini cukup baik
karena sesuai dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga
dapat mewakili populasi. Kelemahannya adalah bahwa peneliti
tidak dapat menggunakan statistik parametrik sebagai teknik
analisis data, karena tidak memenuhi persyaratan random.
Keuntungannya terletak pada ketepatan peneliti memilih
sumber data sesuai dengan variabel yang diteliti.21
Metode ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi-
informasi tentang ;
- Perkembangan terkini IAIN Walisongo Semarang.
19 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian – Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta ; PT Rineka
Cipta, 1991), hlm. 31-32 20 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian-Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta ; PT
Rineka Cipta, 1998), cet. ke-11, hlm. 292. 21 Ibid.
22
- Pendangan Dosen di IAIN tentang globalisasi dan
responya dalam pendidikan di IAIN Walisongo Semarang.
- Peristiwa atau kejadian yang pernah dan atau sedang terjadi
di IAIN Walisongo Semarang yang diyakini terkait (secara
langsung maupun tidak langsung) dengan pengaruh
globalisasi.
- Kebijakan-kebijakan yang pernah dan atau sedang
diberlakukan di IAIN Walisongo Semarang terkait dengan
pandangan mereka terhadap globalisasi,
2. Analisis Data ;
Data yang terkumpul dianalisis untuk mendapatkan simpulan-
simpulan pada wilayah sampel (IAIN Walisongo Semarang), setelah
itu dilakukan generalisasi pada populasi (Pendidikan Islam di
Indonesia).
Analisisi kuatitatif yang juga dipergunakan dalam penelitian skripsi
ini akan mendukung analisis kualitatifnya. Singkatnya analisis data
yang dipakai dalam penelitian adalah analisis kualitatif yang
didukung dengan analisis kuantitatif. Banyak peneliti telah berusaha
untuk mengkombinasikan kedua cara analisis ini dalam penelitian
/penyidikan mereka, keduanya akan saling melengkapi.
Setelah data-data diatas terkumpul maka kemudian data dianalisis
dengan menggunakan metode sebagai berikut :
a. Metode Deduktif ;
Yaitu metode atau cara yang dipakai untuk pengetahuan ilmiah
dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah
yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang
bersifat khusus.
Metode akan penulis pergunakan pada bab II dimana dalam
pembahasan bab ini, sebagai landasan teori yang sangat
23
berguna bagi penulis dalam menyajikan pembahasan-
pembahasan berikutnya.
b. Metode Induktif ;
Yaitu metode atau cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dengan titik tolak dari pengamatan atas hal-hal
atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat umum. 22
Metode ini penulis pergunakan dalam bab III dan bab IV, untuk
selanjutnya dari pengungkapan ini penulis memasuki analisis
sebagai pembahasan inti dari skripsi ini.
c. Metode Deskriptif ;
Yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian
pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. 23
Metode ini peneliti pergunakan untuk menemukan data atau
fakta yang kemudian diolah dan ditafsirkan. Metode ini peneliti
pergunakan pada bab III dan IV.
G. Sistematika Penulisan
Berdasarkan pedoman penulisan skripsi yang berlaku di IAIN
Walisongo Semarang, dimana skripsi ini terdiri dari lima bab. Dan untuk
mempermudah pembahasan dan penelaahan terhadap skripsi ini, maka
penulis membuat sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Yang terdiri atas : latar belakang masalah, ruang lingkup
permasalahan, tujuan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka,
metode penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.
22 Suharsini Arikunto, op.cit., hlm. 234. 23 Hadari Nawawi, Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996), hlm. 73.
24
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG GLOBALISASI ;
Yang terdiri atas ; pengertian globalisasi, sejarah dan fase-fase
perkembangan globalisasi, ideologi globalisasi, pelaku dan sistem
globalisasi, serta dampak globalisasi terhadap Pendidikan Islam.
BAB III : GAMBARAN UMUM PERGURUAN TINGGI AGAMA
ISLAM IAIN WALISONGO SEMARANG ;
Mencakup :
A. Gambaran Umum Perguruan Tinggi IAIN Walisongo Semarang
;
sejarah berdirinya Perguruan Tinggi IAIN Walisongo Semarang,
dasar hukum Perguruan Tinggi IAIN Walisongo Semarang,
dasar hukum IAIN Walisongo Semarang, tugas pokok, fungsi,
dan tujuan IAIN Walisongo Semarang, visi, misi dan jati diri
IAIN Walisongo Semarang.
B. Profil dan Kode Etik Dosen dan Mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang, meliputi ;
Profil (citra diri) dosen, profil (citra diri) mahasiswa, kode etik
dosen dan mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
C. Diskripsi pandangan Dosen IAIN Walisongo Semarang tentang
globalisasi dan responnya dalam pendidikan di IAIN Walisongo
Semarang.
BAB IV : IMPLIKASI GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN
ISLAM DI INDONESIA (STUDI KASUS DI IAIN WALISONGO
SEMARANG) .
Bab ini merupakan bab pembahasan atau analisis dari permasalahan
yang merupakan inti dari penelitian skripsi ini, yang mencakup;
analisis pandangan para dosen IAIN Walisongo Semarang terhadap
25
globalisasi dan responya dalam pendidikan di IAIN Walisongo
Semarang, dan analisis implikasi globalisasi terhadap Pendidikan
Islam di Perguruan Tinggi IAIN Walisongo Semarang.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab terakhir ini berisikan kesimpulan, saran-saran
(rekomendasi), dan diakhiri dengan kata-kata penutup.