bab 5 identitas teritorial dan resistensi...
TRANSCRIPT
61
BAB 5
IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI
MASYARAKAT HATUNURU
Bab ini merupakan temuan empirik lain. Fokus utama bagian ini
adalah memberi deskripsi dan melakukan analisa terhadap resistensi
yang terjadi di Hatunuru.Resistensi ini lebih kepada upaya dalam
mencegah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel
Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Masyarakat Hatunuru
menggunakan identitas teritorial sebagai landasan melakukan resistensi.
Munculnya Identitas Perlawanan di Hatunuru
Tahun 2014 silam, Pemerintah Kabupaten SBB merencanakan
membuka perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel Timur.
Rencana ini merupakan hasil kesepakatan sepihak antara Pemerintah
Kabupaten SBB dan pihak investor28. Rencana sepihak ini akhirnya
menuai penolakan oleh “Persekutuan Adat Sapalewa Batai”29. Atas
penolakan itu, rencana sepihak Bupati SBB kemudian diberhentikan.
Masih pada tahun yang sama, rencana ini digulirkan kembali. Namun,
kali ini para raja dalam Kecamatan Taniwel Timur dilibatkan dalam
pertemuan yang digelar di Hotel Aston (sekarang Hotel Natsepa). Per-
temuan yang dihadiri para raja, Bupati Kabupaten SBB, Camat, dan
investor itu adalah untuk menentukan lokasi pembibitan kelapa sawit.
Alhasil dari pertemuan tersebut, Hatunuru kemudian ditunjuk sebagai
area pembibitan kelapa sawit, dan diproyeksikan untuk dibangun per-
28
Penulis tidak mengetahui dengan pasti siapa yang disebut sebagai investor, dikarenakan masyarakat Hatunuru juga tidak mengetahui siapa investor tersebut. 29
Persekutuan adat Sapalewa Batai merupakan himpunan negri-negri adat yang berdiri di sekitar sungai Sapalewa. Sapalewa Batai sendiri memiliki arti, batang air Sapalewa.
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
62
usahaan kelapa sawit di Hatunuru30. Melalui salah satu media massa,
Bupati Kabupaten SBB menjelaskan tentang pembukaan kebun kelapa
sawit ini telah disepakati oleh para raja di Kecamatan Taniwel Timur.
Bupati Kabupaten SBB memberi penjelasan terkait per-kebunan kelapa
sawit yang telah disetujui oleh DPRD SBB dalam master plan, dan
segera mungkin dilaksanakan untuk kebutuhan ma-syarakat31.
Sementara di Hatunuru, caretaker raja Hatunuru menjelas-kan bahwa,
kelapa sawit akan dialokasikan pada wilayah-wilayah yang tidak
pernah terjamah oleh aktivitas masyarakat Hatunuru dan atau tidak
mengganggu sumber nafkah masyarakat Hatunuru32.
Berdasarkan instruksi tentang pembukaan perkebunan kelapa
sawit oleh Bupati SBB, maka masyarakat Hatunuru kemudian
melakukan perlawanan. Dua hal yang menjadi alasan kuat masyarakat
Hatunuru melakukan perlawanan adalah; (1) rencana yang tidak
diketahui masyarakat Hatunuru; (2) referensi masyarakat Hatunuru.
Masyarakat Hatunuru Tidak Mengetahui
Ketidaktahuan masyarakat Hatunuru terkait rencana untuk
membuka perkebunan kelapa sawit yang telah digulirkan kembali oleh
para elite SBB, adalah alasan masyarakat Hatunuru melakukan per-
lawanan. Ketidaktahuan ini adalah karena masyarakat Hatunuru tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Raja Hatunuru (almarhum)
yang mengikuti pertemuan tersebut, tidak melakukan komunikasi
secara sistemik dengan masyarakat Hatunuru atau tidak ada sosialisasi
yang dijalankan oleh perusahaan kelapa sawit di Hatunuru. Masyarakat
Hatunuru baru mengetahui hal tersebut melalui informasi salah
seorang tokoh masyarakat Hatunuru yaitu, Izak Latualia. Izak Latualia
menuturkan bahwa, ia mengetahui hal tersebut ketika hendak kembali
ke Hatunuru dalam perjalanan pulang dari Taniwel menuju Hatunuru.
Ia dicegat oleh para elite SBB untuk sekedar mempertanyakan status
tanah milik Perusahaan Apituley yang mengalami kebangkrutan oleh
sebab kredit macet. Status tanah tersebut telah dikembalikan kepada
masyarakat Hatunuru, karena hanya disewakan. Kemarahan Izak
30
Hasil wawancara dengan EA, 3 Juni 2015 31
Harian Siwalima, edisi September 2014 32
Hasil wawancara dengan MR, 29 Mei 2015
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
63
Latualia mencapai klimaks, ketika para elite SBB mengatakan bahwa
mereka hendak melakukan eksekusi lahan, dan alat untuk melakukan
eksekusi sedang dalam perjalanan dari Ambon menuju ke Hatunuru.
Izak Latualia menolak secara terbuka, kemudian setibanya di Hatunuru,
ia menghimpun masyarakat Hatunuru dan melakukan pertemuan di
kediamannya. Alhasil pertemuan tersebut, masyarakat Hatunuru kemu-
dian sepakat melakukan perlawanan. Berdasarkan hasil wawancara ma-
syarakat kaget dan sangat marah karena tidak mengetahui hal tentang
rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit, berikut penulis
sajikan beberapa penggalan wawancara dengan masyarakat Hatunuru.
Katong kira proyek ni akang su stop. Tau-taunya dong kase jalan akan kombali (Kami mengira proyek ini telah diberhentikan. Tetapi mereka menjalanakannya kembali) (IL, 20 Mei 2015)
Dong (para elite SBB) seng bilang apa-apa tentang sawi ni par katong. Katong seng tau kata sawi ni akang mau jalang di Hatunuru (Mereka tidak mengatakan hal tentang sawit kepada kami. Kami juga tidak mengetahui bahwa sawit akan dijalankan di Hatunuru (BM, 28 Mei 2015)
Raja sa yang tau, barang antua iko pertemuan. Katong seng tau akang (Kepala desa saja yang mengetahui hal ini, karena beliau mengikuti pertemuan.Kami tidak mengetahuinya) (PL, 3 Juni 2015).
Penggalan wawancara tersebut di atas memberi sebuah fakta
bahwa masyarakat tidak mengetahui rencana untuk membuka perke-
bunan kelapa sawit oleh para elite SBB dikarenakan; (1) mereka me-
nyangka rencana tersebut telah diberhentikan; (2) ketiadaan informasi
kepada masyarakat; (3) mereka tidak dilibatkan dalam pertemuan di
Hotel Aston. Berdasarkan pada tidak dilibatkannya masyarakat
Hatunuru dalam pengambilan keputusan, maka raja Hatunuru dituding
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab akan hal ini. Sejalan
dengan ini, Coase (dalam Rogers et al, 2008) membenarkan tentang
penting melakukan internalisasi sebagai upaya untuk menolak maupun
menerima kebijakan pembangunan melalui negosiasi maupun
pengambilan keputusan. Masih menurut Coase, masyarakat lokal
adalah kelompok yang memiliki superioritas, apakah akan dimasukan
ataukah diberhentikan, juga ditolak terkait program pembangunan
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
64
dimaksud (Coase dalam Rogers, 2008). Hal ini agar mampu mencegah
eksternalitas negatif, yang pada dasarnya selalu menjadi pekerjaan
rumah melalui pendekatan industrial di negara-negara berkembang.
Ketidaktahuan masyarakat Hatunuru dirasakan penulis adalah
sebagai kesan untuk menutupi dan melakukan eksekusi secara
terselubung oleh para elite SBB. Berangkat pada pernyataan raja dalam
pertemuan tersebut bahwa masyarakat Hatunuru juga telah bersedia,
tetapi tidak dalam kenyataanya. Masyarakat Hatunuru tidak pernah
mengatakan bahwa mereka bersedia melepas lahan mereka demi untuk
kelancaran perkebunan kelapa sawit. Masyarakat Hatunuru malah baru
mengetahuinya ketika lahan hendak dieksekusi. Sejalan dengan ini,
Hardjasoemantri (1998 dalam Litaay, 2014) menggunakan empat alasan
utama masyarakat harus dilibatkan adalah supaya; (1) memberi penge-
tahuan kepada pemerintah agar mampu melihat masalah tertentu; (2)
untuk meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan
dan mengurangi potensi konflik; (3) untuk menyediakan perlindungan
hukum dari potensi sengketa di masa mendatang akibat dari perbedaan
pendapat; (4) untuk mendemokratisasikan pengambilan keputusan.
Dalam kenyataan bahwa masyarakat tidak mengetahui akan hal
itu, maka penulis mengestimasikan bahwa identitas perlawanan di
Hatunuru kemudian terbentuk oleh sebab tidak dilibatkannya
masyarakat Hatunuru sebagai decision maker dan policy maker. Oleh
Gramsci (1971), resistensi ini hadir karena komunitas lebih berkenan
pada komunitas yang “kontra hegemoni”. Di Hatunuru sendiri, penulis
menemukan bahwa, kontra hegemoni hadir sebagai respon atas
komunikasi yang tidak dilakukan secara sistemik antara raja dan
masyarakat Hatunuru maupun para elite SBB dan masyarakat
Hatunuru. Oleh karena itu, identitas teritorial lebih berkenan pada
kekuasaan masyarakat Hatunuru secara institusi atau berupa aturan
main dalam hak-hak kepemilikan hutan menjadi basis resistensi.
Klaim-klaim di Hatunuru lebih bermuatan warisan, dengan kata lain
hutan adalah warisan yang diberikan oleh leluhur.
Referensi Masyarakat Hatunuru
Identitas perlawan juga terbentuk oleh referensi masyarakat
Hatunuru. Referensi masyarakat Hatunuru itu sendiri lebih berkenan
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
65
pada dua hal yaitu, pengalaman masyarakat Hatunuru sebagai buruh
perusahaan, dan berikut adalah pengalaman identitas lain di negri Latea. Pertama, referensi grup berdasar pada pengalaman menjadi
buruh perusahaan, dan dirasakan masyarakat Hatunuru sangatlah sulit.
Beberapa masyarakat menceritakan pengalaman mereka sebagai buruh,
dan apabila ingin menjadi buruh maka lahan mereka tidak akan hrus
disewakan dengan harga yang rendah, juga gaji yang didaptkan
sangtlah sedikit. Selain itu, masyarakat merasakan terjajah di negri sendiri. Mereka tidak ingin hal yang sama kembali terulang di
Hatunuru. Memang menurut mereka pada saat itu, perekonomian di
Hatunuru menjadi lebih baik. Memang sempat timbul wacana terkait
perekrutan karyawan perusahaan sawit ini akan memprioritaskan
masyarakat Hatunuru. Namun, mereka mengatakan bahwa hal yang
sama telah mereka dengar dari perusahaan yang lama, dan hasilnya
tidak sejalan dengan ekspektasi masyarakat Hatunuru. Dengan
demikian, mereka melakukan penolakan berdasar pada referensi
mereka sebagai buruh di masa lalu.
Kedua, berangkat pada pengalaman salah satu negri di Pulau
Seram bagian utara, Kabupaten Maluku Tengah yaitu, negri Latea.
Keadaan di Latea diperburuk ketika PT. Nusa Ina Group membuka
perkebunan kelapa sawit di sana. Berdasarkan penuturan masyarakat
Hatunuru, penulis mendapat gambaran bahwa kemiskinan endemik
terjadi di Latea, dan hal ini diperkuat oleh penuturan salah satu
anggota masyarakat Hatunuru yang melihat langsung pohon cengkih
yang kering di Latea, dan juga salah satu anggota masyarakat Hatunuru
yang lain memberi gambaran bagi penulis terkait masyarakat Latea
yang saat itu menjadi buruh cengkih dengan menaiki pohon cengkih
milik masyarakat negri Buria di wilayah Pegunungan Kabupaten SBB.
Dengan demikian, sebelum kelapa sawit ini didiskusikan oleh para elite
SBB dan menentukannya sebagai master plan dalam peningkatan
ekonomi di Kecamatan Taniwel Timur, masyarakat Hatunuru sudah
lebih dahulu mengetahui dampak kelapa sawit. Sejalan dengan ini,
Johnson et al (2002) menggunakan memori kolektif sebagai komponen
yang terkandung dalam identitas teritorial. Maksudnya adalah,
identitas teritorial terbentuk karena memori kolektif yang memberikan
referensi grup, dan bukan referensi diri.
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
66
Memori kolektif di Hatunuru hadir melalui pengalaman grup,
pengalaman ini membentuk referensi grup berkenan pada penolakan
oleh sebab pengalaman sendiri dan pengalaman komunitas lain.
Sehingga ada kesan, identitas teritorial yang hadir melalui pengalaman
grup menjadi kekuatan dalam membangun ideologi penolakan berdasar
pada referensi masyarakat Hatunuru. Selain itu, referensi masyarakat
Hatunuru adalah hadir dalam wajah kosmologi yang menganggap
hutan sebagai “dapur”. Bagi masyarakat Hatunuru, hutan sebagai
“dapur” berkenan pada korelasi budaya, ekonomi, ekologi, kelem-
bagaan, dan sosial. Dengan demikian, muncul kolaborasi referensi di
Hatunuru tentang kelapa sawit yang akan memberi efek negatif. Efek
negatif yang dimaksud yaitu, keterancaman modal teritorial sebagai
hutan yang akan berdampak identitas teritorial, yang mengarahkan
pada kemiskinan endemik. Keterancaman identitas teritorial ini secara
mendasar berkaitan dengan dua hal yaitu, sumber nafkah dan
pemaknaan hubungan alam dan manusia, manusia dan manusia.
Alasan-alasan di atas menjadi kekuatan dalam melakukan
resistensi berdasar pada identitas perlawanan demi melindungi
teritorial mereka. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Paasi (2011),
wilayah dan kekuasaan merupakan faktor konstruksi identitas. Paasi
mendorong pemaknaan konteks kedaerahan melalui sejarah, adalah
kekuatan maupun perbandingan sebagai basis perlawanan.
Gambar 5.1. Resistensi Berbasis Identitas
Identitas Legitimasi Identitas Perlawanan
Resistensi
Hutan hendak
dirampas, tanpa
melibatkan
masyarakat Hatunuru
dalam pengambilan
keputusan.
Terbentuk karena
referensi grup yaitu
pengalaman kolektif
dan memori
kolektif.Selain itu,
berdasarkan hak
kepemilikan hutan.
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
67
Tabel di atas, dibuat oleh penulis sejalan dengan pandangan
Castells (2010). Identitas legitimasi di Hatunuru terjadi karena,
referensi masyarakat Hatunuru terhadap kasus kelapa sawit yang
menimpah negri Latea, sekaligus memori kolektif yang hadir oleh
pengalaman kolektif pada masa lampau terkait pengalaman mereka
sebagai buruh perusahaan. Hal berikut, hutan merupakan warisan yang
membentuk identitas teritorial sebagai masyarakat yang memaknai
hutan sebagai ruang hidup. Ruang hidup itu berkenan pada fungsi
hutan sebagai sumber nafkah, sehingga kesan identitas legitimasi ini
menjadi identitas perlawanan yang hadir oleh sebab diabaikannya
mereka sebagai pembuat keputusan, dan tidak dilibatkan dalam
program pembangunan oleh para elite Kabupaten SBB. Resistensi hadir
sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan ekonomi luar masyarakat
Hatunuru. Dengan demikian, identitas perlawanan di Hatunuru
terbentuk sebagai upaya mencegah, dan melindungi, juga respon
kolektif terhadap kekecawaan oleh kebijakan top-down. Oleh karena
itu, resistensi merupakan upaya yang diberlakukan untuk melindungi
identitas teritorial dari keterancaman.
Dominasi Elite SBB versus Identitas Teritorial
Dominasi elite SBB adalah hadir dengan menghimpun
kekuatan-kekuatan lokal sebagaimana para raja di Taniwel Timur
maupun pemerintah Kecamatan Taniwel Timur. Bupati SBB sengaja
menggunakan otoritas raja-raja di Taniwel Timur agar masyarakat
Taniwel Timur secara umum, dan terkhususnya masyarakat Hatunuru
mau melepaskan lahan demi kelancaran rencana sepihak untuk
membuka perkebunan kelapa sawit dimaksud. Tindakan Bupati SBB
dipatahkan oleh kenyataan yang ada, karena masyarakat Hatunuru
merupakan masyarakat elite di Taniwel Timur. Elite yang penulis
maksud, adalah memiliki kekuasaan dan disegani bahkan dihormati
sebagai kaum kapitalis. Kaum kapitalis ini berdasar pada kepemilikan
lahan yang luas, dan juga turut memberi lahan mereka untuk
masyarakat lain tempati, sebagaimana masyarakat Matapa. Sejalan
dengan ini, Chambers (1983, dalam Chambers, 2013) menyebutnya
sebagai “bias tokoh” atau menemui kaum elite di masyarakat tanpa
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
68
menemui pihak lainnya. Hal ini terjadi di Hatunuru, Bupati SBB hanya
menghadirkan raja Hatunuru tanpa menghadirkan tokoh-tokoh adat
sebagaimana kepala soa di Hatunuru.
Masyarakat Hatunuru sebagai saniri negri33 adalah pemegang
keputusan, dan bukan raja. Keputusan mereka ini adalah mutlak, dan
tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, masyarakat Hatunuru
menggunakan tiga strategi dalam melakukan perlawanan yaitu,
kekuasaan, etika, dan solidaritas sebagai nilai-nilai lokal di Hatunuru
yang harus diperhitungkan.
Sasi Adat Sebagai Resistensi Berbasis Identitas Teritorial
Kekuasaan di dalam negri Hatunuru merupakan milik soa, dan
bukan raja sebagai otoritas teritinggi di Hatunuru. Soa sebagai
himpunan identitas yang memiliki kesamaan asal-usul, memainkan
peran signifikan dalam resistensi ini. Kekuasaan soa, adalah hadir
melalui klaim-klaim atas hutan yang merupakan milik mereka sebagai
sumber nafkah tiap-tiap mata rumah dalam soa itu, juga sebagai
warisan. Bertolak pada pernyataan informan dari luar masyarakat
Hatunuru, penulis melihat bahwa kekuasaan di Hatunuru menjadi
dasar kuat untuk melawan para elite SBB.
Orang Hatunuru pung tanah basar di Matapa ini. Kalo dong bilang seng bisa bangun perusahaan, ya katong tetap iko dong (Orang Hatunuru memiliki tanah besar di Matapa. Kalau mereka bilang tidak bisa membuka perkebunan kelapa sawit, ya kami harus mengikuti) (OM, 30 Mei 2015)
Pengalaman di masa lalu yang hadir sebagai memori kolektif
melalui penuturan sejarah secara lisan yang diwariskan lintas generasi
memberi jaminan bahwa, kekuasaan di Hatunuru adalah harga mati
dalam hal kepemilikan lahan. Hal ini sejatinya adalah karena ekspansi
yang dilakukan sejak zaman perang saudara di Pulau Seram pada masa
lampau. Berkenan pada pandangan Foucault (1998) yang memberi
kesan kekuasaan tidak selamanya bersifat top-down, tetapi juga
bottom-up. Kekuasaan dari bawah ini menjadi modal perlawanan
berdasar pada integrasi ideologi di Hatunuru maupun masyarakat luar
33
Saniri negri lebih berkenan pada pengambilan kebijakan berdasar pada keputusan masyarakat
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
69
Hatunuru. Integrasi ideologi ini hadir dari dalam Hatunuru melalui
klaim tentang kepemilikan, dan hutan adalah dibernarkan milik
masyarakat Hatunuru sejalan dengan hierarki adat mengenai hak-hak
kepemilikan berdasar pada soa. Ideologi dari luar identitas Hatunuru
menaruh perhatian pada kekuasaan masyarakat Hatunuru yang
notabene adalah kaum tersohor di Kecamatan Taniwel Timur.
Dengan demikian, dominasi elite SBB menjadi lemah karena
secara institusi, baik PERDA Provinsi Maluku maupun UU Nomor 32
Tahun 2004, memberi jaminan bagi kepengaturan budaya lokal dalam
sistem pemerintahan desa. Mengingat, sebelum berdirinya negri, terlebih dahulu soa hadir sebagai kumpulan identitas-identitas yang
menjalankan pemerintahan independen, kemudian membentuk klaim-
klaim terkait hak-hak kepemilikan berdasar pada ekspansi pada masa
perang saudara di Seram. Oleh karena itu, penting memahami
masyarakat Hatunuru bukan melalui otoritas tertinggi di Hatunuru
sebagai raja, melainkan memahami regulasi melalui struktur sosial-adat
yang lebih memiliki kekuasaan di Hatunuru sebagai soa. Pada
akhirnya, resistensi berbasis kekusaan ini terbentuk bukan saja melalui
pandangan masyarakat Hatunuru bahwa hutan adalah milik mereka,
tetapi juga masyarakat lain yang turut membenarkan argumentasi
masyarakat Hatunuru. Sebagaimana dikemukakan oleh Briggs (2005),
terkait pengetahuan lokal sebagaimana adat adalah tantangan bagi
pembangunan yang berdasar pada faktor ekstetnal.
Sebagaimana terus penulis kemukakan bahwa, hutan sejatinya
dalam kosmologi masyarakat Hatunuru dianggap sebagai “dapur”.
“Dapur” merupakan warisan yang dimiliki untuk melakukan kegiatan
berkenan pada makan, minum, dan memberdayakan. Kesan “dapur”
sebagai hutan mencitrai kehidupan masyarakat Hatunuru dalam
melakukan perlawanan. Hal ini bertolak pada dua alasan pertama, yaitu
nilai dan kepercayaan. Nilai ini hadir sebagai etika tentang pelestarian
hutan, sedangkan kepercayaan lebih bermuatan pemaknaan yang
kontekstual menyangkut superioritas hutan yang transenden.
Berbicara mengenai nilai etika tentang pelestarian hutan, maka
tidak dapat dilepaskan oleh kepercayaan lokal yang menganggap hutan
bersifat religio-magis-kosmis. Berdasar pada transfer pengetahuan
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
70
lintas generasi di Hatunuru melalui penuturan lisan dalam mitos
terciptanya Danau Tapala, masyarakat Hatunuru memandang hutan
dalam dua pemahaman yaitu, berkat dan bencana. Berkat memberi
muatan lokal bagi terbentuknya identitas teritorial sebagai identitas
resistensi karena hutan adalah berkat yang leluhur sediakan untuk
dikelola dan sebagai sumber hidup. Sementara hubungannya dengan
bencana adalah melalui ketakutan akan terjadi bencana alam apabila
hutan mengalami pengrusakan, dan itu dinilai sebagai murkah leluhur.
Dengan demikian, tipologi identitas teritorial masyarakat
Hatunuru ini dapat penulis katakan sebagai masyarakat topophilia
(lihat Roca, 2012). Beery et al (2015) menggunakan kajian topophilia
sebagai kesatuan teritorial yang menghubungkan manusia dan alam,
dan atau hubungan manusia dengan alam yang bukan manusia. Oleh
karena itu, identitas teritorial melalui religio-magis-kosmis merupakan
hal yang mendorong masyarakat Hatunuru melakukan resistensi.
Resistensi dilakukan atas dasar kecintaan akan perjuangan leluhur
melalui penghormatan dalam wujud pelestarian hutan, agar tidak
teritimpa musibah.
Sasi adat merupakan komponen keberlanjutan di Hatunuru.
Esensi sasi adat sendiri lebih kepada penutupan wilayah, misalnya
disebutkan Evans et al (1996) tentang sasi sebagai penutupan wilayah
terrestrial (darat) dan sumber daya laut. Selain itu, Patra dan Arifin
(dalam Evans et al, 1996) menyebut sasi sebagai manajemen lokal. Di
Hatunuru sendiri melakukan sasi adat adalah membentuk hubungan
sosial-ekologi melalui pelestarian alam, hubungan ekonomi-ekologi
melalui penutupan SDA sampai pada masa panen tiba, dan religio-
kosmis menyangkut hubungan kepercayaan lokal terkait hutan dapat
mendatangkan bencana sebagai murkah leluhur (suprakultural), dan
untuk itu harus dilindungi.
Sasi pada saat resistensi terjadi dijadikan sebagai salah satu
simbol perlawanan. Perlawanan menggunakan sasi menurut
masyarakat Hatunuru adalah untuk mencegah tindakan nekad para
elite SBB merebut lahan dengan paksa. Paham lokal atau paham
tradisional di Maluku menganggap sasi adalah hal yang tidak dapat
dilanggar apabila diberlakukan, karena akan tertimpah bencana apabila
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
71
dilanggar. Dalam keterkaitannya dengan resistensi, Cox (1993) melihat
resistensi hadir melalui upaya-upaya melakukan boikot sebagai
resistensi non-kekerasan. Bagi penulis, sasi adalah upaya para
pemboikot di Hatunuru. Mereka tidak ingin bekerja sama dengan para
elite SBB, karena berkaitan dengan keberlanjutan sumber nafkah yang
terancam. Selain itu, penulis juga melihat hal ini sebagai modal politik
masyarakat Hatunuru secara komunal, dan modal manusia secara
personal. Dua modal ini saling terkoneksi melalui tindakan,
termanifestasi dalam sasi. Modal politik di Hatunuru melalui sasi adalah
upaya dalam mematahkan kebijakan para elite SBB, sementara modal
manusia berkenan pada pengetahuan lokal mengenai sasi sebagai upaya
perlawanan secara simbolik yang pantang untuk dilanggar. Oleh karena
itu, sasi adat digunakan sebagai implementasi kebijakan masyarakat
Hatunuru yang mencegah kebijakan para elite SBB.
Sumber: Facebook, Elifas Tomix Maspaitella, diunggah tanggal 3 Agustus 2015
Gambar 5.2 Sasi Adat Sebagai Simbol Perlawanan
Pada hakekatnya, esensi perlawanan simbolik ini adalah untuk
melindungi sumber nafkah di Hatunuru.Dalam pandangan identitas
teritorial dan resistensi, perlawanan ini merupakan perlawanan non-
kekerasan yang pada hakekatnya sejalan dengan identitas teritorial
melalui komponen regulasi sosial (Cox, 1993; Paasi, 2011). Sasi sebagai
tindakan non-kekerasan adalah terbentuk karena regulasi sosial itu,
melalui kebijakan tokoh-tokoh masyarakat, BPD, dan gereja dan
masyarakat di Hatunuru dalam pertemuan di rumah Izak Latualia,
mereka sepakat untuk menggunakan sasi adat dalam hal menutup
wilayah-wilayah yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Dengan demikian, sasi adat sebagai simbol perlawanan adalah
konsensus masyarakat dalam menetapkan kebijakan untuk menolak,
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
72
mendiskusikan hal-hal yang berkenan pada pengrusakan hutan, dan
keterancaman sumber nafkah. Kerkvliet (2009) melihat ini sebagai
politik resmi, karena ada upaya mendiskusikan secara komunal antar
masyarakat resistor guna menghindari, menerapkan, menolak
kebijakan terkait alokasi sumber daya. Sasi bukan menjadi perlawanan
sehari-hari, tetapi lebih kepada politik resmi yang berdasar pada
pengetahuan lokal dalam memperjuangkan teritorial di Hatunuru.
Resistensi Berbasis Solidaritas
Resistensi terjadi karena sumber nafkah terintimidasi oleh
sebab dominasi para elite SBB. Ketika sumber nafkah hilang, maka
tidak ada lagi kehidupan saling memberdayakan. Ditambah pula
dengan kehidupan masyarakat Hatunuru sebagai petani lahan kecil
terancam, karena mereka hidup dalam pola subsisten. Selain itu,
mereka tidak ingin menjadi buruh perusahaan kelapa sawit. Menurut
masyarakat, mereka sudah nyaman dengan kehidupan seperti ini, dan
apabila pembangunan dijalankan baiknya menggunakan sumber daya di
Hatunuru sebagai prioritas utama. Penulis menyimpulkan pandangan
mereka terkait resistensi, adalah agar esensi petani hutan tidak hilang,
dan hutan tetap menjadi rekan mereka dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
Dengan demikian, resistensi hadir sebagai upaya dalam
mempertahankan solidaritas di Hatunuru. Resistensi juga merupakan
tindakan kolektif yang hadir berbasis solidaritas antar petani. Resistensi
bukan bersifat sehari-hari, tetapi lebih kepada kelompok yang merasa
identitas teritorialnya terancam, dan saling berintegrasi secara komunal
untuk menolak kebijakan para elite SBB. Sejalan dengan ini, Tilly
(1978) menyebutnya sebagai social forces.
Solidaritas petani Hatunuru sebagai identitas teritorial di
Hatunuru memperkuat tindakan kolektif sebagai perlawanan yang
menjunjung tinggi hak-hak petani lainnya. Dengan demikian, modal
sosial sebagaimana kepercayaan dan nilai solidaritas di Hatunuru
menjadi identitas sosial yang begitu kuat sebagai basis dalam melakukan
resistensi. Malseed (2008) memberi pandangannya bahwa, resistensi
adalah nuansa penerimaan secara komunal. Hal ini sejalan dengan yang
terjadi di Hatunuru. Secara komunal ada nuansa penerimaan, dan
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
73
penerimaan ini adalah untuk mencegah tindakan konversi hutan yang
lebih destruktif dan melindungi sumber nafkah masyarakat Hatunuru
baik petani kapitalis maupun petani lahan kecil atau sebagai satu
komunitas petani Hatunuru.
Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 49/2008 yang sekarang telah diganti dengan P. 89/2014, tentang hutan desa mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.34
Analisis
Pada akhirnya, kekuasaan, religio-kosmis yang membentuk
etika, dan solidaritas menjadi nilai-nilai teritorial dalam melakukan
perlawanan terhadap para elite SBB. Kekuasaan hadir melalui
kekuasaan adat atau kekuasaan bottom-up yang masyarakat Hatunuru
kumandangkan sejalan dengan legitimasi hutan yang dibenarkan secara
internal maupun eksternal bahwa soa-soa di Hatunuru adalah sebagai
pemegang kebijakan atas hutan. Religio-magis-kosmis membentuk
etika pelestarian hutan berkenan pada hubungan alam dan manusia,
membentuk topophilia35 di kalangan masyarakat Hatunuru, dan
menjauhkan mereka dari bencana alam berangkat pada paham
tradisional. Solidaritas menjadi begitu kuat sebagai social-forces yang
menghindari keterancaman identitas teritorial melalui kebijakan para
elite SBB. Dengan demikian, resistensi di Hatunuru ini merupakan
politik tradisional (lihat Kerkvliet, 2009) dan bukan sebagai resistensi
sehari-hari (lihat Scott, 1989) yang kerap terselubung. Hal ini karena
ada kebijakan sehari-hari melalui kekuasaan adat, etika yang lahir
sebab religio-magis-komis, dan solidaritas, menjadi kebijakan yang
membentuk perlawanan tidak lagi terselubung, tetapi lebih frontal.
Sasi kemudian hadir sebagai upaya perlawanan simbolik
merepresentasikan kekuasaan masyarakat Hatunuru, etika pelestarian
34
http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/policybrief/PB0095-15.pdf 35
Istilah Topophilia sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Yi Fu Tuan (1974) sebagai kajian geografi humanistik. Topophilia adalah studi mengenai presepsi manusia akan lingkungan melalui sikap dan nilai-nilai (lihat Beery et al, 2015; Roca, 2012)
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
74
hutan, keberlanjutan ekonomi, solidaritas, aturan-aturan yang tidak
boleh dilanggar (kelembagaan), religio-kosmis (topophilia).
Intervensi NGO
Intervensi NGO ini sendiri hadir adalah melalui Angkatan
Muda Protestan Maluku (AM GPM)36, dalam hal ini Pegurus Besar
diketuai oleh, Pendeta Elifas Maspaitella (saat itu). Berikut juga Ikatan
Mahasiswa Makina-Uli (MAULI)37 sebagai kaum akademisi lokal yang
berdomisili di Ambon. Berikut pula salah seorang alumni UKSW yaitu,
Pendeta Maryo Mandjaruni (saat itu sedang vicaris). Mereka ini
kemudian membentuk sebuah gerakan yang diberi nama, Gerakan
SaveNusaIna (selanjutnya penulis singkat GSNI).
GSNI sendiri merupakan salah satu gerakan perpanjangan
tangan dari Gerakan Save Maluku yang saat itu tengah melakukan
advokasi bagi masyarakat di Kepulauan Aru, terkait kebijakan
pembangunan perusahaan tebu di sana. GSNI merupakan gerakan
kontrol sipil dalam hal melakukan advokasi untuk mencegah logging yang mendegradasi hutan tropis di Pulau Seram, yang pada
keyataannya telah rusak oleh PT. Djayanti Group sejak tahun 1972.
Pengrusakan itu pun terjadi tahun 2006 di Seram Utara melalui
perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina Group. Bagi GSNI kelapa sawit
bukanlah komoditas yang tepat di Maluku38.
Bergabungnya NGO merupakan inisiatif masyarakat Hatunuru
ketika Sidang GPM Klassis Taniwel berlangsung pada tahun 2015. Saat
itu, ada salah seorang masyarakat Hatunuru selaku Majelis Jemaat
Hatunuru-Matapa menyampaikan keluhan masyarakat Hatunuru pada
forum. Memang pada saat itu, sedang membahas tentang ekologi di
Taniwel Timur. Dengan penuh tanggung jawab, pihak GPM Klassis
36
AM GPM merupakan organisasi intra GPM yang berorientasi pada pengembangan pemuda di Maluku. AM GPM berbasis pada pemberdayaan, resolusi konflik, dan mitra Pemerintah Maluku dalam penetapan kebijakan-kebijakan publik. 37
MAULI merupakan organisasi yang dibentuk oleh relasi kesamaan identitas sebagai Mahasiswa Taniwel Timur.Saat ini, mereka bedomisili di Ambon sebagai akademisi. 38
Menguraiakan hasil wawancara dengan Pendeta Elifas Maspaitella melalui Facebook Messenger, pada bulan Juli 2015
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
75
Taniwel menjanjikan akan melakukan advokasi bagi masyarakat
Hatunuru terhadap perkebunan kelapa sawit yang hendak
direalisasikan. Sejalan dengan ini, Kerkvliet (2009) menyebutnya
sebagai politik advokasi yaitu, merekrut pihak lain untuk sama-sama
mengecam tindakan yang tidak relevan dengan konteks masyarakat.
Sementara perekrutan ini juga dilihat sebagai tahapan
bureaucratization atau birokratisasi yaitu, menggunakan tenaga
terampil yang memiliki kompetensi dalam mengubah alur perlawanan
menjadi lebih terorganisir (lihat Diani dan De La Porta, dalam
Christiansen, 2009).
Promosi Identitas Teritorial Melalui Media Online
Masyarakat Hatunuru adalah masyarakat yang mampu
mengorganisir resistensi maupun membuka peluang bagi pem-
bangunan. Hal ini hadir melalui perekrutan tenaga terampil sebagai-
mana AM GPM dan MAULI yang turut memberi dukungan bagi resis-
tensi di Hatunuru. Melalui media online, resistensi kemudian berubah
fungsi sebagai ajang promosi teritorial. Pada awalnya, hal ini dilaku-
kan untuk mencari dukungan melalui jumlah masyarakat Maluku
yang menuliskan slogan #SaveNusaIna. Penulis melihat ada kemiripan
dengan studi Turner (2013) yaitu, menjaring dukungan melalui jumlah
followers di internet daripada melakukan kampanye maupun orasi
yang tidak menghasilkan apa-apa. Ketiadaan kampanye maupun orasi
memberi GSNI yang di dalamnya terdapat masyarakat Hatunuru
memiliki nuansa perlawanan yang sangat intelektual dan elegan.
Penulis melihat, muncul dua identitas yang menjadi landasan
promosi sejalan dengan pandangan Bassand dan Guindani (1982,
dalam Filimon et al, 2014) yaitu, identitas defensif dan ofensif.
Gambar 5.3. Skema Promosi Identitas Secara Online
Promosi Secara Online
Identitas Defensif Pembangunan Berkelanjutan
Tradisional
Identitas Ofensif Konsep
Pembangunan Baru Yang Konservatif
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
76
Identitas defensif lebih menginginkan pertanian yang
tradisional, berbasis pengetahuan lokal, maupun kontekstual. Sumber
nafkah dipertaruhkan sebagai ajang promosi teritorial. Promosi
sumber nafkah adalah sebagai strategi keberlanjutan. Berbicara
mengenai sumber nafkah maka tidak dapat dilepaskan oleh eksistensi
modal yaitu, modal sosial, modal finansial, modal manusia, modal
alam, maupun modal fisik (lihat Messer dan Townsley, 2003). Dengan
demikian, keberlanjutan sumber nafkah adalah hal yang penting
untuk diproritaskan guna menjadi warisan kelak. Warisan ini
termanifestasi sebagai identitas teritorial dalam hal; (1) solidaritas
antar petani hutan dan kepercayaan antar petani hutan; (2) hutan
sebagai modal alam maupun fisik. Atas dasar itu, identitas defensif
kemudian dijadikan sebagai basis promosi identitas teritorial.
Peluang promosi adalah ajang masyarakat Hatunuru untuk
memperkenalkan identitas teritorial sebagai sumber daya lokal. Pollice
(2003) memberi hubungan antara identitas dan promosi, dan
Kotak 5.2. Identitas Ofensif
Peluang pembangunan di Hatunuru adalah hadir melalui identitas ofensif. Mereka selain melakukan promosi untuk melindungi, tetapi juga promosi untuk membangun. Gagasan pembangunan dari sekian banyak informan di Hatunuru, erat kaitannya dengan pengembangan pariwisata Tapala maupun SDA lainnya (minus sagu dan umbi-umbian). Mereka menginginkan ada perhatian pada pengembangan lokal dan bukan memaksakan diri pada perekonomian yang asing bagi mereka.
Kotak 5.1. Identitas Defensif
Identitas defensif hadir dalam rangka mempertahankan tradisi maupun budaya pertanian di Hatunuru. Pada dasarnya, identitas defensif merupakan basis promosi identitas teritorial sebagai resistensi. Promosi ini secara mendasar, berangkat pada keberlanjutan sumber nafkah di Hatunuru, dan bukan sebagai strategi bertahan hidup. Mereka memiliki harapan bahwa hutan mesti diwariskan lintas generasi. Dengan demikian, komponen identitas defensif di Hatunuru lebih bersifat tradisional.
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
77
hubungan ini diwakili oleh kemampuan mereka untuk mempromosi-
kan sumber daya wilayah, juga ditambah dengan strategi pem-
bangunan. Sebagaimana dilakukan masyarakat Hatunuru bahwa pen-
ting melakukan pengembangan Tapala dan SDA lainnya sebagai
strategi ekonomi di Hatunuru sebagaimana kakao, kelapa, maupun
kayu putih adalah sangat efektiv daripada memaksakan diri untuk
hidup dalam ekonomi kelapa sawit. Sejalan dengan itu, oleh Ife dan
Tesoriero (2014) konsep tersebut dilihat sebagai konsep perekonomian
masyarakat yang konservatif yaitu, industri lokal maupun pariwisata.
Memang esensi identitas ofensif berujung pada pembangunan yang
lebih inovatif, tetapi bagi penulis identitas ofensif dalam konteks
masyarakat Maluku adalah bersifat mempertahankan tradisi tetapi ada
pembangunan. Sebagai contoh, adalah ekonomi pasar kaget di
Hatunuru hadir sebagai ekonomi konservatif.
Kolaborasi identitas defensif dan ofensif juga dinilai sebagai
kolaborasi gerakan sosial baru dan lama. Gerakan sosial baru lebih
kepada upaya perlawanan berbasis online, dan mengangkat kasus hak
asasi manusia, dan juga keadilan sosial di Hatunuru, maupun ekonomi
dan dampak ekologi. Gerakan sosial lama di Hatunuru hadir melalui
perlawanan simbolik, ancaman terbuka terkait membakar alat-alat
berat, dan paham-paham tradisional (bandingkan dengan Singh, 2010).
Berikut adalah beberapa dokumentasi melalui internet yang penulis
sajikan dalam menggambarkan situasi perlawanan yang lebih frontal,
terorganisir, dan elegan.
Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=CGU5nuxeDOY
Gambar 5.4. Pernyataan Sikap Menolak Kelapa Sawit
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
78
Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=9dhUyCjUcrk
Gambar 5.5. Penolakan Kelapa Sawit Oleh Salah Seorang Tokoh Masyarakat
Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=6LmMb1TAwPk
Gambar 5.6. Penolakan Kelapa Sawit Oleh Salah Seorang Masyarakat
Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=dgHijO8kKuo
Gambar 5.7. Penolakan Kaum Perempuan39
39
Perlawanan juga terjadi dan dilakukan oleh kaum perempuan di Hatunuru, mereka meredefinisi posisi mereka dalam perlawanan sebagai kaum petani hutan, yang dalam sehari-hari hidup sebagai agen ekonomi Hatunuru. Hartini (2012) dalam studinya melihat perubahan yang harus perempuan lakukan adalah supaya nantinya mereka
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
79
Beberapa penggalan screenshoot video di atas, penulis ambil
melalui Youtube. Video ini dibuat dan diupload oleh Pendeta Maryo
Mandjaruni, sebagai salah satu aktivis gerakan yang notabene sedang
dalam masa vicaris kala itu. Dalam video-video ini, pernyataan
bervariasi disampaikan oleh masyarakat Hatunuru. Pada gambar
pertama membicarakan tentang penolakan dan ada unsur
mempromosikan sumber daya teritorial. Gambar kedua, ada penolakan
yang difokuskan pada kebertahanan hutan sebagai sumber daya
ekonomi. Sementara gambar ketiga, salah seorang masyarakat
memberikan pandangannya agar kelapa sawit tidak dijalankan karena ia
tidak ingin menjadi buruh pabrik di negri sendiri. Pada gambar
keempat perlawanan juga dilakukan oleh kaum perempuan di
Hatunuru, mereka meredefinisi posisi mereka dalam perlawanan
sebagai kaum petani hutan, yang dalam kehidupan sehari-hari adalah
sebagai agen ekonomi di Hatunuru. Hartini (2012) dalam studinya
melihat perubahan yang harus perempuan lakukan adalah supaya
nantinya mereka memiliki bargaining power, baik dalam lingkup
domestiknya maupun masyarakat. Pemberdayaan perempuan
selanjutnya dikatakan oleh Hartini (2012) adalah dengan melibatkan
mereka dalam upaya pengambilan kebijakan. Dengan demikian,
perempuan di Hatunuru adalah identitas perlawanan yang melakukan
redefinisi diri sebagai kaum perempuan yang berdaya, dan tidak lalu
mengikuti kebijakan para elite SBB, tetapi turut dalam resistensi demi
melindungi identitas proyek lokal sebagai papalele.
Analisis Identitas Teritorial dan Resistensi
Resistensi memberi kontribusi sebagai kebijakan untuk
mencegah ekonomi luar, tetapi juga menjadi kebijakan untuk
memiliki bargaining power, baik dalam lingkup domestiknya maupun masyarakat. Pemberdayaan perempuan selanjutnya dikatakan oleh Hartini (2012) adalah dengan melibatkan mereka dalam upaya pengambilan kebijakan. Dengan demikian, perempuan di Hatunuru adalah identitas perlawanan yang melakukan redefinisi diri sebagai kaum perempuan yang berdaya, dan tidak lalu mengikuti kebijakan para elite SBB, tetapi turut dalam resistensi demi melindungi identitas proyek lokal sebagai papalele.
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
80
melakukan pembangunan di Hatunuru yang lebih terpadu. Hal ini
terbukti oleh promosi sumber daya teritorial melalui internet yang di
satu sisi, resistensi adalah sebagai upaya keberlanjutan sumber nafkah.
Namun, di sisi lain, resistensi adalah juga sebagai upaya dalam
membentuk nilai-nilai ekonomi melalui promosi, dan bersumber pada
nilai-nilai teritorial sebagaimana solidaritas petani hutan dan etika
lingkungan. Dengan melakukan resistensi maka sumber nafkah dapat
menemui titik keberlanjutan bukan dari segi ekonomi semata
melainkan juga melalui hubungan sosial, lingkungan bahkan
kelembagaan.
Gambar 5.8. Hubungan Kosmologi dan Sumber Nafkah Dalam Resistensi
Sebagai Identitas Teritorial
Keberlanjutan sebagai basis resistensi, bertolak pada gaya hidup
masyarakat Hatunuru. Gaya hidup itu dikenal dalam kaitannya dengan
kekhasan sebagai petani hutan. Keberlanjutan sumber nafkah dan
keberlanjutan gaya hidup adalah penting untuk diprioritaskan. Sejalan
dengan ini, Roca (2012) melihatnya sebagai identitas teritorial berbasis
landscape dan lifestyle. Memang dalam pandangan Roca, landscape
Kosmologi
Resistensi Nafkah
Hutan Sebagai
“Dapur”
Pembentukan Nilai-
Nilai
Keberlanjutan
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
81
dikaitkan pada pilihan tentang penataan ruang, dan pilihan itu di
Hatunuru berdasar pada konsensus bersama yang memilih bertahan
pada pertanian sebagaimana sedia kala. Sementara lifestyle adalah
bagaimana hubungan relasional alam dan manusia, juga manusia dalam
kehidupan sosial dipertahankan melalui pertanian yang konservatif
(petani hutan). Dengan demikian, hubungan sumber nafkah dan
resistensi hanya berfokus pada sustainability di Hatunuru, berdasar
pada; (1) keberlanjutan ekonomi (kendati semi-subsisten); (2)
keberlanjutan sosial (hubungan petani yang menjunjung solidaritas); (3)
keberlanjutan ekologi (hutan) dan; (4) keberlanjutan kelembagaan
(hak-hak milik berdasar pada soa).
Demikian juga, kosmologi di Hatunuru yang bermuatan nilai-
nilai teritorial. Pembentukan nilai-nilai teritorial berdasar pada
eksistensi hutan sebagai “dapur”. Pada masa pra-resistensi, masyarakat
Hatunuru hidup berdasar pada hierarki adat dalam hal kepemilikan
lahan, tetapi memiliki dependensi terhadap sesama (petani yang saling
bergantung pada petani lain), dan ketika resistensi berjalan, nilai-nilai
teritorial dengan sendirinya menjadi basis resistensi itu. Pembentukan
nilai-nilai teritorial dalam perlawanan berdasar pada; (1) kekuasaan soa
yang melegitimasi hak-hak kepemilikan, dan memiliki wewenang
dalam kepengaturan fungsionalisme hutan sebagai sumber daya
ekonomi; (2) etika pelestarian hutan yang sejatinya berdasar pada
kepercayaan kosmis terkait superioritas hutan yang dapat
mendatangkan bencana, tetapi di sisi lain dipandang sebagai berkat; (3)
solidaritas mekanik yang terbina di Hatunuru antar petani hutan
memberi jaminan bagi pemberdayaan masyarakat Hatunuru. Ketiga hal
ini membentuk nilai-nilai berkaitan dengan resistensi melalui
kekuasaan soa, kepercayaan hutan yang lebih kosmis, dan solidaritas
sebagai social forces. Sasi adat kemudian menjadi representasi ketiga hal
itu, berkaitan dengan kekuasaan, etika lingkungan, solidaritas.
Oleh karena itu, eksistensi hutan sebagai “dapur” memang
menjadi fokus perlawanan. Fokus ini berdasar pada beberapa hal
berikut; (1) hutan adalah media pemberdayaan perempuan; (2) hutan
adalah media masohi, sebagaimana eksistensi hutan adalah membentuk
solidaritas dalam membangunnya secara masohi (gotong royong); (3)
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
82
hutan memiliki aturan; (4) hutan adalah modal ekonomi; (5) hutan
adalah warisan yang siap diwariskan untuk generasi berikutnya.
Mangapa katong orang Hatunuru bilang, hutan itu dapor. Karena ketika katong pi pagi, sorenya katong pulang deng sagu, ikan, deng sayor dari Tapala. (Mengapa kami orang Hatunuru mengatakan, hutan itu “dapur”.Karena ketika kami pergi pagi, sorenya kami membawa pulang sagu, ikan, dan sayur dari Tapala. (IL, 20 Mei 2015)
Pengalaman Resistensi Sebagai Upaya Penyusunan Program
Pembangunan di Hatunuru Berdasar pada Identitas
Teritorial
Berangkat pada pengalaman resistensi di Hatunuru maka adalah
penting menggunakan strategi-strategi dalam penyusunan program
pembangunan. Strategi-strategi ini pada dasarnya menggunakan
konsep-konsep kebijakan sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Konsep Administrator
Konsep ini berangkat pada studi Kaifeng Yang (2006) dengan
melihat bagaimana administrator sebagai mediasi pembangunan
berbasis integrasi kebijakan antar institusi. Menurut Yang (2006),
adalah penting memilih administrator yang memiliki kompetensi,
loyalitas, dan dedikasi bagi pengembangan pedesaan. Yang (2006)
memberi pandangan terkait dua institusi yaitu, institusi lokal dan
eksternal dalam satu komponen pembangunan berbasis kebijakan lokal
dan eksternal, dan saling melengkapi guna terciptannya pembangunan
yang sejalan dengan konteks.
Kenyataan yang terjadi di Hatunuru, kebijakan menjadi awal
mula resistensi. Kegagalan sinergi Pemerintah Hatunuru, Majelis
Jemaat, dan Dewan Guru sebagai Tiga Batu Tungku (TBT) adalah
melalui ketiadaan komunikasi yang sistemik. Kerkvliet (2009) menilai
ketiadaan komunikasi sistemik ini adalah awal mula resistensi terjadi.
Dengan demikian, kegagalan TBT adalah kegagalan intitusi dominan
di Hatunuru dalam hal regulasi sosial berbasis kebijakan.TBT malah
mendukung perlawanan dan terpecah dalam dua kubu yang penulis
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
83
sebut pro dan kontra hegemoni. Pemerintah Hatunuru mendapat
tekanan untuk merealisasikan janji, tetapi Gereja menentang hal itu
dan mendukung masyarakat Hatunuru melakukan resistensi.
Penting membangun gagasan administrator di Hatunuru
adalah dirasakan baik, agar mampu mewujudkan pembangunan yang
berdasar pada kebutuhan, dan paling penting agar hubungan
Hatunuru dan Pemerintah Kabupaten SBB tetap terjaga dengan
harmonis. Mengingat telah ada kesenjangan dalam tubuh lokal
maupun luar komunitas antara masyarakat Hatunuru dan Pemerintah
Hatunuru, Gereja dan Pemerintah maupun masyarakat Hatunuru dan
Pemerintah Kabupaten SBB. Dengan demikian, administrator ini erat
kaitannya dengan policy maker atau sewaktu-waktu menjadi ajang
politik resmi dalam hal menghindari, mengubah, menetapkan, dan
menolak hal-hal yang berkaitan dengan alokasi sumber daya (Yang,
2006; Kerkvliet, 2009).
Penting Melakukan Internalisasi
Resistensi terjadi karena lemahnya internalisasi di Hatunuru.
Sebagaimana Coase (dalam Rogers et al, 2008) memberikan
pandanganya tentang internalisasi yang identik dengan negosiasi
maupun pengambilan keputusan. Memang pada kenyataaanya,
masyarakat Hatunuru tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Hal ini mendorong upaya perlawanan sebagai protes atas keputusan
sepihak yang sewaktu-waktu menimbulkan eksternalitas negatif.
Pertama, internalisasi dibutuhkan agar ada penciptaan
pengetahuan sejalan dengan identitas teritorial di Hatunuru. Kedua,
internalisasi dilakukan agar masyarakat mampu menegosiasikan,
menolak, maupun menerima program pembangunan yang hendak
dijalankan. Ketiga, internalisasi adalah upaya pembangunan
masyarakat (community development) dalam hal melibatkan
masyarakat sebagai pembuat kebijakan dan di dalamnya terkandung
regulasi sosial. Hal ini agar tidak terjadi bias oleh orang luar komunitas
dalam memandang masyarakat, dan juga agar ada perlindungan
hukum, menghindari potensi konflik di masa mendatang, upaya
mendemokratisasikan keputusan, dan juga melihat masyarakat berdasar
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
84
pada identitas mereka(Chambers,2013; Hardjasoemantri, 1998 dalam
Litaay, 2014; Finley, 2010).
Identitas Teritorial Sebagai Basis Pembangunan
Berangkat pada pengalaman resistensi di Hatunuru, identitas
teritorial terbentuk karena keberlanjutan dan nilai-nilai, dan hal
tersebut menjadi landasan resistensi. Keberlanjutan ekonomi, ekologi,
budaya, maupun sosial merupakan alasan utama resistensi sendiri
terjadi di Hatunuru. Selain itu, nilai-nilai sebagaimana kekuasaan lokal,
etika pelestarian lingkungan, dan solidaritas petani menjadi satu set
kebijakan masyarakat Hatunuru dalam melakukan perlawanan berbasis
identitas teritorial.
Penting melakukan pembangunan adalah juga dengan melihat
komponen modal teritorial dan identitas di Hatunuru maupun Taniwel
Timur secara umum. Hal-hal yang penting untuk diberlakukan adalah,
menggunakan esensi integrasi sosial bukan saja dengan masyarakat
Hatunuru tetapi juga masyarakat luar Hatunuru guna memanfaatkan
identitas teritorial sebagai identitas regional dalam hal; (1) hubungan
sosial, di dalamnya terkandung modal sosial melalui hubungan tenaga
kerja yang saling memberdayakan antar petani di Taniwel Timur
melalui pertanian yang sedapat mungkin mampu dikomersialisasikan;
(2) ekonomi, di dalamnya muncul peran masyarakat Taniwel Timur
sebagai traditional market society yang saling mendukung, agar
kegagalan pasar tidak terjadi melainkan keberagaman SDA di Taniwel
Timur dijadikan prioritas ekonomi sebagai kekuatan identitas teritorial;
(3) ekologi, di dalamnya ada nuansa penerimaan komunal di Taniwel
Timur terkait kepercayaan lokal dalam melestarikan alam; (4) budaya,
di dalamnya terkandung keberagaman sumber nafkah lokal yang patut
untuk dikolaborasikan menjadi identitas teritorial di Taniwel Timur
yang padat karya; (5) kelembagaan, di dalamnya memberi nuansa saling
menghargai kebiasaan antar masyarakat di Taniwel Timur, dan melihat
SDA sebagai milik bersama yang patut untuk dilindungi dan dikelola
bersama guna membentuk identitas teritorial.
Berangkat pada studi Thuesen dan Nielsen (2014) pada
pedesaan di Denmark terkait integrasi masyarakat pedesaan, adalah
dengan bagaimana identitas teritorial menjadi media integrasi lima
Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru
85
desa melalui Local Action Group (LAGs). LAGs memberi jaminan
kepada masyarakat dalam hal pengambilan keputusan yang demokratis
secara bottom-up, kemudian melakukan kerja sama dengan governance
dalam menyusun program pembangunan. Bertolak pada pengalaman
LAGs, maka esensi identitas teritorial harus dibenahi di Hatunuru
maupun Taniwel Timur agar ada integrasi secara menyeluruh meliputi
identitas regional Taniwel Timur. Hal ini harus dilakukan agar ada
kekhasan, dan bukan menjadi perbedaan melainkan kesamaan, dan
juga sebagai identitas proyek (lihat Castells, 2004).