bab 2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam...

60
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan ( integration) mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996), Selanjutnya Cicin-Sain dan Knecht (1998) menyebutkan bahwa keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir mengandung lima dimensi yaitu : keterpaduan antar sektoral (intersectoral integration),keterpaduan antar lembaga pemerintah (intergoverment integration), keterpaduan kawasan (spatial integration), keterpaduan ilmu dan manajemen (science management integration), dan keterpaduan internasional ( international integration). Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tegas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches ), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis (Dahuri et al. 1996; Cicin-Sain dan Knecht 1998). Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas ( upland areas ) maupun laut lepas ( ocean). Kondisi semacam ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PW PLT) harus memperhatikan segenap

Upload: vanthuy

Post on 28-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan

pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,

sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: sektoral,

bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996), Selanjutnya Cicin-Sain

dan Knecht (1998) menyebutkan bahwa keterpaduan dalam pengelolaan wilayah

pesisir mengandung lima dimensi yaitu : keterpaduan antar sektoral (intersectoral

integration),keterpaduan antar lembaga pemerintah (intergoverment integration),

keterpaduan kawasan (spatial integration), keterpaduan ilmu dan manajemen

(science management integration), dan keterpaduan internasional (international

integration).

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tegas,

wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada

tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat

pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai

tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan

mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya

dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary

approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, teknik, sosiologi, hukum,

dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri

dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis

(Dahuri et al. 1996; Cicin-Sain dan Knecht 1998).

Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem

(mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir dan lainnya) yang satu

sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang

menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu,

wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun

proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut

lepas (ocean). Kondisi semacam ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan segenap

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

18

keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi

suatu wilayah pesisir (Dahuri et al. 1996).

Sehubungan dengan karakteristik dan dinamika ekosistem pesisir dan

lautan, menurut Dahuri et al. (1996) dan Clark (1992) menyebutkan bahwa ada

lima belas prinsip dasar (kaidah) yang patut diperhatikan dalam Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) adalah sebagai berikut:

(1) Prinsip 1

Wilayah pesisir adalah suatu sistem sumberdaya (resource system) yang

unik, yang memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola

pembangunannya. Wilayah pesisir merupakan sistem alam yang sangat

kompleks, beragam, dan dinamis. Dari sisi perencanaan, kebanyakan komponen,

peristiwa dan proses-proses ekologis yang ada di kawasan pesisir, khususnya di

kawasan perairannya. Tidak dapat diamati secara langsung oleh mata kita dan

sedikit sekali informasi tentang hal-hal tersebut. Contohnya adalah proses abrasi

pantai, migrasi ikan, dan biota laut lainnya, nasib bahan pencemar dalam laut,

dan proses makan-memakan antar organisme (biota) di dalam laut. Oleh karena

itu, sekali lagi, bahwa pendekatan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya

alam yang biasa diterapkan di ekosistem daratan tidak akan relevan jka

diaplikasikan di kawasan pesisir. Pendekatan sistem dan interdisiplin sangat

diperlukan di dalam mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan

secara berkelanjutan.

(2) Prinsip 2

Air merupakan faktor kekuatan penyatu utama (the major integrating

force) dalam ekosistem wilayah pesisir. Oleh karena itu wilayah pesisir

merupakan kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan, maka setiap

aspek dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT)

baik secara langsung maupun tidak langsung selalu berhubungan dengan air.

Melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run off), dan aliran air tanah

(ground water), air tawar beserta segenap isinya, seperti unsur nutrien, bahan

pencemar, dan sedimen, dari ekosistem daratan akhirnya bermuara di perairan

pesisir. Unsur dan senyawa kimiawi, termasuk bahan pencemar, dapat juga

diangkut dari ekosistem daratan atau atmosfir (udara) dan ditumpahkan ke

ekosistem pesisir melalui air hujan. Pola sedimentasi dan erosi (abrasi) pantai

juga ditentukan oleh pergerakan berupa arus, pasang surut dan gelombang.

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

19

(3) Prinsip 3

Tata ruang daratan dan lautan harus direncanakan serta dikelola secara

terpadu. Penyusunan tata ruang (penggunaan lahan) wilayah daratan, terutama

yang memiliki sungai, harus mempertimbangkan penggunaan kawasan pesisir.

Apabila penggunaan kawasan pesisir adalah untuk kawasan lindung, maka tata

ruang kawasan daratan yang ada di sebelah hulunya harus lebih bersifat

konservatif daripada kalau penggunaan kawasan pesisirnya untuk kawasan

budidaya. Kawasan budidaya berupa pariwisata bahari dan pertambakan udang

memerlukan kualitas perairan pesisir yang baik, sehingga tata ruang kawasan

dataran rendah (low land) sampai ke lahan atas dari suatu sistem Daerah Aliran

Sungai (DAS) harus disesuaikan dengan persyaratan tersebut. Misalnya tidak

diperkenankan adanya industri yang limbahnya dapat mencemari perairan

pesisir.

(4) Prinsip 4

Daerah perbatasan antara laut dan darat hendaknya dijadikan fokus

utama (focus point) dalam setiap program pengelolaan wilayah pesisir. Meskipun

batas wilayah pesisir dapat meliputi daerah yang luas atau sempit, wilayah ini

selalu mempunyai tepian laut (the edge of the sea atau daerah perbatasan

antara daratan dan laut) yang meliputi daerah subtidal, intertidal (pasang surut),

dan supratidal. Di daerah perbatasan inilah terdapat habitat-habitat yang

produktif (mangroves, terumbu karang dan estuaria). Akan tetapi, sekaligus juga

merupakan tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan

secara intensif, seperti pembangunan waterfront city, rekreasi pantai, tambak

udang lainnya. Di daerah perbatasan ini pula, kompetisi atau konflik pemanfaatan

ruang dan sumberdaya pesisir antar para pengguna (coastal resources users)

berlangsung hebat. Oleh karenanya, meskipun batas wilayah pengelolaan suatu

wilayah pesisir dari perspektif perencanaan (planning zone) biasanya sangat

luas, tetapi untuk batas pengelolaan wilayah pesisir secara operasional (day-to-

day management atau regulation zone) pada umumnya difokuskan hanya di

daerah perbatasan ini.

(5) Prinsip 5

Batas suatu wilayah pesisir harus ditetapkan berdasarkan pada isu dan

permasalahan yang hendak dikelola serta bersifat adaptif. Batas wilayah pesisir

untuk program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu

(PWPLT) harus ditetapkan dengan maksud agar dapat menangkap dan

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

20

memecahkan semua isu serta permasalahan yang ada. Mengingat

permasalahan pembangunan wilayah pesisir biasanya sangat beragam dan

kompleks, maka batas pengelolaan wilayah pesisir juga bervariasi. Batasan yang

sempit, seperti yang dipraktekan oleh Costa Rica, sangat cocok untuk mengatasi

permasalahan atau konflik yang hanya berlangsung di daerah perbatasan antara

darat dan laut, seperti abrasi pantai. Akan tetapi, jika permasalahannya adalah

pencemaran atau sedimentasi yang sumber penyebabnya ada di hulu sungai,

maka batas wilayah pesisir untuk perencanaan sampai ke hulu sungai adalah

lebih sesuai.

(6) Prinsip 6

Fokus utama dari pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk

mengkonservasi sumberdaya milik bersama (common property resources). Batas

wilayah intertidal dan daerah dangkal biasanya merupakan bagian yang

terlupakan pada wilayah pantai milik bersama dan merupakan satu-satunya dari

seluruh kebutuhan pengelolaan melalui program PWPLT. Oleh karena itu, dalam

fase perencanaan PWPLT, prioritas mesti diberikan untuk pemahaman dalam

pemanfaatan, hak atas hukum, dan masalah yang menyangkut sumberdaya-

sumberdaya tersebut.

(7) Prinsip 7

Pencegahan kerusakan akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya

alam harus dikombinasikan dalam satu program PWPLT. Program PWPLT

adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang menimpa wilayah

pesisir dan konservasi sumberdaya. Seperti banyak perencana dan manajer

berpengalaman telah mengetahui, bahwa teknik pengelolaan yang sesuai untuk

konservasi sumberdaya alam pesisir seringkali dapat berfungsi ganda untuk

melindungi lahan pesisir serta sarana dan prasarana yang ada di atasnya dari

amukan gelombang dan badai.

(8) Prinsip 8

Semua tingkat pemerintahan dalam suatu negara harus diikutsertakan

dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Pemerintah daerah

setempat perlu diikutsertakan karena mereka mengelola tempat dimana

pembangunan dilaksanakan, sumberdaya ditemukan, dan keuntungan atau

bahkan hukuman sebagian besar dijatuhkan. Pemerintah pusat harus terlibat

sebab pertanggungjawaban dan kekuasaan untuk masalah kelautan sudah pasti

ada disitu (navigasi, keamanan nasional, migrasi ikan, hubungan internasional,

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

21

dan lain-lain). Pemerintah tingkat menengah seperti propinsi harus diikutsertakan

karena seluruh pihak-pihak yang bertanggungjawab di wilayah pesisir

mempunyai suatu peran dalam proses PWPLT. Wilayah pesisir merupakan

kawasan yang kompleks ditinjau dari segi pemerintahan dan membutuhkan suatu

koordinasi yang baik antar instansi.

(9) Prinsip 9

Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam

adalah tepat dalam pembangunan wilayah pesisir. Pendekatan yang paling

efektif dalam pembangunan pantai dan rekayasa pantai (coastal engineering)

adalah disesuaikan dengan kekuatan alam atau beradaptasi dengan kekuatan

alam atau beradaptasi dengan kekuatan-kekuatan tersebut. Pendekatan ini

disebut pendekatan nature-synchonous atau design with nature.

(10) Prinsip 10

Evaluasi manfaat ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir serta

partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan wilayah pesisir. Burbridge

dan Koesoebiono (1981) yang diacu dalam Dahuri et al. (1996) mengungkapkan

bahwa memang sulit untuk menilai ekosistem secara tepat dengan

menggunakan teknik aplikasi ekonomi yang konvensional yang biasa diterapkan

dalam suatu perencanaan proyek. Pertama, banyak barang dan jasa yang

diproduksi oleh sistem ini dalam kondisi alami tidak mudah diekspresikan dalam

suatu nilai pasar. Kedua, banyak barang dan jasa dipanen di luar lokasi, jadi

barang dan jasa tersebut adalah eksternal bagi ekosistem yang lain dan menjadi

eksternalitas secara ekonomi bagi sistem yang berdekatan. Ketiadaan nilai pasar

bagi banyak barang dan jasa lingkungan tidak menimbulkan suatu problem yang

tidak dapat diatasi, sebab perkiraan kualitatif dari keberadaannya dapat

dihubungkan dengan suatu analisis yang terencana dan hati-hati.

Bagaimanapun, bila beberapa faktor dapat dihitung sedangkan faktor lainnya

tidak (dampak gaya hidup tradisional). Kemudian, tipe efek harus diteliti dan

dibawa bersama dengan informasi terkait lainnya sebagai suatu paket yang

dipertimbangkan.

(11) Prinsip 11

Konservasi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuan utama dari

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir. Pemanfaatan yang berkelanjutan

adalah alternatif dari pengurangan sumberdaya yang terkait dengan eksploitasi

besar-besaran untuk keuntungan jangka pendek. PWPLT dibangun dari suatu

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

22

ide bahwa sistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk menyediakan

suatu hasil pada tingkat yang berkelanjutan.

(12) Prinsip 12

Pengelolaan multiguna (multiple-use) sangat tepat digunakan untuk

semua sistem sumberdaya wilayah pesisir. Pemanfaatan eksklusif suatu unit

sumberdaya untuk satu tujuan ekonomi kurang sesuai dengan konsep PWPLT.

Hal tersebut disebabkan masih belum dipakainya prinsip keseimbangan antara

keuntungan ekonomi dengan kepentingan sosial dan konservasi. Tujuan

multiguna yang sesuai harus selalu didukung dengan tujuan penguatan program,

perbaikan efisiensinya, dan jaminan keuntungan terbesar yang dirasakan oleh

masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya yang adil. Aliran maksimum

barang dan jasa alami dari suatu sistem sumberdaya pesisir dapat dinutrientkan

dalam suatu pendekatan PWPLT multiguna.

(13) Prinsip 13

Pemanfaatan multiguna (multiple-use) merupakan kunci keberhasilan

dalam pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Peran serta semua

pihak yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat penting di dalam

menentukan keberhasilan pendekatan perencanaan dan pengelolaan

pembangunan sumberdaya pesisir secara multiguna (muliple-use) dan multi

sektor. Mengingat bahwa manusia adalah subjek, bukan objek dari proses

pembangunan, maka peran serta masyarakat adalah esensial bagi keberhasilan

pembangunan secara menyeluruh.

(14) Prinsip 14

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara tradisional harus dihargai.

Masyarakat pesisir (coastal communities) yang sudah beratus-ratus tahun,

secara turun-temurun, memanfaatkan ruang atau sumberdaya pesisir biasanya

memiliki kearifan ekologis (ecological wisdom) untuk dapat mengelola

pemanfaatan sumberdaya pesisir, seperti Sasi di Maluku, Panglima Laot di Aceh,

Andofi di Papua dan Rompong di Makasar. Oleh karena itu, di dalam

menerapkan konsep pengelolaan terpadu dari suatu wilayah pesisir perlu kiranya

mempertimbangkan pengelolaan sumberdaya pesisir yang sudah mentradisi

digunakan oleh masyarakat pesisir setempat.

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

23

(15) Prinsip 15

Analisis dampak lingkungan sangat penting bagi pengelolaan wilayah

pesisir secara efektif. Dari studi mengenai Analisis dampak lingkungan (ANDAL)

didapatkan tiga macam keuntungan (1) hubungan sebab-akibat dari kegiatan

pembangunan terhadap ekosistem pesisir dapat diperkirakan dengan tingkat

ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan dan dijadikan dalam format yang

dimengerti oleh para pengambil keputusan; (2) hasil prakiraan dampak dapat

memperbaiki serta mempertajam peencanaan dan proses pengambilan

keputusan; dan (3) pemerintah dapat melaksanakan keputusan-keputusan

tentang pengelolaan sumberdaya pesisir berdasarkan pada hasil studi ANDAL.

2.2 Karakteristik Sumberdaya Pesisir

Daerah penangkapan ikan dari nelayan artisanal umumnya adalah

wilayah perairan pesisir. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan (interface area)

antara ekosistem darat dan laut. Batas ke arah darat: (1) secara ekologis,

kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut,

intrusi air laut dan percikan gelombang; (2) secara administratif, batas terluar

sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter (2 km, 20 km dan

>20 km dari garis pantai); dan (3) secara perencanaan, bergantung pada

permasalahan yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir, misalnya

pencemaran dan sedimentasi atau hutan mangrove. Sedangkan batas ke arah

laut: (1) secara ekologis, kawasan laut yang masih dipengaruhi proses-proses

alamiah dan kegiatan manusia di daratan seperti aliran sungai, limpahan air

permukaan, sedimentasi dan bahan pencemar; (2) secara administratif jarak 4

mil, 8 mil, dan 12 mil dari garis pantai; dan (3) segi perencanaan, suatu kawasan

yang bergantung pada permasalahannya yaitu kawasan yang masih dipengaruhi

oleh dampak pencemaran atau sedimentasi, atau proses-proses ekologi lainnya

(Bengen 2003; Dahuri et al. 1996).

Menurut Bengen (2002) dan Ortolano (1984) berdasarkan prinsip

ekosistem pesisir dan laut mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia,

yaitu: (1) sebagai penyedia sumberdaya alam seperti sumberdaya ikan,

mangrove, terumbu karang dan lain-lain; (2) sebagai penerima limbah, yang

menampung limbah dari aktivitas di darat dan laut; (3) sebagai penyedia jasa-

jasa pendukung kehidupan, misalnya air bersih dan tempat budidaya perikanan

payau (tambak) dan laut; dan (4) sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan

(amenity) seperti tempat rekreasi dan pengembangan pariwisata bahari, dan lain-

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

24

lain. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan pemanfatan sumberdaya pesisir

agar dikelola secara bijaksanana dan penuh kehati-hatian (precautionary), dan

terpadu karena banyak stakeholder di kawasan pesisir.

Dalam ekosistem pesisir terdapat potensi sumberdaya alam pesisir yang

kaya. Sebagai suatu ekosistem, wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam

yang produktif yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung seperti

sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (renewable resources) seperti

perikanan, terumbu karang, mangrove, dan padang lamun; dan sumberdaya

alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (unrenewable resources), diantaranya

mineral dan migas. Sehingga begitu pentingnya keberadaan sumberdaya pesisir

bagi kemakmuran bersama masyarakat suatu bangsa, karena di kawasan pesisir

terdapat beragam dan intensitas aktivitas pembangunan ekonomi.

Tabel 1 Jenis kegiatan sektor pembangunan berdasarkan zona di wilayah pesisir dan lautan

ZONA

Lahan Pesisir-12 mil 12 mil -Laut Nusantara

12-200 mil - Laut Lepas

Laut Internasional (diluar 200 mil)

1 Perikanan Pelagis kecil

1 Perikanan Pelagis kecil

1 Perikanan Pelagis kecil

1 Perikanan Pelagis kecil

2 Perikanan Ikan Karang

2 Perikanan Pelagis besar

2 Migas 2 Mineral

3 Perikanan Demersal

3 Perikanan Demersal

3 Perhubungan 3 Perhubungan

4 Perikanan Udang

4 Migas 4 Riset 4 Riset

5 Marikultur 5 Perhubungan 5 Pertahanan dan Keamanan

6 Budidaya Tambak

6 Riset

7 Pariwisata 7 Pertahanan dan Keamanan

8 Konservasi 9 Pelabuhan

Perikanan

10 Pelabuhan Umum

11 Galangan Kapal 12 Industri Maritim 13 OTEC (Ocean

Bio-termal)

14 Riset 15 Pertahanan dan

Keamanan

Sumber: Dahuri (2003b)

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

25

Dahuri (2003b) berpendapat bahwa wilayah pesisir dan lautan dapat

dibagi menjadi 5 zona pembangunan. Zona pertama adalah meliputi lahan pesisir

(coastal land) sampai perairan laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Sesuai

dengan sifat biofisiknya, dalam zona ini dapat dikembangkan berbagai macam

kegiatan pembangunan seperti pertanian pesisir (coastal agriculture), kehutanan

(mangrove), perikanan budidaya tambak, marikultur, perikanan tangkap,

pariwisata, kepelabuhan dan perhubungan, pertambangan dan energi, indusri

maritim, dan lain-lain ( lihat Tabel 1). Zona kedua, mencakup wilayah laut

nusantara (archipelagic waters) di luar 12 mil laut. Zona ketiga meliputi wilayah

laut dari 12 mil sampai 200 mil ke arah laut lepas (batas terluar Zona Ekonomi

Ekslusif). Zona keempat adalah wilayah laut bebas (international seas) di luar

(beyond) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Kemudian Zona kelima adalah wilayah

gugusan pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka-Belitung,

Kepulauan Seribu, Kepulauan Wakatobi, Kepulauan Sangihe Talaud, dan Maluku

Tenggara Barat.

Berdasarkan Tabel 1, secara potensi sumberdaya hayati (biological

resources ), zona pertama yang merupakan kawasan pesisir yang paling

produktif. Kondisi ini disebabkan ketersediaan unsur hara (nutrient) cukup

melimpah baik yang berasal dari aliran sungai dan aliran permukaan (run-off)

daratan maupun dari fenomena “up-welling” (pembalikan massa air dari kolom air

di dasar ke atas) serta sinar matahari yang dapat menembus hampir seluruh

kolom air laut di zona ini yang umumnya dangkal, sehingga proses fotosintesis

dapat berlangsung sepanjang tahun untuk menghasilkan komunitas produsen

primer (primery producers), seperti fitoplankton dan makro algae, dalam

biomassa yang besar; yang kemudian diikuti oleh kelimpahan komunitas

herbivora (grazers), seperti zooplankton dan ikan; komunitas karnivora; dan

seterusnya (Dahuri 2003b).

Lahan pesisir (coastal land) yang sebagian besar terbentuk oleh endapan

aluvial, juga merupakan lahan pertanian yang subur. Oleh karena itu, selain

untuk tambak udang atau bandeng, lahan pesisir biasanya juga merupakan lahan

pertanian yang subur sebagai lumbung pangan, seperti Kerawang, Subang, dan

Indramayu. Selain itu, zona pesisir juga pada umumnya merupakan bentang

alam dengan panorama yang indah, seperti pantai berpasir putih, terumbu

karang, lokasi selancar air, pemandangan sunset, dan lain-lainnya, sehingga

kegiatan pariwisata pantai dan bahari pun berkembang pesat. Kemudian untuk

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

26

media transportasi, mendapatkan air pendingin (cooling water) untuk pabrik-

pabrik dan kondisi geomorfologi yang umumnya landai juga menjadikan zona

pesisir ini sebagai lokasi pusat-pusat pemukiman, kawasan industri dan bisnis,

dan pelabuhan.

Menurut Dahuri (2003a; b) bahwa kawasan pesisir (zona pertama) seperti

yang dikemukakan diatas, memang merupakan zona pemanfaatan yang serba-

neka (a multiple development zone). Secara lebih lengkap Bengen (2003)

mengemukakan bahwa kawasan pesisir memiliki karakteristik yang khas, yaitu:

(1) terdapat keterkaitan ekologis yang erat antara wilayah pesisir dengan daratan

dan lautan; (2) memiliki tingkat produktivitas hayati yang tinggi; (3) sangat

dinamis dan fluktuatif; (4) terdapat lebih dari satu sumberdaya alam dan jasa

lingkungan di wilayah pesisir; (5) terdapat lebih dari 2 kelompok masyarakat

dengan preferensi yang berbeda; (6) terdapat lebih dari satu jenis pemanfaatan

sumberdaya pesisir, karena pemanfaatan secara single use lebih rentan

ketimbang multiple use, baik secara ekologis maupun ekonomis; (7) sumberdaya

wilayah pesisir merupakan milik bersama (common pool resources); dan (8)

merupakan tempat penampungan akhir limbah baik dari lahan atas maupun laut

lepas. Dengan keadaan yang demikian, maka pola-pola pemanfaatan

sumberdaya pesisir memerlukan sistem pengelolaan sumberdaya pesisir secara

terpadu (integrated coastal resource management system) agar sumberdaya

pesisir dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

Berdasarkan karakteristik wilayah pesisir tersebut diatas, maka untuk

melaksanakan pembangunan kawasan pesisir berkelanjutan (sustainable coastal

development) memerlukan pendekatan terpadu dan holistik. Disamping itu untuk

pengembangan wilayah pesisir juga dibutuhkan penataan kelembagaan yang

berbasis pada budaya yang berkembang dalam masyarakat lokal (indegenous

knowledge) seperti hak-hak kepemilikan tradisional dan hak ulayat laut. Kinseng

(1997) mengemukakan bahwa hak ulayat laut merupakan suatu sistem

“pemilikan” dan penguasaan sumberdaya alam yang banyak dijumpai pada

masyarakat lokal atau suku-suku di Indonesia. Bila bentuk pengelolaan

sumberdaya (resource management regimes ) itu dibagi empat kelompok, yakni

state property regimes, private property regimes, common property regimes dan

open acces regimes, maka hak ulayat laut termasuk kedalam kelompok common

property regimes. Dalam sistem ini, suatu sumberdaya “dimiliki” dan dikuasai

oleh suatu kelompok atau komunitas tertentu yang jelas dan dapat diidentifikasi

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

27

(identisiable). Mereka memiliki aturan-aturan tertentu menyangkut pemanfaatan

dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan tersebut. Komunitas ini

mempunyai hak yang eksklusif dan orang luar pada dasarnya tidak memiliki hak

atas sumberdaya milik komunitas tersebut.

Menurut Adiwibowo (2002), dalam sistem pengelolaan sumberdaya

perikanan pantai ada beberapa karakteristik dari sumberdaya pesisir dan lautan

yang perlu dipahami, agar model pengelolaan yang akan dikembangkan adaptif

dengan kondisi ekologis, dan situasi sosial, ekonomi dan politik masyarakat

setempat, yakni antara lain:

(1) Kondisi kelimpahan dan tingginya mobilitas sumberdaya hayati perairan

pesisir dan laut seperti ikan, udang dan lain-lain;

(2) Pengaruh bulan dan matahari terhadap dinamika pasang dan surut air laut;

(3) Perbedaan gender yang sangat tajam di sektor ekonomi produktif,

khususnya penangkapan ikan di laut;

(4) Rumah tangga pesisir umumnya mempunyai nafkah ganda, bermata

pencaharian dilaut dan di darat;

(5) Sumberdaya pesisir dan laut Indonesia merupakan common property

resource, atau yang oleh Ostrom (1997) diistilahkan sebagai common-pool

resouce. Dikatakan demikian karena seseorang atau lembaga tidak bisa

atau sulit menolak pihak lain yang juga berkeinginan mengeksploitasi

sumberdaya pesisir tersebut (exclusion problems). Sementara itu kalau

dieksploitasi bersama (joint use), yang terjadi adalah berkurangnya

sumberdaya pesisir tersebut, atau terjadi rivalitas di kalangan para pengguna

(stakeholders);

(6) Ditinjau dari peraturan perundangan yang berlaku, sumberdaya pesisir dan

laut di Indonesia tergolong sebagai state property right. Secara de Jure,

akses dan kontrol terhadap sumberdaya pesisir dan laut ini sebenarnya

masih berada dipihak negara (dahulu seluruhnya berada ditangan

Pemerintahan Pusat, dan sekarang dengan adanya UU No. 32 tahun 2004

berada ditangan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat). Namun pada

kenyataannya (de facto), karena lemahnya penegakan hukum, sumberdaya

pesisir tersebut merupakan open access (no property right). Situasi ini

menjadi bertambah runyam, manakala state property right tersebut hanya

terbuka untuk sekelompok pengusaha atau golongan tertentu yang dekat

dengan pemegang kekuasaan, dan tertutup untuk masyarakat umum, dan

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

28

bahkan negara menggunakan kekuatan paksa (coersive power) untuk

menutup sumberdaya alam tersebut.

Sumberdaya perikanan terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya

lingkungan, serta segala sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk

memanfaatkan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, pengelolaan atau manajemen

sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan,

pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia. Bahkan secara

lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa manajemen sumberdaya perikanan adalah

manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatakan sumberdaya ikan

(Nikijuluw 2002).

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Perikanan definisi dari

sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Sifat dari sumberdaya ikan

adalah sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable). Sifat dapat dipulihkan

berarti jika sumberdaya diambil sebagian, sisa ikan yang tertinggal memiliki

kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang biak. Dengan

sifat dapat dipulihkan ini, berarti stok atau populasi sumberdaya ikan tidak boleh

diambil atau dimanfaatkan secara sembrono tanpa memperhatikan struktur

umum ikan dan rasio kelamin dari populasi ikan yag tersedia. Jika saja umur dan

struktur populasi ikan yang tersisa sedemikian rupa sehingga kemampuan

memulihkan diri sangat rendah atau lambat, berarti sumberdaya ikan tersebut

berada pada kondisi hampir punah.

Sumberdaya ikan terdiri dari beberapa jenis atau kelompok jenis. Ikan-

ikan pelagis adalah jenis ikan yang hidup di kolom atas atau permukaan air.

Umumnya, ikan-ikan jenis ini memiliki kemampuan gerak dan mobilitas yang

tinggi. Ikan-ikan demersal adalah jenis yang biasanya tinggal di dasar perairan

dan memiliki kemampuan gerak yang rendah dan tinggi. Jenis ikan lainnya

adalah ikan yang sangat rendah dan lambat mobilitasnya sehingga terkesan

menetap atau tinggal di dasar perairan. Jenis ikan yang terakhir ini dikenal

dengan nama ikan sedentari (Nikijuluw 2002).

Pada umumnya, ikan tetap bergerak dari suatu tempat ke tempat lain.

Jenis-jenis ikan tertentu dapat berenang, berpindah, atau bermigrasi dari suatu

perairan ke perairan lain, bahkan hingga melintasi samudera. Ikan-ikan lainnya

hanya bergerak di perairan tertentu secara cepat dan lambat. Namun, dengan

sifat ikan bergerak ini, upaya menduga atau memperkirakan jumlah ikan serta

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

29

ukuran stok ikan menjadi pekerjaan yang relatif sulit. Implikasi lainnya,

pengelolaan sumberdaya ikan menjadi tidak mudah untuk dilakukan.

2.3 Definisi dan Karakteristik Nelayan

Berdasarkan UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan

didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan

ikan. Dengan demikian pengertian secara sempit masyarakat nelayan adalah

orang yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan

kondisi sumberdaya ikan. Panayotou (1985a) mengelompokan nelayan ke dalam

empat kelompok utama, yaitu subsistence, indigenous, commercial dan

recreation. Sementara itu nelayan komersial dikelompokan lagi menjadi dua

kelompok, yaitu nelayan artisanal dan nelayan industri. Secara lengkap

pengelompokan nelayan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Pengelompokan nelayan (Panayotou 1985a)

Menurut DKP (2005) nelayan diklasifikasikan berdasarkan alokasi

curahan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi

penangkapan atau pemeliharaan ikan atau biota laut lainnya, yaitu:

1. nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk

melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota laut lainnya,

2. nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya

digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota

laut lainnya,

3. nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya

digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau biota laut

lainnya.

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

30

Untuk memperjelas pengertian nelayan artisanal, Berkes et al. (2001)

mengemukakan sejumlah karakteristik yang lebih lengkap mengenai nelayan

artisanal dibandingkan dengan nelayan industri sebagaimana tertera di Tabel 2.

Tabel 2 Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya

Karakteristik Hubungan Perikanan

Kategori

Skala Besar Skala Kecil Subsisten

(Industri) (Artisanal) § Unit

penangkapan Stabil, dengan pembagian kerja dan peluang karir

Stabil, kecil, spesialisasi pembagian kerja

Sendiri, atau keluarga atau komunitas kelompok

§ Kepemilikan Bukan pelaku Biasanya dimiliki oleh pelaku senior, atau pelaku gabungan

Pemiliknya si pelaku

§ Komitmen waktu

Biasanya penuh waktu

Penuh atau paruh waktu

Paruh waktu

§ Kapal Bertenaga mesin, banyak peralatan

Kecil, motor dalam (atau motor tempel)

Kecil, biasanya tidak bermotor

§ Tipe peralatan Mesin, dirakit oleh pelaku

Sebagian atau semua material mesin, dirakit oleh pelaku

Material buatan sendiri, dirakit oleh pelaku

§ Alat tangkap Elektronik, otomatis Mekanik dan manual Sebagian besar tidak mekanik

§ Investasi Tinggi, proporsi lebih besar dari pada oleh pelaku

Menengah ke rendah, seluruhnya oleh pelaku

Rendah

§ Hasil tangkapan Besar Sedang ke rendah Rendah ke sangat rendah

§ Penjualan hasil tangkapan

Pasar yang terorganisasir

Penjualan lokal, konsumsi signifikan oleh operator

Sebagian dikonsumsi oleh pelaku, keluarga dan sahabat, ditukar dengan barter, kadang-kadang dijual

§ Pengolahan hasil tangkapan

Lebih banyak untuk tepung ikan dan bukan konsumsi manusia

Pengeringan, pengasapan, penggaraman, sebagian besar untuk konsumsi manusia

Sedikit atau tidak, semua untuk konsumsi manusia

§ Tingkat pendapatan pelaku

Tinggi Sedang Minim (rendah)

§ Integrasi ekonomi

Formal, integrasi penuh

Integrasi parsial Informal, tidak terintegrasi

§ Masa kerja Penuh waktu atau musiman

Sering multi pekerjaan Multi pekerjaan

§ Luas pemasaran

Produk ditemukan diseluruh dunia

Nasional dan lokal Lokal dan hanya tingkat daerah

§ Kapasitas manajemen dari otoritas perikanan

Layak, dengan banyak ilmuwan dan manager

Minimal untuk moderat, dengan sedikit ilmuwan atau manager

Sering tidak dikelola kecuali oleh pengguna sumberdaya

§ Unit manajemen Satu atau beberapa unit besar

Biasanya banyak unit kecil

Sangat banyak unit kecil

§ Pengumpulan data perikanan

Tidak terlalu sulit, ada kapasitas kekuasaan

Sulit dalam kaitan perikanan dan figur otoritas

Sering tidak ada data, pengumpulan data sulit dilakukan

Sumber : Berkes et al. (2001)

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

31

Sedangkan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi: kapasitas jenis

usaha, orientasi ekonomi, tingkat teknologi (alat tangkap dan armada) dan

hubungan produksi, Satria (2002c) menggolongkan nelayan menjadi 4 kategori

menurut jenis usaha yaitu seperti yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi

Jenis usaha Orientasi Ekonomi dan Pasar

Tingkat Teknologi Hubungan Produksi

§ Usaha tradisional

Sub sistem, rumah tangga

Rendah Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan anak buah kapal (ABK) yang homogen

§ Usaha post-tradisional

Sub sistem, surplus, rumah tangga, pasar domestik

Rendah Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen

§ Usaha komersial

Surplus, pasar domestik, ekspor

Menengah Hirarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang heterogen

§ Usaha industri

Surplus, ekspor Tinggi Hirarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang heterogen

Sumber : Satria (2002c)

Sementara itu Ostrom dan Schlager (1996) mengelompokkan nelayan

berdasarkan pada hak-hak kepemilikan (property rights) setiap nelayan terhadap

sumberdaya ikan, menjadi lima kelompok, yaitu (1) owner, yaitu nelayan yang

memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak

manajemen (management right), hak untuk mengatur tingkat operasional hak

akses (exclusion right) dan hak untuk menjual atau menyewa semua atau bagian

kolektif dari sumberdaya (alienation right); (2) proprietor, yaitu nelayan yang

memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak

manajemen (management right) dan hak untuk mengatur tingkat operasional hak

akses (exclusion right); (3) claimant, yaitu nelayan yang memiliki hak akses

(access right), hak pemanfaatan (withdrawal right) dan hak manajemen

(management right); (4) authorized user, yaitu nelayan yang hanya memiliki hak

akses (access right) dan hak pemanfaatan (withdrawal right); dan (5) authorized

entrant, yaitu nelayan yang hanya memiliki hak akses (access right) saja tanpa

memiliki hak-hak yang lainnya. Secara rinci pengelompokan nelayan tersebut

dapat dilihat pada Tabel 4.

Dalam kerangka sosiologis, masyarakat nelayan memiliki perilaku yang

berbeda dengan masyarakat petani atau agraris. Perbedaan ini sebagian besar

disebabkan karena karakteristik sumberdaya ikan yang menjadi input utama bagi

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

32

kehidupan sosial-ekonomi nelayan. Masyarakat nelayan akrab dengan

ketidakpastian yang tinggi, karena secara alamiah sumberdaya perikanan

bersifat invisible, sehingga sulit untuk diprediksi. Sementara masyarakat agraris

(pertanian dan perkebunan) misalnya memiliki ciri sumberdaya yang lebih pasti

dan visible, sehingga relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait dengan

ekspektasi sosial-ekonomi masyarakatnya. Dalam kondisi seperti ini maka tidak

jarang ditemui karakteristik nelayan yang keras, sebagian temperamental dan

tidak jarang berperilaku boros, karena ada persepsi bahwa sumberdaya

perikanan “tinggal diambil” di laut.

Tabel 4 Pengelompokan nelayan berdasarkan pada hak-hak terhadap sumberdaya Ikan

Property Right Types

Owner Proprietor Claimant Authorized user

Authorized entrant

Access right v v v v v Withdrawal right v v v v Management right v v v Exclusion right v v Alienation right v Sumber: Ostrom dan Schlager (1996)

Selanjutnya, kajian sosiologis dan ekonomis masyarakat nelayan dalam

sistem pengelolaan perikanan artisanal pada khususnya mencakup beberapa

aspek penting yaitu : (1) identifikasi motivasi dan prioritas dari pengguna

sumberdaya ikan (nelayan); (2) identifikasi pranata sosial dan pengaruhnya

terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan; (3) analisis kelembagaan yang terkait

dengan sumberdaya ikan; (4) analisis kepemimpinan dan pengambilan

keputusan dalam masyarakat nelayan; (5) analisis aliran sumberdaya dalam

komunitas nelayan; (6) analisis peran wanita dalam pemanfaatan sumberdaya

ikan; (7) analisis pola partisipasi; dan (8) analisis distribusi kesejahteraan dan

kerentanan sosial ekonomi masyarakat pesisir, dan lain-lain (Pollnac dan

Crawford 2000; Townsley 1993).

Dalam tataran sosiologis pula, patron-client relationship merupakan

karakteristik umum khas dari masyarakat nelayan (Satria 2001; 2002c). Hal itu

sudah menjadi pengetahuan umum bahwa nelayan banyak menggantungkan

dirinya pada “patron” yang mampu menyediakan input produksi bagi kegiatan

penangkapan ikannya. Dengan ketidakpastian dan resiko yang tinggi, nelayan

cenderung mengeliminasi resiko tersebut dengan menjalin hubungan dengan

pemilik modal (Juragan istilah di Jawa, Ponggawa di Sulawesi, dan Tauke di

Batam, Kepulauan Riau). Dengan demikian ada pembagian resiko yang

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

33

termaktub dalam hubungan patron-client tersebut. Hubungan patron-client ini

seringkali mengalami distorsi, sehingga yang terjadi bukan sebuah sinergis

sosial-ekonomi, melainkan hubungan eksploitasi sosial ekonomi. Hal ini

disebabkan karena adanya ketimpangan peran antara patron dan client, dimana

client cenderung berada di bawah patron dalam struktur sosial ekonomi

masyarakat nelayan.

Karakteristik penting lain dari masyarakat pesisir, khususnya nelayan

adalah adanya stratifikasi sosial ekonomi dalam komunitas nelayan setempat.

Sorokin (1962) diacu dalam Satria (2002c) misalnya membedakan stratifikasi

sosial menjadi 3 jenis yaitu (1) stratifikasi karena status ekonomi (economically

stratified); (2) stratifikasi karena perbedaan status politik (politically stratified)

seperti karena perbedaan gelar kehormatan, kedudukan, jabatan dan lain-lain;

(3) stratifikasi karena perbedaan status pekerjaan (occupationally stratified).

Dalam struktur sosial dari komunitas nelayan, seringkali dibedakan dalam pola

hubungan status sosialnya antara nelayan pemilik (juragan, tauke) dengan

nelayan pekerja (pandega) yang terdiri dari: Juru mudi (sekaligus merangkap

sebagai fishing master, Tekong), juru masak, juru mesin, nelayan buruh, dan

lain-lain. Kedudukan sosial-ekonomi nelayan tersebut tidak sama yang ditandai

dengan pola bagi hasil tangkapan ikan yang menempatkan pemilik lebih tinggi

dari pada pandega, juru mudi lebih tinggi dari juru masak dan mesin, juru masak

lebih tinggi dari buruh nelayan, dan demikian seterusnya secara hirarki. Sistem

status sosial dari masyarakat nelayan, akan lebih komplek tampaknya pada

usaha perikanan komersial dengan skala usaha menengah dan besar (perikanan

industri), sedangkan pada struktur masyarakat nelayan artisanal keragaan dari

sistem status sosialnya relatif sederhana (homogen).

2.4 Rezim dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

Menurut Hanna et al. (1996) terdapat 4 tipe rezim hak kepemilikan dalam

sistem pengelolaan perikanan laut yang dikenal oleh masyarakat perikanan,

yaitu: (1) rezim hak kepemilikan pribadi (private property regime); (2) rezim hak

milik bersama (common property regime); (3) rezim hak milik negara (state

property regime); dan (4) rezim tanpa hak milik (open acces regime).

Karakteristik dari masing-masing tipe rezim tersebut berdasarkan unit pemegang

hak kepemilikan, dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana

diungkapkan pada Tabel 5.

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

34

Sedangkan kebijakan sistem pengelolaan perikanan ada 2 tipe yang

ekstrim, yaitu: (1) pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah atau dikenal

dengan istilah pengelolaan sentralistis (Government Centralized Management =

GCM); dan (2) pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat (Community

Based Management = CBM). Pengelolaan sentralistis adalah rezim pengelolaan

sumberdaya alam dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan dan

wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya alam, sehingga pemerintah

mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak

mengalihkan sumberdaya alam.

Tabel 5 Tipe rezim hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Tugas Pemilik § Hak milik pribadi Individu Penggunaan SDI

secara sosial diterima; kendali akses

Penghindaran pengunaan secara sosial tidak dapat diterima

§ Hak bersama Kolektif Pengaturan bukan pemilik

Pemeliharaan; menghambat tingkat penggunaan

§ Hak negara Warga negara Menentukan aturan

Memelihara tujuan sosial

§ Akses terbuka (tidak ada hak milik)

Tidak ada Menangkap Tidak ada

Sumber: Hanna et al. (1996)

Implikasi dari kebijakan sentralistik tersebut menimbulkan berbagai konflik

yang sangat rumit yang terjadi di wilayah pesisir (coastal zone), seperti hancur

dan rusaknya potensi sumberdaya pesisir, konflik antar kelas sosial masyarakat

nelayan, kemiskinan yang terus melilit kehidupan masyarakat pesisir dan lain

sebagainya (Kusumastanto, 2003; Satria et al., 2002b). Hal ini dikarenakan

kebijakan ini bersifat top-down, yang menempatkan masyarakat nelayan sebagai

obyek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli “masa bodoh”

terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme

hukum yang berlaku turun-temurun di masyarakat pesisir, seperti hak ulayat laut

(marine tenure rights) yang ditemukan di beberapa lingkungan masyarakat

nelayan artisanal kawasan Indonesia Timur (Saad, 2003). Selain itu kekuatan

modernisasi yang bertumpu pada ideologi pembangunan di era orde baru telah

mengabaikan sistem hukum adat yang dijunjung tinggi fungsinya oleh

masyarakat setempat (Suwarsono dan Alvin, 2000).

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

35

Kegagalan kebijakan sentralistik dalam sistem pengelolaan sumberdaya

ikan telah menciptakan permasalahan yang begitu kompleks di masyarakat yang

tinggal di sekitar wilayah pesisir, sehingga hal ini harus segera disikapi dengan

cara mencari model baru pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka

mewujudkan visi pembangunan perikanan berkelanjutan yang mampu

mensejahterakan para pelakunya. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir

berbasiskan masyarakat merupakan suatu model lama dalam pengelolaan

perikanan yang selama ini termarginalkan oleh kebijakan pemerintahan yang

sentralistik (Saad, 2003). Model-model pengelolaan sumberdaya berbasis

masyarakat adat tersebut terdapat di beberapa daerah pesisir Indonesia dengan

aturan-aturan lokalnya atau tradisi (adat-istiadat) masyarakat yang diwarisi

secara turun temurun yang telah dipandang efektif sebagai pengendalian

pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian

ekosistem laut dari aktivitas yang merusak, aturan-aturan lokal dalam sistem

pengelolaan perikanan artisanal tersebut, diantaranya adalah Awig-awig di

Lombok dan Bali, Sasi di Maluku, Rompong di Sulawesi Selatan, Panglima Laot

di Nangroe Aceh Darussalam, Sawi di Sulawesi Selatan, Ondoafi di Papua, dan

di beberapa daerah kawasan Indonesia lainnya (Barani, 2006; Wahyono et al.,

2000; Indar et al., 2002). Sedangkan di perairan Kepulauan Riau ditemukan

sistem kelembagaan Kelong (Kelong Pantai dan Kelong Betawi) sebagai unit

penangkapan ikan karang seperti ikan Dingkis (ikan Baronang, Siganus sp), yang

dimiliki secara turun temurun oleh sebagian besar anggota masyarakat nelayan

artisanal. Alat tangkap Kelong Pantai ini beroperasi pada musim ikan tertentu

beruaya (setiap bulan Desember-Pebruari) dengan daerah penangkapan di

sekitar perairan pulau-pulau kecil yang terdapat di kawasan Barelang, Kota

Batam, Propinsi Kepulauan Riau.

Sistem pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu

proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada

masyarakat untuk mengelola sumberdaya ikannya sendiri dengan

memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw, 2002).

Dengan model community base management (CBM) ini, masyarakat pesisir akan

bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan

sumberdaya ikan karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

36

merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya ikan

sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et al., 2002b).

Model CBM lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan

keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir

setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi

daerahnya (Satria et al., 2002a). Selain itu, kelestarian sumberdaya ikan dapat

terjaga dikarenakan proses pengawasan oleh masyarakat dilakukan setiap saat.

Sedangkan kelemahan dari model CBM ini adalah tidak mampu mengatasi

masalah-masalah inter-komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu atau

bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal,

sulit mencapai skala ekonomi serta tinggi biaya institusionalisasinya.

Kedua bentuk model atau rezim pengelolaan perikanan tersebut

mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim

masih sangat sulit mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam

perkembangan perikanan tangkap. Guna mengatasi hal tersebut, kedua rezim ini

bisa dipadukan atau diintegrasikan, sehingga dengan demikian kelemahan yang

satu bisa ditutupi oleh kekuatan yang lain. Pengintegrasian kedua rezim ini

dikenal dengan nama kolaborasi manajemen, kooperasi manajemen, atau ko-

manajemen (co-management).

Ko-manajemen perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari

rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (CBM) dan

rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Pemerintah. Ko-manajemen

perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung

jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola

sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2002). Tujuan utama ko-manajemen adalah

pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata.

Sementara tujuan sekundernya adalah: (1) mewujudkan pembangunan berbasis

masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara

desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif; dan (3)

sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta

mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif. Ada tiga

hal yang sangat menentukan variasi bentuk ko-manajemen serta hirarkinya

adalah:

1. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

37

2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama

oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak.

3. Tahap proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betul-

betul terwujud (perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi).

Nikijuluw (2002) memaparkan beberapa contoh ko-manajemen perikanan

artisanal yang diambil dari kasus-kasus yang terjadi di negara yang mempunyai

budaya dan ekosistem yang berbeda (lihat Gambar 2). Contoh ko-manajemen

perikanan artisanal ada 5 tipe adalah sebagai berikut:

(1) Ko-manajemen Instruktif.

Pada bentuk ko-manajemen ini, pertukaran informasi terjadi timbal balik

masih sangat kurang antara pemerintah dan masyarakat pesisir, karena

peran pemerintah sangat mendominasi setiap informasi. Namun hal ini

berbeda dengan model sentralistis yang sama sekali tidak ada dialog antara

pemerintah dengan nelayan. Artinya, dalam bentuk ini pemerintah yang

membuat rencana kebijakan dan menginformasikannya kepada nelayan

untuk dilaksanakan.

(2) Ko-manajemen Konsultatif.

Bentuk ko-manajemen ini menempatkan masyarakat pesisir hampir sama

dengan pemerintah, dimana terjadinya proses konsultasi pemerintah ke

masyarakat. Namun keputusan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan

sepenuhnya ada di tangan pemerintah, artinya masyarakat hanya sebatas

memberikan masukan saja.

(3) Ko-manajemen Kooperatif.

Bentuk ini menempatkan masyarakat pesisir dan pemerintah pada tingkat

yang sama atau sederajat. Oleh karenanya pada semua tahapan pembuatan

dari perencanaan hingga pengambilan keputusan kedua belah pihak

mempunyai kekuatan yang sama. Artinya, pemerintah dan masyarakat

merupakan mitra yang mempunyai kedudukan yang sama.

(4) Ko-manajemen Pendampingan atau Advokasi.

Pada bentuk ini peran masyarakat pesisir lebih besar dari pemerintah,

masyarakat pesisir memberikan masukan kepada pemerintah untuk

merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, dalam bentuk ini masyarakat

dapat mengajukan rancangan yang tinggal di legalisir (disahkan). Artinya,

peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan

advokasi tentang suatu yang sedang dikerjakan.

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

38

(5) Ko-manajemen Informatif.

Peran masyarakat pesisir lebih besar dari pemerintah dibanding keempat

bentuk sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi

kepada masyarakat pesisir tentang apa harus dikerjakan oleh masyarakat.

Artinya, setiap pembuatan kebijakan dari perumusan hingga pengambilan

keputusan dilakukan oleh masyarakat pesisir. Konsep ko-manajemen

sumberdaya ikan di gambarkan lebih jelas pada Gambar 2.

Rezim ko-manajemen perikanan bekerja dengan cara mengubah

hubungan pelaku pembangunan perikanan, terutama antara pemerintah dan

masyarakat, tetapi juga antara nelayan dengan kelompoknya. Secara umum,

manfaat yang ingin dicapai setiap pelaku ko-manajemen perikanan adalah status

pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata.

Melalui ko-manajemen, pemerintah memiliki kesempatan untuk membuktikan

bahwa keputusan yang diambilnya ternyata bisa secara efektif dilaksanakan. Hal

ini dapat meningkatkan harga diri dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah

menjadi bertambah. Pada masyarakat pesisir, ko-manajemen membawa manfaat

kepada nelayan melalui partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pengambilan

keputusan (Nikijuluw, 2002).

Gambar 2 Rezim ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

(Nikijuluw, 2002)

2.5 Pengertian dan Tipe-Tipe Hak-Hak Kepemilikan (Property Rights)

Istilah hak-hak kepemilikan (property rights) didefinisikan sebagai

serangkaian hak yang menggambarkan tentang hak milik (owner’s right),

keistimewaan (privilages) dan pembatasan-pembatasan dalam penggunaan

sumberdaya alam (Tietenberg, 1992). Menurut Charles (2001) yang

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

39

mengklasifikasikan property right menjadi dua bagian yaitu property right regim

dan types of right. Sementara itu property right regim terdiri dari non property,

state property, common property dan private property. Secara lengkap klasifikasi

property right tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3.

Pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat 4 tipe rezim property right

untuk common pool resources, yaitu: (1) open access (tidak ada batasannya

dalam hak-hak pakai), dimana akses bebas dan terbuka untuk siapa saja; (2)

state property right (or crown), yang mana pemegang hak-hak terhadap suatu

sumberdaya yang dipercayai negara atas kepentingan dari warganegara, (3)

communal property right, dipegang oleh komunitas yang jelas indentitasnya dari

para pengguna dengan hak-hak tertutup lainnya; dan (4) private property right,

dimana seorang individu atau perusahaan yang mempunyai hak-hak yang dapat

melarang masuk lainnya dari pemanfaatan sumberdaya (Charles, 2001; Berkes

et al., 2001; Syms, 1998; Hanna et al., 1996; dan Bromley, 1988).

Gambar 3 Klasifikasi property rights dalam masyarakat nelayan (Charles, 2001)

Saad (2003) mengemukakan sebuah contoh pengalihan status hak atas

sumberdaya alam, dan mengenai mekanisme pengelolaan sumberdaya alam

yang diserahkan oleh negara tersebut kepada kelompok masyarakat tertentu,

seperti yang terjadi di Benggala Barat (India) dalam bentuk growing associations.

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

40

Dengan cara melalui sistem pengalihan ini, sekelompok petani tak bertanah atau

marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun tanah berada

di bawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah juga beralih

kepadanya. Rezim hak penguasaan atas sumberdaya alam (lahan) tetap di

tangan negara (state property regime). Sedangkan petani hanya mempunyai hak

garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut.

Selanjutnya mengenai rezim milik swasta (private property regime),

secara umum sudah diakui bahwa hak milik swasta merupakan rezim yang

paling jelas di atas rezim-rezim lainnya. Rezim milik swasta tersebut meliputi hak

milik individu (individual property) dan hak milik perusahaan (coorporate

property). Secara yuridis dan sosiologis, hak milik swasta memungkinkan untuk

memanfaatkan sumberdaya alam dengan tidak melibatkan orang lain. Bahkan,

dalam upaya pemanfaatan tersebut subjek hak milik swasta dapat mengusir

orang lain. Tietenberg (1992) berpandangan bahwa hak milik swasta memiliki

karakteristik yang sangat memadai untuk mengelola sumberdaya alam yang

optimal secara ekonomis dan ekologis.

Namun, menurut Bromley (1988) terdapat dua fenomena yang harus

dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak perampasan-

perampasan sumberdaya alam (lahan) terjadi di berbagai belahan dunia bukan

sebagai akibat kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya

konsentrasi pemilikan lahan di tangan individu-individu dari keluarga yang kuat

(private property right). Bahkan, fenomena seperti ini terjadi di sebagian besar

negara-negara dunia ketiga seperti Amerika Latin. Sedangkan kedua, hak milik

swasta seringkali mengarah pada apa yang disebut highest and best use of land

-sebagian besar tanah subur menjadi padang pengembalaan, sementara

tanaman pangan berada di tanah kurus- merupakan contoh mengenai hal ini.

Dengan latar belakang ini, tanah terbaik telah diswastakan, sedangkan tanah

yang terburuk dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley

(1990), yang termasuk kategori public domain adalah state property, common

property (res communis) dan open access (res nulius).

Berlainan dengan para ahli lainnya, sebagaimana telah diuraikan pada

bagian terdahulu, Bromley (1991) memberikan catatan komentar antara

pengertian common property dengan open access. Common property, menurut

Bromley esensinya adalah hak milik swasta dalam kelompok, dan kelompok yang

menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

41

sumberdaya alam “milik bersama”. Sementara itu, open access diartikan sebagai

suatu situasi sumberdaya alam tanpa hak milik (no property right). Situasi

tersebut muncul karena tidak adanya atau gagalnya sistem pengelolaan dan

wewenang yang bertujuan menerapkan norma dan kaidah tingkah laku yang

berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik

(open access) sumberdaya muncul akibat gagalnya ketiga rezim sebelumnya

untuk membawa misi kesejahteraan bersama.

Dalam bidang perikanan kemudian muncul pendapat kelembagaan

alternatif yang ketiga tentang bentuk dan subjek hak pengelolaan wilayah

perikanan (HPWP) sebagaimana dikemukakan oleh Christy dan Scott (1986).

Saad (2003) mengemukakan bahwa Christy dan Scott (1986) yang pertama kali

memperkenalkan konsep pengelolaan territorial use rights in fisheries (TURFs)

disertai penjelasan yang relatif komprehensif. Menurut Christy dan Scott (1986),

sebagai langkah awal diperlukan sedikitnya 3 macam hak yang bersifat spesifik

dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal, yakni sebagai

berikut:

(1) Hak untuk menghalangi orang lain (the right of exclutions), yaitu hak untuk

membatasi atau menghalangi keikutsertaan dalam wilayah perairan tertentu

yang telah dijadikan objek hak.

(2) Hak untuk menetapkan jenis dan jumlah penggunaan sumberdaya ikan

dalam wilayah perairan tersebut.

(3) Hak untuk mengambil derma (the right to extract benefits). Derma dapat

diperoleh antara lain, melalui penarikan pungutan laut (sea rent) dari

pemakai sumberdaya ikan dan bisa juga melalui penarikan pajak atau sewa

maupun penjualan dari hak-hak itu.

Di dunia “regime” pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan (perikanan

laut) yang dominan ditemukan adalah rezim milik bersama (“common pool

resource”) dan “open acces ” (no property right). “Common pool resource” dan

open acces sebagai sumber terjadinya tragedi kebersamaan (tragedy of the

common). Kondisi terkurasnya sumberdaya perikanan (over exploitation atau

over fishing), khususnya di daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh beberapa

para ahli, diantaranya seperti Ostrom (1997), Pomeroy (1994), Christy dan Scott

(1986), Panayotou (1985b) dan para ahli lainnya. Semuanya mengusulkan jalan

keluar berupa kontrol atas akses dan penggunaan sumberdaya perikanan perlu

dikembangkan (Saad, 2003). Hak-hak kepemilikan pengelolaan sumberdaya

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

42

perikanan atau hak-hak penggunaan wilayah untuk perikanan (HPWP) yang

merupakan terjemahan dari teritorial use rights in fisheries (TURFs) adalah solusi

konkrit yang disarankan oleh kalangan ahli perikanan, sesudah pengelolaan

sumberdaya perikanan di bawah rezim “sumberdaya milik bersama ”(common

pool resources) dan “keterbukaan akses” (open access) terbukti mengalami

berbagai kegagalan, baik dalam aspek keberlanjutan sumberdaya perikanan dan

juga memunculkan berbagai tipe konflik, sehingga menimbulkan tragedi

kebersamaan (tragedy of the common) sebagaimana dikemukakan pertama kali

oleh Garrett Hardin (1986). Christy dan Scott (1986) berpendapat satu-satunya

yang berakibat positif dari manajemen perikanan yang berbasis “milik bersama”,

adalah dapat menyediakan kesempatan kerja, ketika alternatif pekerjaan di

sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun, keunggulan ini hanya bersifat

jangka pendek, sebab begitu kesempatan kerja di sektor lain terbuka kembali,

mereka akan meninggalkan sektor perikanan tangkap.

Mengenai subyek HPWP, Christy (1986) berpendapat bahwa HPWP

dapat diberikan kepada perorangan, perusahaan swasta, koperasi atau

masyarakat. Selain itu, HPWP dapat pula diberikan kepada cabang-cabang

politik, seperti suatu kota atau propinsi, pemerintah suatu negara atau kepada

perusahaan multinasional. Adapun tentang jangka waktu HPWP, relatif sukar

untuk ditetapkan secara pasti. Namun, setidaknya harus cukup lama agar

memungkinkan pemilik hak untuk memperoleh pendapatan yang memuaskan

atas setiap modal yang ditanamkan, dan khususnya HPWP yang subjeknya

komunitas nelayan (communal property right), jangka waktunya mungkin tidak

dibatasi.

Hak kepemilikan (property right) atau status penguasaan sumberdaya

perikanan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan alokasi

sumberdaya yang efisien (efficient resource allocation). Bagaimana produsen

dan konsumen menggunakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan

tergantung pada hak pemilikan yang mengukur sumberdaya ikan tersebut.

Menurut Tietenberg (1992; 1994), secara konseptual, struktur hak kepemilikan

dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk menghasilkan alokasi yang efisien

pada suatu ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik, ia harus memiliki 4

karakteristik penting. Keempat karakteristik penting dalam struktur kepemilikan

sumberdaya alam yang efisien pandangan kapitalistik tersebut adalah sebagai

berikut:

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

43

(1) Universalitas (universality). Semua sumberdaya alam adalah milik pribadi

(privately owned), dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas.

Spesifikasi yang lengkap dapat memberikan sistem informasi yang

sempurna tentang hak-hak yang melekat pada aspek kepemilikan, batasan-

batasan terhadap hak-hak yang diberikan, dan penalti bagi pelanggaran atas

hak-hak tersebut.

(2) Eksklusivitas (exclusivity ). Semua manfaat yang diperoleh dan biaya yang

dikeluarkan sebagai akibat dari pemilikian dan pemanfaatan sumberdaya itu

harus dimiliki oleh pemiliknya saja, baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain;

(3) Dapat dipindahtangankan (transferability). Seluruh hak pemilikan itu bisa

dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang

bebas dan jelas; dan

(4) Terjamin pelaksanaannya (enforceability). Hak pemilikan tersebut harus

aman dari perampasan atau pengambilan secara tidak baik dari pihak lain.

Kalau keempat komponen diatas bisa diterapkan dalam sistem pengelolaan

sumberdaya perikanan, maka alokasi sumberdaya ikan dapat berlangsung

secara efisien. Demikian pula apabila pemilik sumberdaya perikanan dan

kelautan, memiliki hak-hak pengelolaan yang mencakup keempat elemen di atas.

Hal ini juga akan memberikan insentif yang sangat besar baginya untuk

mengelola sumberdaya pesisir yang dimilikinya itu dengan seefisien mungkin

(Dharmawan dan Daryanto, 2002). Gejala seperti itu dapat terjadi, karena

kegagalan dalam mengelola sumberdaya perikanan tersebut akan merupakan

resiko atau kerugian yang akan ditanggung oleh dirinya sendiri. Sebagai contoh,

seorang nelayan yang memiliki hak milik pribadi (private property right) yang

penuh terhadap alat tangkap ikan (seperti Kelong) yang dioperasikan di sekitar

perairan pantai Barelang di Kepulauan Riau, akan mempunyai insentif yang lebih

baik untuk memelihara dan merawatnya dengan harapan dapat memberikan

peningkatan tingkat pendapatan keluarga (income household) dari usaha

perikanan artisanal (artisanal fisheries) yang mereka lakukan sebagai nelayan.

Berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS

1982) pasal 51 ayat (1) negara kepulauan harus mengakui “hak-hak perikanan

tradisional” (tradisional fishing rights) nelayan negara lain. Menurut Djalal (1989)

diacu dalam DKP (2001) menetapkan “hak-hak perikanan tradisional” harus

memperhatikan beberapa ketentuan, yaitu: (1) nelayan-nelayan yang

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

44

bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu,

(2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan secara tradisional alat-alat

tertentu, (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu,

(4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah

nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di

daerah tersebut.

Kebudayaan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir, khususnya dalam

hal sistem pengelolaan sumberdaya perikanan secara tradisional telah memiliki

prinsip-prinsip konservasi yang lebih maju (Nababan 1995), di antaranya adalah

sebagai berikut:

• rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia

dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong

memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri;

• rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis

sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal

property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga

dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar;

• sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system) yang

memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-

masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang

terbatas;

• daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan

hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat;

• sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan

sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat

sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat

tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua

aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu;

• mekanisme pemerataan (distribusi) hasil "panen" atas sumberdaya milik

bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam

masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial

akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat

yang berlaku.

Berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tersebut diatas, ini membuktikan

bahwa sistem pengetahuan lokal (indegenous knowledge), kearifan masyarakat

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

45

(traditional wisdom) yang ada dalam batas-batas "berperilaku" alam dan diikuti

dengan praktik pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional yang lestari

merupakan pilihan yang arif untuk mempertahankan keberlanjutan fungsi

lingkungan sosial setempat. Sebagai suatu sistem yang bersifat lokal, upaya-

upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat

tradisional ini boleh dikatakan sudah teruji. Sistem pengetahuan dan praktik-

praktik pengelolaan alam ini secara nyata juga mampu memperkaya

keanekaragaman hayati suatu ekosistem (Nababan, 1995). Oleh karena itu,

dengan memelihara dan mengembangkan sistem pranata sosial tradisional ini

akan merupakan sumbangan bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di

Indonesia. Namun demikian, rangkaian kajian yang telah dilakukan juga

menunjukkan keprihatinan, karena secara umum sistem kebudayaan lokal ini

sedang menuju kepunahan. Hampir semua kasus-kasus yang didokumentasikan

memperlihatkan bahwa pola-pola pranata sosial tradisional ini sudah tidak utuh

lagi, tetapi masih ada di beberapa tempat, sistem pengetahuan ini masih

tersimpan di benak orang-orang tua dalam berbagai bentuk tuturan atau dalam

bentuk sastra lisan.

2.6 Konsep Desentralisasi dan Kewenangan Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Berdasarkan etimologi (akar kata) desentralistik berasal dari bahasa latin,

yaitu "de" dan "centrum". “de" artinya "lepas" dan "centrum" artinya "pusat".

Dengan demikian arti kata desentralistik adalah melepaskan dari pusat.

Batasan desentralistik adalah pengalihan kewenangan dan tanggung jawab

fungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal atau organisasi

pemerintah independen semua atau sebagian bidang (Cohen dan Peterson

1999). Sedangkan berdasarkan pada ketentuan umum UU No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, desentralistik adalah penyerahan wewenang

pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya yang dimaksud daerah

otonom dalam ketentuan umum tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.

Kebijakan desentralistik setidaknya membawa berbagai implikasi penting

diantaranya adalah terhadap kelembagaan, pengelolaan sumberdaya ikan serta

partisipasi masyarakat. Dengan otonomi daerah diharapkan lembaga pemerintah

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

46

daerah mampu merumuskan tugas, fungsi dan kewenangannya dengan baik

sehingga mampu melayani masyarakat lokal dengan baik. Selain itu, melalui

desentralisasi diharapkan juga terjadi pengelolaan sumberdaya ikan secara

berkelanjutan. Kebijakan desentralisasi dapat memberikan manfaat dalam bentuk

peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan kualitas pelayanan publik.

Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat nelayan dapat

memainkan peranannya (rule) secara jelas, memperoleh keadilan (equity), akses

dan kontrol terhadap sumberdaya alam.

Menurut Osborne dan Gaebler (2001) terdapat empat manfaat kebijakan

desentralistik ditinjau dari segi kelembagaan, yaitu: (1) lembaga yang

terdesentralistik jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralistik. Artinya

lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan

kebutuhan pelanggan yang berbeda; (2) lembaga yang terdesentralistik jauh

lebih efektif dari pada tersentralisasi, artinya pegawai atau organisasi yang

terdesentralistik paling dekat masalah dan peluang publik yang dapat

menciptakan solusi terbaik; (3) lembaga yang terdesentralistik jauh lebih inovatif

dari pada lembaga yang tersentralisasi; dan (4) lembaga yang terdesentralistik

menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi.

World Bank (2001) melihat manfaat dan kebaikan kebijakan desentralistik

dari segi partisipasi masyarakat dan kualitas pelayanan publik, seperti: (1)

partisipasi luas masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik; (2)

memotong prosedur birokrasi yang kompleks dan meningkatkan sensitivitas

aparatur pemerintah terhadap kondisi lokal; (3) melibatkan partisipasi yang luas

berbagai perwakilan masyarakat dari berbagai kelompok etnis, agama dan

budaya dalam proses pengambilan keputusan publik; (4) menghasilkan program

pelayanan publik yang lebih kreatif, inovatif dan responsif karena melibatkan

partisipasi masyarakat; (5) memberi peluang pada masyarakat dalam mengawasi

program publik; dan (6) pelayanan publik yang lebih efisien, merata dan efektif.

Berdasarkan hal tersebut, maka Satria et al. (2002a) menyatakan bahwa

kebijakan desentralisasi memiliki beberapa makna penting dari perspektif

sumberdaya alam, sosial-kelembagaan, ekonomi dan politik. Kebijakan

desentralisasi dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, secara hipotetik

akan memberikan beberapa dampak positif (manfaat) yaitu sebagai berikut:

Pertama, kebijakan desentralisasi merupakan pintu menuju terwujudnya

regulated and sustainable fisheries. Desentralisasi akan memberikan ruang bagi

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

47

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut akan merupakan bentuk

tanggungjawab mereka terhadap masa depan sumberdaya ikan tersebut (FAO

1995). Artinya, mereka tidak hanya akan berhenti pada upaya merencanakan

dan melaksanakan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari seiring

dengan nilai-nilai tradisional yang mereka miliki, tetapi tanggung jawab itu akan

muncul juga dalam bentuk pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan.

Model pengawasan dari masyarakat ini akan lebih efektif dan efisien.

Adanya model pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis masyarakat tersebut

akan berjalan efektif sekaligus penting untuk mengantisipasi berbagai tuntutan,

bahkan ancaman dari masyarakat internasional. Saat ini, masyarakat

internasional menuntut diwujudkannya perikanan yang berkelanjutan (sustainable

fisheries) melalui ketetapan FAO (1995) sesuai Code of Conduct for Responsible

Fisheries yang disepakati pada tahun 1995 di Cancun. Dengan ada pedoman

pengelolaan perikanan bertanggungjawab tersebut, seluruh praktik pemanfaatan

sumberdaya perikanan harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan

(sustainability). Jika terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut, sangat

dimungkinkan munculnya tuduhan melakukan unregulated fishing yang pada

gilirannya akan membuat rawan perdagangan nasional sebagaimana yang saat

ini tengah dirumuskan International Plan of Action (IPOA) tentang IUU (Illegal,

Unregulated and Unreported Fishing (FAO, 1995b dan Charles, 2001).

Kedua, salah satu kekuatan diterapkannya kebijakan otonomi daerah

(desentralisasi) dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004, adalah adanya

pengakuan terhadap institusi lokal yang mencerminkan kearifan tradisional

(traditional wisdoms) yang masih ada dalam pengelolaan sumberdaya ikan agar

lebih berfungsi. Dan selama ini, pranata sosial (institusi) tradisional tersebut ada

yang masih berlaku dan ada pula yang telah pudar. Dengan demikian, ada

institusi yang secara aktual berfungsi dan ada pula yang secara potensial

berfungsi. Institusi yang secara aktual berfungsi merupakan kekuatan yang

dimiliki daerah untuk pengelolaan sumberdaya. Sehubungan dengan itu, maka

daerah tidak perlu lagi menyusun formula sistem pengelolaan sumberdaya ikan.

Sebaliknya, daerah hanya perlu melengkapi formula yang sudah ada yang

selama ini dimiliki masyarakat pesisir. Oleh karena formula coastal community

base management (CCBM) yang dulunya diterapkan masyarakat lokal dapat

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

48

dijadikan modal sosial (social capital) penting dalam merekonstruksi model

komanajemen yang lebih kompleks.

Sedangkan, institusi sosial tradisional yang hanya bersifat potensial juga

merupakan kekuatan daerah yang terpendam. Tugas pemerintah daerah dalam

merekonstruksi modal sejarah tersebut menjadi modal sosial yang nyata,

sehingga menjadi sesuatu kontributif dalam mempercepat implementasi UU No.

32 tahun 2004. Dengan kata lain, sebenarnya daerah memiliki pengalaman

dimasa lalu untuk melakukan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hanya saja, saat

itu, formulasi aturannya didasarkan pada pengetahuan lokal tentang sumberdaya

alam dan belum dikombinasikan dengan pengetahuan modern yang selama ini

berkembang. Prospek tumbuhnya model pengelolaan sumberdaya secara

partisipatif tersebut sekaligus akan memudarkan model-model masa lalu yang

serba-seragam (homogen). Dengan otonomi daerah ini, muncul model-model

pengelolaan yang bersifat heterogen yang disesuaikan dengan kondisi ekosistem

alam dan sistem sosial budaya masyarakat setempat.

Ketiga, secara ekonomi penerapan kebijakan desentralisasi dengan

diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tersebut perlu dianalisis relevansinya.

Seperti telah digambarkan sebelumnya bahwa rezim open access yang selama

ini berkembang telah menghasilkan ketidakadilan dalam akses dan alokasi

terhadap sumberdaya ikan di daerah (Kusumastanto, 2003; Sondakh, 2003).

Salah satu contoh ketidakadilan adalah beroperasinya kapal-kapal besar di

wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil di daerah yang sebenarnya merupakan

fishing ground nelayan kecil dan tradisional. Dengan pola kompetesi seperti itu,

jelaslah bahwa nelayan kecil dan tradisional (small scale fisheries) secara

sistematis akan termarginalisasi, karena makin kecilnya kesempatan mereka

untuk dapat bertahan dalam arena kompetisi yang tidak berimbang. Masih

banyak contoh lainnya yang pernah terjadi, seperti maraknya pengusaha-

pengusaha perikanan yang memperoleh izin dari pusat (sentralisasi) untuk

melakukan investasi di daerah dengan mengembangkan usaha perikanan di

wilayah pesisir yang bersifat trade off terhadap upaya pengembangan perikanan

usaha skala kecil yang sudah berlangsung secara turun-temurun, sehingga

memarginalkan kehidupan nelayan artisanal setempat.

Dengan kebijakan desentralisasi sektor kelautan dan perikanan yang

dilandasi UU No. 32 tahun 2004 ini, maka daerah akan memperoleh keuntungan

ekonomi dari sumberdaya yang dimiliki. Hal ini karena Pemerintah Daerah yang

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

49

memiliki kewenangan untuk mengatur investasi di wilayah pesisir. Peluang

meningkatnya kesempatan pengusaha lokal atau nelayan artisanal melakukan

usaha pemanfaatan sumberdaya ikan di daerahnya akan semakin besar. Ini

semakin memperjelas bahwa dengan gambaran secara implisit dalam UU

tersebut, maka nelayan artisanal akan terlindungi dari persaingan kapal-kapal

besar yang beroperasi di wilayah pantai. Ini jelas akan dapat mencegah nelayan

artisanal dari kompetisi yang tidak seimbang.

Keempat, perlu dipahami bahwa kebijakan desentralisasi pengelolaan

sumberdaya ikan merupakan wujud demokratisasi, karena semakin terbuka

kesempatan nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

Suatu kesempatan yang tidak pernah diperoleh selama masa sentralistik. Nilai

demokratis lainnya, dengan desentralisasi, semakin dekat jarak antara

pengambilan keputusan dan nelayan lokal sehingga semakin dekat pula jarak

pengawasan nelayan setempat terhadap berbagai kebijakan pembangunan

sektor kelautan dan perikanan. Dengan demikian, semakin mudah akses

(partisipasi) bagi nelayan untuk mengusulkan, memprotes, atau menyalurkan

aspirasi misalkan usulan terhadap suatu Program Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat Pesisir (PEMP) yang menyangkut kepentingan mereka. Dengan

demikian, sistem pengelolaan sumberdaya pesisir yang muncul, baik dalam hal

pemanfaatan (eksplorasi dan eksploitasi) untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi (economic growth), dan kesejahteraan masyarakat pesisir dimana

sumberdaya itu terdapat (local community walfare), maupun dalam konservasi

sumberdaya hayati laut (living marine resources) yang terdapat di wilayah pesisir,

terutama dalam pengelolaan perikanan laut (marine fisheries management)

berjalan secara berkeseimbangan.

Sementara itu secara teoritis polemik pembagian wewenang pengelolaan

sumberdaya ikan, seperti halnya permasalahan sentralisasi dan desentralisasi

(otonomi daerah) dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan telah

diindentifikasi oleh Garcia dan Hayashi (2000) diacu dalam Adrianto (2002;

2003). Mereka berpendapat bahwa ada 2 tesis mengenai pengelolaan kelautan

(ocean governance) yaitu: (1) arus utama (mainstream) “from global to local”; dan

(2) arus utama “from local to global”. Keduanya kontras satu sama lain tapi

bersifat konvergen. Arus utama yang pertama (from global to local) memandang

dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya kelautan, yaitu bahwa distribusi

dan kontrol sumberdaya pesisir dan kelautan mengarah pada “lokalisasi

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

50

pengelolaan” atau kearah “fragmentasi” wilayah kelautan, walaupun tidak harus

secara fisik (pengkavlingan laut). Dalam arus utama pemikiran ini pendekatan

yang dilakukan adalah from global to local, semangat yang dijadikan dasar dari

konsep desentralisasi kelautan. Salah satu argumen utama dari pemikiran ini

adalah bahwa dalam alokasi dan kontrol pengelolaan sumberdaya pesisir dan

kelautan, apabila ditangani secara terpusat, menimbulkan kekhawatiran

mismanagement karena lingkup yang dikelolanya terlalu besar dan beragam.

Dengan kata lain, arus utama pemikiran ini menginginkan: (1) pengelolaan yang

lebih tepat (precise) dan diserahkan kepada masyarakat lokal; (2) peningkatan

kemampuan memfasilitasi munculnya tanggungjawab dari pengguna ( local

fisheries users), dan (3) pengurangan konflik terhadap kontrol sumberdaya antar

users.

Sedangkan arus utama pemikiran kedua (from local to global) muncul dari

perspektif lain, yaitu pentingnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara

utuh dipandang dari sisi ekosistem. Penganut mainstream ini memandang bahwa

inti dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut seharusnya tidak hanya

melibatkan interaksi antar pelaku (interactions between human) sebagai objek

dan subjek pengelolaan perikanan, namun juga mempertimbangkan interaksi

antar konstituen ekosistem (interactions between constituents of the ecosystem ),

sebuah argumentasi yang luput dijadikan isu utama bagi pendukung kebijakan

sentralisasi, dan dalam menyikapi permasalahan kebijakan desentralisasi

kelautan (Adrianto, 2003).

Berdasarkan kedua arus utama pemikiran (mainstream) tersebut,

Adrianto (2003) berpendapat bahwa permasalahan sentralisasi dan

desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang menjadi wacana dan

polemik yang terjadi saat ini, sebenarnya terletak pada saling curiga dan

kekhawatiran dari satu pihak ke pihak lainnya. Padahal kedua mainstream

walaupun kontras tapi bersifat konvergen yaitu mampu bertemu di satu titik

kepentingan ekonomi dan ekologi untuk kemakmuran bersama, tidak hanya

kemakmuran di sektor kelautan saja namun kemakmuran semesta seluruh

negara. Oleh karena itu, dalam perspektif negara sebagai state of authority,

kebijakan yang mendukung sentralisasi kelautan boleh dikatakan masih

reasonable untuk kepentingan ekosistem, namun seharusnya dengan tidak

secara tegas menarik garis batas dengan gagasan distiribusi kewenangan yang

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

51

ditonjolkan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir bagi

kemakmuran bersama masyarakat lokal.

Kompromi atau jalan tengah untuk diskursus (wacana) tersebut adalah

alternatif pengelolaan bersama (mutual regional management) dari sumberdaya

pesisir dan lautan antar masyarakat lokal yang memiliki spasial kawasan pesisir

dan laut yang sama atau yang berbatasan, yang perlu dibina dan dikembangkan.

Dalam arti kata yang lain, bahwa pengelolaan bersama (co-management),

walaupun kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir dipegang oleh

masyarakat lokal, namun institusi pengelolaannya bukan berbasis pada batas

administrasi konvensional seperti kabupaten/kota atau provinsi, tapi berbasis

pada ekosistem, misalnya selat, teluk, danau, sungai atau laut bebas. Di tingkat

global, konsep ini sesungguhnya telah diadopsi oleh FAO, ketika menentukan

guideline sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dunia berbasis ekosistem

seperti Lautan Pasifik, Lautan Atlantik Utara, atau Lautan Hindia yang melibatkan

berbagai entitas negara. Berkaitan dengan pemikiran ini, maka pemerintah pusat

hanya berperan sebagai fasilitator kerjasama antar daerah (kabupaten/kota atau

provinsi) dalam pengelolaan bersama sumberdaya pesisir sebagai wujud dari

state of ocean authority, dengan kata lain tetap memberikan ruang

keseimbangan antara kebijakan sentralisasi dan desentralisasi kelautan

(Adrianto, 2003).

Dalam kaitannya dengan kebijakan otonomi daerah di wilayah laut

merupakan suatu peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi

pembangunan sektor perikanan dan kelautan, asalkan pemerintah daerah

memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat

pesisir didaerahnya, dan memiliki wawasan yang jelas mengenai perlindungan

(konservasi) sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun, dari kesemuanya itu,

diperlukan perombakan yang mendasar dalam regime open acces atas

sumberdaya sektor perikanan tangkap dan pengaturan property right bagi

sumberdaya ikan. Khususnya, hak atas sumberdaya sektor perikanan

seharusnya dikembalikan kepada masyarakat lokal, karena sumberdaya ikan

tersebut merupakan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi mereka,

sehingga pemerintah daerah perlu segera memperkuat kapasitas kelembagaan

masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdayanya, dengan mempersiapkan

kebijakan yang mendorong kemandirian (Kusumastanto, 2003).

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

52

Pembangunan wilayah pesisir dan lautan yang berparadigma inklusi

sosial seperti diuraikan diatas secara ekonomi-politik mensyaratkan adanya

pengakuan terhadap hak-hak ulayat laut atau hak masyarakat adat (communal

property right). Persyaratan semacam ini akan menekan pemerintah daerah agar

mematuhi tugas dan kewajibannya dalam membangun kapasitas masyarakat

lokal untuk mengaktualisasikan pranata sosial-budaya dan ekonomi guna

mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumberdaya sektor

perikanan di daerah. Kebijakan otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut juga

memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan bagi masyarakat nelayan, serta

perlindungan lingkungan alam di laut, jika masyarakat diberikan kembali haknya

(re-entile) dalam menguasai dan mengelola sumberdaya perikanan secara

kolektif dan partisipatif. Budiharsono (2001) lebih jelas menggambarkan secara

ringkas bagaimana arah perubahan paradigma pembangunan wilayah pesisir

dan kelautan dari rezim Orde Baru yang otoriter ke rezim “Orde Reformasi” yang

berupaya menegakkan sistem sosial-demokrasi sebagaimana yang digambarkan

pada Gambar 4.

Gambar 4 Perubahan Paradigma Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan (Budiharsono, 2001)

Eksklusi Sosial

Orientasi Pembangunan: Pertumbuhan Ekonomi

Fungsi Pemerintah : Provider

Tata Pemerintahan : Sentralisasi/Dekonsentrasi

Pelayanan Birokrasi : Normatif

Pengambilan Keputusan: Top Down

Inklusi Sosial

Orientasi Pembangunan: Pemerataan Dan Kesejahteraan

Fungsi Pemerintah: Enabler/Fasilitator

Tata Pemerintahan : Desentralisasi

Pelayanan Birokrasi: Responsif Fleksibel

Pengambilan Keputusan: Bottom Up and Top Down

Paradigma Lama Paradigma Baru

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

53

2.7 Konsep dan Indikator Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Istilah berkelanjutan berasal dari Bahasa Inggris yaitu “sustainability”.

Istilah ini sebetulnya bukan istilah baru. Di bidang perikanan laut istilah ini telah

lama digunakan, yaitu maximum sustainable yield (MSY) atau maximum

sustainable catch. Istilah ini menunjukkan bahwa besarnya hasil atau tangkapan

maksimum yang dapat diperoleh secara lestari. Dengan kata lain, agar

pemanfaatan sumberdaya lestari, maka laju pemanfaatan itu harus lebih kecil

atau sama dengan laju proses pemulihan sumberdaya tersebut (Gordon, 1985).

Akhir-akhir ini, istilah berkelanjutan banyak digunakan untuk konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan

berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi

kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan

datang. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang

mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial (Serageldin, 2004; Elliot,

1994). Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan

hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi. Kebutuhan untuk

kelangsungan hidup hayati adalah kebutuhan yang paling esensial, meliputi

udara, air dan pangan yang harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang

memadai untuk manusia dapat hidup sehat. Sedangkan kebutuhan untuk

kehidupan manusiawi mempunyai arti untuk menaikan martabat dan status

sosial.

Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common

Future (Masa Depan Bersama) pada tahun 1980 yang disiapkan oleh World

Commission on Environtment and Development (WCED) 1978, yang dikenal pula

dengan nama Komisi Bruntland, karena ketuanya bernama Gro Harlem

Bruntland. Komisi tersebut terdiri dari banyak perwakilan dari negara maju dan

berkembang serta melakukan pertemuan terbuka di berbagai negara (Elliot,

1994)

Dengan menjelaskan pengertian pembangunan berkelanjutan serta

menerangkan implikasi dibaliknya, Komisi Bruntland kemudian

mengidentifikasikan ada tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan

lingkungan (Mitchell et al., 2000). Ketujuh tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Memikirkan kembali makna pembangunan.

(2) Merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari

pada sekedar pertumbuhan).

Page 38: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

54

(3) Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan

sanitasi.

(4) Menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan

penduduk tertentu.

(5) Mengkonversi dan meningkatkan sumberdaya.

(6) Merubah arah teknologi dan mengelola resiko.

(7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan

keputusan.

Menindaklanjuti publikasi Our Common Future, banyak upaya yang telah

dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin

menentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan

berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan

berkelanjutan. Berdasarkan tujuan kebijakan dan lingkungan di atas, selain dapat

meningkatkan kualitas hidup manusia, pembangunan juga mendukung prinsip-

prinsip kehidupan yang berkelanjutan. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1)

menghormati dan memelihara komunitas kehidupan; (2) memperbaiki kualitas

hidup manusia; (3) melestarikan daya hidup dan keragaman bumi; (4)

menghindari sumberdaya-sumberdaya yang tidak terbarukan; (5) berusaha tidak

melampaui kapasitas daya dukung bumi; (6) mengubah sikap dan gaya hidup

orang per orang; (7) mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara

lingkungan sendiri; (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan

upaya pembangunan pelestarian; dan (9) menciptakan kerja sama global

(Serageldin, 2004, Mitchell et al., 2000).

Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang

sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (lihat Gambar 5).

Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu

oleh suatu kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan

sumberdaya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang

dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas

sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar

manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta

institusi (Munasinghe, 2002).

Page 39: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

55

Gambar 5 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka

trans-disiplin (Munasinghe, 2002)

Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan

harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity”

lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan

secara khusus aspek ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek

lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Dahuri

(2001) menyatakan ada tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya

pembangunan berkelanjutan yaitu: keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi,

dan pemanfaatan berkelanjutan.

Gambar 5 mengindikasikan bagaimana menggabungkan kerangka

“sustainomics”, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, akan

mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi

yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi

ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan juga diperlukan dalam

pembangunan secara tradisional. Pendekatan dalam pembangunan

berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya

perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal

pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak tersentuh. Oleh karena itu,

berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan

sumberdaya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial,

lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan

sumberdaya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe, 2002).

Munasinghe (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa perkembangan

dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai

kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang

dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk

memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan.

Page 40: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

56

Efisiensi ekonomi memainkan peranan dalam memastikan alokasi sumberdaya

alam dalam aspek produksi, dan efisiensi pada aspek konsumsi untuk

memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya alam.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan

sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang

tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi

kebutuhannya. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan

pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan

semacam ambang batas (limit) terhadap laju pemanfaatan ekosistem alamiah

serta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Pada tingkat yang minimum,

pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan ekosistem alam dan

lingkungan yang mendukung semua kehidupan yang ada di muka bumi (Elliot,

1994; Costanza, 1991; dan Salim, 1986).

Menurut Charles (2001) konsep pembangunan perikanan berkelanjutan

mengandung empat aspek keberlanjutan yaitu :

(1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass perikanan

sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan

kualitas ekosistem yang menjadi perhatian utamanya,

(2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan

pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai

tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian

keberlanjutan.

(3) Keberlanjutan komunitas: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas

atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang

berkelanjutan.

(4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan

administrasi yang sehat dalam sistem pengelolaan sebagai prasyarat dari

ketiga pembangunan perikanan.

Page 41: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

57

Gambar 6 Bentuk segitiga konsep pembangunan perikanan berkelanjutan

(Charles, 2001).

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan

pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan

antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi (dalam hal ini

kebijakan perikanan tangkap) yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah,

pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi

bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan

antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi

masyarakat dan swasta.

Tabel 6 Beberapa indikator pembangunan perikanan berkelanjutan

Dimensi Indikator 1. Ekonomi

• volume dan nilai produksi • volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total

ekspor nasional) • kontribusi sektor perikanan terhadap PDB pendapatan

nelayan • nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik

pengolahan

2. Sosial

• penyerapan tenaga kerja • budaya kerja • tingkat pendidikan • tingkat kesehatan • distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan

(gender distribution in decision-making) • kependudukan (demography)

Page 42: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

58

3. Ekologi

• komposisi hasil tangkap • hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) • kelimpahan relatif spesies target • dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non

target • dampak tidak langsung penangkapan seperti struktur

trofik • dampak langsung alat tangkap terhadap habitat perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan

4. Governance

• hak kepemilikan (property rights) • ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance

regime) • transparansi dan partisipasi

Sumber: Dahuri (2003b)

Selanjutnya dalam setiap sistem pengelolaan pembangunan, termasuk

pengelolaan sumberdaya ikan, memerlukan indikator kinerja (performance

indicators). Indikator kinerja digunakan sebagai tolok ukur, apakah segenap

kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya ikan sesuai dengan tujuan atau

bahkan menyimpang. Karena tujuan pengelolaan sumberdaya ikan di Indonesia

adalah untuk mencapai kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan secara

berkelanjutan (sustainable) bagi kesejahteraan seluruh rakyat, maka indikator

kinerja yang digunakan juga seharusnya mengacu pada indikator pembangunan

berkelanjutan, dimana indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan

sumberdaya ikan minimal haruslah meliputi empat dimensi, yaitu: (1) ekonomi,

(2) sosial, (3) ekologi, dan (4) pengaturan/governance (Dahuri, 2003b). Secara

lengkap beberapa contoh indikator pembangunan berkelanjutan untuk

pengelolaan sumberdaya ikan disajikan pada Tabel 6 diatas.

2.8 Studi Komparasi Sistem Pengelolaan Perikanan Artisanal Berbasis Hak-Hak Kepemilikan

2.8.1 Kelembagaan Perikanan Artisanal di Dalam Negeri

Pada studi ini dikemukan 3 sistem kelembagaan sosial tradisional yang

cukup menonjol dalam pengelolaan perikanan artisanal yang pernah diteliti

secara mendalam, diantaranya Seke, Sasi dan Rompong sebagai pembanding

(komparasi). Berikut ini dijelaskan secara ringkas darai masing-masing sistem

kelembagaan tersebut.

2.8.1.1 Seke di Kabupaten Sangihe Talaud, Sulawesi Utara

a. Lokasi dan Batas Wilayah

Page 43: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

59

Seke adalah mekanisme kelembagaan tradisional dalam pengelolaan

sumberdaya ikan yang dijumpai di Desa Para, Kabupaten Sangihe Talaud,

Propinsi Sulawesi Utara. Wahyono et al. (1993), mengatakan bahwa

masyarakat Desa Para mengenal 3 jenis wilayah perairan yang dijadikan sebagai

tempat penangkapan ikan (fishing ground) yaitu: 1) Sanghe, 2) Inahe, dan 3)

Elie.

b. Organisasi dan Keanggotaan

Organisasi masyarakat Desa Para membentuk sebuah kelompok nelayan

yang diberi nama Seke. Dalam organisasi Seke, dikenal istilah lokal mengenai

keanggotaan berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing, yaitu Lekdeng,

Tatalide, Seke Kengkang, Matobo, Tonaas, Mandora, dan Mendoreso. Lekdeng

berarti anggota. Sedangkan Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang

ditugaskan memegang talontong (sejenis tongkat yang digunakan untuk menjaga

Seke agar posisinya tegak lurus di atas permukaan laut). Tugasnya adalah

menggerak-gerakan Seke supaya ikan yang sudah berada di dalamnya tidak lari

ke luar. Seke Kengkang adalah sebutan untuk anggota yang berada di atas

perahu tempat meletakkan Seke (perahu kengkang). Anggota ini bertugas

menurunkan Seke ke laut jika sudah ada aba-aba yang diberikan pemimpin

pengoperasian Seke. Matobo adalah anggota yang bertugas menyelam dan

melihat posisi gerombolan ikan layang sebelum Seke diturunkan ke laut.

Tonaas adalah pemimpin pengoperasian Seke, sedangkan wakilnya

disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah orang yang selalu membangunkan

anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil tangkapan kepada

anggota. Mandore ini berkemampuan dalam menaksir jumlah hasil tangkapan

yang akan dibagikan ke seluruh anggota. Mendoreso adalah sebutan untuk

orang yang menjadi bendahara organisasi Seke (Wahyono 1993). Dari uraian ini

maka organisasi tradisional Seke telah menerapkan konsep bagi hasil

sebagaimana yang terdapat pada organisasi modern.

Wahyono (1993) mengatakan bahwa sistem bagi hasil yang ada di Desa

Para paling tidak diarahkan kepada 4 pertimbangan yaitu : 1) Bagi hasil

tangkapan yang diberikan kepada warga desa yang sudah berkeluarga

(termasuk janda/duda); 2) Bagi hasil tangkapan untuk warga desa yang belum

berkeluarga; 3) Bagi hasil tangkapan yang didasarkan dari status sosial tertentu,

antara lain seperti kepala desa, guru, pendeta, perawat dan sebagainya; serta 4)

Page 44: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

60

Bagi hasil tangkapan yang diberikan menurut status keanggotaan dalam

organisasi Seke, yaitu tonaas, mandor, juru selam dan sebagainya.

Kelompok Seke dalam operasinya menerapkan konsep lokasi

penangkapan ikan yang eksklusif dalam arti bahwa terdapat kaitan antara satu

lokasi dengan satu jenis alat tangkap. Dalam kelompok Seke terdapat juga

pengaturan operasi di tempat-tempat penangkapan yang dilakukan secara

bergilir. Dalam setiap harinya, kecuali Hari Minggu, ada empat Seke yang

dioperasikan pada empat tempat penangkapan ikan. Salah satu contoh

pengaturan Seke dalam satu minggunya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jadwal pengoperasian Seke di empat lokasi penangkapan di desa Para, Sangihe Talaud, Sulawesi Utara

Hari Lokasi Penangkapan Ikan Tatumbango Binuwu Mangareng Lanteke

Senin Ramenusa Balaba Lembo Lumairo Selasa Lembo Lumairo Lembe Ramenusa Rabu Lembe Ramenusa Kampiun Lembo Kamis Kampiun Lembo Balaba Lembe Jumat Balaba Lembe Lumairo Kampiun Sabtu Lumairo Kampiun Ramenusa Balaba Sumber : Wahyono (1993)

Apabila terdapat pelanggaran lokasi, pihak yang melanggar dikenakan

sanksi ganti rugi berupa barang yaitu 5-10 zak semen atau uang senilai barang

itu. Barang ini nantinya digunakan untuk keperluan pembangunan gereja atau

fasilitas umum lainnya di Desa Para. Pelajaran yang dapat diambil dari

pengelolaan sumberdaya ikan dengan organisasi tradisional Seke ini adalah :

Pertama, Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa

memberikan perhatian kepada distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya

alam khususnya ikan kepada seluruh anggota masyarakat pesisir. Hal ini

tercermin dari adanya pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke

dalam satu periode waktu (misalnya 1 minggu). Dengan demikian konflik

pemanfataan diantara kelompok masyarakat akan tereliminasi.

Kedua, selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke juga

mengajarkan pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

dapat dilihat dari sistem bagi hasil yang diterapkan di mana seluruh komponen

masyarakat mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh

sebuah kelompok Seke tertentu. Dalam konteks modern, sistem distribusi

pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemerataan yang kuat di

kalangan masyarakat Desa Para, Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.

Page 45: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

61

2.8.1.2 Sasi di Kabupaten Maluku Tengah

a. Lokasi dan Batas Wilayah

Sasi adalah salah satu dari sistem kelembagaan pengelolaan

sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat pesisir di Propinsi

Maluku, seperti di Desa Nolloth, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku

Tengah. Sasi adalah suatu kesepakatan tradisional tentang pemanfaatan

sumberdaya alam yang disusun oleh masyarakat pulau-pulau kecil dan disahkan

melalui mekanisme struktural masyarakat adat di suatu desa pesisir.

Pelaksanaan Sasi di Desa Nolloth pada saat ini berdasarkan atas Keputusan

Desa tentang Peraturan Sasi Desa Nolloth yang dikeluarkan pada tanggal 21

Januari 1994 dan disahkan oleh Kepala Desa Nalloth dan Kewang.

Bersamaan dengan keputusan tersebut, juga dikeluarkan aturan tentang

sanksi terhadap pelanggaran Sasi. Zona Sasi meliputi seluas 125.000 m2 pada

pesisir pantai sepanjang 2,5 km, mulai dari pantai Umisin (batu berlubang)

sampai dengan pantai Waillessy (batas dengan Desa Ihamahu). Sedangkan ke

arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 m. Dengan

demikian sebuah zona Sasi merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan

sumberdaya alam laut yang sepenuhnya diatur melalui peraturan Sasi.

b. Peraturan dan Mekanisme Sasi

Sasi merupakan salah satu institusi adat yang berisi kesepakatan-

kesepakatan adat lengkap dengan sangsi apabila terjadi pelanggaran

terhadap adat tersebut. Misalnya, dilarang memanah ikan serta kegiatan wisata

bahari yang belum mendapat ijin dari kepala desa. Landasan institusi dan

struktur organisasi pelaksanaan Sasi yang dipraktikkan di beberapa desa di

Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Landasan institusi pelaksanaan Sasi di Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah

Landasan Desa Nolloth Paperu Siri Sori

Tujuan ♦ Melindungi tradisi.

♦ Meningkatkan pendapatan desa.

♦ Melindungi tradisi meningkatkan pendapatan desa.

♦ Melindungi lingkungan.

♦ Meningkatkan pendapatan desa.

♦ Melindungi sumberdaya dari eksploitasi oleh orang lain.

Page 46: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

62

Noma (Kaidah)

♦ Dilarang mengambil : ola, batulaga, tiram, teripang, akar bahar ikan

♦ Pengambilan dapat dilaksanakan bila Sasi dibuka

♦ Daerah yang dilarang, yaitu pantai di depan desa (panjang 2,5 km, kedalaman air hingga 25 m)

♦ Dilarang menangkap ikan (semua jenis ikan).

♦ Alat yang hanya diijinkan adalah jala, bagan tancap dan pancing tangan.

♦ Penangkapan ikan dilakukan bila Sasi dibuka.

♦ Daerah yang dilarang adalah sekitar tanjung Paperu (untuk Sasi khusus) dan di sepanjang pantai desa (untuk Sasi umum).

♦ Dilarang mengambil teripang, lola dan caping-caping.

♦ Penangkapan diijinkan bila Sasi dibuka.

♦ Daerah yang dilarang adalah perairan pesisir sepanjang desa.

Tingkah Laku

♦ Buka Sasi dikoordinir oleh desa

♦ Buka Sasi dengan cara lelang

♦ Buka Sasi dengan cara lelang

Struktur Organisas

♦ Diatur secara tertulis dengan keputusan desa

♦ Dilaksanakan oleh pemerintah desa

♦ Pelaksanaan dan pengawasan oleh kewang (polisi desa)

♦ Diatur secara tertulis dengan keputusan desa

♦ Dilaksanakan oleh pemerintah desa

♦ Pelaksanaan dan pengawasan oleh kewang (polisi desa)

♦ Diatur secara lisan dengan keputusan desa

♦ Dilaksanakan oleh pemerintah desa

♦ Pelaksanaan dan pengawasan oleh kewang (polisi desa)

Sumber : Nikijuluw (1994)

Kawasan Desa Nolloth, Kecamatan Saparua, dikenal ada 2 sistem

penyelenggaraan Sasi yaitu (1) Sasi Negeri (Sasi adat) dan (2) Sasi Gereja.

Perbedaan pokok antara 2 sistem Sasi tersebut terletak pada penyelenggara

kesepakatan tradisional tersebut, yakni sistem Sasi Negeri, penyelenggaranya

adalah Kewang dan Kepala Desa, sedangkan Sasi Gereja penyelenggaranya

adalah pendeta dan gereja. Keseluruhan peraturan yang terdapat dalam

sistem Sasi disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Berbeda dengan

beberapa sistem kelembagaan tradisional di tempat lain, sistem Sasi di Desa

Nolloth sudah diakomodasi pelaksanaannya oleh pemerintah formal melalui

legitimasi secara tertulis dan formal oleh pemerintah desa pada tahun 1990.

Dengan demikian sejak saat itu Sasi menjadi suatu pranata sosial yang formal di

ada tingkat desa.

Pada sistem kelembagaan Sasi juga diatur tentang mekanisme sangsi

apabila terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan Sasi. Pihak yang

melakukan pelanggaran Sasi akan ditangkap dan akan dijatuhi sanksi dengan

Page 47: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

63

cara membayar denda. Berdasarkan aturan yang dibakukan dalam bentuk

tertulis, besarnya denda yang dikenakan terhadap pelanggaran Sasi disajikan

secara lengkap pada Tabel 9.

Tabel 9 Jenis pengaturan sanksi pelanggaran Sasi berdasarkan jenis pelanggaran dan besarnya denda

Jenis Pelanggaran Besarnya Denda Buang jaring atau kegiatan lain yang mengharuskan berenang dan menyelam

25.000/orang

Mengambil bia lola 7.500/buah Mengambil batu laga 25.000/buah Mengambil caping-caping 2.500/buah Mengambil tripang 1.000/ekor Mengambil akar bahar dan bunga karang 5.000/pohon Mengambil batu 5.000/m3 Mengambil pasir 7.500/m3 Mengambil krikil 10.000/m3 Menangkap ikan dengan racun 100.000 Sumber : Nikijuluw (1994)

2.8.1.3 Rompong di Kawasan Pesisir, Sulawesi Selatan

a. Lokasi dan Batas Wilayah

Rompong adalah suatu tradisi penguasaan perairan pantai yang sudah

lama dikenal oleh masyarakat Bugis-Makassar. Pemanfaatan perairan adalah

sebagai daerah lokasi penangkapan ikan dan lahan budidaya. Hal ini sudah

dilakukan dibeberapa wilayah seperti perairan Selat Makassar, Teluk Bone dan

Laut Flores perairan yang mengelilingi Propinsi Sulawesi Selatan. Pada saat

inipun penguasaan perairan wilayah pantai telah diarahkan untuk kegiatan

budidaya laut (Saad, 2003).

Secara fisik, rompong diwujudkan dalam bentuk dua atau tiga batang

bambu panjang yang diikat menjadi satu, kemudian pada salah satu ujungnya

diikatkan batu besar pemberat, sehingga batang bambu tegak vertikal. Pada

bagian tali yang menghubungkan ujung bawah bambu dengan batu pemberat

diikatkan lagi daun-daun kelapa yang berfungsi sebagai tempat bermainnya ikan-

ikan. Salah satu ujung bambu muncul di permukaan laut dan itulah yang

dijadikan titik pusat untuk mengukur luas perairan yang akan diklaim oleh

Parrompong sebagai miliknya (Saad, 1994).

b. Sistem dan Peraturan Rompong

Saad (1994) menjelaskan bahwa tradisi Rompong adalah suatu tradisi

yang mengarah pada pemberian hak pengelolaan atau pemanfaatan

sumberdaya perikanan di suatu kawasan yang batas-batasnya ditentukan

Page 48: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

64

berdasarkan kesepakatan adat. Dalam praktiknya, perairan di sekitar Rompong

tertentu diklaim oleh nelayan pemilik Rompong sebagaimana layaknya hak milik.

Konsekuensinya adalah dalam radius kurang lebih satu hektar, tidak seorangpun

yang boleh melakukan penangkapan ikan selain pemilik Rompong.

Pengecualian, terhadap larangan ini ialah penangkapan ikan dengan memakai

alat tangkap pancing. Hubungan kerja antara Parrompong dengan nelayan

pembantu (anagguru) adalah dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang

diterapkan adalah 50 % dari hasil tangkapan bersih untuk nelayan

Parrompong dan sisanya sebesar 50 % untuk nelayan pembantu yang

jumlahnya 4 orang.

Esensi dari tradisi Rompong dalam tradisi Bugis adalah secara adat dan

kebiasaan terdapat klaim penguasaan suatu kawasan perairan tertentu. Saad

(2003), menyatakan bahwa setiap Rompong biasanya meliputi luas perairan

kurang lebih 10.000 m2 yang diukur secara simetris masing-masing sepanjang

250 meter pada satu sisi (sejajar arus air) dan masing-masing sepuluh meter

pada sisi lainnya, dan luasan tersebut setara dengan satu hektar.

Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan yang memiliki Rompong tersebut

memasang Rompong secara berkelompok, di mana setiap nelayan rata-rata

memiliki Rompong antara lima dan enam unit (5,75 Ha). Besarnya kelompok

tergantung dari lingkungan perairan yang dinilai oleh mereka memiliki potensi

yang besar. Jadi, sebelum merompong, biasanya perairan tersebut diperiksa

terlebih dahulu (seperti pola arus bawah dan permukaan, arah angin dan

keadaan karang) dengan cara melakukan penyelaman.

Tempat-tempat Rompong dipasang, biasanya diberi nama seperti nama

desa. Misalnya, kawasan yang dimiliki oleh para Parrompong yang bermukim di

Kelurahan Bantengnge terdiri atas enam kawasan, yaitu kawasan Sangnge,

Mabelae, Rilau, Riase, Tengngae dan Lembang (Saad, 2000). Gambaran

tentang penguasaan kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Luas perairan yang dikuasai oleh para parrompong di kelurahan Bentengnge, Makasar, Sulawesi Selatan

Luas Perairan (Ha)

Frekuensi (orang)

Persen (%)

1,00 – 3,49 8 40 3,50 – 5,99 1 5

> 6,00 11 55 Jumlah 20 100

Sumber: Saad (1994)

Page 49: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

65

Klaim penguasaan para Parrompong, terutama didasarkan pada

kebiasaan yang telah berlangsung secara turun temurun, yakni berupa

pewarisan Rompong, penghibahan dan pengakuan masyarakat atas klaim

tersebut. Klaim penguasaan perairan oleh para Parrompong dirumuskan dalam

bentuk hak dan kewajibannya terhadap perairan pantai (Saad, 2003) yaitu:

(1) Parrompong memiliki hak menguasai atas perairan untuk menangkap ikan

dalam wilayah laut di sekitar Rompongnya. Pengecualian terhadap monopoli

ini ialah penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat

tangkap berupa pancing.

(2) Klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan.

(3) Rompong yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan penangkapan

ikan), pemilik Rompong masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada

orang yang bermaksud menangkap ikan di sekitar perairan tersebut.

Sedangkan kewajiban Parrompong adalah: (i) memberikan kesempatan

kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah yang diklaimnya; dan (ii) pihak

Parrompong diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk

menangkap ikan apabila menggunakan alat tangkap pancing. Menurut Saad

(1994), selain kewajiban-kewajiban tersebut di atas, tidak didapati kewajiban

lainnya yang harus ditanggung oleh Parrompong termasuk tidak ada kewajiban

untuk membayar pungutan atau restribusi kepada pemerintah daerah

sebagaimana lazimnya di tempat-tempat lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan.

Jika terjadi pelanggaran oleh para nelayan bukan pemilik Rompong, maka para

Parrompong akan menyerang para nelayan penyerobot, dengan cara

pelemparan batu, kemudian perahu-perahu mereka ditenggelamkan dan jaring-

jaring penangkap ikannya pun dibakar,yang kesemuanya dilakukan di laut.

Kendati para Parrompong mengklaim perairan di sekitar rompong

milik mereka, tetapi secara empiris klaim tersebut belum dapat disejajarkan

dengan hak milik dalam konteks Undang-Undang Pengelolaan Agraria (Saad,

1994). Selanjutnya Saad (2000) juga menegaskan bahwa hak pengelolaan

Rompong tersebut lebih tepat disebut dengan hak pemeliharaan dan

penangkapan ikan, sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat (2) Undang-undang

Pengelolaan Agraria (UUPA), yang kualitasnya masih berada di bawah hak milik.

Dalam konteks ini, hak ulayat laut (HUL) seperti Rompong ini dapat ditingkatkan

menjadi hukum nasional apabila memenuhi persyaratan :

Page 50: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

66

(1) Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan

asas persatuan dan kesatuan,

(2) Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia,

(3) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA

dan perundang-undangan lainnya,

(4) Mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama.

Saad (2003) juga menyatakan bahwa dalam konteks penguasaan

perairan sebagai sumber daya hayati, maka klaim Rompong merupakan hak

milik bersama (communal property rights). Konsep milik bersama hanya merujuk

pada hak untuk menggunakan sumberdaya ikan, dan tidak termasuk di

dalamnya hak untuk melimpahkannya. Ahli waris dari pemilik bersama memang

mempunyai hak mewaris tetapi hak itu semata-mata hanya karena ia

merupakan anggota dari kelompok (suku, desa, dan sebagainya). Dengan

penjelasan tersebut, maka klaim penguasaan perairan oleh para Rompong,

sesungguhnya tidak melanggar keempat rambu-rambu yang ditentukan oleh

UUPA.

2.8.2 Kelembagaan Perikanan Artisanal di Luar Negeri

Pada studi dikemukakan sistem kelembagaan perikanan artisanal yang

terdapat di 4 negara lain, diaantaranya: Jepang, Fhilipina, Sri Langka dan

Thailand. Berikut ini dijelaskan secara ringkas mengenai sistem kelembagaan

(rules of the game) yang berlaku dalam pengelolaan perikanan artisanal.

2.8.2.1 Jepang

Kawaguchi et al. 1984 diacu dalam Saad (2003) berpendapat bahwa

Territorial use rights yang berkembang di Jepang merupakan akumulasi proses

historis sejak masuknya agama Budha. Sejak abad VI sampai pertengahan abad

XIX, ada semacam larangan agama untuk makan daging ternyata didukung

dengan kurangnya lahan hijau di Jepang untuk ternak. Pada gilirannya,

sumberdaya hewani laut menjadi buruan dan industri perikanannya pun

berkembang pesat.

Namun cepatnya perkembangan industri perikanan di Jepang itu

menimbulkan sejumlah konflik antara nelayan lokal dan luar karena keterbatasan

wilayah penangkapan ikan (fishing ground) sehingga rezim Edo (era feodal)

melalui para tuan tanahnya di daerah segera memberikan hak khusus kepada

nelayan di wilayahnya untuk menangkap ikan. Hal ini kemudian dikenal dengan

istilah Soyu (communal ownership) dari masyarakat desa nelayan. Dengan Soyu

Page 51: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

67

masyarakat desa dan nelayan memiliki hak mengelola dan menangkap ikan di

wilayahnya, sementara nelayan dari luar wilayahnya tidak diizinkan. Jadi, telah

terjadi pengkavlingan laut yang menjurus pada property right terhadap wilayah

perairan (Satria et al., 2005).

Secara umum, perikanan laut Jepang terdiri atas perikanan pantai (the

coastal fishery), perikanan lepas pantai (the offshore fishery), dan perikanan laut

lepas (the distent-water fishery). Meskipun ketiga jenis perikanan tersebut tidak

pernah didefinisikan secara resmi, tetapi sudah umum diterima bahwa perikanan

pantai adalah kegiatan perikanan yang berlangsung dalam wilayah perairan

teritorial dengan peralatan nelayan relatif kecil, yakni kapal yang ukurannya

kurang dari 10 ton kotor (Gross tonase=GT). Kegiatan budidaya laut (mariculture)

termasuk kedalam jenis perikanan pantai. Perikanan lepas pantai adalah

kegiatan perikanannya berlangsung dalam wilayah perairan ZEE dengan

menggunakan kapal-kapal besar yang berukuran di atas 10 GT. Sementara

perikanan laut lepas adalah kegiatan perikanan yang berlangsung di perairan laut

lepas (samudera) di sekitar Jepang atau bahkan sampai di zona negara lain

(Satria, 2002c).

Perikanan pantai di Jepang jenis perikanan inilah yang berkaitan erat

dengan HPWP yang memiliki sejarah yang sangat panjang dan

berkesinambungan. Sejarah perikanan pantai tersebut, dibagi menjadi tiga

periode, yakni: (1) periode feodal (sampai 1900), (2) periode Undang-undang

Perikanan Lama (1901-1948), dan (3) periode Undang-undang Perikanan Baru

(1949-sekarang) (Yamamoto 1983 diacu dalam Saad 2003). Ada juga

pembagian periode versi lain, yaitu: (1) periode feodal (1603-1867), (2) periode

Restorasi Meiji (1868-1948) dan (3) periode Undang-undang Perikanan (1949-

sekarang) (Bappenas, 2005; Saad, 2003; Ruddle, 1992).

Periode feodal, pada masa feodal, para bangsawan menetapkan desa-

desa yang berada di bawah kekuasaannya menjadi dua kategori, yaitu desa

pertanian (jikata) dan desa nelayan (urakata). Pada umumnya, mereka

memberlakukan suatu ketentuan bahwa hanya penduduk dari desa nelayan yang

dapat menangkap ikan di perairan pantai desa. Penduduk desa pertanian hanya

diperbolehkan mengambil ganggang laut (seaweeds) untuk dijadikan pupuk

kandang–kandang bangsawan untuk memberikan hak–hak khusus untuk

menangkap ikan kepada perorangan atau suatu kelompok dengan memungut

bayaran. Hak khusus itu disebut fishing rights dan previlages grant. Hak-hak

Page 52: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

68

khusus ini dapat diwariskan. Secara kultural, periode feodal sesungguhnya

berakhir sejak tahun 1868 ketika terjadi peristiwa Restorasi Meiji. Namun,

struktur pengelolaan perikanan pantai warisan masa feodal tetap dibiarkan

berlaku sampai diberlakukannya undang-undang perikanan pada tahun 1901

(Saad, 2003; Ruddle, 1992).

Periode undang-undang perikanan lama. UU Perikanan 1901 dapat

dikatakan meneruskan tradisi periode sebelumnya. Lembaga fishing rights dan

previleges grant berdasarkan undang-undang ini dikonversi menjadi exclusive

fishing rights. Tanpa memperhatikan asal-usulnya, exclusive fishing rights pada

prinsipnya hanya diperuntukan bagi koperasi nelayan dan mencakup kegiatan-

kegiatan sebagai berikut :

(1) Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bergerak,

seperti long line dan gill nets.

(2) Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat pantai (beach

seines).

(3) Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan set nets.

(4) Kegiatan budidaya laut (marine culture) (Yamamoto, 1983 diacu dalam

Saad, 2003).

Dalam periode ini, teknologi penangkapan ikan mulai berkembang.

Selama tahun 1904 sampai 1908, kapal pukat (trawlers) tipe Inggris dibuat dan

mulai diuji cobakan di perairan Jepang. Namun, ketika konflik serius muncul

antara kapal pukat ini dengan perahu nelayan pantai, pemerintah kemudian

membatasi aktivitas perahu nelayan pantai di Laut China Timur. Perkembangan

selanjutnya menunjukkan pesatnya kemajuan nelayan pantai sehingga

kemampuan jelajah wilayah penangkapannyapun bertambah luas. Keadaan ini

kembali memicu konflik antara nelayan pantai dengan kapal pukat. Akibatnya,

pada tahun 1921, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan sistem daerah

tertutup bagi kapal pukat. Bahkan, sejak tahun 1935, hak-hak nelayan pantai

diperluas sehingga mencakup pula serangkaian spesies yang yang bermigrasi.

Periode Undang-Undang Perikanan Baru, sebagaimana diketahui bahwa

sesudah perang dunia II berakhir pada bulan Agustus 1945, Jepang sebagai

negara yang kalah perang ditempatkan di bawah kontrol sekutu sampai April

1952. Selama masa itu, sejumlah kebijaksanaan reformasi struktur sosial

ekonomi dan penegakan sistem demokrasi ditetapkan oleh pemerintah

diantaranya UU Perikanan (Fisheries Law) tahun 1948 (Ruddle, 1992).

Page 53: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

69

Namun, dalam proses reformasi hukum perikanan tersebut, sistem hak-

hak perikanan tradisional yang sudah dikenal sebelumnya, dalam batas-batas

tertentu, tetap dipertahankan. Akibatnya, berlakulah sistem ganda dalam hukum

perikanan Jepang yaitu sistem hak-hak perikanan (fishing rights) dan sistem

lisensi perikanan (fishing licence). Sistem hak-hak terutama berlaku bagi

perikanan pantai sedangkan sistem lisensi berlaku perikanan lepas pantai dan

laut lepas. Penjelasan yang lebih komprehensif tentang kedua sistem akan

diuraikan berikut ini (Yamamoto, 1983 diacu dalam Saad, 2003; Ruddle, 1992).

The fishing rights system dirancang untuk kepentingan nelayan pantai,

yang secara sosial ekonomi sangat lemah, jika dibandingkan dengan nelayan

lainnya. Seperti halnya pada periode UU Perikanan Lama- yang mengatur

exclusive fishing rights dalam UU Perikanan yang berlaku saat ini, yang

menggunakan istilah fishing rights, dan hak-hak khusus untuk menangkap ikan

diakui. Namun, hak khusus ini tidak dapat dihipotikkan, dipersewakan, atau

dialihkan. Hak khusus ini memberikan hak eksklusif untuk menangkap ikan

diperairan yang sudah ditentukan dengan peralatan khusus pula.

Dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai di Jepang

terdapat 3 macam hak-hak khusus perikanan yang dikenal dalam hukum

perikanan Jepang saat ini. Hak-hak khusus tersebut dijelaskan (Saad, 2003;

Satria, 2002c), sebagai berikut :

(1) Common fishing rights. Hak ini hanya diberikan kepada koperasi perikanan

dan disertai syarat bahwa sumberdaya perikanan digunakan (dieksploitasi)

secara terpadu bagi seluruh nelayan anggota koperasi. Jenis hak ini masih

dibagi lagi menjadi tiga tipe, yakni: (1) untuk menangkap jenis ikan dan biota

laut lainnya yang hidup di dasar laut; (2) untuk menangkap jenis ikan pelagis

yang bermigrasi atau ikan demersal dengan memasang alat tangkap statis

pada kedalaman kurang dari 27 meter; (3) untuk menangkap jenis ikan

pelagis yang bermigrasi dengan menggunakan jala-jala pantai di daerah

tertentu. Distribusi hak-hak tersebut, ditentukan melalui suatu kesepakatan

diantara nelayan anggota koperasi berdasarkan prinsip kebersamaan yang

tata caranya sudah ditentukan terlebih dahulu statuta koperasi.

(2) Set-nets fishing right, yaitu hak untuk menangkap jenis ikan pelagis

bermigrasi dengan menggunakan jala berpasangan, yang ditempatkan pada

lokasi tertentu yang kedalamannya lebih dari 27 meter. Berhubung jenis alat

yang diperlukan relatif membutuhkan modal besar dan banyak tenaga kerja,

Page 54: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

70

maka seleksi nelayan atau koperasi yang akan diberikan hak ini tidak dapat

dihindarkan. Dalam batas-batas tertentu, biasanya nelayan atau koperasi

perikanan yang terpilih menerima hak ini ialah yang memiliki modal relatif

besar untuk diinvestasikan.

(3) Demarcated fishing right, yaitu hak untuk mengusahakan budidaya ikan atau

biota laut lainnya di wilayah laut tertentu. Seperti halnya, set net fishing,

demarcated fishing right diberikan kepada nelayan atau koperasi perikanan

yang memiliki cukup modal untuk berinvestasi dalam usaha budidaya laut

(marine culture).

Satria (2002c) berpandapat bahwa paling sedikit terdapat 3 karakteristik

yang melekat pada kebijaksanaan perikanan pantai Jepang, khususnya dalam

hubungannya dengan sistem hak-hak khusus perikanan, yaitu: Pertama, hak-hak

khusus perikanan tersebut diberikan kepada koperasi nelayan atas seluruh

wilayah yang berbatasan dengan daerahnya sejauh 2 km ke arah laut; Kedua,

hak khusus untuk common fishing right akan diberikan kepada semua koperasi

nelayan. Dalam wilayah hak ini, mula-mula semua anggota nelayan diberikan

common fishing right tipe 1, dan sesudah itu baru beberapa nelayan diberikan

hak-hak tipe 2 maupun tipe 3; dan Ketiga, berkaitan dengan kondisi hak khusus

perairan yang dibutuhkan, maka set net fishing right maupun demarcated fishing

right hanya diberikan kepada koperasi perikanan tertentu, yang secara geografis

daerahnya berbatasan dengan wilayah perairan laut yang cocok untuk jenis hak

tersebut atau memiliki cukup modal guna keperluan investasi usaha budidaya

laut.

Upaya untuk mengefektifkan sistem hak-hak khusus perikanan tersebut,

diselenggarakan melalui mekanisme tertentu (Saad, 2003; Satria, 2002c).

Mekanisme sistem pengelolaan sumberdaya perikanan pantai tersebut adalah

sebagai berikut:

(1) Daerah Alokasi (Allocational regional). Untuk memudahkan alokasi

sumberdaya ikan kepada seluruh nelayan, maka daerah pantai dibagi

menjadi 2 sampai 4 daerah, guna menjamin homogenitas daerah sesuai

dengan kondisi laut dan sumberdaya perikanan yang dikandungnya.

Misalnya, daerah pantai propinsi Jhiba dibagi menjadi 3 daerah yaitu daerah

teluk Tokyo (dengan perairan luas yang cocok untuk budidaya laut-

demarcated fishing right), daerah Jhiba luar (dengan pantai berkarang yang

cocok untuk perikanan pantai-common fishing right tipe 1), dan daerah

Page 55: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

71

pantai Kujukuri (dengan bentangan pantai panjang berpasir yang cocok

untuk pukat pantai-common fishing right tipe 2)

(2) Komisi Pengelola Hak Perikanan (fishing rights management comunities).

Berdasarkan UU Perikanan dan UU Koperasi Perikanan Jepang, koperasi

perikanan diposisikan sebagai pemegang peran utama dalam mengelola

hak-hak khusus perikanan yang akan diberikan kepada nelayan. Untuk

maksud ini dibentuklah Komisi Pengelolaan Hak Perikanan pada tiap-tiap

koperasi perikanan. Komisi ini juga diharapkan berfungsi menjamin agar

pelaksanaan sistem hak-hak khusus perikanan berjalan demokratis.

(3) Komisi Koordinasi Perikanan Daerah (Regional Fishery Coordination

Commitees). Pada tiap-tiap daerah alokasi (sub-1) dibentuk suatu Komisi

Koordinasi Perikanan Daerah. Komisi ini beranggotakan 15 orang yang

terdiri atas sembilan orang wakil nelayan (yang dipilih langsung oleh

nelayan), 4 orang yang dianggap mengetahui dan berpengalaman dalam hal

perikanan, dan 2 orang mewakili kepentingan publik luas. Enam orang

anggota komisi yang disebut terakhir diusulkan oleh gubernur. Masa jabatan

anggota komisi 4 tahun. Tugas komisi ini adalah: (1) mengembangkan

rencana penggunaan sumberdaya ikan dan daerah perikanan, sesuai

dengan usulan-usulan komisi pengelola hak perikanan; (2) memberi nasihat

kepada gubernur dalam rangka penetapan kebijaksanaan perikanan

propinsi, termasuk kebijaksanaan perzjinan perikanan di luar sistem hak-hak

khusus; (3) mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran

yang dilakukan nelayan; (4) menjamin pelaksanaan sistem hak-hak khusus;

dan (5) menyelesaikan konflik yang terjadi diantara para nelayan.

Penjelasan di atas menegaskan betapa koperasi nelayan merupakan

tulang punggung dalam pelaksanaan sistem hak-hak khusus perikanan. Bahkan,

pada tingkat tertentu, koperasi nelayan menjalankan fungsi publik yang biasanya

merupakan otoritas pemerintah. Peran penting koperasi nelayan tersebut, telah

menyebabkan pesatnya perkembangan koperasi nelayan di Jepang. Pada tahun

1993, sudah tercatat 2.100 unit koperasi dengan anggota 530.000 keluarga

nelayan dengan diversifikasi usaha sangat beragam. Selain menjalankan

administrasi hak-hak khusus perikanan, koperasi nelayan juga menjalankan

usaha pemasaran, perkreditan, asuransi, pengadaan segala kebutuhan pokok

dan sarana melaut dan sebagainya (Saad, 2003).

Page 56: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

72

The fishing licence system. Pada prinsipnya, sistem perijinan perikanan

ini akan diberikan untuk wilayah perairan yang tidak terjangkau oleh nelayan

tradisional dengan sistem hak-hak khusus perikanan. Izin perikanan diberikan

kepada perorangan, kelompok nelayan, atau perusahaan. Iz in perikanan

dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan negara Jepang

maupun oleh Gubernur. Berkaitan dengan sistem perizinan perikanan ini,

pemerintah Jepang menentukan kebijaksanaan, seperti menetapkan daerah

penangkapan, musim, dan daerah tertutup, ukuran kapal, jumlah kapal, jenis alat

tangkap, serta ukuran mata jaring. Setiap orang atau perusahaan yang diberikan

izin perikanan ditentukan kawasan tempat menangkap ikan, tonase kapal, atau

ukuran mata jaring atau alat tangkap yang digunakan. Berbeda dengan sistem

hak-hak khusus perikanan, dalam sistem perizinan perikanan, tidak ada

pegangan hak milik, sehingga memegang izin perikanan tidak memperoleh

hukum secara eksklusif. Semua armada kapal perikanan yang berizin, bebas

bersaing di laut lepas (Bappenas, 2005; Ruddle, 1992).

Pengkavlingan laut telah berlangsung dalam sistem pengelolaan

perikanan artisanal di Jepang. Akan tetapi pengkavlingan itu diatur sedemikian

rupa, sehingga efektif dan produktif bagi usaha perikanan. Lagi pula adanya

pengkavlingan laut melalui kelembagaan fishery rights membawa sejumlah

dampak positif. Ada 3 dampak positif yang terjadi adalah: Pertama, konflik-konflik

antar nelayan di perairan menjadi makin berkurang seiring dengan jelasnya

batas-batas yurisdiksi usaha perikanan artisanal; Kedua, pendapatan nelayan

meningkat, karena memperoleh jaminan wilayah usaha dan dapat menikmati

kekayaan alam di wilayahnya sendiri; dan Ketiga, ada hal yang lebih penting dari

itu semua, yaitu dengan adanya hak tersebut, nelayan akan bertanggung jawab

terhadap kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya ikan yang terdapat di

wilayah perairan mereka. Oleh karena itu, mereka tidak akan sembarangan

menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan. Hal ini mengingat adanya

kesadaran bahwa keberlanjutan sumberdaya hayati laut tersebut merupakan

masa depan kehidupan mereka sendiri (Saad, 2003; Satria, 2002c).

2.8.2.2 Fhilipina

Kebijaksanaan perikanan Fhilipina saat ini masih disadarkan pada UU

Perikanan (Fisheries Act No. 4003) yang ditetapkan pada tahun 1932. Meski UU

ini sudah diperbarui dengan Presidensial Decree 704, yang ditetapkan pada

Page 57: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

73

tahun 1975, tetapi secara substansial kebijaksanaan perikanan Fhilipina belum

banyak berubah (Delmendo, 1993 diacu dalam Saad, 2003).

Berdasarkan hukum perikanan Fhilipina, maka dibedakan 2 jenis kegiatan

perikanan, yakni perikanan niaga (Commercials Fisheries) dan perikanan daerah

(Municipal Fisheries). Usaha perikanan yang menggunakan kapal dengan bobot

lebih dari 3 GT dan beroperasi di perairan pantai dalam radius lebih 3 mil laut

dari garis pantai digolongkan sebagai perikanan niaga, sedangkan usaha

perikanan di perairan pantai dalam radius tidak lebih jauh dari 3 mil laut dan

menggunakan kapal atau perahu berbobot tidak lebih 3 GT, digolongkan sebagai

perikanan daerah. Perikanan niaga langsung berada di bawah kewenangan

pemerintah pusat melalui biro perikanan dan sumberdaya air (Bureau of

Fisheries and Aquatic Resources). Pada usaha perikanan niaga, yang berlaku

hanyalah sistem perijinan (Fishing Licence System ). Sementara itu, perikanan

daerah merupakan wewenang pemerintah daerah yang memiliki pantai dengan

menggunakan sistem konsesi (municipal concession). Municipal concession

adalah pemberian hak istimewa (exclucive previlage) untuk menggunakan

perairan bagi usaha penangkapan ikan, tiram (oyster culture beds), atau bibit

anak ikan (milkfish). Khusus untuk usaha pengumpulan bibit anak ikan,

mekanisme pemberian konsesi ditempuh dengan cara pelelangan. Penawar

dengan harga tertinggi pada umumnya mendapatkan konsesi perikanan daerah

tersebut (Panayotou 1985b). Pada tingkat tertentu, sistem konsesi ini dapat

dipandang sebagai penjelmaan TURFs sebagaimana yang diperkenalkan

konsepnya oleh Christy (1987).

Berbeda dengan di Jepang yang memberikan posisi utama kepada

koperasi perikanan, di Fhilipina semua pemenang lelang adalah pihak swasta.

Akibatnya konsesi perikanan daerah senantiasa jatuh ke tangan mereka yang

memiliki kemampuan (ekonomi) relatif kuat. Keadaan ini menempatkan ribuan

nelayan dalam posisi sulit (Delmendo, 1993 diacu dalam Saad, 2003). Di luar

daerah konsesi, tetapi masih dalam wilayah perikanan daerah, nelayan bebas

menangkap ikan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Di sini berlaku rezim

open access (no property right), dan dalam hal ini tidak ada kontrol terhadap

jumlah kapal nelayan, alat tangkap yang digunakan, dan daerah penangkapan

yang dieksploitasi. Bahkan, karena tidak tegasnya aturan tentang siapa yang

berwenang mengawasi tonase kapal perikanan, kapal-kapal perikanan niaga

sering memasuki wilayah perikanan rakyat. Konflik di antara kedua kelompok

Page 58: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

74

nelayan ini merupakan konsekuensi logis yang kerapkali terjadi (Delmendo, 1999

diacu dalam Saad, 2003). Meskipun sistem konsesi perikanan tidak memberikan

kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan relayan pantai, tetapi sistem ini

dapat menaikkan tingkat efisiensi ekonomi penggunaan sumberdaya ikan dan

memberikan pemasukan pajak yang berarti bagi pemerintah daerah. Hasil

penelitian terhadap 35 daerah pengumpulan bibit anak ikan pada tahun 1977

menunjukkan, pungutan konsesi perikanan menyumbang rata-rata 13 % dari total

pendapatan daerah. Di Propinsi Antique besar rata-rata pendapatan daerah 21%

dari 15 kota propinsi dari perolehan pungutan konsesi perikanan dan bahkan

terdapat di beberapa Kota di Fhilipina mencapai angka 50%.

2.8.2.3 Sri Lanka

Menurut (Atapattu, 1987 diacu dalam Saad, 2003) pada tahun 1985,

tercatat paling sedikit 30% dari keseluruhan produksi sektor perikanan

disumbangkan oleh perikanan tradisional di Sri Lanka yang memiliki sejarah

sangat panjang. Sejak berabad-abad yang lalu, perikanan tradisional Sri Lanka

berkembang bersamaan dengan munculnya berbagai tipe hak milik. Umumnya,

hak milik atas perairan muncul berkaitan dengan klaim-klaim penduduk desa

pantai atas perairan di depan desa tempat tinggalnya. Penduduk desa

mengeksploitasi sumberdaya perikanan di perairan pantai tersebut, dan

mencegah orang dari desa lain untuk terlibat, Demikian kokohnya lembaga hak

milik itu sehingga dalam beberapa kasus dijadikan sebagai mas kawin.

Sistem hak milik tradisional tersebut, oleh Atapattu dikategorikan sebagai

TURFs , muncul dalam 2 bentuk secara umum adalah: Pertama, hak milik yang

muncul karena disahkan oleh berbagai perundang-undangan, seperti UU tentang

Lembaga Lokal dan UU Perikanan, Jakottu merupakan contoh kategori hak milik

semacam ini; dan kedua, hak milik itu muncul karena didahului oleh suatu

sengketa di antara pengguna sumberdaya. Kattudel merupakan contoh kategori

ini. Perikanan Jakottu dan Kattudel ini (Saad, 2003) akan dijelaskan berikut ini.

Perikanan Jakottu adalah sejenis alat perangkap ikan yang bersifat

menetap dan biasanya dipasang di muara. Jakottu dibuat dari sebilah bambu

yang dianyam sehingga menyerupai pagar bambu. Anyaman bambu itu

kemudian dipancangkan secara vertikal menyerupai bentuk tertentu, yang akan

menggiring ikan-ikan masuk perangkap. Ikan yang masuk dalam perangkap

Jakottu biasanya ditangkap dari pukuI 6 petang hingga pukul 6 pagi. Hasil

tangkapan terutama terdiri atas udang dan ikan, yang lazimnya dijual di tempat

Page 59: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

75

pelelangan atau kadang-kadang juga kepada nelayan tradisional. Penghasilan

rata-rata per bulan dari Jakottu sekitar Rs 3000. Sebelum tahun 1935, untuk

memasang Jakottu tidak memerlukan izin. Namun, setelah itu diperlukan izin dari

Komisi Desa (Village Committee). Selanjutnya, Departemen Perikanan

menyusun suatu peraturan khusus untuk mengontrol perikanan Jakottu pada

tahun 1951. Beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut (Saad, 2003), adalah

sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang akan memasang Jakottu terlebih dahulu harus

memperoleh izin dari direktorat perikanan,

(2) Setiap izin memasang Jakottu dipungut biaya sebesar Rs 25.

(3) Jarak di antara dua Jakottu minimal 46 meter.

(4) Panjang Jakottu tidak boleh lebih dari 64 meter.

(5) Setiap pemilik Jakottu diwajibkan memasang lampu di ujung Jakottu

Perikanan Kattudel merupakan alat tangkap ikan yang bersifat menetap

seperti Jakottu. Perbedaannya, Jakottu dipasang di muara, sedangkan Kattudel

dipasang di laguna (danau-danau di pinggir laut). Kattudel merupakan sejenis

jaring dengan model khas. Perikanan Kattudel muncul pada masa kekuasaan

Raja Sinhala Parakaramabahu VI dari tahun 1412 sampai 1467. Pada masa itu,

terjadi serbuan orang India, tetapi berhasil dikalahkan berkat kepemimpinan

keluarga yaitu Kurukulasuriya, Wamakulasuriya, dan Mihindukulasuriya

Mudianse. Kepada ketiga keluarga ini oleh Raja diberikan desa sebagai tanda

penghargaan, yakni Grand Street, Sea Street, dan Kurana Street. Dari sinilah

muncul TURFs tradisional di Srilangka (Saad, 2003).

Penduduknya mayoritas penganut agama Katolik Roma, maka peranan

gereja sangat menonjol. Hingga dikeluarkannya Peraturan Perikanan Kattudel

Negombo fakta tahun 1958, gerejalah yang mengorganisasikan nelayan,

termasuk menyelesaikan konflik di antara nelayan. Konsekuensi peran tersebut,

10 % dari hasil penangkapan ikan diserahkan untuk keperluan gereja. Sejak

diberlakukannya peraturan perikanan 1958, maka pemilikan Kattudel secara

perorangan dilarang. Para nelayan diwajibkan menjadi anggota dari Kattudel

Fishermell's Association (KFA). Perubahan ini menimbulkan konsekuensi hukum,

yakni subjek TURFs berganti kepemilikan dari perorangan ke kelompok (Saad,

2003).

Page 60: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · adalah alat terbaik untuk pencegahan bencana alam yang ... partisipasi masyarakat dalam program ... alamiah dan kegiatan manusia di

76

2.8.2.5 Thailand

Menurut Panayotou (1987) bahwa di Thailand, tidak dijumpai catatan

sejarah yang mendudukkan jejak keberadaan sistem manajemen perikanan

berbasis kerakyatan, yang menerapkan hak-hak khusus semacam TURFs .

Sistem manajemen perikanan yang berlaku hingga kini didasarkan pada

Fisheries Act 2490, yang ditetapkan pada tahun 1947. Karakteristik manajemen

perikanan ini masih sentralistik. Menurut hasil evaluasi Departemen Perikanan

Pemerintahan Thailand, sistem manajemen perikanan ini ternyata belum mampu

menyelesaikan masalah biologi, kelebihan eksploitasi, dan konflik di antara

sesama nelayan kecil di negara Thailand.

Sejak tahun 1994, pemerintah Thailand menyadari bahwa manajemen

yang sentralistik telah gagal dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

dihadapi sektor perikanan. Manajemen perikanan yang melibatkan nelayan

(bottom up) kemudian mulai diterapkan. Dalam Rencana Pembangunan Nasional

bidang Sosial-Ekonomi (1991-1996), ditetapkan bahwa pengembangan

manajemen nelayan kecil dapat dicapai melalui penetapan TURFs. Pada tahun

1993, Departemen Perikanan bekerjasama dengan Universitas Kasetart

mengembangkan suatu program pengelolaan perikanan untuk memastikan

efektivitas TURFs. Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka sejak tahun 1994,

departemen perikanan menyiapkan proyek percontohan dan menyiapkan

rancangan hukum perikanan laut (Pomeroy, 1994).

TURFs di daerah tertentu diberikan kepada organisasi koperasi nelayan.

Nelayan yang menjadi anggota organisasi diberikan hak menangkap ikan (fishing

right) dalam wilayah TURFs. Organisasi nelayan sebagai subjek TURFs, berhak

rnenetapkan jumlah kapal ikan dan jenis alat tangkap yang boleh digunakan.

Segenap anggota organisasi nelayan bertanggung jawab kepada organisasi.

Sementara pengurus organisasi bertanggung jawab kepada pemerintah dalam

pengurusan administrasi dan penerapan TURFs . Organisasi nelayan di tingkat

desa diberikan bantuan kredit untuk mengembangkan organisasinya. Bantuan

lain juga diberikan berupa pengetahuan tentang lingkungan hidup dan informasi

lainnya yang berkaitan dengan perikanan, seperti sistem budidaya laut di daerah

pesisir. Di Thailand masih sedang merintis penerapan TURFs. Namun, kemauan

politik untuk menerapkannya sebagai sistem resmi dengan memberikan posisi

kunci kepada koperasi atau organisasi nelayan yang memperlihatkan tanda-

tanda yang semakin kuat. Hal itu tercermin dari rancangan UU Perikanan Laut

yang kini telah dipersiapkan (Saad, 2003).