bab 7 apbn & uln

24
APBN DAN ULN A. APBN 1. Peran dan Penyusunan APBN Jika setiap perusahaan menyusun anggaran pengeluaran dan pendapatannya setiap tahun, maka pemerintah juga berbuat yang sama yang dapat dilihat di dalam anggaran pendapatan dan belanja atau APBN, yang dibuat setiap tahun. Selama orde baru hingga krisis ekonomi 1997/98, APBN disusun dan diumumkan setiap April. Setelah krisis ekonomi 1997/98, tahun fiscal mulai Januari. Berarti dalam beberapa bulan menjelang akhir tahun, semua departemen pemerintah dan lembaga pemerintah nondepartemen sibuk menyiapkan anggaran pengeluarannya, tidak saja yang sifatnya rutin, seperti gaji, subsidi, dan tunjangan pegawai negeri, hingga biaya rutin lainnya untuk menjalankan kegiatan rutin departemen dan lembaga nondepartemen, tetapi juga pengeluaran untuk membiayai proyek-proyek, misalnya proyek pembangunan jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan waduk dari Departemen Pekerjaan Umum (lebih sering disebut Departemen PU), proyek pembangunan kompleks-kompleks atau sentra-sentra industry dari Departemen Perindustrian, dan lain-lain. Anggaran dari setiap departemen dan lembaga non- departemen diserahkan ke Departemen keuangan untuk penetapan jumlah anggaran APBN, yang selanjutnya diusulkan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan dari lembaga tersebut. Karena penyusunan APBN tahun ini adalah untuk tahun depan, maka umum disebut rancangan APBN (atau RAPBN). Jadi, pada tahun 2008 dibuat RAPBN 2009, dan sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2009 menjadi APBN 2009. Seperti telah dijelaskan di bab 6, pemerintah mempunyai suatu peran yang sangat penting di dalam perekonomian Indonesia. Bahkan dalam sejarah Indonesia sejak orde baru hingga sekarang, sering kali

Upload: school

Post on 18-Nov-2014

492 views

Category:

Education


3 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 7 apbn & uln

APBN DAN ULN

A. APBN

1. Peran dan Penyusunan APBN

Jika setiap perusahaan menyusun anggaran pengeluaran dan pendapatannya setiap tahun, maka pemerintah juga berbuat yang sama yang dapat dilihat di dalam anggaran pendapatan dan belanja atau APBN, yang dibuat setiap tahun. Selama orde baru hingga krisis ekonomi 1997/98, APBN disusun dan diumumkan setiap April. Setelah krisis ekonomi 1997/98, tahun fiscal mulai Januari. Berarti dalam beberapa bulan menjelang akhir tahun, semua departemen pemerintah dan lembaga pemerintah nondepartemen sibuk menyiapkan anggaran pengeluarannya, tidak saja yang sifatnya rutin, seperti gaji, subsidi, dan tunjangan pegawai negeri, hingga biaya rutin lainnya untuk menjalankan kegiatan rutin departemen dan lembaga nondepartemen, tetapi juga pengeluaran untuk membiayai proyek-proyek, misalnya proyek pembangunan jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan waduk dari Departemen Pekerjaan Umum (lebih sering disebut Departemen PU), proyek pembangunan kompleks-kompleks atau sentra-sentra industry dari Departemen Perindustrian, dan lain-lain. Anggaran dari setiap departemen dan lembaga non-departemen diserahkan ke Departemen keuangan untuk penetapan jumlah anggaran APBN, yang selanjutnya diusulkan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan dari lembaga tersebut. Karena penyusunan APBN tahun ini adalah untuk tahun depan, maka umum disebut rancangan APBN (atau RAPBN). Jadi, pada tahun 2008 dibuat RAPBN 2009, dan sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2009 menjadi APBN 2009.

Seperti telah dijelaskan di bab 6, pemerintah mempunyai suatu peran yang sangat penting di dalam perekonomian Indonesia. Bahkan dalam sejarah Indonesia sejak orde baru hingga sekarang, sering kali pemerintah berperan sebagai motor utama, jika tidak bias dikatakan satu-satunya, penggerak perekonomian nasional. Salah satu jalur lewat mana pemerintah bias mempengaruhi atau memainkan peran ekonominya dalah lewat kebijakan fiskal. Hal ini dilakukan dengan menaikkan atau mengurangi pengeluarannya, yang di dalam model ekonomi makro Keynesian ditandai dengan variable G atau menaikkan atau menurunkan tariff pajak ditandai dengan variable T (lihat kembali bab 6), dan ini semua tercerminkan oleh besar kecilnya nilai APBN.

Oleh karena itu, dalam menyusun APBN saat ini untuk tahun depan, yang berarti untuk mempengaruhi perekonomian nasional tahun depan, pemerintah harus terlebih dahulu membuat perkiraan-perkiraan mengenai kondisi perekonomian Indonesia dan global tahun depan. Misalnya, perekonomian tahun depan diprediksi akan mengalami resesi, yang sangat mungkin akan berdampak negative terhadap perekonomian Indonesia, karena Indonesia adalah sebuah

Negara dengan sistem ekonomi terbuka,1 maka dalam upaya mengurangi atau menghiangkan dampak tersebut, pemerintah menaikkan anggaran pengeluarannya (di dalam model makro di bab 3: G ↑). Dengan kata lain, dalam mengantisipasi

Page 2: Bab 7 apbn & uln

ekonomi Indonesia yang akan lesu di tahun depan, jumlah G di dalam APBN untuk tahun depan akan lebih besar daripada jumlah G jika tahun depan ekonomi Indonesia cenderung lebih baik dibandingkan tahun ini.

Oleh karena itu, penyusunan RAPBN atau penetapan besarnya pengeluaran dan pendapatan untuk tahun depan didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai nilai dari sejumlah variable ekonomi makro, seperti tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terutama terhadap dolar AS, pertumbuhan ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ingin dicapai dan harga minyak di pasar internasional. Variabel terakhir ini penting karena ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada minyak; jika pada era orde baru lebih pada sisi ekspornya, sekarang ini lebih pada sisi impornya. Dalam kata lain, karena sekarang Indonesia lebih banyak impor daripada ekspor minyak, maka kenaikan harga minyak di pasar internasional akan berdampak negative terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, bukan positif seperti pada era Soeharto.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa besar kecilnya deficit APBN2

mencerminkan sifat dari kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah, yang merupakan pengelolaan terhadap pengeluaran dan penerimaan Negara guna mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempata kerja, stabilitas harga, dan stabilitas posisi eksternal ( yang tercerminkan dalam besar kecilnya deficit neraca pembayaran). Jadi, jika pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal ekspansif, ini tercerminkan dalam peningkatan defisit APBN. Sebaliknya, kebijakan fiskal kontraktif tercerminkan dalam penurunan defisit APBN.

2. Komponen – Komponen Utama APBN

Berdasarkan penjelasan diatas, APBN mempunyai dua komponen besar, yakni anggaran pengeluaran dan anggaran pendapatan. Selanjutnya kedua komponen tersebut masing-masing mempunyai banyak subkomponen seperti yang dapat dilihat di beberapa tabel dibawah ini. Anggaran pendapatan terdiri atas berbagai macam pajak retribusi, royalty, keuntungan BUMN dan berbagai pendapatan non pajak lainnya. Namun demikian yang paling dominan dan sekaligus paling krusial sebagai instrumen fiscal dari sisi penerimaan adalah pajak. Untuk tahun 2008 penerimaan pajak ditargetkan tumbuh 26,6% menjadi Rp. 523,85 triliun diatas perolehan tahun 2007 yang mencapai Rp. 426,23 triliun. Tabel dibawah menunjukkan penerimaan pajak untuk periode 2002 – 2007. dapat dilihat bahwa penerimaan pajak termasuk PPh migas sempat mengalami pertumbuhan cukup tinggi yakni mendekati 25% pada tahun 2005 atau hampir 22% tanpa PPh Migas. Selanjutnya realisasi penerimaan pajak 2007 menunjukkan bahwa sumbangan terbesar berasal dari PPh Migas disusul kemudian oleh PBB dan BPHTB.

Page 3: Bab 7 apbn & uln

Tabel 7.1Perkembangan Penerimaan Pajak, 2002 – 2007 (Rp triliun)

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Pajak termasuk PPh Migas- pertumbuhan (%)Pajak Tanpa PPh Migas- pertumbuhan (%)

176,2012,82159,1719,60

204,1515,86185,3716,46

238,9817,06216,0416,55

298,3424,84263,3521,90

358,0520,01314,8619,56

426,2319,04385,2221,39

Sedangkan anggaran pengeluaran terdiri atas dua sub komponen besar yakni pengeluaran pemerintah pusat dan pengeluaran pemerintah daerah. Yang terakhir ini mulai berlaku sejak penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal yang dapat dibagi lagi menjadi dua komponen yakni dana perimbangan dan dana penyesuaian dan otonomi khusus. Sedangkan anggaran pengeluaran pemerintah pusat meliputi gaji pegawai negeri, pengeluaran material, investasi, pembayaran bunga pinjaman, subsidi dan lain-lain.

Sebagai suatu ilustrasi empiris pada tabel dibawah menjabarkan ringkasan APBN tahun 2004 (realisasi) dan APBN 2005 (revisi). Dapat dilihat bahwa komponen terbesar dari pendapatan domestik adalah pajak dalam negeri yang tahun 2004 mencapai sekitar 13% dari PDB dan sedikit menurun ke 11,7% di dalam revisi APBN 2005. Secara keseluruhan jumlah pendapatan pajak diperkirakan akan meningkat dari Rp. 272,2 triliun tahun 2004 ke 319,4 triliun tahun 2005, walaupun persentasenya dalam PDB menurun dari hampir 14% ke sekitar 12%. Jumlah pengeluaran pemerintah juga meningkat, walaupun pangsa PDB-nya mengecil dari hampir 19% tahun 2004 ke hampir 18% tahun 2005. dilihat dari saldo keseluruhannya defisit APBN selama periode tersebut berkurang baik dalam nilai maupun persentase terhadap PDB yang mencerminkan kebijakan fiscal kontraktif.

Tabel 7.2Ringkasan APBN, 2004 dan 2005 (miliar rupiah)

Penjelasan APBN 2004% terhadap

PDBRevisi

APBN 2005% terhadap

PDBA. Jumlah pendapatan & hibah 349.933.7 17.5 443.786.7 17.1 I. Pendapatan domestik 349.299.5 17.5 438.024.9 16.8 1. Pendapatan pajak 272.175.1 13.6 319.440.5 12.3 A. Pajak dalam negeri 260.223.9 13.0 305.069.0 11.7 B. Pajaki perdagangan Internasional 11.951.2 0.6 14.371.5 0.6 2. Pendapatan nonpajak 77.124.4 3.9 118.584.4 4.6 a. Pendapatan sumber daya alam 47.240.5 2.4 87.677.8 3.4 b. keuntungan dari BUMN 11.454.2 0.6 8.913.3 0.3 c. Pendapatan nonpajak lainnya 18.429.8 0.9 21.993.3 0.8 II. Hibah 634.2 0.0 5.761.8 0.2B. Pengeluaran 374.351.3 18.7 463.331.9 17.8 I. Pengeluaran pemerintah pusat 255.309.0 12.8 322.438.0 12.4 II. Pengeluaran daerah 119.042.3 6.0 140.893.9 5.4 I. Dana perimbangan 112.186.9 5.6 133.651.4 5.1 II. Dana penyesuaian dan otonomi khusus

6.855.4 0.3 7.242.5 0.3

Page 4: Bab 7 apbn & uln

C. Saldo primer 41.233.5 2.1 40.188.9 1.5D. Saldo keseluruhan (A-B) (24.417.5) 1.2 (19.545.2) 0.8E. Pendanaan 24.417.5 1.2 19.545.2 0.8 I. Pendanaan dalam negeri 40.556.3 2.0 25.125.5 1.0 1. Bank-bank domestik 19.198.6 1.0 (3.460.2) 0.1 2. Nonbank domestik 21.357.7 1.1 28.585.8 1.1 II. Pendanaan luar negeri (16.138.7) 0.8 (5.580.3) 0.2 1. Penarikan bruto 28.237.0 1.4 29.138.6 1.1 a. Pinjamam program 8.500.0 0.4 7.565.0 0.3 b. Bantuan proyek 19.737.0 1.0 21.573.6 0.8 2. Amortisasi (44.375.7) 2.2 (34.718.9) 0.8PDB 1.999.663.9 2.599.800.0

Rincian pengeluaran pemerintah dijabarkan pada tabel dibawah ini. Ada beberapa hal yang menarik dari tabel ini. Pertama realisasi tahun 2004 menunjukkan bahwa komponen terbesar dari pengeluaran pemerintah pusat adalah pembayaran bunga pinjaman yang nilainya mencapai hampir Rp. 65,7 triliun, disusul kemudian oleh pengeluaran personalia seperti gaji pegawai negeri yang tercatat sekitar 57,2 triliun. Kedua beban pemerintah untuk membayar bunga utang paling besar adalah dari dalam negeri bukan utang luar negeri (ULN). Ketiga tahun 2005 subsidi yang harus diberikan oleh pemerintah pusat mengalami suatu penambahan yang signifikan yang mencapai Rp. 60 triliun lebih dibandingkan hanya sekitar Rp. 26,6 triliun tahun 2004 yang sebagian besar untuk BUMN, khususnya PT. Pertamina. Keempat beban pemerintah pusat akibat pelaksanaan otonomi daerah lewat dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) semakin besar.

Rincian penerimaan dapat dilihat di tabel berikut yang juga menunjukkan beberapa hal yang menarik. Pertama dari komponen pajak, pajak pendapatan adalah yang terbesar yang tahun 2004 sekitar 6,7% dari PDB, berdasarkan revisi 2005 menurun ke 6,0% walaupun dalam nilai membesar. Kedua, dari sektor luar negeri, bea impor juga menurun dalam persentase terhadap PDB, walaupun nilai totalnya meningkat. Dalam jangka panjang, sumbangan dari bea impor terhadap pemasukan total pemerintah akan menyusut karena semakin tinggi ketergantungan ekonomi Indonesia pada impor dan nantinya pada saat kesepakatan Indonesia (seperti juga negara-negara berkembang lainnya) dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai liberalisasi perdagangan internasional dilaksanakan sepenuhnya yang paling lambat pada tahun 2020, tidak lagi ada bea impor (terkecuali jika ada kasus-kasus spesial yang harus disetujui dulu di dalam WTO). Ketiga, ternyata keuangan pemerintah masih sangat tergantung pada pemasukan dari sektor migas, yang selama periode yang sama bukan hanya rasionya terhadap PDB tetapi juga nilainya mengalami peningkatan. Keempat sumbangan dari keuntungan BUMN terhadap pendapatan pemerintah sangat kecil dan bahkan menurun.

Tabel berikut memberi rincian mengenai pengeluaran pemerintah menurut sektor. Alokasi sektoral dari anggaran pemerintah harus disesuaikan dengan tujuan dan target yang akan dicapai dari pembangunan jangka panjang walaupun dalam praktiknya tidak selalu demikian. Jika suatu negara mempunyai visi untuk

Page 5: Bab 7 apbn & uln

menjadi suatu negara industri maju, maka ada tiga sektor yang harus mendapatkan prioritas tertinggi dalam penyebaran anggaran pembangunan sektoral yakni sektor industri itu sendiri, pendidikan serta ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi (iptek). Jika misalnya sektor industri mendapatkan porsi yang sangat besar sementara pendidikan dan iptek sangat kecil, maka akan sangat sia-sia saja. Pengalaman yang panjang dari negara yang sekarang dikenal sebagai negara-negara industri maju seperti AS, Jepang, Kanada, Jerman, Inggris dan banyak lagi, termasuk negara-negara industri baru Asia Timur dan Tenggara seperti Korsel dan Taiwan, membuktikan bahwa tanpa pembangunan iptek yang kuat tidak mungkin suatu negara bisa menjadi negara industri maju.

Melihat kenyataan bahwa Indonesia adalah negara pertanian, idealnya Indonesia harus menjadi suatu negara industri berbasis pertanian. Oleh karena itu, pertanian dan industri plus pendidikan dan iptek harus mendapatkan porsi yang besar dari anggaran pembangunan, bahkan lebih besar dari sektor-sektor lainnya. Alokasi pengeluaran pembangunan yang pincang selama ini memang merupakan salah satu penyebab masih lemahnya Indonesia dalam hal iptek.

3. APBN Realisasi versus APBN Revisi

Beberapa tabel sebelumnya menunjukkan adanya dua versi APBN yakni APBN realisasi dan APBN revisi. APBN yang direvisi umum disebut APBN Perubahan atau APBN-P. memang seringkali APBN yang sedang berjalan terpaksa di revisi untuk penyesuaian terhadap perubahan kondisi ekonomi, terutama global karena sejak pemerintahan orde baru Indonesia menerapkan sistem ekonomi terbuka dan sejak itu hingga sekarang perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan perekonomian global lewat tiga saluran utama, yakni perdangann luar negeri, investasi asing dan bantuan luar negeri.

Selain itu revisi juga sering kali diperlukan karena munculnya masalah-masalah di dalam negeri yang tidak terduga yang sangat memerlukan bantuan besar dari pemerintah, misalnya bencana alam. Selama tahun 2005 yakni gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias, tingginya harga minyak di pasar internasional, melemahnya nilai tukar rupiah karena pergolakan dollar AS di pasar internasional, munculnya kasus-kasus virus flu burung dan bom bunuh diri di Jimbaran Bali. Juga dalam hal dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk orang miskin, jumlah keluarga miskin yang terjaring dalam survei BPS hingga 18 Oktober 2005 meningkat menjadi 16,5 juta jiwa atau bertambah 1 juta keluarga dari target awal. Peningkatan ini bisa memaksa pemerintah untuk merivisi penyusunan anggaran APBN 2006 (karena 2005 sudah hampir selesai), karena anggaran yang tersedia hanya cukup untuk 15,5 juta keluarga miskin. Semakin baik revisinya semakin kecil perbedaan antara anggaran dan realisasinya.

Tabel berikut menjabarkan APBN 2006 setelah disesuaikan dan RAPBN 2007. dapat dilihat bahwa APBN-P 2006, besarnya pendapatan pemerintah mencapai hampir 21% dari PDB dan pengeluaran pemerintah sedikit lebih besar, yakni tercatat sekitar 22% dari PDB. Sedangkan dalam RAPBN 2007 besarnya pendapatan maupun belanja negara lebih rendah masing-masing sekitar 20% dan

Page 6: Bab 7 apbn & uln

21% dari PDB. Namun pengeluaran maupun pendapatan pemerintah bisa berubah menjadi lebih besar daripada APBN-P 2006 tergantung kondisi perekonomian Indonesia dan global selama tahun 2007.

Namun demikian revisi tidak selalu berarti beban pemerintah semakin berat atau pengeluaran atau defisit APBN yang direvisi tidak harus selalu lebih besar dari anggaran semula, tergantung penyebab utama dilakukannya revisi dan metode perhitungannya serta asumsi-asumsi baru yang menjadi dasar revisi. Dalam kata lain revisi terhadapAPBN yang sedang berjalan atau yang telah disetujui tidak harus karena kondisi perekonomian yang memburuk atau karena ada musibah.

Pada tahun 2008 pemerintah juga melakukan revisi, bahkan rencana perubahan sudah muncul sejak Januari, yang berarti APBN 2008 baru berjalan sebulan. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dipasaran dunia yang semakin sulit diprediksi. Revisi bisa dilakukan dengan atau tanpa kebijakan. Selain itu pemerintah waktu merencanakan mengambil 9 langkah pengamanan yaitu optimalisasi perpajakan, pendapatan negara bukan pajak dan deviden BUMN penggunaan dana cadangan APBN penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian dan lembaga non departemen, perbaikan parameter produksi dan subsidi BBM dan listrik, efisiensi di Pertamina dan PLN, pemanfaatan dana kelebihan di daerah, penerbitan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN), pengurangan beban-beban pajak atas komoditas pangan strategis dan penambahan subsidi pangan.

Namun menurut Kompas pemerintah memangkas target defisit APBN-P 2008 dari semula 2.1% terhadap PDB menjadi 1,7% atas PDB atau senilai Rp. 78,1 triliun sehingga turun Rp. 16,4 triliun. Pemangkasan ini dilakukan karena realisasi pengeluaran pemerintah atau juga disebut belanja negara ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan yang telah dihimpun oleh Departemen Keuangan. Dengan demikian jumlah dana yang terhimpun hingga saat itu sudah sekitar Rp. 608 triliun. Sedangkan realisasi belanja negara hingga periode yang sama telah mencapai 46% dari target APBN-P 2008 yang di alokasikan sebanyak Rp. 989,5 triliun.

Memang subsidi khususnya untuk BBM dan listrik merupakan beban yang berat selama ini bagi APBN. Dapat dilihat besarnya pengeluaran pemerintah pusat untuk dua jenis subsidi tersebut untuk dua tahun fiscal berturut-turut. Harga minyak dunia yang terus meningkat sejak 2007 dengan sendirinya memberikan tekanan semakin berat terhadap APBN. Menurut Kompas tekanan lain datang dari konsumsi BBM tahun 2008 yang diperkirakan waktu itu melampaui kuota yang dipatok dalam APBN-P 2008 membatasi alokasi subsidi BBM hingga Rp. 143,9 triliun. Angka ini menggunakan asumsi basis harga minyak mentah Indonesia sebesar 100 dollar AS per barrel dan volume BBM bersubsidi sebanyak 37 juta kiloliter.

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu, Anggito Abimanyu (Kompas, Selasa 19/8/2008), pemerintah mengalokasikan anggaran dana

Page 7: Bab 7 apbn & uln

cadangan sebanyak Rp. 8 trilliun untuk mengatisipasi resiko fiskal yang bisa terjadi akibat pembengkakan volume konsumsi BBM bersubsidi serta melesetnya asumsi ekonomi makro pada tahun 2009. Menurutnya, dalam struktur RAPBN 2009, jika komsumsi BBM bertambah 1 juta kiloliter dalam satu tahun, akan mengakibatkan peningkatan defisit anggaran senilai Rp. 1,6 trilliun. Adapun jika terjadi kenaikan asumsi harga minyak sebesar 10 dolar AS per barrel, akan menambah defisit sekitar Rp. 1 trilliun. Juga resiko fiscal bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi Indonesia terealisasi pada akhir tahun 2009 lebih rendah 0,1% dari target RAPBN 2009 sebesar 6,2%, sementara harga dan volume penggunaan BBM terus meningkat, defisit APBN 2009 akan bertambah sebesar Rp. 0,46 trilliun hingga Rp. 0,54 trilliun.

Satu hal lainnya yang penting dari RAPBN 2009 adalah bahwa pada tahun 2009 pemerintah akan menerapkan kebijakan fiscal ekspansif.10 Hal ini dapat dilihat dari besarnya selisih antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah dalam rupiah. Penerimaan dalam rupiah tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp. 888,1 trilliun atau meningkat 12,9% dibandingkan tahun 2008. sedangkan pengeluaran pemerintah dalam rupiah diproyeksikan mencapai Rp. 1.178,6 atau naik hampir 11% di atas pengeluaran rupiah pemerintah pada tahun 2008. dengan demikian, transaksi keuangan pemerintah pada tahun 2009 akan mengalami ekspansi sekitar Rp. 290,5 trilliun.

Namun demikian, realisasi tidak selalu sama seperti yang ditargetkan. Bahkan realisasi defisit APBN sering lebih kecil daripada targetnya. Ini bisa artinya, dari sisi pengeluaran, realisasinya lebih kecil dari anggaranya, atau, dari sisi pemasukan, realisasinya lebih besar dari target semula. Kemungkinan terakhir ini bisa disebabkan oleh berbagai hal yang membuat penerimaan negara meningkat yang tidak diantisipasi sebelumnya. Misalnya, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang pada awal Oktober 2008 telah menembus Rp. 9500 per satu dolar AS secara umum akan memberi keuntungan kepada APBN 2008, karena penerimaan negara dari hasil penjualan minyak akan meningkat, sementara baban belanja subsidi BBM akan turun. Seperti yang dapat dilihat di tabel 7.10, perkiraan realisasi hasil penjualan minyak bumi dan realisasi penerimaan PPh migas akan lebih tinggi daripada targetnya dalam APBN-P 2008.

Sedangkan kemungkinan pertama itu biasanya terkait dengan masalah penyerapan anggaran yang rendah. Menurut Kompas (Senin, 7 Juli 2008), sampai dengan 30 Juni 2008, realisasi belanja negara baru Rp.363,57 trilliun atau sekitar hampir 36,5% dari pagu anggaran APBN-P 2008. Realisasi anggaran belanja pemerintah pusat dilaporkan mencapai Rp. 246,7 trilliun atau 35,41% dari pagunya,11 sedangkan realisasi transfer ke daerah tercacat sebesar Rp. 117,04 trilliun atau 40% dari pagunya, dana alokasi umum (DAU) yang telah digunakan sudah 50%, dana alokasi khusus (DAK) sudah mencapai 30%, dan dana bagi hasil (DBH) sudah terealisasi 23%. Anggaran belanja modal dan barang pemerintah yang merupakan indikator invesatasi riil pemerintah terhadap ekonomi nasional hingga tanggal tersebut juga belum banyak digunakan, yakni masing-masing baru dicairkan 18% dan 23% dari paguAPBN-P 2008.

Page 8: Bab 7 apbn & uln

Sementara dari sisi penerimaan, penerimaan dalam negeri telah mencapai Rp. 424,59 trilliun atau 47,6% dari pagunya. Penerimaan perpajakan (termasuk penerimaan pajak, bea masuk, dan cukai) dilaporkan mencapai Rp. 307,5 trilliun atau sedikit diatas 50% dari pagu APBN-P 2008. Adapun penerimaan negara bukan pajak terealisasi sebesar Rp. 117,1 trilliun atau sekitar 41,4% dari pagunya.

Rendahnya penyerapan anggaran pengeluaran pemerintah bisa karena sejumlah penyebab. Penyebab yang sering terjadi adalah karena adanya revisi pada DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) sehingga ada tender proyek yang tertunda. Salah satu kasus adalah yang dialami Departemen PU yang menangani pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam negeri. Menurut berita di Kompas (Selasa, 7 Oktober 2008), sehingga akhir September 2008, penyerapan anggaran departemen itu masih 49,5% (atau sekitar Rp.16trilliun) dari anggarannya tahun 2008 sebesar Rp. 32.8 trilliun. Padahal, departemen tersebut mencanangkan hingga akhir bulan tersebut penyerapanya akan mencapai 75%. Setidaknya departemen itu harus menghabiskan anggaran Rp. 200 milliar per hari agar penyerapan anggaran mencapai 100%12. Penyebab lainnya, akibat birokrasi di dalam depatemen atau perdebatan yang berlarut-larut di internal pemerintah sendiri dalam penyaluran beberapa pos anggaran utama. Menurut Kompas yang sama tersebut, pos anggaran yang terhambat, antara lain penyaluran dana bergulir untuk usaha mikro, kecil, dan menengah melalui Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM serta dana Pemilihan Umum (PU) 2009 melalui KPU.

4. Sumber Pendanaan Defisit APBN

Defisit APBN dapat didanai lewat berbagai sumber, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dari luar negeri bisa dalam bentuk untang luar negeri (ULN) atau lewat penerbitan obligasi. Dari dalam negeri, bisa dari perbankan berupa pinjaman atau kredit bank atau penggunaan sisa anggaran lebih (SAL) tahun-tahun anggaran sebelumnya yang tersimpan pada rekening-rekening pemerintah, baik di bank-bank umum maupun Bank Indonesia, dan non-perbankan, misalnya penerimaan hasil divestasi saham pemerintah pada BUMN dan penerimaan privatisasi BUMN, penjualan obligasi atau surat utang pemerintah (fiskalisasi), dan penyertaan modal pemerintah

Tabel 7.11 memberikan secara lebih rinci sumber-sumber pendanaan pendapatan defisit APBN untuk tahun fiscal 2004 dan 2005. kelihatannya pemerintah pada periode tersebut masih tergantung pada ULN untuk membiayai sebagian dari defisit anggaranya. Selama ini bagian terbesar dari pendanaan luar negeri adalah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, seperti pembangunan waduk, pelabuhan, jalan raya, saluran listrik dan telekominikasi, dan irigasi. Sedangkan, dari sember dalam negeri, dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah berusaha mendapatkan dana dari masyarakat (nonblank) lewat penerbitan obligasi. Pendanaan dari bank domestik tercatat hanya sekitar 1% dari PDB tahun 2004 dan menurun dratis menjadi 0,1% berdasarkan revisi 2005. sedangkan pendanaan dalam negeri dari masyarakat lewat obligasi dari 0,65% tahun 2004 ke 0,8% tahun 2005 dari PDB.

Page 9: Bab 7 apbn & uln

Namun demikian, dalam dua tahun terakhir ini, pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan pada ULN dan lebih mempriorotaskan pada pembiayaan dalam negeri. Menurut Susanto (2008), sumber terpenting pembiayaan defisit APBN 2008 salah Satunya adalah pendanaan utang dengan penerbitan SUN, baik domestik maupun global (Gambar 7.3 & Gambar 7.4). Pada saat APBN 2008 direvisi, pembiayaan defisit anggaran melalui SUN yang jatuh tempo tahun 2008, yakni sebesar Rp.117,8 trilliun. Jika dijumlahkan denga total SUN yang harus diterbitkan mencapai Rp. 154,8 trilliun. Susanto menyebutkan bahwa hingga juni 2008, pemerintah telah menerbitkan SUN senilai Rp.76,6 trilliun dan obligasi global sebesar 4,2 milliar dollar AS atau setara dengan Rp. 39,4 trilliun sehingga total dana yang telah diraih pemerintah mencapai Rp. 116 trilliun. Jumlah ini sekitar 75% dari total target obligasi pemerintah tahun 2008. Menurut Kompas (Selasa, 19 Agustus 1998), sumber pembiayaan utama RAPBN 2009 adalah penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sesuai rencana SUN tahun 2009 mencapai Rp.112,5 trilliun atau sekitan 2,1% dari PDB. SUN lebih diandalkan sebagai sumber utama pembiayaan defisit APBN untuk tahun 2009 karena, selain perlunya mengurangi ketergantungan pada UNL, juga karena sumber non-utang seperti previtisasi dan penjualan aset PT.Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sudah tidak dapat diandalkan lagi. Terutama karena adanya kebutuhan pembiayaan non-utang lainnya yang harus di penuhi, seperti penyertaan modal negara dan pembiayaan pembangunan Infrastuktur yang sangat mendesak. Pada tahun 2008 pemerintah, masih bisa mengandalkan sumber-sumber pembiayaan non-utang, terutama dana di rekening pemerintah previtisasi BUMN, dan penjualan aset negara PPA dan Ditjen kekayaan negara.

Tabel 7.11Pendanaan Defisit Keuangan Pemerintah, 2004 dan 2005 (milliar rupiah)

B. UTANG LUAR NEGERI

Sejak krisis utang luar negeri (ULN) dunia pada awal 1980 an masalah ULN yang mengalami oleh banyak negara sedang berkembang (NSB) tidak semakin baik. Banyak NSB semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian struktural terhadap ekonomi mereka atas desakan dari Bank dunia dan dana moneter internasional (IMF), sebagai surat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama (Tambunan, 2001)14.

Tingginya UNL dari banyak NSB disebabkan terutama oleh tiga jenis defisit : defisit transaksi berjalan (TB)atau di dalam literatur umum disebut tradegap, yakni ekspor (X) lebih sedikit dari pada impor (M), defisit investasi atau I – S gap, yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi (I) dalam negeri lebih besar daripada tabungan nasional atau domestik (S), dan defisit fiscal (fiscal gap). Dari faktor-faktor tersebut, defisit TB sering disebut didalam literatur sebagai penyebab utama memungkatnya UNL dari banyak NSB. Bedarnya defisit TB melebihi surplus neraca modal (CA) (kalau saldonya memang positif) mengakibatkan defisit neraca

Page 10: Bab 7 apbn & uln

pembayaran (BoP), yang berarti juga cadangan devisa (CD) berkurang. Apabila saldo TB setiap tahun negatif, maka CD dengan sendirinya akan habis jika tidak ada sumber-sumber lain (misalnya modal investasi dari luar negeri), seperti yang dialami oleh negara paling miskin di benua Afrika. Padahal devisa sangat di butuhkan terutama untuk membiayai impor barang-barang modal dan pembantu untuk kebutuhan kegiatan produksi di dalam negeri.

Dari uraian di atas,dapat di mengerti bahwa defisit TB yang terjadi terus-menerus membuat banyak NSB harus tetap bergantung pada pinjaman luar negeri (PLN) dengan investasi,misal nya dalam bentuk penanaman modal asing (PMA)

Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini tingkat ketergantungan Indonesia pada ULN tiak pernah menyurut, bahkan mengalami suatu akselerasi yang pesat sejak krisis ekonomi 1997/98,karena pada periode tersebut pemerintah Indonesia terpaksa membuat utang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai pemulihan konomi .Pada masa normal selama pemerintahan Soeharto,ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai defisit investasi,defisitTB,dan beberapa komponen dari sisi pengeluaran pemerintah di dalam APBN.

Ketiga defisit tersebut,yang berkaitan satu sama lainnya (Dornbusch,1980),dapat disederhanakan di dalam sebuah model yang terdiri atas beberapa persamaan berikut.

TB = (X- M) + F (7.1)

dimana X =eksporbarang dan jasa, M = Impor barang dan jasa,dan F =transfer internasional atau arus modal masuk netro.

S - I = Sp + Sg – I = ( Sp - I ) + (T – G) (7.2)

di mana ;S =tabungan, I = investasi atau pembentukan modal tetap bruto, Sp = tabungan individu/rumah tangga dan perusahaan, Sg = tabungan pemerintah, T = pendapatan pemerintah (pajak dan nopajak) dan G = pengeluaran pemerintah.

S= Sp + Sg (7.3) Sg = T – G (7.4)

Ekonomi domestik dalam kondisi keseimbangan (saat permintaan agregat = penawaran agregat), dimana setiap tabungan domestik neto (= S – I) tercermin dalam akumulasi aset luar negeri neto (X + F – M), maka identitas TB dapat ditulis sebagai berikut :

S – I = X + F – M (7.5) Atau (Sp – I) + (T – G) = X + F – M (7.6)

Berdasarkan persamaan (7.2), surplus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN (yaitu T – G >0) dapat dianggap sebagai bagian dari surplus tabungan investasi (S – I>0), atau defisit anggaran pemerintah, atau fiscal gap (Tγ - G <0) adalah sebagian dari defisit S-I. persamaan (7.5) menunjukkan bahwa surplus TB (X-

Page 11: Bab 7 apbn & uln

M>0) sama dengan surplus S-I di dalam negeri yang memberi pengertian bahwa defisit dalam CD merupakan bentuk dari S dari luar negeri. Persamaan (7.6) memperlihatkan bahwa surplus Tb sama dengan perbedaan S swasta yang melebihi I ditambah surplus APBN.

Arus modal masuk atas arus PLN atau ULN dan investasi. Arus ULN terdiri atas utang jangka panjang, ULNLR (lebih dari 1 tahun), dan utang jangka pendek, ULNSR

(kurang dari atau hingga 1 tahun). Arus investasi dari luar negeri bisa dalam bentuk PMA (disebut investasi langsung atau jangka panjang) dan investasi portofolio (disebut investasi tidak langsung atau jangka pendek). Perubahan CD (R-R -1)dapat didefinisikan sebagai perubahan saldo TB ditambah perubahan CA atau perubahan jumlah ULN dan arus investasi, atau :

ULNLR + ULNSR = PMA + IP + TB = R – R -1 (7.7)Apabila ULNLR di istilahkan sebagai persediaan (stok), sebut L, dan tidak ada tunggakan (Alun, 1992), maka jumlah ULNLR pada tahun, misalnya 2003, adalah perubahan stok pada tahun tersebut, atau :

L – L -1 = ULNLR (7.8)

Maka dapat diperoleh :

(L-L -1)- (R-R -1)= - TB-ULNSR – PMA-IP (7.9)

Selain itu, perkembangan ULN dapat dianalisis melalui pendekatan permintaan dan penawaran mata uang. Dasar teorinya adalah sebagai berikut: derajat keterutangan luar negeri dari sebuah negara ditentukan oleh tingkat optimalisasi dalam penggunaan dana yang ada oleh masyarakat di negara tersebut dengan kesempatan yang ada untuk meminjam uang dari pasar internasional dan pilihan yang ada antara mengkonsumsi dan menanam modal (Alun, 1992). Selanjutnya, berdasarkan kerangka teori mikro mengenai model optimasi dua periode, analisis optimalisasi dapat juga diterapkan pada tingkat makro. Analisis diawali dengan persamaan mengenai identitas pendapatan.

Y=C+I+G+X-M (7.10)

Dimana Y=pendapatan nasional, dan C=konsumsi rumah tangga (variabel-variabel lainnya telah dijelaskan di atas).

Seperti di dalam model optimasi, korelasi antara investasi (I) dan tingkat suku bunga ® adalah negatif: semakin tinggi suku bunga, semakin mahal biaya alternatif dari investasi, semakin kecil nilai investasi. Sedangkan, relasi antar investasi dan pendapatan (Y) adalah positif: semakin besar investasi, variabel-variabel lainnya dari permintaan agregat tetap tidak berubah, semakin tinggi tingkat pendapatan. Namun, relasi antara investasi dan pendapatan (atau output agregat) bisa dua arah. Dari arah yang lain, semakin tinggi pendapatan, semakin besar kemampuan negara bersangkutan melakukan investasi. Korelasi antara variabel r dan variabel Y dengan variabel I dapat dirumuskan sebagai berikut :

Page 12: Bab 7 apbn & uln

I=i1Y-I2r (7.11)

Selanjutnya, dengan asumsi bahwa pengeluaran domestik (konsumsi dan investasi) adalah suatu fungsi positif dari pendapatan, maka defisit APBN (G-T) dan ULN neto:

A=a1Y + a2(G-T) + a3ULN (7.12)

Atau relasinya bisa juga sebagai berikut :

ULN = b1Y + b2A +b3(G-T) (7.13)

Relasi dalam persamaan (7.13) dapat dijelaskan dengan suatu contoh sebagai berikut. Kenaikan pendapatan dan selanjutnya belanja masyarakat cenderung menaikkan impor, baik barang konsumsi maupun barang modal dan penolong (atau umum disebut produk-produk antara) serta bahan baku untuk keperluan industri dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya di dalam negeri. Di banyak NB, impor selalu lebih besar daripada ekspor, sehingga kenaikan impor cenderung menaikkan ULN. Kenaikan defisit APBN juga cenderung meningkatkan arus ULN. Terkecuali jika pemerintah tidak mempunyai akses ke pasar uang internasional atau bantuan dari pemerintah negara lain.

Menurut Sachs (1981, 1982)negara yang mempunyai masalah dalam pelumasan ULN-nya cenderung untuk tidak menunda membayar utangnya karena pilihan menunda akan menghadapi resiko gangguan dalam perdagangan internasional dan arus modal masuk. Oleh karena itu, kenaikan dalam pelumasan utang (LS) cenderung menaikkan ULN. Jadi, mengikuti Alun (1992), persamaan (7.13) menjadi :

ULN = c1Y + c2A + c3G +c4LS (7.14)

Selain variabel-variabel di atas, permintaan ULN juga ditentukan oleh tingkat suku bunga di pasar uang internasional atau lebih tepatnya selisih (SP), yaitu margin di atas LIBOR (London Interbank Offered Rate). Jadi, persamaan permintaan ULN dar NB dapat ditulis sebagai berikut :

ULNd = d1Y – d2X + d3M + d4G + d5LS – d6SP (7.15)

Dan persamaan penawaran ULN ke NB:

ULNs = e1Y + e2X - e3M - e4G + e5LS + e6SP +e7PK(7.16)

Dimana PK adalah perangkat kredit negara bersangkutan.

Idealnya, jika sebuah negara telah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu atau pada tahap “akhir” dari proses pembangunan, ketergantungan negara tersebut terhadap PLN akan lebih rendah dibandingkan pada saat negara itu baru mulai membangun. Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sebuah negara adalah tingkat pendapatan (atau PBD) dalam nilai riil per kapita,

Page 13: Bab 7 apbn & uln

sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan sebuah negara terhadap bantuan atau ULN adalah misalnya rasio ULN-PDB, rasio ULN terhadap nilai total dari perdagangan luar negeri (X+M) atau rasionya terhadap nilai ekspor.

2. Perkembangan ULN Indonesia

Besarnya akumulasi ULN, terutama sangat terasa setelah krisis ekonomi 1997/98, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara khusus atau mengubah paradigma soal penanganan ULN di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004, khususnya untuk ULN pemerintah.16 Sejak itu, kebijakan fiscal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN. Sebagai alternatif pembiayaannya, pemerintah berusaha agar defisit APBN didanai lewat penerbitan obligasi atau SUN, seperti yang telah di bahas di subbab 7.1.

Ketergantungan pemerintah terhadap ULN untuk membiayai defisit APBN-nya memang sangat berbahaya, seperti yang diilustrasikan pada gambar 7.5 : ketergantungan terhadap ULN akan memperbesar defisit APBN, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap tidak berubah, yang selanjutnya menambah ketergantungan ULN. Banyak negara miskin di Afrika terjerat ULN persis karena masalah ini: untuk membayar cicilan dan bunga dari utang yang sedang berjalan, pemerintah-pemerintah di negara-negara tersebut terpaksa membuat utang baru, karena tidak ada sumber lainnya. Selain di GBHN 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah (atau APBN) terhadap ULN juga dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 (Undang-Undang No.25 Tahun 2000) mengenai program atau pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Program itu bertujuan untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Adapun sasarannya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk keperluan pembangunan secara optimal dan menurunnya beban ULN. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Gambar 7.5Keterkaitan antara defisit APBN dengan ULN

Defisit APBN ↑

G ↑

ULN ↑

Biaya ULNN ↑

Page 14: Bab 7 apbn & uln

a. Mengurangi secara bertahap pembiayaan pembangunan dengan memakai ULN, yang merupakan selisih antara pencarian pinjaman baru dan pembayaran pokok utang. Sejalan dengan peningkatan penerimaan dalam negeri, tingkat ULN diupayakan menurun setiap tahunnya.

b. Membenahi mekanisme dan prosedur pelaksanaan ULN, termasuk perencanaan, proses seleksi, pemanfaatan, dan pengawasannya. ULN pemerintah harus dikelola secara transparan dan selalu dikonsultasikan dengan DPR dan diatur dengan Undang-Undang. Dalam kaitan itu perlu disusun peraturan-peraturan perundang-undangan yang melandasi dan memayungi berbagai ULN, khususnya yang terkait dengan pinjaman pemerintah, langsung ataupun melalui jaminan, baik pemerintah pusat maupun daerah.

c. Memanfaatkan pinjaman secara optimal sesuai dengan prioritas pembangunan dan dilaksanakan secara transparan, efektif, dan efisien.

d. Mengkaji secara menyeluruh kemampuan setiap proyek dan mempertajam prioritas pengeluaran anggaran dengan memperkuat pengawasan yang sistematik, utamanya bagi proyek-proyek yang dibiayai dari ULN.

e. Meningkatkan kemampuan diplomasi dan negosiasi ULN untuk memperoleh jangka waktu dan pola persyaratan yang memudahkan proses pencarian dan memperingan beban pembayaran.

f. Melakukan restrukturisasi ULN, termasuk permohonan pemotongan utang dan penjadwalan kembali ULN dengan para donor secara transparan dan dikonsultasikan dengan DPR. Dalam upaya restrukturisasi utang, proyek-proyek yang sudah disetujui pendanaannya, tetapi mengalami hambatan dalam persiapan pelaksanaannya ataupun kinerja pelaksanaannya sangat buruk, maka proyek-proyek tersebut akan dibatalkan.

Di dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2003 tentang pengendalian jumlah komulatif defisit APBN dan APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) serta jumlah komulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga diatur bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari PDB dan pinjaman (jumlah komulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dibatasi paling besar 60 persen dari PDB.

Selain itu, BAPPENAS juga membuat empat strategi pengelolaan ULN untuk mengantisipasi masalah likuidasi dan solvabilitas guna mencapai kesinambungan fiscal dan perekonomian yang terkait dengan ULN.17 Keempat strategi tersebut adalah: (i) percepatan pencapaian batas aman ULN, (ii) penetapan prioritas penggunaan ULN, (iii) pembentukan lembaga pengelolaan utang (DMO),18 dan (iv) pembentukan perangkat peraturan bagi landasan kebijakan pengelolaan ULN. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur solvabilitas adalah rasio ULN terhadap PDB (ULN/PDB) dan rasio ULN terhadap ekspor (ULN/X), sedangkan untuk mengukur likuiditas adalah rasio cicilan pokok plus bunga terhadap ekspor (DSR). Untuk mencapai batas aman, BAPPENAS menetapkan tiga syarat: (i) ULN/X paling tinggi 100persen, (ii) ILN/PDB paling tinggi 40 persen, dan (iii) DSR paling 25 persen. Menurut BAPPENAS, ULN/X 100persen dapat dicapai dengan skenario waktu 10 hingga 15 tahun. Jika 10 tahun, maka pertumbuhan utang rata-rata harus negatif 1,69% per tahun sejak sekarang (2005). Jika 15 tahun ingin dicapai, harus

Page 15: Bab 7 apbn & uln

dilakukan penambahan stok utang rata-rata 0,09% per tahun. Berdasarkan hasil hitungan BAPPENAS, dengan tingkat pertumbuhan ekspor lebih tinggi 1 % saja, pencapaian target ULN/X dapat dipercepat tiga tahun, baik untuk tempo 10 maupun 15 tahun.

Menurut catatan Samhadi (2006b) , total ULN Indonesia pada akhir era Soekarno sebesar 6,3 miliar dolar AS yang terdiri atas 4 miliar dolar AS yang dibuat pada masa penjajahan beland dan 2,3 miliar dolar AS yang dibuat oleh pemerintahan Soekarno dan membengkak menjadi 54 miliar dolar AS pada akhir pemerintahan Soekarno. Lebih rincinya, selama periode 1981-2005, ULN Indonesia tumbuh rata-rata 9% per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1987 yang mencapai 22,3 %. Pertumbuhan negatif ULN Indonesia baru terjadi tahun 1999, yakni 0,2%, hal ini antara lai dipicu oleh menurunnya ULN swasta (sebut ULNs) dan pertumbuhan negatif ini terus berlangsung hingga tahun 2002. sejak terjadinya krisis ekonomi, terutama tahun 1998 saat kondisi perekonomian nasional mencapai titik terburuk , ULNLR mengalami suatu peningkatan yang cukup besar dari 100,338 juta dolar tahun 1997 menjadi 122,033 juta dolar tahun 1998 atau meningkat sebesar 21,6% tetapi menurun kembali hingga tahun 2002 dan cenderung naik lagi setelah itu. Sedangkan ULNSR yang tumbuh rata-rata per tahu selama periode 1980-2004 sekitar 11,5% juga mengalami penurunan uang signifikan (-38,8%).

Tabel 7.9

Belanja Pemerintah Pusat, 2007 dan 2008APBN %terhadap

PDB APBN – P % terhadap

PDB

2007

Subsidi Energi 2.3 2.3

- BBM ( Pertamina) 1.6 1.5

- Listrik ( PLN) 0.7 0.9

2008

Subsidi Energi 1.7 4.2

- BBM ( Pertamina) 1.0 2.8

- Listrik ( PLN) 0.7 1.3

2008 2009APBN-P Perkiraan

realisasiRAPBN Revisi nota keuangan dan

RAPBN 2009Hasil penjualan minyak bumi PPh Migas Hasil penjualan gas alam

149,1353,6533,84

209,9370,3844,99

221,4485,5857,49

159,3465,7343,71